Analisis peningkatan suhu permukaan akibat konversi lahan dengan menggunakan citra landsat ETM: studi kasus Jakarta

(1)

ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT

KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA

LANDSAT ETM

+

(Studi Kasus : Jakarta)

GEMA NUSANTARA BAKRY

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

GEMA NUSANTARA. Analisis Peningkatan Suhu Permukaan Akibat Konversi lahan Dengan Menggunakan Citra Landsat ETM+ (Studi Kasus : Jakarta). Dibimbing oleh SOBRI EFFENDY

dan LARAS TURSILOWATI.

Perkembangan dan pemekaran wilayah Jakarta telah memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Pembangunan telah merubah lansekap kota itu sendiri. Banyak ruang terbuka hijau yang telah dijadikan sarana dan prasarana publik. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan perkembangan pembangunan, menyebabkan perubahan di segala bidang, salah satunya adalah perubahan penutup dan penggunaan lahan. Perkembangan dan pemekaran wilayah Jakarta dapat mengakibatkan perubahan unsur-unsur iklim, terutama di pusat kota, akan berbeda dengan wilayah di sekitarnya. Tujuan penelitian ini menganalisis peningkatan suhu permukaan yang diakibatkan oleh konversi lahan. Daerah pengamatan penelitian ini adalah DKI Jakarta pada periode pengamatan tahun 2000 dan 2006. Kanal citra landsat yang digunakan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan adalah kanal 5, 4, dan 2 yang masing-masing memiliki resolusi spasial 30 m x 30 m, sedangkan kanal landsat yang digunakan untuk melihat peningkatan suhu permukaannya menggunakan kanal 61 dan 62 yang memiliki resolusi 60 m x 60 m. Hasil analisis menunjukan adanya perubahan lahan yang cenderung menaikan suhu permukaan antara lain urban, lahan terbuka yang semakin luas. Peningkatan luas area tertinggi pada tutupan lahan pemukiman atau urban sekitar 15 % dari tahun 2000-2006, sebaliknya penutup lahan yang bisa meredam suhu seperti Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Air (RTA) justru berkurang, RTH mengalami penurunan luas mencapai (21.1%). Seiring dengan perubahan tutupan lahan yang cukup tinggi, mengakibatkan peningkatan suhu permukaan cukup signifikan. Perubahan suhu permukaan ini secara visual dapat dilihat dari perbedaan antara tahun 2000 dan 2006. Pada tahun 2000 penyebaran suhu permukaan masih merata sekitar (20-32) °C. Suhu permukaan dengan interval (32-35) °C hanya terlihat di beberapa daerah di Jakarta Utara dan sedikit di daerah Jakarta Timur. Tetapi pada tahun 2006 terjadi peningkatan suhu permukaan sekitar (24-38) °C, dan tampak terlihat perbedaan jelas penyebaran suhu dengan interval (32-35)°C distribusinya hampir merata di seluruh Kota Jakarta dan suhu permukaan dengan interval (36-39) °C hanya tersebar di beberapa pusat kota.


(3)

ANALISIS PENINGKATAN SUHU PERMUKAAN AKIBAT

KONVERSI LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA

LANDSAT ETM

+

(Studi Kasus : Jakarta)

GEMA NUSANTARA BAKRY

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Pada

Departemen Geofisika Dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam tugas akhir yang dilaksanakan sejak bulan April 2010 ini adalah konversi lahan, dengan judul Analisis Peningkatan Suhu Permukaan Akibat Konversi Lahan Dengan Menggunakan Citra Landsat ETM+ (Studi Kasus : Jakarta). Sholawat serta salam terpanjatkan kepada Nabi Muhammad S.A.W yang telah memberikan tuntunan menuju jalan kebaikan. Terimakasih penulis ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu serta mendukung dalam penulisan skripsi ini, antara lain :

1. Ayah dan ibu tercinta, atas kasih sayang serta pengorbanannya yang terus tercurahkan kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini. Adik–adikku tersayang (Sharazzani dan Nurulliza) yang selalu memberikan semangat serta memberikan motivasi kepada penulis. Serta seluruh keluarga yang telah berjasa kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Sobri Effendy, M.Si selaku pembimbing pertama, yang selalu dengan teliti serta sabar dalam memberikan bimbingan, saran, dan masukan-masukan lainnya yang menunjang untuk terselesaikannya tugas akhir ini.

3. Ibu Dra. Laras Tursilowati, M.Si selaku pembimbing kedua yang telah banyak memberikan saran serta bimbingannya kepada penulis.

4. Seluruh Staff Pengajar Departemen Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.

5. Seluruh Staff TU Departemen Geofisika dan Meteorologi atas segala bantuannya.

6. Sahabatku Rendy Kurnia dan Raidinal yang telah banyak memberikan dukungan moril, serta Hilda, Diki, Lastri, Cristina, Gilang, Desi dan Diana yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir.

7. Teman-teman GFM’43 yang senantiasa memberikan kenangan yang paling berkesan dan paling bahagia.

8. Seluruh civitas GFM atas dukungannya, serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis berharap, semoga karya tulis ini bisa memberikan manfaat bagi ilmu pengetahuan dan semua pihak yang membaca. Penulis juga mengharapkan adanya kritik dan saran untuk membuat karya ilmiah ini lebih sempurna.

Bogor, Maret 2011

Gema Nusantara


(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 23Mei 1989, dengan nama lengkap Gema Nusantara Bakry sebagai putra pertama dari tiga bersaudara, dari ayah Umar.S.Bakry dan ibu Siti Aisyah Purnamasari.

Pendidikan formal yang dilalui penulis pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Teluk Pucung Jaya – Bekasi, pendidikan menengah pertama diselesaikan tahun 2003 di SMP Mutiara 17 Agustus, pada tahun 2006 lulus dari MA Negeri 1 Bekasi. Pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan melalui program mayor-minor pada tahun 2007. Penulis memilih Program Studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

DAFTAR GAMBAR ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...2

2.1 Suhu Permukaan ... 2

2.2 Konversi Lahan ... 2

2.2.1 Ruang Terbuka Hijau... 3

2.2.2 Ruang Terbuka Air ... 4

2.2.3 Citra Satelit Landsat ... 4

BAB III METODOLOGI ... 5

3.1 Waktu dan Tempat ... 5

3.2 Alat dan Bahan ... 5

3.3 Metode Penelitian ... 5

3.3.1 Pengolahan Awal Data Satelit ... 5

3.3.2 Pengolahan Suhu Permukaan ... 6

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 8

4.1 Kondisi Geografis Daerah Kajian ... 8

4.2 Identifikasi Jenis Lahan... 9

4.2.1 Urban ... 9

4.2.2 Lahan Terbuka ... 10

4.2.3 Sawah ... 10

4.2.4 Ruang Terbuka Air ... 11

4.2.5 Ruang Terbuka Hijau ... 11

4.3 Identifikasi Sebaran Suhu Permukaan... 12

4.4 Hubungan Konversi lahan dengan suhu permukaan ... 14

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 15

5.1 Kesimpulan ... 15

5.2 Saran ... 15

DAFTAR PUSTAKA ... 15


(7)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Emisivitas Penutup Lahan --- 6 Tabel 2. Data Pembangunan dan Populasi Jakarta Tahun 1980 dan 2000 --- 8 Tabel 3. Perubahan Tutupan Lahan Seluruh DKI Jakarta Dengan Menggunakan Citra

Landsat Tahun 1989 dan 2002. --- 8 Tabel 4. Perubahan Tutupan Lahan Seluruh DKI Jakarta Dengan Menggunakan Citra

Landsat Tahun 1983 dan 2002 --- 8 Tabel 5. Perubahan Lahan Jakarta --- 10 Tabel 6. Perubahan Suhu Permukaan Penutup Lahan tahun 2000 dan 2006 --- 14


(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Alih Guna Lahan --- 3

Gambar 2. Ruang Terbangun --- 3

Gambar 3. Jalur Hijau --- 4

Gambar 4. Banjir Kanal Timur --- 4

Gambar 5. Diagram Alir Penelitian --- 7

Gambar 6. Citra Klasifikasi Lahan Tahun 2000 --- 9

Gambar 7. Citra Klasifikasi Lahan Tahun 2006 --- 10

Gambar 8. Klasifikasi Lahan Jakarta --- 11

Gambar 9. Persentasi Luas Area Klasifikasi Lahan Tahun 2000 --- 12

Gambar 10. Persentasi Luas Area Klasifikasi Lahan Tahun 2006 --- 12

Gambar 11. Peta Sebaran Suhu Permukaan Tahun 2000--- 13


(9)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Masalah perkotaan saat ini menjadi problem yang cukup pelik untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek ekologis. Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau (taman, jalur hijau, dan lahan pertanian) dan ruang terbuka air (permukaan danau, sungai maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan air). Perkembangan kota membutuhkan ruang sebagai tempat hidup penduduk dengan aktivitasnya. Pertambahan jumlah penduduk kota berarti juga peningkatan kebutuhan ruang, karena ruang tidak dapat bertambah maka yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan yang cenderung menurunkan proporsi-proporsi lahan yang sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau.

Perkembangan dan pemekaran wilayah di Jakarta saat ini telah memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Pembangunan saat ini telah merubah lansekap kota itu sendiri. Banyak ruang terbuka hijau yang telah dijadikan sarana dan prasarana publik. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan perkembangan pembangunan menyebabkan perubahan di segala bidang, salah satunya adalah perubahan penutup dan penggunaan lahan. Perubahan penutup dan penggunaan lahan dapat merubah reflektansi radiasi surya permukaan bumi dan menyebabkan pendinginan atau pemanasan lokal (Handayani 2007).

Tingginya tingkat pembangunan di daerah perkotaan, seringkali mengabaikan unsur-unsur alami seperti vegetasi. Padahal dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa vegetasi memiliki manfaat dan nilai untuk mempertahankan tingkat kenyamanan udara. Pada umumnya komunitas vegetasi bertujuan untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup dan kenyamanan kota (Waryono 1991). Dalam hal ini, sangat penting untuk mempertimbangkan kebutuhan ruang hijau di perkotaan. Pembangunan fisik kota itu sendiri mempengaruhi ketersediaan ruang untuk vegetasi dan distribusinya.

Hasil analisis yang dilakukan dalam beberapa penelitian mengungkapkan adanya dampak dari ruang hijau perkotaan pada iklim mikro, kualitas udara, penyimpanan

karbon dan juga memperkaya

keanekaragaman hayati (Susanti 2009). Telah diakui pula bahwa terdapat keuntungan sosial ekonomi yang dapat diperoleh dari ruang hijau perkotaan dan kontribusinya pada perbaikan kesehatan manusia (Susanti 2009).

Dengan demikian diperlukan adanya pembangunan wilayah terencana untuk menjaga dan memperbaiki kualitas udara di kota Jakarta. Serta melakukan pembenahan tata ruang perkotaan dengan menentukan kawasan-kawasan untuk tiap pengguna lahan. Salah satu cara untuk menciptakan lahan hijau di perkotaan adalah melalui penghijauan, makin banyak permukaan lahan hijau dan ruang terbuka air akan memperkecil kontras sifat termalnya. Pembangunan fisik kota mengakibatkan perubahan drastis pada sifat permukaan dan perilaku atmosfernya. Bila laju fisik tersebut cukup pesat maka kemungkinan pertumbuhan tanaman hijau akan tertekan, ketiadaan penutupan vegetasi menyebabkan ketiadaan transpirasi dan ini merupakan penyebab utama penambahan bahang di kota.

Kerapatan vegetasi dan suhu permukaan merupakan informasi penting yang dibutuhkan kaitannya dengan isu pemanasan global. Informasi spasial ini dapat dihasilkan dengan memanfaatkan citra satelit sumberdaya, khususnya citra Landsat. Kemampuannya perlu dikaji agar tidak memberikan informasi yang tidak representatif, apalagi kalau suatu daerah kajian memiliki jenis penggunaan lahan yang heterogen. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan klasifikasi lahan kota Jakarta tahun 2000 dan tahun 2006, serta mengidentifikasi peningkatan suhu permukaannya. Analisis yang digunakan yaitu analisis spasial dengan melakukan perbandingan antara informasi spasial penggunaan lahan dengan data sebaran kelas kerapatan vegetasi dan kelas suhu permukaan. Hasil penelitian menunjukkan dapat mempresentasikan kerapatan vegetasi dengan baik untuk berbagai macam jenis penggunaan lahan. Di sisi lain pendeteksian suhu permukaan menggunakan band termal pada citra Landsat harus memperhatikan aspek penggunaan lahannya, untuk menghindari kesalahan interpretasi.

1.2 Tujuan

Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :


(10)

 Mengidentifikasi luas ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka air (RTA).

 Mengidentifikasi perubahan distribusi dan persentasi RTH dan RTA dalam kurun waktu 6 tahun.

 Menganalisis hubungan konversi lahan dengan peningkatan suhu permukaan.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan

Suhu permukaan dapat diartikan suhu bagian terluar dari suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya akan meningkat. Hal ini juga akan meningkatkan fluks energi (radiasi gelombang panjang) yang keluar dari permukaan benda tersebut. Suhu permukaan bukanlah suhu udara, keduanya memiliki nilai aktual yang bervariasi menurut ruang dan waktu. Suhu permukaan berpengaruh terhadap fluks bahang terasa (sensible heat), terutama pada siang hari, karena suhu permukaan benda lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara (Mannstein 1987 dalam Kalfuadi 2009).

Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya belum tentu sama. Hal ini tergantung pada sifat fisik obyek pada permukaan tersebut. Sifat fisis obyek tersebut diantaranya : emisivitas, konduktivitas termal dan kapasitas panas jenis. Suatu obyek permukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah sedangkan konduktivitasnya termalnya tinggi akan menyebabkan suhu permukaan meningkat. Hal sebaliknya terjadi pada suatu obyek yang memiliki emisivitas dan kapasitas jenis yang tinggi sedangkan konduktivitas termalnya rendah akan menyebabkan lebih rendahnya suhu permukaan. Suhu permukaan akan mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Lillesand and Kiefer 1998 dalam Kalfuadi 2009).

Suhu permukaan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit termal. Dalam remote sensing dapat

didefinisikan sebagai suhu permukaan rata-rata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda.

2.2. Konversi Lahan

Konversi lahan merupakan perubahan fungsi lahan sebagaimana mestinya, yang biasanya berawal dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka air menjadi daerah pemukiman atau sebagai sarana dan prasarana publik tanpa mengindahkan dampak ekologis yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan di suatu wilayah: Menurut Dowall (1978), Durand & Lasserve (1983) dalam Faizal (1998), ada dua faktor yang mempengaruhi proses konversi, yaitu faktor eksternal dan faktor interal. Faktor eksternal meliputi : (1) tingkat urbanisasi secara umum, (2) kondisi perekonomian, (3) kebijakan dan program-program pembangunan kota. Sedangkan faktor internal meliput : (1) lokasi dan potensi lahan, (2) pola pemilikan tanah, (3) motivasi pemiliknya. Sementara Suryadini (1994) dalam Ramadhan (2005) menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya perubahan pemanfaatan RTH adalah : (1) terbatasnya lahan yang hendak dibangun pada daerah yang mengalami perubahan, (2) kebutuhan pemenuhan fasilitas yang ingin dibangun untuk melayani penduduk, (3) kurangnya pengawasan dari pemerintah terhadap perubahan RTH, (4) tingkat pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap tingkat kebutuhan akan RTH, (5) konsekuensi dari lokasi yang strategis secara ekonomis dan produktif yang dapat meningkatkan nilai lahan.

Konversi lahan dibagi kedalam dua jenis, yaitu: konversi lahan dari ruang terbuka hijau (jalur hijau, taman kota, dan lahan pertanian) dan ruang terbuka air (permukaan danau, sungai maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai daerah tangkapan air) menjadi daerah permukiman dan daerah terbangun lainnya.


(11)

Gambar 1 Alih guna lahan

2.2.1. Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau (RTH) kota adalah

bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.

Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka air (RTA).

(Dwiyanto 2009).

Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga.

Dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dll. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi. Bentuk RTH yang

berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dsb (Dwiyanto 2009).

Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu, RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.

Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/nasional. (Anonymouse 2003).

Dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.

Gambar 2 Ruang Terbangun Tata ruang kota secara fisik dapat dipisahkan menjadi ruang terbangun dan ruang terbuka. Berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988 tentang penataan ruang terbuka hijau wilayah perkotaan, ruang terbuka hijau adalah wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area atau kawasan memanjang atau jalur dimana dalam penutupannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam ruang terbuka hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan secara alamiah


(12)

maupun budidaya tanaman, seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya. Terdapat tujuh bentuk RTH berdasarkan tujuan penggunaanya, yaitu :

1. Ruang terbuka hijau yang berlokasi dikarenakan adanya tujuan konservasi.

2. Ruang terbuka hijau bertujuan untuk keindahan kota.

3. Ruang terbuka hijau karena adanya tuntutan fungsi kegiatan tertentu, misalnya RTH rekreasi dan RTH pusat kegiatan olahraga.

4. Ruang terbuka hijau bertujuan untuk pengaturan lalu lintas kota. 5. Ruang terbuka hijau sebagai sarana

olahraga dari suatu perumahan. 6. Ruang terbuka hijau untuk

kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang.

7. Ruang terbuka hijau untuk halaman rumah.

Jadi ruang terbuka hijau (RTH) merupakan ruang yang tidak terbangun, dengan perbandingan unsur tanaman yang lebih luas, dan memiliki fungsi utama untuk perlindungan kawasan sekitarnya. Bagian lain dari RTH, akan memberikan hasil terhadap kebutuhan kenyamanan, kesejahteraan, peningkatan kualitas lingkungan, dan pelestarian alam (Zulkarnain 2006 dalam Ligar 2008).

Gambar 3 Jalur Hijau Selain itu, Ruang terbuka hijau memiliki peran antara lain :

 Sebagai penyaring udara kotor

 Sebagai alat pengukur iklim

 Sebagai tempat hidup satwa

 Sebagai penunjang keindahan

 Sebagai sarana edukasi dan sosial

 Untuk mempertinggi kualitas ruang kehidupan lingkungan.

2.2.2. Ruang Terbuka Air

Ruang terbuka air atau air permukaan merupakan daerah tangkapan air yang meliputi : sungai, danau, rawa atau areal-areal yang dikhususkan sebagai daerah tangkapan air. Air permukaan secara alami dapat tergantikan dengan presipitasi dan secara alami menghilang akibat aliran menuju lautan, penguapan, dan penyerapan menuju ke bawah permukaan. Meski satu-satunya sumber alami bagi perairan permukaan hanya presipitasi dalam area tangkapan air, total kuantitas air dalam sistem dalam suatu waktu bergantung pada banyak faktor. Faktor-faktor tersebut termasuk kapasitas danau, rawa, dan reservoir buatan, permeabilitas tanah di bawah reservoir, karakteristik aliran pada area tangkapan air, ketepatan waktu presipitasi dan rata-rata evaporasi setempat. Semua faktor tersebut juga mempengaruhi besarnya air yang menghilang dari aliran permukaan. Aktivitas manusia memiliki dampak yang besar dan terkadang menghancurkan faktor-faktor tersebut.

Gambar 4 Banjir Kanal Timur

2.3. Citra Satelit Landsat

Penginderaan jauh (inderaja) secara umum didefinisikan sebagai cara untuk memperoleh informasi dari obyek tanpa mengadakan kontak fisik dengan obyek tersebut, sedangkan secara khusus adalah usaha untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik baik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh obyek. Menurut fungsinya satelit inderaja dibedakan menjadi satelit sumber dan satelit lingkungan-cuaca. Satelit yang termasuk sumber alam diantaranya adalah SPOT dan LANDSAT, sedangkan satelit lingkungan dan cuaca adalah METEOR dan COSMOS (USSER), TIROS-N dan TIROS-NOAA-TIROS-N (USA) (Handayani 2007)


(13)

Satelit landsat merupakan satelit yang digunakan untuk memantau sumberdaya yang ada di bumi. Satelit ini merupakan hasil kerjasama antara National Aeronautics and Space Administration (NASA) dengan

Departemen of Interior United State pada pertengahan tahun 1960-an. Landsat sebelumnya bernama Earth Resources Technology Satelite (ERTS-1) yang diluncurkan ada tanggal 23 Juli 1972 dengan tujuan memberikan gambaran menyeluruh tentang permukaan bumi.

Satelit landsat pertama kali ditemukan pada bulan juli 1972. Satelit landsat -1, satelit landsat -2 dan landsat -3 termasuk kedalam satelit bumi generasi pertama. Satelit bumi generasi kedua, yaitu landsat -4 dan landsat -5, yang merupakan satelit semioperasional atau satelit untuk pengembangan dan penelitian. Pada bulan Oktober 1993 dan April 1999 diluncurkan satelit bumi generasi ketiga, yaitu landsat -6 dan landsat -7. Landsat -7 dilengkapi dengan sensor Enhanced Thematic Mapper plus

(ETM+) yang dapat mencitrakan keseluruhan bumi dalam petak 180 kilometer setiap 16 hari dengan tingkat ketelitian 30 meter (USGS 2003 dalam Ligar 2008).

Satelit landsat -7 diluncurkan dari Vanderburg Air Force Base pada tanggal 15 April 1999 dengan wahana Delta II. Satelit mengorbit pada ketinggian 705 km dan memetakan bumi dengan siklus 16 hari sekali. Komunikasi melalui S-band

digunakan untuk mengendalikan satelit dan X-band digunakan untuk data downlink. Meskipun orbit satelit Landsat 7 melewati tempat yang sama setiap 16 hari pada waktu yang sama, perubahan variasi matahari dapat menyebabkan perubahan variasi iluminasi sehingga mempengaruhi citra yang diperoleh. Perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan musiman posisi utara-selatan matahari relatif terhadap bumi (Handayani 2007).

III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian berlangsung dari bulan April 2010 sampai dengan bulan September 2010 di Laboratorium Meteorologi dan Kualitas Udara, Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam analisis dan pengolahan data diantaranya :

1. Perangkat lunak Er Mapper untuk pengolahan data citra satelit Landsat

2. Perangkat lunak Arc View GIS 3.3

with full extention

3. Perangkat lunak Ms. Word 2010 4. Perangkat lunak Ms. Excel 2010 5. Seperangkat computer dan printer 6.

Bahan-bahan yang digunakan antara lain :

1. Data citra Landsat ETM+ Jakarta,

path/row 122/064 (sumber : BTIC-BIOTROP dan LAPAN)

2. Data penggunaan dan penutupan lahan wilayah Jakarta

3. Peta dasar wilayah Jakarta

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Pengolahan awal data cita satelit

Langkah pertama yang digunakan adalah menentukan daerah studi penelitian, pemrosesan awal citra satelit dilakukan sebelum melakukan analisis, yaitu untuk mendapatkan informasi yang diinginkan dari data citra. Beberapa tahapan yang dilakukan pada pemrosesan citra satelit yaitu :

Koreksi geometrik

Koreksi ini bertujuan untuk memperbaiki titik kordinat yang sebenarnya, data yang digunakan adalah citra landsat ETM+ tahun 2000 dengan citra yang sudah terkoreksi yaitu citra ETM+ tahun 2006.

Pengambilan wilayah kajian

Pengambilan wilayah kajian bertujuan untuk efisiensi besarnya citra satelit yang akan diolah. Dengan metode sub-sampling image data citra Landsat ETM+

path/row 122/064 dicrop dengan data vektor wilayah kota Jakarta.

Cropping dilakukan setelah koreksi geometrik sehingga mempersempit wilayah yang akan dikaji.

Pemulihan citra (Image Restoration)

Pada saat pengambilan citra oleh satelit, citra yang diambil akan mengalami perubahan karena adanya distorsi radiometrik dan geometrik sehingga perlu dilakukan koreksi terhadap kesalahan-kesalahan dalam pemulihan citra.


(14)

Penajaman Citra (Image Enhachement)

Penajaman citra dilakukan agar suatu obyek pada citra akan terlihat lebih tajam atau kontras. Hal ini memudahkan interpretasi secara visual untuk suatu tujuan tertentu. Beberapa teknik penajaman citra yang akan dilakukan, antara lain : 1. Penajaman kontras

2. Pembuatan warna semu 3. Pelapisan (filtering)

Klasifikasi penutupan lahan

Pada penelitian ini, proses klasifikasi penutupan lahan menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing dengan menggunakan kanal 5, 4 dan 2. Teknik ini lebih banyak menggunakan algoritma yang mengkaji sejumlah besar piksel dan membaginya ke sejumlah kelas berdasarkan pengelompokkan nilai DN (Digital Number) pada citra. Metode ini sangat bermanfaat dan efisien dalam menyajikan ruang yang relatif homogen untuk mendapatkan lima tipe penutupan lahan, yaitu : RTH, lahan terbuka, sawah, rawa/tambak, pemukiman dan badan air.

3.3.2. Pengolahan suhu permukaan

Pada penelitian ini, proses pengolahan suhu permukaan menggunakan band 61 dan 62 yang kemudian di gabung menjadi band 6 dengan menggunakan software ER MAPPER. Setelah itu langkah selanjutnya adalah mengcrop daerah Jakarta dengan acuan vector Jakarta. Setelah itu melakukan perhitungan nilai spectral radiance dari nilai DN dalam landsat 7 dengan menggunakan persamaan sebagai berikut: Lα =

Lmax-Lmin

Qcalmax- Q cal min x (Qcal - Qcalmin )

+ Lmin……….………..…...……..(1) Dimana :

= Spectral radiance pada kanal ke i (Wm-2 sr-1 μm-1)

QCAL = Nilai digital number kanal ke i LMIN = Nilai minimum spectral radiance

kanal ke i

LMAX = Nilai maksimum spectral radiance kanal ke i QCALMIN= Minimum pixel value

QCALMAX= Maksimum pixel value (255)

Untuk menghitung nilai suhu permukaan pada data satelit Landsat sebelumnya harus diketahui dulu nilai suhu kecerahan dengan persamaan sebagai berikut(USGS2002):

� = 2

1

�+ 1

...…(2)

Dengan K1 = 666.09 Wm-2 sr-1 µm-1 dan K2

= 1282.71 K untuk landsat ETM sedangkan untuk landsat TM, K1 = 607,76 Wm-2 sr-1

µm-1 dan K2 = 1260.56 K. Sedangkan

persamaan adalah sebagai berikut :

� � � = �

+(��

�) � ……….(3)

Dimana :

Ts = Suhu permukaan yang terkoreksi (K)

λ = Panjang gelombang dari radiasi yang di pancarkan sebesar 11.5 µm (Markham dan Barker 1985 dalam Prawanto 2010)

α = hc/K (1.438 x 10-2 mK)

h = Konstanta Planck’s (6.26 x 10-3)

c = Kecepatan cahaya (2.998 x 108 m.scc-1)

K = Konstanta Stefan Boltzman (1.38 x 10-23 JK-1)

ε = Emisivitas Obyek

Dalam perhitungan ini menggunakan nilai emisivitas (ε) yang berbeda pada tiap-tiap lahannya tergantung dengan jenis penutupan lahannya dalam penelitiap ini terdapat 6 jenis penutupan lahan yaitu : tambak/rawa, badan air, lahan terbuka, RTH, sawah dan pemukiman/urban.

Tabel 1 emisivitas penutup lahan Penutup lahan emisivitas

Water 0.98

Sand 0.94

Green grass 0.97

Granite 0.89

(sumber : www.engineeringtoolbox.com) Nilai emisivitas untuk lahan non vegetasi yaitu sekitar 0.96 dan untuk lahan vegetasi sekitar 0.97. Sedangkan nilai emisivitas untuk air sekitar 0.98 (Artis dan Carnahan 1982 dalam Prawanto 2010).


(15)

Gambar 5 Diagram alir penelitian

DATA SATELIT LANDSAT ETM+

Pemulihan citra

Cropping wilayah kajian (daerah vektor Jakarta

Band 5,4,2

Spectral Radiance (Lα)

Tutupan Lahan

Persentasi ∆RT (ruang terbuka) Distribusi Ruang

Terbuka

∆Ts (perbandingan suhu permukaan) Suhu Permukaan Spectral Radiance

(Lα) Band 6 Penajaman citra


(16)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian

Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta sebagai wilayah yang strategis sebagai pintu masuk menuju wilayah pelayanannya. Di samping itu, posisinya pada pantai utara menghubungkan Kota Jakarta, dengan kota-kota besar lainnya yang berada di jalur utara menjadikan daya tarik wilayah sehingga terjadi urbanisasi menuju Kota Jakarta (BAPPEDA Kota Jakarta 2006).

Secara geografis Kota Jakarta terletak diantara pada 6°10.5' Lintang Selatan, 106°49.7' Bujur Timur dengan luas wilayah 66.100 hektar.

Tabel 2 Data pembangunan dan populasi Jakarta tahun 1980 dan 2000.

Keterangan 1980 2000

Luas Ruang Terbuka (Ha)

52 179.33 15 117.77 Luas Ruang

Terbangun (Ha)

13 920.67 50 982.23 Populasi 6 503 449 8 361 079 (sumber : BAPPEDA Jakarta)

Luas ruang terbuka (non terbangun) pada tahun 1980 yakni 52 179.33 hektar dan luas ruang terbangun 13 920.67 hektar, dengan jumlah populasi 6 503 449 jiwa. Pada tahun 2000 mengalami penurunan luas ruang terbuka (non terbangun) menjadi 15 117.77 hektar dan luas wilayah terbangun meningkat menjadi 50 982.23 hektar, dengan jumlah populasi meningkat secara signifikan menjadi 8 361 079 jiwa. Hal ini menunjukkan bahwa permintaan akan lahan cukup tinggi dalam kurun waktu 20 tahun. (BAPPEDA Kota Jakarta 2006).

Tingginya jumlah penduduk dan pertumbuhan di Jakarta mengakibatkan beberapa konsekuensi penting, di antaranya : masyarakat membutuhkan lahan untuk pembangunan rumah, aktivitas publik, sarana dan prasarana publik, pembangunan ini memacu perubahan penggunaan lahan, khususnya dari lahan yang tadinya berfungsi sebagai RTH dan RTA menjadi ruang tertutup bangunan (urban).

Pengaruh tata guna lahan dan tutupan lahan terhadap fenomena Urban Heat island

di Jakarta, memperlihatkan bahwa tata guna lahan dan tutupan lahan dapat mempengaruhi perubahan unsur-unsur

iklim, khususnya suhu permukaan sehingga dapat menyebabkan peningkatan suhu permukaan menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sekitarnya. Hal ini, dikenal dengan fenomena Urban Heat Island (UHI) (Tursilowati 2010). Penelitian ini menggunakan metode klasifikasi tidak terbimbing dan tutupan lahan terbagi kedalam 5 kelas, yaitu : Badan Air, Pemukiman, Industri, Vegetasi dan Awan. Berdasarkan penelitian ini diketahui luas Kota Jakarta 63 860 Ha pada tahun 1989 dan 2002.

Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

Land cover Area 1989 2002

Badan air 3039 3320

Vegetasi 26488 21272

Pemukiman 23845 27315

Industri 9961 11568

Awan 527 385

(sumber : Tursilowati 2010)

Berdasarkan penelitian Nana Suwargana dan Susanto (2005), tentang deteksi RTH dengan menggunakan tekhnik penginderaan jauh, memperlihatkan distribusi sebaran RTH dan urban dari tahun 1983-2002. Dengan pengurangan luas tertinggi adalah RTH mencapai 22 755.3 Ha (-159%) dan penambahan lahan tertinggi adalah urban mencapai 24 411 Ha (172.7%).

Tabel 4 Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1983 dan 2002.

Land cover Area 1983 2002

Urban 22181.9 46592.9

RTH 32185.9 9430.6

Badan air 627.1 173.1

Lahan terbuka 5115.8 7264.6 Rawa/tambak 1390.2 686.1

Sawah 3565.9 919.4

(sumber : Nana.S dan Susanto 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tahun 2000-2006 memperlihatkan peningkatan pembangunan di Jakarta sangat pesat. Sehingga kondisi RTH dan RTA tahun 2006 kurang dari 10 %. Jadi pertambahan lahan tertinggi pada rentang waktu 1983-2006 adalah pemukiman atau urban dengan perubahan sekitar 26 931.76 Ha. Sedangkan penurunan lahan tertinggi pada rentang waktu yang sama adalah RTH dengan penurunan sebesar 28 133.3 Ha.


(17)

4.2. Identifikasi Jenis Lahan

Klasifikasi citra Landsat tahun 2000 diperlihatkan Gambar 6, dan tahun 2006 diperlihatkan Gambar 7. Total luas area yang diperoleh dari pengolahan data citra Landsat 66 342 Ha. Pada tahun 2000 wilayah utara Kota Jakarta sebagian besar wilayahnya adalah pemukiman/urban yang berwarna merah, sedangkan ruang terbuka hijau yang diwakili warna hijau hanya sedikit. Pada tahun 2006 terjadi perubahan lahan yang cukup signifikan pada daerah ini,

di sekitar tepi pantai utara terjadi beberapa pergeseran lahan, dari RTH menjadi pemukiman dan sebagian lagi tergenang oleh air karena pergeseran garis pantai. Hal ini, dikarenakan pembangunan wilayah pemukiman di daerah ini cukup tinggi sehingga banyak daerah yang sebelumnya ruang terbuka hijau di alih fungsikan.

Gambar 6 Citra klasifikasi lahan tahun 2000

4.2.1. Urban (pemukiman)

Pemukiman atau urban yang merupakan pemadatan dan pemekaran wilayah semakin berkembang ke wilayah Jakarta Timur, Barat dan Selatan, distribusinya dapat dilihat pada Gambar 7, terutama yang berbatasan dengan Jakarta Timur (Bekasi), Jakarta Selatan (Bogor) dan Jakarta Barat (Tangerang). Pada lahan pemukiman mengalami pertambahan luas yang cukup tinggi dari 38 561.94 Ha (58.12%) menjadi 49 113.72 Ha (74.03%) dari total lahan Jakarta.

Hal ini dikarenakan peningkatan jumlah penduduk dari luar daerah karena krisis ekonomi dan pembangunan-pembangunan infrastruktur (pemukiman, perkantoran, industri dan pelebaran jalan) oleh pemerintah kota sehingga kebutuhan akan lahan meningkat pesat dari tahun ke tahunnya. Pembangunan Kota Jakarta yang sangat pesat tanpa pengaturan yang baik akan dampak lingkungan, dapat menyebabkan semakin buruknya kondisi lingkungan di Jakarta.


(18)

Gambar 7 Citra klasifikasi lahan tahun 2006

4.2.2. Lahan terbuka (open land) Lahan terbuka merupakan lahan kosong yang tidak dimanfaatkan oleh pemerintah, sebarannya sedikit terlihat di Jakarta Timur dan Selatan. Pada lahan terbuka mengalami peningkatan dari 4 275.27 Ha pada menjadi 7 678.35 Ha (Tabel 3). Peningkatan ini di karenakan pengalihan lahan dari RTH.

4.2.3. Sawah

Penggunaan lahan sawah secara umum dapat berfungsi sebagai RTH meskipun intensitasnya sangat tergantung pada komoditas pertanian yang ditanam. Tanaman tahunan memiliki fungsi RTH efektif sepanjang tahun, sedangkan fungsi RTH

tanaman semusim tidak selalu efektif sepanjang tahun. Pada wilayah Jakarta Utara dan Timur kondisinya semakin berkurang, namun pada wilayah Jakarta Barat terjadi penambahan wilayah sawah dikarenakan terjadi perubahan lahan dari RTH menjadi sawah. Luas sawah di Jakarta saat ini hanya sekitar 1.1 % dari total klasifikasi tutupan lahan di Jakarta. Luas sawah mengalami penurunan dari 871.38 Ha menjadi 759.96 Ha. Hal ini dikarenakan sawah-sawah di Jakarta telah dijadikan pengembangan infrastruktur di ibukota, misalnya : pelebaran jalan, pembangunan jembatan layang dan pusat industri.

Tabel 5 Perubahan Lahan Jakarta

Jenis Lahan Luas Lahan 2000 Luas Lahan 2006 Perub. Lahan (2006-2000)

(Ha) (%) (Ha) (%) (Ha) (%)

Rawa/Tambak 1150 1.7 887.8 1.3 -262.1 -0.4

Badan Air 2021.9 3.2 3849.7 5.8 1827.8 2.7

Lahan Terbuka 4275.3 6.4 7678.4 11.6 3403.1 5.2

RTH 18063.4 27.2 4052.6 6.1 -14010.8 -21.1

Urban 38561.9 58.1 49113.8 74 10551.9 15.9

Sawah 871.4 1.3 760 1.2 -111.4 -0.1


(19)

Gambar 8 Klasifikasi lahan di Jakarta

4.2.4. Ruang Terbuka Air

Ruang terbuka air atau air permukaan adalah merupakan daerah tangkapan air yang meliputi : sungai, danau, rawa atau areal-areal yang dikhususkan sebagai daerah tangkapan air. RTA dalam klasifikasi ini dikategorikan ke dalam klasifikasi tutupan lahan badan air yang merupakan sebagai penyangga air namun pada Gambar 7 kondisinya semakin kritis diakibatkan bahwa banyak daerah bantaran sungai yang dijadikan pemukiman. Kondisi ini mengakibatkan lingkungan sudah tercemar terutama dalam persediaan air bersih. Luas sungai dan danau terjadi penambahan luas dari 2 021.94 Ha menjadi 3 849.71 Ha (Tabel 3). Hal ini dikarenakan pembangunan banjir kanal timur tahun 2006 yang dilakukan oleh pemerintah untuk menanggulangi banjir.

Rawa merupakan tempat penampungan air dari bahaya banjir, serta tambak merupakan tempat budidaya ikan dan udang di wilayah pesisir pantai, pada gambar 6 dan 7 terlihat di utara kota Jakarta yang berwarna biru tua. Luas rawa mengalami penurunan sekitar 0.39% dari luas sekitar 1150 Ha menjadi 887.94 Ha (Tabel 3). Hal ini dikarenakan sebagian luas rawa di Jakarta Utara mengalami perubahan menjadi pemukiman. Distribusi RTA pada tahun 2006 sebagian besar tersebar di wilayah Jakarta Utara dan Timur.

4.2.5. Ruang Terbuka Hijau

RTH merupakan ruang terbuka hijau yang ditumbuhi oleh vegetasi yang dapat berguna sebagai daerah resapan air atau dapat juga sebagai paru-paru kota, keberadaan RTH dalam perkotaan sangat vital dalam lingkungan perkotaan yang memiliki tingkat polusi udara yang tinggi.

Dari Hasil analisis diketahui sebaran RTH di Jakarta pada Gambar 6, distribusinya masih tersebar luas di beberapa wilayah, terutama di Jakarta Timur, Barat dan Selatan. Apabila dibandingkan dengan Gambar 7 yang sudah berkurang, warna hijau bekas RTH telah berubah menjadi warna merah, yang artinya bahwa RTH telah berkurang dan mengalami alih fungsi menjadi wilayah pemukiman atau urban, terutama di daerah Jakarta Pusat dan Utara. Lahan RTH mengalami penurunan luas yang cukup tinggi dari 18 063.36 Ha pada tahun 2000, berkurang menjadi 4 052.59 Ha atau mengalami penurunan luas 14 010 Ha.

Ketersedian RTH yang cenderung turun dari tahun ke tahun yang seharusnya mendapat perhatian yang serius bagi pemerintah kota, distribusi RTH saat ini hanya tersebar sekitar 10 % di sekitar Jakarta Timur diikuti oleh Jakarta Selatan dan Jakarta Utara.

Pada tahun 2006 ketersediaan RTH di Kota Jakarta hanya kurang dari 10 %, luas

kondisi RTH tersebut cukup

mengkhawatirkan dari tingkat kebutuhan

Rawa badan air Lahan

terbuka RTH Urban Sawah Awan

2000 1150 2021.94 4275.27 18063.36 38561.94 871.38 1398.42 2006 887.94 3849.71 7678.35 4052.59 49113.76 759.96 0

0 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000

Lu

as

A

r

e

a

(H


(20)

RTH minimal berdasarkan ketentuan Menteri Dalam Negeri No. 14 tahun 1988 tentang penataan ruang terbuka hijau perkotaan, sebesar 40 % dari luas wilayah kota. Kondisi keberadaan RTH di Jakarta tahun 2006 berada di bawah ketentuan.

Berkurangnya klasifikasi lahan dari RTHdanRTA disebabkan besarnya peningkatan jumlah penduduk dari daerah-daerah lain ke Jakarta, baik untuk keperluan perdagangan, perindustrian, pemukiman, pelebaran jalan dan pusat bisnis menyebabkan kebutuhan akan lahan yang tinggi dari tahun ke tahun. Karena luas wilayah tidak bertambah dan terbatasnya wilayah untuk beraktivitas, maka terjadilah alih fungsi lahan untuk dijadikan ruang aktifitas untuk publik.

Gambar 9 Persentasi luas area klasifikasi tahun 2000

Gambar 10 Persentasi luas area klasifikasi lahan tahun 2006

4.3. Identifikasi sebaran suhu permukaan

Suhu Permukaan adalah suhu terluar dari objek, untuk lahan terbuka suhu permukaannya berada di lapisan luar permukaan tanah, namun untuk vegetasi suhu permukaannya berada di kanopi vegetasi, dan untuk badan air suhu

permukaannya berada di permukaan air. Ketika permukaan menyerap radiasi, suhu permukaan yang dihasilkan akan bervariasi bergantung pada karakteristik fisik objek. Umumnya emisivitas rendah, kapasitas panas kecil dan konduktivitas termal yang lebih tinggi akan meningkatkan suhu permukaan. Parameter ini juga mengatur jumlah aliran panas dari permukaan ke udara (Kalthoff et al2006 dalam Tursilowati 2010).

Hasil citra sebaran suhu permukaan yang diperoleh dari citra landsat tahun 2000 diperlihatkan pada Gambar 11 sedangkan sebaran suhu permukaan tahun 2006 pada Gambar 12.

Sebaran suhu permukaan ini terbagi menjadi 6 selang, yaitu selang (12-15)°C yang diwakili oleh warna kuning muda, selang (16-19) °C diwakili oleh warna kuning, selang (20-23) °C diwakili oleh warna oranye, selang (24-27) °C diwakili oleh warna merah muda, selang (28-31)°C diwakili oleh warna merah, selang (32-35) °C yang diwakili warna merah agak tua dan yang terakhir selang (36-39) °C yang diwakili warna merah tua.

Seiring dengan perubahan tutupan lahan yang cukup tinggi, mengakibatkan peningkatan suhu permukaan yang terjadi di Jakarta cukup signifikan. Perubahan suhu permukaan ini secara visual terlihat dari perbedaan antara gambar 11 dan gambar 12. Pada gambar 11 penyebaran suhu permukaan masih merata sekitar (20-32) °C. suhu permukaan dengan interval (32-35) °C hanya terlihat di beberapa daerah di Jakarta Utara dan sedikit di daerah Jakarta Timur.

Pada gambar 12 terjadi peningkatan suhu permukaan menjadi sekitar (24-38) °C, dan tampak jelas perbedaan penyebaran suhu dengan interval (32-35)°C distribusinya hampir merata di seluruh kota Jakarta dan suhu permukaan dengan interval (36-39) °C hanya tersebar di beberapa pusat kota.

Hal ini dikarenakan pengembangan perkotaan semakin cepat dari tahun ke tahun mengubah wilayah yang dulunya lahan bervegetasi dan berair menjadi aktivitas publik. Adanya lahan bervegetasi dapat mengikat kandungan CO2 yang dihasilkan dari sarana transportasi yang dapat menyebabkan peningkatan suhu lokal. Pada suhu permukaan dengan interval antara (28-31) °C pada gambar 11 distribusinya tersebar di wilayah Jakarta Utara, Pusat, selatan dan timur dengan tutupan lahan berupa pemukiman atau urban, namun pada

2% 3%7%

27% 58% 1% 2% Rawa/Tambak Badan Air Lahan Terbuka RTH Urban Sawah Awan 1% 6% 12% 6% 74% 1% 0% Rawa/Tambak Badan Air Lahan Terbuka RTH Urban Sawah Awan


(21)

gambar 12 terjadi pergeseran suhu permukaan dengan interval (28-31) °C menjadi (32-35)°C pada tutupan lahan yang sama. Sedangkan suhu permukaan dengan interval rendah (20-23) °C pada gambar 11 masih tersebar di beberapa wilayah Jakarta Utara, Barat, Timur dan Selatan yang memiliki tutupan lahan berupa RTH, sungai,

sawah dan rawa. Tetapi pada gambar 12terjadi kenaikan suhu permukaan pada tutupan lahan yang sama terjadi kenaikan suhu permukaan antara (24-27) °C, hal ini, dikarenakan berkurangnya lahan bervegetasi maupun lahan berair yang dapat mempengaruhi suhu permukaan di sekitarnya.

Gambar 11 Peta sebaran suhu permukaan tahun 2000


(22)

Tabel 6 Suhu Permukaan Penutupan Lahan Tahun 2000 dan 2006

Dari hasil pengolahan suhu permukaaan tahun 2000 dan 2006, masing-masing tutupan lahannya terjadi peningkatan suhu permukaan dari tahun 2000 sampai 2006. Peningkatan suhu yang paling tinggi adalah urban sekitar 31 °C pada tahun 2000 dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 36 °C, terutama yang berada di pusat kota. Hal ini, yang dikenal dengan fenomena pulau panas perkotaan, dimana suhu di tengah kota lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah di sekitarnya. Peningkatan suhu permukaan masing-masing tutupan lahan, dikarenakan

perubahan penutup dan penggunaan lahan. Perubahan penutup dan penggunaan lahan dapat merubah reflektansi radiasi surya permukaan bumi dan menyebabkan pendinginan atau pemanasan lokal.

4.4 Hubungan konversi lahan dengan peningkatan suhu permukaan.

Perubahan tata guna dan penutupan lahan di Jakarta karena pengaruh konversi lahan dengan peningkatan suhu permukaan memiliki suatu hubungan. Perubahan penutupan lahan telah berkembang sangat cepat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk akibat urbanisasi yang tinggi. Tingkat urbanisasi yang tinggi mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk yang tinggi pula namun sedikit terjadi pengurangan penduduk dari angka kematian atau perpindahan penduduk dari Kota Jakarta ke wilayah satelit lainnya, misalnya : Bekasi dan Tangerang. karena input dan

output tidak seimbang, maka terjadi penumpukan penduduk. Jumlah penduduk yang meningkat maka permintaan akan ruang untuk aktifitas cukup tinggi. karena terbatasnya lahan yang ada menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan yang tinggi, yaitu dari lahan yang bervegetasi dan berair menjadi pemukiman padat penduduk dan industri-industri.

Pengalihan fungsi lahan ini mengakibatkan peningkatan suhu

permukaan di Jakarta. Semakin banyak lahan bervegetasi dan berair yang beralih menjadi pemukiman dan industri maka semakin besar kemungkinan kenaikan suhu permukaan di sekitarnya. Perubahan lahan pemukiman di Jakarta mencapai 15% dari tahun 2000-2006. Sebaliknya penutup lahan yang bisa meredam suhu seperti lahan bervegetasi (RTH), sawah dan tubuh air justru berkurang. Dari pengamatan, lahan terbuka hijau selalu mengalami penurunan dan kondisinya hanya 6% pada tahun 2006 dari total luas area Jakarta.

Seiring dengan perubahan tata guna dan tutupan lahan ini maka ada perubahan suhu permukaan yang terjadi, pada tahun 2000 suhu permukaan sekitar (20-32) °C sedangkan pada tahun 2006 terjadi peningkatan suhu permukaan menjadi (24-38) °C. Dari data ini dapat di analisis bahwa laju perkembangan kota Jakarta sangat cepat.

Hubungan perubahan penutupan lahan terhadap suhu permukaan dapat diformulasikan sebagai berikut :

∆Q=mC∆T…..……..……….(4)

Dimana ∆Q adalah jumlah energi yang diterima atau dilepaskan dari suatu material (°C), m adalah massa dari material (kg), C

adalah kapasitas panas (J/kg), dan ∆T adalah selisih suhu (°C). kapasitas panas dapat di formulasikan sebagai berikut:

C=ρ.c……….….…(5)

c adalah kapasitas panas jenis (j/kg), dan ρ adalah massa jenis (kg.m3).

Dari persamaan 4 dapat dikatakan bahwa jika setiap permukaan menerima energi radiasi matahari yang sama tetapi dengan kapasitas panas yang berbeda, maka suhu yang di hasilkan juga berbeda. Jika suatu benda berkapasitas panas besar maka suhu yang dihasilkan rendah, sebaliknya jika suatu benda berkapasitas panas kecil maka suhu yang dihasilkan tinggi.

Penutupan lahan 2000 2006

(°C) (°C)

Rawa / Tambak 21 24

Badan Air 22 25

Lahan Terbuka 29 31

Urban 31 36

RTH 25 28


(23)

Material yang berkapasitas panas besar maka akan menurunkan suhu, seperti lahan bervegetasi dan lahan berair. Adanya lahan bervegetasi dan berair dapat membuat daerah di sekitarnya menjadi sejuk dan nyaman. Sebaliknya material yang berkapasitas panas kecil maka akan meningkatkan suhu permukaan di sekitarnya, seperti pemukiman dan industri.

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Pada wilayah pengamatan di Jakarta terlihat adanya perubahan akan lahan dari tahun 2000-2006 cukup tinggi. Perubahan ini cenderung meningkatkan suhu permukaan di sekitarnya. Tutupan lahan yang mengakibatkan kenaikan suhu permukaan adalah lahan pemukiman, lahan terbuka dan penurunan luas ruang terbuka hijau dan air. Peningkatan luas area tertinggi pada tutupan lahan pemukiman atau urban sekitar 15 % dari tahun 2000-2006, sebaliknya tutupan lahan yang dapat mempengaruhi kondisi sekitarnya, seperti lahan terbuka hijau dan lahan berair terjadi penurunan luas area. Penurunan luas area tertinggi terjadi pada tutupan lahan terbuka hijau (RTH) sekitar 21 % dari tahun 2000-2006.

Luas RTH mengalami penurunan luas yang cukup tinggi dari 18 063.36 Ha pada tahun 2000, berkurang menjadi 4 052.59 Ha atau mengalami penurunan luas 14 010 Ha. Sedangkan luas RTA yang terbagi kedalam dua klasifikasi sungai, danau dan rawa. Luas sungai dan danau terjadi penambahan luas dari 2 021.94 Ha menjadi 3 849.71 Ha, dan rawa mengalami penurunan sekitar luas sekitar 1150 Ha menjadi 887.94 Ha.

Distribusi RTH pada tahun 2006 hanya tersebar di Jakarta Timur dan Selatan dan sedikit di Jakarta Barat. Sedangkan distribusi RTA sebagian besar tersebar di Jakarta Utara, Timur dan Selatan.

Seiring dengan perubahan tutupan lahan yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan suhu permukaan yang terjadi di Jakarta cukup signifikan. Perubahan suhu permukaan ini secara visual dapat dilihat dari perbedaan antara tahun 2000 dan 2006. Pada tahun 2000 penyebaran suhu permukaan masih merata sekitar (20-32) °C. suhu permukaan dengan interval (32-35) °C hanya terlihat di beberapa daerah di Jakarta Utara dan sedikit di daerah Jakarta Timur. Tetapi pada tahun 2006 terjadi peningkatan

suhu permukaan sekitar (24-38) °C, dan tampak terlihat perbedaan jelas penyebaran suhu dengan interval (32-35)°C distribusinya hampir merata di seluruh Kota Jakarta dan suhu permukaan dengan interval (36-39) °C hanya tersebar di beberapa pusat kota.

5.2 Saran

Untuk meningkatkan hasil penelitian ini,maka masih diperlukan :

 Metode tambahan dalam melakukan klasifikasi lahan dan perhitungan suhu permukaan, yaitu dengan metode klasifikasi terbimbing agar data yang diperoleh lebih valid.

 Menggunakan data citra Landsat yang tidak tertutupi oleh awan, agar hasil yang diperoleh menjadi lebih teliti dan akurat.

DAFTAR PUSTAKA

BAPPEDA Kota Jakarta. 2006. Laporan Antara Penyusuan Rencana Tata Ruang Terbuka Hijau (RTRH) Kota Jakarta.

Dwiyanto A.2009. Kuantitas dan Kualitas Ruang Terbuka Hijau di Permukiman Kota. from eprints.-undip.ac.id/1470/ (Diakses 9 September 2010).

Faizal A. 1998. Hubungan Perubahan Penggunaan Lahan dengan Pertumbuhan Penduduk dan jarak terhadap Pusat Kegiatan Utama (Kasus Kabupaten Sleman 1990-1996). Tesis. Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Hadi S. 2006. Penataan Ruang Untuk Pemantapan Kawasan Hutan. Departemen Kehutanan. Bogor. HandayaniN. 2007. Identifikasi Perubahan

Kapasitas Panas Kawasan Perkotaan Dengan Menggunakan Citra Landsat TM/ETM+ (studi kasus : Kodya Bogor). Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor.

Kalfuadi Y. 2009. Analisis Temperature Heat Index (THI) Dalam


(24)

Hubungannya Dengan Ruang Terbuka Hijau (studi kasus : Kabupaten Bungo – Propinsi Jambi). Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB, Bogor.

Kiefer TM. dan Lillesand RW. 1990. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Gadjah Mada University Press. Bulaksumur. Yogyakarta.

Koziowski JK. 1997. Perencanaan Kota (Penanganan dan Pengendalian Degradasi Lingkungan) dengan Teori Ambang Batas (Terjemahan)

LP3S Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia. 234 hal.

LAPAN (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional). 1990. Teknik Penginderaan Jauh Dengan Data Landsat-TM. LAPAN. Jakarta.

Ligar BW. 2008. Penyusunan Metode Kuantifikasi Pengaruh Luas Dan Jarak RTH Terhadap Kondisi Suhu Udara Dengan Menggunakan Data Satelit. Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor.

Peraturan Menteri. Keputusan Menteri dan Instruksi Menteri Pemerintah Republik Indonesia. Instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988 tentang penataan ruang terbuka hijau wilayah perkotaan. Purnomohadi. 2006. Ruang Terbuka Hijau

Sebagai Unsur Utama Tata Ruang Kota. Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

Prawanto A. 2010. Penyusunan Metode Untuk Menduga Nilai Radiasi Absorbsi Dengan Menggunakan Citra Landsat ETM/TM (studi kasus : hutan gunung walat Sukabumi). Skripsi. Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor.

Radnawati D. 2005. Evaluasi Ruang Terbuka Hijau Kota Depok Sebagai Kawasan Konservasi Air Menggunakan Data Satelit Multi

Temporal. Tesis. Pasca Sarjana IPB. Bogor.

Ramadhan R. 2005. Perubahan Pemanfaatan ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus Kota Palangkaraya). Tesis. Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah. Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Susanti I. 2006. Aspek Iklim dan Perencanaan Kota.Jurnal PPI Vol.8/XVIII.

Suwargana, N dan Susanto. 2005. Deteksi Ruang Terbuka Hijau Dengan

Menggunakan Teknik

Penginderaan jauh di Jakarta. LAPAN. Bandung.

Tursilowati L. 2005 Pulau panas perkotaan akibat perubahan tata guna dan penutup lahan di Bandung dan

Bogor. Jurnal sains

dirgantaraLAPAN. Vol 3: 43-63. Tursilowati L. 2008. Climate urban

consideration in the sustainable urban development.proceeding of international symposium on climate change and human settlements. pp. 67-75.

Tursilowati L. 2010. Influence of land use/land cover changes on urban heat island phenomenon in Jakarta. Indonesia.International jurnal of remote sensing.

Waryono T. 1991. Peran dan Potensi Hutan Kota sebagai pengendalian Lingkungan Fisik Kritis Perkotaan. UI. Depok. Bogor.


(25)

Lampiran 1 Metadata citra landsat tahun 2000

GROUP = L1_METADATA_FILE GROUP = METADATA_FILE_INFO REQUEST_ID = "9990401300001_09459" PRODUCT_CREATION_TIME = 2004-02-06T23:12:02Z

STATION_ID = "EDC" LANDSAT7_XBAND = "2" GROUND_STATION = "SGS" LPS_PROCESSOR_NUMBER = 4 DATEHOUR_CONTACT_PERIOD = "0025810" SUBINTERVAL_NUMBER = "02" END_GROUP = METADATA_FILE_INFO

GROUP = PRODUCT_METADATA PRODUCT_TYPE = "L1G" PROCESSING_SOFTWARE = "LPGS_6.2" EPHEMERIS_TYPE = "DEFINITIVE" SPACECRAFT_ID = "Landsat7"

SENSOR_ID = "ETM+" ACQUISITION_DATE = 2000-09-14

WRS_PATH = 122 STARTING_ROW = 064 ENDING_ROW = 064 BAND_COMBINATION = "123456678" PRODUCT_UL_CORNER_LAT = -4.8109198 PRODUCT_UL_CORNER_LON = 106.3523325 PRODUCT_UR_CORNER_LAT = -5.0979301 PRODUCT_UR_CORNER_LON = 108.3206897 PRODUCT_LL_CORNER_LAT = -6.4675843 PRODUCT_LL_CORNER_LON = 106.1094724 PRODUCT_LR_CORNER_LAT = -6.7532616 PRODUCT_LR_CORNER_LON = 108.0840870 PRODUCT_UL_CORNER_MAPX = 649967.944 PRODUCT_UL_CORNER_MAPY = 9468087.826 PRODUCT_UR_CORNER_MAPX = 868262.008 PRODUCT_UR_CORNER_MAPY = 9435561.570 PRODUCT_LL_CORNER_MAPX = 622683.522 PRODUCT_LL_CORNER_MAPY = 9284973.384 PRODUCT_LR_CORNER_MAPX = 840977.586 PRODUCT_LR_CORNER_MAPY = 9252447.128 PRODUCT_SAMPLES_PAN = 15489 PRODUCT_LINES_PAN = 12993 PRODUCT_SAMPLES_REF = 7745 PRODUCT_LINES_REF = 6497 PRODUCT_SAMPLES_THM = 3873 PRODUCT_LINES_THM = 3249 BAND1_FILE_NAME = "L71122064_06420000914_B10. FST" BAND2_FILE_NAME = "L71122064_06420000914_B20. FST" BAND3_FILE_NAME = "L71122064_06420000914_B30. FST" BAND4_FILE_NAME = "L71122064_06420000914_B40. FST" BAND5_FILE_NAME = "L71122064_06420000914_B50. FST" BAND61_FILE_NAME = "L71122064_06420000914_B61. FST" BAND62_FILE_NAME = "L72122064_06420000914_B62. FST" BAND7_FILE_NAME = "L72122064_06420000914_B70. FST"


(26)

BAND8_FILE_NAME = "L72122064_06420000914_B80. FST" METADATA_L1_FILE_NAME = "L71122064_06420000914_MTL. FST" CPF_FILE_NAME = "L7CPF20000719_20000930_11" END_GROUP = PRODUCT_METADATA

GROUP = MIN_MAX_RADIANCE

LMAX_BAND1 = 191.600 LMIN_BAND1 = -6.200 LMAX_BAND2 = 196.500 LMIN_BAND2 = -6.400 LMAX_BAND3 = 152.900 LMIN_BAND3 = -5.000 LMAX_BAND4 = 241.100 LMIN_BAND4 = -5.100 LMAX_BAND5 = 31.060 LMIN_BAND5 = -1.000 LMAX_BAND61 = 17.040 LMIN_BAND61 = 0.000 LMAX_BAND62 = 12.650 LMIN_BAND62 = 3.200 LMAX_BAND7 = 10.800 LMIN_BAND7 = -0.350 LMAX_BAND8 = 243.100 LMIN_BAND8 = -4.700 END_GROUP =

MIN_MAX_RADIANCE GROUP =

MIN_MAX_PIXEL_VALUE

QCALMAX_BAND1 = 255.0 QCALMIN_BAND1 = 1.0 QCALMAX_BAND2 = 255.0 QCALMIN_BAND2 = 1.0 QCALMAX_BAND3 = 255.0 QCALMIN_BAND3 = 1.0 QCALMAX_BAND4 = 255.0 QCALMIN_BAND4 = 1.0 QCALMAX_BAND5 = 255.0 QCALMIN_BAND5 = 1.0 QCALMAX_BAND61 = 255.0 QCALMIN_BAND61 = 1.0 QCALMAX_BAND62 = 255.0 QCALMIN_BAND62 = 1.0 QCALMAX_BAND7 = 255.0 QCALMIN_BAND7 = 1.0 QCALMAX_BAND8 = 255.0 QCALMIN_BAND8 = 1.0 END_GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE GROUP = PRODUCT_PARAMETERS CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 1 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 2 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 3 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 4 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 5 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 61 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 62 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 7 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 8 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_BIAS = "IC"

BAND1_GAIN = "H" BAND2_GAIN = "H" BAND3_GAIN = "H" BAND4_GAIN = "L" BAND5_GAIN = "H" BAND6_GAIN1 = "L" BAND6_GAIN2 = "H" BAND7_GAIN = "H" BAND8_GAIN = "L"

BAND1_GAIN_CHANGE = "0" BAND2_GAIN_CHANGE = "0" BAND3_GAIN_CHANGE = "0" BAND4_GAIN_CHANGE = "0" BAND5_GAIN_CHANGE = "0" BAND6_GAIN_CHANGE1 = "0"

BAND6_GAIN_CHANGE2 = "0"

BAND7_GAIN_CHANGE = "0" BAND8_GAIN_CHANGE = "0" BAND1_SL_GAIN_CHANGE = 0


(27)

BAND2_SL_GAIN_CHANGE = 0 BAND3_SL_GAIN_CHANGE = 0 BAND4_SL_GAIN_CHANGE = 0 BAND5_SL_GAIN_CHANGE = 0 BAND6_SL_GAIN_CHANGE1 = 0 BAND6_SL_GAIN_CHANGE2 = 0 BAND7_SL_GAIN_CHANGE = 0 BAND8_SL_GAIN_CHANGE = 0 SUN_AZIMUTH = 73.2334749 SUN_ELEVATION = 59.6375833 OUTPUT_FORMAT = "FASTL7A" END_GROUP = PRODUCT_PARAMETERS GROUP = CORRECTIONS_APPLIED

STRIPING_BAND1 = "NONE" STRIPING_BAND2 = "NONE" STRIPING_BAND3 = "NONE" STRIPING_BAND4 = "NONE" STRIPING_BAND5 = "NONE" STRIPING_BAND61 =

"NONE"

STRIPING_BAND62 = "NONE"

STRIPING_BAND7 = "NONE" STRIPING_BAND8 = "NONE" BANDING = "N"

COHERENT_NOISE = "N" MEMORY_EFFECT = "N" SCAN_CORRELATED_SHIFT = "N"

INOPERABLE_DETECTORS = "N"

DROPPED_LINES = "N" END_GROUP = CORRECTIONS_APPLIED GROUP = PROJECTION_PARAMETERS REFERENCE_DATUM = "WGS84" REFERENCE_ELLIPSOID = "WGS84" GRID_CELL_SIZE_PAN = 14.250 GRID_CELL_SIZE_THM = 57.000 GRID_CELL_SIZE_REF = 28.500

ORIENTATION = "NOM" RESAMPLING_OPTION = "MTF"

MAP_PROJECTION = "UTM" END_GROUP =

PROJECTION_PARAMETERS GROUP = UTM_PARAMETERS ZONE_NUMBER = -48 END_GROUP =

UTM_PARAMETERS END_GROUP =

L1_METADATA_FILE END

Lampiran2 Metadatacitralandsattahun 2006

GROUP = L1_METADATA_FILE GROUP = METADATA_FILE_INFO REQUEST_ID = "0800612260005_00003" PRODUCT_CREATION_TIME = 2006-12-27T19:55:22Z

STATION_ID = "EDC" LANDSAT7_XBAND = "2" GROUND_STATION = "EDC" LPS_PROCESSOR_NUMBER = 1 DATEHOUR_CONTACT_PERIOD = "0627405" SUBINTERVAL_NUMBER = "02" END_GROUP = METADATA_FILE_INFO

GROUP = PRODUCT_METADATA PRODUCT_TYPE = "L1G" PROCESSING_SOFTWARE = "LPGS_7.2" EPHEMERIS_TYPE = "DEFINITIVE" SPACECRAFT_ID = "Landsat7"

SENSOR_ID = "ETM+" ACQUISITION_DATE = 2006-10-01

WRS_PATH = 122 STARTING_ROW = 64


(28)

ENDING_ROW = 64 BAND_COMBINATION = "123456678" PRODUCT_UL_CORNER_LAT = -4.8284109 PRODUCT_UL_CORNER_LON = 106.1236385 PRODUCT_UR_CORNER_LAT = -4.8212000 PRODUCT_UR_CORNER_LON = 108.3241497 PRODUCT_LL_CORNER_LAT = -6.7549157 PRODUCT_LL_CORNER_LON = 106.1274525 PRODUCT_LR_CORNER_LAT = -6.7448057 PRODUCT_LR_CORNER_LON = 108.3354105 PRODUCT_UL_CORNER_MAPX = 624600.000 PRODUCT_UL_CORNER_MAPY = 9466200.000 PRODUCT_UR_CORNER_MAPX = 868800.000 PRODUCT_UR_CORNER_MAPY = 9466200.000 PRODUCT_LL_CORNER_MAPX = 624600.000 PRODUCT_LL_CORNER_MAPY = 9253200.000 PRODUCT_LR_CORNER_MAPX = 868800.000 PRODUCT_LR_CORNER_MAPY = 9253200.000 PRODUCT_SAMPLES_PAN = 16281 PRODUCT_LINES_PAN = 14201 PRODUCT_SAMPLES_REF = 8141 PRODUCT_LINES_REF = 7101 PRODUCT_SAMPLES_THM = 4071 PRODUCT_LINES_THM = 3551 BAND1_FILE_NAME = "L71122064_06420061001_B10. TIF" BAND2_FILE_NAME = "L71122064_06420061001_B20. TIF" BAND3_FILE_NAME = "L71122064_06420061001_B30. TIF" BAND4_FILE_NAME = "L71122064_06420061001_B40. TIF" BAND5_FILE_NAME = "L71122064_06420061001_B50. TIF" BAND61_FILE_NAME = "L71122064_06420061001_B61. TIF" BAND62_FILE_NAME = "L72122064_06420061001_B62. TIF" BAND7_FILE_NAME = "L72122064_06420061001_B70. TIF" BAND8_FILE_NAME = "L72122064_06420061001_B80. TIF" METADATA_L1_FILE_NAME = "L71122064_06420061001_MTL. TIF" CPF_FILE_NAME = "L7CPF20061001_20061231_01" END_GROUP = PRODUCT_METADATA

GROUP = MIN_MAX_RADIANCE

LMAX_BAND1 = 191.600 LMIN_BAND1 = -6.200 LMAX_BAND2 = 196.500 LMIN_BAND2 = -6.400 LMAX_BAND3 = 152.900 LMIN_BAND3 = -5.000 LMAX_BAND4 = 241.100 LMIN_BAND4 = -5.100 LMAX_BAND5 = 31.060 LMIN_BAND5 = -1.000 LMAX_BAND61 = 17.040 LMIN_BAND61 = 0.000 LMAX_BAND62 = 12.650 LMIN_BAND62 = 3.200 LMAX_BAND7 = 10.800 LMIN_BAND7 = -0.350 LMAX_BAND8 = 243.100 LMIN_BAND8 = -4.700 END_GROUP =

MIN_MAX_RADIANCE GROUP =

MIN_MAX_PIXEL_VALUE

QCALMAX_BAND1 = 255.0 QCALMIN_BAND1 = 1.0


(29)

QCALMAX_BAND2 = 255.0 QCALMIN_BAND2 = 1.0 QCALMAX_BAND3 = 255.0 QCALMIN_BAND3 = 1.0 QCALMAX_BAND4 = 255.0 QCALMIN_BAND4 = 1.0 QCALMAX_BAND5 = 255.0 QCALMIN_BAND5 = 1.0 QCALMAX_BAND61 = 255.0 QCALMIN_BAND61 = 1.0 QCALMAX_BAND62 = 255.0 QCALMIN_BAND62 = 1.0 QCALMAX_BAND7 = 255.0 QCALMIN_BAND7 = 1.0 QCALMAX_BAND8 = 255.0 QCALMIN_BAND8 = 1.0 END_GROUP = MIN_MAX_PIXEL_VALUE GROUP = PRODUCT_PARAMETERS CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 1 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 2 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 3 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 4 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 5 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 61 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 62 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 7 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_GAIN_BAND 8 = "CPF"

CORRECTION_METHOD_BIAS = "IC"

BAND1_GAIN = "H" BAND2_GAIN = "H" BAND3_GAIN = "H" BAND4_GAIN = "L"

BAND5_GAIN = "H" BAND6_GAIN1 = "L" BAND6_GAIN2 = "H" BAND7_GAIN = "H" BAND8_GAIN = "L"

BAND1_GAIN_CHANGE = "0" BAND2_GAIN_CHANGE = "0" BAND3_GAIN_CHANGE = "0" BAND4_GAIN_CHANGE = "0" BAND5_GAIN_CHANGE = "0" BAND6_GAIN_CHANGE1 = "0"

BAND6_GAIN_CHANGE2 = "0"

BAND7_GAIN_CHANGE = "0" BAND8_GAIN_CHANGE = "0" BAND1_SL_GAIN_CHANGE = 0 BAND2_SL_GAIN_CHANGE = 0 BAND3_SL_GAIN_CHANGE = 0 BAND4_SL_GAIN_CHANGE = 0 BAND5_SL_GAIN_CHANGE = 0 BAND6_SL_GAIN_CHANGE1 = 0 BAND6_SL_GAIN_CHANGE2 = 0 BAND7_SL_GAIN_CHANGE = 0 BAND8_SL_GAIN_CHANGE = 0 SUN_AZIMUTH = 85.7614355 SUN_ELEVATION = 61.9855127 OUTPUT_FORMAT = "GEOTIFF" END_GROUP = PRODUCT_PARAMETERS GROUP = CORRECTIONS_APPLIED

STRIPING_BAND1 = "NONE" STRIPING_BAND2 = "NONE" STRIPING_BAND3 = "NONE" STRIPING_BAND4 = "NONE" STRIPING_BAND5 = "NONE" STRIPING_BAND61 =

"NONE"

STRIPING_BAND62 = "NONE"


(30)

STRIPING_BAND7 = "NONE" STRIPING_BAND8 = "NONE" BANDING = "N"

COHERENT_NOISE = "N" MEMORY_EFFECT = "N" SCAN_CORRELATED_SHIFT = "N"

INOPERABLE_DETECTORS = "N"

DROPPED_LINES = "N" END_GROUP =

CORRECTIONS_APPLIED GROUP =

PROJECTION_PARAMETERS REFERENCE_DATUM = "WGS84"

REFERENCE_ELLIPSOID = "WGS84"

GRID_CELL_SIZE_PAN = 15.000

GRID_CELL_SIZE_THM = 60.000

GRID_CELL_SIZE_REF = 30.000

ORIENTATION = "NUP" RESAMPLING_OPTION = "NN"

SCAN_GAP_INTERPOLATION = 0

MAP_PROJECTION = "UTM" END_GROUP =

PROJECTION_PARAMETERS GROUP = UTM_PARAMETERS ZONE_NUMBER = -48 END_GROUP =

UTM_PARAMETERS END_GROUP =

L1_METADATA_FILE END


(31)

Lampiran3 contohperhitunganspectral radiancetahun 2000

Specrad 1:

�= � − �

� max−� � � � (�1)

− � min + Lmin

Diketahui :

Lmax = 17.04 (metadata) Lmin = 0 (metadata) Qcal max = 255 (metadata) Qcal min = 1 (metadata) Qcal = i1 (metadata) Specrad 2:

�= � − �

� max−� � � � (�1)

− � min + Lmin

Diketahui :

Lmax = 12.65 (metadata) Lmin = 3.2 (metadata) Qcal max = 255 (metadata) Qcal min = 1 (metadata) Qcal = i1 (metadata)


(32)

(33)

(34)

(35)

(36)

RINGKASAN

GEMA NUSANTARA. Analisis Peningkatan Suhu Permukaan Akibat Konversi lahan Dengan Menggunakan Citra Landsat ETM+ (Studi Kasus : Jakarta). Dibimbing oleh SOBRI EFFENDY

dan LARAS TURSILOWATI.

Perkembangan dan pemekaran wilayah Jakarta telah memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Pembangunan telah merubah lansekap kota itu sendiri. Banyak ruang terbuka hijau yang telah dijadikan sarana dan prasarana publik. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan perkembangan pembangunan, menyebabkan perubahan di segala bidang, salah satunya adalah perubahan penutup dan penggunaan lahan. Perkembangan dan pemekaran wilayah Jakarta dapat mengakibatkan perubahan unsur-unsur iklim, terutama di pusat kota, akan berbeda dengan wilayah di sekitarnya. Tujuan penelitian ini menganalisis peningkatan suhu permukaan yang diakibatkan oleh konversi lahan. Daerah pengamatan penelitian ini adalah DKI Jakarta pada periode pengamatan tahun 2000 dan 2006. Kanal citra landsat yang digunakan untuk mengetahui perubahan penutupan lahan adalah kanal 5, 4, dan 2 yang masing-masing memiliki resolusi spasial 30 m x 30 m, sedangkan kanal landsat yang digunakan untuk melihat peningkatan suhu permukaannya menggunakan kanal 61 dan 62 yang memiliki resolusi 60 m x 60 m. Hasil analisis menunjukan adanya perubahan lahan yang cenderung menaikan suhu permukaan antara lain urban, lahan terbuka yang semakin luas. Peningkatan luas area tertinggi pada tutupan lahan pemukiman atau urban sekitar 15 % dari tahun 2000-2006, sebaliknya penutup lahan yang bisa meredam suhu seperti Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan Ruang Terbuka Air (RTA) justru berkurang, RTH mengalami penurunan luas mencapai (21.1%). Seiring dengan perubahan tutupan lahan yang cukup tinggi, mengakibatkan peningkatan suhu permukaan cukup signifikan. Perubahan suhu permukaan ini secara visual dapat dilihat dari perbedaan antara tahun 2000 dan 2006. Pada tahun 2000 penyebaran suhu permukaan masih merata sekitar (20-32) °C. Suhu permukaan dengan interval (32-35) °C hanya terlihat di beberapa daerah di Jakarta Utara dan sedikit di daerah Jakarta Timur. Tetapi pada tahun 2006 terjadi peningkatan suhu permukaan sekitar (24-38) °C, dan tampak terlihat perbedaan jelas penyebaran suhu dengan interval (32-35)°C distribusinya hampir merata di seluruh Kota Jakarta dan suhu permukaan dengan interval (36-39) °C hanya tersebar di beberapa pusat kota.


(37)

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Masalah perkotaan saat ini menjadi problem yang cukup pelik untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek ekologis. Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau (taman, jalur hijau, dan lahan pertanian) dan ruang terbuka air (permukaan danau, sungai maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan air). Perkembangan kota membutuhkan ruang sebagai tempat hidup penduduk dengan aktivitasnya. Pertambahan jumlah penduduk kota berarti juga peningkatan kebutuhan ruang, karena ruang tidak dapat bertambah maka yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan yang cenderung menurunkan proporsi-proporsi lahan yang sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau.

Perkembangan dan pemekaran wilayah di Jakarta saat ini telah memasuki tahap yang mengkhawatirkan. Pembangunan saat ini telah merubah lansekap kota itu sendiri. Banyak ruang terbuka hijau yang telah dijadikan sarana dan prasarana publik. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan perkembangan pembangunan menyebabkan perubahan di segala bidang, salah satunya adalah perubahan penutup dan penggunaan lahan. Perubahan penutup dan penggunaan lahan dapat merubah reflektansi radiasi surya permukaan bumi dan menyebabkan pendinginan atau pemanasan lokal (Handayani 2007).

Tingginya tingkat pembangunan di daerah perkotaan, seringkali mengabaikan unsur-unsur alami seperti vegetasi. Padahal dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa vegetasi memiliki manfaat dan nilai untuk mempertahankan tingkat kenyamanan udara. Pada umumnya komunitas vegetasi bertujuan untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup dan kenyamanan kota (Waryono 1991). Dalam hal ini, sangat penting untuk mempertimbangkan kebutuhan ruang hijau di perkotaan. Pembangunan fisik kota itu sendiri mempengaruhi ketersediaan ruang untuk vegetasi dan distribusinya.

Hasil analisis yang dilakukan dalam beberapa penelitian mengungkapkan adanya dampak dari ruang hijau perkotaan pada iklim mikro, kualitas udara, penyimpanan

karbon dan juga memperkaya

keanekaragaman hayati (Susanti 2009). Telah diakui pula bahwa terdapat keuntungan sosial ekonomi yang dapat diperoleh dari ruang hijau perkotaan dan kontribusinya pada perbaikan kesehatan manusia (Susanti 2009).

Dengan demikian diperlukan adanya pembangunan wilayah terencana untuk menjaga dan memperbaiki kualitas udara di kota Jakarta. Serta melakukan pembenahan tata ruang perkotaan dengan menentukan kawasan-kawasan untuk tiap pengguna lahan. Salah satu cara untuk menciptakan lahan hijau di perkotaan adalah melalui penghijauan, makin banyak permukaan lahan hijau dan ruang terbuka air akan memperkecil kontras sifat termalnya. Pembangunan fisik kota mengakibatkan perubahan drastis pada sifat permukaan dan perilaku atmosfernya. Bila laju fisik tersebut cukup pesat maka kemungkinan pertumbuhan tanaman hijau akan tertekan, ketiadaan penutupan vegetasi menyebabkan ketiadaan transpirasi dan ini merupakan penyebab utama penambahan bahang di kota.

Kerapatan vegetasi dan suhu permukaan merupakan informasi penting yang dibutuhkan kaitannya dengan isu pemanasan global. Informasi spasial ini dapat dihasilkan dengan memanfaatkan citra satelit sumberdaya, khususnya citra Landsat. Kemampuannya perlu dikaji agar tidak memberikan informasi yang tidak representatif, apalagi kalau suatu daerah kajian memiliki jenis penggunaan lahan yang heterogen. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan klasifikasi lahan kota Jakarta tahun 2000 dan tahun 2006, serta mengidentifikasi peningkatan suhu permukaannya. Analisis yang digunakan yaitu analisis spasial dengan melakukan perbandingan antara informasi spasial penggunaan lahan dengan data sebaran kelas kerapatan vegetasi dan kelas suhu permukaan. Hasil penelitian menunjukkan dapat mempresentasikan kerapatan vegetasi dengan baik untuk berbagai macam jenis penggunaan lahan. Di sisi lain pendeteksian suhu permukaan menggunakan band termal pada citra Landsat harus memperhatikan aspek penggunaan lahannya, untuk menghindari kesalahan interpretasi.

1.2 Tujuan

Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :


(38)

 Mengidentifikasi luas ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka air (RTA).

 Mengidentifikasi perubahan distribusi dan persentasi RTH dan RTA dalam kurun waktu 6 tahun.

 Menganalisis hubungan konversi lahan dengan peningkatan suhu permukaan.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Suhu Permukaan

Suhu permukaan dapat diartikan suhu bagian terluar dari suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang suhu permukaan kanopi tumbuhan dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya akan meningkat. Hal ini juga akan meningkatkan fluks energi (radiasi gelombang panjang) yang keluar dari permukaan benda tersebut. Suhu permukaan bukanlah suhu udara, keduanya memiliki nilai aktual yang bervariasi menurut ruang dan waktu. Suhu permukaan berpengaruh terhadap fluks bahang terasa (sensible heat), terutama pada siang hari, karena suhu permukaan benda lebih tinggi dibandingkan dengan suhu udara (Mannstein 1987 dalam Kalfuadi 2009).

Pada saat permukaan suatu benda menyerap radiasi, suhu permukaannya belum tentu sama. Hal ini tergantung pada sifat fisik obyek pada permukaan tersebut. Sifat fisis obyek tersebut diantaranya : emisivitas, konduktivitas termal dan kapasitas panas jenis. Suatu obyek permukaan yang memiliki emisivitas dan kapasitas panas jenis rendah sedangkan konduktivitasnya termalnya tinggi akan menyebabkan suhu permukaan meningkat. Hal sebaliknya terjadi pada suatu obyek yang memiliki emisivitas dan kapasitas jenis yang tinggi sedangkan konduktivitas termalnya rendah akan menyebabkan lebih rendahnya suhu permukaan. Suhu permukaan akan mempengaruhi jumlah energi untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Lillesand and Kiefer 1998 dalam Kalfuadi 2009).

Suhu permukaan merupakan unsur pertama yang dapat diidentifikasi dari citra satelit termal. Dalam remote sensing dapat

didefinisikan sebagai suhu permukaan rata-rata dari suatu permukaan yang digambarkan dalam cakupan suatu piksel dengan berbagai tipe permukaan yang berbeda.

2.2. Konversi Lahan

Konversi lahan merupakan perubahan fungsi lahan sebagaimana mestinya, yang biasanya berawal dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka air menjadi daerah pemukiman atau sebagai sarana dan prasarana publik tanpa mengindahkan dampak ekologis yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Ada beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya konversi lahan di suatu wilayah: Menurut Dowall (1978), Durand & Lasserve (1983) dalam Faizal (1998), ada dua faktor yang mempengaruhi proses konversi, yaitu faktor eksternal dan faktor interal. Faktor eksternal meliputi : (1) tingkat urbanisasi secara umum, (2) kondisi perekonomian, (3) kebijakan dan program-program pembangunan kota. Sedangkan faktor internal meliput : (1) lokasi dan potensi lahan, (2) pola pemilikan tanah, (3) motivasi pemiliknya. Sementara Suryadini (1994) dalam Ramadhan (2005) menyatakan bahwa faktor penyebab terjadinya perubahan pemanfaatan RTH adalah : (1) terbatasnya lahan yang hendak dibangun pada daerah yang mengalami perubahan, (2) kebutuhan pemenuhan fasilitas yang ingin dibangun untuk melayani penduduk, (3) kurangnya pengawasan dari pemerintah terhadap perubahan RTH, (4) tingkat pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap tingkat kebutuhan akan RTH, (5) konsekuensi dari lokasi yang strategis secara ekonomis dan produktif yang dapat meningkatkan nilai lahan.

Konversi lahan dibagi kedalam dua jenis, yaitu: konversi lahan dari ruang terbuka hijau (jalur hijau, taman kota, dan lahan pertanian) dan ruang terbuka air (permukaan danau, sungai maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai daerah tangkapan air) menjadi daerah permukiman dan daerah terbangun lainnya.


(39)

Gambar 1 Alih guna lahan

2.2.1. Ruang Terbuka Hijau

Ruang terbuka hijau (RTH) kota adalah

bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut.

Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya. Ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka air (RTA).

(Dwiyanto 2009).

Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga.

Dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dll. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi. Bentuk RTH yang

berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dsb (Dwiyanto 2009).

Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu, RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.

Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/nasional. (Anonymouse 2003).

Dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH publik yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.

Gambar 2 Ruang Terbangun Tata ruang kota secara fisik dapat dipisahkan menjadi ruang terbangun dan ruang terbuka. Berdasarkan instruksi Menteri Dalam Negeri No.14 tahun 1988 tentang penataan ruang terbuka hijau wilayah perkotaan, ruang terbuka hijau adalah wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area atau kawasan memanjang atau jalur dimana dalam penutupannya lebih bersifat terbuka yang pada dasarnya tanpa bangunan. Dalam ruang terbuka hijau pemanfaatannya lebih bersifat pengisian hijau tanaman atau tumbuhan secara alamiah


(1)

STRIPING_BAND7 = "NONE" STRIPING_BAND8 = "NONE" BANDING = "N"

COHERENT_NOISE = "N" MEMORY_EFFECT = "N" SCAN_CORRELATED_SHIFT = "N"

INOPERABLE_DETECTORS = "N"

DROPPED_LINES = "N" END_GROUP = CORRECTIONS_APPLIED GROUP = PROJECTION_PARAMETERS REFERENCE_DATUM = "WGS84" REFERENCE_ELLIPSOID = "WGS84" GRID_CELL_SIZE_PAN = 15.000 GRID_CELL_SIZE_THM = 60.000 GRID_CELL_SIZE_REF = 30.000

ORIENTATION = "NUP" RESAMPLING_OPTION = "NN"

SCAN_GAP_INTERPOLATION = 0

MAP_PROJECTION = "UTM" END_GROUP =

PROJECTION_PARAMETERS GROUP = UTM_PARAMETERS ZONE_NUMBER = -48 END_GROUP =

UTM_PARAMETERS END_GROUP =

L1_METADATA_FILE END


(2)

Lampiran3 contohperhitunganspectral radiancetahun 2000

Specrad 1:

�= � − �

� max−� � � � (�1)

− � min + Lmin

Diketahui :

Lmax = 17.04 (metadata) Lmin = 0 (metadata) Qcal max = 255 (metadata) Qcal min = 1 (metadata) Qcal = i1 (metadata) Specrad 2:

�= � − �

� max−� � � � (�1)

− � min + Lmin

Diketahui :

Lmax = 12.65 (metadata) Lmin = 3.2 (metadata) Qcal max = 255 (metadata) Qcal min = 1 (metadata) Qcal = i1 (metadata)


(3)

(4)

(5)

(6)