Kerangka Teori TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 1. Tinjauan Pustaka

sosial dan budaya tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dasar dari munculnya konteks sosietal adalah adanya kekuasaan power, sedangkan dasar dari konteks sosial adalah adanya solidaritas solidarity. Keuntungan yang didapat dari mempelajari pragmatik dikemukakan oleh Yule dalam Susanti 2007:10 dalam bukunya Pragmatics, yaitu seseorang dapat mengatakan apa yang orang lain maksudkan, asumsi-asumsi mereka, tujuan mereka, dan berbagai tindakan seperti memohon pada saat berbicara.

I.4.2. Kerangka Teori

Tindak tutur sebenarnya merupakan salah satu fenomena dalam masalah yang lebih luas, yang dikenal dengan istilah Pragmatik. Istilah mengenai tindak tutur pertama sekali diperkenalkan oleh Charles Morris pada tahun 1938 yang kemudian dikembangkan oleh J.L. Austin pada tahun 1956 yang kemudian dibukukan oleh J.O. Urmson 1965 dengan judul How to do Thing with Word? Teori tersebut memperkenalkan konsep penggunaan bahasa sebagai sebuah tindakan, dalam arti sebuah tuturan berfungsi bukan saja menyampaikan informasi tetapi sebenarnya terdapat tindak ‘melaksanakan sesuatu’ dalam sebuah tuturan. Austin dalam Susanti 2007:10-11 membedakan tiga jenis tindakan, yaitu : 1. Tindak Lokusioner, adalah tindak mengatakan sesuatu, yaitu mengucapkan sesuatu dengan makna kata dan makna kalimat, seperti “saya lapar”. Saya sebagai orang pertama tunggal dan lapar mengacu pada perut kosong. Universitas Sumatera Utara 2. Tindak Ilokusioner, adalah tindak melakukan sesuatu dengan adanya maksud dan fungsi ujaran, dari contoh “saya lapar” dimaksudkan untuk meminta makanan. 3. Tindak Perlokusioner, adalah mengacu pada efek yang dihasilkan penutur dengan mengatakan sesuatu. Tindak tutur perlokusioner lebih ditekankan pada diri petutur. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa implikasi tindak lokusioner terhadap petutur inilah yang disebut dengan tindak perlokusioner, dan implikasi tersebut dapat membuat petutur menjadi marah, senang, simpati, dan sebagainya. Tetapi teori tersebut baru menjadi terkenal dalam studi Linguistik setelah Searle dalam Susanti 2007:11 menerbitkan buku berjudul Speech Act and Essay in The Philosophy of Language yang menjelaskan bahwa yang termasuk ke dalam tindak ilokusioner adalah verba yang menunjukkan makna perintah, memohon, meminta maaf, dan sebagainya. Tindak tutur yang digunakan dalam suatu masyarakat tidak dapat dipisahkan dari sopan santun yang berlaku pada masyarakat tersebut, karena kita menyadari bahwa komunikasi sehari-hari selalu berkisar pada kesantunan. Kesantunan Politeness menurut Yule dalam Susanti 2007:12 adalah: ‘Di dalam suatu interaksi kesantunan mempunyai makna memperlihatkan kesadaran akan muka orang lain. Dalam hal ini kesantunan dapat menghilangkan jarak sosial atau keakraban dalam sebuah situasi.’ Muka yang dimaksudkan oleh Yule dapat dijelaskan melalui teori Brown Levinson dalam Susanti 2007:12-13. Menurut mereka muka face terdiri atas Universitas Sumatera Utara positif face ‘muka positif’ dan negative face ‘muka negatif’. Muka positif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya merupakan nilai-nilai yang ia yakini diakui orang lain sebagai suatu hal yang baik. Muka negatif mengacu kepada citra diri setiap orang yang berkeinginan agar ia dihargai dengan jalan membiarkannya melakukan tindakannya. Muka dalam sebuah interaksi dapat dipermalukan dan dapat juga dilindungi. Oleh karena itu, peserta tutur wajib saling menjaga muka. Akan tetapi, dalam sebuah tindak ujaran keterancaman terhadap muka pasti akan terjadi. Tindak seperti itu oleh Brown dan Levinson disebut Face Threating Act FTA. Menurut Brown dan Levinson dalam Rahardi 2005:68-70 terdapat tiga skala penentu tinggi rendahnya peringkat kesantunan sebuah tuturan, yaitu: 1. Skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, yang banyak ditentukan oleh parameter perbedaan umur, jenis kelamin, dan latar belakang sosiokultural. 2. Skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur atau sering kali disebut dengan peringkat kekuasaan power rating didasarkan pada kedudukan asimetrik antara penutur dan mitra tutur. 3. Skala peringkat tindak tutur atau sering pula disebut dengan rank rating atau lengkapnya adalah didasarkan pada kedudukan relatif tindak tutur yang satu dengan tindak tutur yang lainnya. Niyekawa dalam Susanti 2007:14 dalam bukunya Minimum Essential Politeness mengatakan bahwa cara yang sopan untuk bicara dalam bahasa Jepang adalah dengan memperhatikan aturan tata bahasa, seperti nomina, pronomina, dan Universitas Sumatera Utara verba. Selain itu, bagi orang asing langkah awal untuk belajar berbicara bahasa Jepang dengan baik adalah dengan memahami struktur sosial masyarakat Jepang, kelompok dan hadiah. Pada struktur sosial masyarakat Jepang status dan hirarki merupakan dua hal penting yang harus diperhatikan ketika melakukan suatu ujaran. Hirarki ditentukan oleh tingkatan dan posisi, status sosial, umur dan gender. Kelompok, suatu kelompok dalam masyarakat Jepang dapat menunjukkan bahwa bahasa Jepang yang digunakan pada umumnya menunjukkan identitas kelompok yang menaungi mereka. Hadiah, memberikan hadiah merupakan cara kita mengekspresikan penghargaan mereka atas pemberian mereka kepada kita. Jadi, terkandung makna giving ‘memberi’ dan receiving ‘menerima’. Penelitian tentang tindak tutur memohon dalam bahasa Jepang belum banyak dilakukan. Beberapa yang telah melakukan tindak tutur memohon adalah Samuel E. Martin dan Akito Ozaki dalam Susanti 2007:15-16. Martin lebih terfokus pada ragam ungkapan memohon dan ia mengatakan request bahasa Jepang dibentuk berdasarkan perintah langsung yang menggunakan bentuk imperatif dan bentuk circumlocutions ‘tindak tutur basa-basi’. Pada request dapat ditambahkan dengan frasa : • Tanomu kara... 頼むから ...., dan • Onegai Da desu kara.... お願いだ ですから ....... Request pada bentuk memohon dapat dibentuk dari berbagai kalimat verbal, tetapi dalam prakteknya akan ditemukan adanya suatu batasan. Selain itu, dapat juga dibentuk dari bahasa sopan honorific seperti nasaru yang sepadan dengan suru. Request pada bentuk circumlocutions ‘ketaklangsungan’ dibagi ke dalam tujuh belas bagian. Universitas Sumatera Utara Request berikutnya adalah penelitian dari Akito Ozaki 1989 dalam bukunya Request for Clarification in Convertation Between Japanese and Non- Japanese. Request for Clarification RCs yang dimaksud oleh Ozaki adalah correction strategies ‘strategi perbaikan’, dilakukan oleh penutur dengan tujuan agar lawan bicara mengabulkan sesuatu yang diinginkan oleh penutur. Request for Clarification dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu request clarification intention dengan enam sub bab, request clarification forms dan request clarification referents. Berdasarkan hasil penelitian Ozaki diperoleh kesimpulan bahwa diperlukan strategi komunikasi agar percakapan yang dilakukan lebih menarik. Strategi yang dimaksud dalam penelitian Ozaki adalah correction strategies. Tujuan dari hal tersebut adalah menghindari terjadinya kesalahpahaman komunikasi. Linguis lainnya, yaitu Sakata dan Kuromochi memasukkan ragam ungkapan memohon ke dalam jodoushi ‘kata kerja bantu’. Pengelompokan ragam tersebut terdiri atas dua bagian, yaitu 1. ~te kure, ~te kurenaika, dan ~te moraenaika 2. ~sesasete kure, ~sesasete kurenaika, ~sesasete moraenaika, dan ~sesasete morau. Kemudian kedua kelompok besar tersebut dibagi lagi ke dalam beberapa bagian ragam ungkapan memohon. Selain itu, ragam memohon dalam bahasa Jepang menurut Kaneko Shiro dalam Nihongo Journal dalam Susanti 2007:28-36 dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu: Universitas Sumatera Utara Onegai wo suru Membuat Permohonan, ragam memohon ini di dalam penggunaanya mengandung sifat mulai dari hikui ‘rendah’ sampai permohonan yang bersifat takai ‘tinggi’. Contoh : • ちょっと来て ‘ 。 Ke sini • 写真、 sebentar’ Kyoka wo Onegai suru Memohon Izin, kelompok kedua ini digunakan pada waktu memohon izin sesuatu. Pembentukannya menggunakan verba ~wo ~sasete. Contoh: 撮らせて。 (友達に) ‘Fotokan’ • でんわつかわせ kepada teman てくれる ‘ ? (ともだちに) Boleh pinjam telepon?’ kepada teman Sono Hoka no Onegai no Hyogen Ungkapan memohon yang lainnya, pada kelompok in menunjukkan ungkapan yang digunakan untuk memaparkan keadaan sekarang seperti perasaan, keadaan, dan keinginan. Hal tersebut dilakukan agar penutur memahami hal yang diinginkan. Kaneko Shiro mencontohkannya dengan membuat kalimat bertanda kurung yang sebenarnya ingin diucapkan, tapi tidak disampaikan. Universitas Sumatera Utara Contoh: • 子供が寝ているので ….., 静かにしてください ‘Anak saya sedang tidur’…… . mohon tenang 1. Nomina nomina verbal wo onegai suru. . Selain Shiro, ada juga linguis lain yang mengungkapkan ragam memohon Request bahasa Jepang yang secara garis besar terdiri atas dua bagian yaitu memohon akan barang dan memohon akan suatu tindakan atau jasa. Bentuk yang digunakan terhadap dua hal tersebut adalah onegaishimasu, V ~te itadakitai atau moraitai dan hoshi, serta V atau verba potensial V pot yang diikuti dengan youni onegai shimasu. Memohon juga dapat dibentuk dari question ‘kalimat tanya’. Ditambahkan pula, memohon akan suatu tindakan dapat berbentuk kalimat positif dan negatif, baik petutur melakukan atau tidak melakukan tindakan tersebut. Adapun ragam memohon tersebut dikelompokkan sebagai berikut. • Verba ~te + verba performatif adjektiva • Verba ~te itadakitai moraitai • Verba ~te hoshii • Kalimat youni onegai shimasu 2. Memohon dalam kalimat tanya negatif positif potensial • Verba ~te kurenai masenka • Verba ~te moraenaika na • Verba ~te itadakeru masuka ~nai ~masenka Universitas Sumatera Utara Dalam penelitian ini, peneliti hanya memasukkan teori Kaneko Shiro dan Yone Tanaka sebagai acuan. Berdasarkan teori tersebut, penulis akan meneliti bagaimana penggunaan ragam memohon tersebut disesuaikan dengan tingkat kesantunan dan situasi pemakaiannya hanya dibatasi pada mahasiswa Sastra Jepang semester V dan semester VII Fakultas Sastra USU saja. I.5. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I.5.1. Tujuan Penelitian