PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Perkara No : 1083/Pid.B (A)/2011/PN.TK)

(1)

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN

(Studi Perkara No : 1083/Pid.B (A)/2011/PN.TK) O l e h

Harki Mujianto

Kejahatan dan pelanggaran adalah suatu bentuk pidana yang ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga sudah dilakukan anak-anak. Salah satu bentuk kejahatan dan pelanggaran tersebut adalah tindak pidana pencurian Tindak pidana pencurian merupakan sebagai perbuatan mengambil milik orang lain dengan maksud memiliki secara melawan hukum, di mana apabila perbuatan tersebut dilakukan oleh anak nakal, maka kepadanya dapat dijatuhkan hukuman paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku tindak pidana pencurian dan apakah faktor-faktor penyebab tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak di Kota Bandar Lampung.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian yuridis normatif dan yuridis empiris dengan menggunakan data sekunder dan data primer. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, kemudian data primer diperoleh melalui studi lapangan dengan cara observasi dan wawancara.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku tindak pidana pencurian harus memenuhi unsur-unsur Pasal 363 ayat (1) Ke-4 dan 5 KUHP yaitu unsur barangsiapa, mengambil suatu barang, sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan maksud untuk memiliki, dengan melawan hukum, pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pencurian menggunakan anak kunci palsu, dalam hal perbarengan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan yang berdiri sendiri telah dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan menurut hukum sebagaimana kasus pada Putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor : 1083/ Pid.B(A)/2011/PN.TK. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak antara lain berupa pertimbangan yang bersifat yuridis berupa fakta hukum melalui dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang memuat identitas terdakwa, locus dan tempus delicti, tindak pidana yang didakwakan, pasal yang dilanggar oleh terdakwa karena perbuatannya, kemudian berdasarkan keterangan saksi dan keterangan terdakwa serta barang bukti. Pertimbangan yang bersifat non yuridis melalui pertimbangan mengenai latar


(2)

belakang terdakwa serta agama atau keyakinan yang dianut terdakwa dan kondisi jasmani maupun rohani terdakwa serta akibat perbuatan terdakwa.

Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan dalam hal pertanggungjawaban pidana anak, seorang anak tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh dan selayaknya hakim menitikberatkan pengurangan hukuman kepada anak sehingga anak tidak terlalu lama mendapat hukuman dan dapat meneruskan kehidupannya di masa yang akan datang. Tindakan yang paling tepat diberikan kepada anak adalah pemberian hukuman yang bersifat mendidik, guna memulihkan kembali kondisi anak tersebut menjadi anak yang lebih baik, bukan dengan hukuman pembalasan terhadap mereka setelah menjalani peradilan.


(3)

CRIMINAL LIABILITY FOR CHILD AS THEFT CRIMINAL ACTORS (Case Study No. : 1083/Pid.B (A)/2011/PN.TK)

By Harki Mujianto

Crime and is a form of criminal violations that turned out not only by adults but also children do. One form of crime and the offense is a felony theft committed by children. The criminal act of theft is the act of taking the property of others with the intention of having unlawfully, where if it was committed by juvenile delinquents, then sentenced him to a maximum of 1/2 (one half) of the maximum penalty of imprisonment for adults. The problem in this research is how criminal liability for criminal child theft and whether the factors that cause crime of theft committed by children in the city of Bandar Lampung.

The method used in this research study normative and empirical jurisdiction using secondary data and primary data. Secondary data was collected through literature, and primary data obtained through field study by observation and interview.

Based on the results of research and discussion, it can be concluded that criminal liability for theft criminal child must meet the elements of Section 363 subsection (1) paragraph 4 and 5 of the Criminal Code that whoever elements, take a good, partly or wholly owned by another person, with intent to possess, with unlawful theft committed by two or more persons with the alliance, theft using false keys, in case concurrently some act which should be viewed as a stand-alone act has been proven legally and convincingly by law as is the case in Court Ruling Tanjungkarang No. : 1083/Pid.B (A)/2011/PN.TK. Consideration of judges in imposing criminal sanctions against perpetrators of crimes of theft committed by children which include consideration of the juridical form of legal facts through prosecutors charge that includes the identity of the accused, locus and tempus delicti, the offenses charged, violated article defendant because of his actions, and then based on the testimony of witnesses and the defendant, and testimony evidence. Consideration of non judicial consideration of the defendant's background and religion or faith of the defendant and the defendant's physical and spiritual condition and the defendant inflicted.

Suggestions in this study are expected in the case of criminal child, a child can not be subject to criminal liability in full and judges should emphasize the reduction of


(4)

sentence to the child so that the child does not get a penalty for too long and can carry on their lives in the future. The most appropriate action is given to children that are educational punishment, in order to restore the condition of the child is a child the better, not the punishment of retaliation against them after a judicial


(5)

A. Latar Belakang Masalah

Suatu kejahatan atau tindak pidana, umumnya dilakukan pelaku kejahatan karena didorong atau dimotivasi oleh dorongan pemenuhan kebutuhan hidup yang relatif sulit dipenuhi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tinggi memberi peluang tindak kejahatan makin tinggi volumenya dan meningkat kualitasnya termasuk pelanggaran pidana yang makin bervariasi. Untuk menanggulangi kejahatan dan tindak pidana demikian itu dibutuhkan kebijakan penindakan dan antisipasi yang menyeluruh.

Tindak pidana dan kejahatan yang semakin berkembang dewasa ini menuntut penegak hukum oleh aparat yang berwenang menerapkan sanksi hukum dan kebijakan penegakan yang tepat guna, sesuai hukum yang berlaku yang dampaknya diharapkan dapat mengurangi sampai batas minimum tindak pidana dan pelanggaran hukum. Penegakan hukum terhadap ketentuan undang-undang hukum pidana tujuannya untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dengan menekan semaksimal mungkin adanya pelanggaran hukum dan tindak pidana yang merugikan masyarakat, baik moril maupun materiil bahkan jiwa seseorang.

Salah satu tindak pidana yang seringkali terjadi di tengah masyarakat adalah tindak pidana pencurian. Berdasarkan pengertian Pasal 362 KUHP yang dimaksud pencurian


(6)

yaitu “Barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.

Pencurian memiliki unsur-unsur sebagai berikut : 1) Perbuatan mengambil

Mengambil dalam arti mengambil dari tempat dimana barang tersebut berada, sehingga dari arti tersebut tersimpul kesengajaan dari kata mengambil antara si pelaku dengan barangnya, bukan hubungan hukumnya pada saat memiliki barang tersebut belum dikuasai pelaku. 2) Barang yang diambil

Barang yang diambil harus merupakan barang yang berwujud, dan dapat dipindahkan. Oleh karena pencurian termasuk kejahatan terhadap harta kekayaan, maka sebagian orang berpendapat atau menafsirkan bahwa barang yang menjadi obyek pencurian harus mempunyai nilai ekonomis. Namun nilai ekonomis bukan merupakan syarat mutlak pencurian.

3) Barang yang diambil harus seluruh atau sebagian milik orang Terdapat 2 (dua) kemunginan terhadap barang yang dicuri :

a) Barang itu seluruhnya milik orang lain, yaitu barang yang dikuasai dan didapat oleh seseorang secara legal.

b) Barang itu sebagian milik orang lain, yaitu barang yang dicuri kemungkinan sebagian adalah milik si pencuri sendiri misalnya barang warisan yang belum dibagi-bagi, sedang si pencuri adalah ahli waris yang berhak atas barang itu.

4) Pengambilan barang dengan tujuan memiliki secara melawan hukum Hal ini berarti pengambilan barang dilakukan dengan sengaja oleh orang lain atas barang yang diambil sedangkan padanya tidak ada hal untuk memiliki.1

Tindak pidana pencurian tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa tetapi juga dilakukan oleh anak-anak. Semestinya seorang anak merupakan harapan dan tumpuan masa depan negara sehingga mereka dilindungi oleh negara. Dalam kenyataannya selain rentan menjadi korban kejahatan, anak juga rentan menjadi pelaku kejahatan, yang pada akhirnya akan menjerumuskan anak kedalam kehidupan yang kelam dan hilangnya harapan untuk meraih masa depan yang baik. Salah satu bentuk kejahatan

1


(7)

yang sering dilakukan anak adalah tindak pidana pencurian. Pencurian yang dilakukan oleh anak saat ini sudah mengkhawatirkan dengan kualitas dan kuantitas pencurian yang dilakukan anak dari waktu ke waktu semakin meningkat sehingga dapat berakibat buruk bagi masyarakat maupun anak itu sendiri.

Pada Pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak didefenisikan bahwa : Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak yang di dalam kandungan.

Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh anak dapat disebabkan oleh berbagai faktor yaitu :

1. Adanya dampak negatif dari perkembangan pembangunan yang pesat. 2. Arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi.

3. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. 4. Serta perubahan gaya dan gaya hidup orang tua.2

Memang disadari bahwa hak-hak anak dijamin dan dipenuhi, terutama menyangkut kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Namun dalam kehidupan masyarakat, kompleksitas permasalahan menyertai kehidupan anak, baik aspek pendidikan, kesehatan, maupun

2

Sholeh Soeaidy & Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2003, hlm. 23


(8)

perlakuan yang tidak adil dipandang dari segi hukum, agama maupun moralitas kemanusiaan.

Anak Indonesia sebagai anak bangsa sebagian besar mempunyai kemampuan dalam mengembangkan dirinya untuk dapat melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang bertanggung jawab dan bermanfaat untuk sesama manusia. Kondisi fisik dan mental seorang anak yang masih lemah seringkali memungkinkan dirinya disalahgunakan secara legal atau ilegal, secara langsung atau tidak langsung oleh orang sekelilingnya tanpa dapat berbuat sesuatu.

Saat ini banyak dijumpai anak-anak yang berperilaku menyimpang. Perilaku menyimpang anak ini, jelas tampak kini di tengah-tengah masyarakat. Kenyataan-kenyataan ini menunjukkan bahwa perilaku mereka sudah sangat mengkhawatirkan dan merupakan masalah yang berbahaya.

Perbuatan anak yang nyata-nyata bersifat “melawan hukum”, dirasakan sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Akibatnya, kehidupan masyarakat menjadi resah, perasaan tidak aman bahkan menjadi ancaman bagi usaha mereka. Oleh karena itu perlunya perhatian terhadap usaha penanggulangan dan penanganannya, khususnya di bidang hukum pidana beserta hukum acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana yang masih muda usianya, sebab adalah hak setiap anak untuk diperlakukan secara manusiawi, walaupun ia terlibat tindak pidana.

Selama ini penanganan perkara pidana yang pelakunya masih tergolong anak, dapat dikatakan hampir sama dengan penanganan yang tersangkanya adalah orang dewasa. Di lapangan hukum pidana, anak-anak diperlakukan sebagai “orang dewasa kecil”,


(9)

sehingga seluruh proses perkaranya dilakukan sama dengan perkara orang dewasa. Keadaan dan kepentingan anak kadang-kadang sedemikian rupa diabaikan tanpa ada perlakuan-perlakuan yang khusus.3

Salah satu contoh tindak pidana pencurian oleh anak di Kota Bandar Lampung adalah sebagaimana yang dilakukan oleh Rian Febrianto bin Supriadi di mana tersangka yang masih berusia 16 tahun berdasarkan hasil putusan Pengadilan Negeri Tanjungkarang Nomor 1083/PID/B(A)/2011/PN.TK terdakwa Rian Febrianto bin Supriadi didakwa telah melakukan tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4, ke-5 jo Pasal 65 ayat (1) KUHPidana sehingga kemudian Pengadilan Negeri Tanjungkarang menjatuhkan pidana selama 11 (sebelas) bulan penjara serta menetapkan agar terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah). Terdakwa Rian Febrianto bin Supriadi sebagaimana dakwaan telah melakukan pencurian 1 (satu) unit kendaraan sepeda motor milik korban Tri Susanto dengan cara berpura-pura meminjam sepeda motor tersebut dan kemudian menduplikasikan kunci sepeda motor lalu beberapa hari kemudian motor tersebut dicuri dengan menggunakan kunci duplikat yang telah dipersiapkan dan juga telah mencuri 1 (satu) unit kendaraan sepeda motor milik Untung Saputra bin Dasirun dengan cara yang sama. Akibat perbuatan terdakwa tersebut maka kedua korban masing-masing mengalami kerugian ± Rp. 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).

Sebenarnya pihak kepolisian telah berupaya dengan keras untuk menanggulangi tindak pidana pencurian, misalnya dengan menggelar operasi-operasi rutin di jalan raya pada hari dan tempat tertentu dan dengan mengadakan razia dengan lokasi-lokasi

3


(10)

yang berubah-ubah dalam upaya memperkecil ruang gerak pelaku kejahatan pencurian, serta melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap terjadinya kejahatan pencurian tersebut. Namun upaya yang telah dilakukan aparat penegak hukum belum sepenuhnya berhasil menghilangkan terjadinya kejahatan pencurian, hal ini dikarenakan adanya faktor-faktor yang menjadi kendala dari pihak kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban wilayah Bandar Lampung dan sekitarnya.

Keadaan yang demikian menyebabkan sebagian masyarakat mempertanyakan kinerja pihak kepolisian sehingga kadang menjadikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap aparat kepolisian menjadi rendah, sehingga sering terjadi jika masyarakat menemukan kasus pencurian, sering sekali terjadi proses main hakim sendiri (eigenrichten) terhadap pelaku pencurian dengan cara memukulinya beramai-ramai atau bahkan membakarnya hingga tersangka meninggal di tempat.

Berdasarkan pada latar belakang masalah sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang kemudian disusun dalam rangka penulisan skripsi dengan judul “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian (Studi Perkara No. 1083/Pid/B(A)/ 2011/PN.TK)”.

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian 1. Permasalahan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang jadi permasalahan yaitu : a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku tindak pidana


(11)

b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak ?

2. Ruang Lingkup Penelitian

Sesuai dengan permasalahan di atas, maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada kajian hukum pidana, khususnya mengenai :

a. Pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku tindak pidana pencurian.

b. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Secara Teoritis

a) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana khususnya mengenai tindak pidana pencurian oleh anak.


(12)

b) Dapat mengembangkan kemampuan berkarya ilmiah dengan daya nalar dan acuan sesuai dengan ilmu yang dimiliki guna mengungkapkan suatu permasalahan secara objektif melalui metode ilmiah.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis, penelitian ini berguna sebagai penambah wawasan berfikir penulis tentang hukum pidana khususnya mengenai tindak pidana pencurian.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Tindak pidana adalah “Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut”.4 Dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu”.

Menurut Van Hammel, tindak pidana adalah kelakukan manusia yang dirumuskan dalam Undang-Undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.5Soerjono Soekanto menyatakan “Apabila suatu sikap tindak atau perilaku sesuai dengan tujuan atau maksud hukum tersebut disebut sikap tindak atau perilaku yang positif dan apabila sebaliknya disebut perilaku yang negatif”.6

4

Moeljatno,Op cit, 2001, hlm. 54

5

Andi Hamzah,Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 88

6


(13)

Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana apabila telah mempunyai unsur-unsur perbuatan manusia, diancam/dilarang oleh undang-undang bersifat melawan hukum dilakukan dengan kesalahan dan perbuatan tersebut mampu atau dapat dipertanggungjawabkan.

Hukum pidana membagi kesalahan menjadi dua macam yaitu kesengajaan dan kealpaan :

a. Kesengajaan

Untuk menentukan kesengajaan ada dua macam teori, yaitu : 1. Teori Kehendak (Witstheorie)

Teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan kepada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet, sedangkan menurut yang lain kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet. Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud, atau tujuan hak mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuan perbuatan. Konsekuensinya ialah bahwa untuk menentukan suatu perbuatan dikehendaki oleh terdakwa, jadi perbuatan tersebut harus dibuktikan sesuai dengan motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.

2. Teori Pengetahuan (Voorstellings Theorie)

Menurut teori ini kesengajaan diterima sebagai pengetahuan, disini pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-unsurnya perbuatan yang dilakukan saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan, hanya berhubungan dengan pertanyaan yaitu kelakuan, maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.

Maka kalau kita menganut teori pengetahuan, konsekuensinya ialah bahwa untuk membuktikan adanya kesengajaan dapat menempuh dua jalan yaitu membunyikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan, atau pembuktian adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apayang dilakukan berserta akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya, jadi mengenai kelakuan hanya ada dua kemungkinan, yaitu diinsyafi atau tidak diinsyafi.7

Kesengajaan adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subyek hukum yang ditentukan berdasarkan tiga macam/bentuk/corak yaitu :

7


(14)

1. Kesengajaan dengan maksud (Dolus Directus) yaitu bahwa seseorang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja dimana perbuatan menjadi tujuan sesuai kehendaknya.

2. Kesengajaan dengan kepastian (Ofzet bijt zekerheids bewotzjin), yaitu bahwa seseorang melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan tertentu, dimana sangat disadarinya bahwa akibat lain, yang bukan menjadi akibat perbuatanya pasti akan timbul, terhadap akibat yang timbul yang bukan merupakan tujuan dari perbuatanya dikatakan ada kesengajaan bagi kepastian.

3. Kesengajaan dengan kemungkinan (Dolus Eventualis), yaitu suatu perbuatan tertentu dengan tujuan tertentu dimana sangat disadarinya bahwa selain tujuanya tercapai, maka makin ada akibat yang dikehendakinya dapat terjadi.8

b. Kealpaan

Yaitu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang tidak ada dasar niat untuk melakukan kejahatan tetapi karena kecerobohan atau kurang hati-hatinya mengakibatkan terjadinya kejahatan.9

Tindakan kesengajaan sudah pasti harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku karena pelaku telah melakukan kesalahan yang menurut aturan dasar hukum pidana “tidak ada pidana tanpa kesalahan”.

Pertanggungjawaban pidana tidak cukup dengan dilakukannya perbuatan pidana saja, akan tetapi di samping itu harus ada kesalahan, atau sikap batin yang dapat dicela, ternyata pula dalam asas hukum yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (green straf zonder schuld, ohne schuld keine strafe).10

Van Hammel menyatakan pertanggungjawaban yaitu suatu keadaan normal dan kematangan psikis yang membawa 3 (tiga) macam kemampuan untuk :

1. Memahami arti dan akibat perbuatannya sendiri.

2. Memahami bahwa perbuatannya itu tidak dibenarkan atau dilarang oleh masyarakat.

8

Wirjono Projodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Repika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 61

9

Wirjono Projodikoro,Op cit, hlm. 62

10


(15)

3. Menetapkan kemampuan terhadap perbuatan-perbuatan itu sehingga dapat disimpulkan bahwa pertanggungjawaban (teorekensvatbaarhee) mengandung pengertian kemampuan atau kecakapan.11

Berdasarkan pendapat di atas, dapat diketahui bahwa subjek hukum dapat dipertanggungjawabkan jika ada kesalahan dan tidak ada alasan pemaaf maupun alasan pembenar.

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

Pada dasarnya anak-anak melakukan suatu tindakan berdasarkan contoh yang ia lihat, baca maupun dengar. Jika contoh yang ia lihat, baca maupun dengar didominasi oleh contoh yang baik, maka seorang anak memiliki kecenderungan menjadi anak yang baik, namun sebaliknya jika contoh yang ia lihat, baca maupun dengar lebih didominasi oleh contoh-contoh yang tidak baik maka si anak memiliki kecenderungan menjadi anak nakal.12

Pada Pasal 1 butir (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana;

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pengertian anak di atas bahwa anak yang melakukan tindak pidana perbuatannya tidak terbatas kepada perbuatan-perbuatan yang melanggar 11

P.A.F. Lamintang dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang Ditujukan Terhadap Hak Milik, Tarsito, Bandung, 1981, hlm. 108

12


(16)

peraturan KUHP saja, melainkan juga melanggar peraturan-peraturan di luar KUHP, misalnya ketentuan pidana dalam Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan sebagainya.13

Anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau perbuatan yang terlarang bagi anak. Baik terlarang menurut perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.14

Kemudian yang dimaksud perbuatan terlarang bagi anak adalah baik yang menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini peraturan tersebut baik yang tertulis mapun tidak tertulis misalnya hukum adat atau aturan kesopanan dan kepantasan dalam masyarakat.15

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa sesungguhnya tindak pidana hanyalah berbeda dalam hal siapa pelakunya, yaitu perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seseorang, mungkin ia seorang dewasa ataukah seorang anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaku tindak pidana anak adalah seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana atau kejahatan yang dilakukannya.

Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pencurian adalah :

Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

13

Gatot Supramono,Op cit, hlm. 21

14

Darwin Prinst,Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 36

15


(17)

Pasal 363 KUHP menjelaskan bahwa :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun : 1. Pencurian ternak;

2. Pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir, gempa bumi atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang; 3. Pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan

tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;

4. Pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; 5. Pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau

untuk sampai pada barang yang akan diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

(2) Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 365 KUHP menerangkan bahwa :

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, serta atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.

(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun :

1. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;

2. Jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu; 3. Jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau

memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;

4. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.

(3) Jika pebuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam No. 1 dan 3.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa barangsiapa mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaaan orang lain dengan maksud untuk


(18)

dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Pasal 368 KUHP :

(1) Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang mapun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.

(2) Ketentuan Pasal 365 ayat (2), (3) dan (4) berlaku bagi kejahatan ini.

Pencurian dapat didefinisikan yaitu “Barangsiapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum, karena salah telah melakukan pencurian dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun penjara atau denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah”.16

Berdasarkan ketentuan di atas dapat diketahui bahwa pencurian yaitu barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Dasar penentuan suatu perbuatan termasuk dalam tindak pidana pencurian seperti diatur dalam Pasal 362 KUHP, terbagi dua unsur sebagai berikut :

a. Unsur Obyektif

1. Perbuatan mengambil. 2. Suatu benda.

3. Sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain.

16


(19)

b. Unsur Subyektif

1. Maksud dari si pembuat.

2. Untuk menguasai atau memiliki benda. 3. Secara melawan hukum.

Berdasarkan pengertian di atas tindak pidana sebagaimana diatur pada Pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai: mengambil barang, seluruhnya atau sebagian milik orang lain dengan tujuan memiliknya secara melanggar hukum. Sehingga patutlah kiranya dikemukakan, bahwa ciri-ciri khas tindak pidana pencurian adalah mengambil barang orang lain untuk memilikinya.

Pengaturan secara khusus tentang sistem pemidanaan terhadap anak, dalam KUHP diatur di bawah Bab III Buku I tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana. Ketentuan sistem pemidanaan anak tersebut diatur dalam tiga pasal, yakni Pasal 45, 46 dan 47 KUHP.

Ketiga pasal tersebut antara lain mengatur batas usia anak dibawah umur, kewenangan hakim dalam menjatuhkan putusan tentang jenis-jenis sanksi yang berupa pidana dan tindakan, serta mengatur tentang lamanya pidana untuk anak yang melakukan tindak pidana.

Pelaksanaan proses peradilan pidana pada anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa. Ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Pengadilan Anak telah mengacu pada rambu-rambu bahwa terhadap anak diperlukan pembinaan yang terus menerus baik fisik, mental, maupun kondisi sosialnya, serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan mereka dan bangsa di masa depan.


(20)

Putusan Hakim dalam praktik peradilan cenderung tidak menjatuhkan pidana maksimum dalam mengadili tindak pidana. Pada umumnya Hakim menjatuhkan putusan pidana penjara lebih rendah dari tuntutan Jaksa. Hal ini disebabkan tidak adanya ketentuan minimum khusus dalam pasal-pasal KUHP, maka Hakim dalam menjatuhkan pidana berpegang pada Pasal 12 ayat (2) KUHP yang mengatur tentang batas minimum umum pidana (straf minima) yakni satu hari dan maksimum umum pidana (straf maksima) yakni 15 tahun. Dalam batas minimum dan maksimum tersebut Hakim bebas bergerak untuk menentukan pidana yang dianggap paling tepat. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan pidana yang dijatuhkan terhadap perkara yang sama atau perkara yang dapat dibandingkan.

Dasar pertimbangan hakim tidak menjatuhkan pidana maksimum terhadap tindak pidana antara lain berdasarkan dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana, Hakim tidak menggunakan pedoman pemidanaan (straftoemetings leiddraad) yang jelas, sehingga dalam menentukan berat ringannya pidana faktor subjektivitas Hakim lebih berperan.17

Beberapa teori yang berkaitan dengan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara dalam sidang pengadilan antara lain:

a. Teori Kepastian Hukum

Teori kepastian hukum memberikan penjelasan bahwa segala macam bentuk kejahatan dan pelanggaran harus di berikan sanksi tegas berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang mengaturnya. Dalam teori ini sangat berhubungan erat dengan asas legalitas dalam hukum pidana, bahwa setiap tindak pidana yang diatur dalam perundang-undangan harus diproses dalam sistem peradilan pidana guna menjamin kepastian hukum.

17


(21)

b. Teori Kemanfaatan

Teori kemanfaatan memberikan penjelasan bahwa apabila dalam suatu persidangan hakim memandang perbuatan terdakwa bukan karena murni melawan hukum akan tetapi dari segi kemanfaatan bertujuan untuk menjalankan norma dalam masyarakat dan dipandang apabila dijatuhi hukuman berupa pidana penjara maka dari elemen masyarakat merasa keberatan. Jadi sebagai pertimbangan hakim dengan melihat segi kemanfaatan maka terdakwa tidak diberikan sanksi akan tetapi hanya diberikan tindakan rehabilitasi kepada terdakwa agar tidak mengulangi perbuatannya.

c. Teori Keadilan

Teori keadilan menjelaskan bahwa dalam menegakkan hukum seorang Hakim juga harus memperhatikan teori keadilan hukum dan juga harus melihat fakta kongkret dalam persidangan. Karena melihat rasa keadilan tidak tepat apabila terdakwanya semata-mata bukan atas dasar niat jahat dan sudah berusia lanjut, di bawah umur atau karena suatu keadaan tertentu yang sepatutnya tidak diganjar dengan hukuman pidana penjara maka Hakim harus dapat memberikan pertimbangan sesuai dengan rasa keadilan. Nilai hukum dan rasa keadilan Hakim jauh lebih diutamakan dalam mewujudkan hukum yang berkeadilan.18

Hakim dalam dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak memberikan pembedaan perlakuan terhadap perkara anak adalah salah satu bentuk perlindungan yang diakui dalam Undang Undang Pengadilan Anak. Asas

ultimum remedium atau asas yang menggunakan sanksi pidana sebagai pilihan terakhir untuk menyelesaikan perkara anak tidak dapat dilepaskan dari sistem pemidanaan dari hukum pidana anak atau dalam hal ini pemidanaan yang terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan Anak yang diatur dalam Pasal 22 sampai Pasal 32. Pemberian sanksi terhadap anak nakal dalam undang undang ini bukan hanya dengan diberikan berupa pemidanaan tetapi juga dengan pemberian tindakan. Pemberian sanksi terhadap anak nakal yang melakukan tindak pidana dan anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan

18

Anthon F. Susanto dan Salman Otje, Teori Hukum, Bandung, Refika Aditama, 2004, hlm. 46


(22)

perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, diberikan sanksi yang berbeda.

Menurut penjelasan Pasal 25 Undang-Undang Pengadilan Anak, bahwa dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Di samping itu Hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, keadaan rumah tangga orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antara anggota keluarga dan keadaan lingkungannya. Demikian pula Hakim wajib memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan.19

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan dan pedoman dalam penelitian atau penulisan. Sumber konsep adalah undang-undang, buku/karya tulis, laporan penelitian, ensiklopedia, kamus dan fakta/peristiwa.20

Adapun kerangka konseptual yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tindak Pidana adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.21

19

Barda Nawawi Arief,Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 127

20

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 78

21

Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2008, hlm. 105


(23)

2. Pertanggungjawaban Pidana adalah suatu perbuatan yang harus dipertanggung-jawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana.22 3. Pencurian adalah barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau

sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak sembilan ratus rupiah (Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

4. Anak adalah orang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).

E. Sistematika Penulisan

Dalam upaya memudahkan maksud dari penelitian ini serta dapat dipahami, maka penulis membaginya ke dalam V (lima) Bab secara berurutan dan saling berhubungan yaitu sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini memuat uraian dari latar belakang masalah, permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka konsepsional serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang pengertian pertanggungjawaban pidana, tujuan pemidanaan dan jenis-jenis pidana, pengertian anak dan tindak pidana yang

22

Wirjono Projodikoro,Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Repika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 71


(24)

dilakukan oleh anak, unsur-unsur tindak pidana pencurian dan teori dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini merupakan metode penelitian yang menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penelitian, yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisa data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada Bab ini memuat pembahasan berdasarkan hasil penelitian dari pokok permasalahan mengenai pertanggungjawaban pidana bagi anak pelaku tindak pidana pencurian dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh anak.

V. PENUTUP

Pada Bab ini dibahas mengenai kesimpulan yang merupakan jawaban permasalahan berdasarkan hasil penelitian serta pemberian saran berdasarkan kesimpulan sebagai alternatif dalam menyelesaikan permasalahan di masa yang akan datang.


(25)

A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana apabila telah mempunyai unsur-unsur perbuatan manusia, diancam/dilarang oleh undang-undang bersifat melawan hukum dilakukan dengan kesalahan dan perbuatan tersebut mampu atau dapat dipertanggungjawabkan.

Pengertian pertanggungjawaban pidana adalah suatu perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana.22

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabakan atas perbuatan yang telah dilakukan, yaitu perbuatan yang tercela oleh masyarakat dan itu dipertanggungjawabkan oleh si pembuatnya dengan kata lain kesadaran jiwa orang yang dapat menilai, menentukan kehendaknya, tentang perbuatan tindak pidana yang dilakukan berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siaa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan dahulu yang dinyatakan sebagai pembuat untuk suatu tindak pidana.23

Pengertian tindak pidana adalah perbuatan yang melanggar peraturan-peraturan pidana diancam dengan hukuman oleh undang-undang dan dilaksanakan oleh

22

Wirjono Projodikoro,Op cit, hlm. 71

23

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, PT. Aksara Baru, Jakarta, 1983, hlm. 80


(26)

seseorang yang bersalah, orang manapun dapat dipertanggungjawabkan. Apabila kita mengkajinya lebih jauh makna dari pengertian ini, maka didalamnya terdapat beberapa unsurdelickatau tindak pidana, yaitu :

a. Adanya unsur perbuatan

b. Adanya unsur pelanggaran peraturan pidana c. Diancam dengan Hukuman

d. Dilakukan dengan kesalahan.24

Menurut Simons, seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :

1. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum.

2. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.25

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, karena masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu bersalah. Adapun unsur-unsur dari kesalahan ialah :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat.

2. Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya yang berupa kesengajaan atau kealpaan.

3. Tidak ada alasan pemaaf, yang dimuat dalam Pasal 44, Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 KUHP.26

Kesalahan dalam hukum pidana ada dua macam yang terdiri dari : a. Kesengajaan

Untuk menentukan kesengajaan ada dua macam teori, yaitu :

24

Moeljatno,Op cit, hlm. 58

25

C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Tansil,Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hlm. 49

26


(27)

1. Teori Kehendak (Witstheorie)

Teori kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan kepada terwujudnya perbuatan seperti dirumuskan dalam wet, sedangkan menurut yang lain kesengajaan adalah kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur yang diperlukan menurut rumusan wet. Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud, atau tujuan hak mana berhubungan dengan motif (alasan pendorong untuk berbuat) dan tujuan perbuatan. Konsekuensinya ialah bahwa untuk menentukan suatu perbuatan dikehendaki oleh terdakwa, jadi perbuatan tersebut harus dibuktikan sesuai dengan motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin terdakwa.

2. Teori Pengetahuan (Voorstellings Theorie)

Menurut teori ini kesengajaan diterima sebagai pengetahuan, disini pembuktian lebih singkat karena hanya berhubungan dengan unsur-unsurnya perbuatan yang dilakukan saja. Tidak ada hubungan kausal antara motif dengan perbuatan, hanya berhubungan dengan pertanyaan yaitu kelakuan, maupun akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya.

Maka kalau kita menganut teori pengetahuan, konsekuensinya ialah bahwa untuk membuktikan adanya kesengajaan dapat menempuh dua jalan yaitu membunyikan adanya hubungan kausal dalam batin terdakwa antara motif dan tujuan, atau pembuktian adanya penginsyafan atau pengertian terhadap apa yang dilakukan berserta akibat dan keadaan-keadaan yang menyertainya, jadi mengenai kelakuan hanya ada dua kemungkinan, yaitu diinsyafi atau tidak diinsyafi.27

Tindak pidana pencurian termasuk jenis tindak pidana kesengajaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365 KUHP, berdasarkan dua teori tersebut.

Kesengajaan adalah tindak pidana yang dilakukan oleh subyek hukum yang ditentukan berdasarkan 3 (tiga) macam/bentuk/corak yaitu :

1. Kesengajaan dengan maksud (Dolus Directus) yaitu bahwa seseorang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja dimana perbuatan menjadi tujuan sesuai kehendaknya.

2. Kesengajaan dengan kepastian (Ofzet bijt zekerheids bewotzjin), yaitu bahwa seseorang melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan tertentu, dimana sangat disadarinya bahwa akibat lain, yang bukan menjadi akibat perbuatanya pasti akan timbul, terhadap akibat yang timbul 27


(28)

yang bukan merupakan tujuan dari perbuatanya dikatakan ada kesengajaan bagi kepastian.

3. Kesengajaan dengan kemungkinan (Dolus Eventualis), yaitu suatu perbuatan tertentu dengan tujuan tertentu dimana sangat disadarinya bahwa selain tujuannya tercapai, maka makin ada akibat yang dikehendakinya dapat terjadi.28

b. Kealpaan

Yaitu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang tidak ada dasar niat untuk melakukan kejahatan tetapi karena kecerobohan atau kurang hati-hatinya mengakibatkan terjadinya kejahatan, sebagai contoh pada Pasal 359 dan 360 KUHP yang berbunyi :

Pasal 359 KUHP

“Barangsiapa karena kealpaanya menyebabkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”

Pasal 360 KUHP

“Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana 5 tahun atau pidana kurungan paling lama 1 tahun.”

Menurut kedua pasal tersebut, kealpaan dapat diartikan bahwa seseorang tersebut kurang berhati-hati dalam melakukan suatu perbuatan yang objeknya kausal menimbulkan keadaan yang dilarang tanpa adanya unsur niat jahat.

Van Hammel menyatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu : 1. Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. 2. Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.

28


(29)

Berdasarkan dua syarat di atas, menunjukan bahwa dalam batin terdakwa kurang diperhatikan benda-benda yang dilindungi oleh hukum atau ditinjau dari sudut masyarakat bahwa dia kurang memperhatikan akan larangan-larangan yang berlaku dalam masyarakat.29

Apabila diperhatikan, maka untuk dapat dipidana seseorang tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan pidana saja akan tetapi, di samping itu pula orang tersebut harus ada kesalahan dan dapat dipertanggungjawabkan atau dapat bertanggung jawab, jadi dalam hal ini syarat utamanya adalah perbuatan tindak pidana.

B. Tujuan Pemidanaan dan Jenis-jenis Pidana 1. Tujuan Pemidanaan

Pertumbuhan pemikiran mengenai tujuan dan pemidanaan telah mendorong untuk menciptakan lembaga-lembaga pemidanaan. Lembaga-lembaga tersebut berupa lembaga penindak atau lembaga kebijaksanaan baru yang sebelumnya tidak ada dalam praktek pemidanaan. Agar lembaga-lembaga baru tersebut dapat dipergunakan secara syah menurut hukum maka lembaga-lembaga tersebut harus dituangkan terlebih dahulu dalam suatu perundang-undangan.

Pemidanaan adalah hukuman. Adapun hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk :

29


(30)

1. Perbuatan-perbuatan yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi berupa sanksi pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang disangka telah melanggar larangan tersebut.30

Pidana pada hakekatnya merupakan pengenaan penderitaan terhadap pembuat delik dimana pidana tersebut diharapkan mempunyai pengaruh terhadap orang yang dikenai pidana tersebut. Pidana ini baru dapat dirasakan secara nyata oleh terpidana ketika putusan hakim dilaksanakan secara efektif. Pemidanaan disini diharapkan agar terpidana tidak melakukan tindak pidana lagi. Dengan adanya pemidanaan, maka tujuan pemidanaan baru dapat tercapai.31

Pemikiran mengenai tujuan dari suatu pemidanaan yang dianut dewasa ini sebenarnya bukan suatu pemikiran baru, melainkan sedikit atau banyak telah mendapat pengaruh dan para penulis beberapa abad yang lalu. Pendapat ahli pemasyarakatan tentang dasar pembenaran dan suatu pemidanaan baik yang telah melihat pemidanaan itu semata-mata sebagai pemidanaan saja maupun yang dikaitkan dengan tujuan pemidanaan tersebut.

Tujuan pemidanaan yang ingin dicapai menurut Van Hamel bahwa suatu pidana dapat dibenarkan yaitu apabila pidana tersebut:

a. Tujuannya adalah untuk menegakkan tertib hukum. b. Diputuskan dalam batas-batas kebutuhan.

c. Dapat mencegah kemungkinan dilakukannya kejahatan lain oleh pelakunya.

d. Dijatuhkan berdasarkan suatu penelitian yang dituntaskan menurut

Criminele Aetleologiedan dengan menghormati kepentingan-kepentingan

yang sifatnya hakiki dari terpidana.32

30

Pipin Syarifin,Hukum Pidana di Indonesia, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 13

31

Pipin Syarifin,Op cit, hlm. 13

32


(31)

Adapun teori-teori tentang pidana dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok teori sebagai berikut :

1. Teori Absolut (Retributif)

Menurut teori ini, pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai salah saru pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan (quia peccatum set), dimana dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan. Menurut Johanes Andenaes, tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice) sedangkan pengaruh yang menguntungkan adalah sekunder.

2. Teori Relatif (Utilarian)

Menurut teori ini pidana bukan sekedar melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat dimana dasar pembenarannya adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (orang yang membuat kejahatan), melainkan “nee peccetur” (supaya orang tidak melakukan kejahatan), oleh karena itu menurut J. Andeneas, teori ini dapat disebut sebagai teori perlindungan masyarakat (the theory of social defence).

Mengenai tujuan pidana, untuk mencegah kejahatan dibedakan antara istilah prevensi umum dan prevensi khusus dimana prevensi umum dimaksudkan agar pengaruh pidana terhadap masyarakat umum untuk tidak melakukan tindak pidana, sedangkan prevensi khusus dimaksudkan agar pengaruh pidana terhadap terpidana itu sendiri. Ini berarti pidana bertujuan agar si terpidana berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat (rehabilitation theory).

Selain prevensi umum dan prevensi khusus, van Bemmelen memasukkan juga “daya untuk mengamankan” (debeveileigende werking) ke dalam teori ini. Dijelaskan bahwa merupakan kenyataan, khususnya pidana pencabutan kemerdekaan, lebih mengamankan masyarakat terhadap kejahatan selama penjahat tersebut berada di dalam penjara dari pada kalau ia berada dalam penjara.

3. Teori Gabungan (verenigings theorieen)

Menurut teori ini, tujuan pemidanaan bersifat plural karena menghubungkan prinsip tujuan dan prinsip pembalasan dalam satu kesatuan. Dalam hal ini pidana dan pemidanaan terdiri dari proses kegiatan terhadap pelaku tindak pidana, yang dengan suatu cara tertentu diharapkan dapat mengasimilasikan kembali narapidana ke masyarakat. Secara serentak, masyarakat menuntut agar kita memperlakukan individu tersebut juga dapat memuaskan permintaan atau kebutuhan pembalasan.


(32)

Selanjutnya diharapkan bahwa perlakuan tersebut dapat menunjang tujuan-tujuan.33

Menurut Konsep KUHP tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut :

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat

b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna

c. Menyelesaikan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

2. Jenis-jenis Pidana

Menurut Hukum Pidana positif (KUHP) dan di luar KUHP, jenis pidana menurut KUHP seperti terdapat dalam Pasal 10 KUHP, dibagi dalam dua jenis :

a. Pidana pokok, yaitu : 1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda

5. Pidana titipan (ditambah berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946)

b. Pidana tambahan, yaitu :

1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim.34

Selain jenis sanksi yang berupa pidana, dalam hukum pidana positif dikenal juga jenis sanksi yang berupa tindakan misalnya :

a. Penempatan di Rumah Sakit Jiwa bagi orang yang tidak dapat di pertanggungjawabkan karena jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit (Lihat Pasal 44 ayat (2) KUHP).

b. Bagi anak-anak yang belum berusia 16 tahun dan melakukan tindakan pidana,hak ini dapat mengenakan tindakan berupa (Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997).

33

A. Widiada Gunakarya,Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung, 1998, hlm. 72-74

34


(33)

(1) mengembalikannya kepada orangtuanya, walinya atau pemelihara atau (2) memerintahkan agar anak tersebut dimasukan dalam rumah

pendidikan negara yang penyelenggaraannya diatur dalam peraturan pendidikan paksa.

c. Tindakan tata tertib dalam hal tindak pidana ekonomi (Pasal 8 UU No. 7 Drt/1955) dapat berupa :

(2) penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampunan untuk waktu tertentu.

(3) pembayaran uang jaminan untuk waktu tertentu.

(4) pembayaran sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan.

(5) kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain.35

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 terhadap anak nakal dapat dijatuhkan pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan atau tindakan. Padal Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) dan ayat (3) diatur pidana pokok dan pidana tambahan bagi anak nakal sebagai berikut :

(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. pidana penjara;

b. pidana kurungan; c. pidana denda; atau e. pidana pengawasan.

(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

Berbeda dengan orang dewasa, sesuai Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997, pidana penjara bagi anak nakal lamanya ½ (satu per dua) dari ancaman pidana orang dewasa atau paling lama 10 (sepuluh) tahun. Kecuali itu, pidana mati dan penjara seumur hidup tidak dapat dijatuhkan kepada anak.36

35

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 18

36


(34)

Pasal 27 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 menjelaskan bahwa pidana kurungan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana kurungan bagi orang dewasa.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 dijelaskan pula bahwa untuk (1) Pidana denda yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum ancaman pidana denda bagi orang dewasa, dan (2) Apabila pidana denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata tidak dapat dibayar maka diganti dengan wajib latihan kerja.

Pengawasan yang dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana memiliki ketentuan sebagai berikut :

a. Lamanya, paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun. b. Pengawasan terhadap perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari di rumah

anak tersebut dilakukan oleh Jaksa.

c. Pemberian bimbingan dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan.37

C. Pengertian Tindak Pidana Pencurian

Pencurian dalam bentuknya yang pokok (bentuk pencurian biasa) diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Buku II Bab XXII. Dalam Pasal tersebut memuat batasan dan pengertian pencurian. Pasal 362 KUHP menyatakan : Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah.

37


(35)

Melihat dari rumusan pasal tersebut diketahui bahwa tindak pidana atau kejahatan pencurian merupakan delik formal dimana diancam hukuman atau larangan oleh Undang-Undang. Namun dalam penterjemahannya terdapat perbedaan antara beberapa ahli hukum dan para sarjana hukum yang mempergunakan istilah menguasai bukan memiliki.

Barang siapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk menguasai benda tersebut secara melawan hukum, karena salah telah melakukan pencurian, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun penjara atau denda setinggi-tingginya sembilan ratus rupiah.38

Perbedaan penterjemahan tentang kata memiliki dan menguasai tersebut tidak mengubah penetapan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap tindak pidana pencurian dan memberikan pengertian bahwa pencurian diartikan sebagai perbuatan mengambil milik orang lain dengan maksud memiliki secara melawan hukum. Selanjutnya terhadap pencurian kendaran bermotor dalam substansinya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak terdapat peraturan yang khusus mengaturnya. Tetapi dapat ditafsirkan sebagai tindak pidana pencurian, karena pencurian kendaraan bermotor memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam tindak pidana pencurian yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Selain hal tersebut di atas, pada Pasal 363 KUHP dimuat bahwa pencurian ternak, pencurian barang alam alam atau kelalaian, pencurian pada malam hari di rumah orang yang pemiliknya tidak menghendaki orang yang berhak, pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dan pencurian dengan melakukan kejahatan

38


(36)

dengan mengakali untuk bisa mencuri dan disertai dengan salah satu tersebut, ketiga, keempat atau kelima dikenakan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 365 KUHP menjelaskan bahwa pencurian yang disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman, kekerasan terhadap orang yang dimaksud mempersiapkan alat-alat untuk pencurian atau dalam hal tertangkap tangan untuk memungkinkan untuk melarikan diri untuk menguasai barang yang dicurinya dapat diancam dengan pidana paling lama dua belas tahun.

D. Pengertian Anak dan Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak 1. Pengertian Anak

Anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.

Pengertian anak pada saat ini belum ada persamaan pendapat, sampai umur berapa seorang anak disebut anak-anak, remaja dan dewasa. Masa kanak-kanak dibagi menjadi tiga tahap, yaitu masa bayi berumur 0 - 2 tahun, masa kanak-kanak pertama umur 2 - 5 tahun dan masa kanak-kanak terakhir yaitu umur 5 - 12 tahun. Pada masa bayi keadaan fisik seorang anak masih sangat lemah sehingga sangat tergantung kepada pemelihararan orang tuanya terutama dari seorang ibu.39

Pada masa kanak-kanak pertama, sifat anak sangat suka meniru apa yang dilakukan orang lain dan emosinya sangat tajam. Anak mulai mencari teman sebaya dan ia mulai berhubungan dengan orang di sekelilingnya dan mulai terbentuk pikiran tentang dirinya. Selanjutnya pada masa kanak-kanak terakhir, tahap ini terjadi pertumbuhan kecerdasan yang cepat, suka bekerja

39


(37)

lebih, suka bermain bersama dan berkumpul tanpa aturan, suka menolong, menyayangi, menguasai dan memerintah.40

Pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak menjelaskan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin, selanjutnya pada Pasal 1 Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa anak adalah orang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Berkaitan dengan batasan usia anak, pengaturan tentang anak dapat dilihat antara lain dalam :

1. Konferensi PBB

Pengertian anak, remaja dan dewasa di samping menyangkut perbedaan usia juga menyangkut perkembangan jiwa dan mental yang sangat berpengaruh terhadap perilaku si anak itu sendiri. Dalam konferensi PBB tentang Hak-hak Anak yang ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia Tanggal 26 Januari 1990 menetapkan batasan umur anak di bawah 18 tahun. Hak-hak anak dalam konferensi PBB itu antara lain : a. Memperoleh perlindungan dari bentuk diskriminasi dan hukuman. b. Memperoleh perlindungan dan perawatan seperti kesejahteraan,

keselamatan dan kesehatan.

c. Tuga negara untuk menghormati tanggung jawab, hak dan kewajiban orang tua dan keluarga.

d. Hak memperoleh kebangsaan, nama serta hak untuk mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya.

e. Hak memelihara jati diri termasuk kebangsaan, nama dan hubungan, keluarga dan hak-hak lain yang menyangkut seorang anak.

2. Pasal 45 KUHP

Pasal 45 KUHP mendefinisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun.

3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Usia anak diatur dalam Pasal 1 Butir (2) bahwa anak adalah seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. 40


(38)

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak

1) Batas umur anak-anak yang diajukan ke sidang anak, adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah.

2) Dalam hal anak dalam melakukan tindak pidana pada batas umur sebagaimana dimaksud ayat (1) dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampui batas umur tersebut tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetap diajukan ke sidang anak.

2. Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak

Pada dasarnya anak-anak melakukan suatu tindakan berdasarkan contoh yang ia lihat, baca maupun dengar. Jika contoh yang ia lihat, baca maupun dengar didominasi oleh contoh yang baik, maka seorang anak memiliki kecenderungan menjadi anak yang baik, namun sebaliknya jika contoh yang ia lihat, baca maupun dengar lebih didominasi oleh contoh-contoh yang tidak baik maka si anak memiliki kecenderungan menjadi anak nakal.41

Pasal 1 butir (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana;

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pengertian anak di atas mengandung pengertian bahwa anak yang melakukan tindak pidana perbuatannya tidak terbatas kepada perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan KUHP saja, melainkan juga melanggar peraturan-peraturan di luar KUHP, misalnya ketentuan pidana dalam Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan sebagainya.42

41

Gatot Supramono,Ibid, hlm. 4

42


(39)

Pendapat lain menjelaskan bahwa yang dimaksud anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana atau perbuatan yang terlarang bagi anak. Baik terlarang menurut perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat.43

Perbuatan terlarang bagi anak tersebut adalah baik yang menurut peraturan perundang-undangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini peraturan tersebut baik yang tertulis mapun tidak tertulis misalnya hukum adat atau aturan kesopanan dan kepantasan dalam masyarakat.44

Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa sesungguhnya tindak pidana hanyalah berbeda dalam hal siapa pelakunya, yaitu perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh seseorang, mungkin ia seorang dewasa ataukah seorang anak. Sehingga dapat dikatakan bahwa pelaku tindak pidana anak adalah seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang seharusnya bertanggung jawab terhadap tindak pidana atau kejahatan yang dilakukannya.

Pasal 23 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak jenis-jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak adalah sebagai berikut :

(1) Terhadap anak, maka pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal adalah pidana pokok dan pidana tambahan.

(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah : a. Pidana penjara;

b. Pidana kurungan; c. Pidana denda; atau d. Pidana pengawasan

(3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi.

43

Darwin Prinst,Op cit, hlm. 36

44


(40)

Berdasarkan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak disebutkan bahwa tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah:

a. Mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh;

b. Menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja; atau

c. Menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

Adanya suatu tindak pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan),

2. Diancam dengan pidana (stratbaar gesteld), 3. Melawan hukum (onrechtmatig),

4. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand),

5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar persoon).45

Berdasarkan unsur tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah berupa pidana penjara, pidana kurungan, pidana denda atau pidana pengawasan. Selain pidana pokok tersebut terhadap anak nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan, berupa perampasan barang-barang tertentu atau pembayaran ganti rugi.

E. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencurian

Unsur-unsur yang perlu diketahui sebagai dasar penentuan apakah perbuatan tersebut termasuk dalam tindak pidana pencurian seperti diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbagi atas dua unsur, yaitu unsur subjektif dan unsur objektif.

45

Soedarto, Hukum Pidana I,Yayasan Soedarto Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1990, hlm. 41


(41)

1. Unsur Objektif adalah : a. Perbuatan mengambil; b. Suatu benda;

c. Sebagian atau seluruhnya kepunyaan orang lain. 2. Unsur Subjektif adalah :

a. Maksud dari si pembuat;

b. Untuk menguasai atau memiliki benda; c. Secara melawan hukum.46

Setelah diketahui unsur-unsur dari perbuatan pencurian tersebut maka dapat ditinjau satu persatu dan menafsirkan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh undang-undang, pembentuk undang-undang-undang, yurisprudensi dan doktrin.

a. Maksud Mengambil

Perbuatan mengambil ditafsirkan sebagai memindahkan suatu benda dari kedudukannya atau tempatnya semula ke tempat yang lain dengan maksud untuk mengambil, menguasai dan memilikinya. Sejalan dengan perkembangan pengertian unsur benda yaitu benda berwujud dan benda tak berwujud maka bertambah luas tentang pengertian mengambil, tidak hanya dilakukan dengan cara demikian tetapi lebih luas lagi.

Pada umumnya dapat dikatakan bahwa suatu kejahatan pencurian telah selesai apabila si pelaku telah mengambil atau memindahkan suatu benda dari tempatnya semula ke tempat yang lain dengan maksud untuk menguasai ata memilikinya secara melawan hukum. Jadi apabila perbuatan tersebut hanya memegang, menyentuh atau mengulurkan tangan, tidak dapat dikatakan telah selesai melakukan perbuatan pencurian tetapi baru dapat dikatakan melakukan percobaan untuk mencuri. Demikian juga apabila perbuatan tersebut dilakukan tanpa maksud untuk memiliki atau menguasai atau tidak dilakukan secara melawan hukum, maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tindak pidana pencurian karena unsur-unsurnya tidak semua terpenuhi.

b. Benda

Unsur benda dalam tindak pidana atau kejahatan pencurian merupakan objek dari perbuatan. Dalam perbuatan pencurian, penjelasan Memori van Toelichting, pengertian benda adalah benda bergerak dan benda berwujud. Namun dalam perkembangannya, benda menjadi benda tidak bergerak dan benda tidak berwujud, contohnya pohon dan gas. Benda-benda tersebut seperti yang dimaksud di atas dimasukkan dalam pengertian benda, karena benda tersebut memiliki nilai ekonomis atau berharga bagi pemiliknya.47 Namun ada pula benda-benda yang tidak memiliki nilai ekonomis, dapat dijadikan objek dari kejahatan atau tindak pidana pencurian, contoh : 46

B. Bosu,Sendi-sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, 1982, hlm. 93

47


(42)

a) Kunci yang dipakai pelaku memasuki rumah orang lain.Hoge Raad25 Juli 1933, N.J. 1933 V/12651.

b) Sepucuk surat,Hoge Raad21 Februari 1938, No. 929. c. Kepunyaan Orang Lain

Kepunyaan orang lain mengandung pengertian bahwa benda tersebut seluruhnya kepunyaan orang lain atau sebagian kepunyaan orang lain. Kepunyaan menurut rumusan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diartikan sebagai milik. Seluruh milik orang lain berarti pelaku tidak ikut memiliki benda yang diambilnya, sedangkan sebagian milik orang lain berarti pelaku turut berhak atau turut memiliki benda yang diambilnya, contohnya harta warisan yang dapat menjadi sebagian milik orang lain dan sebagian milik seseorang.

Namun ada kalanya benda yang menjadi objek pencurian tidak diketahui secara jelas pemiliknya, seperti binatang liar yang hidup di hutan rimba, dan pengertian orang lain di sini juga tidak hanya pada pengertian orang atau manusia saja tetapi juga mengandung pengertian sebuah organisasi, badan hukum atau pemerintah. Jadi benda yang menjadi objek tindak pidana pencurian bisa juga merupakan milik sebuah organisasi atau pemerintah.

d. Maksud Untuk Memiliki

Unsur maksud dalam rumusan Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mempunyai makna atau arti sebagai opzet als oogmerk

yaitu perbuatan (mengambil milik orang lain) dilakukan dengan sengaja dengan maksud agar dapat memiliki atau menguasai benda tersebut. Pencurian yang dimaksud dalam Pasal 362 - 365 KUHP, dilakukan dengan sengaja.

Adapun bentuk kesengajaan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) yang berarti bahwa seseorang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja, dimana perbuatan menjadi tujuan sesuai dengan kehendaknya.

2. Kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij zakerheids) yang berarti bahwa seseorang melakukan perbuatan tertentu dengan tujuan tertentu, dimana sangat disadarinya bahwa akibat lain yang bukan menjadi akibat perbuatannya pasti akan timbul. Terhadap akibat yang timbul, yang bukan merupakan tujuan dari perbuatannya dikatakan ada kesengajaan sebagai kepastian.

3. Kesengajaan sebagai kemungkinan yaitu suatu perbuatan tertentu dengan tujuan tertentu, dimana sangat disadarinya bahwa selain tujuannya tercapai maka makin ada akibat yang dikehendakinya dapat terjadi.48

48


(43)

Bila dikaitkan dengan tindak pidana pencurian kendaraan bermotor, maka perbuatan pencurian tersebut dilakukan dengan kesengajaan sebagai maksud karena perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja dan perbuatan itu menjadi tujuan sesuai dengan kehendaknya.

e. Melawan Hukum

Sebagaimana diketahui bahwa dalam delik yang dirumuskan secara formil, maka yang dilarang dalam hal perbuatan adalah perbuatannya, dengan demikian dalam delik pencurian itu yang dilarang oleh undang-undang adalah perbuatan mengambil barang kepunyaan orang lain secara melawan hukum. Tindak pidana atau kejahatan pencurian merupakan delik formil, dimana unsur melawan hukum secara tegas dan jelas dinyatakan dalam undang-undang, maka unsur itu harus dibuktikan.

F. Teori Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana Tugas utama hakim adalah menjadi, yaitu serangkan tindakan penerima, memeriksa dan memutuskan perkiraan pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman RI.

Pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan, merupakan suatu usaha menggambarkan kembali proses peristiwa tersebut yang memerlukan bukti-bukti dan berdasarkan atas pemeriksaan dan penilaian oleh hakim, maka selanjutnya akan dapat menentukan apakah berdasarkan bukti-bukti yang ada adalah benar terjadi tindak pidana. Selanjutnya hakim memeriksa secara langsung atau dengan minta keterangan seorang ahli kepada terdakwa, apakah terdakwa dapat mempertanggungjawabkan. Apabila kedua hal tersebut telah dapat diketahui, akan dilihat dari keadaan pribadi terdakwa yang meliputi apakah terdapat pengulangan tindak pidana hal-hal memberatkan dan meringankan.


(44)

Pada hakekatnya dari seorang hakim diharapkan memberikan pertimbangan tentang salah tidaknya sesorang atau benar tidak peristiwa bersangkutan dan kemudian memberikan atau menentukan hukumnya.

Menurut Soedarto, konkretnya dalam mengadili suatu perkara hakim harus melakukan tiga tindakan :

1. Kalau diajukan kepada suatu peristiwa dalam suatu perkara, maka ia haruslah pertama-tama mengkonstatasi benar atau tidaknya peristiwa itu. Mengkonstatir berarti melihat, mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang diajukan tersebut. Untuk mendapatkan konstatasi yang objektif maka hakim harus menggunakan sarana-sarana yang dapat menunjang terbuktinya suatu kebenaran dari peristiwa yang ia yang ia terima dari kasus yang diadilinya.

2. Setelah hakim berhasil mengkonstatasikan pristiwa, tindakan hakim kemudian mengkualifikasikan peristiwanya. Mengkualifikasi berarti menilai peristiwa yang telah dianggap terbukti itu termasuk hubungan hukum apa atau yang mana, dengan perkataan lain menemukan hukum bagi pristiwa yang telah dikonstatasi.

3. Kemudian hakim mengkonstitusi atau memberikan konstitusi, ini berati bahwa hakim menentukan hukumnya, memberikan putusan-pusatan atau keadilan.49

Soedarto menjelaskan bahwa hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :

1. Keputusan mengenai pristiwanya, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya, dan kemudian

2. Keputusan mengenai hukumnya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tidankana pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat pidana, dan akhirnya

3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memeng dapat dipidana.50

Secara asumtif peranan hakim ditinjau dari Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 dalam proses peradilan pidana sebagai pihak yang memberikan pemidanaan dengan

49

Muladi,Op cit, hlm. 64

50


(45)

tidak mengabaikan hukum atau norma serta peraturan yang hidup dalam masyarakat, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 :

(1) Hakim Sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

(2) Dalam mempertimbangan berat ringannya pidana hakim wajib pula mempertimbangkan sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh.

Dipertegas lagi dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman RI, yang menyatakan :

(1) Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus membuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum yang tidak tertulis yang dijalankan dasar penggali.

Adanya Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman RI tersebut, maka kekebasan dalam mementukan jenis pidana (strafsoort), ukuran pidana atau berat ringannya pidana (strafsoort) dan cara pelaksanaan pidana (straf modus

atau staraf modalitet), juga mempunyai kebebasan menentukan hukum

(rechtspinding), terhadap yang tidak atur dalam undang-undang. Atau dengan kata lain hakim tidak hanya menetapkan tentang hukumnya tetapi hakim juga dapat menetukan (rechtsinding) dan akhirnya menerapkannya sebagai keputusan.

Mengenai waktu kapankah suatu hukuman dijatuhkan, erat sekali hubungannya dengan : Sifat dari perbuatan yang dilakukan (de aar ernest van het feit), pribadi maupun keadaan pribadi dari si terdakwa (Persoon end of persoonlijke omstandigheden van de verdachte) yang memberikan kesan bagi hakim mengenai keperibadian terdakwa dalam persidangan, baik sifat dari perbuatan maupun pribadi dari terdakwa, maka gabungan dari kedua-duanya tersebut diterima pula oleh jurisprudensi. Menurut A. Mulder maupun Oemar, dalam hal ini diperlukan suatu data yang berisi checking-point


(46)

(Control Punten) yang dapat merupakan suatu bantuan bermanfaat dalam memberikan hukuman, yang menunjukkan pada point maksimal tentang perbuatan dan perlakuaannya dan tiap-tiap kategori tindak pidana.51

Menurut Soedarto, pedoman pemberian pidana (straftoemetings-leidraad) ini akan memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa tertuduh telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya. Dalam daftar tersebut dimuat hal-hal yang bersifat obyektif yang menyangkut hal-hal yang diluar pembuat. Dengan memperhatikan butir-butir tersebut diharapkan menjatuhkan pidana lebih propisional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti yang dijatuhkan itu.52

Berdasarkan hal tersebut perlu ditetapkan suatu pedoman dan aturan pemberian pidana bagi hakim meberi keputusannya, di dalam kebebasanya sebagai hakim, ada juga batasnya yang ditetapkan secara objektif. Pedoman pemidanaan ini akan sangat membantu hakim dalam mempertimbangan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, sehinga akan memudahkan hakim dalam menetapkan takaran pemidanaan, dengan adanya pedoman pemidanaan diharpakan pidana yang dijatuhkan dapat lebih propisional yang dapat dipahami oleh masyarakat maupun ooleh terpidana sendiri, sehingga tidak akan mendatangkan perasaan tidak sreg (onbehaaglijk) bagai masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui betapa pentingnya peranan hakim dalam menjatuhkan suatu pidana atau putusan terhadap suatu perkara yang ditanganinya, hakim dituntu benar-benar memahami tuntutan dari jaksa yang diajukan dalam persidangan untuk benar-benar menegakkan keadilan sesuai dengan hukum. Keputusan hakim merupakan pertanggungjawaban hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menerima, memeriksa dan mengutus perkara yang dijatuhkan kepadanya, di mana pertanggungjawaban tersebut tidak hanya ditujukan pada

51

Oemar Seno Adji,Op cit, hlm. 8

52


(47)

hukumnya, dirinya sendiri ataupun kepada masyarakat luas, tetapi yang lebih penting bagi putusan itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Putusan pengadilan atau yang biasa disebut dengan putusan hakim sangat diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Dengan adanya putusan hakim diharapkan para pihak dalam perkara khususnya terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang statusnya sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain menerima putusan, melakukan upaya hukum banding, kasasi, grasi dan sebagainya.

Putusan pengadilan merupakan output suatu proses peradilan di sidang pengadilan yang meliputi proses pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa, pemeriksaan barang bukti. Ketika proses pembuktian dinyatakan selesai oleh hakim, tiba saatnya hakim mengambil keputusan.53

Pasal 1 butir 11 KUHAP menyatakan: Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Menurut Pasal 191 dan Pasal 193 KUHAP, ada 3 (tiga) bentuk putusan pengadilan, yaitu :

1. Putusan Bebas

Putusan bebas adalah putusan yang dijatuhkan hakim kepada terdakwa apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan yang didakwakan kepada

53

Muhammad Rusli,Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.115


(1)

Mulia, Marta, Ulan, Palupi, ayu. yang berada di Desa Sadar Sriwijaya Kecamatan Bandar Sribawono Kabupaten Lampung Timur;

17. Seluruh Teman-teman United Indonesia Chapter Lampung (UICL) yang telah memberikan pengalaman dan kebersamaan;

18. Almamater tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga;

Akhir kata, Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Desember 2012 Penulis


(2)

(3)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup... 6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual... 8

E. Sistematika Penulisan ... 19

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 21

B. Tujuan Pemidanaan dan Jenis-jenis Pidana ... 25

C. Pengertian Tindak Pidana Pencurian ... 30

D. Pengertian Anak dan Tindak Pidana yang Dilakukan Oleh Anak ... 32

E. Unsur-unsur Tindak Pidana Pencurian ... 36

F. Teori Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Pidana... 39

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah... 47

B. Sumber dan Jenis Data... 48

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 49

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 50

E. Analisa Data... 51

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 53

B. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Kelas I Tanjungkarang Nomor : 1083/Pid.B (A)/2011/PN.TK... 54

C. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Pencurian... 65

D. Faktor-faktor Penyebab Tindak Pidana Pencurian yang Dilakukan oleh Anak di Kota Bandar Lampung ... 75

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU

Arief, Barda Nawawi,Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,1992.

Bawengan, G.W., Masalah Kejahatan dengan Sebab dan Akibat, Pradya Paramitha, 1977.

Bosu, B.,Sendi-sendi Kriminologi, Usaha Nasional, Surabaya, 1982.

Dirdjosisworo, Soedjono, Doktrin-doktrin Kriminologi, Sinar Baru, Bandung, 1983.

Gunakarya, A. Widiada, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Armico, Bandung, 1998

Hamzah, Andi,Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

_____,Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi Revisi, 2004. Hanitijo, Ronny, Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, 1990.

Jonkers, Mr. J.E., Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987.

Kansil, C.S.T. dan Christine S.T. Tansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007.

Kusumah, Mulyana W.,Clipping Service Bidang Hukum,Majalah Gema, 1991. Lamintang, P.A.F. dan Djisman Samosir, Delik-delik Khusus Kejahatan yang

Ditujukan Terhadap Hak Milik, Tarsito, Bandung, 1981.

Marzuki, Peter Mahmud,Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, 2005. Moeljatno,Asas-asas Hukum Pidana, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2001.


(5)

Muhammad, Abdulkadir, Hukum dan Penelitian Hukum, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998.

Poernomo, Bambang, Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1982

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1976.

Projodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Repika Aditama, Bandung, 2003.

Prinst, Darwin,Hukum Anak Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.

✁✂ ✄☎✂ ✆✝✞ ✟✄☎✂☎✂ ✠✡✝✁☛ ✟✞✝☞ ✠P✌ ✍✌ ✎ ✏✑✒✓✑ ✔ ✏✕✖✗a✑ ✠✘✆✝✙ ✟✝✚☞✄✂ ☞ ✛✜ ✟✝✠ ✢✝ ✣✝✁☛✝ ✠✤✥ ✦✧ ★

Rusli, Muhammad, Hukum Acara Pidana Kontemporer, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007.

Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, PT. Aksara Baru, Jakarta, 1983.

Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.

Soeaidy, Sholeh & Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta, 2003.

Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 1990.

Soekanto, Soerjono,Penanggulangan Kejahatan, Rajawali Pers, Jakarta, 1984. Soesilo, R., KUHP Serta Komentar-nya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia,

Sukabumi, 1988.

Soetodjo, Wagiati,Hukum Pidana Anak, PT Refika Aditama Bandung, 2006. Supramono, Gatot,Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 1998. Susanto, Anthon F. dan Salman Otje,Teori Hukum, Bandung, Refika Aditama, 2004. Syarifin, Pipin,Hukum Pidana di Indonesia, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2000. Tongat, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,


(6)

Waluyo, Bambang,Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.

Widiyanti, Ninik, Perkembangan Kejahatan dan Masalahnya Ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1987.

B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentangPemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentangPeradilan Anak. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentangPerlindungan Anak.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentangKejaksaan RI.