Uji Performansi Alat Pengering Efek Rumah Kaca (ERK) Hybrid Tipe Rak untuk Pengeringan Temulawak (Curcuma xanthorizza Roxb.)

UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH
KACA (ERK) HYBRID TIPE RAK UNTUK PENGERINGAN
TEMULAWAK (Curcuma xanthorizza Roxb.)

ELSAMILA ARITESTY

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Uji Performansi Alat
Pengering Efek Rumah Kaca (ERK) Hybrid Tipe Rak untuk Pengeringan
Temulawak (Curcuma xanthorizza Roxb.) adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2013
Elsamila Aritesty
NIM F14090055

ABSTRAK
ELSAMILA ARITESTY . Uji Performansi Alat Pengering Efek Rumah Kaca
(ERK) Hybrid Tipe Rak untuk Pengeringan Temulawak (Curcuma xanthorizza
Roxb.). Dibimbing oleh DYAH WULANDANI.
Temulawak (Curcuma xanthorizza Roxb.) merupakan salah satu tumbuhan asli
Indonesia yang banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional (ramuan jamu)
untuk menambah nafsu makan dan mengobati gangguan hati dan malaria. Tujuan
penelitian ini adalah menguji performansi alat pengering efek rumah kaca untuk
pengeringan temulawak dan menganalisis sebaran suhu pada ruang pengering.
Pengujian menggunakan temulawak dengan massa 21.08 kg, kadar air 82.87 % bb
menjadi 10.46 % bb membutuhkan waktu 27.5 jam dengan suhu pengeringan
45.47 oC, efisiensi pengeringan 4.247 % dan konsumsi energi spesifik 57.414
MJ/kg uap air. Pengujian dengan massa 60.75 kg, kadar air 81.31 % bb menjadi
8.55 % bb membutuhkan waktu 30.5 jam, suhu pengeringan 41.77 oC, efisiensi

pengeringan 8.519 % dan konsumsi energi spesifik 28.611 MJ/kg uap air.
Efisiensi termal rata-rata dari semua percobaan adalah 20.99 % dengan keragaman
5.37 %. Penggunaan alat pengering pada kapasitas penuh lebih disarankan untuk
pengehematan energi
Kata kunci : alat pengering efek rumah kaca, sebaran suhu, temulawak,

ABSTRACT
ELSAMILA ARITESTY. Dryer Performance Testing of Rack Type Hybrid
Greenhouse Effect Dryer for Drying of Wild Ginger (Curcuma xanthorizza
Roxb.). Supervised by DYAH WULANDANI.
Wild ginger (Curcuma xanthorizza Roxb.) is one of Indonesian native plants that
can be used as herbal medicine to increase the appetite and to treat liver disorder
and malaria. The objectives of this study are to test the dryer performance of the
rack type hybrid green house effect dryer for drying of wild ginger and to analyze
the temperature distribution in the drying chamber. The drying of 21.08 kgs slice
wild ginger at 82.87 % wb to 10.46 % wb need 27.5 hours with temperature
drying at 45.47 oC, drying efficiency of 4.247 % and total specific energy
consumption of 57.414 MJ/kgs vapor. The drying of 60.75 kgs slice wild ginger at
81.31 % wb to 8.55 % wb need 30.5 hours with temperature drying at 41.77 oC,
drying efficiency of 8.519 % and total specific energy consumption of 28.611

MJ/kgs vapor. The average of thermal efficiency of all experiments is 20.99 %,
with variety of 5.37 %. The use of dryer for full capacity is more suggested for
energy saving.
Keywords: greenhouse effect dryer, temperature distribution, wild ginger

UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH
KACA (ERK) HYBRID TIPE RAK UNTUK PENGERINGAN
TEMULAWAK (Curcuma xanthorizza Roxb.)

ELSAMILA ARITESTY

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknik Mesin dan Biosistem

DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2013

Judul Skripsi : Uji Performansi Alat Pengering Efek Rumah Kaca (ERK) Hybrid
Tipe Rak untuk Pengeringan Temulawak (Curcuma xanthorizza
Roxb.)
Nama
: Elsamila Aritesty
NIM
: F14090055

Disetujui oleh

Dr.Ir Dyah Wulandani, MSi
Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Desrial, M.Eng
Ketua Departemen


Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2013 ini ialah pengeringan,
dengan judul Uji Performansi Alat Pengering Efek Rumah Kaca (ERK) Hybrid
Tipe Rak untuk Pengeringan Temulawak (Curcuma xanthorizza Roxb.).
Dengan selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin
menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:
1. Dr.Ir Dyah Wulandani, MSi selaku dosen pembimbing tugas akhir yang telah
memberikan nasihat kepada penulis dalam penelitian hingga penyelesaian
tugas akhir skripsi ini.
2. Dr. M. Yulianto, ST. MT dan Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr selaku dosen
penguji yang telah memberikan masukan yang berharga bagi penulis.
3. Nur Elli, S.Pd.I dan Nurdison (Almarhum) selaku orang tua serta Kurnia
Dwilyand adik penulis, dan keluarga besar bunda Nurlela (Alm), Adang
Sarjalil, Oom Azwarli, Bunda Sajarina, Mama Nuraini, Bapak Okto Verisman,
Uncu Arlius, Ante Risnawati, dan adik-adikku (Iya, Sidiq, Arul, Rahmah,
Fadil, Nayla, Ifa) yang telah memberikan banyak dorongan, motivasi,

semangat dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
4. Stephani, Aditya, Andreas, Desi, Endah, Rizky, Gumilar, Kala, Ivan, Nafis,
Nopri, Amajida, Angela, Tika, Alfredo, Adytia, Jarwo, Jeni, Aynal, Sandi, dan
teman-teman Orion TMB 46 yang membantu selama penulis melakukan
penelitian.
5. Nita, Fefi, Fiona, Amirah, Istikhamah, Kak Riri dan Kak Neni yang telah
memberikan dukungan penulis selama penelitian.
6. Pak Harto, Pak Darma dan Mas Firman yang telah membantu penulis dalam
penelitian, serta seluruh staff UPT TMB IPB yang telah membantu dalam
proses administrasi.
7. Pak Yunus dan staff Balitro yang telah membantu penulis dalam menyediakan
bahan penelitian.
Akhir kata, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat.

Bogor, September 2013
Elsamila Aritesty

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL


ix

DAFTAR GAMBAR

ix

DAFTAR LAMPIRAN

x

PENDAHULUAN

11

Latar Belakang

11

Perumusan Masalah


11

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Temulawak

2

Pengolahan Temulawak


4

Pengeringan Rempah-rempah

5

Teori pengeringan

6

Pengering Efek Rumah Kaca (ERK) Tipe Rak

7

Pindah Panas Sistem

9

METODE


10

Lokasi dan Waktu Penelitian

10

Bahan Penelitian

10

Peralatan Penelitian

11

Tahap Kegiatan Penelitian

11

Parameter Pengukuran


12

Parameter Unjuk Kerja Alat Pengering

14

Analisis Data

14

HASIL DAN PEMBAHASAN

19

Pengujian Tanpa Beban

19

Pengujian dengan Bahan Temulawak

22

Simulasi Keseimbangan Panas pada Ruang Pengering

38

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan

44
44

Saran

44

DAFTAR PUSTAKA

45

LAMPIRAN

47

RIWAYAT HIDUP

69

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.

Syarat mutu temulawak
Hasil penelitian oleh Rokhani (1989)
Studi-studi yang dilakukan pada pengering efek rumah kaca tipe rak
Nilai rata-rata suhu, RH, kecepatan angin, iradiasi surya dan biomassa
Profil sebaran suhu, RH, kecepatan angin rata-rata pada rak, lingkungan
dan outlet
6. Nilai radiasi yang diterima selama percobaan
7. Energi yang diterima selama proses pengeringan
8. Penggunaan energi untuk peningkatan suhu ruang pengering
9. Jumlah dan laju pembakaran biomassa pada percobaan
10. Hasil performansi alat pengering ERK
11. Panas yang hilang pada tungku
12. Nilai efisiensi sistem tungku
13. Panas efektif dan efisiensi sistem tungku dan heat exchanger
14. Kehilangan panas yang terjadi pada dinding pengering
15. Kandungan minyak atsiri dan kadar air akhir temulawak
16. Suhu rata-rata, nilai keragaman dan error hasil validasi
17. Parameter yang digunakan dalam simulasi

4
6
9
22
23
24
28
29
29
34
34
35
36
36
38
42
43

DAFTAR GAMBAR
1. Temulawak (Curcuma xanthorizza Roxb.)
2. Kurva laju pengeringan (Henderson dan Perry 1976)
3. Proses pindah panas pada alat pengering (Leopold 1997)
4. Alat pengering Efek Rumah Kaca (ERK) Hybrid
5. Diagram alir kegiatan penelitian
6. Software Psycometric Chart yang digunakan
7. Sebaran suhu pada ruang pengering P1
8. Sebaran suhu pada ruang pengering P2
9. Sebaran suhu ruang pengering dengan beban (P3)
10. Sebaran suhu ruang pengering dengan beban (P4)
11. Perbandingan RH lingkungan, outlet, dan ruang pengering P3
12. Perbandingan RH lingkungan, outlet, dan ruang pengering P4
13. Penurunan kadar air selama proses pengeringan P3
14. Penurunan kadar air selama proses pengeringan P4
15. Laju pengeringan pada P3
16. Laju pengeringan pada P4
17. Laju pemasukan biomassa dan pengaruhnya terhadap sebaran suhu
ruang pengering pada percobaan 1 (a), percobaan 2 (b), percobaan 3 (c),
dan percobaan 4 (d)
18. Temulawak sebelum (a) dan sesudah dikeringkan P3 dengan alat
pengering (b) dan kontrol (c)

2
7
10
11
13
14
20
21
22
23
24
25
26
26
27
28

31
37

19. Temulawak sebelum (a) dan sesudah dikeringkan P4 dengan alat
pengering (b) dan kontrol (c)
20. Sebaran suhu ruang pengering hasil simulasi dan data pengukuran
21. Sebaran suhu absorber hasil simulasi dan data pengukuran
22. Sebaran suhu heat exchanger hasil simulasi dan data pengukuran

37
41
41
42

DAFTAR LAMPIRAN
1. Titik pengukuran pada alat pengering
2. Sebaran suhu pada P1
3. Sebaran suhu pada P2
4. Sebaran suhu pada P3
5. Sebaran suhu pada P4
6. Hasil performansi alat pengering efek rumah kaca (ERK)
7. Perhitungan performansi alat pengering ERK
8. Kehilangan panas pada dinding tegak tungku (QL1)
9. Kehilangan panas pada lantai dasar tungku (QL2)
10. Kehilangan panas pada lubang udara masuk tungku (QL3)
11. Contoh perhitungan kehilangan panas pada dinding tungku
12. Panas efektif heat exchanger yang diterima oleh ruang pengering
13. Perhitungan parameter pada simulasi

47
48
50
52
54
56
57
61
62
63
64
65
66

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Temulawak (Curcuma xanthorizza Roxb.) merupakan salah satu tumbuhan
asli Indonesia. Rimpang ini banyak digunakan sebagai obat tradisional, paling
umum digunakan sebagai ramuan jamu untuk menambah nafsu makan, air
rebusan atau perasan untuk mengobati gangguan hati, penyakit kuning malaria,
dan pegal-pegal, atau bisa juga dimanfaatkan secara langsung sebagai bahan
bumbu masakan (Afifah 2005). Proses pemanenan pada temulawak dilakukan
dengan menggali tanah disekitar rumpun dan diangkat bersama akar dan
rimpangnya lalu dibersihkan dari kotoran dengan melakukan pencucian pada
temulawak. Temulawak yang akan digunakan untuk jamu, dilakukan perajangan
dengan ketebalan tertentu dan dikeringkan. Pada proses pengeringan ini, bisa
dilakukan dengan cara menjemur langsung dibawah sinar matahari atau
menggunakan alat pengering seperti oven.
Pada saat ini, pengeringan temulawak masih menggunakan pengeringan
secara langsung dibawah sinar matahari. Hal ini sangat mudah dan murah untuk
dilakukan, tetapi pengeringan dengan cara ini membutuhkan waktu yang lama dan
tempat yang luas karena temulawak tidak bisa dikeringkan dengan cara ditumpuk.
Penggunaan alat pengering mekanis untuk mengeringkan temulawak merupakan
salah satu alternatif yang bisa digunakan dan tidak bergantung dengan kondisi
cuaca serta tidak membutuhkan tempat yang terlalu luas. Salah satu alat pengering
mekanis yang menggunakan energi surya adalah pengering Efek Rumah Kaca
(ERK) tipe rak dengan penambahan tungku biomassa, sehingga bisa digunakan
pada kondisi apapun. Penggunaan alat pengering ini diharapkan bisa mempercepat
proses pengeringan pada temulawak dengan mutu yang baik dan menjaga
produktivitas produk kering secara kontinyu.

Perumusan Masalah
Performa alat pengering efek rumah kaca hybrid tipe rak ini belum pernah
diuji coba pada temulawak. Tujuan uji coba adalah untuk mengetahui kemampuan
alat dalam menghasilkan temulawak kering dengan mutu yang baik dan hemat
energi. Dalam rangka penghematan energi, percobaan trial dan error operasi
pengeringan akan membutuhkan biaya percobaan, oleh karena itu diperlukan
analisis pemodelan pindah panas untuk mempercepat dan memudahkan kajian
untuk menentukan kondisi operasi pengeringan terbaik dan rekomendasi desain
pengering yang hemat energi dan efisien.

2
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Melakukan uji performansi alat pengering efek rumah kaca (ERK) hybrid
untuk pengeringan temulawak.
2. Melakukan analisis sebaran suhu pada ruang pengering

Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini yaitu untuk memberikan
informasi dan rekomendasi dalam melakukan proses pengeringan temulawak
menggunakan pengering efek rumah kaca hybrid tipe rak sehingga menghasilkan
mutu produk kering yang tinggi (kadar air seragam).

TINJAUAN PUSTAKA
Temulawak
Temulawak (Curcuma xanthorizza Roxb.) merupakan tanaman asli
Indonesia yang menyukai lingkungan lembab dan terlindung, sehingga sering
tumbuh di hutan jati atau hutan bambu. Selain dapat tumbuh di hutan, temulawak
dapat pula tumbuh ditempat yang agak cerah. Tumbuhan ini menyebar luas di
beberapa wilayah Indonesia, seperti di pulau Jawa, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Kalimantan dan Sulawesi. Di
daerah Jawa Barat rimpang ini dapat dijumpai di beberapa daerah, seperti di
Kecamatan Jatiluhur, Darangdan, Plered, dan Sukatani di Kabupaten Purwakarta;
Kecamatan Mande, Cipeundey, Cililin, Cipongkor, Rancangpanggung, Cikalong
Kulon, Batujajar Kabupaten Bandung; Kecamatan Wado, Situraja, dan
Tanjungsari di Kabupaten Sumedang. Di daerah Jawa Tengah, temulawak banyak
ditemukan di daerah Purworejo, Blora dan Wonogiri (Afifah 2005).

Gambar 1 Temulawak (Curcuma xanthorizza Roxb.)
Temulawak merupakan tanaman tahunan, berbatang semu, berwarna hijau
dan cokelat gelap. Tinggi batangnya antara 15 cm sampai 20 cm, paling tinggi

3
dibanding kerabat-kerabat semarganya. Batangnya tersusun atas upih-upih daun,
seperti halnya upih-upih daun yang ada pada pisang, tumbuh tegak lurus dan
berumpun. Daunnya berbentuk seperti lembing jorong agak melonjong (oblong
elliptic). Telapak daunnya berwarna hijau tua, bergaris-garis cokelat, lebarnya
antara 1 cm sampai 2.5 cm, dan berbintik-bintik jernih hijau muda. Di sisi kiri
kanan tulang daun biasanya ada tanda semacam pita memanjang yang warnanya
merah keunguan. Punggung daunnya berwarna pudar dan berkilat. Akar
temulawak terdiri dari umbi akar yang berbentuk telur (silinder pusat berwarna
kuning-tua dan kulit berwarna kuning muda) (Afifah 2005).
Rimpang temulawak banyak digunakan sebagai komponen utama dalam
sediaan jamu atau obat tradisional dan dimanfaatkan dalam bentuk kering.
Rimpang temulawak mengandung zat kuning kurkumin, minyak atsiri, pati,
protein, lemak (fixed oil), selulosa dan mineral. Di antara komponen tersebut,
komponen yang paling banyak digunakan adalah pati, kurkuminoid, dan minyak
atsiri. Ketiganya banyak digunakan, baik dalam industri maupun dalam rumah
tangga. Pati pada temulawak mudah dicerna, sehingga cocok digunakan sebagai
makanan bayi atau makanan orang yang baru sembuh dari sakit dan sebagai
campuran bahan makanan atau sumber karbohidrat. Minyak atsiri pada temulawak
diperoleh dari hasil penyulingan. Minyak atsiri temulawak mempunyai khasiat
sebagai kolagoga (peluruh empedu). Minyak ini digunakan sebagai campuran obat
rematik. Kurkuminoid mempunyai aroma khas, tidak toksik (tidak beracun), dan
berbentuk serbuk dengan rasa sedikit pahit. Dalam suasana asam, kurkuminoid
berwarna kuning atau jingga dan dalam suasana basa berwarna merah.
Temulawak dapat dimanfaatkan sebagai obat, sumber karbohidrat, bahan
penyedap masakan dan minuman, serta pewarna alami untuk masakan dan
kosmetik. Berdasarkan penelitian dan pengalaman, temulawak telah terbukti
berkhasiat dalam menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Misalnya dapat
digunakan untuk pengobatan gangguan fungsi hati (lever), baik pada hepatitis
maupun pada perlemakan hati. Sebagai obat gangguan hati, temulawak bekerja
sebagai kolagoga, yakni meningkatkan produksi dan sekresi empedu, menurunkan
kadar kolestrol hati dan mengaktifkan enzim pemecah lemak di hati. Dalam
bentuk rebusan dan ekstrak, temulawak dipakai untuk pengobatan kolelitiasis,
kolesistitis, dan kerusakan pada parenkim hati. Temulawak dapat digunakan
sebagai obat anti-inflamasi atau antiradang (Afifah 2005).
Melalui aktivitas anti-inflamasinya, temulawak efektif untuk mengobati
penyakit radang sendi, rematik, atau arthritis rematik. Melalui aktivitas
hipolesterolemiknya, temulawak dapat menurunkan kadar kolestrol total dan
mempunyai indikasi menurunkan kadar lipoprotein densitas tinggi (HDL)
kolestrol. Temulawak juga mempunyai sifat fungistatik atau antijamur terhadap
beberapa jamur golongan dermatophyta. Selain bersifat fungistatik, temulawak
juga bersifat bakteriostatik atau antibakteri pada mikroba jenis Staphylococcus
dan Salmonella. Temulawak telah dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai
gangguan kesehatan, seperti menambah nafsu makan, menyembuhkan sakit maag,
batuk, asma, sariawan, panas, malaria, ambient, sembelit, dan diare. Di samping
itu, memperbanyak air susu ibu (ASI), mengobati gangguan saat nifas dan
menstruasi, eksim, kencing nanah atau sifilis, kembung dan mulas, asam urat,
sakit pinggang, pegal linu, hipertensi, kencing batu, membersihkan darah, kutu
air, muntah-muntah, muntaber, serta mengatasi gangguan cacing pita. Pemakaian

4
temulawak untuk pengobatan umumnya dilakukan dalam bentuk ramuan, baik
tunggal maupun campuran (Afifah 2005).
Pengolahan Temulawak
Temulawak ini dipanen dalam bentuk rimpang. Pada umumnya rimpang
yang dipergunakan sebagai bahan baku industri jamu dan obat adalah rimpang
induk, sedangkan rimpang cabang (anak rimpang) dipergunakan sebagai benih.
Rimpang yang digunakan sebagai bahan baku jamu dan obat, dijaga
kebersihannya, dicuci dengan air bersih, dirajang tipis-tipis kemudian dijemur.
Perajangan dilakukan dengan ketebalan ± 4-7 mm. Hasil rajangan (simplisia)
tersebut kemudian dijemur dibawah sinar matahari ditutupi dengan kain hitam,
diusahakan tidak terkena langsung sinar matahari. Sedangkan suhu untuk
dikeringkan didalam oven diusahakan suhunya 40 oC (Rahardjo 2010).
Proses pengeringan rimpang ini, harus memperhatikan tentang kondisi
suhu. Suhu yang terlalu tinggi, bisa menyebabkan kehilangan zat-zat aktif yang
terkandung di dalamnya. Kandungan zat aktif pada bahan dipengaruhi oleh suhu
pengeringan. Suhu pengeringan yang melebihi 60 oC dapat mengurangi
kandungan atsiri pada bahan. Karena bahan aktif yang terkandung pada bahan,
pengeringan pada suhu tinggi lebih mudah menguap dibandingkan dengan
pengeringan pada suhu rendah. Untuk mendapatkan produk dengan kandungan
atsiri yang lebih baik, suhu pengeringan harus bisa dipertahankan berkisar 40 oC
sampai 60 oC. Rimpang kering ini memiliki standar mutu untuk pasaran luar
negeri dapat dilihat pada Tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1 Syarat mutu temulawak
No. Uraian
1.
Warna
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Aroma
Rasa
Kadar air maksimum
Kadar abu
Kadar pasir (kotoran)
Kadar minyak astiri minimal
Sumber : www.iptek.net.id

Persyaratan
kuning-jingga sampai
coklat kuning-jingga
Khas wangi aromatis
Mirip rempah dan agak pahit
12 %
3-7 %
1%
5%

Temulawak merupakan salah satu bahan baku yang digunakan untuk
pembuatan jamu. Pengolahan temulawak menjadi jamu melalui tahapan yaitu:
proses pengolahan bahan dasar dan produksi bahan baku menjadi jamu (Fauziah
2010). Tahapan dalam proses pengolahan bahan dasar adalah :
- Setelah temulawak dipanen dilakukan penyortiran. Penyortiran ini untuk
memisahkan rimpang temulawak yang busuk atau rusak dan memisahkan
kotoran.
- Pencucian atau pembersihan dilakukan untuk menghilangkan tanah dan
cemaran lain yang masih menempel pada rimpang temulawak.
- Pengecilan ukuran dilakukan dengan cara perajangan pada ketebalan 3
sampai 5 mm.

5
-

-

Pengeringan dilakukan supaya bahan tidak mudah rusak sehingga dapat
disimpan dalam waktu yang lama. Pengeringan temulawak biasanya
dengan pengeringan alami dan buatan. Pengeringan alami dilakukan
dengan memanfaatkan sinar matahari melalui penjemuran. Pada
penjemuran ini harus selalu dibolak-balik supaya bahan tidak terlalu
kering dan pengeringannya merata. Sedangkan dengan pengeringan
buatan, menggunakan oven dengan suhu 60 oC. Pengeringan secara lebih
terperinci dijelaskan pada sub bab pengeringan dan pengeringan rempahrempah dibawah ini.
Sortasi kering dilakukan untuk menghilangkan cemaran-cemaran benda
asing pada saat pengeringan.
Penimbangan bahan baku dilakukan setelah bahan baku kering dan bersih,
setelah itu dilakukan penyimpanan.

Tahapan selanjutnya adalah produksi bahan baku menjadi jamu dalam bentuk
serbuk, yaitu :
- Bahan baku kering dan bersih diambil dari tempat penyimpanan, lalu
dilakukan peracikan. Peracikan dilakukan sesuai dengan formula yang
dibutuhkan.
- Pengeringan singkat dilakukan bersamaan dengan peracikan yang
bertujuan untuk mengurangi jumlah kadar air yang dimungkinkan
bertambah pada saat penyimpanan.
- Penggilingan dilakukan sesuai dengan kebutuhan dalam pembuatan jamu.
- Tahapan selanjutnya adalah pengayakan sampai dengan proses
pengemasan sesuai dengan kebutuhan.
Pengeringan Rempah-rempah
Penelitian yang terkait dengan pengeringan tanaman obat seperti temulawak,
temu putih, kunyit, jahe telah banyak dilakukan. Tetapi untuk pengeringan
temulawak dengan alat pengering efek rumah kaca (ERK) hybrid tipe rak ini,
masih belum dilakukan. Beberapa penelitian yang terkait:
- Karakteristik pengeringan temu putih oleh Nursani (2008). Penelitian ini
tentang karakteristik pengeringan rimpang temu putih yang meliputi
penurunan kadar air dan laju pengeringan, mendapatkan model matematis
pengeringan lapisan tipis yang sesuai dengan beberapa metode. Hasil yang
didapatkan adalah :
Perhitungan nilai kadar air keseimbangan dugaan dihitung berdasarkan
metode regresi linear dan menghasilkan persamaan :
Me = 145.49525-0.41911T, untuk 313 K ≤ T ≤ 333 K
Perhitungan nilai konstanta pengeringan dugaan dihitung berdasarkan
metode regresi linear dan menghasilkan persamaan :
k = -0.023307 + 0.00082114 T + 0.35241 RH – 0.00121 T RH
untuk 313 K ≤ T ≤ 333 K dan 20 % ≤ RH ≤ 80 %
Perhitungan nilai konstanta n dugaan dihitung berdasarkan metode regresi
linear dan menghasilkan persamaan :
n = 1.02694 + 0.68382 RH – 0.40771 RH2, untuk 20 % ≤ RH ≤ 80 %.

6
-

Pengeringan jahe dan kunyit oleh Rokhani (1989). Penelitian ini melakukan
uji performansi pengering tipe rak pada pengeringan jahe dan kunyit serta
pengaruh perlakuan pendahuluan terhadap mutu yang dihasilkan. Dengan hasil
yang didapatkan dapat dilihat pada Tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2 Hasil penelitian oleh Rokhani (1989)
Hasil pengamatan
Irisan
RH (%)
Kapasitas alat (kg)
Kadar air awal (%)
Suhu plenum (oC)
Kadar air akhir ( %)
Waktu pengeringan (jam)
Laju pengeringan (kg air/jam atau ( % bb/jam)
Efisiensi pemanasan (%)
Efsiensi penggunaan panas (%)
Efisiensi pengeringan total (%)

-

Jahe
2 lapis
66.7
140
86.74
72.3
8.84
22
5.44 / 3.54
43.62
62.43
27.23

Kunyit
3 lapis
62.9
168
83.86
65.7
7.46
19
7.30 / 4.02
60.45
67.27
40.66

Optimasi pengeringan lapisan tipis simplisia temu putih dan temu lawak
berdasarkan analisis eksergi oleh Manulu (2011). Hasil yang didapatkan dari
penelitian ini adalah :
Pengeringan temu putih dan temulawak berlangsung pada laju periode
menurun dimana difusi merupakan mekanisme pengontrol pergerakan air
di dalam bahan.
Pada suhu pengeringan 40 oC kadar air akhir temu putih tidak dapat
mencapai standar 10 % bb. Untuk dapat mencapai kadar air tersebut temu
putih dan temulawak harus dikeringkan pada suhu 50 oC dengan RH
dibawah 30 % atau pada suhu 60 oC dan 70 oC.
Model Page adalah model yang paling sesuai untuk mewakili karakteristik
pengeringan temu putih dan temulawak dengan nilai rata-rata koefisien
determinasi (R2) dan standard error (SE) masing-masing sebesar 0.9990
dan 0.0079 untuk temu putih serta 0.9988 dan 0.0085 untuk temulawak.
Persamaan dari model Page adalah MR = exp( -ktn ).
Konstanta pengeringan temu putih dan temulawak bervariasi menurut suhu
pengeringan pada selang 0.0041 dan 0.0353 menit-1 serta 0.0113 dan
0.0292 menit-1. Semakin tinggi suhu pengeringan maka nilai konstanta
pengeringan temu putih dan temulawak semakin tinggi pula.
Teori pengeringan

Menurut Henderson dan Perry (1976), pengeringan adalah pengeluaran air
dari suatu bahan pertanian menuju kadar air keseimbangan dengan udara
sekeliling atau pada tingkat kadar air dimana mutu bahan pertanian dapat dijaga
dari serangan jamur, aktivitas serangga dan enzim. Keuntungan utama dari proses
pengeringan adalah bahan lebih tahan lama disimpan pada suhu ruang karena

7
mikroba dan enzim pada bahan pangan dapat diatasi akibat berkurangnya kadar
air dalam bahan.
Proses pengeringan terdiri dari dua periode yaitu periode pengeringan
dengan laju tetap atau konstan dan periode dengan laju menurun. Periode
pengeringan dengan laju tetap merupakan proses perpindahan massa air yang
berasal dari permukaan bahan. Proses ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan
uap air antara permukaan bahan dengan udara pengering. Proses ini akan terus
berlangsung sampai air bebas pada permukaan telah hilang. Sedangkan
pengeringan dengan laju menurun akan berlangsung setelah pengeringan laju
konstan selesai. Kadar air diantara kedua periode tersebut disebut dengan kadar
air kritis. Pengeringan dengan laju menurun akan berhenti hingga tercapai kadar
air keseimbangan. Kadar air kesetimbangan merupakan kadar air terendah yang
dapat dicapai pada suhu dan kelembaban tertentu ( Henderson dan Perry 1976).
Kurva laju pengeringan oleh Henderson dan Perry (1976) dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2 Kurva laju pengeringan (Henderson dan Perry 1976)

Pengering Efek Rumah Kaca (ERK) Tipe Rak
Pengering efek rumah kaca (ERK) adalah alat pengering berenergi surya
yang memanfaatkan energi surya yang terjadi karena adanya penutup transparan
pada dinding bangunan, serta plat absorber sebagai pengumpul panas untuk
menaikan suhu udara pengering di dalamnya (Kamaruddin et al. 1994).
Alat pengering ERK tipe rak memiliki dua bagian utama yaitu bangunan
rumah kaca dan rak. Bangunan rumah kaca berfungsi sebagai pengumpul panas
sedangkan rak digunakan sebagai tempat untuk meletakan bahan yang akan

8
dikeringkan. Bangunan rumah kaca yang berfungsi sebagai kolektor panas terdiri
dari plat hitam dan lantai (absorber) serta atap dan dinding transparan (Manulu
dan Kamaruddin 2001).
Energi matahari berupa gelombang pendek yang ditransmisikan lewat atap
dan dinding diserap oleh absorber dan sebagian dipantulkan. Pantulan dalam
bentuk gelombang panjang ini terperangkap dalam ruangan sehingga terjadi
akumulasi panas yang menyebabkan peningkatan suhu di dalam rumah kaca
sekaligus ruang plenum (Manulu dan Kamaruddin 2001).
Radiasi surya akan diteruskan oleh bahan transparan menuju ke pelat
absorber yang dicat hitam. Penyerapan akan dilakukan oleh absorber, bergantung
pada nilai absorbtivitasnya, sehingga suhu absorber akan naik. Absorber ini
sebagaimana sifat permukaan seluruh benda akan memancarkan radiasi (emisi)
panas, akan tetapi karena sifat bahan transparan yang akan mengabsorbsi radiasi
gelombang panjang, maka radiasi ini tidak keluar. Selain itu bahan transparan juga
berfungsi untuk menghambat terjadinya konveksi dengan udara luar. Terjadinya
perbedaan suhu antara absorber dengan suhu udara diatasnya (dibawah bahan
transparan) membuat pindah panas berlangsung ke udara tersebut. Untuk tipe
pengering tanpa pelat, lantai digunakan sebagai absorber (Kamaruddin 2007).
Daya serap radiasi (absorptivitas) dari suatu bahan bergantung pada jenis
permukaannya. Akan tetapi, suatu permukaan yang mempunyai absorptivitas yang
tinggi juga mempunyai nilai emisivitas yang tinggi (daya pancar radiasi) pula.
Pada suatu keseimbangan termal keduanya mempunyai nilai yang sama, akan
tetapi karena sumber penerimaan radiasi adalah matahari maka kedua nilai ini
akan berbeda. Nilai absorptivitas ini dinamakan dengan absorptivitas surya (solar
absorptivity) (Kamaruddin 2007).
Untuk mendapatkan panas yang besar maka pemilihan bahan diusahakan
agar mempunyai nilai absorpsi yang tinggi dan nilai emisivitas yang rendah.
Pemilihan bahan dengan bahan yang ringan dapat mempercepat perubahan suhu
yang berarti suhu akan cepat naik tetapi suhu juga cepat turun. Penggunaan cat
hitam dapat mempertinggi nilai absorptivitas, karena pada umumnya wana hitam
mempunyai nilai absorptivitas yang tinggi (Kamaruddin 2007).
Energi panas ini dengan bantuan kipas dipakai untuk mengeringkan bahan
yang ada dalam rak pengering. Pengeringan dengan energi surya mempunyai
kelemahan yaitu tidak kontinyu dan sewaktu-waktu dapat terhalang oleh hujan
atau awan. Salah satu upaya melakukan pengeringan lanjutan pada saat cuaca
tidak mendukung atau pada malam hari adalah dengan memberikan pemanas
tambahan (Manulu dan Kamaruddin 2001). Pemanas tambahan yang digunakan
adalah tungku biomassa yang mempunyai nilai ekonomis rendah namun memiliki
nilai kalor yang tinggi, murah dan mudah didapat. Keuntungan pengering ERK
antara lain : disain tidak rumit, pengoperasian sederhana, bahan konstruksi mudah
diperoleh, dan performansi cukup baik. Studi-studi yang menunjukkan
performansi ERK (Sari 2012) dapat dilihat pada Tabel 3.

9
Tabel 3 Studi-studi yang dilakukan pada pengering efek rumah kaca tipe rak

Komoditas
Kakao
Uji lab 1
Uji lab 2
Uji Lapang
Kopi robusta
Panili
Cabai
Ketimun
Pepaya
Pisang
Cengkeh
Pala

Suhu
Pengeringan
59
49.2
45.8
37
51
40
40
39
40.6
39.1 - 48.4
41.77

Waktu
Penge
ringan
(jam)

Kapa
sitas
(kg)

η
(%)

40
32
43
60
52
4
9.5
33
11
45 61
52

228
400
190
1114
52
1.6
5.6
40
18
39,
80
150

18.4
55
18
57.7
7.5
10.5
9.7
1219.1
8.63

KES
(MJ /
kg)
12.9
5.2
14.4
5.5
-

Sumber
Nelwan (1997)
Manalu (1998)
Kamaruddin (1998)
Wulandani (1997)
Mursali (1994)
Kamaruddin (1995)
Tahir (1998)
Mirza (1997)

16 23.3
28.521

Wulandani (2005)
Hatini (2010)

Pindah Panas Sistem
Pindah panas yaitu proses perpindahan dari media pengering ke bahan
untuk mengatasi panas laten penguapan. Proses pindah panas yang terjadi di
dalam sistem pengering secara konduksi, konveksi dan radiasi. Konduksi adalah
pindah panas di dalam bahan atau dari suatu bahan ke dalam yang lain dengan
saling menukarkan energi kinetik antara molekul tanpa ada pergerakan dari
molekul tersebut. Konveksi adalah transfer energi yang disebabkan oleh adanya
pergerakan fluida panas (Singh dan Heldman 1984).
Pindah panas konveksi dinyatakan oleh Singh dan Heldman (1984)
sebagai laju panas dari panas yang berubah pada interfase antara fluida dan bahan
bakar padat tempat dimana panas akan dialirkan. Laju pindah panas konveksi
sebanding dengan perbedaan suhu. Koefisien pindah panas konveksi merupakan
salah satu sifat termofisik yang sangat berpengaruh terhadap proses pindah panas
antara udara pengering dengan bahan tetapi tidak mencirikan karakteristik dari
produk tersebut. Dengan mengetahui nilai dan simulasi koefisien pindah panas
konveksi (h) maka dapat ditentukan tingkat suhu dan kecepatan udara yang sesuai
untuk pengeringan pada komiditi tertentu.
Proses pindah panas secara radiasi berasal dari radiasi surya diterima
permukaan penutup bangunan transparan dalam bentuk gelombang pendek,
kemudian menembus penutup transparan dan masuk ke dalam bangunan
pengering mengenai seluruh komponen. Energi yang dipancarkan dari seluruh
komponen ini berupa gelombang panjang. Pada saat mencapai dinding bangunan,
energi dengan gelombang panjang tidak dapat menembus, tetapi dipantulkan
kembali ke dalam bangunan, pantulan-pantulan energi ini akhirnya mengakibatkan peningkatan suhu udara di dalam ruang pengering. Peningkatan suhu udara di
dalam ruang bangunan dapat ditingkatkan lagi dengan penambahan plat besi

10
hitam (legam atau tidak mengkilat), yang berfungsi sebagai pengumpul panas.
Radiasi matahari yang masuk melalui dinding bangunan dan panas yang berasal
dari penukar panas dapat diserap dengan baik oleh plat besi hitam, selanjutnya
diemisikan ke udara didalam bangunan. Plat besi hitam dipilih karena memiliki
daya serap (absorpsivitas) dan daya pancar (emisivitas) yang tinggi. Akhirnya
udara panas ini digunakan untuk memanaskan produk di dalam rak dan untuk
menguapkan air dari dalam produk (Wulandani 2005). Skema proses pindah panas
oleh Leopold (1997) pada ruang pengering dapat dilihat pada Gambar 3.
Iradiasi surya

Absorber Plate

Produk

Udara pengering

Dinding

Inlet dan outlet

Kipas

Udara lingkungan

Gambar 3 Proses pindah panas pada alat pengering (Leopold 1997)
Keterangan :

Pindah panas radiasi
Pindah panas konduksi dan konveksi
Pindah panas konveksi
Pindah massa (uap air)

METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi
Pertanian dan Laboratorium Lapang Siswadhi Soepardjo Leuwikopo Departemen
Teknik Pertanian, FATETA IPB. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Juni 2013.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah temulawak sebanyak 110
kg yang didapatkan dari Balai Penelitian Obat dan Rempah (Balitro Cimanggu),
dan kayu bakar yang digunakan sebagai bahan bakar dalam proses pengeringan.

11

Peralatan Penelitian
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat pengering efek rumah
kaca (ERK) hybrid yang dilengkapi dengan tungku sebagai pemanas tambahan
hasil rancangan Wulandani et al. (2009). Alat pengering ini terdiri dari beberapa
bagian utama yaitu bangunan rumah kaca dengan dimensi : p =4.45 m, l =1.855
m, t =3.065 m yang dapat dilihat pada Gambar 4. Dinding dan atap terbuat dari
bahan tembus cahaya (policarbonat) dengan tebal 0.0015 m. Plat penutup pada
bagian bawah terbuat dari plat besi (esser) dicat hitam berfungsi sebagai absorber.
Produk yang akan dikeringkan ditempatkan pada rak bersusun vertikal dengan
dimensi p=0.5 m, l=0.6 m, berjumlah 144 buah terbagi kedalam 8 (delapan)
kolom susunan rak. Masing-masing kolom terdiri dari 18 level tersebar ke dalam
2 (dua) segmen kiri (ruang 1) dan kanan (ruang 2). Tungku biomassa yang
digunakan berdimensi (0.176 m2 x 1 m). Penggunaan tungku ditempatkan
ditengah bangunan yang bertujuan untuk menghasilkan energi panas yang dapat
menjangkau kedua segmen ruang pengering. Untuk mentransfer energi panas dari
tungku digunakan heat exchanger (HE) yang terletak diatas tungku. Untuk
mensirkulasikan udara panas diruang pengering digunakan 4 buah kipas dengan
daya kipas sebesar 80 Watt. Alat yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 4.
Atap
Dinding Transparan
Heat exchanger
Rak
Lantai absorber
Tungku
Gambar 4 Alat pengering Efek Rumah Kaca (ERK) Hybrid
Instrumen yang dibutuhkan sebagai berikut termokopel tipe CC dan hybrid
recorder, Pyranometer model MS-401, timbangan digital dengan ketelitian 0.1 g,
timbangan pegas, termometer alkohol, anemometer kanomax tipe 6011, drying
oven SS-204 D Ikeda Scientific, pisau stainless steel, alat ukur waktu, alat ukur
panjang dan alat tulis.
Tahap Kegiatan Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan yang dapat dilihat
pada diagram alir penelitian pada Gambar 5. Kegiatan penelitian terdiri dari
beberapa tahapan, yaitu :
Persiapan alat dan bahan : Persiapan alat dilakukan untuk menentukan titiktitik pengukuran pada alat. Untuk persiapan bahan, temulawak dicuci terlebih

12

-

-

-

-

-

dahulu, setelah itu dibersihkan dan dibuang kulitnya lalu dirajang dengan
ketebalan 3-5 mm.
Simulasi keseimbangan panas pada alat pengering : dilakukan melalui
pendekatan-pendekatan dari distribusi suhu yang dihasilkan pada pengujian
tanpa beban, sehingga didapatkan model yang sesuai. Simulasi ini bertujuan
untuk mengetahui sebaran suhu setiap menitnya yang dipengaruhi oleh
parameter-parameter yang ada dan hasilnya dapat digunakan untuk
memperkirakan suhu ruang pengering dan suhu-suhu komponen lainnya
dalam ruang pengering sepanjang proses pengeringan.
Pengujian tanpa beban : pengujian tanpa beban ini dilakukan untuk
mengetahui distribusi suhu pada ruang pengering. Pengujian tanpa beban
dilakukan dua kali percobaan yaitu P1 dan P2 selama 24 jam dengan
pengambilan data setiap 30 menit
Percobaan pengeringan dengan beban : dilakukan dengan dua kali percobaan,
yaitu percobaan dengan kondisi alat diisi bahan sebagian pengisian pada
ruang dua (P3) dengan massa bahan 30 kg dan percobaan dengan pengisian
bahan penuh (P4) dengan massa bahan 70 kg. Pada saat percobaan dilakukan
pengeringan dengan penjemuran (kontrol). Penjemuran ini dilakukan untuk
mengetahui perbedaan waktu pengeringan dan produk yang dikeringkan
dengan menggunakan alat pengering. Pengujian dengan beban bertujuan
untuk mengetahui kemampuan alat pengering dengan menggunakan bahan
temulawak.
Pengujian mutu : dilakukan berdasarkan kadar air akhir pengeringan, warna
dari produk yang dikeringkan dan minyak atsiri yang terkandung dalam
temulawak kering.
Uji performa alat : Setelah percobaan selesai, maka dilakukan analisis unjuk
kerja dari alat tersebut. Analisis dilakukan terhadap tingkat keragaman kadar
air produk kering, efisiensi pengeringan dan konsumsi energi spesifik.
Parameter Pengukuran

Parameter pengukuran yang dibutuhkan pada saat analisis data adalah :
1. Suhu ruang pengering dan sebarannya
Diukur menggunakan termokopel CC dengan selang pengukuran 30 menit.
Titik-titik pengukuran pada alat pengering dapat dilihat pada Lampiran 1.
2. Kadar air bahan
Kadar air bahan yang diukur meliputi kadar air awal, kadar air akhir, dan
penurunan kadar air selama proses pengeringan. Kadar air selama proses
pengeringan diperoleh dari perubahan massa bahan selama proses
pengeringan. Sedangkan kadar air awal dan akhir dihitung menggunakan
metode oven. Sampel diambil dari rak bawah, tengah dan rak atas.

13
Mulai

Pengujian pengering
tanpa beban (P1 dan P2)

Pemodelan
pindah panas

Pengujian pengering
dengan beban (P3 dan P4)
dan Uji mutu produk
kering

Valid ?

Tidak

Ya
Analisis performansi
pengering

Rekomendasi

Selesai
Gambar 5 Diagram alir kegiatan penelitian
3. Lama pengeringan
Waktu yang dibutuhkan sejak temulawak dikeringkan pada kadar air
tertentu hingga kadar air yang dikehendaki.
4. Laju aliran udara pengering
Diukur menggunakan anemometer Model 6011 Kanomax, dengan
ketelitian alat 0.01 m/s . Bagian yang di ukur meliputi kecepatan aliran udara
lingkungan dan kecepatan udara keluar pengering (outlet). Pembacaan data
dilakukan setiap 30 menit sekali.
5. Kelembaban udara (RH)
Meliputi RH lingkungan, RH ruang pengering dan RH outlet. Diukur
menggunakan termometer bola basah dan bola kering, dengan ketelitian
termometer alkoholnya 2 oC. Setelah didapatkan nilai dari termometer bola
basah dan bola kering, maka didapatkan nilai RH dengan menggunakan
psychometric chart. Psychometric chart yang digunakan berupa software
psychometric chart, yang dapat dilihat pada Gambar 6.

14

Nilai RH yang diperoleh

Termometer Bola Kering

Termometer Bola Basah

Gambar 6 Software Psycometric Chart yang digunakan
6. Iradiasi surya global
Pengukuran menggunakan pyranometer dan diletakan ditempat yang tidak
terhalang cahaya matahari.
7. Kebutuhan biomassa
Jumlah biomassa yang dibutuhkan selama proses pengeringan merupakan
penggunaan biomassa yang terbakar.
8. Kebutuhan energi listrik
Energi yang digunakan sebagai daya penggerak kipas.
Parameter Unjuk Kerja Alat Pengering
Parameter-parameter yang berpengaruh terhadap unjuk kerja sistem pengering
adalah :
- Efisiensi penggunaan energi
- Kebutuhan energi selama proses pengeringan
- Tingkat keragaman kadar air produk
- Mutu temulawak yang dihasilkan berupa kadar air akhir, warna, dan
kandungan minyak atsiri.
Analisis Data
Analisis untuk Uji Performansi Alat Pengering
Analisis yang dilakukan pada proses pengeringan untuk uji performansi
adalah:

15
-

Perubahan kadar air bahan
Perhitungan kadar air bahan menggunakan persamaan :
……………………………………….. (1)
……………………………………….. (2)
Keterangan :
m
= kadar air basis basah ( % bb)
M
= kadar air basis kering ( % bk)
mw
= massa air dalam produk (kg)
ms
= massa produk (kg)

-

Rendemen
Rendemen pengeringan merupakan rasio antara total bobot awal
(sebelum pengeringan, mo) dengan total bobot akhir (setelah pengeringan,mf).
………………………………….. (3)

-

Standar deviasi
Standar deviasi adalah suatu nilai yang menunjukkan tingkat (derajat)
variasi kelompok data atau ukuran standar penyimpangan dari meannya
(Riduwan 2011). Persamaan yang digunakan untuk mencari SD :

…………………………………………... (4)
Keterangan :
SD
X
n
-

= Standar deviasi
= data yang diketahui
= jumlah data

Error
Pencarian nilai error pada validasi simulasi menggunakan rumus :
…………………………….. (5)

-

Laju pengeringan dapat diukur dengan rumus :
……………………………………………... (6)
Keterangan :
dM/dt = laju pengeringan ( % bk/jam)

16
Mt
= kadar air pada waktu t ( % bk)
Mt+∆t = kadar air pada waktu t + ∆t ( % bk)
∆t
= selang waktu (jam)
-

Kebutuhan energi untuk proses pengeringan
Energi untuk proses pengeringan (QT)
……………………………………………... (7)
QT = Q1 + Q2
Q1 = mo x Cpb x (T2 – T1)
………………………...……………... (8)
Nilai Cpb ditentukan dengan persamaan Siebel (Helman dan Singh, 1981)
sebagai berikut,
…………………………………………... (9)
Cpb = 0.837 + 0.034 x Mo
Q2 = mu x Hfg
………………………………………........... (10)
………………………………………........... (11)
Keterangan :
Q1 = panas yang digunakan untuk meningkatkan suhu bahan (kJ)
Q2 = panas yang digunakan untuk menguapkan air pada temulawak (kJ)
mo = massa awal temulawak (kg)
mu = massa air yang diuapkan (kg)
Cpb = panas jenis temulawak ((kJ/kg oC)
Mo = kadar air awal temulawak ( % bb)
Mf = kadar air akhir temulawak ( % bb)
Hfg = panas laten penguapan temulawak (kJ/kg), diperoleh dari tabel pindah
panas berdasarkan suhu ruang pengering
T1 = suhu temulawak sebelum dipanaskan (oC)
T2 = suhu temulawak setelah dipanaskan (oC)

-

Efisiensi termal
………………………………. (12)
…………………………. (13)

-

Efisiensi Pengeringan
……………………..…………………. (14)
……………………………………………... (15)
…………………………. (16)
………………………………………... (17)

17
Keterangan :
Qb
= energi biomassa (kJ)
Qsurya = energi surya yang diterima oleh model pengering (kJ)
mb
= massa biomassa (kg)
Qkb
= nilai kalor biomassa (kJ/kg)
Ig
= iradiasi surya (W/m2)
Ap
= luas permukaan model pengering (m2)
τ
= transmisivitas bahan model pengering (-)
α
= absorpsivitas bahan penyerap (-)
t
= lamanya penyinaran matahari (jam)
Qlistrik = energi listrik untuk menggerakkan kipas (kJ)
Pk
= daya listrik (Watt)
t
= waktu pengeringan (jam)
-

Konsumsi energi spesifik
………………………………. (18)
Keterangan :
KES = konsumsi energi spesifik (kJ/kg uap air)
Qb
= energi biomassa (kJ)
Qsurya = energi surya yang diterima oleh model pengering (kJ)
Qlistrik = energi listrik untuk menggerakkan kipas (kJ)
muap = massa air yang diuapkan dari kerupuk (kg)

Pindah Panas pada Sistem Pengering
Analisis proses pindah panas pada tungku dan dinding pengering transparan
adalah sebagai berikut :
1. Tungku
Pada tungku terjadi kehilangan panas dari sistem yaitu kehilangan panas
pada dinding tegak tungku (Watt), kehilangan panas pada lantai dasar tungku
(Watt), kehilangan panas pada lubang udara masuk tungku (Watt).
Kehilangan panas pada dinding tegak tungku didekati dengan persamaan :
Q L1 = (hA×(Tdt –Ta)) + (σ×A×ε×(T4dt - T4a)) ………………………. (19)
h = Nu (ku/L)
…………………………………………………... (20)
dimana :
Q L1
A
L
Tdt

= kehilangan panas pada dinding tegak tungku (Watt)
= luas dinding tegak (m2)
= dimensi karakteristik, L = tinggi/panjang
= Suhu dinding tegak tungku (oC)

Perhitungan nilai h untuk dinding tegak dipengaruhi oleh bilangan Nusselt
seperti pada persamaan berikut Holman (1997) :

18
Nu = C × (Ra)m

………………………………. (21)

Nilai konstanta C dan m dapat diketahui nilainya berdasarkan geometri
(Holman 1997).
Ra = Gr Pr

………………………………………………………… (22)
………………………………………………. (23)
………………………………………………. (24)
………………………………………………. (25)

Keterangan :
Nu
Ra
Gr
Pr
g
∆t
v
k

= bilangan Nusselt
= bilangan Rayleigh
= nilai Grasshorf
= bilangan Prandtl
= gravitasi bumi (9.8 m/s2)
= beda suhu dengan lingkungan (oC)
= kinematik viskosity (m2/s)
= konduktivitas termal udara (W/m oC)

Nilai v, Pr dan k diperoleh dari Tabel pindah panas berdasarkan suhu film
(Tf) pada Tabel pindah panas Holman (1997).
Kehilangan panas pada lantai dasar tungku (QL2) dapat didekati dengan
persamaan :
QL2 = (hA×(Tl-Ta)) + (σ×A×ε×(T4lt - T4a)) ……………………………. (26)
dimana :
QL2
A
Tl

= kehilangan panas pada lantai dasar tungku (Watt)
= luas permukaan pada lantai tungku (m2)
= suhu pada lantai tungku (oC)

Kehilangan panas pada lubang udara masuk tungku (QL3) dapat didekati
dengan persamaan :
QL3 = σAm ε ((Tm+273)4- (Ta+273)4)
dimana :
QL3

……………………………. (27)

= kehilangan panas pada saluran udara masuk tungku

(Watt)
Tm

= suhu udara masuk tungku (oC)

Untuk menghitung nilai efisiensi sistem tungku ke HE menggunakan
rumus:

19

…………………………………… (28)
QL = QL1 + QL2 + QL3

………...………………………………… (29)

QL = total kehilangan panas pada sistem tungku (Watt)
Panas efektif yang diterima oleh ruang pengering dari HE dapat didekati
dengan persaman :
QHE = hheAhe (The-Tr)

………...………………………………… (30)

Keterangan :
Qhe
= panas efektif heat exchanger yang diterima oleh ruang pengering (Watt)
Ahe
= luas permukaan heat exchanger (m2)
hhe
= koefisien pindah panas konveksi (kW/m2 oC)
Tr
= suhu udara dalam pengering (oC)
Tr
= suhu heat exchanger (oC)
Efisiensi sistem pemanas tambahan didapatkan dengan persamaan :
……………………………. (31)
2. Dinding pengering transparan
Pada dinding transparan terjadi kehilangan panas, yang dapat didekati dengan
persamaan :
QL4 = AdUd (Tr-Ta)
dimana :
QL4
Ad
Ud
Tr

=
=
=
=

………...………………………………… (32)

kehilangan panas pada dinding pengering transparan (Watt)
luasan dinding pengering transparan (m2)
koefisien pindah panas keseluruhan (kW/m2 oC)
suhu udara dalam pengering (oC)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Tanpa Beban
Pengujian tanpa beban dilakukan untuk mengetahui sebaran suhu didalam
alat pengering ERK. Pengujian ini dilakukan dua kali percobaan selama 24 jam,
dengan pengambilan data setiap 30 menit. Data yang diambil yaitu sebaran suhu
pada setiap rak di ruang pengering, RH lingkungan, ruang pengering dan outlet,
kecepatan angin lingkungan dan outlet, iradiasi surya, dan jumlah bahan bakar

20
yang digunakan. Titik-titik pengukuran di dalam ruang pengering diletakkan di
rak atas, rak tengah dan rak bawah pada kedua bagian ruang pengering, yang
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Alat pengering ERK ini memanfaatkan energi surya pada siang hari, dan
sedikit penambahan bahan bakar (kayu bakar) untuk mencapai suhu pengeringan
yaitu 40 oC sampai 60 oC. Sedangkan pada malam hari, alat ini menggunakan
kayu bakar.
Sebaran suhu pada rak secara keseluruhan pada percobaan I, yaitu suhu
rata-rata rak 44.5 oC, dengan suhu maksimum 69 oC, dan suhu minimum 29.2 oC,
serta RH ruang pengering 78.75 %. Sebaran suhu rata-rata pada rak, dapat dilihat
pada Gambar 7.

Gambar 7 Sebaran suhu pada ruang pengering P1
Dari Gambar 7 pada malam hari, suhu rak bawah lebih rendah
dibandingkan rak atas dan rak tengah. Padahal malam hari menggunakan kayu
bakar untuk meningkatkan suhu ruang pengering. Hanya saja, panas dari tungku
yang mengalir melalui HE, langsung bergerak ke atas dan tidak menyebar pada
bagian bawah. Penggunaan kipas pada inlet juga tidak berfungsi dengan baik
untuk menyebarkan panas. Nilai keragaman suhu pada malam hari 5.48 oC. Suhu
ruang pengering bisa seragam dengan menggunakan kipas, sehingga dibutuhkan
penentuan posisi kipas dengan tepat.
Pada siang hari, suhu rak cenderung seragam dengan nilai keragamannya
o
2.36 C. Hal ini diakibatkan oleh pemanasan dari energi surya dan penambahan
kayu bakar, kondisi cuaca saat percobaan mendung, sehingga suhu pada ruang
pengering terutama rak atas tidak terlalu tinggi. Selain itu penambahan kayu
bakar, meningkatkan suhu pada rak, sehingga suhunya seragam. Nilai radiasi
surya maksimum yaitu 623.2 W/m2 pada pukul 11.30, dengan suhu lingkungan 46
o
C.
Pada percobaan dua, sebaran suhu pada rak secara keseluruhan, yaitu suhu
rata-rata rak 44.11 oC, dengan suhu maksimum 71.2 oC, suhu minimum 31.6 oC,
dan RH ruang pengering 65.68 %. Nilai keragaman suhu pada siang hari 2.66 oC

21
dan pada malam hari 0.97 oC . Sebaran suhu rata-rata pada rak, dapat dilihat pada
Gambar 8.

Gambar 8 Sebaran suhu pada ruang pengering P2
Sebaran suhu pada siang hari tidak merata. Sebaran suhu pada rak atas
tinggi, sedangkan rak bawah dan tengah lebih merata. Hal ini disebabkan radiasi
matahari yang tinggi pada jam 12.00 yaitu 797.1 W/m2, sehingga suhu rak atas
71.1 oC dan suhu lingkungan 44 oC. Sedangkan pada malam hari, sebaran suhu
cenderung lebih rata, meskipun suhu rak atas masih lebih tinggi dibandingkan
suhu rak tengah dan bawah. Hal ini disebabkan, panas yang dihasilkan dari tungku
bahan bakar, tidak menyebar sempurna.
Sebaran suhu diruang pengering pada siang hari dipengaruhi oleh
penerimaan radiasi surya dan suhu lingkungan. Makin tinggi radiasi surya yang
diterima, menyebabkan suhu lingkungan tinggi sehingga suhu udara ruang
pengering tinggi, terutama suhu dirak atas. Pada Tabel 4 dapat dilihat nilai ratarata suhu ruang pengering , lingkungan, RH, kecepatan angin, penggunaan kayu
bakar dan nilai radiasi selama percobaan