Uji Performansi Alat Pengering Efek Rumah Kaca (Erk) Tipe Rak dengan Pemanas Tambahan pada Pengeringan Kerupuk Uyel

(1)

UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) TIPE RAK DENGAN PEMANAS TAMBAHAN

PADA PENGERINGAN KERUPUK UYEL

Oleh :

DEWI RUBAEATUL ADAWIYAH F14103089

2007

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


(2)

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) TIPE RAK DENGAN PEMANAS TAMBAHAN

PADA PENGERINGAN KERUPUK UYEL

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

DEWI RUBAEATUL ADAWIYAH F14103089

Bogor, Agustus 2007

Menyetujui,

Dr. Ir. Leopold Oscar Nelwan, M.Si Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS Ketua Departemen Teknik Pertanian


(3)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Alhamdulillah, segala puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Uji Performansi Alat Pengering Efek Rumah Kaca (ERK) Tipe Rak Dengan Pemanas Tambahan Pada Pengeringan Kerupuk Uyel.

Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini telah banyak pihak yang membantu penulis sehingga dengan segala kerendahan hati Penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Leopold O. Nelwan, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing, mengarahkan, dan membantu Penulis terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mohon maaf jika ada kesalahan yang tidak berkenan di hati bapak.

2. Dr. Ir. Dyah wulandani, M.Si sebagai dosen penguji atas segala arahan dan bimbingannya yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Usman Ahmad, M. Agr selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, saran dan kritiknya pada skripsi ini.

4. Bapak, Mimi, Kakak dan Adikku yang telah memberikan semangat, doa dan dorongan moril maupun materil.

5. Sulikah selaku teman seperjuangan atas semangat dan masukannya baik dalam penelitian maupun dalam penyusunan skripsi ini.

6. Dimas dan teman-teman Darmaga Regensi C15 (Shinta, Ratih, Utari, Mega, Anggi, Lia, Irma dan Rindu) atas segala bantuan, dukungan, kasih sayang dan semangatnya yang telah tercurahkan selama ini.

7. Pak Harto dan Mas Firman atas bantuan dan kerjasamanya yang baik selama Penulis melakukan penelitian.

8. Desy dan Ade atas segala dorongan dan semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.


(4)

9. Teman satu angkatan TEP 40 atas pertemanannya selama ini, semoga TEP 40 kompak selalu.

10.Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, Penulis menyadari banyaknya kekurangan dari tugas akhir ini. Oleh karena itu Penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun.

Akhirnya Penulis berharap semoga apa yang telah Penulis paparkan dalam skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi Penulis maupun yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2007


(5)

D

D

A

A

F

F

T

T

A

A

R

R

I

I

S

S

I

I

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Kerupuk ... 4

2.2 Teori Pengeringan ... 5

2.3 Metode Pengeringan ... 8

2.4 Pengeringan Kerupuk ... 9

2.5 Kandungan Air Dalam Bahan ... 10

2.6 Pengeringan Efek Rumah Kaca ... 12

2.7 Pemanas Tambahan ... 13

2.8 Hasil-hasil Penelitian Tentang Pengeringan Dengan Efek Rumah Kaca ... 14

BAB III DESKRIPSI ALAT PENGERING ... 16

BAB IV METODE PENELITIAN ... 19

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

4.2 Alat dan Bahan ... 19

4.3 Prosedur Percobaan ... 19

4.4 Bahan Pembuat Kerupuk Uyel ... 21

4.5 Teknologi Pembuatan Kerupuk Uyel ... 22


(6)

4.7 Perlakuan Dalam Percobaan ... 26

4.8 Perhitungan Performansi Teknis ... 27

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Iradiasi Surya ... 30

5.2 Suhu Udara Pengering ... 31

5.3 Suhu Udara di Bahan ... 35

5.4 Kelembaban Udara ... 38

5.5 Laju Aliran Udara ... 41

5.6 Kadar Air Bahan ... 42

5.7 Laju Pengeringan ... 46

5.8 Pemanas Tambahan ... 50

5.9 Konsumsi dan Efisiensi Energi ... 51

5.10 Pengujian Mutu Kerupuk ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 56

5.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Transmisi Cahaya dan Panas dari Matahari (Panjang Gelombang Pendek)

beberapa bahan transparan ... 13

Tabel 2. Penurunan kadar air selama proses pengeringan pada percobaan pertama ... 44

Tabel 3. Penurunan kadar air selama proses pengeringan pada percobaan kedua ... 44

Tabel 4. Penurunan kadar air selama proses pengeringan pada percobaan ketiga ... 45

Tabel 5. Penurunan kadar air selama proses pengeringan pada percobaan keempat ... 45

Tabel 6. Laju pengeringan rata-rata pada percobaan pertama ... 48

Tabel 7. Laju pengeringan rata-rata pada percobaan kedua ... 48

Tabel 8. Laju pengeringan rata-rata pada percobaan ketiga ... 49

Tabel 9. Laju pengeringan rat-rata pada percobaan keempat ... 49

Tabel 10. Laju pembakaran minyak tanah ... 51

Tabel 11. Komposisi konsumsi energi pada pengeringan kerupuk uyel ... 52

Tabel 12. Pemanfaatan energi untuk pengeringan ... 52

Tabel 13. Parameter pengukuran proses pengeringan ... 53

Tabel 14. Diameter kerupuk goreng pada percobaan ... 54


(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bangunan pengering ERK ... 16

Gambar 2. Bagian-bagian bangunan pengering ... 18

Gambar 3. Diagram Alir Proses Produksi Kerupuk Uyel ... 23

Gambar 4. Titik-titik pengukuran suhu udara ruang pengering ... 25

Gambar 5. Sebaran suhu bahan dan peletakan sample ... 25

Gambar 6. Grafik Iradiasi surya ... 30

Gambar 7. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan pertama ... 32

Gambar 8. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan kedua ... 33

Gambar 9. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan ketiga ... 34

Gambar 10. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan keempat ... 34

Gambar 11. Profil suhu bahan pada percobaan pertama ... 36

Gambar 12. Profil suhu bahan pada percobaan kedua ... 37

Gambar 13. Profil suhu bahan pada percobaan ketiga ... 37

Gambar 14. Profil suhu bahan pada percobaan keenpat ... 37

Gambar 15. Profil kelembaban udara pada percobaan pertama ... 38

Gambar 16. Profil kelembaban udara pada percobaan kedua ... 39

Gambar 17. Profil kelembaban udara pada percobaan ketiga ... 39

Gambar 18. Profil kelembaban udara pada percobaan keempat ... 40

Gambar 19. Grafik penurunan kadar air bahan pada percobaan pertama ... 42

Gambar 20. Grafik penurunan kadar air bahan pada percobaan kedua ... 43

Gambar 17. Grafik penurunan kadar air bahan pada percobaan ketiga ... 43

Gambar 18. Grafik penurunan kadar air bahan pada percobaan keempat ... 43

Gambar 19. Grafik laju pengeringan pada percobaan pertama ... 46

Gambar 20. Grafik laju pengeringan pada percobaan kedua ... 46

Gambar 21. Grafik laju pengeringan pada percobaan ketiga ... 47

Gambar 22. Grafik laju pengeringan pada percobaan keempat ... 47


(9)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pengukuran radiasi surya ... 61

Lampiran 2. Penurunan kadar air ... 63

Lampiran 3. Pengukuran suhu... 65

Lampiran 4. Pengukuran RH... 68

Lampiran 5. Laju penurunan kadar air ... 69

Lampiran 6. Pembagian unit rak ... 70


(10)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kelangkaan bahan bakar fosil dalam beberapa dekade ini mendorong manusia mencari alternatif sumber energi lain. Energi surya adalah energi terbarukan yang merupakan sumber energi yang tidak pernah habis, sehingga sekarang masih terus dikaji pemanfaatannya secara luas untuk berbagai kebutuhan. Indonesia merupakan negara tropis sehingga memiliki potensi sumber energi terbarukan yang cukup besar. Dimasa mendatang, potensi pengembangan sumber energi terbarukan mempunyai peluang besar dan bersifat strategis mengingat sumber energi terbarukan merupakan clean energy, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Pada awalnya energi surya banyak digunakan masyarakat untuk mengeringkan produk. Proses pengeringan yang dapat diterapkan antara lain pengeringan alami berupa penjemuran dibawah sinar matahari dan pengering buatan berupa alat yang dapat melangsungkan pengeringan dengan sumber energi tertentu maupun kombinasi beberapa sumber energi.

Pengeringan berenergi surya merupakan pilihan alternatif. Faktor yang mendorong berkembangnya pengeringan berenergi surya di Indonesia dikarenakan ketersediaan surya yang melimpah mengingat Indonesia merupakan negara tropis. Salah satu alat pengering yang menggunakan energi surya adalah pengering tipe Efek Rumah Kaca (ERK). Pengering ini menggunakan bahan tembus cahaya pada atap dan dindingnya. Keuntungan dari tipe pengering ini adalah desain yang tidak terlalu rumit, pengoperasian yang sederhana, bahan pembuatan alat yang mudah diperoleh, dan produk tidak terkontaminasi oleh benda asing.

Pada prakteknya pengering ini juga mempunyai kekurangan yaitu radiasi surya yang sampai ke permukaan bumi sangat bergantung pada waktu dan cuaca. Untuk mengatasi masalah tersebut maka pengering ini perlu diberi pemanas tambahan sehingga alat pengering ini dapat digunakan kapan saja dan tidak bergantung pada cuaca dan dapat dioperasikan pada malam hari. Usaha yang umum dilakukan adalah dengan penggunaan pemanas tungku biomassa.


(11)

UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) TIPE RAK DENGAN PEMANAS TAMBAHAN

PADA PENGERINGAN KERUPUK UYEL

Oleh :

DEWI RUBAEATUL ADAWIYAH F14103089

2007

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


(12)

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

UJI PERFORMANSI ALAT PENGERING EFEK RUMAH KACA (ERK) TIPE RAK DENGAN PEMANAS TAMBAHAN

PADA PENGERINGAN KERUPUK UYEL

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh:

DEWI RUBAEATUL ADAWIYAH F14103089

Bogor, Agustus 2007

Menyetujui,

Dr. Ir. Leopold Oscar Nelwan, M.Si Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Wawan Hermawan, MS Ketua Departemen Teknik Pertanian


(13)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohim

Alhamdulillah, segala puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah menganugerahkan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Uji Performansi Alat Pengering Efek Rumah Kaca (ERK) Tipe Rak Dengan Pemanas Tambahan Pada Pengeringan Kerupuk Uyel.

Selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi ini telah banyak pihak yang membantu penulis sehingga dengan segala kerendahan hati Penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Leopold O. Nelwan, M.Si sebagai dosen pembimbing akademik yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam membimbing, mengarahkan, dan membantu Penulis terutama dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mohon maaf jika ada kesalahan yang tidak berkenan di hati bapak.

2. Dr. Ir. Dyah wulandani, M.Si sebagai dosen penguji atas segala arahan dan bimbingannya yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

3. Dr. Ir. Usman Ahmad, M. Agr selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, saran dan kritiknya pada skripsi ini.

4. Bapak, Mimi, Kakak dan Adikku yang telah memberikan semangat, doa dan dorongan moril maupun materil.

5. Sulikah selaku teman seperjuangan atas semangat dan masukannya baik dalam penelitian maupun dalam penyusunan skripsi ini.

6. Dimas dan teman-teman Darmaga Regensi C15 (Shinta, Ratih, Utari, Mega, Anggi, Lia, Irma dan Rindu) atas segala bantuan, dukungan, kasih sayang dan semangatnya yang telah tercurahkan selama ini.

7. Pak Harto dan Mas Firman atas bantuan dan kerjasamanya yang baik selama Penulis melakukan penelitian.

8. Desy dan Ade atas segala dorongan dan semangat selama penelitian dan penyusunan skripsi ini.


(14)

9. Teman satu angkatan TEP 40 atas pertemanannya selama ini, semoga TEP 40 kompak selalu.

10.Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Dengan segala kerendahan dan ketulusan hati, Penulis menyadari banyaknya kekurangan dari tugas akhir ini. Oleh karena itu Penulis menerima segala kritik dan saran yang bersifat membangun.

Akhirnya Penulis berharap semoga apa yang telah Penulis paparkan dalam skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi Penulis maupun yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2007


(15)

D

D

A

A

F

F

T

T

A

A

R

R

I

I

S

S

I

I

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Kerupuk ... 4

2.2 Teori Pengeringan ... 5

2.3 Metode Pengeringan ... 8

2.4 Pengeringan Kerupuk ... 9

2.5 Kandungan Air Dalam Bahan ... 10

2.6 Pengeringan Efek Rumah Kaca ... 12

2.7 Pemanas Tambahan ... 13

2.8 Hasil-hasil Penelitian Tentang Pengeringan Dengan Efek Rumah Kaca ... 14

BAB III DESKRIPSI ALAT PENGERING ... 16

BAB IV METODE PENELITIAN ... 19

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

4.2 Alat dan Bahan ... 19

4.3 Prosedur Percobaan ... 19

4.4 Bahan Pembuat Kerupuk Uyel ... 21

4.5 Teknologi Pembuatan Kerupuk Uyel ... 22


(16)

4.7 Perlakuan Dalam Percobaan ... 26

4.8 Perhitungan Performansi Teknis ... 27

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Iradiasi Surya ... 30

5.2 Suhu Udara Pengering ... 31

5.3 Suhu Udara di Bahan ... 35

5.4 Kelembaban Udara ... 38

5.5 Laju Aliran Udara ... 41

5.6 Kadar Air Bahan ... 42

5.7 Laju Pengeringan ... 46

5.8 Pemanas Tambahan ... 50

5.9 Konsumsi dan Efisiensi Energi ... 51

5.10 Pengujian Mutu Kerupuk ... 54

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 56

5.2 Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 58


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Transmisi Cahaya dan Panas dari Matahari (Panjang Gelombang Pendek)

beberapa bahan transparan ... 13

Tabel 2. Penurunan kadar air selama proses pengeringan pada percobaan pertama ... 44

Tabel 3. Penurunan kadar air selama proses pengeringan pada percobaan kedua ... 44

Tabel 4. Penurunan kadar air selama proses pengeringan pada percobaan ketiga ... 45

Tabel 5. Penurunan kadar air selama proses pengeringan pada percobaan keempat ... 45

Tabel 6. Laju pengeringan rata-rata pada percobaan pertama ... 48

Tabel 7. Laju pengeringan rata-rata pada percobaan kedua ... 48

Tabel 8. Laju pengeringan rata-rata pada percobaan ketiga ... 49

Tabel 9. Laju pengeringan rat-rata pada percobaan keempat ... 49

Tabel 10. Laju pembakaran minyak tanah ... 51

Tabel 11. Komposisi konsumsi energi pada pengeringan kerupuk uyel ... 52

Tabel 12. Pemanfaatan energi untuk pengeringan ... 52

Tabel 13. Parameter pengukuran proses pengeringan ... 53

Tabel 14. Diameter kerupuk goreng pada percobaan ... 54


(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Bangunan pengering ERK ... 16

Gambar 2. Bagian-bagian bangunan pengering ... 18

Gambar 3. Diagram Alir Proses Produksi Kerupuk Uyel ... 23

Gambar 4. Titik-titik pengukuran suhu udara ruang pengering ... 25

Gambar 5. Sebaran suhu bahan dan peletakan sample ... 25

Gambar 6. Grafik Iradiasi surya ... 30

Gambar 7. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan pertama ... 32

Gambar 8. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan kedua ... 33

Gambar 9. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan ketiga ... 34

Gambar 10. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan keempat ... 34

Gambar 11. Profil suhu bahan pada percobaan pertama ... 36

Gambar 12. Profil suhu bahan pada percobaan kedua ... 37

Gambar 13. Profil suhu bahan pada percobaan ketiga ... 37

Gambar 14. Profil suhu bahan pada percobaan keenpat ... 37

Gambar 15. Profil kelembaban udara pada percobaan pertama ... 38

Gambar 16. Profil kelembaban udara pada percobaan kedua ... 39

Gambar 17. Profil kelembaban udara pada percobaan ketiga ... 39

Gambar 18. Profil kelembaban udara pada percobaan keempat ... 40

Gambar 19. Grafik penurunan kadar air bahan pada percobaan pertama ... 42

Gambar 20. Grafik penurunan kadar air bahan pada percobaan kedua ... 43

Gambar 17. Grafik penurunan kadar air bahan pada percobaan ketiga ... 43

Gambar 18. Grafik penurunan kadar air bahan pada percobaan keempat ... 43

Gambar 19. Grafik laju pengeringan pada percobaan pertama ... 46

Gambar 20. Grafik laju pengeringan pada percobaan kedua ... 46

Gambar 21. Grafik laju pengeringan pada percobaan ketiga ... 47

Gambar 22. Grafik laju pengeringan pada percobaan keempat ... 47


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pengukuran radiasi surya ... 61

Lampiran 2. Penurunan kadar air ... 63

Lampiran 3. Pengukuran suhu... 65

Lampiran 4. Pengukuran RH... 68

Lampiran 5. Laju penurunan kadar air ... 69

Lampiran 6. Pembagian unit rak ... 70


(20)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Kelangkaan bahan bakar fosil dalam beberapa dekade ini mendorong manusia mencari alternatif sumber energi lain. Energi surya adalah energi terbarukan yang merupakan sumber energi yang tidak pernah habis, sehingga sekarang masih terus dikaji pemanfaatannya secara luas untuk berbagai kebutuhan. Indonesia merupakan negara tropis sehingga memiliki potensi sumber energi terbarukan yang cukup besar. Dimasa mendatang, potensi pengembangan sumber energi terbarukan mempunyai peluang besar dan bersifat strategis mengingat sumber energi terbarukan merupakan clean energy, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Pada awalnya energi surya banyak digunakan masyarakat untuk mengeringkan produk. Proses pengeringan yang dapat diterapkan antara lain pengeringan alami berupa penjemuran dibawah sinar matahari dan pengering buatan berupa alat yang dapat melangsungkan pengeringan dengan sumber energi tertentu maupun kombinasi beberapa sumber energi.

Pengeringan berenergi surya merupakan pilihan alternatif. Faktor yang mendorong berkembangnya pengeringan berenergi surya di Indonesia dikarenakan ketersediaan surya yang melimpah mengingat Indonesia merupakan negara tropis. Salah satu alat pengering yang menggunakan energi surya adalah pengering tipe Efek Rumah Kaca (ERK). Pengering ini menggunakan bahan tembus cahaya pada atap dan dindingnya. Keuntungan dari tipe pengering ini adalah desain yang tidak terlalu rumit, pengoperasian yang sederhana, bahan pembuatan alat yang mudah diperoleh, dan produk tidak terkontaminasi oleh benda asing.

Pada prakteknya pengering ini juga mempunyai kekurangan yaitu radiasi surya yang sampai ke permukaan bumi sangat bergantung pada waktu dan cuaca. Untuk mengatasi masalah tersebut maka pengering ini perlu diberi pemanas tambahan sehingga alat pengering ini dapat digunakan kapan saja dan tidak bergantung pada cuaca dan dapat dioperasikan pada malam hari. Usaha yang umum dilakukan adalah dengan penggunaan pemanas tungku biomassa.


(21)

Penggunaan biomassa sebagai bahan bakar berdasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu nilai ekonomisnya rendah namun memiliki nilai kalor yang tinggi, murah, mudah didapat karena biomassa banyak dijumpai dimana saja, contohnya limbah pertanian. Namun pada penelitian ini bahan bakar yang digunakan berupa minyak tanah.

Kerupuk merupakan makanan ringan yang banyak digemari semua kalangan. Jenis makanan ini pada umumnya dikonsumsi sebagai makanan yang mampu membangkitkan selera makan atau sekedar sebagai makanan ringan.

Kerupuk adalah bahan kering berupa lempengan tipis yang terbuat dari adonan yang bahan utamanya adalah pati. Berbagai bahan berpati dapat diolah menjadi kerupuk, diantaranya adalah ubi kayu, ubi jalar, beras, sagu, terigu, tapioka dan talas. Kerupuk merupakan salah satu makanan yang pada proses pembuatannya memerlukan proses pengeringan. Proses pengeringan merupakan salah satu proses yang sangat penting dalam pembuatan kerupuk. Ketidakberhasilan penanganan pengeringan kerupuk dapat berakibat penurunan pada mutu, jumlah dan harga jual kerupuk. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu sistem pengeringan yang baik yang dapat menghasilkan kerupuk yang bermutu dan bernilai jual tinggi.

Pengeringan kerupuk dengan metode penjemuran memiliki beberapa kendala, diantaranya adalah keterbatasan masalah waktu dan cuaca. Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan suatu alat pengering buatan agar usaha pengeringan dapat berlangsung secara kontinyu dan tidak tergantung waktu dan cuaca.

Dalam penelitian ini akan diuji kinerja dari suatu sistem pengering kerupuk yang telah ada dan hasil uji tersebut dinyatakan dalam nilai efisiensi alat pengering sebagai suatu nilai kelayakan kinerja sistem pengering.

1.2Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan uji performasi alat pengering Efek Rumah Kaca (ERK) tipe rak yang dilengkapi dengan burner minyak tanah sebagai pemanas tambahan dengan melakukan analisis teknik meliputi laju pengeringan, konsumsi energi surya, konsumsi energi spesifik, kebutuhan bahan


(22)

bakar minyak tanah dan listrik serta melakukan analisis efisiensi alat pengering pada pengeringan kerupuk. Dari hasil uji performasi ini, selanjutnya dapat dibuat perbaikan rancangan dan modifikasi yang diharapkan dapat ditindak lanjuti dengan pemeliharaan dan perbaikan alat tersebut.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Kerupuk

Kerupuk didefinisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung tapioka dan atau sagu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain yang diijinkan, harus dipersiapkan dengan cara menggoreng atau memanggang sebelum disajikan (SNI. 0272-90). Menurut Siaw et al., (1985), kerupuk adalah sejenis makanan kecil yang mengalami pengembangan volume membentuk produk yang porous dan mempunyai densitas rendah selama penggorengan.

Kerupuk merupakan salah satu produk olahan tradisional yang banyak dikonsumsi dan digemari hampir semua kalangan masyarakat. Selain rasanya yang enak dan nikmat kerupuk mempunyai peluang bisnis yang cukup menjanjikan (Saraswati, 1986 dalam Madani, 2002). Kerupuk juga dianggap masyarakat sebagai makanan murah dan meriah untuk disajikan sebagai makanan selingan atau pelengkap makan nasi terutama untuk anak-anak.

Di Indonesia terdapat berbagai kerupuk yang dibuat dari berbagai macam bahan baku. Tetapi pada umumnya kerupuk dibuat dari bahan-bahan yang mengandung pati cukup tinggi (Wiriano, 1984 dalam Ratnawati, 1994). Pada proses pembuatan kerupuk pati tersebut mengalami proses glatinisasi selama proses pengukusan adonan. Penamaan suatu jenis kerupuk dapat berdasarkan bahan baku, bahan pemberi rasa, bentuk, dan rupa serta tempat serta daerah penghasil. Berdasarkan bentuk dan rupa, dikenal jenis kerupuk mie, kerupuk kemplang, dan kerupuk atom, sedangkan berdasarkan daerah penghasil dikenal kerupuk Sidoarjo, kerupuk Palembang dan kerupuk Surabaya (Wiriano, 1984 dalam Ratnawati, 1994).

Berdasarkan adanya protein, kerupuk diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu kerupuk tidak bersumber protein dan kerupuk bersumber protein (SNI. 0272-90). Kerupuk bersumber protein adalah kerupuk pada pembuatannya menggunakan sumber protein hewani dan nabati yang masih segar. Misalnya kerupuk ikan, kerupuk udang, kerupuk cumi, kerupuk kerang dan kerupuk nabati.

Kerupuk yang mahal (misalnya : kerupuk Palembang, Sidoarjo) biasanya terbuat dari tepung tapioka atau tepung sagu yang dicampur udang, ikan dan


(24)

bumbu-bumbu lain seperti bawang merah, bawang putih dan penyedap makanan. Tetapi kerupuk murah yang banyak dikonsumsi rakyat berpendapatan kecil biasanya hanya terbuat dari tepung tapioka atau sagu dicampur terasi dan zat warna serta penambah rasa. Jadi pada prinsipnya perbedaan dalam penambahan bumbu menghasilkan kerupuk dengan mutu yang beraneka ragam (Lie, 1963 dalam Kusharto, 1985).

Kerupuk uyel merupakan kerupuk yang berprotein rendah tapi harganya relatif murah. Namun ada juga yang menambahkan ikan untuk menambah aroma kerupuk uyel. Kerupuk uyel merupakan salah satu jenis kerupuk yang sering kita temui di warung maupun rumah makan. Sesuai dengan namanya bentuk kerupuk ini cukup unik. Seperti jalinan tali yang mengeriting (Wahyono, R dan Marzuki, 2002).

2.2Teori Pengeringan

Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air bahan sampai mencapai kadar air tertentu sehingga dapat memperlambat laju kerusakan produk akibat aktivitas biologik dan kimia (Brooker et al., 1974). Pengeringan pada dasarnya merupakan proses pemindahan energi yang digunakan untuk menguapkan air yang berada dalam bahan, sehingga mencapai kadar air tertentu agar kerusakan bahan pangan dapat diperlambat. Ada tiga hal yang mempengaruhi proses pengeringan yaitu (1) kecepatan udara (2) suhu udara dan (3) kelembaban udara (Brooker et al., 1992).

Dasar proses pengeringan adalah terjadinya proses penguapan air bahan ke udara karena perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan.

Selama proses pengeringan terjadi dua proses yaitu proses pindah panas dan pindah massa air yang terjadi secara simultan. Panas dibutuhkan untuk menguapkan air bahan yang akan dikeringkan. Penguapan terjadi karena suhu bahan lebih rendah dari pada suhu udara sekelilingnya. Proses pindah massa diperlukan untuk memindahkan massa uap air dari permukaan ke udara. Pindah massa terjadi karena tekanan uap air di dalam bahan lebih tinggi dari pada di udara.


(25)

Mekanisme pengeringan dapat dijelaskan sebagai berikut: air yang diuapkan terdiri dari air bebas dan air terikat. Air bebas berada dipermukaan dan yang pertama kali mengalami penguapan. Bila air permukaan telah habis, maka terjadi migrasi air dan uap air dari bagian dalam bahan secara difusi. Migrasi air dan uap air terjadi karena perbedaan konsentrasi atau tekanan uap pada bagian dalam dan bagian luar bahan (Handerson dan Perry, 1981).

Kadar air suatu bahan menunjukkan jumlah air yang dikandung dalam bahan tersebut, baik berupa air bebas maupun air terikat (Handerson dan Perry, 1981). Pada proses pengeringan yang pertama kali mengalami penguapan adalah air bebas dan setelah air bebas maka penguapan selanjutnya terjadi pada air terikat.

Pada proses pengeringan terdapat dua laju pengeringan, yaitu laju pengeringan konstan dan laju pengeringan menurun. Laju pengeringan konstan terjadi karena gaya perpindahan air internal lebih kecil dari perpindahan uap air pada permukaan bahan (Brooker et al., 1974). Laju pengeringan konstan terjadi pada awal proses pengeringan yang kemudian diikuti oleh laju pengeringan menurun. Periode ini dibatasi oleh kadar air kritis (critical moisture content) (Handerson dan Perry, 1981).

Buckle, et al., 1987 dalam Suherman, 2005 menyatakan bahwa laju pengeringan suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Sifat fisik dan kimia bahan (bentuk, ukuran, komposisi dan kadar air)

2. Pengaturan geometris produk sehubungan dengan permukaan alat atau media perantara pindah panas.

3. Sifat-sifat lingkungan dari alat pengering (suhu, kelembaban dan laju udara). 4. Karakteristik alat pengering (efisiensi perpindahan panas).

Kadar air kritis adalah kadar air minimum dimana laju air bebas ke permukaan bahan sama dengan laju perpindahan uap air maksimum dari bahan di bawah kondisi pengeringan. Pada biji-bijian pada umumnya kadar air ketika pengeringan dimulai lebih kecil dari kadar air kritis, sehingga pengeringan yang terjadi adalah proses pengeringan menurun.

Kadar air kesetimbangan (Me) adalah kadar air minimum yang dapat dicapai dibawah kondisi pengeringan yang tetap atau pada suhu dan kelembaban


(26)

relatif yang tetap. Suatu bahan dikatakan kering bila laju kehilangan air yang keluar dari bahan sama dengan laju air yang diperoleh bahan dari udara sekelilingnya. Henderson (1976) memprediksikan kadar air kesetimbangan sebagai berikut :

) exp(

) / (

1 i

e abs w

v P hT M

P = −

− ………..(1)

Dimana: h,i : konstanta produk

Pv/Pw : kelembaban relatif keseimbangan (dalam desimal)

Menurut Brooker, et al., (1974), beberapa parameter yang mempengaruhi waktu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan, antara lain :

1. Suhu udara pengering

Laju penguapan air bahan dalam pengering sangat ditentukan oleh suhu. Bila suhu pengeringan dinaikkan maka energi yang dibutuhkan untuk penguapan air bahan menjadi berkurang. Suhu udara pengering berpengaruh terhadap lama pengeringan dan kualitas bahan hasil pengeringan. Makin tinggi suhu udara pengering maka proses pengeringan makin singkat. Biaya pengeringan dapat ditekan pada kapasitas yang besar jika digunakan pada suhu yang tinggi, selama suhu tersebut tidak merusak bahan.

2. Kelembaban relatif udara pengering

Kelembaban relatif udara berpengaruh terhadap pemindahan cairan / uap dari dalam ke permukaan bahan serta menentukan besarnya tingkat kemampuan udara pengering dalam menampung uap air disekitar permukaan bahan. Semakin rendah RH udara pengering maka semakin tinggi kemampuannya dalam menyerap uap air dipermukaan bahan, sehingga laju pengeringan semakin cepat.

Laju penguapan air dapat ditentukan berdasarkan perbedaan tekanan uap air pada udara yang mengalir dengan tekanan uap air pada permukaan bahan yang dikeringkan. Tekanan uap jenuh ditentukan oleh besarnya suhu dan kelembaban relatif udara. Semakin tinggi suhu, kelembaban relatifnya akan turun sehingga tekanan uap jenuhnya akan naik dan sebaliknya.


(27)

3. Kecepatan udara pengering

Pada proses pengeringan, udara berfungsi sebagai pembawa panas untuk menguapkan kandungan air pada bahan serta mengeluarkan uap air tersebut. Air dikeluarkan dari bahan dalam bentuk uap dan harus secepatnya dipindahkan dari bahan. Bila tidak segera dipindahkan maka air akan menjenuhkan atmosfer pada permukaan bahan, sehingga akan memperlambat pengeluaran air selanjutnya. Aliran udara yang cepat akan membawa uap air dari permukaan bahan dan mencegah uap air tersebut menjadi jenuh dipermukaan bahan. Semakin besar volume udara yang mengalir, maka semakin besar pula kemampuannya dalam membawa dan menampung air dari permukaan bahan.

4. Kadar air bahan

Pada proses pengeringan sering dijumpai adanya keragaman kadar air bahan. Hal tersebut dapat diatasi dengan cara: (1) mengurangi ketebalan tumpukan, (2) menaikan kecepatan aliran udara pengering, (3) menurunkan suhu udara pengering, serta (4) pengadukan bahan.

Pengeringan terjadi karena adanya perbedaan tekanan uap antara udara pengering dengan permukaan bahan serta antara permukaan bahan dengan bagian dalamnya. Pengeringan yang terlalu cepat dapat merusak bahan, karena permukaan akan terlalu cepat kering sehingga kurang bisa diimbangi oleh laju pergerakan air dari dalam menuju permukaan bahan. Air dari dalam bahan yang tidak bergerak ke permukaan akan menyebabkan pembusukan. Kondisi inilah yang disebut dengan case hardening (Suharto, 1991 dalam Suherman, 2005). Pengeringan berlangsung cepat pada suhu udara tinggi, namun suhu udara yang terlalu tinggi akan menyebabkan kerusakan fisik maupun kimia bahan.

2.3Metode Pengeringan

Pengeringan merupakan kegiatan yang penting artinya dalam pengawetan bahan atau tujuan industri pengolahan hasil pertanian. Metode pengeringan


(28)

secara umum dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan secara alami atau pengeringan buatan (artificial drying).

Pada pengeringan alami panas untuk menguapkan air yang ada diproduk diperoleh dari udara sekitar atau dari matahari (Hall, 1963). Beberapa kendala dari cara ini antara lain: memerlukan tempat relatif luas, proses pengeringan lambat karena sangat tergantung pada cuaca, tidak praktis dalam meletakan dan mengangkat bahan serta dapat terkontaminasi atau tercampur dengan bahan asing atau kotor (Nelwan, 1997).

Pada pengeringan buatan udara yang mengitari produk dibuat dengan menggunakan kipas atau blower. Panas diperlukan untuk menaikkan suhu dalam udara pengering, penambahan panas dalam ruang pengering bertujuan untuk (1) menaikkan kapasitas udara yang membawa uap (kira-kira menaikan 2 kali lipat untuk setiap peningkatan suhu 4ºC), (2) suhu untuk memanaskan produk bertambah tinggi (Hall, 1963). Pengeringan dengan menggunakan alat pengering (pengering buatan) memiliki kelebihan dimana suhu, kelembaban nisbi udara dan kecepatan pengeringan dapat diatur dan dikontrol dengan baik.

Gaswami (1986) dan Stout (1979) dalam Sopyan, I (2001) menyatakan bahwa suatu cara lain dari pengeringan yaitu dengan memanfaatkan radiasi matahari sehingga energinya dapat terperangkap dan tidak keluar ke udara bebas. Metode pengeringan ini merupakan modifikasi dari penjemuran dengan memiliki tingkat pemanasan tinggi karena mampu mengumpulkan panas dan mencegah keluarnya panas menuju udara bebas.

2.4Pengeringan Kerupuk

Proses pengeringan kerupuk mentah bertujuan untuk menghasilkan bahan dengan kadar air tertentu. Kadar air yang terkandung dalam kerupuk mentah akan mempengaruhi kualitas dan kapasitas pengembangan kerupuk pada proses penggorengan selanjutnya. Menurut Wiriano (1984) dalam Muliawan, D (1991) diperlukan suatu tingkat kadar air tertentu dari kerupuk mentah untuk menghasilkan tekanan uap yang maksimum pada proses penggorengan sehingga gel pati kerupuk bisa mengembang.


(29)

Pengeringan kerupuk dapat dilakukan dengan dua cara yaitu penjemuran dibawah sinar matahari dan dengan menggunakan mesin pengering (oven). Secara umum sistem pengeringan terdiri dari ruang tempat bahan yang akan dikeringkan, alat penghembus udara kering / blower, dan pemanas tambahan untuk menaikkan suhu udara pengering. Keuntungan pengeringan dengan oven adalah suhu dan waktu dapat diatur. Akan tetapi daya tampungnya terbatas serta biaya operasionalnya cukup mahal. Pengeringan dengan menggunakan sinar matahari selain biayanya murah, juga mempunyai daya tampung besar. Tetapi cara ini sangat tergantung pada cuaca dan suhu pengeringannya tidak dapat diatur.

Pengeringan dengan oven pada suhu 60-70ºC memerlukan waktu sekitar 7-8 jam. Sedangkan Tahir (1985), menggunakan oven pada suhu 55ºC, memerlukan waktu 15-20 jam. Setiawan (1988) dalam Ramdani, H (2002) melaporkan bahwa pengeringan dengan panas matahari memerlukan waktu selama 2 hari bila cuaca cerah dan sekitar 4-5 hari bila cuaca kurang cerah. Dengan proses pengeringan ini dihasilkan kerupuk mentah dengan kadar air sekitar 14 % atau kerupuk mentah yang mudah dipatahkan.

2.5Kandungan Air Dalam Bahan

1. Peranan air dalam pengembangan kerupuk

Muliawan (1991) mengemukakan bahwa pengembangan kerupuk sangat ditentukan oleh kandungan air yang terikat pada kerupuk sebelum digoreng. Kadar air di bawah kapasitas air ikatan primer dan di atas ikatan sekunder menyebabkan terjadinya penurunan volume pengembangan kerupuk. Kapasitas air di atas ikatan primer sampai kapasitas air ikatan sekunder dapat meningkatkan volume pengembangan kerupuk goreng yaitu pada kadar air sekitar 9 persen. Jumlah air yang terikat dalam bahan pangan akan menentukan banyaknya letusan yang menguap sebelum penggorengan. Diperkirakan tidak tepatnya kandungan air, kandungan protein dan ketebalan kerupuk mentah akan mempengaruhi proses pengeluaran uap air dan gas lain sepertiCO2 selama penggorengan (Lavlinesia, 1995). Jumlah uap air yang terdapat di dalam bahan, ditentukan oleh lama pengeringan, suhu penggorengan, kecepatan aliran udara, kondisi bahan dan cara penumpukan


(30)

serta penambahan air sewaktu pembuatan adonan pada proses gelatinisasi pati. Mekanisme pengembangan kerupuk merupakan hasil sejumlah besar letusan air dari ikatan yang menguap secara cepat selama proses penggorengan dan sekaligus terbentuk rongga udara yang tersebar secara merata pada seluruh struktur kerupuk goreng (Muliawan, 1991).

Kandungan air kerupuk mentah bisa tidak merata yang dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya adalah penambahan air sewaktu pembuatan adonan. Kandungan air yang tidak merata dapat menyebabkan volume pengembangan kerupuk tidak merata dimana pada satu sisi kerupuk lebih mengembang dibandingkan sisi lainnya, akibatnya bentuk dan kerenyahan kerupuk berbeda.

2. Pengembangan kerupuk

Penggorengan kerupuk bertujuan untuk menghasilkan kerupuk goreng yang mengembang dan renyah (Setiawan, 1988). Purnomo et. al.(1984) dalam Lavlinesia (1995) menyatakan bahwa pengembangan kerupuk dipengaruhi oleh komposisi bahan. Pada dasarnya fenomena pengembangan kerupuk disebabkan oleh tekanan uap yang terbentuk dari pemanasan kandungan air bahan sehingga mendesak struktur bahan menjadi produk yang mengembang.

Pada proses pengembangan kerupuk mentah mengalami pemanasan pada suhu yang sangat tinggi, sehingga molekul air yang masih terikat pada struktur kerupuk menguap dan menghasilkan tekanan uap yang mengembangkan struktur kerupuk (Setiawan, 1988).

Pengembangan kerupuk dipengaruhi juga oleh suhu pada saat penggorengan, semakin tinggi suhu penggorengan yang digunakan semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk menggoreng kerupuk. Selanjutnya setelah mencapai volume pengembangan maksimum, volume pengembangan akan menurun dengan semakin meningkatnya suhu penggorengan. Selain itu suhu penggorengan yang merata sangat diperlukan agar diperoleh pengembangan kerupuk goreng yang merata (Zulviani, 1992).


(31)

2.6Pengering Efek Rumah Kaca

Pada awalnya, penggunaan bangunan tembus cahaya adalah untuk melindungi tanaman dari gangguan alam yang tidak menguntungkan. Perkembangan selanjutnya banyak digunakan sebagai alat pengering (Huang dan Bower, 1981 dalam Darmawan, D, 2003)

Bangunan tembus cahaya merupakan suatu bangunan dengan dinding dan atapnya terbuat dari lapisan transparan. Lapisan transparan ini memungkinkan radiasi gelombang pendek dari matahari masuk ke dalam dan mengenai elemen-elemen bangunan yaitu atap, dinding, lantai, rangka bangunan dan bagian-bagian lainnya. Radiasi yang dipancarkan dari elemen-elemen bangunan berupa radiasi gelombang panjang dan terperangkap dalam bangunan karena tidak dapat menembus penutup transparan sehingga menyebabkan suhu di dalam bangunan menjadi lebih tinggi. Efek inilah yang disebut Efek Rumah Kaca (ERK).

Lapisan penutup transparan memungkinkan radiasi gelombang pendek dari matahari masuk dan radiasi gelombang panjang yang dihasilkan tersekat keluar. Jika matahari mengenai bahan tembus cahaya, maka sebagian sinar tersebut diteruskan selain diserap dan dipantulkan kembali (Huang, 1986 dalam Agriana, D, 2006). Oleh karena itu lapisan penutup transparan memerlukan bahan yang memiliki nilai transmisivitas yang tinggi dengan absorpsivitas dan refleksivitas yang rendah (Abdullah, et al., 1998). Tabel berikut menyajikan karakteristik beberapa bahan tembus cahaya.


(32)

Tabel 1. Transmisi cahaya dan panas dari matahari (panjang gelombang pendek) beberapa bahan transparan

Jenis Bahan Transmisi

Cahaya (%)

Transmisi Panas (%)

Udara 100 100

Kaca (double strength) 90 88

FRP (fiberglass reinforced plastic) 85-95 - Polyethylene :

a. 1 lapisan 88 -

b. 2 lapisan 81 -

c. dengan (3/6)” ruang udara 85 - Fiberglass :

a. Bening (clear) 92-95 63-68

b. Warna jahe 81 61-68

c. Kuning 64 37-43

d. Putih salju 63 30-34

e. Hijau 62 60-68

f. Merah kekuningan 61 57-66

g. Jernih (canary) 25 20-23

Sumber : Nelson, 1978 dan 1981 dalam Agriana, D (2006)

2.7Pemanas Tambahan

Energi surya merupakan bentuk energi yang intermitten sehingga usaha untuk menyimpan maupun memperpanjang penggunaan energi surya telah dilakukan. Secara umum penyimpanan energi surya tersebut bisa dilakukan dalam bentuk mekanik, kimia dan panas.

Pemanas tambahan dalam sistem pengeringan merupakan bentuk usaha untuk mempertahankan suhu ruangan pada tingkat tertentu yang diinginkan, disesuaikan dengan keadaan bahan serta keadaan cuaca di sekitar sistem pengeringan. Bentuk dari pemanasan tambahan diwujudkan melalui suatu alat atau mesin yang dapat digunakan untuk menambah atau memindahkan sejumlah panas tertentu pada ruang pengeringan. Pemanfaatan panas yang bersifat limbah seperti gas buangan dari proses industri, panas dari perkandangan ternak, minyak tanah dan lain-lain akan berguna jika panas tersebut dimanfaatkan menjadi bentuk panas tambahan melalui mekanisme pertukaran panas atau heat exchanger.

Sistem pemanas ruangan dibedakan menjadi sistem pemanasan langsung atau direct system dan sistem pemanasan tidak langsung atau indirect system. Pada sistem pemanasan langsung, energi panas diperoleh dari suatu alat atau mesin yang terletak dalam ruangan yang mampu memberikan panas pada ruang


(33)

tersebut. Sedangkan pemanasan tidak langsung, jumlah energi panas yang dibutuhkan untuk pemanasan ruangan diperoleh dari sistem pemanasan ruangan untuk kemudian dipindahkan ke dalam ruangan dalam bentuk yang sama ataupun dalam bentuk lain melalui mekanisme heat exchanger (J.L Wood et al., 1981 dalam Sari, Perwita, 2005).

2.8Hasil-hasil Penelitian tentang Pengeringan Dengan Efek Rumah Kaca Abdullah et. al. (1998) mengenalkan pengering berenergi surya dengan nama pengering Efek Rumah Kaca atau dikenal dengan nama ERK. Pengering bangunan segi empat berdinding transparan, dilengkapi dengan plat absorber dan rak atau bak sebagai wadah produk yang dikeringkan. Dengan menyatukan absorber di dalam ruang pengering memberikan keuntungan lebih dibanding dengan pengering berenergi surya lainnya, dengan kolektor terpisah yang umumnya memerlukan luasan yang besar. Dengan demikian biaya pembuatan alat pengering ini lebih dapat dihemat. Selanjunya penelitian uji coba pengering ERK dilakukan untuk berbagai komoditi, mulai dari produk tanaman pangan, perkebunan, hortikultura dan produk pangan.

Nelwan (1997) menggunakan pengering ERK tipe rak untuk pengeringan kakao. Plat hitam sebagai absorber diletakan diatas rak pengering, dilengkapi dengan kisi-kisi pengatur aliran udara pada setiap rak. Efisiensi pengering yang dihasilkan adalah 18.4 % dan efisiensi energi terbesar 12.9 MJ/kg uap air. Dengan beban 228 kg kakao yang telah difermentasi, lama pengeringan untuk menurunkan kadar air dari 61.7 % bb hingga 7 % bb adalah 40 jam. Energi tambahan yang digunakan selain energi surya adalah minyak tanah.

Madani (2002) melakukan uji kerja alat pengering efek rumah kaca tipe rak dengan energi surya untuk pengeringan kerupuk udang. Berdasarkan pengujiannya, alat ini mampu menghasilkan suhu pengeringan berkisar 35-45ºC dengan RH optimum berkisar 50-60 %. Pemanas tambahan yang terletak ditengah-tengah rumah kaca menyebabkan suhu pada tempat tersebut lebih tinggi dari sekitarnya walaupun sebaran suhunya cukup merata. Efisiensi sistem pengeringan terbaik pada siang hari tanpa pemanas tambahan sebesar 38.64 % pada beban optimum 152.98 kg selama 9.4 jam. Sedangkan efisiensi terbaik


(34)

dengan pemanas tambahan atau pada malam hari sebesar 9.23 % dengan kondisi beban optimum 157.34 kg selama 17.4 jam.

Suherman (2005) melakukan uji pada alat pengering ERK berbentuk kerucut. Alat ini dapat mengeringkan 108 kg rumput laut selama 30 jam dengan pemanas tambahan dan selama 32 jam tanpa pemanas tambahan. Suhu rata-rata yang dicapai oleh alat pengering ini adalah 44.16ºC. Pengering ini menggunakan 3 kipas sebagai outlet dan 3 lubang tanpa kipas sebagai inlet udara. Laju udara inlet dan outletnya sebesar 0.262 m/s dan 0.32 m/s. Efisiensi pengering dan efisiensi total sistem dari alat pengering ini sebesar 27.23 % dan 11.25 %.

Wulandani (1997), pada percobaan pengeringan kopi berkapasitas 1.1 ton, dalam bangunan berdinding transparan UV stabilized plastic tipe rak, menghasilkan efisiensi pengeringan 57.7 % dan efisiensi energi sebesar 6 MJ/kg uap air. Dengan suhu pengering 37ºC, untuk menurunkan kadar air kopi dari 68 % bb sampai 13 % diperlukan waktu 72 jam, efektif pada siang hari.


(35)

III. DESKRIPSI SISTEM PENGERING

Bangunan pengering ini terbuat dari lapisan transparan yang berupa

polycarbonate pada atap dan dindingnya. Dibagian bawah alat pengering terdapat plat absorber yang bergelombang mengukuti pipa heat exchanger yang berada dibagian bawahnya. Fungsi utama dari bangunan ini adalah mengumpulkan panas yang berasal dari radiasi surya dan panas pembakaran burner pada tungku.

Tipe alat pengering yang digunakan termasuk ke dalam tipe pengering rak bertingkat. Beberapa modifikasi yang dilakukan yaitu dengan memperpendek pipa penyaluran panas antara blower dan ruang pengering serta penambahan

glasswool pada plat hitam yang berbentuk trapesium yang terletak antara tungku pembakaran dan ruang pengering. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi banyak kehilangan panas dari udara panas hasil pembakaran tungku. Bangunan pengering akan disajikan pada gambar 1.

Dimensi alat pengering ini berukuran panjang 6 meter, lebar 1.8 meter dan tinggi 2.0 meter. Desain struktural dan fungsional alat pengering meliputi bentuk, dimensi dan fungsi komponen alat pengering yang dapat diuraikan sebagai berikut:

Gambar 1. Bangunan pengering ERK

1. Ruang Pengering

Dimensi bangunan pengering ini mempunyai panjang 400 cm, lebar 180 cm dan 200 cm, sedangkan rangka bangunan tersusun dari besi silinder berdiameter 2.2 cm. Bangunan pengering ini mempunyai 4 unit rak bertingkat


(36)

yang terbagi dua karena ditengahnya terdapat kipas pengaduk, dimana masing–masing unit rak terdiri dari 8 rak. Rak tersebut terbuat dari besi siku 3x3 cm berukuran panjang 130 cm, lebar 70 cm dan tinggi 180 cm. Gambar pembagian unit rak dijelaskan pada Lampiran 6Peletakan bahan dilakukan dengan memasang ebeg (tray) yang terbuat dari bambu pada masing-masing tingkatan rak. Jumlah rak total yang dapat diisi sebanyak 32 ebeg yang masing-masing ebeg berkapaitas 400 buah kerupuk tanpa penumpukan sehingga kapasitas bahan yang dapat dimasukan ke dalam ruang pengering sebanyak 12800 buah kerupuk.

2. Kipas / Blower

Kipas berfungsi untuk membentuk sirkulasi udara dalam ruang bangunan pengering. Alat pengering ini mempunyai dua buah kipas, namun pada percobaan ini hanya digunakan 1 buah kipas yang mempunyai spesifikasi 130 Watt, 1400 rpm dan 50 Hz. Kipas diletakan disamping alat pengering setelah tungku pembakaran sehingga kipas tersebut berfungsi menghembuskan udara panas hasil pembakaran tungku ke dalam ruang pengering.

3. Tungku Pembakaran dan Penukar Panas (Heat Exchanger)

Tungku pembakaran terletak di luar ruang pengering. Tungku ini terbuat dari semen yang memiliki pintu terbuat dari seng berukuran 31 x 46.5 cm. Tungku berfungsi sebagai tempat pembakaran bahan bakar yang menghasilkan panas untuk menaikkan suhu ruang pengering.

Sumber energi yang digunakan untuk pembakaran adalah minyak tanah yang mempunyai nilai kalor 43429.58 kJ/kg.

Penukar panas (heat exchanger) terbuat dari plat seng berbentuk silinder yang berdiameter 1 inchi. Penukar panas ini terletak di atas tungku sehingga panas yang dihasilkan tungku dihembuskan oleh kipas sehingga udara panas yang dihasilkan masuk ke dalam ruang pengering. Selain itu pipa-pipa heat exchanger juga terdapat pada bagian bawah ruang pengering. Pipa-pipa yang terdapat di bawah ruang pengering berisi air panas yang


(37)

1

2

6 3

5 4

7

berasal dari drum yang telah dipanaskan terlebih dahulu di atas tungku pembakaran. Air panas tersebut dialirkan dengan menggunakan pompa ke dalam ruang pengering. Namun pada percobaan pipa-pipa heat exchanger ini tidak digunakan.

4. Lubang Inlet dan Outlet

Lubang inlet berbentuk lubang-lubang kecil sebanyak 52 buah dan berdiameter 2.2 cm. Lubang inlet terletak disamping alat pengering di dalam bangunan berbentuk trapesium yang berwarna hitam yang terletak di samping ruang pengering. Sedangkan lubang outlet terletak berlawanan dengan lubang inlet (di sisi lain bangunan trapesium di bagian yang berlawanan dari ruang pengering). Lubang ini berdiameter 16.2 cm. Udara yang keluar dari ruang pengering menuju ke outlet yang kemudian diteruskan keluar melalui cerobong yang terletak di samping atas ruang pengering. Bagian-bagian bangunan pengering ERK akan disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Bagian-bagian bangunan pengering Keterangan :

1= Cerobong Asap 2= Kipas

3= Tungku Pembakaran 4= Ruang Pengering 5= Kipas Pengaduk 6= Cerobong outlet 7= Drum


(38)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret sampai Juli 2007, didaerah pengrajin kerupuk ‘sawargi’ desa Curug Mekar, kampung Cijahe, Bogor Barat, Jawa Barat.

4.2 Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kerupuk uyel hasil olahan pabrik sebanyak 1000-2600 buah kerupuk, sedangkan bahan bakar yang digunakan yaitu minyak tanah.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi : 1. Alat pengering ERK tipe rak

2. Timbangan Digital 3. Timbangan Analog 4. Termokopel tipe cc

5. Burner electric pump dengan minyak tanah 6. Anemometer Kanomax tipe 6011

7. Pyranometer MS-401

8. Termometer Alkohol (0-100OC) 9. Drying oven tipe SS-204 D 10. Alat ukur waktu

11. Chino Recorder merk Yokogawa (mV)

4.3 Prosedur percobaan 1. Persiapan Alat

Persiapan dilakukan dengan terlebih dahulu memperbaiki dan melakukan modifikasi terhadap bangunan pengering yang telah ada. Perbaikan dan modifikasi yang dilakukan antara lain pemendekan pipa penyaluran panas antara blower dan ruang pengering serta penambahan

glasswool pada plat hitam yang berbentuk trapesium yang terletak antara tungku pembakaran dan ruang pengering. Selain itu, glasswool juga dipasang


(39)

pada bagian bawah ruang pengering (antara plat absorber dan lapisan seng). Perbaikan juga dilakukan dengan menutup bagian-bagian yang berlubang pada seluruh bagian bangunan pengering. Pemasangan peralatan lain yang menunjang berlangsungnya proses pengukuran dan pengambilan data.

2. Penjemuran Bahan

Sebelum dimasukan ke dalam ruang pengering, kerupuk terlebih dahulu dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari selama sekitar 6 jam yaitu dari jam 8.00 sampai jam 13.00 WIB. Prosedur ini dilakukan sama dengan pabrik, namun perbedaannya pada pabrik setelah dilakukan penjemuran bahan dimasukan ke dalam oven pengering untuk melanjutkan proses pengeringan sedangkan pada penelitian ini bahan dimasukan ke dalam alat pengering ERK. Penjemuran yang dilakukan pabrik bertujuan untuk menghemat biaya bahan bakar. Pada penelitian ini prosedur dilakukan sama dengan pabrik, hal ini dimaksudkan untuk membandingkan pengeringan produk yang menggunakan oven pengering yang dimiliki oleh pabrik dengan mesin pengering ERK dengan waktu pengeringan yang sama. Pengeringan dengan menggunakan alat pengering dilakukan selama 3 jam dari jam 13.00 sampai 16.00 WIB. Pengujian dilakukan dengan membandingkan hasil pengembangan kerupuk setelah digoreng, yaitu dengan menggunakan parameter diameter pengembangan kerupuk setelah digoreng.

3. Pengeringan dengan Alat Pengering

Urutan pelaksanaan pengeringan dengan menggunakan alat pengering ERK meliputi :

1. Melakukan penimbangan berat awal bahan yang akan digunakan dalam percobaan yaitu berupa kerupuk uyel. Bahan yang akan dikeringkan pada percobaan hanya sekitar 10-15 % dari kapasitas alat. Percobaan dilakukan dengan beberapa perlakukan pada kapasitas bahan yang akan dikeringkan. Pada percobaan pertama bahan yang dikeringkan sebanyak 1000 buah, pada percobaan kedua 1700 buah, pada percobaan ketiga 2000 buah dan pada percobaan keempat 2600 buah.


(40)

2. Mempersiapkan alat pengering dan peralatan ukur yang akan digunakan dalam percobaan (pyranometer, chino recorder dan termokopel, termometer, timbangan digital, timbangan analog, alat ukur waktu dan anemometer )

3. Persiapan burner electric pump dan minyak tanah sebagai bahan bakar untuk pemanasan tambahan.

4. Pengujian sistem pengering meliputi :

a) Penimbangan bahan sample (kerupuk uyel) selama 30 menit dan penimbangan berat akhir.

b) Pengukuran iradiasi surya, suhu udara, kecepatan udara, RH, dan kebutuhan bahan bakar.

c) Perhitungan laju pengeringan, konsumsi energi spesifik selama pengeringan, dan efisiensi total sistem pengeringan.

4.4 Bahan Pembuat Kerupuk Uyel

Kerupuk uyel dibuat dengan bahan dasar tepung tapioka. Dari bahan dasar tersebut lalu dicampur dengan ikan sarden dan bumbu seperti garam, bawang putih, bumbu masak dan gula pasir.

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk uyel di pengrajn kerupuk ‘sawargi’ adalah :

1. Bahan baku

Bahan baku adalah bahan yang digunakan dalam jumlah besar dan fungsinya tidak dapat digantikan oleh bahan lain. Bahan baku yang digunakan untuk membuat kerupuk pada umumnya adalah bahan pangan yag mengandung pati cukup tinggi yaitu tepung sagu atau tepung tapioka.

2. Bahan tambahan

Bahan tambahan adalah bahan yang diperlukan untuk melengkapi bahan baku dalam menambah cita rasa pada proses produksi. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan kerupuk uyel adalah ikan sarden, garam, bawang putih, bumbu masak dan gula pasir. Selain menambah cita rasa beberapa bahan seperti garam dapat memperkuat kekompakan adonan dan gula sebagai bahan pengikat.


(41)

Komposisi bahan-bahan yang digunakan oleh pengrajin kerupuk uyel oleh pengrajin kerupuk uyel ‘sawargi’ di Desa Curug Mekar, Kampung Cijahe, Bogor Barat adalah sebagai berikut :

• Tepung tapioka = 50 kg

• Ikan Sarden besar = 4 buah

• Garam batangan = 11 buah

• Bawang putih = 1 kg

• Bumbu masak = 0.5 kg

• Gula pasir/siklamat = 0.75 kg/2 sendok makan

4.5Teknologi Pembuatan kerupuk Uyel

Prosedur pembuatan kerupuk uyel yang digunakan dalam skala industri berbeda satu daerah dengan daerah lain, meskipun sebagian prosesnya sama. Umumnya teknologi yang digunakan dalam pembuatan kerupuk uyel terdiri dari beberapa tahap seperti terlihat pada Gambar 3.

Bahan baku tepung tapioka dicampur dengan air hingga membentuk adonan lalu ditambahkan ikan sarden, garam, bawang putih yang telah dihaluskan, bumbu masak dan gula pasir ke dalam adonan. Pada pembuatan adonan kerupuk, pemberian air harus cukup sehingga glatinasi dapat sempurna. Bila air yang ditambahkan kurang, adonan tidak dapat kompak dan pada waktu dicetak akan pecah. Selanjutnya adonan dicetak lalu dikeringkan setengah kering dibawah sinar matahari. Proses selanjutnya adalah pengeringan dengan menggunakan alat pengering. Sebelum proses pengeringan, adonan ditata diatas ampyak/rak pengering lalu dimasukan ke dalam alat pengering. Setelah kering, tahap akhir proses produksi kerupuk uyel adalah penggorengan, dan pengemasan.


(42)

Gambar 3. Diagram alir proses produksi kerupuk uyel

4.6 Parameter yang diukur

Parameter yang diukur meliputi : 1. Iradiasi Surya

Pengkuran iradiasi surya menggunakan alat pyranometer yang data keluarannya berupa tegangan (mV) yang terlihat pada multimeter tester. Nilai 1 mV keluaran pyranometer setara dengan 1000/7 Watt/m2. Pyranometer

diletakan disamping alat pengering, yaitu ditempat yang terkena sinar matahari secara langsung.

Total iradiasi surya harian (Ih) dihitung secara matematis dengan menggunakan metode Simpson (Purcell and Vanberg, 1999).

[

+

+

+

]

Δ

= t Ii Itgl ltgp If

Ih 4 2

3 …………..………(1)

Ih= total iradiasi surya harian (Wh/m²)

Persiapan bahan baku

Proses pembentukan adonan

Pencetakan

Penambahan bahan tambahan

Pengeringan setengah kering

Pengemasan Pengeringan


(43)

t

Δ = selang pengukuran (jam)

gl

I = iradiasi selang pengukuran ganjil (W/m²)

gp

I = iradiasi selang pengukuran genap (W/m²)

i

I = iradiasi awal (W/m²)

f

I = iradiasi akhir (W/m²)

Untuk mengetahui iradiasi surya dapat didekati dengan persamaan berikut ini.

p I I

7 1000

= ……….(2)

I = iradiasi surya (W/m2)

p

I = iradiasi surya pyranometer (mV)

2. Suhu

Alat yang dipakai untuk mengukur suhu adalah termokopel dan termometer alkohol. Suhu yang akan diukur meliputi suhu ruang pengering yang dilakukan dengan 10 titik pengukuran yang mewakili 3 rak atas (T2, T5 dan T8), 3 rak tengah (T3, T6 dan T9) dan 3 rak bawah (T4, T7 dan T10) serta suhu inlet (T1), suhu outlet (bola basah dan bola kering) dan suhu lingkungan. Selain itu juga diukur suhu bahan yang diwakili oleh TR1, TR2 dan TR3. Pengukuran ini dilakukan pada selang 30 menit sampai dicapai kadar air akhir produk yang diinginkan. Adapun titik-titik pengukuran suhu udara ruang pengering dapat dilihat pada Gambar 4. Sedangkan suhu bahan dan peletakan sample dapat dilihat pada Gambar 5.

3. Kelembaban udara

Kelembaban udara yang diukur meliputi kelembaban udara lingkungan dan kelembaban udara ruang pengering. Data diperoleh dari suhu bola basah dan bola kering dan ditentukan secara grafis dengan menggunakan


(44)

4. Kecepatan udara

Kecepatan udara diukur dengan menggunakan anemometer. Pengukuran kecepatan udara meliputi udara masuk (inlet) pengering, udara di dalam ruang pengering dan udara outlet alat pengering.

Gambar 4. Titik-titik pengukuran suhu udara ruang pengering

Gambar 5. Sebaran suhu bahan dan peletakan sampel

T8 T2

T3

T5

T10 T1

T4

T6

T7

T9

R5

R6

TR3

R4 R3

TR2

R1

R2

TR1

Keterangan:

R1 = Sample no.1 TR1 = Suhu bahan 1

R2 = Sample no.2 TR2 = Suhu bahan 2

R3 = Samlpe no.3 TR3 = Suhu bahan 3

R4 = Sample no.4 R5 = Sample no.5 R6 = Sample no 6


(45)

5. Kadar air bahan

Kadar air bahan yang diukur meliputi kadar air awal, kadar air akhir dan penurunannya selama proses pengeringan berlangsung. Kadar air sample akhir diukur dengan menggunakan metode oven selama 24 jam. Sedangkan penurunan kadar air sample ditentukan dengan menghitung perbandingan berat sample tiap 30 menit dengan berat akhir sample yang telah diketahui kadar airnya.

6. Lama pengeringan

Lama pengeringan merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mengeringkan bahan (kerupuk uyel) dari kadar air awal sampai kadar air yang diharapkan.

7. Kebutuhan energi listrik

Energi listrik yang digunakan sebagai daya penggerak motor untuk kipas. Kebutuhan energi listrik berdasarkan lamanya motor listrik bekerja.

8. Kebutuhan energi bahan bakar

Merupakan jumlah bahan bakar yang digunakan untuk mengeringkan produk selama pengeringan. Jumlah bahan bakar ini ditentukan dengan mengetahui kapasitas ruang bahan bakar tungku yang digunakan.

4.7 Perlakuan Dalam Percobaan

Percobaan dilakukan dengan beberapa perlakuan pada kapasitas bahan yang akan dikeringkan. Pada percobaan pertama bahan yang dikeringkan sebanyak 1000 buah atau 11.44 kg, pada percobaan kedua bahan yang dikeringkan sebanyak 1700 buah atau 18.05 kg, pada percobaan ketiga bahan yang dikeringkan sebanyak 2000 buah atau 18.97 kg dan pada percobaan keempat bahan yang dikeringkan sebanyak 2600 buah atau 24.14 kg. Perlakuan ini dimaksudkan untuk melihat keefektifan alat pengering dapat mengeringkan kerupuk uyel dengan waktu pengeringan sama dengan pabrik. Bahan yang dikeringkan pada percobaan hanya sekitar 10 -15 % dari kapasitas alat (under


(46)

capasity). Hal ini dikarenakan pada percobaan ini hanya memfokuskan pada peningkatan suhu ruang pengering untuk dapat mengeringkan kerupuk uyel dengan waktu pengeringan yang sama dengan pabrik.

4.8 Perhitungan Performansi Teknis

Performasi alat pengering meliputi: iradiasi surya harian, kadar air, laju pengeringan, energi surya yang diterima alat pengering, energi biomassa, panas yang digunakan untuk menguapkan air produk, panas yang digunakan untuk menaikan suhu produk, panas yang diterima udara pengering, besarnya energi untuk memanaskan dan menaikan suhu produk energi penguapan produk, energi listrik yang digunakan, konsumsi energi spesifik, efisiensi pengeringan, dan efisiensi total sistem.

1. Kadar air

Penurunanan kadar air bahan selama proses pengeringan berlangsung dihitung berdasarkan komponen massa sebagai berikut :

Kadar Air (%bb) = ×100%

+ s w w m m m ………..………..….…….(4)

Kadar Air (%bk) = ×100%

s w m m

……..…………...……….(5) Dimana : mw= massa air (kg)

ms= massa padatan (kg)

2. Laju pengeringan

t w w dt

dW t t t

Δ −

= +Δ …..……….…..(6)

Dimana :

dt dW

= laju pengeringan (%bk/jam) Wt = kadar air pada waktu ke t (%bk) Wt+Δt= kadar air pada waktu ke t +Δt (%bk) Δt = selang waktu (jam)


(47)

3. Energi surya yang diterima alat pengeringan

t A

I

Q1 =3.6 R p(τα)p ……….(7) Dimana : Q1= Energi surya yang diterima alat pengeringan (kJ)

IR= Iradiasi surya (W/m²)

Ap= Luas permukaan pengering (m²) τ = transmisivitas bahan alat pengering α = absorpsivitas bahan penyerap

t = lamanya penyinaran matahari (jam) 4. Energi bahan bakar

k

B N

m

Q2 = . ……….(8)

Dimana : Q2= Energi bahan bakar (kJ)

mB= Massa bahan bakar yang digunakan (kg) NK= Nilai kalor bahan (kJ/kg)

5. Panas yang digunakan untuk menguapkan air produk

fg u H m

Q3 = . ………...….(9)

Dimana : mu = massa air yang diuapkan (kg)

Hfg= panas laten penguapan produk pada suhu Tb (kJ/kg)

6. Panas yang digunakan untuk menaikan suhu produk

Penentuan Cp dengan persamaan Siebel (Heldman and Sigh, 1989) ) ( 034 . 0 837 . 0 o pb M

C = + ………...………...(10)

) (

4 moCpb TB Tl

Q = − ………...………(11)

Dimana : Cpb = panas jenis produk (kJ/kgºC)

o

m = massa awal produk (kg)

B

T = suhu produk setelah dipanaskan (ºC)

l

T = suhu produk sebelum pemanasan (ºC)

o


(48)

7. Panas yang diterima udara pengering t T T C m

Q5 = ud pu( Rl)3600 ………...(12) Dimana : Q5 = panas yang diterima udara (kJ)

mud = laju udara (kg/s)

Cpu = kalor jenis udara (kJ/kgºC)

t = lamanya proses pengeringan (jam)

8. Besarnya energi untuk menaikan suhu produk dan energi penguapan air produk (Q6)

4 3

6 Q Q

Q = + ………(14)

9. Energi listrik yang digunakan kipas (Q7)

t P

Q7 =3.6 k ………...(15) Dimana : Pk = daya listrik (Watt)

10.Energi total yang masuk ke sistem (QT) 7

2

1 Q Q

Q

QT = + + ………...(16)

11.Konsumsi energi spesifik

ud T es

m Q

h = ………..(17)

Dimana : mud= massa air yang diuapkan selama pengeringan (kg)

12.Efisiensi total sistem pengeringan % 100 6 × = T total Q Q η ……….(20)


(49)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Iradiasi surya

Iradiasi surya diukur dengan menggunakan alat pyranometer. Keluaran dari pyranometer dalam bentuk satuan mV yang kemudian dikonversi ke dalam satuan W/m². Pengeringan kerupuk uyel dengan mesin pengering tipe ERK dilakukan setelah dilakukan penjemuran langsung dengan sinar matahari, yaitu pada saat tengah hari atau berkisar pukul 13.00 sampai pukul 17.00 WIB. Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh data intensitas iradiasi surya seperti terlihat pada Gambar 4.

0 100 200 300 400 500 600 700 800

13.33 14.03 14.33 15.03 15.33 16.03 16.33 17.03

Waktu

Ra

di

a

si

(

W

/m

2 )

Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3 Percobaan 4

Gambar 6. Grafik iradiasi surya

Keadaan cuaca yang semakin mendung menyebabkan nilai radiasi surya pada percobaan pertama terus menurun. Besarnya nilai rata-rata iradiasi surya pada percobaan pertama sebesar 175 W/m² dengan lama penyinaran selama 3.5 jam. Pada percobaan kedua didapat nilai iradiasi surya rata-rata sebesar 180.69 W/m² dengan lama penyinaran selama 3 jam. Sedangkan pada percobaan ketiga dan keempat berturut-turut nilai iradiasi surya rata-ratanya sebesar 125.15 W/m² dan 335.40 W/m² dengan masing-masing lama penyinaran 3 jam. Pada percobaan ketiga nilai radiasi surya lebih kecil. Hal ini dikarenakan kondisi cuaca yang berfluktuasi antara cerah, mendung dan hujan. Sedangkan pada percobaan


(50)

keempat nilai radiasi surya lebih tinggi dibandingkan dengan percobaan sebelumnya, dikarenakan cuaca yang cerah selama percobaan. Fluktuasi yang terjadi pada nilai iradiasi surya selama percobaan juga dipengaruhi oleh faktor keawanan, letak geografis dan waktu pengamatan. Lama penyinaran yang diterima saat proses pengeringan tidak berpengaruh pada besarnya total penerimaan radiasi surya. Total penerimaan radiasi terbesar adalah pada saat percobaan keempat yaitu sebesar 1068.84 Wh/m² dengan lama penyinaran 3 jam. Sedangkan pada percobaan pertama yang lama penyinarannya 3.5 jam, total penerimaan radiasi suryanya sebesar 522.86 Wh/m².

Suhu Udara Pengering

Udara pengering dalam percobaan ini berasal dari lingkungan yang dihisap oleh kipas ke dalam bangunan pengering membentuk suatu sirkulasi dengan system konveksi paksa. Sirkulasi udara dalam bangunan sebelum mengenai bahan mengalami dua tahap pemanasan yakni pemanasan oleh tungku dan pemanasan oleh radiasi surya yang terperangkap diantara atap bangunan dan plat penyerap panas berwarna hitam. Pemakaian sumber pemanas dari tungku diaktifkan selama proses pengeringan dimaksudkan agar dapat mencapai suhu yang memadai untuk mengeringkan bahan karena panas dari radiasi surya saja tidak mencukupi untuk mengeringkan bahan. Hal ini dikarenakan pada pengeringan kerupuk memerlukan suhu yang relatif tinggi untuk waktu pengeringan yang relatif singkat.

Profil suhu udara pengering rata-rata selama pengeringan pada percobaan pertama, kedua, ketiga dan keempat dapat dilihat pada Gambar 7, 8, 9 dan 10. Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termokopel dan termometer alkohol pada beberapa titik pengukuran yang meliputi suhu lingkungan, suhu outlet, suhu inlet dan suhu udara ruang pengering. Pada ruang pengering terdapat empat unit rak yang masing-masing rak terdiri dari 8 tingkat. Suhu udara ruang pengering pada tiap bagian diukur dengan mewakili rak bagian atas, tengah dan bawah. Suhu ruang pengering berfluktuasi dipengaruhi oleh suhu lingkungan, radiasi surya dan panas burner yang terletak di samping alat pengering.


(51)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

13.33 14.03 14.33 15.03 15.33 16.03 16.33 17.03

Waktu

oC

Tlingkungan Toutlet T1 T2

T3 T4 T5 T6

T7 T8 T9 T10

Gambar 7. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan pertama

Pada Gambar 7, suhu ruang pengering masih tinggi pada saat pengukuran yaitu pada jam 14.03, hal ini dikarenakan ruang pengering masih menyimpan panas dari sinar matahari, kemudian mulai menurun karena cuaca mendung. Tungku dinyalakan untuk meningkatkan suhu ruang pengering guna mempercepat proses pengeringan. Karena pengeringan kerupuk memerlukan suhu pengeringan yang tinggi, maka tungku (burner) tetap dinyalakan selama proses pengeringan untuk meningkatkan suhu ruang pengering. Suhu ruang pengering pada percobaan pertama berkisar antara 53.5-73.1 ºC dengan rata-rata 68.20 ºC. Adapun rata-rata suhu pada masing-masing posisi T1 sebesar 80.0 ºC , T2 sebesar 73.8 ºC, T3 sebesar 72.4ºC, T4 sebesar 65.6ºC, T5 sebesar 76.3 ºC, T6 sebesar 53.5 ºC, T7 sebesar 61.9 ºC, T8 sebesar 72.8 ºC, T9 sebesar 68.1 ºC, T10 sebesar 56 ºC dan T outlet sebesar 77 ºC, sedangkan suhu lingkungan berkisar antara 31-39 ºC dengan nilai rata-rata 35.34 ºC. Suhu ruang pengering pada pengukuran yang mewakili rak atas (T8, T9, T3) dan dekat lubang inlet (T7 dan T10) relatif tinggi dibandingkan dengan pengukuran suhu yang mewakili rak tengah dan bawah. Hal ini dipengaruhi oleh lapisan polycarbonate yang terletak diatas pengering masih menyimpan sisa panas dari sinar matahari dan udara panas dari inlet menuju ke atas ruang pengering, sedangkan yang dekat inlet mempunyai suhu yang tinggi dikarenakan dekat dengan udara panas yang berasal dari tungku (burner). Suhu udara semakin mendekati outlet suhunya semakin menurun.


(52)

Penurunan ini disebabkan oleh adanya penyerapan panas oleh bahan yang dikeringkan.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

13.03 13.33 14.03 14.33 15.03 15.33 16.03

Waktu

oC

Tlingkungan Toutlet T1 T2

T3 T4 T5 T6

T7 T8 T9 T10

Gambar 8. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan kedua

Suhu ruang pengering hasil pengukuran pada percobaan kedua mengikuti pola suhu lingkungan. Suhu ruang pengering pada percobaan kedua berkisar antara 57.5-71.3 ºC dengan rata-rata 67.10 ºC. Adapun suhu rata-rata tiap posisi T1 sebesar 97.1 ºC, T2 sebesar 78.1 ºC, T3 sebesar 76.0 ºC, T4 sebesar 42.7 ºC, T5 sebesar 79.1 ºC, T6 sebesar 73.4 ºC, T7 sebesar 46.7 ºC, T8 sebesar 69.0 ºC, T9 sebesar 64.9 ºC, T10 sebesar 43.6 ºC dan T outlet sebesar 67.6 ºC, sedangkan suhu lingkungan berkisar antara 30-38 ºC dengan nilai rata-rata 33.58 ºC. Selisih antara suhu lingkungan dengan suhu udara pengering menunjukan bahwa udara pengering dalam bangunan telah menyerap panas baik dari radiasi surya maupun dari panas tungku. Suhu ruang pengering pada percobaan kedua terlihat lebih stabil daripada percobaan pertama, hal ini dikarenakan adanya pengaturan burner

yang lebih stabil. Kecenderungan peningkatan suhu terjadi jika proses pemanasan udara oleh radiasi surya dan panas tungku berlangsung dengan baik. Pemanasan pertama sangat tergantung pada kontinuitas pembakaran tungku, selanjutnya pada tahap pemanasan kedua tergantung oleh adanya energi surya.


(53)

0 20 40 60 80 100 120 140

13.15 13.45 14.15 14.45 15.15 15.45 16.15

Waktu

oC

Tlingkungan Toutlet T1 T2

T3 T4 T5 T6

T7 T8 T9 T10

Gambar 9. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan ketiga

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

13.3 14 14.3 15 15.3 16 16.3

Waktu

oC

Tlingkungan Toutlet T1 T2

T3 T4 T5 T6

T7 T8 T9 T10

73

Gambar 10. Profil suhu udara ruang pengering pada percobaan keempat

Sama seperti percobaan pertama, pola suhu ruang pengering pada percobaan ketiga dan keempat mengikuti pola suhu lingkungan. Suhu udara ruang pengering pada percobaan ketiga berkisar antara 46.4-68.2 ºC dengan nilai rata-rata 59.0 ºC dengan nilai suhu rata-rata tiap posisi T1 sebesar 75.9 ºC, T2 sebesar 62.9 ºC, T3 sebesar 61.6 ºC, T4 sebesar 52.3 ºC, T5 sebesar 63.3 ºC, T6 sebesar 59.0 ºC, T7 sebesar 75.9 ºC, T8 sebesar 60.2 ºC, T9 sebesar 57.9 ºC, T10 sebesar 48.1 ºC dan T outlet sebesar 57.1 ºC, sedangkan suhu lingkungannya berkisar antara 26-32 ºC. Nilai suhu udara pengering tersebut relatif rendah


(54)

cuaca yang berfluktuasi dan selalu berubah-ubah antara cerah, mendung dan hujan. Pada percobaan keempat, suhu ruang pengering berkisar antara 52.9-74.8 ºC dengan rata-rata 64.8 ºC dengan suhu rata-rata masing-masing posisi T1 sebesar 79.7 ºC , T2 sebesar 70.6 ºC, T3 sebesar 70.7 ºC, T4 sebesar 54.4 ºC, T5 sebesar 68.1 ºC, T6 sebesar 66.4 ºC, T7 sebesar 57.3 ºC, T8 sebesar 67.1 ºC, T9 sebesar 62.6 ºC, T10 sebesar 51.7 ºC dan T outlet sebesar 63.9 ºC, sedangkan suhu lingkungannya berkisar antara 34-36 ºC dengan nilai rata-rata 34.87 ºC. Walaupun kisaran suhu ruang pengering relatif rendah dibandingkan dengan percobaan pertama dan kedua, namun rata-rata suhu ruang pengering relatif tinggi karena intensitas radiasi surya rata-rata pada percobaan keempat labih besar yaitu 1068.84Wh/m² serta didukung cuaca yang cerah.

Suhu udara pengering memegang peranan penting dalam menentukan cepat lambatnya tercapainya kadar air yang diinginkan. Semakin tinggi suhu udara atau semakin besar perbedaan antara suhu media pemanas dengan suhu bahan yang dikeringkan, semakin besar pula perbedaan tekanan uap jenuh antara permukaan bahan dengan lingkungan, sehingga penguapan air akan lebih banyak dan lebih cepat. Hal tersebut ditunjukan oleh hasil percobaan, dimana semakin tinggi rata-rata suhu udara pengering, maka waktu yang dibutuhkan oleh pengeringan semakin cepat.

5.3 Suhu Udara di Bahan

Udara pengering yang telah mengalami pemanasan selanjutnya melewati bahan dalam rangka proses pengeringan. Suhu udara yang melewati bahan mengalami penurunan karena selama proses pengeringan energi panas yang terkandung dalam udara diserap oleh bahan untuk menguapkan kandungan uap air yang selanjutnya terhisap oleh kipas keluar bangunan.

Besarnya penurunan suhu udara pengering dipengaruhi oleh jumlah bahan yang dikeringkan. Semakin banyak bahan yang dikeringkan menyebabkan jumlah energi panas yang dimanfaatkan semakin besar. Hal ini dapat diperlihatkan dari hasil percobaan. Pada percobaan pertama bahan yang dikeringkan sebanyak 11.44 kg dengan energi yang termanfaatkan untuk menguapkan air bahan sebesar 759.15 kJ, pada percobaan kedua sebanyak 18.05 kg dengan energi untuk


(55)

menguapkan air bahan sebesar 1129.10 kJ, pada percobaan ketiga sebanyak 18.97 kg dengan energi termanfaatkan untuk menguapkan air bahan sebesar 1335.73 kJ dan pada percobaan keempat bahan yang dikeringkan sebanyak 24.14 kg dengan energi yang digunakan untuk menguapkan air bahan sebesar 798.5 kJ. Sedangkan pada percobaan keempat, walaupun jumlah bahan yang dikeringkan lebih besar dibandingkan dengan percobaan lainnya, namun energi yang termanfaatkan untuk menguapkan bahan lebih kecil dibandingkan dengan percobaan lainnya. Hal ini dikarenakan massa air yang diuapkan pada percobaan keempat lebih kecil dari percobaan lainnya, yaitu sekitar 0.34 kg. Tingkat penyerapan panas oleh bahan ditunjukkan oleh besarnya selisih antara suhu udara pengering dengan suhu udara luar bahan. Adapun profil suhu bahan dapat dilihat pada Gambar 11, 12, 13, dan 14.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

13.33 14.03 14.33 15.03 15.33 16.03 16.33 17.03 Waktu

oC

Lingkungan Outlet TR1

TR2 TR3 TRrata-rata


(56)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

13.03 13.33 14.03 14.33 15.03 15.33 16.03 Waktu

o

C

Lingkungan Outlet TR1

TR2 TR3 TRrata-rata

Gambar 12. Profil suhu bahan pada percobaan kedua

0 10 20 30 40 50 60 70 80

13.15 13.45 14.15 14.45 15.15 15.45 16.15

Waktu

oC

Lingkungan Outlet TR1

TR2 TR3 TRrata-rata

Gambar 13. Profil suhu bahan pada percobaan ketiga

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

13.30 14.00 14.30 15.00 15.30 16.00 16.30

Waktu

oC

Lingkungan Outlet TR1

TR2 TR3 TRrata-rata


(57)

5.4 Kelembaban Udara

Kelembaban udara diukur secara psychrometric, yaitu dengan mengetahui parameter suhu bola basah dan bola kering. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan psychrometric chart. Kelembaban udara dalam ruang pengering dipengaruhi oleh laju aliran udara kipas dan laju penguapan uap air dari bahan. Selama percobaan, baik percobaan pertama, kedua, ketiga dan keempat, laju udara disekitar alat pengering berfluktuasi antara 0.11-1.2 m/s. Hal ini menyebabkan RH udara dalam ruang pengering juga berfluktuasi. Profil RH dalam ruang pengering dapat dilihat pada Gambar 15, 16, 17, dan 18.

0 10 20 30 40 50 60

13.33 14.03 14.33 15.03 15.33 16.03 16.33 17.03

Waktu

RH

(

%

)

Outlet R.pengering

Gambar 15. Profil kelembaban udara pada percobaan pertama

Berdasarkan pengukuran kelembaban pada percobaan pertama, didapat RH udara pengering berkisar antara 28-49 % dengan nilai rata-rata sebesar 39.96 %, sedangkan RH outlet pada percobaan pertama berkisar antara 63-79 % dengan nilai rata-rata 67.59 %. Tingginya nilai RH ruang pengering pada percobaan pertama disebabkan besarnya kecepatan alira udara rata-rata yang masuk ke dalam ruang pengering yaitu sebesar 1 m/s. RH udara pengering tertinggi dicapai pada jam 16.03 yaitu sebesar 49.6 %, hal ini dikarena pada jam tersebut cuaca mulai mendung sehingga udara dalam ruang pengaring mulai lembab. Sedangkan RH terendah dicapai pada jam 14.03 yaitu sebesar 28.2 %. Hal ini dikarenakan pada jam tersebut suhu ruang pengering masih tinggi.


(58)

Pada percobaan kedua didapat RH ruang pengering berkisar antara 12-22 % dengan nilai rata-rata 15.87 %, sedangkan RH outlet berkisar antara 50-75 % dengan nilai rata-rata 61.46 %. Nilai RH ruang pengering pada percobaan kedua relatif rendah yang menyebabkan laju pengeringannya semakin cepat yaitu 0.97 %bk/jam. RH ruang pengering tertinggi dicapai pada jam 13.03 atau pada awal pengeringan. RH ruang pengering masih tinggi pada awal pengeringan dikarenakan suhu ruang pengering pada awal pengeringan masih rendah dan

burner belum dinyalakan.

0 10 20 30 40 50 60

13.03 13.33 14.03 14.33 15.03 15.33 16.03

Waktu

RH

(

%

)

Outlet R.pengering

Gambar 16. Profil kelembaban udara pada percobaan kedua

0 10 20 30 40 50 60 70

13.15 13.45 14.15 14.45 15.15 15.45 16.15

Waktu

RH

(

%

)

Outlet R.pengering


(59)

Pada percobaan ketiga didapat RH ruang pengering berkisar antara 13-60 % dengan nilai rata-rata 26.07 %, dan RH outletnya berkisar antara 30-64 % dengan nilai rata-rata 48.89 %. RH ruang pengering tertinggi dicapai pada jam 13.15 yaitu sebesar 60.8 %, dan terendah dicapai pada jam 13.45 yaitu sebesar 13.1 %. Besarnya nilai RH pada jam 13.15 dikarenakan suhu ruang pengering pada jam tersebut masih rendah karena burner belum dinyalakan.

0 5 10 15 20 25 30 35

13.30 14.00 14.30 15.00 15.30 16.00 16.30

Waktu

RH

(

%

)

Outlet R.Pengering

Gambar 18. Profil kelembaban udara pada percobaan keempat

Pada percobaan keempat, RH ruang pengering berkisar antara 15-25 % dengan nilai rata-rata sebesar 22.6 %, sedangkan RH outlet berkisar antara 18-30 % dengan nilai rata-rata 24.64 %. RH ruang pengering tertinggi dicapai pada jam 16.00 yaitu sebesar 25.5 %, hal ini dikarenakan suhu udara ruang pengering pada jam tersebut mulai turun. Sedangkan RH terendah dicapai pada jam 14.30 dan 15.00 yaitu sebesar 15.9 %. Hal ini dikarenakan tingginya suhu udara ruang pengering pada jam tersebut.

RH outlet rata-rata lebih tinggi dari RH pada ruang pengering baik pada percobaan pertama, kedua, ketiga dan keempat. Hal ini dikarenakan udara yang melewati outlet cenderung menurun dan banyak mengandung uap air yang dibawa melalui aliran udara menuju outlet.

Kelembaban udara berpengaruh terhadap pemindahan cairan atau uap air dari dalam ke permukaan bahan, serta menentukan besarnya tingkat kemampuan


(60)

udara pengering dalam menampung uap air disekitar permukaan bahan. Semakin rendah RH udara pengering maka semakin tinggi kemampuannya dalam menyerap uap air dari permukaan bahan, sehingga laju pengeringan akan semakin cepat. Tingginya RH juga disebabkan oleh sistem yang kurang sempurna, artinya alat masih terdapat kebocoran-kebocoran kecil ataupun adanya udara masuk saat alat dibuka atau ditutup yang menyebabkan udara luar masuk ke dalam sistem pengering.

5.5Laju Aliran Udara

Aliran udara yang terbentuk sebagai sirkulasi udara pengering disebabkan oleh adanya kipas yang mengisap udara luar masuk ke bangunan. Sedangkan pada ruang pengering ditempatkan kipas pengaduk udara pengeringan, namun pada pengeringan ini kipas pengaduk tidak dipakai. Pada proses pengeringan udara berfungsi sebagai pembawa panas untuk menguapkan kandungan air bahan serta memindahkan uap air disekitar permukaan bahan. Semakin besar volume udara yang mengalir maka semakin besar pula kemampuannya untuk membawa dan menampung uap air lebih banyak, sehingga laju pengeringan semakin cepat.

Laju aliran udara yang dapat dicapai pada pengeringan kerupuk berkisar antara 0.11–1.2 m/s. Rendahnya aliran udara pada percobaan ini disebabkan terbatasnya kipas yang digunakan. Kipas yang digunakan hanya kipas yang berfungsi sebagai penghembus udara panas dari burner sehingga aliran udara yang masuk ke dalam ruang pengering tidak disirkulasikan, hal ini menyebabkan adanya ketidakseragaman suhu di dalam ruang pengering.

Pada percobaan pertama, kecepatan aliran udara masuk ke bangunan rata-rata sebesar 1 m/s, pada ruang pengering sebesar 0.85 m/s dan outlet 0.76 m/s. Pada percobaan kedua, kecepatan aliran udara masuk ke bangunan rata-rata sebesar 0.23 m/s, pada ruang pengering sebesar 0.15 m/s, outlet 0.76 m/s sehingga laju udara masuk sebesar 0.018 kg/s dan laju udara keluar sebesar 0.058 kg/s. Pada percobaan ketiga, kecepatan aliran udara masuk ke bangunan rata-rata sebesar 0.54 m/s, kecepatan udara pada ruang pengering sebesar 0.54 m/s dan outlet sebesar 0.43 m/s. Dan pada percobaan keempat, kecepatan aliran udara masuk ke bangunan rata-rata sebesar 0.23 m/s, pada ruang pengering sebesar 0.15


(1)

Lampiran 4. Pengukuran RH

Tabel lampiran 13. Hasil pengukuran RH pada percobaan 1 Waktu Outlet

(%)

Ruang pengering (%)

13.33 79.7 33.2 14.03 65.7 28.2 14.33 66.4 33.9 15.03 72.2 45.8 15.33 63.1 46.3 16.03 66.7 49.6 16.33 66.0 34.0 17.03 60.9 48.7

Tabel lampiran 14. Hasil pengukuran RH pada percobaan 2 Waktu Outlet

(%)

Ruang pengering (%)

13.03 50.5 22.1

13.33 51.4 14.7

14.03 75.2 12.8

14.33 55.2 12.8

15.03 60.3 13.5

15.33 62.8 13.9

16.03 74.8 21.3

Tabel lampiran 15. Hasil pengukuran RH pada percobaan 3 Waktu Outlet

(%)

Ruang pengering (%)

13.15 57.7 60.8

13.45 30.0 13.1

14.15 42.9 17.5

14.45 43.3 18.5

15.15 58.8 26.8

15.45 64.4 26.8


(2)

Lampiran 4. (lanjutan)

Tabel lampiran 16. Hasil pengukuran RH pada percobaan 4 Waktu Outlet

(%)

Ruang pengering (%)

13.30 30.6 25.5

14.00 30.6 25.5

14.30 18.5 15.9

15.00 19.0 15.9

15.30 27.3 24.4

16.00 24.4 25.5


(3)

Lampiran 5. Laju penurunan kadar air

Tabel lampiran 17. Laju penurunan kadar air pada percobaan 1

Waktu R1 R2 R3 R4 R5 R6 14.03 3.20 2.90 3.73 2.58 2.55 1.93 14.33 0.00 0.97 0.00 1.03 0.51 2.41 15.03 1.60 0.97 2.13 1.03 0.51 0.96 15.33 1.07 0.48 0.00 0.00 0.00 0.96 16.03 0.00 0.48 1.06 0.52 1.53 0.00 16.33 1.07 0.97 0.00 0.00 0.00 0.00 17.03 0.53 0.00 0.00 0.52 0.00 0.00

Tabel lampiran 18. Laju penurunan kadar air pada percobaan 2

Waktu R1 R2 R3 R4 R5 R6 13.33 3.27 2.23 1.36 1.84 1.89 1.42 14.03 0.47 0.89 0.91 0.92 1.89 0.00 14.33 0.94 0.45 0.91 0.92 0.47 0.94 15.03 0.94 0.00 1.36 0.92 0.47 0.47 15.33 1.40 2.23 0.45 0.92 0.94 0.47 16.03 0.47 0.45 0.00 0.92 0.47 0.47

Tabel lampiran 19. Laju penurunan kadar air pada percobaan 3

Waktu R1 R2 R3 R4 R5 R6 13.45 0.94 3.32 0.86 1.92 0.00 0.45 14.15 0.47 2.85 1.29 1.92 2.58 0.91 14.45 0.94 0.00 1.29 1.44 0.43 1.36 15.15 1.42 1.42 0.43 0.96 0.86 0.91 15.45 0.94 0.00 0.86 0.96 0.86 0.91 16.15 0.00 0.95 0.86 0.96 1.29 0.91

Tabel lampiran 20. Laju penurunan kadar air pada percobaan 4

Waktu R1 R2 R3 R4 R5 R6 14.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 14.30 1.22 1.83 2.30 1.21 0.00 0.59 15.00 0.61 0.00 1.15 0.00 1.85 2.37 15.30 0.61 1.22 0.00 1.21 0.00 1.18 16.00 0.00 0.61 0.00 0.00 0.00 0.00 16.30 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00


(4)

Lampiran 6. Pembagian unit rak

1 2 3 4

Keterangan: 1 = Unit Rak 1 2 = Unit Rak 2 3 = Unit Rak 3 4 = Unit Rak 4


(5)

Lampiran 7. Foto-foto percobaan

Gambar tungku pembakaran


(6)