Pengaruh Zat Antitranspiran Pada Adaptasi Pelbagai Genotipe Gandum (Triticum Aestivum L ) Di Dataran Menengah Tropika

PENGARUH ZAT ANTITRANSPIRAN PADA ADAPTASI
PELBAGAI GENOTIPE GANDUM (Triticum aestivum L.) DI
DATARAN MENENGAH TROPIKA

RIKA MULYA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Zat
Antitranspiran pada Adaptasi Pelbagai Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.)
di Dataran Menengah Tropika adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor,

Maret 2015

Rika Mulya Sari
NIM A252120231

RINGKASAN
RIKA MULYA SARI. Pengaruh Zat Antitranspiran pada Adaptasi Pelbagai
Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.) di Dataran Menengah Tropika.
Dibimbing oleh SUDIRMAN YAHYA dan HENI PURNAMAWATI.
Antitranspiran dengan bahan aktif di-1-p-menthene dan kaolin merupakan
senyawa kimia yang diaplikasikan pada tanaman untuk mengurangi transpirasi
dan mempertahankan status air tanaman tetap tinggi ketika terjadi cekaman suhu
tinggi. Salah satu yang bisa mengurangi kehilangan air jaringan ketika cekaman
suhu tinggi adalah antitranspiran dengan bahan aktif di-1-p-menthene dan kaolin.
Tujuan penelitian adalah mempelajari pengaruh penggunaan beberapa zat
antitranspiran terhadap daya adaptasi beberapa genotipe gandum di dataran

menengah tropika. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli-Oktober 2013 di
Cisarua, Bogor dengan ketinggian 650 m dpl. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) Split Plot dengan tiga ulangan. Petak utama
terdiri atas tiga jenis antitranspiran dengan empat dosis yakni Vapor Gard (0, 0.8,
1.6, 2.4 L/ha), Selimut Tanaman/Nu-Film-17 dan Surround WP/Kaolin (0, 0.8, 1.6,
2.4 L/ha) dan kaolin (0, 12, 24, 36 kg/ha). Anak petak terdiri atas empat genotipe
gandum yakni HP 1744, Dewata, Selayar dan Oasis.
Penurunan total stomata permukaan bawah oleh Surround WP/Kaolin
sampai dosis 20 kg/ha dan total stomata permukaan atas oleh Vapor Gard pada
dosis 1.24 L/ha tidak diikuti oleh penurunan laju transpirasi. Ketiga jenis
antitranspiran tidak menekan atau meningkatkan laju fotosintesis, baik sebagai
faktor tunggal maupun interaksi antitranspiran dengan genotipe. Pemanjangan
umur mulai berbunga genotipe HP 1744 dan Dewata pada dosis 2.4 L/ha oleh
Vapor Gard dan peningkatan bobot segar tajuk oleh Selimut Tanaman sampai
dosis 1.02 L/ha ternyata belum diikuti oleh respon positif pada peubah-peubah
komponen hasil. Vapor Gard justru meningkatkan jumlah gabah hampa per malai
pada kedua genotipe tersebut, namun berpengaruh baik menurunkan gabah hampa
genotipe Selayar meskipun belum berhasil meningkatkan produksi bijinya.
Dengan demikian, pengaruh positif terhadap peubah-peubah kapasitas source
seperti bobot segar tajuk dan umur mulai berbunga belum memadai untuk

meningkatkan peubah-peubah komponen hasil.
Kata kunci : antitranspiran, kemampuan adaptasi, dataran menengah, genotipe

SUMMARY
RIKA MULYA SARI. Effect of Antitranspirant on the Adaptibility of Wheat
Genotypes (Triticum aestivum L.) at the Tropical Medium Altitude. Supervised by
SUDIRMAN YAHYA dan HENI PURNAMAWATI.
Antitranspiran with the active ingredient di-1-p-mentheneand kaolin is a
chemical compound that is applied to the plants to reduce transpiration rate and
holding the water plant constantly high when the high temperature stress. One that
can reduce tissue water loss at the time of high temperature stress is an
antitranspirant with active ingredient of di-1-p-menthene and kaolin.The aim of
the research was to study the effect of several types and rates of antitranspirant for
adaptation of wheat at the medium tropical. The experiment was conducted from
July to October 2013 at Cisarua, Bogor at ± 650 a.s.l of altitude. This research
used split plot randomized block design with three replications. The main plots
were three types of antitranspirant with three rates of antitranspirant i.e. Vapor
Gard (0, 0.8, 1.6, 2.4 L/ha), Selimut Tanaman/Nu-Film-17 (0, 0.8, 1.6, 2.4 L/ha)
and Surround WP/Kaolin (0, 12, 24, 36 kg/ha). The subplots were genotypes
wheat i.e. HP 1744, Dewata, Selayar and Oasis.

Abaxial and adaxial stomata total was decreased by Surround WP/Kaolin up
to 20 kg/ha and Vapor Gard at 1.24 L/ha, respectively. However, the rate of
transpiration was not affected by decreasing of both stomata total and it was
increased by Selimut Tanaman. The rate of photosynthesis was not affected by
three types of antitranspirant, either as a single factor or interaction between
antitranspirant and genotype. Time to flowering was extended in HP 1744 and
Dewata genotypes by Vapor Gard at 2.4 of L/ha, and increasing of canopy fresh
weight by Selimut Tanaman up to 1.02 L/ha were not followed by positive
response to yield component variables. Empty spikelets number per spike for
both those genotypes were increased by Vapor Gard, but in contrast with Selayar
genotype which has dcreasing in empty spikelets number pet spike, although seed
production was not increasing. Therefore, positive effect on source capacity
variables such as canopy fresh weight and time to flowering were insufficient to
increase yield component variables.
Keywords : antitranspirant, adaptation, medium altitude, genotypes

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PENGARUH ZAT ANTITRANSPIRAN PADA ADAPTASI
PELBAGAI GENOTIPE GANDUM (Triticum aestivum L.) DI
DATARAN MENENGAH TROPIKA

RIKA MULYA SARI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agronomi dan Hortikultura

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Desta Wirnas, S.P, M.Si
(Staf Pengajar Departemen Agronomi dan
Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB)

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli – Oktober 2013
ini adalah adaptasi tanaman terhadap kondisi tropis dengan judul Pengaruh Zat
Antitranspiran pada Adaptasi Pelbagai Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.)
di Dataran Menengah Tropika.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Sudirman Yahya, M.Sc
selaku ketua dan Dr Ir Heni Purnamawati, M.Sc selaku anggota pembimbing atas
saran, arahan dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga
menghaturkan terima kasih kepada Dr Ir Trikoesoemaningtyas M.Sc dan Dr Desta
Wirnas, S.P, M.Si selaku donatur, kepada PT. Agspec Indonesia yang telah
berpartisipasi menyumbangkan bahan (antitranspiran) penelitian ini, kepada

Bapak Jasril dan Ibu Syahniar selaku orang tua serta Budi Darma Putra selaku
suami yang selalu mendukung penulis. Semoga tesis ini bermanfaat terhadap
ilmu pengetahuan bagi penulis dan semua pihak yang membaca tesis ini nantinya.

Bogor,

Maret 2015

Rika Mulya Sari

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN


vi

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Hipotesis Penelitian

1
1
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Asal Usul Gandum
Morfologi Gandum
Respon Tanaman terhadap Suhu Tinggi (Heat)
Transpirasi
Antitranspiran


4
4
5
6
7
8

3 METODE
Waktu dan Tempat
Bahan
Alat
Prosedur Analisis Data
Pelaksanaan Penelitian
Pengamatan

10
10
9
10
10

12
12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

15
15
21

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

25
25
25

DAFTAR PUSTAKA


26

LAMPIRAN

31

RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
1 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh zat antitranspiran
2 Pengaruh zat antitranspiran Surround WP/kaolin terhadap total stomata
permukaan bawah
3 Pengaruh zat antitranspiran Selimut Tanaman terhadap bobot segar
tajuk dan laju transpirasi
4 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh interaksi zat antitranspiran
dengan genotipe
5 Pengaruh interaksi zat antitranspiran dengan genotipe gandum
6 Pengaruh zat antitranspiran Vapor Gard pada genotipe HP 1744,
Dewata dan Selayar terhadap rata-rata jumlah gabah bernas per malai
7 Pengaruh antitranspiran Selimut tanaman terhadap rata-rata indeks luas
daun dan suhu daun
8 Pengaruh zat antitranspiran Surround WP/Kaolin terhadap rata-rata
kehijauan daun

15
16
16
17
18
22
23
24

DAFTAR GAMBAR
1 Respon total stomata permukaan bawah terhadap zat antitranspiran
Surround WP/kaolin
2 Respon bobot segar tajuk
dan laju transpirasi terhadap zat
antitranspiran Selimut Tanaman
3 Respon umur mulai berbunga genotipe HP 1744 dan Dewata dan
respon total stomata permukaan atas genotipe Dewata terhadap zat
antitranspiran Vapor Gard
4 Respon bobot kering akar genotipe HP 1744 dan Dewata terhadap zat
antitranspiran Surround WP/Kaolin
5 Respon jumlah gabah hampa per malai genotipe HP 1744, Dewata, dan
Selayar terhadap zat antitranspiran Vapor Gard

15
16

19
19
20

DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuadrat tengah analisis ragam peubah agronomi dan fisiologi pengaruh
zat antitranspiran terhadap perbaikan adaptasi pelbagai genotipe
gandum (Triticum aestivum L.) di dataran menengah tropika
2 Dosis zat antitranspiran per aplikasi selama musim tanam tanaman
gandum (Triticum aestivum L.)
3 Hasil Analisis Tanah
4 Deskripsi Genotipe Gandum
5 Rata-rata data suhu dan kelembaban 6 Juli – 30 Oktober 2013
6 Data curah hujan harian bulan Juli – Oktober 2013
7 Kerangka Pemikiran

31
34
35
36
38
39
40

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Gandum merupakan tanaman pangan subtropis yang diolah menjadi
pelbagai produk makanan oleh industri rumah tangga maupun skala perusahan.
Menurut Sleper dan Poehlman (2006) gandum merupakan tanaman serealia yang
memiliki komposisi nutrisi lebih tinggi dibanding tanaman serealia lain.
Komposisi protein gandum (13%), jagung dan Oats (10%), Padi (8%), Barley dan
Rye (12%), sedang karbohidrat gandum (69%), padi (65%), Jagung (72%) Barley
(63%), dan Rye (71%). Ciri khas gandum adalah memiliki kandungan glutein
yang tinggi mencapai 80% dari protein yang dikandung dan merupakan
kandungan fitokimia. Glutein adalah protein yang bersifat kohesif dan liat yang
berperan sebagai zat penentu elastisitas adonan berbasis tepung.
Gandum merupakan salah satu serealia penting di dunia. Percepatan laju
pertumbuhan penduduk di Indonesia berkisar ± 250 juta jiwa yang menyebabkan
peningkatan kebutuhan bahan pangan di Indonesia terutama beras, gandum,
kedelai, dan jagung. Kebutuhan gandum Indonesia selama ini masih impor.
Impor komoditas gandum segar menempati urutan pertama di Indonesia.
Indonesia juga mengimpor gandum olahan yang jumlahnya juga terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun.
Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2014) volume impor
gandum terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Volume impor gandum
dari tahun 2010, 2011, dan 2012berturut-turutadalah 4 824 049, 5 648 065 dan 6
827 279 ton. Oleh karena itu, Indonesia harus mencoba berbagai cara untuk
menghasilkan gandum sendiri guna menekan impor yang besar dari tahun ke
tahun. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi sejumlah wilayah di
Indonesia yang mempunyai prospek pengembangan gandum, mulai dari dataran
rendah sampai dataran tinggi.
Pengembangan gandum di Indonesia yang merupakan lingkungan tropis,
terkendala dengan masalah iklim sehingga penanamannya selama ini masih di
daerah ketinggian >1000 m dpl yang memiliki iklim mirip dengan lingkungan
subtropik, khususnya suhu rendah. Proses adaptasi tanaman gandum di
lingkungan tropis dibatasi faktor iklim terutama suhu, kelembaban, lama
penyinaran dan intensitas penyinaran (Rao 2001). Salah satu faktor pembatas
dalam upaya pengusahaan gandum di daerah berelevasi rendah dan medium
adalah suhu tinggi karena gandum merupakan tanaman subtropis yang
menghendaki suhu optimal sekitar 10-21oC untuk proses pertumbuhan dan
perkembangannya (Ginkell dan Villareal 1996). Kondisi suhu tinggi sangat
menghambat proses penyerbukan dan pembuahan sehingga tingkat kehampaan
gabah sangat tinggi (Supijatno et al. 2012).Selain itu, suhu tinggi juga dapat
memacu tingginya laju transpirasi.
Daun merupakan organ transpirasi sekaligus fotosintesis yang mempunyai
kemampuan mengeluarkan air dan menyerap CO2. Daun berhubungan erat dengan
tingkat penyinaran yang tinggi. Peningkatan suhu kanopi akan meningkatkan laju
potensial kehilangan air oleh stomata. Apabila faktor-faktor membukanya stomata
konstan, maka stomata biasanya akan membuka lebih lebar apabila suhu
meningkat (Fisher dan Goldsworthy 1992). Stres air selama periode pengisian biji

2
dapat mengurangi fotosintesis, menginduksi penuaan dini dan memperpendek
masa pengisian biji (Nagy et al. 2013). Suhu tinggi menyebabkan kerusakan parah
dan bahkan kematian sel yang dapat terjadi dalam beberapa menit (Schoffl et
al.1999). Cekaman suhu tinggi pada fase akhir pertumbuhan (terminal heat stress
atau post-anthesis heat stress) sering menjadi faktor pembatas pada produksi
gandum di beberapa negara (Yang et al. 2002).
Air yang hilang oleh transpirasi digantikan oleh penyerapan air oleh akar.
Lebih dari 90% air yang diambil oleh akar hilang oleh transpirasi. Hal ini
menunjukkan bahwa hanya 10% dari air yang diserap digunakan oleh tanaman
untuk fotosintesis. Air yang hilang akibat transpirasi dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Oleh karena itu, sangat penting untuk
mengimbangi laju transpirasi dan penyerapan air oleh akar tanaman. Jika
transpirasi berlebihan dibandingkan dengan penyerapan airolehakar tanaman,
maka akan ada kekurangan air yang dapat menyebabkan kematian tanaman
(Lovelles 1991). Selain itu, perubahan fisiologis tanaman terhadap cekaman suhu
tinggi adalah berkurangnya ketersediaan air tanaman melalui daun (Karim et al.
1997).
Penelitian tim gandum tropika IPB oleh Wahyu et al. (2013) menunjukkan
produktivitas gandum masih kurang dari 1 ton/ha pada agroekosistem dataran
rendah tropika (0.28 ton/ha). Menurut Hedhly et al. (2008) pada kondisi tercekam
suhu tinggi, tanaman gandum akan mempercepat perkembangan stigma dan ovul
sehingga mengurangi masa reseptifnya dan berpengaruh terhadap keberhasilan
pertemuan gamet jantan betina serta terhadap sinkronoisasi antara fase
perkembangan bunga.
Pendekatan budidaya atau teknik agronomis merupakan alternatif untuk
meningkatkan produktivitas gandum di agroekosistem dataran menengah tropika.
Salah satu pendekatan budidaya yang dilakukan untuk mengurangi kehilangan air
jaringan pada saat terjadi cekaman suhu tinggi adalah dengan perlakuan zat
antitranspiran dengan bahan aktif di-1-p-menthene dan kaolin, sehingga
diharapkan proses metabolime dapat berjalan normal.
Antitranspiran adalah senyawa kimia alami yang diaplikasikan ke tanaman
untuk mengurangi transpirasi dan mempertahankan status air tanaman tetap tinggi
(Shinohara 2014). Di-1-p-menthene adalah polimer terpena alami yang
diemulsikan dengan air yang berasal dari pohon pinus dan diaplikasikan pada
permukaan tanaman, berbahan lembut, fleksibel, lengket, transparan dan bersifat
permeabel terhadap gas, tetapi umumnya kedap terhadap uap cair. Hal ini
memungkinkan penyerapan gas (CO2) pada stomata berlangsung normal,
sementara tetap menjaga kelembaban dengan mengurangi transpirasi (Weller dan
Ferree 1978; Iriti et al. 2009). Kaolin adalah partikel mineral berwarna putih yang
berfungsi untuk menurunkan suhu daun dengan meningkatkan reflektansi daun
dengan cara memantulkan kembali sebagian radiasi yang jatuh pada permukaan
daun (Nakano dan Uehara 1996). Kaolin merupakan liat alamiyang dihasilkan dari
pelapukan mineral alumina seperti fieldspar (salah satu dari kelompok mineral
Kristal keras yang terdiri dari silikat aluminium kalium atau natrium atau kalsium
atau barium) dengan kaolinit sebagai penyusun utamanya (Attra 2004).
Hasil penelitian Al Humaid dan Moftah (2005) menyimpulkan bahwa efek
negatif dari defisit air pada berbagai perkembangan tahap pertumbuhan terhadap
stomata, status air, fotosintesis, dan tingkat transpirasi pada tanaman hias Bunga

3
Sedap Malam melalui aplikasi emulsi partikel film"Vapor Gard", dan Kaolin
"Surround WP", positif meningkatkan semua parameter yang mengalami stress air
ringan(80% ET), sedangkan pada tegangan air yang lebih tinggi (60% ET)
antitranspiran tidak bias menginduksi kinerja fisiologis. Pada kondisi defisit air
yang tinggi dan stres panas dengan penguapan tinggi, seperti yang berlaku di
daerah kering dan semi-kering, penyemprotan Kaolin lebih baik daripada VG,
karena kemampuannya menurunkan energi radiasi pada permukaan daun,
sehingga suhu daun dan tingkat transpirasi berkurang, serta meningkatkan tingkat
fotosintesis dan efisiensi penggunaan air.
Penggunaan zat antitranspiran diharapkan menjadikan tanaman gandum
lebih adaptif terhadap lingkungan dataran menengah tropika. Berdasarkan latar
belakang di atas, telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh zat
antitranspiran terhadap pengurangan suhu tinggi, fotosintesis dan hasil produksi
biji gandum.
Perumusan Masalah
Berbekalkan latar belakang dan kerangka pikir, masalah yang diteliti dapat
dirumuskan sebagai berikut : (1) respon interaksi genotipe gandum dan zat
antitranspiran yang merespon baik terhadap perbaikan adaptasi pada suhu tinggi
di dataran menengah tropika; dan (2) zat antitranspiran yang optimum untuk
mengurangi laju transpirasi tanpa mengurangi hasil gandum di dataran menengah
tropika.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) mempelajari keefektifan zat
antitranspiran terhadap daya adaptasi gandum di dataran menengah tropika; (2)
mempelajari pengaruh penggunaan beberapa zat antitranspiran terhadap daya
adaptasi beberapa genotipe tanaman gandum di dataran menengah tropika.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah : (1) Terdapat sekurang-kurangnya
salah satu zat antitranspiran yang memperbaiki pertumbuhan gandum sehingga
mampu beradaptasi lebih baik di lingkungan tumbuh dataran menengah tropika;
dan (2) Respon pertumbuhan dan hasil tanaman gandum terhadap zat
antitranspiran berbeda antara genotipe.

4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Asal Usul Gandum
Pertanaman gandum telah berkembang sejak 5000 sebelum masehi (SM) di
area sekitar Sungai Nil, dan sejak 3000 SM di Cina. Negara-negara produsen
utama gandum adalah Rusia, USA, Cina, India, Perancis, dan Kanada. Gandum
pertama kali dibudidayakan oleh manusia antara tahun 7500-6500 SM di daerah
Timur Tengah. Gandum ditemukan dalam artefak kuno Yunani, Persia dan Mesir.
Pada tahun 1529, Spanyol memperkenalkan gandum ke Amerika yang merupakan
benua baru dan pada tahun 1966 Spanyol juga menanamnya di Filipina (Briggle
1980).
Masyarakat prasejarah telah mengenal sifat-sifat gandum dan tanaman bijibijian lainnya sebagai sumber makanan. Berdasarkan penggalian arkeolog,
diperkirakan gandum berasal dari daerah sekitar Laut Merah dan Laut Mediterania,
yaitu daerah sekitar Turki, Siria, Irak, dan Iran. Sejarah Cina menunjukkan bahwa
budidaya gandum telah ada sejak 2700 SM (Hanson 1982). Manusia mulai
memuliakan gandum pada awal 1800-an. Semenjak itu mulai ada perbaikan
kualitar bulir dan peningkatan hasil, modifikasi dalam arsitektur tanaman serta
peningkatan ketahanan kekeringan, masa simpan, hama dan penyakit (Sleper dan
Poehlman 2006).
Spesies Triticum dikelompokkan menjadi tiga kelas ploidi: diploid
(2n=2x=14), tetraploid (2n=2x=28), dan hexaploid (2n=6x=42). Gen CMS yang
digunakan pada pemuliaan gandum modern berasal dari T. timopheevii (tetraploid
liar). Tiga genom (A, B, D) meliputi gandum poliploidi. Genom A berasal dari T.
monococcum, sedangkan D berasal dari Aegilopssquarrosa (atau T. tauschii). Asal
usul genom B masih diperdebatkan. Rumus genom kelas ploidi adalah AA atau
BB untuk diploid dan AABB untuk tetraploid atau gandum emmer. Gandum
umum (T. aestivum) adalah allohexaploid dari genomic rumus AABBDD.
Kromosom gandum hexaploid adalah 21 kromosom dan dibagi menjadi tujuh
kelompok homolog (sebagian kromosom homolog) yang diidentifikasi dengan
angka dari 1 sampai 7. Tiga kromosom dalam kelompok homolog ABD yang
biasanya dibagi ke dalam beberapa lokus untuk suatu sifat tertentu. Contoh dari
ini adalah ada dua gen ketahanan karat pada kromosom 2A, tiga gen pada 2B, dan
tiga gen pada 2D (Acquaah 2007). Ada tiga jenis gandum yang dibudidayakan dan
secara umum ditanam oleh petani, yaitu Triticum aestivum (gandum roti),
Triticum durum (gandum durum), dan Triticum compactum (gandum club).
Triticum aestivum biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan roti (Hanson
1982).
Tanaman gandum diintroduksi ke Indonesia sekitar tahun 1784-an yang
ditanam secara terbatas di beberapa pegunungan di Jawa dan Timor, namun
karena iklim di Indonesia kurang sesuai dengan pertumbuhan gandum
dibandingkan dengan di tempat aslinya dan belum adanya usaha pemerintah untuk
mengembangkan gandum waktu itu, maka tanaman gandum tidak berjalan dengan
baik (Wiyono 1980; Sastrosumarjo 1987). Saat ini penelitian uji adaptasi gandum
secara multilokasi sudah banyak dilakukan beberapa tahun terakhir, dan masih
terus dikembangkan hingga sekarang. Hasil produksinya sudah mulai
menunjukkan hasil walaupun masih terbatas pada dataran tinggi.

5
Morfologi Gandum
Gandum termasuk tanaman herba setahun/semusim dengan karakteristik
alami melakukan penyerbukan sendiri (self-polinated), penyerbukan silang hanya
1-4%. Pembungaan dimulai pada sepertiga bagian tengah malai kemudian
menyebar secara bersamaan ke arah ujung dan pangkal malai. Bunga-bunganya
bermekaran pada pertengahan pagi menjelang siang. Kemampuan reseptif stigma
berkisar antara 4-13 hari sedangkan viabilitas pollen hanya sekitar 30 menit saja.
Bulir yang berada pada bagian tengah malai dan bagian proksimal dari floret
cenderung membesar. Kondisi masak fisiologis dicapai apabila kandungan
kelembaban dari keseluruhan bulir yang terbentuk telah menurun antara 25-35%
(Ginkel dan Villareal 1996).
Tanaman gandum memiliki dua macam akar pada kondisi normal, yaitu
akar kecambah dan akar adventif. Akar kecambah merupakan akar pertama yang
tumbuh dari embrio, sedangkan akar adventif adalah akar yang berkembang dari
buku dasar setelah akar embrio. Sistem perakaran dengan perkaran serabut dan
kedalaman perakaran sekitar 10-30 cm di bawah permukaan tanah. Batang
gandum tegak, berbentuk silinder dan membentuk tunas. Ruas-ruas batang pendek
dan buku-bukunya berongga pada umumnya. Rata-rata tanaman dewasa memiliki
enam ruas buku. Anakan primer dari buku batang utama terus berkembang
menjadi anakan-anakan sekunder dan tersier hingga membentuk rumpun. Tinggi
gandum bervariasi tergantung genotipe dan lingkungan tumbuh. Daun pertama
yang tumbuh disebut koleoptil berongga dan berbentuk silinder, diselaputi
plumula yang terdiri dari dua sampai tiga helai daun. Setiap daun terdiri dari
tangkai pelepah, helai daun dan ligula dengan dus pasang telinga pada dasar helai
daun. Tulang daun sejajar dan memanjang (Nurmala 1980).
Gandum merupakan determinate (rangkaian bunga dan batang atau cabang
tumbuhnya tidak melilit) dengan gabungan bunga majemuk. Setiap malai terdiri
10-30 spikelet dengan susunan zig-zag. Satu spikelet biasanya terdiri dari 1-5
bunga (kuntum) yang terdapat pada tiap sisi dari poros tengah. Satu atau lebih dari
kuntum biasanya ada yang steril, oleh karena itu hanya ada dua atau tiga biji yang
matang. Sebuah floret disusun oleh lemma dan palea yang menutupi biji. Secara
botani gandum disebut caryopsis. Floret gandum ada yang berbulu (lemma dan
paleanya memanjang dan bentuknya meruncing) dan ada yang tidak. Biji gandum
bervariasi warnanya yaitu merah, ungu, coklat dan putih (Acquaah 2007).
Secara alami tanaman gandum menyerbuk sendiri karena berbunga
sempurna. Waktu anthesis dan reseptif terjadi secara bersamaan, namun stigma
dapat reseptif lebih awal. Umumnya bunga-bunga yang berada di bagian tengah
rangkaian bunga yang anthesis dan reseptif terlebih dahulu, kemudian diikuti pada
bunga bagian atas dan bawah. Malai gandum umumnya keluar sempurna (heading
stage) pada suhu 13-25oC. Pertumbuhan tabung polen sekitar 15-20 menit setelah
penyerbukan terjadi atau polen menempel di stigma. Periode pengisian biji
umunya sekitar 14-21 hari setelah terjadi fertilisasi (Acquaah 2007).
Biji gandum berbentuk oval dengan panjang 6-8 mm dan berdiameter 2-3
mm serta memiliki tekstur yang keras. Biji gandum terdiri dari tiga bagian yaitu
kulit (bran), endosperma dan lembaga (germ). Bagian kulit sebenarnya tidak
mudah dipisahkan karena meerupakan satu kesatuan dari biji gandum, tetapi
bagian kulit ini dapat dipisahkan melalui proses penggilingan. Kulit merupakan

6
bagian terluar dari biji gandum yang mempunyai fungsi untuk melindungi biji
pada saat tumbuh dengan persentase terhadap biji gandum 15 %. Endosperma
adalah bagian terbesar dari biji sekitar 82.5 % dan biasanya diproses menjadi
tepung terigu. Germ adalah bakal biji gandum yang mempunyai persentase
terhadap biji sekitar 2.5 % (Haryati 2000; Welirang 2008).
Keadaan cuaca sangat mempengaruhi setiap tahapan pertumbuhan dan
perkembangan tanaman gandum. Gandum beradaptasi sangat baik pada
lingkungan dengan suhu rendah yakni akan optimal sekitar 10-21oC dengan curah
hujan tidak lebih dari 40-60 cm per tahun (Acquaah 2007). Gandum juga tidak
toleran terhadap kekeringan, sensitif terhadap salinitas tanah dan tidak dapat
tumbuh pada daerah yang hangat dan suhu tinggi (Van dan Villareal 1996).
Kondisi seperti ini untuk Indonesia berada pada daerah dataran tinggi.
Respon Tanaman terhadap Suhu Tinggi (Heat)
Pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah visualisasi ekspresi gengen pengendali yang juga ditentukan oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan
mempunyai peran dalam membentuk tipe tanaman di suatu lingkungan spesifik.
Secara umum, faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman yaitu
faktor biotik dan abiotik. Suhu merupakan faktor lingkungan abiotik. Cekaman
suhu tinggi atau heat stress adalah salah satu faktor pembatas dalam usaha
produksi tanaman (Natawijaya 2012).
Cekaman suhu mengancam produksi tanaman di seluruh dunia (Hall 1990).
Emisi Gas akibat kegiatan manusia secara substansial menambah konsentrasi gas
rumah kaca terutama CO2, metana, nitrous oksida dan klorofluorokarbon. Model
perbedaan sirkulasi global memperkirakan bahwa gas rumah kaca dunia secara
bertahap akan meningkatkan suhu rata-rata dunia. Menurut laporan dari Inter
Panel Climate Change (IPCC), suhu global akan naik 0.3 oC per dekade (Jones et
al. 1999), secara berturut-turut akan mencapai ± 1 dan 3oC diatas nilai sekarang
pada tahun 2025 dan 2100 dan mengarah pada pemanasan global. Menurut Porter
(2005) peningkatan suhu dapat mengakibatkan perubahan persebaran geografis
dan musim tanam komoditas pertanian dengan cara menciptakan ambang batas
suhu untuk awal musim dan menyebabkan kemasakan tanaman yang lebih awal.
Indonesia sebagai daerah tropis mempunyai kisaran suhu dan kelembapan
harian yang cukup beragam, yakni sekitar 22-33oC dan 55-97 % secara berturutturut (BMKG 2013). Hal ini menjadi kekhawatiran apabila tanaman gandum
ditanam pada dataran rendah sampai sedang, karena menurut Acquaah (2007)
gandum membutuhkan suhu tidak lebih dari sekitar 13-25oC untuk periode
pembungaannya.
Pengaruh suhu tinggi terhadap perkembangan bulir pada serealia meliputi
laju perkembangan bulir yang lebih cepat, penuruan berat bulir, biji keriput,
berkurangnya laju akumulasi pati dan perubahan komposisi lipid dan polipeptida
(Stone 2001). Tahapan pertumbuhan dibatasi oleh stres panas, ukuran organ
tanaman seperti daun, batang, dan spike menjadi berkurang (Martiniello dan
Teixeira da Silva 2011; Hossain et al. 2012b-d). Terjadi kesensitifan yang nyata
dari proses metabolisme akibat heat stress di lapangan (Reynolds et al. 2000),
ditambah dengan berkurangnya panjang siklus hidup pada suhu tinggi
(Midmore et al. 1984; Hakim et al. 2012; Hossain et al. 2012b-d), menghasilkan

7
hasil gabah yang rendah dengan total biomassa tanaman yang lebih rendah
pada lingkungan yang panas.
Stres panas didefinisikan sebagai peningkatan suhu yang cukup untuk
menyebabkan kerusakan permanen pada pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Umumnya kenaikan suhu di atas 10-15°C diatas ambient sudah dapat
dianggap heat shock atau stres panas. Toleransi panas secara luas didefinisikan
sebagai kemampuan tanaman mentolerir panas untuk tetap tumbuh dan
menghasilkan yield dibawah pengaruh suhu tinggi (Wikipedia 2013).
Suhu tinggi jarang terjadi sendirian dan sering disertai tingginya
radiasi matahari, kekeringan dan angin, dimana semuanya memperburuk cidera
tanaman akibat suhu tinggi (Paulsen 1994). Hal ini menjadi hambatan utama
selama proses anthesis dan pengisian biji berbagai tanaman serealia di wilayah
bersuhu sedang. Selain itu, heat juga mempercepat durasi pengisian biji dengan
adanya reduksi pada pertumbuhan biji yang mengarah pada hilangnya kepadatan
dan bobot biji hingga mencapai 7 % pada gandum musim semi (Guilioni et al.
2003). Pada gandum, bobot dan jumlah biji per bulir pada saat masak berkurang
seiring dengan meningkatnya suhu (Ferris et al. 1998). Suhu tinggi juga
meningkatkan fotorespirasi (Krieg 1986), sehingga mengurangi penyerapan
karbon (CO2) bersih pada tumbuhan C3 seperti gandum.
Secara umum perubahan yang terjadi pada tanaman yang tercekam suhu
tinggi dikelompokkan menjadi beberapa tipe yaitu perubahan morfologis,
anatomis, fenologis dan fisiologis. Adapun perubahan morfologis yang terjadi
pada tanaman adalah berupa kerusakan pra dan pasca panen, termasuk luka bakar
pada daun dan ranting, hangus (terbakar sinar matahari) pada daun, cabang dan
batang, absisi dan penuaan daun, terhambatnya pertumbuhan akar dan pucuk,
kerusakan dan kehilangan warna pada buah, serta berkurangnya hasil. Selain itu
suhu tinggi menyebabkan penurunan signifikan bobot tajuk, kecepatan relatif
pertumbuhan dan kecepatan asimilasi pada jagung, pearl millet dan tebu (Wahid
et al. 2007). Perubahan fisiologis tanaman terhadap cekaman suhu tinggi meliputi
berkurangnya ketersediaan air, kumulasi senyawa-senyawa organik tertentu yang
secara umum sering sebagai osmolit-osmolit kompatibel degradasi klorofil a dan b
pada daun yang sedang berkembang (Karim et al. 1997).
Transpirasi
Transpirasi merupakan proses hilangnya air dalam bentuk uap air dari tubuh
tumbuhan yang sebagian besar terjadi melalui stomata, selain melalui kutikula dan
lentisel (Dardjat dan Arbayah 1996). Karena sifat kutikula yang impermeabel
terhadap air, transpirasi yang berlangsung melalui kutikula relatif sangat kecil
(Prawiranata et al. 1991). Transpirasi dapat merugikan tumbuhan apabila lajunya
terlalu cepat yang menyebabkan jaringan kehilangan air terlalu banyak selama
musim panas dan kering (Lovelles 1991). Transpirasi merupakan aktivitas
fisiologis penting yang sangat dinamis, berperan sebagai mekanisme regulasi dan
adaptasi terhadap kondisi internal dan eksternal tubuhnya, terutama terkait dengan
kontrol cairan tubuh (turgiditas sel/jaringan), penyerapan dan transportasi air,
garam-garam mineral serta mengendalikan suhu jaringan.
Proses transpirasi dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal
maupun eksternal. Faktor-faktor internal antara lain adalah ukuran daun, tebal

8
tipisnya daun, ada tidaknya lapisan lilin pada permukaan daun, banyak sedikitnya
bulu pada permukaan daun, banyak sedikitnya stoma, bentuk dan lokasi stomata
(Dwidjoseputro 1994), umur jaringan, keadaan fisiologis jaringan dan laju
metabolisme. Faktor-faktor eksternal antara lain cahaya, suhu,kelembaban udara,
angin dan kandungan air tanah (Dardjat dan Arbayah 1996), gradient potensial air
tanah-jaringan-atmosfer, serta adanya zat-zat toksik di lingkungannya. Menurut
Fisher dan Goldworthy (1992), pembukaan stomata dipengaruhi oleh
karbondioksida, cahaya, kelembaban, suhu, angin, potensial air daun dan laju
fotosintesis. Mekanisme kontrol laju kehilangan air atau transpirasi dapat
dilakukan dengan cara mengontrol laju metabolisme, adaptasi struktural daun
yang dapat mengurangi proses kehilangan air dan mengatur konduktivitas stomata.
Menurut Sinclair et al. (1984) diperlukan banyak air yang hilang melalui
transpirasi untuk membesarkan tanaman. Hal ini dikarenakan rangka molekul
semua bahan organik pada tumbuhan terdiri dari atom karbon yang harus
diperoleh dari atmosfer. Karbon masuk kedalam tumbuhan sebagai
karbondioksida (CO2) melalui pori stomata, yang paling banyak terdapat di
permukaan daun, dan air keluar secara difusi melalui pori yang sama saat stomata
terbuka.
Memahami berbagai faktor lingkungan dan cara faktor tersebut
mempengaruhi transpirasi dan penyerapan CO2 melaui daun pada saat yang
berbeda sangatlah sulit. Hal ini karena berbagai faktor tersebut berinteraksi
dengan berbagai cara. Faktor lingkungan tidak hanya mempengaruhi proses fisika
penguapan air dan difusi CO2, tetapi juga mempengaruhi buka-tutup stomata pada
permukaan daun, dimana dilalui lebih dari 90% air yang ditranspirasikan serta
difusi CO2. Naiknya suhu daun akan menaikkan penguapan dan menurunkan
difusi, namun juga menyebabkan stomata menutup atau membuka lebih lebar,
tergantung spesies tanaman dan faktor lainnya. Waktu matahari terbit, stomata
membuka karena meningkatnya pencahayaan, dan cahaya akan menaikkan suhu
daun sehingga air menguap lebih cepat. Naiknya suhu daun akan membuat udara
mampu membawa lebih banyak kelembapan, maka transpirasi meningkat dan
mempengaruhi bukaan stomata. Angin membawa lebih banyak CO 2 dan mengusir
uap air. Hal ini menyebabkan penguapan dan penyerapan CO 2 meningkat, namun
meningkatnya CO2 menyebabkan stomata menutup sebagian. Apabila daun
dipanaskan oleh sinar matahari dengan panas yang melebihi dengan panas yang
melebihi suhu udara, angin akan menurunkan suhunya. Akibatnya transpirasi
menurun (Salisbury dan Ross 1995).
Antitranspiran
Antitranspiran adalah senyawa kimia yang diaplikasikan pada tanaman
untuk mengurangi transpirasi dan mempertahankan status air tanaman tetap tinggi.
Senyawa ini dapat dikategorikan dalam tiga kelompok besar berdasarkan modus
tindakan, yaitu antitranspiran film, refleksi dan fisiologis. Bahan pembentuk film
memberikan lapisan pada permukaan daundengan lilin, gel atau plastik,
menghambat kehilangan air yang berlebihan dari daun, dan dengan demikian
meningkatkan status air tanaman dan meningkatkan pertumbuhan dalam kondisi
stress air (Al-Humaid dan Moftah 2005; Nitzsche etal. 1991). Bahan yang
merefleksikan, seperti kaolin dan chitosan, menurunkan suhu daun daun dengan

9
meningkatkan reflektifitas, sehingga transpirasi lebih rendah dan efisiensi
penggunaan air lebih baik (Bittelli et al. 2001;. Al-Humaid dan Moftah 2005).
Kelompok ketiga dapat dikategorikan sebagai antitranspiran fisiologis, seperti
abcisic acid (ABA), yang menginduksi penutupan stomata melalui proses
metabolisme pada daun.
Ada beberapa bentuk antitranspiran menurut kandungan bahan aktifnya,
yakni di-1-p-menthene dan kaolinclay (alunimium silikat non-toksik). Di-1-pmenthene (pinolene, polimer β-pinene, Blazquesetal. 1970) adalah air-emulsi
polimer terpena alami yang berasal dari resin pohon pinus yang diterapkan pada
permukaan tanaman dan evaporasi air dengan sifat lapisan lembut, fleksibel,
lengket dan transparan. Lapisan ini sebagian permeabel terhadap gas, tetapi
umumnya kedap uap cair (Weller dan Ferree 1978; Iriti et al. 2009). Ini
merupakan hal yang unik dan tetap memungkinkan penyerapan gas dengan
normal kedalam stomata, sementara itu kelembaban tetap terjaga dengan
mengurangi transpirasi (Francini et al. 2011).
Ada juga di-1-p-mentehene (Nu-Film 17) yang dirancang untuk
mengefisienkan pemakaian fungisida, insektisida dan larut dalam pupuk.
Antitranspiran ini membentuk lapisan elastis yang lengket, kuat memegang
pestisida pada daun tanaman. Selain itu, tidak berbusa, tidak membekukan dan
tidak menyumbat nozel. Efeknya dapat mencegah curah hujan dan erosi dari
permukaan daun, sehingga menjadikan pestisida dapat bertahan lebih lama di
dedaunan (Nu Film is a Registered Trademark of Miller Chemical and Fertilizer
Corporation, USA).
Bentuk antitranspiran yang kedua adalah kaolin clay. Kaolin adalah partikel
yang dapat digunakan untuk mengurangi efek negatif dari heat stress pada
fisiologi dan produktivitas tanaman (Cantore et al. 2009). Partikel kaolin berbasis
teknologi (PFT) yang multifungsi, ramah lingkungan, memberikan pengendalian
serangga yang efektif, meringankan stres panas, dan memberikan kontribusi untuk
produksi buah berkualitas tinggi dan sayuran (Glenn et al. 2005). Partikel kaolin
tidak kasar, aluminosilikat non-toksik (Al4Si4O10(OH)8) mineral lempung yang
telah dirumuskan (Engelhard Corporation, Brunswick, NJ) sebagai bubuk basah
untuk aplikasi dengan alat semprot biasa, dikomersialisasikan sebagai Surround®
WP (BASF, Research Triangle Park, NC, sebelumnya Engelhard Corporation,
Brunswick, NJ).

10

3 METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian telah dilaksanakan di daerah Cisarua yang terletak pada
ketinggian ± 650 m dpl Kabupaten Bogor. Lokasi ini memiliki rentang kisaran
suhu rata-rata 17 – 31oC, kelembaban 80 – 90% dan curah hujannya 245.5 – 450.4
mm/bulan (Lampiran 3, 5 dan 6). Penelitian ini telah berlangsung dari bulan Juli –
Oktober 2013.
Bahan
Bahan penelitian adalah benih gandum yang terdiri atas empat genotipe
yaitu Dewata dan Selayar (varietas nasional), HP 1744 dan Oasis (galur
introduksi), zat antitranspiran merk Vapor Gard (904.32 g/l di-1-p-menthene; PT.
Agspec Indonesia), antitranspiran Selimut tanaman/Nu-Film-17 (904 g/L di-1-pmenthene, low viscosity; PT. Agspec Indonesia) dan antitranspiran Surround WP
(kaolin clay, aluminium silikat; PT. Agspec Indonesia), pupuk (Urea, SP-36 dan
KCl), Acetone, Karbofuran 3%, Profenofos 500 g/L dan Deltametrin 25 g/L.
Alat
Alat yang digunakan adalah Li-cor 6400, Li-cor 300, klorofil meter (SPAD),
mikroskop, hand sprayer ukuran 1 L, timbangan, kaca preparat, tabung suntik
ukuran 1 ml, gelas ukur, oven, ember, alat-alat tulis dan alat lainnya.
Prosedur Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Split Plot
yang mempunyai tiga ulangan. Petak utama adalah zat antitranspiran yang terdiri
dari sepuluh taraf perlakuan yang merupakan rekomendasi dari Direktur PT.
Agspec Indonesia tahun 2013. Zat antitranspiran dikelompokkan sebagai berikut :
A0
A1
A2
A3

= Kontrol
= 0.8L/haVapor Gard
= 2.4 L/haVapor Gard
= 3.6 L/haVapor Gard

A0
A4
A5
A6

= Kontrol
= 0.8L/haSelimut Tanaman
= 2.4 L/haSelimut Tanaman
= 3.6 L/haSelimut Tanaman

A0
A7
A8
A9

= Kontrol
= 12kg/haSurround WP/Kaolin
= 24kg/haSurround WP/Kaolin
= 36kg/haSurround WP/Kaolin

dan anak petak adalah empat genotipe gandum yang terdiri dari:
G1

= HP 1744

(galur introduksi)

11
G2
G3
G4

= Dewata
= Selayar
= Oasis

(varietas nasional)
(varietas nasional)
(galur introduksi)

Ukuran untuk satu plot adalah plot 1 m x 1 m. Tiap plot ditanam 10 baris
sepanjang 1 m x 1 m dengan jarak tanam antar baris 10 cm. Data yang diperoleh
dianalisis dengan sidik ragam. Pengolahan data dilakukan berdasarkan pengelompokan
jenis antitranspirannya, dimana tiap jenis antitranspiran dibandingkan dengan kontrol
dengan tujuan mencari optimasi dosis masing-masing antitranspiran. Apabila hasil
sidik ragam pada uji F taraf α = 0.05 terdapat pengaruh nyata, dilanjutkan dengan
uji Polinomial Ortogonal pada taraf α = 0.05. Analisis dilakukan dengan program
SAS (Statistical Analysis System) dan Minitab.
Model aditif untuk percobaan ini adalah :
Yijk = µ + ρk + αi + βj + δik + (αβ)ij+ ɛij,
dimana:
Yijk

i
j
k
αi
βj
ρk
µ
αi
βj
(αβ)ij
δik
ɛijk

= nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang
memperoleh kombinasi perlakuan zat antitranspiran dari
faktor A dan genotipe gandum dari faktor B
= 1, 2, 3, 4
= 1, 2, 3, 4
= 1, 2, 3
= pengaruh aditif taraf ke-i faktor zat antitranspiran
= pengaruh aditif taraf ke-j faktor genoripe
= pengaruh aditif dari kelompok ke-k
= mean populasi (nilai tengah umum)
= pengaruh zat anti transpiran dari faktor A ke-i
= pengaruh galur gandum dari faktor B ke-j
= pengaruh aditif interaksi antara faktor zat antitranspiran
dan faktor genotipe
= pengaruh acak dari petak utama, yang muncul pada taraf
faktor antitranspiran dalam kelompok ke-k. Sering disebut
galat petak utama yang menyebar normal δ ik ~ N(0, σδ2)
= pengaruh acak dari satuan percobaan ke-k yang
memperoleh kombinasi perlakuan ij. Sering disebut galat
anak petak yang juga menyebar normal ɛijk ~ N(0, σδ2)

Model aditif untuk uji Polinomial Ortogonal adalah :
Y = α + β1X + β2X2 + ... + βnXn
dimana:
Y
X
α
βi (i = 1,...,4)

= peubah tak bebas
= peubah bebas
= intersep
= koefisien sebagian yang berhubungan dengan
derajat polinomial ke-i

12
Pelasanaan Penelitian
Pengolahan lahan. Lahan dibersihkan dari gulma kemudian dicangkul
untuk membalikkan tanah. Tanah digemburkan dan dibuat petakan dengan ukuran
1 m x 1 m. Jumlah petakan adalah 120 petak percobaan.
Penanaman. Benih gandum diberi pestisida profenofos 500 g/L dengan
cara direndam dalam gelas plastik selama ± 10 menit terlebih dahulu. Penanaman
dilakukan dengan menugal di atas plot percobaan dengan jarak tanam 10 cm x 10
cm, kemudian benih gandum ditanam dua biji per lubang tanam dan ditaburi
karbofuran 3% untuk menghindari hama dan penyakit tanaman seperti jamur.
Setiap genotipe ditanam sesuai dengan petak percobaan. Jadi total benih yang
digunakan dalam satu plot adalah 200 biji.
Pemupukan. Pupuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah Urea, SP36 dan KCl dengan dosis masing-masing secara berurutan adalah 300, 200 dan
100 kg/ha. Pemupukan diberikan dua kali, dimana pemupukan pertama pada umur
tanaman gandum 10 hst dengan dosis 150, 200 dan 100 kg/ha. Pemupukan kedua
pada umur 30 hst dengan dosis Urea 150 kg/ha, sedangkan untuk pupuk SP-36
dan KCl diberikan sekaligus pada pemupukan pertama.
Pemeliharaan. Pemeliharaan meliputi penyiangan, penyiraman dan
pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan dilakukan dengan melihat
keberadaan gulma di sekitar tanaman secara manual menggunakan cangkul dan
arit. Penyiangan pertama dilakukan sebelum pemupukan pertama ( 85 %.
f. Panjang malai (cm)
Pengukuran panjang malai dimulai dari pangkai malai sampai ujung malai
tanpa mengikutsertakan rambut malai menggunakan mistar.
g. Jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah bernas per malai dan total
keseluruhan malai per petak. Penghitungan jumlah total malai dilakukan ketika
tanaman gandum dipanen, kemudian dihitung berdasarkan gabah bernas dan
gabah hampaper malai tiap satuan unit percobaan.
h. Total gabah per malai
Total gabah per malaidihitung dari dasar malai sampai ke pucuk malai.
i. Bobot segar tajuk, bobot segar akar, bobot kering tajuk, bobot kering akar (g)

14
Pada saat panen, akar dipisahkan dari tajuknya dan dimasukkan ke dalam
amplop masing-masingnya, kemudian dicuci bersih dan dimasukkan ke oven
70oC selama 72 jam sampai bobotnya konstan lalu ditimbang.
j. Bobot biji per petak (g)
Biji pada malai dirontokkan secara manual pada tiap petak percobaan,
kemudian bijinya ditimbang.
k. Bobot 100 biji (g)
Biji pada masing-masing perlakuan diambil 100 butir, kemudian ditimbang.

15

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Respon Peubah Agronomi dan Fisiologi Tanaman Gandum
terhadap Zat Antitranspiran
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya tiga peubah yang nyata
dipengaruhi oleh zat antitranspiran yakni total stomata permukaan bawah, bobot
segar tajuk dan laju transpirasi (Tabel 1, Lampiran 1). Peubah laju fotosintesis,
suhu daun, konduktansi stomata, tinggi tanaman, jumlah daun, ILD, kehijauan
daun, umur mulai berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah gabah hampa per
malai, jumlah gabah bernas per malai, total malai per petak, total gabah per malai,
bobot kering tajuk, bobot segar akar, bobot kering akar, bobot biji per petak, dan
bobot 100 biji tidak nyata dipengaruhi oleh ketiga jenis zat antitranspiran sebagai
faktor tunggal maupun interaksinya dengan genotipe (Lampiran 1).
Tabel 1

Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh zat antitranspiran
Peubah dan zat antitranspiran

Total stomata permukaan bawah (stoma)
- Kontrol, Vapor Gard 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha
- Kontrol, Selimut Tanaman 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha
- Kontrol, Surround WP/Kaolin 12 kg/ha, 24 kg/ha, 36 kg/ha
Bobot segar tajuk (g)
- Kontrol, Vapor Gard 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha
- Kontrol, Selimut Tanaman 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha
- Kontrol, Surround WP/Kaolin 12 kg/ha, 24 kg/ha, 36 kg/ha
Laju transpirasi (mmol m-2 S-1)
- Kontrol, Vapor Gard 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha
- Kontrol, Selimut Tanaman 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha
- Kontrol, Surround WP/Kaolin 12 kg/ha, 24 kg/ha, 36 kg/ha

Respon
tn
tn
*
tn
**
tn
tn
*
tn

Gambar 1 Respon total stomata permukaan bawah terhadap zat antitranspiran Surround WP/kaolin

16
Perlakuan zat antitranspiran SWP/Kaolin berpengaruh nyata terhadap total
stomata permukaan bawah (Tabel 2). Zat antitranspiran Kaolin pada dosis rendah
menurunkan total stomata permukaan bawah dan meningkat pada dosis yang lebih
tinggi. Total stomata permukaan bawah pada kontrol tetap lebih tinggi
dibandingkan setelah pemberian zat antitranspiran Kaolin (Gambar 1).
Tabel 2 Pengaruh zat antitranspiran Surround WP/kaolin terhadap total stomata
permukaan bawah.
Dosis zat antitranspiran Surround WP
(kg ha-1)

Peubah
Total stomata
permukaan bawah
(stoma)

0

12

24

36

14.12

12.17

13.57

13.47

Pola
Respon

Kuadratik

Perlakuan zat antitranspiran Selimut Tanaman berpengaruh nyata terhadap
bobot segar tajuk dan laju transpirasi (Tabel 3). Antitranspiran Selimut Tanaman
meningkatkan bobot segar tajuk dan laju transpirasi seiring kenaikan dosis
antitranspiran hingga dosis 1.02 dan 1.52 L/ha (Gambar 2).

Gambar 2 Respon bobot segar tajuk dan laju transpirasi terhadap
zat antitranspiran Selimut Tanaman

Tabel 3 Pengaruh zat antitranspiran Selimut Tanaman terhadap bobot segar tajuk
dan laju transpirasi.
Peubah
Bobot segar tajuk (g)
Laju transpirasi
(mmol m-2 s-1)

Dosis zat antitranspiran Selimut Tanaman
(L ha-1)

Pola
respon

0
78.48

0.8
80.21

1.6
84.17

2.4
71.92

Kuadratik

1.96

2.52

3.28

2.66

Kuadratik

17
Hasil dan Komponen Hasil Tanaman GandumterhadapZat Antitranspiran
Peubah panjang malai, total gabah per m