FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KURANG OPTIMALNYA DEMOKRATISASI DALAM PENYUSUNAN PERATURAN KAMPUNG TENTANG ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KAMPUNG (APBK) TAHUN 2011 (Studi Kasus di Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way kanan)

(1)

ABSTRACT

FACTORS CAUSING THE LESS OPTIMALIZATION OF DEMOCRATISATION IN MAKING OF VILLAGE REGULATION ABOUT VILLAGE BUDGET (APBK) IN

2011

(Case Study In Sidoarjo village Blambangan Umpu Sub-District Way Kanan Regency)

Oleh

ANDRI RIFKIANSYAH

Democracy is a system of government which was held from the people, by the people and for the people. Democratic system of government and the supreme power in the hands of the people. Democratization in Indonesia starting from the village level or genuine autonomy. The implementation of democracy in the implementation of village government can be seen from the implementation in making the village regulation involving village government, BPK and the community.

One of the village regulations made in Sidoarjo village is village Regulation of Budget Village in 2011, as a form of implementation of democratization principles in village level. But the reality is that some sources state that in 2011 APBK preparation process that occurs in the process of governance in the village of Sidoarjo allegedly does not optimal yet in applying the principles of democratization. Less optimalization of democratization due to the lack of people participation and there are many public figures who are not involved in the preparation of APBK. What Factors Indicate the Less Optimalization of Democratization in Developing village regulation About APBK in 2011 in Sidoarjo village Blambangan Umpu Sub-District Way Kanan Regency?


(2)

Democratization in making of village regulation About APBK in 2011 in Sidoarjo village Blambangan Umpu Sub-District Way Kanan Regency. The method used in this research is descriptive qualitative research method. Overall data in this study was obtained through in-depth interviews and documentation.

The results of this study showed that the factors that cause the less optimalization of democratization in making of APBK in Sidoarjo village due to the lack of participation of the community besides that there is a poor cooperation or coordination between the village government and BPH also the heads of villages resulted many people who were not involved in the discussion. Besides the lack of participation and last control from public cause the discussion was dominated by the village government and BPK.


(3)

ABSTRAK

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KURANG OPTIMALNYA DEMOKRATISASI DALAM PENYUSUNAN PERATURAN KAMPUNG TENTANG ANGGARAN

PENDAPATAN DAN BELANJA KAMPUNG (APBK) TAHUN 2011

(Studi Kasus di Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way kanan)

Oleh

ANDRI RIFKIANSYAH

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sistem pemerintahan demokrasi dan kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Demokratisasi di indonesia dimulai dari tingkat kampung atau otonomi asli.Demokratisasi yang terjadi di kampung membutuhkan partisipasi yang harus dimulai dengan masyarakat sebagai manusia yang memiliki aspirasi dan paling mengetahui tentang kebutuhannya.

Terselenggaranya demokratisasi dalam pelaksanaan pemerintahan kampung dapat dilihat dari pelaksanaan penyusunan peraturan kampung yang melibatkan pemerintah kampung, BPK serta masyarakat.Salah satu Peraturan Kampung yang dibuat di Kampung Sidoarjo adalah Peraturan Kampung tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung Tahun 2011, sebagai wujud pelaksanaan prinsip-prinsip Demokratisasi ditingkat kampung.Akan tetapi Realitasnya beberapa sumber menyatakan bahwa proses penyusunan APBK tahun 2011 yang terjadi dalam proses pemerintahan di Kampung Sidoarjo diduga belum optimal dalam menerapkan prinsip-prinsip demokratisasi. Kurang optimalnya demokratisasi dikarenakan kurangnya partisipasi masyarakat serta masih banyaknya tokoh masyarakat yang tidak dilibatkan dalam penyusunan APBK.Faktor-Faktor Apakah yang MenunjukanDemokratisasi


(4)

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalahuntuk mengetahui Faktor-Faktor Penyebab Demokratisasi Kurang Optimal dalam Penyusunan Peraturan Kampung Tentang APBK Tahun 2011 di Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way kanan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Keseluruhan data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara mendalam dan dokumentasi.

Hasil penelitian ini menujukkan bahwa faktor-faktor penyebab kurang optimalnya demokratisasi penyusunan APBK di Kampung Sidoarjo dikarenakan kurangnya partisipasi dari masyarakat selain itu masih buruknya kerjasama atau koordinasi antara pemerintah kampung dan BPK serta kepala dusun mengakibatkan banyak masyarakat yang tidak terlibat dalam musyawarah. Selain itu tidak adanya partisipasi dan kontrol akhir dari masyarakat menyebabkan musyawarah lebih didominasi oleh pemerintah kampung dan BPK.


(5)

(6)

(7)

(8)

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 12 Oktober 1990. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara, putra pasangan Bpk Rusdi dan Ibu Elfiksa Nur’aini.

Jenjang pendidikan penulis diawali pada tahun 1995, dimana penulis “bermain sambil belajar” di TK Pertiwi Teluk Betung Bandar Lampung. Kemudian dilanjutkan dengan Sekolah Dasar di SD Negeri 2 Palapa Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2002. Penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama di SMP Kartika II-2 Bandar Lampung dan lulus pada tahun 2005. Selanjutnya, penulis mengenyam pendidikan tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 4 Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2008.

Pendidikan dilanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dengan mengikuti Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SMPTN pada tahun 2008, dan diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Lampung.


(10)

Moto

Cara untuk menjadi di depan adalah memulai sekarang. Jika memulai sekarang,

tahun depan Anda akan tahu banyak hal yang sekarang tidak diketahui, dan

Anda tak akan mengetahui masa depan jika Anda menunggu-nunggu.

(William Feather)

Jangan membuang-buang waktu dengan bermalas-malasan

Jangan menunda-nunda suatu pekerjaan yang seharusnya dapat dikerjakan

Karena dengan menyianyiakan waktu

kita satu langkah tertinggal dari orang lain

aktibatnya hanyalah sebuah penyesalan yang akan menanti

( penulis)


(11)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah,

Tiada kata lain selain syukur alhamdulillah kuucapkan kehadirat Allah SWT yang Maha Agung dan Maha Segalanya. Semoga Allah meridhoi

dan memberkahi karya sederhana ku ini..

Saya persembahkan karya ini kepada orang–orang yang saya sayangi dan menyayangiku..

Kedua orang tuaku

Untuk kedua orang tuaku yang sudah membesarkan dan mendidik saya serta yang selalu sabar menghadapi sikap dan tingkah laku saya. Karya ini khusus saya persembahkan buat Ibu dan Bapak yang sangat saya sayangi yang tidak pernah bosan memberi saran dan semangat buat

menjalani hidup yang sebenarnya.

Untuk kakak dan adik saya yang saya sayangi terima kasih atas motivasi dan perhatiannya..

Untuk teman dan sahabat-sahabat saya, terima kasih untuk semuanya, semangat, kebahagian, kebersamaan maupun kesedihan yang pernah


(12)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah SWT, Sang Khalik Yang Maha Penyayang, Maha Menguasai Ilmu Pengetahuan dan Maha Adil Bijaksana yang telah memberikan nikmat, berkat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tumpukan kertas yang berisi tulisan penuh arti ini. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada nabi besar Muhammad SAW, para sahabat, keluarga serta pengikutnya hingga akhir zaman.

Penulisan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor Penyebab Kurang Optimalnya Demokratisasi Dalam Penyusunan Peraturan Kampung Tentang Anggaran

Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK) Sidoarjo Tahun 2011” ini merupakan

salah satu syarat dalam rangka mencapai gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan pada jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, Universitas Lampung. Segala kemampuan telah pernulis curahkan untuk menyelesaikan skripsi ini, namun tidak menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan, baik yang menyangkut isi maupun tulisannya. Untuk itu segala kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis juga menyadari, bahwa tanpa bantuan dan dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak dalam hal materiil maupun spiritual, penulisan skripsi ini tidak akan


(13)

1. Bapak Drs. Agus Hadiawan, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

2. Bapak Drs. Denden Kurnia Drajat, M.Si. selaku Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

3. Bapak Drs. Ismono Hadi, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan, masukan dan motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi inidan selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu bersedia membimbing dan memberikan semangat.

4. Bapak Darmawan Purba, S.IP, M.IP. selaku Dosen Pembimbing kedua yang telah bersedia meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan, masukan dan motivasi kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

5. Bapak Drs. Aman Toto Dwijono, M.H selaku Dosen Pembahas penulis yang telah bersedia untuk membimbing dan memberikan arahan, masukan, semangat akan kehidupan serta saran kepada penulis.

6. Seluruh jajaran Dosen di FISIP UNILA, seluruh staff Tata Usaha dan pegawai di FISIP dan Jurusan Ilmu Pemerintahan.

7. Aparat Pemerintah Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan, terima kasih atas informasi dan bantuannya.

8. Masyarakat Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan, selaku informan yang telah memberikan informasi dan bantuannya.


(14)

untukku. Kalian selalu mengajarkan kesabaran kepadaku, mengajarkan arti perjuangan tanpa melupakan Sang Pencipta, terimakasih atas tetesan keringat yang kalian curahkan.

10.Buat kakak-kakak dan adik yang saya cintai, Risa Aprilia, Refie Yuvita dan Rizky Rahmat Putra. Terima kasih atas semangat, tawa, tangis, dan pertengkaran kecil yang membuatku bersyukur memiliki saudara kandung seperti kalian.

11.Putri Amallia, terima kasih udah membantu, memberikan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Thank you so much migo.

12.Teman-teman yang seperti saudara, Riksa, Bukit, Suhada, Adit, Ardi, Andrianto, Andi, Iwan, Hadi, Doyok, Ridhal.

13.Teman-teman Pemerintahan 08 yang telah banyak membantu, Andri M, Hendra, Tomi, Ikshan, Suhada, Zulyandra, Agung, Reni dan semua teman-teman jurusan pemerintahan khususnya angkatan 2008.

Demikianlah kata pengantar ini disusun. Semoga Karya ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Mohon maaf atas semua kekurangannya dan semoga skripsi ini dapat digunakan sebagai referensi tambahan oleh berbagai pihak, selamat membaca dan terimakasih.

Bandar Lampung, Juni 2014 Penulis,


(15)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 9

C.Tujuan Penelitian ... 10

D.Manfaat Penelitian ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A.Demokratisasi ... 11

1. Demokrasi ... 14

2. Prinsip dan Nilai-Nilai demokrasi ... 16

B.Kampung ... 17

1. Pemerintahan Kampung ... 20

2. Pemerintah Kampung ... 22

3. Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) ... 24

C.Peraturan Kampung ... 27

D.Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK) ... 29

E. Otonomi Desa/Kampung atau Otonomi Asli ... 31

F. Demokrasi Kampung ... 32

1. Musyawarah ... 34

2. Partisipasi Masyarakat ... 36

3. Kerja Sama ... 39

4. Kontrol Akhir ... 40

G.Kerangka Pikir ... 41

III. METODE PENELITIAN A.Tipe Penelitian ... 47

B.Fokus Penelitian ... 49

C.Lokasi Penelitian ... 54

D.Jenis Data ... 54

1. Data Primer ... 54

2. Data Skunder ... 55

E. Penentuan Informan ... 55

F. Teknik Pengumpulan Data ... 57


(16)

2. Interpretasi Data ... 59

H.Tekhnik Analisis Data ... 60

1. Reduksi Data ... 60

2. Penyajian Data (Display Data) ... 61

3. Penarikan Kesimpulan (Verifikasi) ... 62

IV. GAMBARAN UMUM A.Sejarah Singkat Kampung Sidoarjo ... 63

B.Letak Wilayah Kampung ... 64

C.Luas Wilayah ... 64

D.Kependudukan ... 65

E. Mata Pencarian penduduk ... 67

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Faktor Penyebab Kurang Optimalnya Demokratisasi Berdasarkan Musyawarah Dalam Penyusunan Peraturan Kampung Tentang APBK Di Kampung Sidoarjo ... 68

B. Faktor Penyebab Kurang Optimalnya Demokratisasi Berdasarkan Partisipasi Dalam Penyusunan Peraturan Kampung Tentang APBK Di Kampung Sidoarjo ... 84

C. Faktor Penyebab Kurang Optimalnya Demokratisasi Berdasarkan Kerjasama Dalam Penyusunan Peraturan Kampung Tentang APBK Di Kampung Sidoarjo ... 101

D. Faktor Penyebab Kurang Optimalnya Demokratisasi Berdasarkan Kontrol Akhir Dalam Penyusunan Peraturan Kampung Tentang APBK Di Kampung Sidoarjo ... 112

VI. SIMPULAN DAN SARAN A.Simpulan ... 121

B.Saran ... 122 DAFTAR PUSTAKA


(17)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 65 Tabel 2 Jumlah Penduduk Kampung Berdasarkan Agama ... 66 Tabel 3 Mata Pencarian Penduduk Berdasarkan Jenis Usia ... 67 Tabel 4 Pengolahan Data Ada Atau Tidaknya Musyawarah Dalam

Penyusunan Peraturan Kampung Tentang APBK Tahun 2011 di kampung Sidoarjo ... 79 Tabel 5 Pengolahan Data Partisipasi Dalam Penyusunan Peraturan

Kampung Tentang APBK Tahun 2011 di Kampung Sidoarjo ... 93


(18)

DAFTAR GAMBAR


(19)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pasca runtuhnya orde baru akibat tuntutan reformasi membawa dampak pada perubahan di berbagai segi kehidupan, terutama pada nilai demokrasi. Kehidupan demokrasi dianggap ideal karena demokrasi itu sendiri mengutamakan kedaulatan rakyat, dikarenakan lebih dekatnya hubungan rakyat dengan pemerintah

Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang diselenggarakan “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Sistem pemerintahan demokrasi dan kedaulatan (kekuasaan tertinggi) berada ditangan rakyat. Menurut Tahmid (2004:15) “pemerintah yang berpegang pada demokrasi berarti pemerintah dipegang oleh rakyat atau setidak-tidaknya mengikut sertakan dalam pembuatan suatu keputusan politik atau pemerintahan”. Noer Arfani (1996:13) berpendapatan bahwa, “demokratisasi bisa dilihat sebagai proses atau upaya penciptaan lembaga-lembaga yang beroperasi dengan prinsip-prinsip demokrasi dan lembaga-lembaga yang menciptakan dan melangsungkan ciri-ciri demokratis suatu masyarakat”. Demokrasi dilihat sebagai pemberian kekuasaan secara adil diantara anggota masyarakat serta


(20)

memberikan hak yang sama bagi warga negara untuk terlibat dalam pembuatan keputusan atau kebijakan.

Demokrasi yang berlangsung di Indonesia melahirkan perubahan sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi, karena pada masa pemerintahan orde baru pemerintah memainkan peran tunggal dalam perencanaan pembangunan, yang dalam proses perencanaannya lebih ditentukan dari atas atau sentralisasi. Pada era pasca orde baru ini, gerakan reformasi ke arah demokratisasi salah satunya lebih ditekankan pada perubahan sistem pemerintahan sentralisasi menjadi sistem pemerintahan desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengurus rumah tangga pemerintahannya sendiri. Munculnya sistem pemerintahan desentralisasi tersebut lahirlah sebuah kebijakan baru yaitu otonomi daerah, otonomi daerah juga merupakan sebuah bentuk implementasi dari konsep demokratisasi.

Lahirnya kebijakan otonomi daerah kemudian diimplementasikan melalui UU No. 22 Tahun 1999 dan digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU No. 32 Tahun 2004 pasal 1 ayat 5 memberi pengertian bahwa Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Adanya Undang-Undang yang mengatur tentang otonomi daerah, jalannya pemerintahan daerah harus sesuai dengan undang-undang tentang


(21)

otonomi daerah yang mengarah kepada upaya mempercepat perwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, peran masyarakat, serta daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi. Prinsip demokrasi diantaranya pemerataan, keadilan, dan keistimewaan daerah. Untuk mewujudkan kesejahteraan itu, nilai-nilai dalam otonomi daerah yang harus dikembangkan adalah: partisipasi, transparansi, dan akuntabilitis dalam penyelenggaraan negara oleh pemerintahan. Nilai-nilai dalam otonomi tersebut merupakan unsur-unsur dari penyelenggaraan demokratisasi.

Proses demokrasi dalam otonomi daerah terlihat bergerak mulai dari pemerintah pusat kepada daerah dan dari pemerintah daerah kepada pemerintah desa dengan menyerahkan segala urusannya sesuai dengan aspirasi dan keinginan masyarakat setempat. Hal ini dapat dikatakan bahwa daerah memberikan wewenang kepada desa untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat setempat sesuai asal-usul dan adat istiadat setempat atau yang disebut dengan otonomi asli atau otonomi desa.

Menurut penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa menjelaskan bahwa otonomi asli atau otonomi desa, memiliki makna bahwa :

“Otonomi asli adalah kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif adiminstrasi pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan zaman”. (penjelasan umum Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa)


(22)

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa desa memiliki wewenang untuk menjalankan penyelenggaraanya pemerintahan desanya sendiri sesuai dengan adat istiadat setempat. Berdasarkan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah disebutkan penjelasan tentang desa sebagai berikut :

“Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Republik Indonesia”. (UU No 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 12)

Demokratisasi yang terjadi di desa membutuhkan partisipasi yang harus dimulai dengan masyarakat sebagai manusia yang memiliki aspirasi dan paling mengetahui tentang kebutuhannya. Masyarakat desa sebagai alat dalam arah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah desa untuk pembangunan desa. Pada hakikatnya rumusan otonomi daerah tidak lain merupakan refleksi dari perwujudan perubahan sosial yang terjadi. Pemberdayaan masyarakat daerah atau masyarakat lokal khususnya untuk menemukan sumber daya maupun potensi yang mereka miliki berdasarkan inisiatif bersama dan aspirasi yang masyarakat butuhkan dan partisipasi yang masyarakat lakukan.

Demokrasi desa memberi peluang terhadap pengelolaan konflik secara efektif melalui menejemen konflik, yaitu penyelesaian masalah secara musyawarah mufakat dan melembaga. Selain itu sistem demokrasi desa yang dijalankan secara baik dapat mendorong pelayanan publik yang lebih baik, transpran, tidak dipersulit, akuntabel dan lain sebagainya yang dapat menguntungkan


(23)

masyarakat, karena adanya kontrol yang secara efektif dari masyarakat terhadap pemerintah desa. Menurut Djaenuri (2003:43) menyatakan Pemerintah desa mempunyai kedudukan sebagai sub sistem penyelenggaran pemerintah di Indonesia sehingga desa memiliki kewenangan, tugas dan kewajiban untuk mengatur serta mengurusi kepentingan masyarakat.

Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah ditegaskan bahwa landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa maka dibentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa bersangkutan.

Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berfungsi sebagai lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, seperti pembuatan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa (Perdes), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai lembaga permusyawaratan warga masyarakat di desa mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. “Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja Pemerintahan Desa diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang mengawasi jalannya Pemerintahan Desa”. (Widjaja 2003:165).


(24)

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa menyebutkan bahwa Badan Pemusyawaratan Desa (BPD) merupakan tempat untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan pancasila dan berkedudukan sejajar dengan pemerintah. BPD memiliki fungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa menampung dan menyalurkan aspirasi wasyarakat serta mengawasi pelaksanaan peraturan desa.

Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa tidak mengatur secara rinci mengenai pemberian nama desa. Peraturan pemerintah tetap mengacu pada UUD 1945 pasal 18, yakni pengaturan tetap dikembalikan kepada daerah masing-masing asal tidak menghambat pembangunan dan tidak bertentangan dengan peraturan di atas. Penyebutan nama desa, daerah memiliki wewenang untuk memberi penyebutan nama desa sesuai dengan adat dan istiadat serta kebiasaan masyarakat setampat. Dalam hal ini Kabupaten Way Kanan telah merubah sistem dan bentuk pemerintahan terendah di Kabupaten Way Kanan dengan penyebutan nama kampung atau disebut dengan Pemerintahan Kampung.

Penyelenggaraan pemerintahan kampung harus tetap berpegang pada prinsip-prinsip demokrasi, Eko (2004:278-279) berpendapat bahwa :

“Teori tentang prinsip-prinsip demokrasi, yang dilaksanakan dalam sistem pemerintahan desa, yaitu demokrasi yang berhubungan dengan pengelolaan kebijakan atau regulasi desa, kepemimpinan dan penyelenggaraan pemerintah desa, serta partisipasi masyarakat dalam pemerintahan desa dan pembangunan.”

Pelaksanaan prinsip-prinsip demokrasi dapat dijadikan tolak ukur bahwa demokrasi sudah dilaksanakan dalam penyelenggaran pemerintah kampung.


(25)

Refleksi nilai-nilai demokrasi dapat dilihat dari kultur masyarakat pedesaan di Indonesia yaitu sifat gotong royong, atau cara-cara kekeluargaan mengurus persekutuan hidup termasuk mengurus pemerintahan kampung.

Terselenggaranya demokratisasi dalam pemerintahan kampung dapat dilihat dari pelaksanaan penyusunan peraturan kampung yang melibatkan Badan Permusyawaratan Kampung dan pemerintah kampung serta masyarakat. Seperti halnya diungkapkan oleh Tahmid (2004:50) “bahwa yang terpenting dalam demokrasi adalah proses dan hubungan rakyat secara subtantif, namun yang lebih penting dalam proses politik sehari-hari yang melibatkan bagaimana hubungan antara pemerintah desa, BPD dan masyarakat”.

Peraturan Kampung (Perkam) merupakan dasar hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan di kampung, pembentukannya harus di susun oleh pemerintah desa dengan melibatkan lembaga legislatif di tingkat kampung yaitu BPK (Badan Perwakilan Kampung dan sekarang disebut Badan Permusyawaratan Kampung) dan melibatkan masyarakat. Peraturan Kampung merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat. Peraturan Kampung (Perkam) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pembentukan Peraturan Kampung (Perkam) yang demokratis hanya akan terjadi apabila didukung oleh pemerintahan kampung yang baik dan sebaliknya pemerintahan yang baik akan di perkuat dengan Peraturan Kampung (Perkam) yang demokratis. Pembentukan Peraturan Kampung


(26)

(Perkam) dibuat karena peraturan kampung bisa menjadi pedoman dan acuan dalam penyelenggaraan pemerintah kampung, serta meminimalisir kekuasaan dominan dari satu pihak, baik itu kepala desa maupun Badan Permusyawaratan Kampung (BPK), terlebih lagi peraturan kampung tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK) yang rentan konflik karena berkaitan dengan masalah keuangan desa.

Salah satu Peraturan Kampung (Perkam) yang dibuat di Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan adalah Peraturan Kampung (Perkam) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK), sebagai wujud pelaksanaan demokrasi ditingkat kampung. Menurut Ndraha (1990:8) “demokratisasi di desa terlaksana, jika desa tersebut memiliki hak otonom untuk melakukan tindakan-tindakan hukum. Salah satu tindakan hukumnya yaitu Peraturan Kampung (Perkam) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK)”.

Realitasnya beberapa sumber menyatakan bahwa proses penyusunan APBK tahun 2011 yang terjadi dalam proses pemerintahan di Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan diduga belum optimal dalam menerapkan prinsip-prinsip demokratisasi. Seperti yang diungkapkan Imawan (2000:65) bahwa prinsip-prinsip demokrasi yang dikehendaki oleh rakyat yaitu Demokrasi yang deliberatif (Mengutamakan musyawarah), Substantif (Mengena ke akar permasalahan), Partisipatif (Melibatkan seluruh rakyat). Selain itu Sutoro Eko (2003:23) berpendapat bahwa pemerintahan desa yang demokratis membutuhkan sebuah ruang publik melalui


(27)

dialog-dialog (musyawarah). Sedangkan yang terjadi di Kampung Sidoarjo belum menunjukkan prinsip-prinsip demokratisasi karena kurangnya partisipasi masyarakat dalam musyawarah pembuatan peraturan kampung. Contohnya : seperti pernyataan kepala kampung bahwa masih kurangnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan Peraturan Kampung tentang APBK, selain itu sumber informasi lain dari tokoh masyarakat menyatakan bahwa masyarakat tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakan desa khususnya proses penyusunan Peraturan Kampung tentang APBK tahun 2011di kampung sidoarjo. (sumber: wawancara Pra riset dengan Kepala kampung dan tokoh masyarakat di Kampung Sidoarjo kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan, 25 Juni 2012)

Berdasarkan wawancara (pra riset) penelitian dan uraian latar belakang di atas peneliti tertarik untuk meneliti lebih dalam mengenai faktor-faktor penyebab kurang optimalnya demokratisasi dalam penyusunan Peraturan Kampung tentang Anggaran dan Belanja Kampung (APBK) di Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini akan mencari faktor-faktor penyebab dengan mengacu pada prinsip-prinsip demokratisasi adalah: “ Faktor-Faktor Penyebab Kurang Optimalnya Demokratisasi Dalam Penyusunan Peraturan Kampung (Perkam) Tentang


(28)

APBK Tahun 2011 di Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan? ”

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Faktor-Faktor Penyebab Kurang Optimalnya Demokratisasi dalam Penyusunan Peraturan Kampung (Perkam) Tentang APBK Tahun 2011 di Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah:

1. Secara akademis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah kajian bidang pemerintahan khususnya terkait pelaksanaan Demokratisasi dalam Penyusunan Peraturan Kampung (Perkam) Tentang APBK di Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan masukan bagi Pemerintah Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan dalam konteks pelaksanaan demokratisasi dalam penyusunan peraturan kampung yang demokratis, dan sebagai pelengkap bagi proses penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pokok kajian penelitian ini.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Demokratisasi

Demokratisasi menurut Imawan (dalam Syamsuddin haris 2007:43-44) adalah proses perubahan dari struktur dan tatanan pemerintahan yang otoriter kearah struktur dan tatanan yang demokratis. Demokratisasi merupakan proses dilakukannya diversifikasi kekuasaan untuk meniadakan kesenjangan hak-hak politik warga negara serta memperluas hak warga negara untuk bersuara dan berpendapat. Dengan demikian prinsip “setiap keputusan harus dibicarakan bersama dengan pelaksanaan atas keputusan itu didesentralisasikan” menjadi elemen penting dalam dalam proses demokratisasi.

Menurut Sadikin (1995:62) demokratisasi adalah suatu proses menuju suatu kehidupan kenegaraan yang demokratis. Sedangkan menurut Sidney Hook dalam

Acyclopedia Americana (Warsito at.al, 2003:75) mendefinisikan demokratisasi adalah pendistribusian kekuasaan pemerintah dimana kekuasaan tidak lagi berpusat kepada tangan esekutif (Presiden, Bupati, Kepala Desa), tetapi juga dibagi kepada legislatif (DPR, DPRD, DPD atau BPD).


(30)

Demokrasi secara klasik bermakna pemerintah dari, oleh dan untuk rakyat. Sebagai suatu konsep mengenai bentuk pemerintahan disuatu negara, demokrasi dapat dikatakan sebagai konsep yang sangat populer, bahkan telah dipandang sebagai jalan yang paling mungkin untuk menciptakan suatu tatanan yang menjadikan keadilan.

Demokratisasi harus dimulai dengan pemberdayaan politik rakyat. Dalam proses ini semua unsur masyarakat harus dilibatkan tanpa mengenal golongan manapun, dan terpenting masyarakat harus memulai untuk berdemokrasi. Dalam memahami demokratisasi desa hendaknya tidak terjebak pada seremonial, prosedur dan lembaga yang tanpa pada permukaan. Prosedur dan lembaga memang sangat penting namun yang lebih penting lagi dalam demokrasi adalah proses dan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.

Robert A Dahl (1985:10-11) dalam bukunya “Dilema Demokrasi Pluralis antara Otonomi dan Kontrol” memberikan lima kriteria dalam proses demokratisasi yang ideal yaitu:

1. Persamaan hak pilih

Dalam pembuatan keputusan kolektif yang mengikat, hak-hak istimewa dari setiap warga seharusnya diperhatikan secara berimbang dalam menentukan keputusan terakhir.

2. Partisipasi efektif

Dalam seluruh proses pembuatan keputusan secara kolektif, termasuk tahap pembuatan agenda kerja, setiap warga Negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan menandai untuk menyatakan hak-hak istimewa dalam rangka mewujudkan kesimpulan akhir.

3. Pembeberan kebenaran

Dalam waktu yang diinginkan karena keperluan untuk suatu keputusan, setiap warga harus mempunyai peluang yang sama dan memadai untuk melakukan penilaian yang logis demi mencapai hasil yang diinginkan.


(31)

4. Kontrol terakhir terhadap agenda

Masyarakat harus mempunyai kekuasaan eksklusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus atau tidak harus diputuskan melalui proses-proses yang memenuhi ketiga kriteria yang disebut pertama. Dengan cara lain tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrol terhadap agenda dan mendelegasikan kekuasaan dan mendelegasikan wewenang kekuasaan kepada orang-orang lain yang mungkin dapat membuat keputusan-keputusan lewat proses non demokratis.

5. Pencakupan

Masyarakat harus meliputi semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum.

Kaidah-kaidah demokratisasi menurut Kuntowijoyo (1997:91) yang didasarkan pada prespektif Islam, yaitu :

1. Ta’aruf (saling mengenal) 2. Syura (musyawarah) 3. Ta’wan (kerjasama)

4. Maslahah (menguntungkan) 5. „Adi (adil)

Berdasarkan kaidah-kaidah demokratisasi menurut Kuntowijoyo dalam prespektif islam, point kedua dan ketigalah yang paling sesuai dalam penerapan demokratisasi di tingkat desa yaitu syura dan ta‟wan, karena konsep syura menghendaki agar umat Islam lebih mendahulukan kepentingan khalayak, daripada kepentingan individu, dimana penyelesaian semua persoalan diselesaikan melalui musyawarah, sedangkan konsep ta‟wan atau kerja sama menghendaki adanya kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat untuk menjalankan suatu pemerintahan. Kedua konsep itu sama seperti mekanisme dasar yang terdapat dalam konsep demokrasi.


(32)

Pengertian demokratisasi tersebut di atas dapat dijadikan tolak ukur terselenggara atau tidaknya penerapan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintah desa. Berdasarkan uraian diatas peneliti menyimpulkan bahwa Demokratisasi adalah suatu perubahan baik itu perlahan maupaun secara cepat kearah demokrasi. Berdasarkan prinsip-prinsip demokratisasi di atas penulis membatasi faktor faktor penyebab kurang optimalnya demokratisasi yang digunakan terkait proses penyusunan APBK dengan mengacu pada prinsip-prinsip demokratisasi, yaitu musyawarah, kerjasama, partisipasi dan kontrol terakhir, karena prinsip-prinsip tersebut lebih relevan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab kurang optimalnya demokratisasi dalam penyusunan peraturan kampung tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK). Kriteria tersebut dapat dilihat dari pendapat Robert A Dahl terkait kriteria demokratisasi yaitu partisipasi dan kontrol akhir, sedangkan musyawarah dan kerja sama dapat dilihat dari kriteria demokratisasi yang diungkapkan oleh Kuntowijoyo.

1. Demokrasi

Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan kratos/cratein yang berarti kekuasaan, sehingga dapat diartikan sebagai kekuasaan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.


(33)

Menurut Sidney Hook dalam Acyclopedia Americana (Warsito at.al, 2003:75) mendefinisikan demokrasi adalah bentuk pemerintahan dimana keputusan keputusan pemerintah yang penting atau arah kebijakan dibalik keputusan ini secara langsung maupun tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat.

Menurut Henry B. Mayo (dalam Miriam Budiarjo 2003:61) memberikan definisi “sistem politik demokratis adalah menunjukkan kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat, dan didasarkan atas kesamaan politik dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.

Mahfud MD (2000:2) menyatakan gagasan bahwa “Negara Demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kekuasaan rakyat, atau jika ditinjau dari sudut organisasi, yang berarti sebagai suatu pengorganisasian negara dilakukan oleh rakyat atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada ditangan rakyat.”

Demokrasi memiliki arti positif, yang mengandung makna baik, seseorang pemimpin atau suatu pemerintahan yang tidak menghormati demokrasi otomatis menampilkan konotasi negatif. Demokrasi mempunyai banyak arti, namun satu pengertian yang dapat kita setujui adalah bahwa demokrasi dapat dipakai untuk mewujudkan kekuasaan yang sebenar-benarnya berada ditangan rakyat. Dimana demokratisasi menolak adanya konsentrasi kekuasaan pada satu kelompok.


(34)

2. Prinsip dan Nilai-Nilai Demokrasi

Nilai-nilai demokrasi menurut Henry B. Mayo (dalam Miriam Budiarjo 2003:62-63), yaitu:

1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan melembaga

2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu masyarakat yang sedang berubah

3. Menyelenggarakan pergantian kepemimpinan secara teratur 4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai minimum

5. Mengakui serta menggagap wajar adanya keanekaragaman 6. Menjamin tegaknya keadilan

Menurut Budiarjo (2003:63) untuk melaksanakan nilai-nilai demokrasi tersebut perlu diselenggarakan beberapa lembaga yaitu:

1. Pemerintah yang bertanggung jawab

2. Suatu dewan perwakilan rakyat yang mewakili golongan-golongan dan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat

3. Suatu organisasi politik 4. Pers dan media massa 5. Sistem peradilan bebas.

Menurut Inu Kencana Syafiie (2005:50) prinsip-prinsip demokrasi antara lain ; ”Adanya pembagian kekuasaan, pemilihan umum yang bebas, manajemen yang terbuka, kebebasan individu, peradilan yang bebas, pengakuan hak minoritas, pemerintahan yang berdasarkan hukum, pers yang bebas, beberapa partai politik, konsensus, persetujuan, pemerintahan yang konstitusional, ketentuan tentang pendemokrasian, pengawasan terhadap


(35)

administrasi negara, perlindungan hak asasi, pemerintah yang mayoritas, persaingan keahlian, adanya mekanisme politik, kebebasan kebijaksanaan negara, dan adanya pemerintah yang mengutamakan musyawarah.”

Menurut Imawan (2000:65) prinsip-prinsip demokrasi yang dikehendaki oleh rakyat yaitu Demokrasi yang deliberatif (Mengutamakan musyawarah), Substantif (Mengena ke akar permasalahan), Partisipatif (Melibatkan seluruh rakyat). Berdasarkan prinsip dan nilai-nilai dalam demokrasi tersebut bahwa adanya jaminan terselenggaranya perubahan secara damai dan jaminan adanya keadilan selain itu masyarakat juga mempunyai kebebasan individu serta pemerintah harus mengutamakan musyawarah dan partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan.

B. Desa atau Kampung

Kampung adalah nama lain dari desa yang berada di seluruh Indonesia, nama-nama desa atau kampung yang ada di Indonesia disebut dengan berbagai macam suku tersebut tinggal. Menurut Sutardjo Karthodikusumo Desa (1994: 15) perkataan (arti kata) desa, dusun, desi, seperti juga perkataan negara, negeri, nagaro, negory (nagarom), asalnya dari perkataan Sankskrit (Sansekerta), yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran. Sebagaiman ditulis Geertz dalam Suhatono (2001 :13), Desa merupakan sebutan lawan dari negara (nagara, nagari, negeri Perkataan desa hanya dipakai di Jawa, Madura, dan Bali – dusun dan marga (Sumatera Selatan); dusundati (Maluku); kuta, uta atau huta (Batak): nagari (Minangkabau); Aceh menyebut Gampong dan Meunasah untuk daerah


(36)

hukum yang paling bawah, dan lain-lain. Penyebutan ini secara jelas menunjukkan karakter tersendiri, yang bersesuaian dengan adat, bahasa dan kewilayahan. Pengertian desa sangat beragam, sesuai dengan maksud dan sudut pandang yang hendak digunakan.

Sebutan desa dapat berupa konsep tanpa makna politik, namun juga dapat berarti suatu posisi politik dan sekaligus kualitas posisi dihadapan pihak atau kekuatan lain (supra desa). Berdasarkan dari paparan tersebut, maka sebutan desa itu bermacam-macam disesuaikan dengan tempat asal usul suatu daerah tersebut. Desa memiliki arti „daerah pedalaman‟, „daerah‟, atau „daerah yang diperintah‟. Desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, desa diberi pengertian yaitu :

“... Desa atau yang disebut nama lain selanjutnya disebut desa adalah

Kesatuan wilayah masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ....”

Pengertian desa akan tergantung pada sudut pandang yang digunakan, antara lain dari segi pengertian umum, pengertian sosiologis, pengertian ekonomi, dan pengertian hukum dan politik. Dari segi pengertian umum, orang kebanyakan (umum) memahami desa sebagai tempat dimana bermukim penduduk dengan „peradaban‟ yang lebih terbelakang ketimbang kota. Biasanya dicirikan dengan bahasa ibu yang kental, tingkat pendidikan yang relatif rendah, mata pencaharian


(37)

yang umumnya dari sektor pertanian. Bahkan terdapat kesan kuat, bahwa pemahaman umum memandang desa sebagai tempat bermukim para petani.

Pengertian lain, dapat dijumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Suhartono (2001:9) yang menyebutkan bahwa “Desa adalah (1) sekelompok rumah di luar kota yang merupakan kesatuan; kampung; dusun; (2) adik atau dusun (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan kota); (3) tempat; tanah;

darah”. Pengertian sosiologis, menurut Maschab :

Desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung kepada alam (Maschab dalam Suhartono, 2001: 10)

Gambaran tersebut, pada dasarnya menonjolkan desa, selain memuat segi-segi dan sifat-sifat yang positif, seperti kebersamaan dan kejujuran, namun dipandang pula mengandung ciri negatif, seperti kebodohan dan keterbelakangan, seperti sebagian buta huruf, masyarakatnya bertani, masih belum mengenal teknologi tinggi dan masih menggunakan bahasa pengantar bukan Bahasa Indonesia, menjadi ciri dari desa.

Homogenitas merupakan salah satu ciri desa tradisional kehidupan desa. Ciri yang lainnya seperti pertanian dan ekonomi subsistem. Dari segi pengertian ekonomi, pandangan (sosial) ekonomi yang lebih menekankan sisi produksi, melihat desa sebagai suatu komunitas masyarakat yang memiliki model produksi yang khas (Wiradi dalam Suhartono, 2001:11). Desa mengandung arti sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan


(38)

dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi hasil keputusan keluarga secara bersama. Dilihat dari pengertian hukum dan politik, bahwa :

“Dilihat dari sudut pandang hukum dan politik, yang lebih menekankan kepada tata aturan yang menjadi dasar pengaturan masyarakat, desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat, yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri.” (Kartohadi koesoemo, 1994: 16)

Pengertian ini sangat menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk. Dalam pengertian ini terdapat kesan yang kuat, bahwa kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa hanya bisa diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa, dan bukan pihak lain.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah desa atau kampung dapat diartikan sebagai tanah tumpah darah atau tanah kelahiran, desa sendiri dapat didefinisikan sebagai suatu organisasi wilayah hukum yang memiliki wilayah, masyarakat dan kekuasaan atau wewenang untuk mengatur pemerintahannya sendiri dengan adat istiadat atau kebiasaan masyarakat setempat yang dimiliki tiap-tiap daerah.

1. Pemerintahan Kampung

Taliziduhu Ndraha (1997:6) memberikan definisi pemerintahan yaitu :

“Pemerintahan adalah gejala sosial, yang artinya terjadi didalam hubungan antara anggota masyarakat, baik individu dengan individu, kelompok dengan kelompok, maupun antar individu dengan kelompok. Gejala ini terdapat suatu saat didalam sebuah masyarakat. Disana seseorang atau kelompok dalam


(39)

proses atau interaksi sosial terlihat dominan terhadap orang atau kelompok lain.”

Menurut Widjaja (2003:44) pemerintahan desa/kampung adalah kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan pemerintah desa/kampung dan Badan Perwakilan desa/kampung. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang desa mendefinisikan Pemerintahan desa adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang desa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup:

1. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; 2. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang

diserahkan pengaturannya kepada desa;

3. tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan

4. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Definisi pemerintahan dalam penulisan skripsi ini merujuk pada kegiatan pemerintahan yang dilaksanakan pemerintah kampung dan Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) yaitu kegiatan dalam proses penyusunan


(40)

Peraturan Kampung tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK).

2. Pemerintah Kampung

Pemerintah kampung atau desa dalam Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah memberikan definisi pemerintah kampung/desa terdiri dari kepala kampung/desa dan perangkat kampung/desa. Kepala kampung/desa sebagai pemimpin organisasi pemerintah desa dipilih langsung oleh dan dari penduduk desa warga Negara Republik Indonesia yang syarat selanjutnya dan tata cara pemilihannya diatur dengan Peraturan Daerah yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Sedangkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa mendefinisikan, pemerintah desa atau yang disebutkan dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah desa.

Perangkat desa terdiri dari sekertaris desa dan perangkat desa lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sekertaris desa sebagai perangkat desa yang diisi oleh Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi persyaratan. Dan untuk sekertaris desa yang selama ini bukan Pegawai Negeri Sipil secara bertahap diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil sesuai peraturan perundang-undangan.


(41)

Perangkat Desa lainnya dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 ayat (2) tentang Desa perangkat pembantu kepala desa terdiri dari sekretariat desa, pelaksana teknis lapangan, unsur kewilayahan seperti kepala dusun atau dengan sebutan lainnya.

Menurut Djaenuri (2003:216) untuk dapat melaksanakan tugas pokok tersebut pemerintah desa memiliki fungsi sebagi berikut :

1. Fungsi pengaturan adalah fungsi yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengatur tatanan kehidupan pemerintahan.

2. Fungsi pelayanan adalah fungsi pemerintahan yang dilaksanakan untuk melayanin masyarakat baik yang bersifat pemberian jasa atau layanan. 3. Fungsi pemberdayaan merupakan fungsi yang dilaksanakan pemerintahan

dalam rangka memandirikan masyarakat. Fungsi ini meliputi kegiatan seperti penyuluhan, pembinaan, pemberian fasilitas, pelatihan, pendidikan dan sebagainya.

4. Fungsi pembangunan merupakan fungsi yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan peningkatan kemampuan perekonomian masyarakat. Fungsi ini berkaitan dengan aspek-aspek pembangunan dan pemberian kemudahan/menciptakan iklim yang kondusif terhadap peningkatan aktifitas-aktifitas perekonomian.

5. Fungsi ketentraman dan ketertiban terkait dengan pemberian perlindungan kepada masyarakat dari gangguan yang disebabkan oleh unsur manusia maupun alam.

Berdasarkan penjelasan di atas pemerintah desa terdiri atas kepala desa/kampung dan perangkat desa/kampung sebagai penyelenggara pemerintahan desa/kampung yang memiliki tugas untuk melaksanakan urusan rumah tangga desa/kampung, urusan pemerintahan umum, pembangunan dan pembinaan masyarakat desa/kampung.


(42)

3. Badan Permusyawaratan Kampung (BPK)

Badan Permusywaratan Kampung (BPK) dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah pasal 209 berfungsi menetapkan peraturan desa bersama kepala desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Anggota badan ini adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat dengan masa jabatan enam tahun kedepan dan dapat dipilih kembali untuk satu periode masa jabatan berikutnya. Syarat dan tata cara penetapan anggota dan pimpinan Badan Permusyawaratan Desa/Kampung diatur dalam peraturan daerah yang berpedoman pada peraturan pemerintah.

Badan Permusyawaratan Kampung atau desa yang disingkat BPK dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang desa adalah lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah desa. Jumlah anggota Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) ditentukan berdasarkan jumlah ganjil, paling sedikit lima orang paling banyak sebelas orang, dengan memperhatikan luas, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa.

Fungsi dan kewenangan Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan No. 6 Tahun 2007 tentang Badan Permusyawaratan Kampung, adapun wewenang BPK adalah sebagai berikut:


(43)

b. Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan kampung dan peraturan kepala kampung.

c. Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala kampung d. Membentuk panitia pemilihan kepala kampung

e. Menggali, menampung, menghimpung, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat

f. Menyusun tata tertib BPK

Hak dan kewajiban Badan Pemusyawaratan Kampung (BPK) ditiap-tiap kabupaten di Indonesia kemungkinan tidak sama persis. Adapun yang menjadi hak Badan Permusyawaratan Kampung di Kabupaten Way Kanan berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan No. 6 Tahun 2007 tentang Badan Permusyawaratan Kampung adalah sebagai berikut :

a. Meminta keterangan kepada pemerintah kampung b. Menyatakan pendapat

Anggota Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) mempunyai hak diantaranya yaitu :

a. Mengajukan rancangan peraturan kampung b. Mengajukan pertanyaan

c. \menyampaikan usul dan pendapat d. Memilih dan dipilih


(44)

Anggota Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) mempunyai kewajiban sebagai berikut :

a. Mengamalkan pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peruran perundang-undangan.

b. Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan kampung.

c. Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. Menyerap, menampung, menghimpun dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat.

e. Memproses pemilihan kepala kampung

f. Mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan.

g. Menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat.

h. Menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan.

Berdasarkan uraian di atas Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) mempunyai peran sebagai lembaga yang mewujudkan demokrasi di desa, BPK mempunyai kedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja Pemerintahan Desa diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai penampung dan penyalur


(45)

aspirasi masyarakat kampung serta sebagai lembaga yang mengawasi jalannya Pemerintahan Desa.

C. Peraturan Kampung

Definisi Peraturan kampung yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagaimana termaksud dalam Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan No. 7 Tahun 2007 tentang Peraturan Kampung pasal 1 ayat 11, yang berbunyi “Peraturan Kampung adalah peraturan perundang-undangan yang dibuat BPK bersama Kepala Kampung.“

Peraturan kampung atau keputusan kampung yang dibuat oleh pemerintah kampung untuk mengelola kegiatan-kegiatan yang penting dan strategis desa, kegiatan-kegiatan tersebut antara lain, penetapan anggaran, penerimaan dan pengeluaran, keuangan desan, dan penyewaan tanah kas desa, dan lain-lainnya.

Penyusunan Peraturan kampung ini berdasarkan sumber-sumber yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa pasal 55, yaitu :

1. Peraturan Desa ditetapkan oleh Kepala Desa bersama BPD.

2. Peraturan Desa dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

3. Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih


(46)

tinggi dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat desa setempat.

4. Peraturan Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Ndraha (dalam Aries Djaenuri, 2003:14) menyimpulkan bahwa proses pengambilan keputusan desa itu setidaknya meliputi :

1. Usul, saran, gagasan, yang lahir ditengah masyarakat dan dimasak didalam lembaga-lembaga yang ada yaitu pemerintah desa sendiri, lembaga atau badan kemasyarakatan.

2. Pemerintah desa setelah menampung semua usul saran, pendapat dan menyusun konsep rancangan keputusan.

3. Pemerintah desa mengkonsultasikan konsep itu kepada camat, dan selanjutnya camat kepada kepala daerah tingkat II yang bersangkutan, kembali ke desa

4. Hasil konsultasi tersebut disebut hasil Rancangan Keputusan Desa yang setelah mendapat penyempurnaan pada waktunya diajukan kedalam forum desa.

5. Dalam forum musyawarah LMD, camat yang mewakili pemerintah atasannya memberikan pengarahan.

6. Dengan memperhatikan pengarahan, sidang bermusyawarah dan bila bermufakat mengambil keputusan.

Peraturan kampung (Perkam) berbasis masyarakat berarti setiap Perkam harus relevan dengan konteks kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dengan kata lain, Perkam yang dibuat bukan sekadar merumuskan keinginan elite kampung atau hanya untuk menjalankan instruksi dari pemerintah supra kampung. Secara substansi, prinsip dasarnya bahwa Perkam lebih bersifat membatasi yang berkuasa dan sekaligus melindungi rakyat yang lemah.


(47)

Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan Peraturan kampung harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan kampung memberikan ketegasan tentang membatasi yang berkuasa dan akuntabilitas pemerintah kampung dan BPK dalam mengelola pemerintahan kampung.

D. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK)

Definisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagaimana termaksud dalam Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan No. 9 tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung pasal 1 ayat 10, yang berbunyi “Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung selanjutnya di singkat APB kampung adalah rencana keuangan tahunan pemerintah kampung yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah dan BPK yang ditetapkan dengan peraturan kampung.”

Tatacara penyusunan anggaran pendapatan dan belanja kampung berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan No. 9 tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung sebagai berikut :

1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung ditetapkan setiap Tahun Anggaran dengan Peraturan Kampung.

2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung sebagaimana dimaksud ayat (1) ini, ditetapkan selambat-lambatnya satu bulan setelah ditetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten.


(48)

3. Peraturan Kampung tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung terlebih dahulu dimusyawarahkan dengan Badan Perwakilan Kampung.

Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK) ini berdasarkan sumber-sumber yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa pasal 68 ayat 1, yaitu :

a. Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah;

b. Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa;

c. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa;

d. Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan;

e. Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat.

Pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh kampung merupakan harapan besar untuk mencapai pembangunan, yang diwujudkan melalui perencanaan pembangunan kampung yang demokratis sebagaimana ditetapkan dalam APBK. Adanya dana bantuan dari pemerintah merupakan modal awal untuk memulai


(49)

pembangunan desa, setidaknya sebagai dana perencanaan dan dana untuk pengeluaran rutin. Kemampuan desa sendirilah yang akan menentukan sejauh mana pembangunan dapat dilaksanankan di tingkat kampung.

Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung adalah rencana operasional dalam 1 tahun anggaran yang disusun kepala kampung beserta BPK dan masyarakat yang memuat perkiraan target penerimaan dan batas maksimal pengeluaran.

E. Otonomi Desa/Kampung atau Otonomi Asli

Otonomi desa dalam penjelasan umum Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa itu sendiri.

Penjelasan umum Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa menyebutkan bahwa salah satu landasan pemikiran mengenai desa adalah otonomi asli, yang memiliki makna bahwa kewenangan pemerintah desa dalam mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang


(50)

ada pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam prespektif administrasi pemerintahan Negara yang selalu mengikuti perkembangan zaman.

Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa otonomi desa memiliki makna sedikit berbeda dengan otonomi daerah lebih diartikan sebagi pemberian wewenang oleh pemerintah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersangkutan. Sedangkan otonomi desa otonomi asli yaitu pengaturan penyelenggaraan pemerintahan desa tetap dikembalikan kepada desa itu sendiri, yaitu disesuaikan dengan adat istiadat serta kebiasaan masyarakat setempat.

F. Demokrasi Desa/Kampung

Demokrasi desa, menurut pandangan Ina E Slamet dalam Suhartono (2001 : 26), demokrasi asli dari suatu masyarakat yang belum mengalami stratifikasi sosial. Dalam masyarakat seperti itu, persetujuan yang bulat (musyawarah) masih bisa ditemukan terutama oleh kenyataan jumlah warga yang relatif sedikit. Namun demikian, bentuk masyarakat subsistem tersebut sudah sangat sulit ditemukan. Kebanyakan desa-desa yang ada, khususnya dijawa, berada di bawah kekuasaan suatu kerajaan. Artinya bahwa masyarakat desa berada dalam suatu stratifikasi sosial yang tidak memungkinkan demokrasi.

AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko (2003:21) mengungkapkan bahwa “Pemerintahan demokratis (demokratic governance), yaitu pemerintahan desa yang berasal “dari” (partisipasi) masyarakat; dikelola “oleh”


(51)

(akuntabilitas dan transparansi) masyarakat; dan dimanfaatkan sebaik-baiknya „untuk” (responsivitas) masyarakat.

Hatta dan Suhartono (2001:26) mengatakan demokrasi desa mengandung tiga ciri, yakni : rapat (tempat rakyat bermusyawarah dan bermufakat), hak rakyat untuk mengadakan protes dan cita dalam tolong menolong. Konsep ini dimaksudkan sebagai suatu pengakuan dan penerimaan bahwa dibanyak desa struktur politik tradisional yang bersifat feodal dan autokratis masih sangat menonjol, sehingga praktek demokrasi tidak lain hanya kedok dari kepentingan raja.

Berbagai intuisi politik demokratis yang dikembangkan di desa tidak akan memberi banyak arti apabila pertama, stratifikasi sosial di desa tidak mengalami perubahan yang signifikan atau proses demokrasi tidak menyentuh masalah tersebut. Kedua, tidak adanya kesadaran masyarakat terhadap signifikasi demokrasi. Hal ini berarti bahwa rakyat hanya sekedar menggunakan intuisi politik demokrasi tanpa tahu atau memahami makna dasar.

Demokrasi di kampung dapat dilihat dari keterlibatan atau partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pemerintahan pembangunan di Kampung untuk memcapai kebaikan secara kolektif, sebaliknya minimnya akses masyarakat kampung untuk mengaktualisasikan partisipasinya dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan berdampak pada lemahnya kontrol masyarakat terhadap proses penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan tersebut. Menurut AAGN Ari Dwipayana dan Sutoro Eko (2003:22) mengungkapkan bahwa :


(52)

“Pemerintahan desa yang demokratis membutuhkan sebuah proses perluasan ruang publik melalui dialog-dialog (forum warga atau rembug). Forum warga atau rembuk desa merupakan bentuk demokrasi deliberatif (demokrasi permusyawatan), yang secara teoritis merupakan anak kandung demokratsi komunitarian, dan secara empirik sebenarnya pernah diterapkan oleh nenek moyang di desa. Demokrasi ini menekakan proses permusyawaratan untuk mencapai kesepakatan dan kebaikan bersama, yang hasilnya digunakan sebagai aturan main, trakta, dan kebijakan.”

Perwujudan demokrasi di kampung membutuhkan partisipasi efektif masyarakat, serta ruang publik yang memberikan kesempatan masyarakat atau wakil masyarakat untuk bermusyawarah dengan pemerintah Kampung, baik itu dalam perwujudan demokratisasi dalam penyusunan peraturan kampung tentang Anggaran Pendapat dan Belanja Kampung (APBK) untuk mencapai kebaikkan bersama secara kolektif. Seperti yang diungkapkan oleh Thoha (dalam Fauzie Ridjal dan Karim, 1991:193) bahwa cara pengambilan keputusan policy

berdasarkan pancasila yang sudah lama kita kenal ialah menekankan pada adanya musyawarah untuk mufakat dan mengakui perlunya partisipasi masyarakat. Berdasarkan uraian tersebut penulis menguraikan musyawarah, partisipasi, kerjasama dan kontrol akhir sebagai berikut :

1. Musyawarah

Musyawarah menurut Kuntowijoyo (1997:91) adalah “suatu upaya untuk memecahkan persoalan (mencari jalan keluar) guna mengambil keputusan bersama dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan

keduniawian”. Dengan dilibatkannya berbagai pihak dalam musyawarah,

diharapkan bahwa keputusan yang diambil benar-benar melalui proses tukar pendapat dan adu argumen yang memadai, sehingga mungkin mencapai


(53)

kebenaran yang ralatif lebih besar dari pada hasil keputusan individual. Hal ini berlaku baik pada musyawarah yang menghasilkan kesepakatan, maupun pada musyawarah yang menghasilkan kesepakatan, maupun pada musyawarah yang menghasilkan suara terbanyak. Yang terpenting praktek ini benar-benar berlangsung dalam suasana yang kondusif. Dengan demikian, masing-masing pihak merasa bertanggung jawab atas keputusan yang diambil.

Selain itu menurut Padmo Wahjono (dalam Fauzie Ridjal dan Karim, 1991:262) memberikan definisi musyawarah sebagai berikut:

“Musyawarah untuk mufakat adalah tata cara khas kepribadian Indonesia untuk memecahkan setiap persoalan kehidupan rakyat dan negara, mendapatkan kebulatan pendapat dan mufakat dalam permusyawaratan perwakilan secara gotong royong dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan untuk melaksanakan amanat penderitaan rakyat, tujuan revolusi nasional Indonesia mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, masyarakat tanpa penghisapan atas manusia oleh manusia.”

Selain itu, Padmo Wahjono (dalam Fauzie Ridjal dan Karim, 1991:262) menyebutkan dua azas dalam musyawarah mufakat, yaitu:

1. Musyawarah dilaksanakan berdasarkan gotong royong dengan sikap saling memberikan dan menerima dalam suasana kekeluargaan, toleransi, timbang rasa, dan tegang menegang antara segenap peserta musyawarah. 2. Pangkal bertolak dalam tiap musyawarah adalah persatuan dan bukan

pertentangan antar peserta.

Musyawarah dalam penelitian ini menunjukan proses tawar menawar pendapat dalam mempertahankan pendapat baik itu dari pemerintah Kampung, Badan Pemusyawaratan kampung (BPK) maupun masyarakat, sehingga terdapat


(54)

pembahasan bersama dan tidak ada yang mendominasi musyawarah sehingga hasil yang diperoleh benar-benar mencapai mufakat dari setiap peserta musyawarah dengan argumen masing-masing untuk mempertahankan pendapatnya guna kepentingan masyarakat umum. Ada sikap saling memberi dan menerima hasil kesepakatan dalam suasana kekeluargaan toleransi, tenggang rasa, dan mempertahankan persatuan antar peserta musyawarah bukan pertentangan.

2. Partisipasi Masyarakat Kampung

Partisipasi menurut Dahl (1985:10) adalah “Dalam seluruh proses pembuatan keputusan secara kolektif, termasuk tahap pembuatan agenda kerja, setiap warga Negara harus mempunyai kesempatan yang sama dan menandai untuk menyatakan hak-hak istimewa dalam rangka mewujudkan kesimpulan akhir.” Partisipasi sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai kemampuan setiap orang tanpa berarti menngorbankan kepentingan diri sendiri. Menurut Neison (dalam Talizhudu Ndraha, 1990:103) menyebutkan dua macam partisipasi, yaitu partisipasi antar sesama warga atau anggota suatu perkumpulan yang dinamakan partisipasi horizontal dan partisipasi yang dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antara klien dengan patron atau masyarakat sebagai suatu keseluruhan dengan pemerintah yang diberi nama partisipasi vertikal.


(55)

a. Partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact charge) sebagai salah satu titik awal perubahan sosial.

b. Partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberikan tanggapan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (menaati, mematuhi, melaksanakan) mengiyakan, menerima dengan syarat maupun dalam arti menolaknya.

c. Parisipasi dalam perencanaan pembangunan, termasuk pengambilan keputusan.

d. Partisipasi dalam pelaksaan perencanaan pembangungan.

e. Partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan.

Bentuk Partisipasi menurut Juliantara (2002:90-91) adalah voice, akses dan

control. Pengertian dari masing-masing bentuk partisipasi tersebut di atas adalah: a. Voice, adalah hak dan tindakan warga masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, gagasan, kebutuhan, kepentingan dan tuntutan terhadap komunitas terdekatnya maupun kebijakan pemerintah.

b. Akses, adalah mempengaruhi dan menentukan kebijakan serta terlibat aktif mengelola barang-barang publik, termasuk didalamnya akses warga terhadap informasi dan pelayanan publik.

c. Control, adalah bagaimana masyarakat mau dan mampu terlibat untuk mengawasi jalannya tugas-tugas pemerintah. Sehingga nantinya akan terbentuk suatu pemerintahan yang transparan, akuntabel dan responsif terhadap berbagai kebutuhan masyarakatnya.


(56)

Menurut Tjokromidjojo (dalam Safi‟i, 2007:104) partisipasi masyarakat dalam dibagi atas tiga tahapan, yaitu:

a. Partisipasi atau keterlibatan dalam proses penentuan arah, startegi dan kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah

b. Keterlibatan dalam memikul beban dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan

c. Keterlibatan dalam memetik dan memanfaatkan pembangunan secara berkeadilan

Adapaun cara-cara untuk menggerakan partisipasi menurut Ndraha (1990: 104) diantaranya:

a. Proyek pembangunan kampung yang dirancang secara sederhana dan mudah dikelola oleh masyarakat.

b. Organisasi dan lembaga kemasyarakatan yang mampu menggerakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat.

c. Peningkatan peranan masyarakat dalam pembangunan.

Ndraha (1990:104) mengungkapakan bahwa partisipasi masyarakat ternyata akan berkurang jika meraka tidak atau kurang berperan dalam pengambilan keputusan.

Partisipasi dalam penelitian ini menunjukan partisipasi yang dikemukakan oleh Dahl bahwa pemerintahan harus memberikan kesempatan ataupun ruang kepada masyarakat untruk berpartisipasi baik itu dalam kegiatan maupun musyawarah dalam penyusunan APBK di kampung Sidoarjo, Blambangan Umpu Kabupaten


(57)

Way Kanan sehingga keputusan yang diambil sesuai dengan harapan masyarakat.

3. Kerja Sama

Kerjasama menurut Kuntowijoyo (1997:92) adalah “suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau tujuan bersama demi 'kepentingan' Tuhan dan kepentingan manusia sendiri.” . Bowo dan Andy (2007:50-51) menjelaskan bahwa dalam “pelaksanaan kerjasama harus tercapai keuntungan bersama, pelaksanaan kerjasama hanya dapat tercapai apabila diperoleh manfaat bersama bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya. Apabila satu pihak dirugikan dalam proses kerjasama, maka kerjasama tidak lagi terpenuhi.”

Agar dapat berhasil melaksanakan kerjasama maka dibutuhkan prinsip-prinsip umum sebagaimana yang dijelaskan oleh Edralin dan Whitaker dalam Keban (2007:35) prinsip umum tersebut antara lain:

1. Transparansi 2. Akuntabilitas 3. Partisipatif

4. Efisiensi dan Efektivitas 5. Konsensus


(58)

Kerjasama yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu usaha bersama antara pemerintah kampung dan BPK dalam upaya mencapai keuntungan atau manfaat bersama dari kerjasama, perlu komunikasi yang baik antara pihak pemerintah dan BPK serta pemahaman terhadap tujuan bersama untuk mengajak atau mengikut sertakan masyarakat kampung dalam penyusunan APBK di kampung Sidoarjo Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan.

4. Kontrol Akhir

Kontrol akhir menurut Dahl (1985:10) adalah “Masyarakat harus mempunyai kekuasaan eksklusif untuk menentukan soal-soal mana yang harus atau tidak harus diputuskan melalui proses-proses dan tidak memisahkan masyarakat dari hak kontrol terhadap agenda dan mendelegasikan kekuasaan dan mendelegasikan wewenang kekuasaan kepada orang-orang lain yang mungkin dapat membuat keputusan-keputusan lewat proses non demokratis.”

Menurut Mulyadi (2007:70-71) faktor-faktor yang mempengaruhi motivasi masyarakat untuk melakukan pengawasan dengan baik :

1. Strategi komunikasi dan komunikasi efektif

2. Adanya kelembagaan masyarakat yang kuat dan dipercaya

3. Adanya kebebasan berpendapat dan menyampaikan hasil pengawasan tanpa tekanan, ancaman dan rasa takut dari pihak manapun


(59)

Kontrol akhir yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengawasan dari masyarakat atau Social control yaitu pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengawasan masyarakat di perlukan dalam mewujutkan hak dan tanggung jawab masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Seperti mengawasi dan memberi penilaian terhadap keberhasilan pemerintah kampung dalam penetapan Peraturan Kampung tentang APBK tahun 2011 di kampung Sidoarjo, Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan.

G. Kerangka Pikir

Demokratisasi merupakan proses dari sebuah demokrasi yang berarti dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Pengertian tersebut menggambarkan bahwa negara seharusnya memperhatikan masyarakatnya dan lebih mementingkan kesejahteraan masyarakat dibandingkan kesejahteraan para aparatur birokrasi itu sendiri. Pada saat ini demokratisasi tidak hanya berlaku pada pemerintahan pusat atau negara melainkan sampai tingkat pemerintahan terendah di negara yaitu desa.

Demokratisasi desa merupakan penyelenggaraan pemerintahaan di desa yang memberikan dinamika dan suasana demokratis di dalam pemerintahan desa. Dalam sistem pemerintahan nasional, pemerintah desa kedudukan sebagai sub sistem penyelenggaran pemerintah di Indonesia sehingga desa memiliki


(60)

kewenangan, tugas dan kewajiban untuk mengatur serta mengurusi kepentingan masyarakat.

Demokratisasi desa yang tertuang dalam Undang-Undang No. 32 tahun 2004 membuat pemerintah desa mengatur sendiri urusan rumah tangga tanpa lepas dari pengawasan pemerintah daerah dalam membuat peraturan desa. Dalam hal ini penyebutan desa di kabupaten Way Kanan berubah menjadi kampung sehingga penyebutan peraturan desa berubah menjadi peraturan kampung. Peraturan Kampung (Perkam) sebagai dasar hukum yang baru bagi penyelenggaraan pemerintahan di kampung, pembentukannya disusun oleh pemerintah desa melibatkan lembaga legislatif di tingkat kampung (Badan Perwakilan kampung dan sekarang disebut Badan Permusyawaratan kampung) dan melibatkan masyarakat. Pembentukan Peraturan Kampung (Perkam) ini juga dibuat karena peraturan kampung bisa menjadi pedoman dan acuan dalam penyelenggaraan pemerintah kampung, serta meminimalisir kekuasaan dominan dari satu pihak, baik itu kepala desa maupun Badan Permusyawaratan Kampung (BPK), terlebih lagi peraturan kampung tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK) yang rentan konflik karena berkaitan dengan masalah keuangan desa.

Dengan adanya musyawarah, kerja sama dan partisipasi yang melibatkan pemerintah kampung, BPK dan masyarakat dalam penyusunan peraturan kampung khusunya tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung


(61)

(APBK) merupakan unsur-unsur dari penyelenggaraan demokratisasi di kampung.

Berdasarkan penjelasan di atas penelitian ini akan meneliti lebih jauh tentang demokratisasi dalam penyusunan Peraturan Kampung tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK) dan faktor-faktor penyebab kurang optimalnya demokratisasi dalam penyusunannya didasarkan pada prinsip-prinsip demokratisasi (musyawarah, partisipasi, kerjasama dan kontrol akhir). Peraturan kampung tentang APBK dibentuk berdasarkan pada asa pembentukan peraturan perundang-undangan (PP No72 Tahun 2005 tentang desa pasal 56). Pembuatan peraturan desa tentang APBK merupakan tindakan hukum yang mencerminkan adanya demokrasi, setidaknya harus melakukan tahapan adanya musyawarah, kerjasama, partisipasi dan kontrol akhir. Tahapan adanya musyawarah, kerjasama, partisipasi dan kontrol akhir terdiri dari 3 tahap yaitu tahap pertama yaitu yang menghasilkan rancangan, tuntutan dan dukungan, tahap kedua yaitu proses pembahasan dan tahap ketiga yaitu penetapan peraturan Kampung tentang APBK.

Tahapan pertama yaitu tahapan yang menghasilkan rancangan, tuntutan dan dukungan dalam pembuatan peraturan kampung. Dalam tahap pertama ini berisikan tuntutan dan dukungan yang berasal dari musyawarah dan partisipasi pada forum BPK dalam menjaring aspirasi dan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat ini merupakan hak untuk memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan


(62)

Peraturan Kampung tentang APBK. Sedangkan musyawarah pada tahapan ini tidak hanya dilakukan dilakukan oleh BPK, tetapi oleh pemerintah kampung yang dihadiri oleh kepala kampung,sekertaris kampung, kepala dusun dan lembaga kemasyarakatan kampung. Dalam musyawarah yang dilakukan oleh pemerintah kampung, pemerintah kama\pung melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan APBK tahun lalu, yang kemudian diproyeksi menjadi penyusunan rancangan APBK tahun mendatang sebagai bentuk partisipasi pemerintah kampung. (Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, Pasal 57)

Tahap kedua yaitu proses, yaitu diadakannya pembahasan rancangan APBK yang diajukan oleh pemerintah kampung. Pada tahapan ini pembahasan dilakukan bersama oleh pemerintah kampung bersama-sama dengan BPK, LPMK, dan juga masyarakat kampung dalam sebuah forum yang dinamakan musyawarah. Dalam musyawarah tersebut perlu adanya partisipasi dari tiap-tiap peserta musyawarah untuk menyempurnakan APBK, baik itu perkiraan pos penerimaan dan pos belanja desa.

Tahap yang ketiga, yaitu tahapan penetapan peraturan Kampung tentang APBK. Pada tahapan ini kepala kampung bersama BPK menetapkan peraturan kampung tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK) dan keputusan ini dibacakan serta ditandatangani bersama dalam musyawarah di hadapan seluruh peserta musyawarah. Hasil keputusan ini disepakati dalam suasana kekeluargaan toleransi (musyawarah mufakat), saling menerima dan melaksanakan keputusan


(1)

VI. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan uraian hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian pada bab sebelumnya, maka didapatlah beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Pada aspek musyawarah, sesuai teori Kuntowijoyo dalam penyusunan APBK telah diterapkan di Kampung Sidoarjo. Namun, musyawarah yang terjadi di Kampung Sidoarjo mengalami kendala. Sebagian masyarakat yang seharusnya menjadi peserta penyusunan APBK tidak diikutsertakan karna kendala yang terjadi masyarakat tidak mendapat undangan dari aparatur kampung. Tetapi, musyawarah dalam penyusunan APBK sudah berjalan dengan baik dan mencapai mufakat serta disetujui oleh peserta musyawarah.

2. Dilihat dari aspek partisipasi dalam penyusunan dan pembahasan APBK memang sudah dilaksanakan tetapi penerapan prinsip-prinsip demokrasi yaitu partisipasi belum optimal diterapkan dalam pembahasan APBK. Hal ini dikarenakan dalam penyusunan APBK masih banyak masyarakat yang tidak hadir dan ada yang hadir tetapi hanya sebagai penonton atau hanya datang duduk diam.

3. Aspek kerjasama dalam prinsip-prinsip demokrasi di Kampung Sidoarjo belum berjalan dengan lancar, dikarenakan komunikasi dan koordinasi antara aparatur kampung dengan tokoh masyarakat belum


(2)

122

optimal. Aparatur kampung kurang mensosialisasikan bahwa akan ada penyusunan APBK di Kampung Sidoarjo sehingga tokoh masyarakat tidak dapat ikut berpartisipasi dalam penyusunan APBK karna tidak mendapat undangan.

4. Faktor-faktor penyebab kurang optimalnya demokratisasi berdasarkan kontrol akhir dalam pembuatan Peraturan Kampung Sidoarjo tentang APBK ini dikarenakan Pemerintah Kampung yang masih memisahkan peranan masyarakat dari hak masyarakat untuk mengawasi jalannya musyawarah sampai penetapan. Tentu saja tanpa kontrol dari masyarakat keputusan yang diambil pun cenderung non demokratis

B. Saran

Berdasarkan simpulan yang telah diperoleh, maka beberapa saran yang dapat diajukan adalah sebagai berikut:

1. Seharusnya dalam melakukan musyawarah untuk penyusunan APBK di Kampung Sidoarjo koordinasi dalam penyampaian surat undangan kepada tokoh-tokoh masyarakat harus ditinjau kembali agar para tokoh masyarakat dapat ikut serta dalam penyusunan APBK sehingga Peraturan Kampung yang ditetapkan nantinya merupakan Peraturan Kampung yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi

2. Sebaiknya dalam proses penyusunan peraturan Kampung sidoarjo tentang APBK para aparatur Kampung seharusnya mensosialisasikan terlebih dahulu tentang APBK di Kampung Sidoarjo sehingga dapat


(3)

123

meminimalisirkan keadaan peserta yang datang dan hanya diam ketika musyawarah terjadi. Selain itu aparatur Kampung Sidoarjo juga harus lebih teliti terhadap memberi undangan kepada tokoh masyarat agar dapat ikut berpartisipasi.

3. Sebaiknya kerjasama antara Pemerintah Kampung dan BPK dengan kepala dusun dan tokoh masyarakat lebih ditingkatkan agar penyampaian undangan benar-benar disampaikan sehingga tokoh masyarakat bisa ikut serta dalam pembuatan APBK.

4. Seharusnya pemerintah kampung harus memberikan peran kepada masyarakat untuk kontrol akhir dalam penetapan APBK sehingga APBK yang dibuatpun benar-benar hasil dari musyawarah. Masyarakat pun harus benar-benar mengawasi jalannya APBK sehingga tidak terjadi tindakkan penyelewengan ataupun tindak penyalahguna kekuasaan dari pemerintah kampung itu sendiri.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ari D. AAGN. 2003. Membangun Good Governance di Desa. Yogyakarta. IRE Perss. Budiardjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT. Garamedia Pustaka.

Djaenuri. Aries. 2003. Hubungan Pusat dan Daerah Dalam Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta. Ghalia Indonesia

Dahl. Robert A. 1985. Delima Demokrasi Pluraris antara Otonomi dan Control. Jakarta. Rajawali.

Eko, Sutoro. 2004. Menjelajahi Rimba Demokrasi, Yogyakarta. Liebe Book.

Hadari Nawawi dan Mimi Martini, 1994, Penelitian Terapan, Yogyakarta. UGM press. Haris. Syamsuddin dkk. 2007. Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Jakarta. LIPI Press Hasan, I. 2004. Analisis Dana Penelitian Dengan Statistik. Jakarta. Bumi Aksara.

Imawan. Riswandha. 2000. Pembangunan Politik, Demokratisasi dan integrasi nasional. Yogyakarta. Pustakan Pelajar.

Kartohadikusumo. Soetardjo. 1994. Desa. Jakarta. PN Balai Sartika.

Miles, Matthew B dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis dan Kualitatif : Buku Sumber tentang Metode-Metode Baru. Jakarta. UI Press.

Kuntowijoyo. 1997. Identitas politik umat islam. Bandung. Mizan.

Mahfud MD. Moh. 2000. Demokrasi dan konstitusi di Indonesia. Jakarta. Dienika Cipta. Moelong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung. PT Remaja

Roda Karya.

Nawawi, Hadari. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Narimawati. Umi. 2008. Penelitian Kualitatif Dan Kuanitatif Teori Dan Aplikasi. Bandung. PT. Indeks Kelompok Gramedia


(5)

Noer Arfani. Riza. 1996. Demokrasi dan demokratisasi. Bandung. Angkasa. Ndraha. Talizihudu. 1990. Pembangunan masyarakat. Jakarta. Rineka Cipta.

________________. 1991. Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa. Jakarta. Bumi Aksara. ________________. 1997. Metodelogi Ilmu Pemerintahan. Jakarta. Rineka Cipta.

Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah.2010. Metode Penelitian Kuantitatif Teori dan Aplikasi. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada.

Purwanto dan Sulistyastuti, 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Untuk Administrasi Publik dan Masalah-Masalah Sosial. Yogya. Gava Media.

Ridjal. Fauzie dan Karim. 1991. Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan. Yogyakarta. PT. Tiara Wacana Yogya.

Sadikin. Ali. 1995. Tantangan Demokrasi. Jakarta. Pustaka Sinar Harapan.

Soekanto. Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta. PT. Rajawali Grafindo Persada.

Syafiie, Inu Kencana. 2005. Sistem politik Indonesia. Bandung. Refika Aditama. Sukardi. 2005. Metodelogi Ilmu Pendidikan. Jakarta. Bumi Aksara

Tahmid, Khairudin. 2004. Demokrasi dan Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Bandar Lampung. Seksi Penerbitan Fak. Syari’ah IAIN Raden Intan.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofyan. 1999. Metode Penelitian Survey. LP3ES. Jakarta.

Suhartono, dkk, Cetakan I Juli 2000. Edisi Revisi-September 2001. Politik Lokal. Parlemen Desa : Awal Kemerdekaan sampai Jaman Otonomi Daerah. Yogyakarta. Lapera.

Warsito et.al. 2003. Otonomi Daerah. Semarang. PUSKODAL Universitas Diponegoro. Widjaja, H.A.W. 2003. Otonomi Desa Merupakan Otonomi Yang Asli. Bulat dan Utuh.


(6)

Dokumen

Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa

Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan No. 6 tahun 2007 tentang Badan Pemusyawaratan Kampung

Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan No. 7 tahun 2007 tentang Peraturan Kampung Peraturan Daerah Kabupaten Way Kanan No. 9 tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung


Dokumen yang terkait

Evaluasi Lahan Kecamatan Lintong Nihuta Kabupaten Humbang Hasundutan Untuk Tanaman Kopi Arabika (Coffea arabica)

2 72 89

Analisis Pekerjaan Alternatif Nelayan Kecamatan Talawi Kabupaten Batu Bara (Studi Kasus: Desa Mesjid Lama Kecamatan Talawi Kabupaten Batu Bara)

0 39 74

PENGELOLAAN SUMBER-SUMBER PENDAPATAN ASLI KAMPUNG DALAM MENINGKATKAN PENERIMAAN APBK PADA KAMPUNG TANGGULANGIN KECAMATAN PUNGGUR KABUPATEN LAMPUNG TENGAH TAHUN 2011

6 76 89

PERANAN BADAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PEMERINTAHAN KAMPUNG DALAM MENINGKATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KEGIATAN REHABILITASI LAHAN KRITIS BERBASIS MASYARAKAT (Studi Kasus pada Kampung Bumi Dana Kecamatan Way Tuba Kabupaten Way Kanan)

0 9 4

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KAMPUNG DALAM MENINGKATKAN PEMBANGUNAN KAMPUNG BANDAR SAKTI (TAHUN ANGGARAN 2008)

0 6 4

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA KAMPUNG DALAM MENINGKATKAN PEMBANGUNAN KAMPUNG BANDAR SAKTI (TAHUN ANGGARAN 2008)

0 5 4

Faktor-Faktor Penyebab Kurang Optimalnya Demokratisasi Dalam Penyusunan Peraturan Kampung Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung (APBK)Tahun 2011 (Studi Kasus di Kampung Sidoarjo Kecamatan Blambangan Umpu Kabupaten Way Kanan.

0 5 92

ANALISIS PENGARUH INDIVIDUAL CHARACTERISTICS TERHADAP KINERJA KEPALA KAMPUNG (Studi di Kampung Negeri Besar, Kecamatan Negeri Besar, Kabupaten Way Kanan)

6 81 97

FAKTOR PENYEBAB DAN DAMPAK NEGATIF NIKAH SIRI BAGIPEREMPUAN (Studi Kasus: Kampung Pandean,Kelurahan Faktor Penyebab dan Dampak Negatif Nikah Siri Bagi Perempuan (Studi Kasus: Kampung Pandean, Kelurahan Ngadirejo, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo T

0 2 13

PERANAN ORANG TUA DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN METODE PENDIDIKAN PROFETIK ANAK DI KAMPUNG SANGKARAN BHAKTI KECAMATAN BLAMBANGAN UMPU KABUPATEN WAY KANAN - Raden Intan Repository

1 2 140