Isolasi dan Identifikasi Newcastle Disease pada Ayam Buras.

(1)

KARYA ILMIAH

ISOLASI DAN IDENTIFIKASI NEWCASTLE DISEASE

PADA AYAM BURAS

Oleh:

DR. DRH. IDA BAGUS KADE SUARDANA M.SI

I PUTU CAHYADI PUTRA, S.KH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat Nya penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah ini tepat pada waktunya. Karya Ilmiah yang berjudul ”Isolasi dan Identifikasi Newcastle Disease pada Ayam buras” merupakan hasil studi lapangan dan studi laboratorium.

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Virologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian ini penulis ucapkan terima kasih. Semoga laporan penelitian ini ada manfaatnya.

Denpasar, 20- Januari - 2016


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… 2

DAFTAR ISI ……… 3

RINGKASAN ………. 4

SUMMARY ………. 5

BAB 1 PENDAHULUAN ……….. 6

1.1Latar Belakang ……… 1.2Identifikasi Masalah ……… 1.3Tujuan Penelitian ……… 1.4Manfaat Penelitian ……… 6 7 7 7 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ………..…. 8

BAB 3 MATERI DAN METODE ……… 15

3.1 Materi ……….……….……… 15

3.2 Metode………. ……… 15

3.2.1 Pembuatan inokulum ……… 15

3.2.2 Isolasi Pada Ayam bertunas …….……… 16

3.2.3 Pemanenan cairan allantois ……… 16

3.2.4 Uji Rapid HA ………..……… 16

3.2.5 Uji HA Mikrotiter ………. 16

3.2.6 Uji Rapid HI……….. 17

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil ……… 18

4.2 Pembahasan ……… 20

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ……… 25

5.2 Saran ……… 25


(4)

RINGKASAN

Dalam upaya mengatasi kendala peternakan unggas di Indonesia terhadap penanganan penyakit maka dilakukan penelitian Isolasi dan Identifikasi Newcastle Disease pada Ayam buras. Spesimen penelitian berupa organ otak, paru – paru, proventrikulus, seka tonsil dan usus halus, diambil dari ayam buras berumur ± 6 bulan dengan bobot badan ± 1 kg, berjenis kelamin jantan berasal dari peternakan milik Bapak I Wayan Nuri yang beralamat di Banjar Semaon, Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar. Dari 67 ekor ayam buras, 42 ekor dalam keadaan sakit dan 34 ekor dalam keadaan mati dalam kurun waktu 2 minggu, dengan status belum pernah divaksin ND.

Ayam menunjukkan gejala klinis suara ngorok, pial cyanosis, diare putih kehijauan, berjalan sempoyongan dan tortikolis. Ayam dipelihara dengan cara dilepas dibelakang rumah. Pakan yang diberikan berupa dedak, jagung dan nasi sisa dengan air minum berasal dari mata air.

Isolasi virus dilakukan pada ayam bertunas (TAB) umur 9 hari dan cairan alantois diambil dari TAB yang mati 3 hari pasca inokulasi. Identifikasi virus menggunakan uji hambatan hemaglutinasi (HA) yang dikomfirmasi dengan uji hambatan hemaglutinasi (HI). Dari uji HA diperoleh hasil positip dengan titer 27 dan setelah dikonfirmasi dengan uji HI diperoleh hasil positip dengan menggunakan serum ND setandar. Dapat disimpulkan ayam buras tersebut terinfeksi virus Newcastle diseasse.


(5)

SUMMARY

In an effort to overcome obstacles in Indonesian poultry against disease management research is conducted Isolation and Identification of Newcastle Disease in free-range chicken. Specimens of research in the form of organs of brain, lung, proventriculus, wipe the tonsils and small intestine, taken from a range hens aged ± 6 months with body weight ± 1 kg, male sex comes from a farm owned by Mr I Wayan Nuri is located at Banjar Semaon, Puhu village, District Payangan, Gianyar. Of 67 free-range chickens, 42 tails in sickness and 34 tails are turned off within 2 weeks, with the status had never been vaccinated against ND.

Chickens showed clinical symptoms of snoring, wattle cyanosis, diarrhea, greenish white, staggered and torticollis. Chickens kept by means of a removable back of the house. Feed given in the form of bran, corn and rice the rest of the drinking water comes from springs.

Isolation of the virus is done on chickens sprout (TAB) aged 9 days and allantoic fluid taken from TAB dead 3 days after the inoculation. Identification of the virus using barriers test hemagglutination (HA) test barriers which dikomfirmasi with hemagglutination (HI). Of a positive test result with the HA titer 27 and after being confirmed by the HI test positive results obtained by using serum ND setandar. It can be concluded that domestic poultry infected with Newcastle virus diseasse.


(6)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peternakan unggas di Indonesia, sampai saat ini masih mengalami kendala terutama dalam hal penanganan penyakit. Berbagai penyakit unggas setiap saat dapat mengancam dan sangat merugikan peternak. Salah satu diantaranya adalah Newcastle Disease (ND). Newcastle Disease disebabkan oleh Paramyxovirus-1 (PMV-1). Virus termasuk kedalam familia myxovirus. Newcastle Disease merupakan salah satu penyakit menular yang sangat membahayakan peternak dan bersifat endemik diseluruh Indonesia (Alexander dan senne, 2008).

Newcastle Disease menyerang unggas semua umur baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar termasuk berbagai jenis burung. ND juga menyerang manusia ditandai dengan konjungtivitas yang berlangsung satu hari dan limfadenitas tetapi segera terjadi penyembuhan (Alexander, 2001). Penularan ND dapat terjadi dari satu hewan ke hewan lain melalui kontak dengan hewan yang sakit dan bangkai penderita. Penularan dari satu tempat ketempat lain dapat terjadi melalui pengangkutan, pekerja kandang, debu, angin, serangga dan makanan yang tercemar. ( OIE, 2012). Di Indonesia peranan ayam buras masih menonjol dalam penyebaran ND. Hal ini disebabkan karena sistem pemeliharaan yang kurang intensif, sehingga sulit untuk di kontrol (Naipospos, 2004).

Gejala klinis yang dapat diamati, penderita umumnya menunjukkan depresi, anorexia, tagih minum, ngorok, leleran hidung dari serus sampai purulen, gejala syaraf ditandai dengan kelemahan anggota gerak, tortikolis, tremor, opistotonus dan melanjut terjadi kelumpuhan. Ayam mengalami diare putih kehijauan dan dehidrasi. Dalam keadaan ini biasanya segera terjadi kematian (Alexandes dan senne, 2008).

Newcastle Disease didiagnosa berdasarkan atas epizootologi, gejala klinins, patologis, virologis serta pengukuhan diagnosa melalui pemeriksaan laboratorium dangan pemeriksaan serologis yaitu isolasi dan identifikasi. Kejadian ND pada umumnya bersifat endemik dengan gejala klinis dan perubahan patologis sangat bervariasi. Kehebatan penyakit bergantung dari galur virus, jenis dan umur hospes, adanya infeksi sekunder dan faktor lingkungan (Alexander 2001; Adi et al., 2010).


(7)

Nilai diagnosa secara serologis sangat bergantung dari pada status vaksinasi atau infeksi alam. Adanya antibodi dalam serum atau tanpa diikuti gejala klinis merupakan indikasi adanya infeksi ND. Secara umum uji serologis yang lazim digunakan untuk deteksi ND dan sebagai indikator derajat kekebalan kelompok ayam dalam suatu peternakan adalah uji hambatan hemaglutinasi (HI) secara beta prosedur yaitu prosedur virus konstan dengan berbagai konsentrasi serum (Mahardika et al., 2011).

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, apakah agen penyakit ayam buras yang menunjukkan gejala klinis newcastle disease dapat diisolasi dan diidentifikasi.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui agen penyakit pada ayam yang menununjukan gejala klinis Newcastle disease.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat dipastikan agen penyakit secara pasti berdasarkan epidemiologi, gejala klinis, perubahan patologi anatomi, isolasi dan identifikasi.


(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Epizotiologi

Newcastle Disease dilaporkan pertama kali di Jawa oleh Kraneveld pada tahun 1926. Doyle pada tahun 1927 berhasil mengisolasi virusnya pada suatu wabah yang terjadi di Newcastle Upon Tyne Inggris. ND merupakan penyakit endemik hampir diseluruh dunia kecuali di Benua antartika (Alexander, 2001).

Wabah ND umumnya terjadi pada saat peralihan musim yaitu pada musim panas ke musim penghujan atau sebaliknya. Perubahan musim yang tajam sering terjadi di negara subtropis. Pada tahun 1973-1979 LPPH Bogor mengamati kejadian ND di Indonesia, dimana pada bulan Mei-Juni yaitu pada pertengahan musim kering tercatat paling rendah (10,6 %) kemudian naik sampai 24,2 % pada bulan November-Desember atau permulaan musim hujan (OIE, 2012).

Kejadian ND yang dilaporkan kebanyakan disebabkan oleh virus ND tipe velogenik, namun beberapa peternakan ayam di Australia di infeksi oleh virus ND tipe lentogenik. Kematian akibat virus ND tipe velogenik atau tipe Asia paling tinggi, sedangkan akibat velogenik tipe Amerika kematiannya 60-80% dan akibat serangan tipe mesogenik sekitar 10% (Ghiamirad, 2010; Hewajuli dan Damayanti 2011).

Newcastle Disease menyerang unggas semua umur baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar termasuk berbagai jenis burung. ND juga menyerang manusia ditandai dengan konjungtivitas yang berlangsung satu hari dan limfadenitas tetapi segera terjadi penyembuhan. Penularan ND dapat terjadi dari satu hewan ke hewan lain melalui kontak dengan hewan yang sakit dan bangkai penderita. Penularan dari satu tempat ketempat lain dapat terjadi melalui pengangkutan, pekerja kandang, debu, angin, serangga dan makanan yang tercemar. Di Indonesia peranan ayam buras masih menonjol dalam penyebaran ND. Hal ini disebabkan karena sistem pemeliharaan yang kurang intensif, sehingga sulit untuk di kontrol (Naipospos, 2004 ; Kencana 2012).


(9)

2.2 Etilogi

Newcastle Disease disebabkan oleh paramyxovirus Virus ini termasuk familia myxovirus dan satu genus dengan virus sendai, parainfluensa-1, 2 dan 3 serta mumps. Pada dekade terakhir ini telah berhasil diungkapakn 9 serotipe paramyxovirus dan virus ND termasuk paramyxovirus-1 (PMV-1) (Adi et al., 2010; Kencana, 2012).

Bentuk virus bervariasi dari bulat dan oval dengan diameter 70-80 nm (nanometer) sampai bentuk filamen dengan panjang 124-200nm. Sedangkan partikel virus yang lengkap (virion) berukuran 120 sampai 300 nm, tetapi lazimnya berukuran 180 nm. Virus ND tersusun atas asam inti ribo beruntai tunggal (ss-RNA) dengan struktur helikal. Disebelah luar dari asam inti terdapat lapisan yang disebut capsid. Kedua struktur ini disebut nucleocapsid dan dibungkus oleh amplop. Amplop tersusun atas lipid, protein dan karbohidrat. Membran proteinnya terdiri dari glikoprotein dan matriks protein yang berhubungan dengan aktivitas hemaglutinin dan neuraminidase yang terletak pada satu peplomer. Glikoprotein memiliki ujung glikosilat hidrofilik pada lapisan lemak Lapisan lemak dapat dirusak oleh pelarut lemak sehingga dapat mengganggu virion (Alexander, 2001).

2.3 Sifat Fisiko-Kimiawi Virus

Resistensi virus ND terhadap agen kimia dan fisik ditentukan oleh perubahan yang terjadi atas kemampuan virus mengaglutinasi eritrosit, menginfeksi sel hospes dan menginduksi respon immunogenik. Kemampuan tersebut terbatas karena dapat dipengaruhi bahkan dirusak oleh berbagai tingkat perlakuan fisik maupun kimia, seperti pengaruh panas, sinar ultraviolet,sinar-X, proses oksidasi, perubahan PH dan senyawa-senyawa kimia lainnya (Ghiamirad et al., 2010).

Virus ND secara cepat diinaktifkan oleh formalin, alkohol, pelarut lemak dan lysol. Virus juga menjadi inaktif oleh potassium permanganat, kresol, lisol, asam karbol, ether, metil dan etil alkohol, Natrium Hidroksida. Pengaruh inaktivasi zat-zat kimia bergantung pada zat yang terlarut dalam medium. Jumlah protein dalam


(10)

medium akan dapat mengurangi efek dari zat-zat kimia, sehingga dapat menghambat inaktivasi virus ND (Ghiamirad et al., 2010).

Virus ND sangat peka terhadap panas. Virus segera rusak bila dipanaskan pada suhu 1000C selama 1 menit dan inaktif pada suhu 560C. galur virus ND velogenik, pada suhu 560C stabil selama 30-120 menit sedangkan galur lentogenik dapat bervariasi dari 0-120 menit. Pada suhu 600C hemaglutinin stabil selama 5-30 menit, suhu 200C stabil selama beberapa minggu dan pada suhu 4-80C galur virus termostabilitasnya telah diketahui seperti galur B1, La Sota dan F adalah 5 menit,

sedangkan V4 selama 2 jam (Sa’idul, 2007).

2.4 Sifat Biologis Virus

Virus ND memiliki beberapa sifat biologis yang dapat dibedakan dengan virus lain baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Virus ND berdasarkan virulensinya dapat diklasifikasikan kedalam 3 tipe yaitu tipe velogenik, mesogenink, dan lentogenik ( Alexander dan Senne 2008). Virulensi virus tersebut dapat debedakan berdasarkan :

1. Mean death Time (MDT)

Mean Death Time dinyatakan dalam jam yaitu rata-rata waktu yang diperlukan oleh virus pada satu dosis letal minimum untuk dapat membunuh embrio ayam umur 9 sampai 11 hari. MDT untuk virus ND dan galur V4 membutuhkan

waktu yang tidak terhingga atau jarang sekali, bahkan sama sekali tidak terjadi kematian pada embrio ayam, sedangkan untuk virus ND galur F, B1, La Sota dan

Komarov berturut-turut adalah 119 jam, 117 jam, 103 jam dan 69 jam.

2. Intracerebral Pathogenecity Index (ICPI)

Intracerebral Pathogenecity Index adalah waktu yang diperlukan untuk membunuh atau menunjukkan gejala penyakit pada anak-anak ayam umur sehari setelah dilakukan inokulasi virus melalui intracerebral. Hasilnya dinyatakan dengan sistem skor dengan harga nilai maksimal adalah 3 yang berarti mortalitas sebesar 100% dalam waktu 1 hari dan nilai minimum 0 yang berarti tidak tampak gejala klinis setelah 8 hari. ICPI untuk virus ND tipe velogenik, mesogenik dan lentogenik adalah 2, 0-3,0;0,4-1,9 dan 0,0-0,4. ICPI untuk virus ND galur V4, F,B1, La Sota


(11)

(lentogenik) dan komarov (mesogenik) berturut-turut adalah 0,16; 0,25; 0,40; 0,15 dan 1,14.

3. Intravenous Pathogenecity Index

Intravenous Pathogenecity Index dapat ditentukan seperti halnya pada ICVI, akan tetapi digunakan anak ayam umur 6 minggu. IVPI untuk virus ND tipe velogenik, mesogenik dan lentogenik berturut-turut adalah 0,5-2,8; 0,0-0,5 dan 0,0.

Virus ND mempunyai kemampuan hemaglutinasi yang menyebakan terjadinya adsorpsi antara hemaglutinin dan reseptor yang terdapat pada permukaan eritrosit. Aktivitas hemaglutinin dapat dideteksi dengan uji hemaglutinasi (HA). Pada proses hemaglutinasi pertama akan terjadi penempelan virus pada subsatnsi reseptor eritrosit, kemudian diikuti perusakan substansi reseptor tersebut oleh enzim neuraminidase, peristiwa ini disebut dengan elusi. Kecepatan elusi antara galur virus sangat bervariasi. Galur B1dan F mempunyai tingkat elusi cepat yaitu 2

jam dan 20 jam, sedangkan untuk galur virus V4 dan La Sota mempunyai tingkat

elusi lambat, yaitu 120 jam.

Eritrosit hewan yang dapat diaglutinasi oleh virus ND adalah: sel darah merah kambing, kerbau, kelinci, marmut, mencit, ayam, angsa, entok, itik, kalkun, merpati, kakatua dan manusai golongan darah O. Namun saat ini sel darah merah ayam digunakan sebagai standar uji aglutinasi.

2.5 Gejala Klinis

Gejala klinis yang dapat diamati, penderita umumnya menunjukkan depresi, anorexia, tagih minum, ngorok, leleran hidung dari serus sampai purulen, gejala syaraf ditandai dengan kelemahan anggota gerak, tortikolis, tremor, opistotonus dan melanjut terjadi kelumpuhan. Ayam mengalami diare putih kehijauan dan dehidrasi. Dalam keadaan ini biasanya segera terjadi kematian. Masa inkubasi penyakit pada kasus alami bervariasi dari 12-15 hari atau dapat berlangsung lebih lama bergantung dari galur virus, kepekaan unggas, status kekebalan dan cara penularan (Alexander, 2001).


(12)

Berdasarkan gejala klinis dikenal 4 bentuk penyakit yaitu :

1. Bentuk Doyle

Bentuk penyakit ini bersifat akut dan mematikan ayam semua umur dengan tingkat kematian mencapai 100%. Bentuk penyakit ini disebabkan oleh virus ND velogenik atau disebut juga tipe Asia dan lebih dikenal dengan virus ND tipe viscerotgropis velogenik (VVND). Secara klinis penderita memperlihatkan sesak napas (dypsnoe), kebengkakan disekitar mata, leher, muka atau kepala, serta diare putih kehijauan dan kadang-kadang terjadi dehidrasi. Suhu tubuh biasanya tinggi pada awal infeksi dan turun menjelang kematian. Selain itu dapat pula diamati gejala syaraf seperti tremor, tortikolis, opistotonus sampai paralisa anggota gerak.

2. Bentuk Beach

Bentuk penyakit ini disebabkan oleh virus ND neurotropik-velogenik. Dilaporkan oleh Beach tahun 1994. penyakit bersifat akut dan sering mengakibatkan kematian pada ayam semua umur. Bentuk penyakit ini ditandai dengan gejala sesak napas, batuk-batuk, mengap-mengap, anorexia dan diikuti penurunan produksi telur bahkan berhenti sama sekali. Gejala syaraf terlihat setelah 1-2 hari atau lebih, ayam yang sakit sempoyongan, gemetar, kejang-kejang, tortikolis dan akhirnya lumpuh.

3. Bentuk Beaudett

Bentuk penyakit ini disebabkan oleh virus ND tipe mesogenik. Dilaporkan oleh Beaudett tahun 1946. penyakit ditandai dengan gangguan pernapasan dan kadang-kadang infeksi syaraf. Penyakit ini mengakibatkan kematian pada ayam umur muda dan jarang pada umur yang lebih tua.

4. Bentuk Hitchner

Bentuk penyakit ini disebabkan oleh virus ND tipe lentogenik. Dilaporkan oleh Hitchner tahun 1948 dan 1950. penyakit ditandai dengan infeksi ringan atau infeksi saluran pernafasan yang sub klinis.


(13)

2.6 Diagnosa

Newcastle Disease didiagnosa berdasarkan atas epizootologi, gejala klinins, patologis, virologis serta pengukuhan diagnosa melalui pemeriksaan laboratorium dangan pemeriksaan serologis yaitu isolasi dan identifikasi. Kejadian ND pada umumnya bersifat endemik dengan gejala klinis dan perubahan patologis sangat bervariasi. Kehebatan penyakit bergantung dari galur virus, jenis dan umur hospes, adanya infeksi sekunder dan faktor lingkungan (Tabbu, 2000).

Nilai diagnosa secara serologis sangat bergantung dari pada status vaksinasi atau infeksi alam. Adanya antibodi dalam serum atau tanpa diikuti gejala klinis merupakan indikasi adanya infeksi ND. Secara umum uji serologis yang lazim digunakan untuk deteksi ND dan sebagai indikator derajat kekebalan kelompok ayam dalam suatu peternakan adalah uji hambatan hemaglutinasi (HI) secara beta prosedur yaitu prosedur virus konstan dengan berbagai konsentrasi serum (Mohhamed et al., 2013; Mahardika et al., 2015).

Peranan uji HI sebagai salah satu uji serologis cukup penting, karena cukup sederhana, murah dan efisien. Hasil uji ini mempunyai korelasi positip dengan hasil uji tantangan mempergunakan virus ND yang ganas. Dalam uji HI antibodi menghambat proses hemaglutinasi dengan cara menyelimuti virus. Telah diketahui pula bahwa immunoglobulin (Ig) yang memegang peran utama dalam uji HI untuk paramyxovirus adalah Ig G sedangkan Ig M disini tidaklah penting (Mohhamed et al., 2013; Mahardika et al., 2015).

Pada uji HI titer HI didapatkan dari antibodi yang mengikat secara langsung hemaglutinin virus. Pada uji HI secara efektif yang berpengaruh adalah fragmen antibodi univalen, sehingga diperlukan sejumlah antibodi per virion, untuk dapat menyelimuti seluruh virion yang berperan dalam adsorpsi. Inti pengujian ini terletak pada kemampuan antibodi setelah diencerkan untuk menghalangi penggumpalan sel-sel darah merah dengan antigen. Bila terdapat antibodi yang cukup maka akan menetralkan antigen sehingga terjadi sedikit atau sama sekali tidak terjadi penggumpalan pada setiap lubang (Abbas, 2005; Mahardika et al., 2015).


(14)

Titer HI dinyatakan sebagai kebalikan pengenceran serum tertinggi yang dapat menghambat hemaglutinasi 100%. Pada pengenceran serum kelipatan dua titer HI pada umumnya dinyatakan sebagai logaritma berbaris dua dan pada uji HI yang diulang beberapa kali untuk mendapatkan suatu nilai yang lebih mendekati ketepatan, digunakan rata-rata titer geometrik atau Geometgric Mean Titer (GMT) yaitu rata-rata logaritma beberapa ulangan yang ada (Mahardika et al., 2015).

2.7 Diagnosa Banding

Penyakit ND sangat mirip dengan penyakit Avian influenza (AI) dan beberapa penyakit lain yang dapat mengelirukan diagnosa ND yaitu penyakit yang disertai gangguan pernafasan dan reproduksi seperti Infectious bronchitis (IB), infectious laryngotracheitis (ILT), chronic respiratory disease (CDC). Penyakit dengan gangguan saraf yaitu avian encephalomyelitis (AE). Penyakit bakteri seperti fowl cholera, mikoplasmosis, salmonellosis dan penyakit jamur aspergilosis (Alexandre, 2001; Kencana, 2012).


(15)

BAB III

MATERI DAN METODE 3.1 Materi

Ayam buras berumur ± 6 bulan dengan bobot badan ± 1 kg, berjenis kelamin jantan berasal dari peternakan milik Bapak I Wayan Nuri yang beralamat di Banjar Semaon, Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar. Dari 67 ekor ayam buras, 42 ekor dalam keadaan sakit dan 34 ekor dalam keadaan mati dalam kurun waktu 2 minggu, dengan status belum pernah divaksin ND. Ayam menunjukkan gejala klinis suara ngorok, pial cyanosis, diare putih kehijauan, berjalan sempoyongan dan tortikolis. Ayam dipelihara dengan cara dilepas dibelakang rumah. Pakan yang diberikan berupa dedak, jagung dan nasi sisa. Sumber air minum berasal dari mata air.

Spesimen penelitian diambil dari organ otak, paru – paru, proventrikulus, seka tonsil dan usus halus.

3.2 Metode

Isolasi virus diawali dengan pembuatan inokulum dari spesimen organ, penanaman inokulum pada Telur Ayam Bertunas, pemanenan cairan Alantois dan identifikasi menggunakan uji Rapid HA, uji Hemaglutinasi (HA) dan uji Rapid Hambatan Hemaglutinasi (HI).

3.2.1 Pembuatan Inokulum

Kira – kira satu gram jaringan yang diambil tersebut dipotong kecil dengan gunting atau pisau bedah. Pengerjaan inokulum harus dilakukan secara aseptic. Potongan jaringan tersebut digerus sambil menambahkan PBS/NaCl fisiologis ke dalamnya sedikit demi sedikit sampai konsentrasi suspense mencapai 10%-20% . Penggerusan dilakukan sampai jaringan menjadi halus. Suspensi jaringan kemudian dipindahkan ke dalam tabung pemusing steril (eppendorf) dan dipusingkan dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 – 15 menit. Pisahkan supernatant dari endapannya. Kedalam suspensi selanjutnya diberi antibiotika penisilin dan streptomisin dengan dosis masing – masing 1000 – 5000 IU/ml dan 1000 – 5000 ug/ml. campuran supernatant dan antibiotika tersebut selanjutnya dieramkan pada suhu 37oC selama 30 menit dan siap diinokulasikan.


(16)

3.2.2 Isolasi pada Telur Ayam Bertunas (TAB)

Inokulasi dilakukan pada telur ayam bertunas (TAB) yang berusia 9 hari. Telur ayam bertunas terlebih dahulu diamati menggunakan teropong (candling) untuk mengetahui keadaan embrio dan batas dari daerah kantung udara. Batas kantong udara dan embrio ditandai dengan pensil, kemudian dilakukan penusukan dengan menggunakan alat penusuk/bor telur pada cangkang telur di daerah atas dari garis perbatasan antara kantung udara dan daerah embrio. Disuntikan inokulum pada lubang bekas tusukan kedalam ruang alantois menggunakan spuit 1 ml dengan dosis 0,1 ml pada setiap butir telur. Tutup lubang pada cangkang telur tersebut menggunakan kutek dan diberikan label. Selanjutnya telur diinkubasikan pada suhu 39º C. Pengamatan dilakukan setiap hari dan pemanenan dilakukan segera setelah kematian embrio terjadi. Pada pengujian ini, pemanenan dilakukan pada hari ke-3 pasca inokulasi.

3.2.3 Pemanenan Cairan Alantois

Telur ayam bertunas yang akan dipanen, terlebih dahulu di teropong (candling). Sebelum dipanen telur tersebut dimasukan kedalam lemari pendingin yang bertujuan untuk mengurangi perdarahan saat melakukan pembukaan cangkang telur. Pemanenan dilakukan dengan membuka cangkang telur di daerah kantong udara dengan gunting lalu cairan alantois diambil dengan menggunakan mikropipet dan ditampung pada tabung eppendorf. Cairan allantois yang sudah ditampung pada tabung eppendorf kemudian disentrifuge dan supernatan diambil lalu ditampung kembali pada tabung eppendorf yang baru kemudian disimpan untuk uji serologi.

3.2.4 Uji Rapid Hemaglutinasi (HA)

Uji rapid HA dilakukan dengan menambahkan 0,025 ml PBS/NaCl fisiologis pada sumuran mikroplate, lalu ditambahkan antigen virus dan 0,5 ml suspensi sel darah merah 1% lalu diayak selama 30 detik. Reaksi positif ditandai dengan tidak terjadinya pengendapan pada dasar sumuran yang menunjukkan bahwa sel darah diaglutinasi oleh antigen virus.

3.2.5 Uji Hemaglutinasi (HA) Mikrotiter

Lubang pada plat mikro diisi masing – masing 0,025 ml PBS/NaCl fisiologis dengan menggunakan penetes mikro/mikro pipet. Pada lubang pertama dan lubang kedua ditambahakan suspensi antigen yang akan diuji dan selanjutnya dibuat


(17)

pengenceran seri kelipatan dua mulai dari lubang kedua sampai lubang kesebelas dengan menggunakan pengencer mikro. Ditambahkan 0,025 ml PBS/NaCl fisiologis ke dalam tiap – tiap lubang (1-12) dan selanjutnya diaduk dengan pengocok mikro. Pada tiap lubang masing – masing ditambahkan suspensi sel darah merah 1% sebanyak 0,05 ml dan diayak kembali selama 30 menit. Pengamatan hasil dilakukan pada suhu kamar tiap 15 menit selama satu jam. Titer HA virus dinyatakan sebagai kebalikan dari pengencer tertinggi virus yang masih mampu menimbulkan reaksi aglutinasi secara sempurna.

3.2.6 Uji Rapid Hambatan Hemaglutinasi (HI)

Uji Rapid HI dilakukan untuk mengidentifikasi virus penyebab dari kasus yang diperiksa. Dalam uji HI dibutuhkan serum yang mengandung antibodi spesifik dengan antigen ND dan AI. Langkah kerja dari uji ini adalah pada lubang 1 – 4 ditambahkan 0,025 ml PBS dengan pipet mikro. Lubang pertama diisi serum positif AI, lubang kedua diisi serum positif ND masing – masing sebanyak 0,025 ml. Kemudian pada lubang 1, 2, dan 3 ditambahkan antigen virus 4 unit HA sebanyak 0,025 ml. Shacker selama 30 detik selanjutnya dieramkan selam 30 menit pada suhu ruang. Selanjutnya pada lubang 1 – 4 ditambahkan suspensi sel darah merah 1% sebanyak 0,05 ml kemudian diayak 30 detik. Selanjutnya eramkan plat mikro pada suhu ruang sambil diamati tiap 15 menit. Lubang ke-3 merupakan kontrol positif dan lubang ke-4 merupakan kontrol sel darah merah (PBS+sel darah merah 1%). Pengamatan dapat dilakukan jika lubang ke-4 telah terjadi aglutinasi. Reaksi positif pada lubang 1 dan 2 ditandai dengan adanya endapan pada lubang. Hal ini disebabkan karena serum antibodi spesifik menghambat reaksi aglutinasi sel darah merah oleh antigen.


(18)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil

4.1.1. Data Epidemiologi

Data epidemiologi seperti terlihat pada pada tabel 4.1 Tabel 4.1. Data Epidemiologi ayam buras

Dewasa Muda Total

Populasi keseluruhan

53 14 69

Sakit 31 11 42

Mati 25 9 34

Morbiditas 58,49% 78,57% 60,87%

Mortalitas 47,17% 64,29% 49,28%

Case fatality rate 80,65% 81,81% 80,95%

Keterangan :

Morbiditas = Jumlah hewan yang sakit/jumlah populasi kasus x 100% =42/69 x 100% = 60,87%

Mortalitas = Jumlah hewan yang mati /jumlah populasi kasus x 100% = 34/69 x 100% = 49,28%

Case fatality rate (CFR) = Jumlah hwan yang mati/jumlah hewan yang sakit x 100%

= 34/42 x 100% = 80,95%

4.1.2. Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi

Hasil pemeriksaan patologi anatomi seperti terlihat pada tabel 4.2 Tabel 4.2. Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi (PA)

Sistem Organ Perubahan Patologi Anatomi

Sistem Syaraf Kongesti pada otak

Sistem Kardiovaskuler Kongesti pada jantung

Sistem Respirasi Hemoragi pada paru – paru

Sistem Gastrointestinal Pernarahan ekimose pada proventrikulus, perdarahan ptekie pada ventrikulus, Nekrosis ulseratif pada seka tonsil, hemoragi dan erosi pada usus dan kongesti pada pankreas

Sistem Urinaria Kongesti pada ginjal

Sistem Reproduksi Relatif normal

Sistem Integumen Relatif normal

Sistema Otot,Tendon, Tulang dan Persendian


(19)

4.1.3. Hasil Isolasi dan Identifikasi Virus

Hasil Isolasi dan Identifikasi virus seperti terlihat pada tabel 4.3 Tabel 4.3. Hasil Isolasi dan Identifikasi virus

No. Pengujian Spesimen Hasil/Keterangan

1. Isolasi Virus : Telur Ayam Bertunas (TAB) umur 9 hari. Inokulasi melalui ruang alantois.

Paru –

paru, limpa, otak, usus.

TAB dipanen pada hari ke 3 pascainokulasi. Embrio dalam keadaan mati saat pemanenan.

2. Identifikasi Virus : a. Uji Rapid HA

Cairan alantois dari TAB

Hasil pengujian positif yang ditandai dengan terjadinya hemaglutinasi sel darah merah pada TAB kedua

b. Uji Mikrotiter HA

Cairan alantois dari TAB

Hasil pengujian positif dengan titer 27 yang ditandai dengan adanya hemaglutinasi sel darah merah

c. Uji Rapid HI Cairan alantois dari TAB

Positif ND tidak terjadi hemaglutinasi sel darah merah ditandai dengan adanya endapan sel darah merah


(20)

4.2. Pembahasan

Hasil sidik epidemiologi menunjukkan morbiditas 60,87%, mortalitas 49,28% dan CFR 80,95%. Angka CFR yang tinggi menandakan virus ND yang menyerang peternakan tersebut mengarahke galur velogenik (ganas). Mortalitas kasus pada ayam muda (64,29%) lebih tinggi dari pada ayam dewasa (47,17%). Ayam muda memiliki sistem pertahanan tubuh yang masih berkembang sehingga rentan terhadap infeksi virus. Lama kejadian kasus di peternakan tersebut adalah ±2 minggu. Ayam yang sakit selama 8 hari berarti penyakit telah berlangsung cukup lama dan bersifat kronis. Secara umum masa inkubasi ND berkisar antara 2 – 15 hari dengan rata – rata 5 -6 hari (OIE, 2012).

Ayam buras milik bapak I Wayan Nuri yang beralamat di Banjar Semaon Puhu Payangan Gianyar merupakan ayam buras yang dipelihara secara diliarkan. Satu minggu sebelum ayamnya ditemukan sakit, di utara rumah Bapak I Wayan Nuri terjangkit penyakit dengan gejala klinis yang sama, dari puluhan ekor ayam tersebut hanya tersisa 13 ekor. Dari hasil kunjungan di sekitar daerah terjadinya kasus diketahui bahwa sebulan yang lalu (akhir bulan Mei 2015) pernah terjadi kasus di Banjar Semaon di rumah bapak Tutik, sekitar 2 km dari rumah I Wayan Nuri. Pada minggu yang sama saat kasus diambil terjadi kasus yang sama di Banjar Ponggang (4 km dari kasus ditemukan) dan Banjar Bayad (5 km dari kasus ditemukan). Bapak I Wayan Nuri pernah memasukkan ayam dari luar ke rumahnya. Ini menandakan bahwa secara epidemiologi telah terjadi kontak atau penularan virus antara ayam sakit dengan ayam sehat yang berasal dari ayam bapak Tutik.

Penyebaran virus ND dapat melalui kontak langsung, aserosol, feses, leleran yang mengandung virus, serta pakan, air dan peralatan kandang yang tercemar feses (Alexander dan Senne, 2008). Virus yang tercampur dalam lendir atau feses dan urine mampu bertahan dua bulan, bahkan dalam keadaan kering tahan labih lama lagi sampai beberapa bulan (Muharam dan Darmianto, 2005). Dalam kasus ini banyak kemungkinan yang dapat terjadi mengingat bapak I Wayan Nuri meliarkan ayamnya sehingga kemungkinan kontak dengan ayam tetangga yang terserang kasus sangat tinggi. Disamping itu bapak I Wayan Nuri juga menyukai sabungan ayam sehingga sering memasukkan ayam yang dibelinya tanpa melakukan vaksinasi. Tinggi dan meluasnya kejadian kasus ND di Payangan menandakan penyebaran virus juga


(21)

terjadi lewat aerosol. Status ayam yang belum divaksinasi memperparah kejadian kasus, karena ayam tidak memiliki antibodi yang cukup untuk melawan virus.

Di Indonesia penyakit ND pertama kali dilaporkan pada tahun 1926 di Jakarta dan hingga sekarang masih endemis di Indonesia (Tarmuji, 2005). Penyakit ND bentuk velogenik mortalitas dan morbiditasnya dapat mencapai 100% pada ayam yang tidak divaksinasi, sedangkan galur mesogenik dapat menyebabkan <10% (OIE, 2012). Galur velogenik dapat memiliki mortalitas bervariasi antara 80 – 90% (Mohhamed et al., 2013). Kematian pada ayam muda umur ≤ 3 minggu akibat ND dapat mecapai 25 – 90% (Tarmudji, 2005). Sejak tahun 1997 – 2003 telah dilaporkan kejadian kasus ND di 25 provinsi di Indonesia (Naipospos, 2004). Dari anamnesa pada kasus infeksi penyakit ND di Bali yang menyerang ayam muda umur 1-5 bulan rata-rata kematiannya mencapai 50-60% (Adi et al., 2010). Kerugian akibat penyakit ND disebabkan karena angka kesakitan (morbiditas) maupun angka kematian (mortalitas) pada ternak unggas yang sangat tinggi. Mortalitas maupun morbiditas dapat mencapai 50-100% akibat infeksi VND strain velogenik terutama pada kelompok ayam yang peka, 50% pada strain mesogenik, dan 30% pada infeksi virus strain lentogenik (Tabbu, 2000).

Dari hasil pengamatan gejala klinis ditemukan gejala klinis yaitu suara ngorok, pial cyanosis, diare putih kehijauan, berjalan sempoyongan dan tortikolis. Gejala klinis ND secara umum dapat menyerang sistem respirasi, pencernaan dan saraf, namun ada juga yang tidak menimbulkan gejala klinis (OIE, 2012). Gejala pernafasan diperlihatkan oleh ayam kasus yaitu suara ngorok dan pial cyanosis. Suara ngorok terjadi karena ayam mengalami pneumonia sehingga hewan akan kesulitan bernafas, kemudian akan diikuti oleh gejala pial pengalami cyanosis yang disebabkan oleh asupan oksigen ke daerah kepala mengalami hambatan. Kesulitan bernafas dapat ditimbulkan oleh penyumbatan paru – paru dan kerusakan pusat pernafasan di otak (Ghiamirad et al., 2010).

Ditemukan gejala pencernaan yaitu diare putih kehijauan yang ditandai adanya sisa feses di bulu sekitar kloaka. Diare terjadi akibat virus melakukan replikasi di eptitel mukosa saluran pencernaan dan merusak vili usus. Hal tersebut akan menggangu proses penyerapan nutrisi dan air. Warna feses putih kehijauan diakibatkan terganggunya hati dan pankreas dalam memproduksi empedu dan ensim


(22)

pencernaan. Replikasi virus ND terutama terjadi di saluran pencernaan bagian atas yaitu esophagus, tembolok dan proventrikulus apabila infeksi virus melalui mulut, sedangkan replikasi virus ND pada saluran pencernaan bagian bawah yaitu duodenum, jejunum, ileum dan caecum terjadi sebagai akibat viremia. (Hewajuli dan Dharmayanti, 2011).

Gejala saraf berupa ayam berjalan sempoyongan dan akhirnya mengalami tortikolis (terpuntirnya kepala ke belakang), menandakan telah terjadi kerusakan pada sel-sel otak akibat replikasi virus sehingga menggangu sistem saraf untuk mengkoordinasikan alat gerak dan sistem keseimbangan tubuh. Menurut Alexander (2001) gejala klinis ND sangat bervariasi dari gejala lesu, tidak nafsu makan, bulu kusam, konjungtiva merah dan udema, diare cair yang berwarna kehijauan atau keputihan, sianosis dan pembengkakan leher dan kepala, tremor, spasmus, paresis, ataksia, paralisis sayap dan kaki, tortikolis serta gerakan berputar – putar. Gejala tersebut sangat mengelirukan dengan penyakit Avian Influenza.

Dari hasil pengamatan patologi anatomi ditemukan perubahan kongesti pada otak, jantung dan ginjal. Kongesti akan berdampak pada mekanisme transport oksigen dan glukosa ke otak sehingga timbul gejala berupa tortikolis dan berjalan sempoyongan. Pada paru – paru ditemukan perdarahan berakibat pada terganggunya proses respirasi, hal tersebut dimanifestasikan dengan gejala ngorok dan pial cyanosis. Saluran pencernaan mengalami banyak kerusakan yaitu nekrosis ulseratif pada seka tonsil, proventrikulus mengalami pendarahan ekimose, ventrikulus mengalami pendarahan ptekie, hemoragi dan erosi pada usus dan kongesti pada pankreas. Perubahan patologi pada saluran pencernaan tersebut dapat dimanifestasikan dengan gejala klinis diare putih kehijauan. Limpa mengalami pembengkakan (Splenomegali). Virus memiliki sifat suka organ limfoid hal tersebut mengakibatkan ditemukan lesi pada organ limfoid seperti pada limpa dan seka tonsil. Ciri – ciri secara patologi anatomi tersebut sangat mirip dengan penyakit ND. Virus ND bersifat pantropik yaitu menyukai semua organ sehingga lesi dapat ditemukan hampir pada semua organ. Perubahan yang terjadi secara patologi anatomi akan tercermin pada gejala klinis yang ditimbulkan oleh kerusakan organ tersebut.

Perubahan Patologi Anatomi (PA) yang menciri dari ND adalah perdarahan ptekie sampai ekimose pada laring, trakea, esophagus, proventrikulus, ventrikulus


(23)

dan sepanjang usus. Pada usus terjadi ulser dan nekrosis daerah mukosa. Kongesti dan hemoragi mukosa trakea bagian belakang, limpa membesar tidak rata dan berwarna gelap. Beberapa kasus ditemukan udema pada paru – paru dan nekrosis pancreas. Pada ND yang kurang ganas biasanya ditemukan kongesti dan eksudat mukoid yang ditemukan pada saluran pernafasan serta kekeruhan dan penebalan kantong udara (Kencana, 2010). Nekrosis ulseratif pada usus dan seka tonsil serta perdarahan ptekie pada proventrikulus merupakan perubahan menciri (patognomonis) pada ND (Mohhamed et al., 2013).

Isolasi dan Idendifikasi virus menggunakan spesimen paru – paru, limpa, otak dan usus. Organ digerus dalam PBS hingga konsentrasi 10 – 20% untuk mengeluarkan virus dari sel inang. Penggerusan harus dilakukan hingga jaringan benar – benar hancur. Kemudian dilanjutkan dengan sentrifugasi yang bertujuan untuk mengendapkan sisa organ gerusan. Supernatan dari gerusan diambil karena virus berada pada supernatan yang disebabkan oleh berat jenis virus lebih kecil daripada air. Supernatan ditambahkan antibiotika penisilin-streptomisin untuk membunuh bakteri yang mengkontaminasi, yang sebelumnya telah diinkubasikan pada 37oC untuk mengaktifkan kerja antibiotika (Mahardika et al., 2015).

Inokulum diinokulasikan pada TAB umur 9 hari melalui ruang alantois. Inokulasi bertujuan untuk mengisolasi dan memperbanyak virus. Mengisolasi dimaksudkan untuk memisahkan virus dari agen lainnya melalui cara inokulasi (Misalnya : virus ND dapat diinokulasi melalui ruang alantois sehingga tidak memungkinkan untuk virus Pox tumbuh pada daerah tersebut karena sifat virus Pox adalah epiteliotrofik). Virus ND memiliki sifat pantrofik sehingga dilakukan inokulasi pada ruang alantois. Virus lain yang mungkin tumbuh pada ruang alantois adalah virus IB, AI dan Parvovirus. Memperbanyak virus dimaksudkan untuk meningkatkan titer virus dengan cara menumbuhkan virus pada sel hidup. Virus bersifat obligat intraseluler sehingga mutlak membutuhkan sel hidup untuk proses replikasinya. Selain TAB perbanyakan virus dapat dilakukan pada hewan percobaan (dalam hal ini unggas) dan biakan sel. TAB yang telah diinokulasi diamati tiap hari dengan chandling untuk menentukan apakah TAB hidup ataukah telah mati. Embrio dipanen pada hari ke-3 pascainokulasi dan dipanen cairan alantoisnya. TAB yang digunakan untuk isolasi pada penelitian ini berjumlah tiga butir dan semua embrio


(24)

saat dipanen mengalami pendarahan dan kematian. Cairan alantois yang telah dipanen digunakan untuk uji HA/HI (Mahardika et al., 2015).

Uji HA/HI merupakan uji baku dari OIE untuk meneguhkan diagnosa sementara dari kasus ND. Uji HA digunakan untuk mendeteksi protein hemaglutinin pada virus. Hemaglutinin (H) merupakan protein perlekatan virus ND yang berperan dalam mengaglutinasi eritrosit. Virus yang memiliki protein hemaglutinin adalah AI dan ND. Kegunaan lainnya dari uji HA adalah sebagai dasar untuk menentukan titer virus Titer HA adalah pengenceran tertinggi yang masih dapat mengaglutinasi eritrosit. HA sempurna ditandai dengan tidak terjadinya pengendapan sel darah merah di dasar mikroplate, hal ini disebabkan karena aktivitas protein virus yang mengikat sel darah merah (Mahardika et al., 2015).

Cairan alantois dari TAB positif rapid HA diuji dengan uji mikrotiter HA. Tujuan dari pegujian itu adalah untuk mengethui titer dari virus yang diuji. Dari hasil uji mikrotiter HA yang didapat ialah 27 HAU (Haemaglutination Unit) yang berarti pada pengenceran seri kelipatan dua virus masih dapat menghemaglutinasi sel darah merah pada sumuran ke tujuh. Hal tersebut mengindikasikan dengan sedikit virus saja telah dapat menghemaglutinasi sel darah merah unggas yang berarti virus memiliki tingkat keganasan yang tinggi. Kemudian akan diencerkan menjadi 22 HAU untuk uji HI.

Prinsip uji HI adalah reaksi ikatan antara antibodi pada serum dengan antigen virus sehingga menghambat perlekatan Hemaglutinin virus dengan asam sialat pada sel darah unggas sehingga pada dasar sumuran mikroplate tidak terbentuk endapan (OIE, 2012). Uji HI menggunakan serum ayam yang telah divaksinsi oleh vaksin ND sehingga ayam tersebut memproduksi serum homolog ND yang digunakan untuk uji HI. Dari hasil uji HI didapat bahwa tidak terbentuk endapan dengan menggunakan serum ND sehingga hasil penelitian ini dinyatakan positf ND.

Uji HA/HI memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari uji ini adalah relatif mudah, murah serta reagen dan RBC yang diperlukan untuk pengujian dapat dipersiapkan dengan mudah oleh masing masing laboratorium, sedangkan kekurangannya titrasi antigen harus dilakukan setiap pengujian, interpretasi hasil uji memerlukan keahlian khusus serta adanya prosedur yang berbeda dari masing-masing laboratorium dapat memberikan hasil yang berbeda (Selleck, 2007).


(25)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan sidik epidemiologi, gejala klinis, patologi anatomi, isolasi dan identifikasi virus, kematian ayam didiagnosa terinfeksi virus Newcastle disease.

5.2 Saran

Perlu dilakukan tindakan vaksinasi dan biosekuriti disekitar peternak yang terjangkit ND. Bagi peternak yang telah terjangkit perlu dilakukan pemisahan antara unggas sakit dan sehat. Unggas yang mati hendaknya dibakar dan dikubur untuk mencegah penyebaran penyakit. Untuk unggas sehat dapat diberikan terapi suportif seperti antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder dan vitamin. Peternak hendaknya mengandangkan unggas dan tidak memasukkan atau mengeluarkan unggas tanpa disertai vaksinasi.


(26)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK and Lichtman AH. 2005. Cellular and Molecular Immunology 5th Edition. Elseiver Inc. USA.

Adi, A.A.A., M. Astawa, N.M. Putra, K.S.A. Hayashi, and Y. Matsumoto. 2010. Isolation and characterization of a pathogenic newcastle disease virus from a natural case in Indonesia. J. Vet. Med. Sci. 72(3):313-319

Alexander DJ. 2001. Newcastle Disease. The Gordon Memorial Lecture. Br.Poult.Sci 42 : 117 – 128.

Alexander, DJ and DA Senne. 2008. Newcastle disease, other avian paramyxoviruses, and pneumovirus infections. In Diseases of Poultry, 12th ed. Y.M. Saif. et al. (ed.). Blackwell Publishing, Ames, Iowa.

Berata IK, Winaya IBO, Adi AAAM dan Adnyana IBW. 2011. Patologi Veteriner Umum. Swasta Nulus. Denpasar.

Etriwati. 2015. Kajian Patologi dan Imunohistokimia Kasus Lapang Newcastle Disease Pada Ayam. Thesis. Institut Pertanian Bogor.

Ghiamirad, M., A. Pourbakhsh, H. Keyvanfar, R. Momayez, S. Charkhkar and A. Ashtari, 2010. Isolation and characterization of Newcastle disease virus from ostriches in Iran. A.J.M.R., 4(23): 2492-2497.

Hewajuli DA dan Dharmayanti NLPI. 2011. Patogenesitas Virus Newcastle Disease pada Ayam. Wartazoa 21 (2) : 72 – 80.

Kencana, GAY. 2012. Penyakit Virus Unggas. Udayana University Press. Denpasar. Mahardika IGNK, Astawa INM, Kencana GAY, Suardana IBK dan Sari TK. 2015.

Teknik Lab Virus. Udayana Universuty Press. Denpasar.

Mohammadamin M, Qubih. 2011. Histopathology of Virulent NDV in immune broiler chickens treated with IMBO®. Iraqi J Vet Sci. 25(1):9-13.

Mohhamed MH, Zahir AAH, Kadhim LI and Hasson MF. 2013. Conventional and Molecular Detection of Newcastle Disease and Infectious Bursal Disease in Chickens. J Wourld’s Poult Res 3 (1) : 05-12.

Muharam, S. dan Darmianto. 2005. Kajian Newcastle Disease pada Itik dan Upaya Pengendaliannya. Wartazoa Vol. 15 No . 2 Th. 2005

Naipospos TSP . 2004. Situasi terkini penyakit unggas di tanah air . Seminar Nasional "Perdagangan Komoditi Peternakan dan upaya penanggulangan penyebaran penyakit unggas" . Jakarta, 18 Mei 2004 . Poultry Indonesia. pp . 1-15

OIE (Office International des Epizooties. 2012. Terrestial Manual Chapter 2.3.14. Newcastle Disease Pp 1-19.

Sa’idul L, Abdul PA, Tekdek LB, Umoh JU, Usman M and Oladele SB. 2007. Newcastle Disease in Nigeria. Nigerian Veterinary Journal 27 (2) : 23 – 32.

Tabbu, C.R., 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangnnya, Penyakit Bakterial, Mikal, dan Viral, volume 1. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Tarmudji. 2005. Penyakit Pernafasan Pada Ayam Ditinjau Dari Aspek Klinik dan Patologik Serta Kejadiannya Di Indonesia. Wartazoa 15 (2) : 72-83. Selleck, P. (2007). Serological Tests for The Detection of Antibodies Againts Avian

Influenza. CSIRO Australian Animal Health Laboratory, Geelong, Australia.


(27)

(1)

pencernaan. Replikasi virus ND terutama terjadi di saluran pencernaan bagian atas yaitu esophagus, tembolok dan proventrikulus apabila infeksi virus melalui mulut, sedangkan replikasi virus ND pada saluran pencernaan bagian bawah yaitu duodenum, jejunum, ileum dan caecum terjadi sebagai akibat viremia. (Hewajuli dan Dharmayanti, 2011).

Gejala saraf berupa ayam berjalan sempoyongan dan akhirnya mengalami tortikolis (terpuntirnya kepala ke belakang), menandakan telah terjadi kerusakan pada sel-sel otak akibat replikasi virus sehingga menggangu sistem saraf untuk mengkoordinasikan alat gerak dan sistem keseimbangan tubuh. Menurut Alexander (2001) gejala klinis ND sangat bervariasi dari gejala lesu, tidak nafsu makan, bulu kusam, konjungtiva merah dan udema, diare cair yang berwarna kehijauan atau keputihan, sianosis dan pembengkakan leher dan kepala, tremor, spasmus, paresis, ataksia, paralisis sayap dan kaki, tortikolis serta gerakan berputar – putar. Gejala tersebut sangat mengelirukan dengan penyakit Avian Influenza.

Dari hasil pengamatan patologi anatomi ditemukan perubahan kongesti pada otak, jantung dan ginjal. Kongesti akan berdampak pada mekanisme transport oksigen dan glukosa ke otak sehingga timbul gejala berupa tortikolis dan berjalan sempoyongan. Pada paru – paru ditemukan perdarahan berakibat pada terganggunya proses respirasi, hal tersebut dimanifestasikan dengan gejala ngorok dan pial cyanosis. Saluran pencernaan mengalami banyak kerusakan yaitu nekrosis ulseratif pada seka tonsil, proventrikulus mengalami pendarahan ekimose, ventrikulus mengalami pendarahan ptekie, hemoragi dan erosi pada usus dan kongesti pada pankreas. Perubahan patologi pada saluran pencernaan tersebut dapat dimanifestasikan dengan gejala klinis diare putih kehijauan. Limpa mengalami pembengkakan (Splenomegali). Virus memiliki sifat suka organ limfoid hal tersebut mengakibatkan ditemukan lesi pada organ limfoid seperti pada limpa dan seka tonsil. Ciri – ciri secara patologi anatomi tersebut sangat mirip dengan penyakit ND. Virus ND bersifat pantropik yaitu menyukai semua organ sehingga lesi dapat ditemukan hampir pada semua organ. Perubahan yang terjadi secara patologi anatomi akan tercermin pada gejala klinis yang ditimbulkan oleh kerusakan organ tersebut.

Perubahan Patologi Anatomi (PA) yang menciri dari ND adalah perdarahan ptekie sampai ekimose pada laring, trakea, esophagus, proventrikulus, ventrikulus


(2)

dan sepanjang usus. Pada usus terjadi ulser dan nekrosis daerah mukosa. Kongesti dan hemoragi mukosa trakea bagian belakang, limpa membesar tidak rata dan berwarna gelap. Beberapa kasus ditemukan udema pada paru – paru dan nekrosis pancreas. Pada ND yang kurang ganas biasanya ditemukan kongesti dan eksudat mukoid yang ditemukan pada saluran pernafasan serta kekeruhan dan penebalan kantong udara (Kencana, 2010). Nekrosis ulseratif pada usus dan seka tonsil serta perdarahan ptekie pada proventrikulus merupakan perubahan menciri (patognomonis) pada ND (Mohhamed et al., 2013).

Isolasi dan Idendifikasi virus menggunakan spesimen paru – paru, limpa, otak dan usus. Organ digerus dalam PBS hingga konsentrasi 10 – 20% untuk mengeluarkan virus dari sel inang. Penggerusan harus dilakukan hingga jaringan benar – benar hancur. Kemudian dilanjutkan dengan sentrifugasi yang bertujuan untuk mengendapkan sisa organ gerusan. Supernatan dari gerusan diambil karena virus berada pada supernatan yang disebabkan oleh berat jenis virus lebih kecil daripada air. Supernatan ditambahkan antibiotika penisilin-streptomisin untuk membunuh bakteri yang mengkontaminasi, yang sebelumnya telah diinkubasikan pada 37oC untuk mengaktifkan kerja antibiotika (Mahardika et al., 2015).

Inokulum diinokulasikan pada TAB umur 9 hari melalui ruang alantois. Inokulasi bertujuan untuk mengisolasi dan memperbanyak virus. Mengisolasi dimaksudkan untuk memisahkan virus dari agen lainnya melalui cara inokulasi (Misalnya : virus ND dapat diinokulasi melalui ruang alantois sehingga tidak memungkinkan untuk virus Pox tumbuh pada daerah tersebut karena sifat virus Pox adalah epiteliotrofik). Virus ND memiliki sifat pantrofik sehingga dilakukan inokulasi pada ruang alantois. Virus lain yang mungkin tumbuh pada ruang alantois adalah virus IB, AI dan Parvovirus. Memperbanyak virus dimaksudkan untuk meningkatkan titer virus dengan cara menumbuhkan virus pada sel hidup. Virus bersifat obligat intraseluler sehingga mutlak membutuhkan sel hidup untuk proses replikasinya. Selain TAB perbanyakan virus dapat dilakukan pada hewan percobaan (dalam hal ini unggas) dan biakan sel. TAB yang telah diinokulasi diamati tiap hari dengan chandling untuk menentukan apakah TAB hidup ataukah telah mati. Embrio dipanen pada hari ke-3 pascainokulasi dan dipanen cairan alantoisnya. TAB yang digunakan untuk isolasi pada penelitian ini berjumlah tiga butir dan semua embrio


(3)

saat dipanen mengalami pendarahan dan kematian. Cairan alantois yang telah dipanen digunakan untuk uji HA/HI (Mahardika et al., 2015).

Uji HA/HI merupakan uji baku dari OIE untuk meneguhkan diagnosa sementara dari kasus ND. Uji HA digunakan untuk mendeteksi protein hemaglutinin pada virus. Hemaglutinin (H) merupakan protein perlekatan virus ND yang berperan dalam mengaglutinasi eritrosit. Virus yang memiliki protein hemaglutinin adalah AI dan ND. Kegunaan lainnya dari uji HA adalah sebagai dasar untuk menentukan titer virus Titer HA adalah pengenceran tertinggi yang masih dapat mengaglutinasi eritrosit. HA sempurna ditandai dengan tidak terjadinya pengendapan sel darah merah di dasar mikroplate, hal ini disebabkan karena aktivitas protein virus yang mengikat sel darah merah (Mahardika et al., 2015).

Cairan alantois dari TAB positif rapid HA diuji dengan uji mikrotiter HA. Tujuan dari pegujian itu adalah untuk mengethui titer dari virus yang diuji. Dari hasil uji mikrotiter HA yang didapat ialah 27 HAU (Haemaglutination Unit) yang berarti pada pengenceran seri kelipatan dua virus masih dapat menghemaglutinasi sel darah merah pada sumuran ke tujuh. Hal tersebut mengindikasikan dengan sedikit virus saja telah dapat menghemaglutinasi sel darah merah unggas yang berarti virus memiliki tingkat keganasan yang tinggi. Kemudian akan diencerkan menjadi 22 HAU untuk uji HI.

Prinsip uji HI adalah reaksi ikatan antara antibodi pada serum dengan antigen virus sehingga menghambat perlekatan Hemaglutinin virus dengan asam sialat pada sel darah unggas sehingga pada dasar sumuran mikroplate tidak terbentuk endapan (OIE, 2012). Uji HI menggunakan serum ayam yang telah divaksinsi oleh vaksin ND sehingga ayam tersebut memproduksi serum homolog ND yang digunakan untuk uji HI. Dari hasil uji HI didapat bahwa tidak terbentuk endapan dengan menggunakan serum ND sehingga hasil penelitian ini dinyatakan positf ND.

Uji HA/HI memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari uji ini adalah relatif mudah, murah serta reagen dan RBC yang diperlukan untuk pengujian dapat dipersiapkan dengan mudah oleh masing masing laboratorium, sedangkan kekurangannya titrasi antigen harus dilakukan setiap pengujian, interpretasi hasil uji memerlukan keahlian khusus serta adanya prosedur yang berbeda dari masing-masing laboratorium dapat memberikan hasil yang berbeda (Selleck, 2007).


(4)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan sidik epidemiologi, gejala klinis, patologi anatomi, isolasi dan identifikasi virus, kematian ayam didiagnosa terinfeksi virus Newcastle disease.

5.2 Saran

Perlu dilakukan tindakan vaksinasi dan biosekuriti disekitar peternak yang terjangkit ND. Bagi peternak yang telah terjangkit perlu dilakukan pemisahan antara unggas sakit dan sehat. Unggas yang mati hendaknya dibakar dan dikubur untuk mencegah penyebaran penyakit. Untuk unggas sehat dapat diberikan terapi suportif seperti antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder dan vitamin. Peternak hendaknya mengandangkan unggas dan tidak memasukkan atau mengeluarkan unggas tanpa disertai vaksinasi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK and Lichtman AH. 2005. Cellular and Molecular Immunology 5th Edition. Elseiver Inc. USA.

Adi, A.A.A., M. Astawa, N.M. Putra, K.S.A. Hayashi, and Y. Matsumoto. 2010. Isolation and characterization of a pathogenic newcastle disease virus from a natural case in Indonesia. J. Vet. Med. Sci. 72(3):313-319

Alexander DJ. 2001. Newcastle Disease. The Gordon Memorial Lecture. Br.Poult.Sci 42 : 117 – 128.

Alexander, DJ and DA Senne. 2008. Newcastle disease, other avian paramyxoviruses, and pneumovirus infections. In Diseases of Poultry, 12th ed. Y.M. Saif. et al. (ed.). Blackwell Publishing, Ames, Iowa.

Berata IK, Winaya IBO, Adi AAAM dan Adnyana IBW. 2011. Patologi Veteriner Umum. Swasta Nulus. Denpasar.

Etriwati. 2015. Kajian Patologi dan Imunohistokimia Kasus Lapang Newcastle Disease Pada Ayam. Thesis. Institut Pertanian Bogor.

Ghiamirad, M., A. Pourbakhsh, H. Keyvanfar, R. Momayez, S. Charkhkar and A. Ashtari, 2010. Isolation and characterization of Newcastle disease virus from ostriches in Iran. A.J.M.R., 4(23): 2492-2497.

Hewajuli DA dan Dharmayanti NLPI. 2011. Patogenesitas Virus Newcastle Disease pada Ayam. Wartazoa 21 (2) : 72 – 80.

Kencana, GAY. 2012. Penyakit Virus Unggas. Udayana University Press. Denpasar. Mahardika IGNK, Astawa INM, Kencana GAY, Suardana IBK dan Sari TK. 2015.

Teknik Lab Virus. Udayana Universuty Press. Denpasar.

Mohammadamin M, Qubih. 2011. Histopathology of Virulent NDV in immune broiler chickens treated with IMBO®. Iraqi J Vet Sci. 25(1):9-13.

Mohhamed MH, Zahir AAH, Kadhim LI and Hasson MF. 2013. Conventional and Molecular Detection of Newcastle Disease and Infectious Bursal Disease in Chickens. J Wourld’s Poult Res 3 (1) : 05-12.

Muharam, S. dan Darmianto. 2005. Kajian Newcastle Disease pada Itik dan Upaya Pengendaliannya. Wartazoa Vol. 15 No . 2 Th. 2005

Naipospos TSP . 2004. Situasi terkini penyakit unggas di tanah air . Seminar Nasional "Perdagangan Komoditi Peternakan dan upaya penanggulangan penyebaran penyakit unggas" . Jakarta, 18 Mei 2004 . Poultry Indonesia. pp . 1-15

OIE (Office International des Epizooties. 2012. Terrestial Manual Chapter 2.3.14. Newcastle Disease Pp 1-19.

Sa’idul L, Abdul PA, Tekdek LB, Umoh JU, Usman M and Oladele SB. 2007. Newcastle Disease in Nigeria. Nigerian Veterinary Journal 27 (2) : 23 – 32.

Tabbu, C.R., 2000. Penyakit Ayam dan Penanggulangnnya, Penyakit Bakterial, Mikal, dan Viral, volume 1. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Tarmudji. 2005. Penyakit Pernafasan Pada Ayam Ditinjau Dari Aspek Klinik dan Patologik Serta Kejadiannya Di Indonesia. Wartazoa 15 (2) : 72-83. Selleck, P. (2007). Serological Tests for The Detection of Antibodies Againts Avian

Influenza. CSIRO Australian Animal Health Laboratory, Geelong, Australia.


(6)