Pengaruh Media Tanam Dan Pemberian Pupuk Fosfat Terhadap Pertumbuhan Stum Okulasi Mata Tidur Karet (Havea brasiliensis Muell Arg.)

(1)

ABSTRACT

M. Guntur S. Media Influence Giving Phosphate Fertilizer Plant And Growth Of Sleep Rubber Eye Grafting Stum (Havea brasiliensis Muell Arg.) in

Nursery. Guided by Ir. BALONGGU SIAGIAN, MS, and

Ir. ROSITA SIPAYUNG, MP.

This research aims to determine the effect of growing media and phosphate fertilizer on the growth of the eye sleep Stum grafting rubber (Havea brasiliensis Muell Arg.). Research carried out in field trials USU Faculty of Agriculture, Medan with altitude of about 25 meters above sea level at the beginning of March until July 2011. Experimental method used is a randomized block design with two treatment factors. Planting media as the first factor with 4

standard treatment that is M0 (Topsoil Ultisol 8 kg),

M1 (Topsoil 6 kg + Sludge 2 kg), M2 (Topsoil 4 kg + Sludge 4 kg), M3 (Topsoil 2 kg + Sludge 6 kg) and phosphate fertilizer as a second factor with 4 level is P0 (0 g), P1 (15 g) , P2 (30 g) and P3 (45 g) with 3 replications.

Parameter were observed open eye velocity stum, stum percentage germination, shoot height, stem girth, number of leaves, percentage stum one umbrella, umbrella two percentage stum, crown wet weight, dry weight of the canopy, root wet weight and dry weight of the canopy.

The Results that M3 showed the best results at high parameters of shoots, girth, number of leaves, umbrella stum age two, the weight of wet canopy, canopy dry weight, wet weight of roots and root dry weight. Phosphate fertilizer in this research showed no apparent effect on all parameters. The interaction parameters significantly affect the number of leaves. The combination treatment produced the highest number of leaves is M3P3 (Topsoil 2 kg + Sludge 6 kg and Phosphate 45 g/plant) which proved to increase the number of leaves of rubber trees.


(2)

ABSTRAK

M. GUNTUR S. Pengaruh Media Tanam Dan Pemberian Pupuk Fosfat

Terhadap Pertumbuhan Stum Okulasi Mata Tidur Karet

(Havea brasiliensis Muell Arg.) di Pembibitan. Dibimbing oleh Ir. BALONGGU SIAGIAN, MS dan Ir. ROSITA SIPAYUNG, MP.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media tanam dan pemberian pupuk fosfat terhadap pertumbuhan stum okulasi mata tidur karet (Havea brasiliensis Muell Arg.). Penelitian dilaksanakan di lahan percobaan Fakultas Pertanian USU, Medan dengan ketinggian tempat sekitar 25 mdpl pada awal Maret sampai Juli 2011. Metode percobaan yang digunakan adalah rancangan acak kelompok (RAK) dengan 2 faktor perlakuan. Media tanam sebagai faktor pertama dengan 4 taraf perlakuan yaitu M0 (Topsoil Ultisol 8 kg), M1 (Topsoil 6 kg + Sludge 2 kg), M2 (Topsoil 4 kg + Sludge 4 kg), M3 (Topsoil 2 kg + Sludge 6 kg) serta pupuk fosfat sebagai faktor kedua dengan 4 taraf yaitu P0 (0 g), P1 (15 g), P2 (30 g) dan P3 (45 g) dengan 3 ulangan. Parameter yang diamati adalah kecepatan mata stum melentis, persentase stum bertunas, tinggi tunas, lilit batang tunas, jumlah daun, persentase stum berpayung 1, persentase stum berpayung dua, bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, bobot basah akar dan bobot kering tajuk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa M3 menunjukkan hasil terbaik pada parameter tinggi tunas, lilit batang, jumlah daun, umur stum berpayung dua, bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, bobot basah akar dan bobot kering akar. Pupuk fosfat pada penelitian ini menunjukkan hasil berpengaruh tidak nyata pada semua parameter. Interaksi berpengaruh nyata terhadap parameter jumlah daun. Kombinasi perlakuan yang menghasilkan jumlah daun tertinggi adalah M3P3 (Topsoil 2 kg + Sludge 6 kg dan Fosfat 45 g/tanaman) yang terbukti mampu meningkatkan jumlah daun tanaman karet.


(3)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Karet merupakan komoditi ekspor yang mampu memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan devisa Indonesia. Ekspor karet Indonesia selama 20 tahun terakhir terus menunjukkan adanya peningkatan dari 1.0 juta ton pada tahun 1985 menjadi 1.3 juta ton pada tahun 1995 dan 1.9 juta ton pada tahun 2004. Pendapatan devisa dari komoditi ini pada tahun 2004 mencapai US$ 2.25 milyar, yang merupakan 5% dari pendapatan devisa non-migas. Luas areal perkebunan karet tahun 2005 tercatat mencapai lebih dari 3.2 juta ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Diantaranya 85% merupakan perkebunan karet milik rakyat, dan hanya 7% perkebunan besar negara serta 8% perkebunan besar milik swasta. Produksi karet secara nasional pada tahun 2005 mencapai angka sekitar 2.2 juta ton (Anwar, 2006).

Gapkindo memperkirakan areal perkebunan karet di Indonesia pada 2010 seluas 3,445 juta ha dan diperkirakan bertambah 5.000 ha pada 2011 (Sihotang, 2011). Saat ini luas areal pertanaman karet di Sumatera Utara tahun 2010 adalah 463.851 ha dengan produksi 413.597 ton serta produktivitasnya 1.015 ton per ha. Untuk total luas areal Indonesia adalah 3.445.121 ha dengan produksi 2.591.935 ton serta produktivitas 935 kg per ha (BPS, 2011).

Indonesia merupakan negara dengan areal tanaman karet terluas di dunia. Pada tahun 2005, luas perkebunan karet Indonesia mencapai 3,2 juta ha, disusul Thailand (2,1 juta ha), Malaysia (1,3 juta ha), China (0,6 juta ha), India


(4)

(0,6 juta ha), dan Vietnam (0,3 juta ha). Dari areal tersebut diperoleh produksi karet Indonesia sebesar 2,3 juta ton yang menempati peringkat kedua di dunia, setelah Thailand dengan produksi sekitar 2,9 juta ton. Posisi selanjutnya ditempati Malaysia (1,1 juta ton), India (0,8 juta (ton), China (0,5 juta ton), dan Vietnam (0,4 juta ton) (Apriyantono, 2007).

Luas areal perkebunan karet indonesia pada tahun 2007 sekitar 3,4 juta hektar dengan produksi 2,76 juta ton. Pada tahun 2025 diharapkan Indonesia

menjadi negara penghasil karet alam terbesar di dunia dengan produksi 3,8-4,0 juta ton per tahun. Tingkat produksi tersebut dapat dicapai bila

penggunaan klon unggul meningkat menjadi lebih dari 85%, sehingga produktivitas rata-rata naik minimal 1.500 kg/ha. Dari luas areal karet Indonesia saat ini, 85% (2,8 juta ha) merupakan areal perkebunan karet rakyat yang

memberikan kontribusi 81% terhadap produksi karet alam nasional (Balit Sumbawa, 2009). Tanaman karet merupakan salah satu komoditi

perkebunan yang menduduki posisi cukup penting sebagai sumber devisa non migas bagi Indonesia, sehingga memiliki prospek yang cerah. Oleh sebab itu upaya peningkatan produktifitas usaha tani karet terus dilakukan terutama dalam bidang teknologi budidaya (LIPTAN, 1992).

Jenis Klon karet unggul yang dianjurkan untuk sistem pertanian karet di daerah Sumatera dan Kalimantan adalah PB 260, AVROS 2037, RRIC 100, BPM 1 dan RRIM 600. Selain itu, BPM 24 dapat digunakan juga di Jambi. Semua jenis klon karet tersebut memberikan hasil yang baik, pertumbuhan batang yang cepat, dan dapat diadaptasikan ke dalam kondisi perkebunan rakyat. Semua jenis klon tersebut mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap penyakit daun


(5)

Colletotrichum kecuali BPM 24 dan toleran terhadap penyadapan yang kasar (Purwanto, 2001).

Harga karet alam yang membaik saat ini harus dijadikan momentum yang mampu mendorong pembenahan dan peremajaan karet yang kurang produktif dengan menggunakan klon-klon unggul dan perbaikan teknologi budidaya. Pemerintah telah menetapkan sasaran pengembangan produksi karet alam Indonesia sebesar 3 - 4 juta ton/tahun pada tahun 2025 yang dapat dicapai apabila areal kebun karet (rakyat) yang saat ini kurang produktif berhasil diremajakan dengan menggunakan klon karet unggul secara berkesinambungan (Anwar, 2007).

Tanaman karet klon PB 260 merupakan klon penghasil lateks yang dianjurkan untuk dikembangkan di Indonesia mulai tahun 1991. Karakteristik klon PB 260 adalah pertumbuhan lilit batang pada saat tanaman belum menghasilkan dan telah menghasilkan sedang, tahan terhadap penyakit daun. Potensi produksi awal cukup tinggi dengan rata-rata produksi 2.107 kg/tahun. Lateks berwarna putih kekuningan dan dapat dilakukan pada daerah beriklim sedang dan basah (Erlan, 2004).

Masalah yang terdapat di perkebunan yaitu salah satunya kurangnya pemupukan terhadap stum okulasi mata tidur karet di pembibitan sehingga banyak pertumbuhan stum okulasi mata tidur karet yang kurang baik setelah ditanam di lapangan.

Pemberian pupuk fosfat merupakan salah satu cara perbaikan teknik budidaya yang dapat dilakukan guna mencapai tujuan yang optimal dalam


(6)

penyediaan bibit karet stum mata tidur. Pada stadia ini unsur fosfat mempunyai peranan sangat penting bagi tanaman karet dalam proses pembentukan akar dan melindungi daerah perakaran batang bawah yang luka sewaktu pembongkaran dari lokasi pembibitan dan juga proses respirasi sehingga proses metabolisme pada sistem perakaran batang bawah dapat terbentuk dengan baik. Dengan pengaruh pupuk fosfat yang sangat penting diawal pertumbuhan stum mata tidur karet, maka pemberian pupuk fosfat sangat dianjurkan diawal pertumbuhan stum. Adapun unsur fosfat juga mempunyai peran di dalam pemindahan dan penggunaan energi (ATP-AMP), pembelahan sel, pertumbuhan jaringan meristem, pelindung jaringan tanaman yang terluka dari jamur serta pembentukan bagian-bagian generatif seperti bunga, buah, dan lateks (Sivandyan, 1981).

Sludge (limbah padat) kelapa sawit adalah benda padat yang tenggelam di dasar bak pengendapan pengolahan limbah kelapa sawit. Limbah seharusnya dikelola agar tidak mencemari lingkungan. Limbah padat yang dihasilkan dari pengolahan Minyak Kelapa Sawit banyak mengandung unsur hara, diantaranya nitrogen, fosfor, kalium, magnesium dan kalsium yang sangat baik digunakan sebagai bahan organik. Fungsi bahan organik diantaranya memperbaiki struktur tanah (fisika tanah) agar dapat meningkatkan keterikatan antar partikel tanah serta menurukan tingkat pencucian. Menyediakan unsur hara ke dalam tanah agar dapat meningkatkan kation-kation yang dapat dipertukarkan. Memperbaiki kualitas biologi tanah yang akan meningkatkan perkembangan biota yang ada di dalam tanah (Utomo dan Widjaja, 2004).

Tanah Ultisol umumnya dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Tanah ini memiliki kadar hara yang rendah, serta konsentrasi Al, Fe dan Mn yang cukup


(7)

tinggi. Jerapan P merupakan kendala terpenting pada Tanah Ultisol sehingga menyebabkan P tersedia rendah bagi tanaman. Untuk mengatasinya perlu ditambahkan bahan organik yang dapat memperbaiki struktur tanah, menyumbang unsur hara dan memperbaiki kualitas biologi tanah (Jumronitoha dkk, 2008).

Oleh sebab itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai limbah padat kelapa sawit sebagai bahan campuran media dan pemberian pupuk fosfat terhadap pertumbuhan stum okulasi mata tidur karet (Havea brasiliensis

Muell Arg.) pada tanah ultisol.

Tujuan Penelititan

Tujuan penelititan adalah untuk mengetahui pengaruh media tanam dan

pemberian pupuk fosfat terhadap pertumbuhan stum okulasi mata tidur karet (Havea brasiliensis Muell Arg.) di pembibitan.

Hipotesis Penelitian

Ada pengaruh media tanam dan pemberian pupuk fosfat serta interaksi

antara kedua faktor tersebut terhadap pertumbuhan stum okulasi mata tidur karet (Havea brasiliensis Muell Arg.) di pembibitan.

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini berguna untuk mendapatkan data penyusunan skripsi dan sebagai informasi bagi pihak yang membutuhkan dalam penelitian stum okulasi mata tidur karet.


(8)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman

Klasifikasi tanaman karet adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Euphorbiales Family : Euphorbiaceae Genus : Hevea

Spesies : Hevea brasiliensis Muell Arg. (Setyamidjaja, 1993).

Tanaman karet memiliki sistem perakaran yang terdiri dari akar tunggang, akar lateral yang menempel pada akar tunggang dan akar serabut. Pada tanaman yang berumur 3 tahun kedalaman akar tunggang sudah mencapai 1,5 m. Apabila tanaman sudah berumur 7 tahun maka akar tunggangnya sudah mencapai kedalaman lebih dari 2,5 m. Pada konsisi tanah yang gembur akar lateral dapat berkembang sampai pada kedalaman 40-80 cm. Akar lateral berfungsi untuk menyerap air dan unsur hara dari tanah. Pada tanah yang subur akar serabut masih dijumpai sampai kedalaman 45 cm. Akar serabut akan mencapai jumlah yang maksimum pada musim semi dan pada musim gugur mencapai jumlah minimum (Basuki dan Tjasadihardja, 1995).

Tanaman karet merupakan pohon yang tumbuh tinggi dan berbatang cukup besar. Tinggi pohon dewasa mencapai 15-25 m. Batang tanaman biasanya


(9)

tumbuh lurus dan memiliki percabangan yang tinggi. Beberapa pohon karet ada kecondongan arah tumbuh agak miring. Batang tanaman ini mengandung getah yang dikenal dengan naman lateks (Setiawan dan Andoko, 2000).

Daun karet berselang-seling, tangkai daunnya panjang dan terdiri dari 3 anak daun yang licin berkilat. Petiola tipis, hijau, berpanjang 3,5-30 cm. Helaian anak daun bertangkai pendek dan berbentuk lonjong-oblong atau oblong-obovate, pangkal sempit dan tegang, ujung runcing, sisi atas daun hijau tua dan sisi bawah agak cerah, panjangnya 5-35 cm dan lebar 2,5-12,5 cm (Sianturi, 2001).

Daun karet berwarna hijau. Apabila akan rontok berubah warna menjadi kuning atau merah. Daun mulai rontok apabila memasuki musim kemarau. Daun karet terdiri dari tangkai daun utama dan tangkai anak daun. Panjang tangkai daun utama sekitar 3-20 cm. Panjang tangkai anak daun sekitar 3-10 cm. Biasanya terdapat 3 anak daun pada setiap helai daun karet. Anak daun karet berbentuk elips, memanjang dengan ujung yang meruncing, tepinya rata dan tidak tajam (Marsono dan Sigit, 2005).

Bunga karet terdiri dari bunga jantan dan betina yang terdapat dalam malai payung yang jarang. Pada ujungnya terdapat lima taju yang sempit. Panjang tenda bunga 4-8 mm. Bunga betina berambut, ukurannya sedikit lebih besar dari bunga jantan dan mengandung bakal buah yang beruang tiga. Kepala putik yang akan dibuahi dalam posisi duduk juga berjumlah tiga buah. Bunga jantan mempunyai sepuluh benang sari yang tersusun menjadi suatu tiang. Kepala sari terbagi dalam 2 karangan dan tersusun lebih tinggi dari yang lain (Marsono dan Sigit, 2005).

Bunga majemuk ini terdapat pada ujung ranting yang berdaun. Tiap-tiap karangan bunga bercabang-cabang. Bunga betina tumbuh pada ujung cabang,


(10)

sedangkan bunga jantan terdapat pada seluruh bagian karangan bunga. Jumlah bunga jantan jauh lebih banyak daripada bunga betina. Bunga berbentuk “lonceng” berwarna kuning. Ukuran bunga betina lebih besar daripada bunga jantan. Apabila bunga betina terbuka, putik dengan tiga tangkai putik akan tampak. Bunga jantan bila telah matang akan mengeluarkan tepung sari yang berwarna kuning. Bunga karet mempunyai bau dan warna yang menarik dengan tepung sari dan putik yang agak lengket (Setyamidjaja, 1993).

Buah karet memiliki pembagian ruang yang jelas. Masing-masing ruang berbentuk setengah bola. Jumlah ruang biasanya tiga, kadang-kadang sampai enam ruang. Garis tengah buah sekitar 3-5 cm. Bila telah masak, maka buah akan pecah dengan sendirinya. Pemecahan biji ini berhubungan dengan pengembangbiakan tanaman karet secara alami yaitu biji terlontar sampai jauh dan akan tumbuh dalam lingkungan yang mendukung (Marsono dan Sigit, 2005).

Tanaman karet dapat diperbanyak secara generatif (dengan biji) dan vegetatif (okulasi). Biji yang akan dipakai untuk bibit, terutama untuk penyediaan batang bagian bawah harus sungguh-sungguh baik (Setyamidjaja, 1993).

Syarat Tumbuh

Iklim

Tanaman karet adalah tanaman daerah tropis yang tumbuh antara 15° LS dan 15° LU. Tanaman ini tumbuh optimal di dataran rendah antara 0-200 meter diatas permukaan laut. Semakin tinggi letak tempat, pertumbuhannya

semakin lambat dan hasil lateksnya rendah. Ketinggian lebih dari 600 m dpl kurang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet (Setyamidjaja, 1993).


(11)

Curah hujan tahunan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2000 mm. Optimal antara 2000 – 4000 mm/tahun, yakni pada ketinggian sampai 200 m diatas permukaan laut. Untuk pertumbuhan karet yang baik memerlukan suhu antara 250 - 350 C, dengan suhu optimal rata-rata 280 C. Angin juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Angin yang kencang pada musim-musim tertentu dapat mengakibatkan kerusakan pada tanaman karet yang berasal dari klon-klon tertentu yang peka terhadap angin kencang (Setyamidjaja, 1993).

Kelembaban nisbi (RH) yang sesuai untuk tanaman karet adalah rata-rata berkisar diantara 75-90%. Lama penyinaran dan intensitas cahaya matahari sangat menentukan produktivitas tanaman. Di daerah yang kurang hujan yang menjadi faktor pembatas adalah kurangnya air, sebaliknya di daerah yang terlalu banyak hujan, cahaya matahari menjadi faktor pembatas. Dalam sehari tanaman karet membutuhkan sinar matahari dengan intensitas yang cukup paling tinggi antara 5 – 7 jam. Angin yang bertiup kencang dapat mengakibatkan patah batang, cabang atau tumbang (Sianturi, 2001).

Tanah

Berbagai jenis tanah dapat sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet baik tanah vulkanis muda dan tua, bahkan pada tanah gambut < 2 m. Tanah vulkanis mempunyai sifat fisik yang cukup baik terutama struktur, tekstur, solum, kedalaman air tanah, aerasi dan drainasenya, tetapi sifat kimianya secara umum kurang baik karena kandungan haranya rendah. Tanah alluvial biasanya cukup

subur, tetapi sifat fisikanya terutama drainase dan aerasenya kurang baik (Anwar, 2006).


(12)

Tanaman karet termasuk tanaman perkebunan yang mempunyai toleransi cukup tinggi terhadap kesuburan tanah. Tanaman ini tidak menuntut kesuburan tanah yang terlalu tinggi. Tanaman ini masih bisa tumbuh dengan baik pada kisaran pH 3,5 – 7,5. Meskipun demikian, tanaman karet akan berproduksi maksimal pada tanah yang subur dengan pH antara 5 – 6 (Setiawan, 2000).

Tanaman karet bukanlah tanaman manja, dapat tumbuh pada tanah – tanah yang mempunyai sifat fisik baik, atau sifat fisiknya dapat diperbaiki.

Tanah yang dikehendaki adalah bersolum dalam, jeluk lapisan dalam lebih dari 1 m, permukaan air tanah rendah. Sangat toleran terhadap kemasaman tanah, dapat tumbuh pada pH 3,8 hingga 8,0, tetapi pada pH yang lebih tinggi sangat menekan pertumbuhan (Sianturi, 2001).

Stum Mata Tidur Karet

Biji

Bahan tanaman yang baik dapat diperoleh dari biji. Biji adalah salah satu bentuk bahan tanaman yang harus dikenal kemurniannya. Sumber biji yang baik dapat diperoleh dari kebun biji yang kedua pohon induknya diketahui atau minimal salah satu pohon induknya diketahui dengan baik, dapat juga diperoleh dari kebun produksi biji yang dirawat dengan baik. Sumber biji yang baik adalah pohon yang telah berumur 15 hingga 25 tahun. Pohon pada umur tersebut dapat menghasilkan buah dengan mutu yang baik, sedangkan pada pohon muda menghasilkan biji yang kecil dan daya kecambah yang rendah (Sianturi, 2001).

Asal usul biji juga dibedakan atas 4 jenis yaitu biji legitim adalah biji yang kedua pohon induknya diketahui dengan pasti. Biji ini biasanya digunakan


(13)

digunakan untuk tujuan pemuliaan karena sulit dan mahal untuk menyediakan dalam jumlah yang besar. Biji propeligitim adalah biji yang berasal dari hasil penyerbukan alami dalam satu kebun benih yang terdiri atas dua atau lebih klon yang dikenal. Biji legitim adalah biji yang berasal dari hasil persilangan alami yang pohon induk betina dikenal dengan baik, tetapi induk jantan tidak diketahui. Kemudian yang terakhir biji sapuan adalah biji sembarang yang kedua induknya tidak diketahui dengan jelas (Sianturi, 2001).

Biji karet tergolong rekalsitran. Beberapa sifat-sifat biji karet diantaranya biji tidak pernah kering di pohon tetapi akan jatuh dari pohon setelah masak dengan kadar air sekitar 35%. Biji karet tidak tahan terhadap kekeringan dan tidak mempunyai masa dormansi dan biji karet akan mati bila kadar air dibawah 12%. Biji karet tidak dapat disimpan pada kondisi lingkungan kering karena akan mengalami kerusakan. Daya simpan biji umumnya singkat dan kisaran suhu penyimpanan biji karet yang baik adalah 7-10°C, karena pada suhu ini belum mengalami pembekuan sel (Balit Sembawa, 2009).

Batang Bawah

Batang bawah pada stum mata tidur karet merupakan bagian yang terpenting dari keberhasilan proses okulasi, kesalahan penggunaan batang bawah dapat menurunkan produksi hingga 40%. Batang bawah ditumbuhkan dari biji, oleh sebab itu dibutuhkan biji yang dapat tumbuh dengan baik, kompatibel dengan batang atas, berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan produksi batang atas, proses penempelan mata tunas dapat berlangsung dengan baik, memiliki sistem perakaran yang baik dan tahan terhadap angin kencang serta tahan terhadap penyakit akar (Balit Sembawa, 2009).


(14)

Biji yang digunakan adalah biji karet yang minimal salah satu induknya diketahui. Biji sapuan tidak baik dijadikan batang bawah karena kedua pohon induknya tidak diketahui dengan jelas (Marsono dan Sigit, 2005).

Saat ini biji yang dianjurkan untuk batang bawah berasal dari klon GT 1,

AVROS 2037, BPM 24 dan PB 260. Tanaman untuk batang bawah ditanam 1-1,5 tahun sebelum okulasi dan garis tengah batang bawah harus sudah mencapai

2 cm (Balit Sembawa, 2009).

Pemupukan diberikan tiap tiga bulan sekali dengan dosis pemupukan yang dianjurkan untuk tanaman batang bawah yang berasal dari biji yaitu dengan dosis pemupukan 5 gram ZA (2,5 gram Urea)+3 gram TSP+2 gram ZK/KCI per tanaman (Semoiraya, 2010).

Batang Atas

Batang atas untuk perkebunan haruslah menggunakan klon-klon anjuran. Diantaranya yaitu GT 1 dan AVROS 2037. Pemilihan batang atas harus jelas diketahui asalnya, karena dari batang atas inilah akan diperoleh sadapan yang baik (Marsono dan Sigit, 2005).

Untuk mendapatkan bahan tanam hasil okulasi yang baik diperlukan entres yang baik, Pada dasarnya mata okulasi dapat diambil dari dua sumber, yaitu dari entres cabang kebun entres dan entres dari kebun produksi. Dari dua macam sumber mata okulasi ini sebaiknya dipilih entres dari kebun entres murni, karena kelemahan diantaranya entres cabang dari kebun entres akan menghasilkan tanaman yang pertumbuhannya tidak seragam, mudah terserang hama dan penyakit, membutuhkan jumlah air yang banyak dan keberhasilan okulasinya


(15)

rendah. Mata entres dari kebun entres murni lebih baik karena akan menghasilkan tanaman yang seragam (Anwar, 2006).

Pemupukan tanaman bahan okulasi bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan kayu okulasi yang baik, yang memiliki jumlah mata tunas yang

banyak untuk tiap satuan panjang kayu bahan okulasi (entres).

Pemupukan diberikan tiap tiga bulan sekali dengan dosis pemupukan yang dianjurkan adalah: Tahun pertama; 20 gram ZA (10 gram Urea)+ 10 gram TSP+10 gram ZK (10 gram KCI) per pohon. Tahun kedua; 30 gram ZA (15 gram Urea)+15 gram TSP+15 gram ZK (15 g KCI) per pohon (Semoiraya, 2010).

Okulasi

Okulasi adalah salah satu perbanyakan tanaman secara vegetatif yaitu dengan menempelkan mata tunas dari tanaman batang atas ke tanaman batang bawah yang keduanya memiliki sifat unggul. Dengan cara ini akan terjadi penggabungan sifat-sifat baik dari kedua tanaman tersebut dalam waktu yang relatif pendek dan dapat memperlihatkan pertumbuhan yang seragam. Tujuan

utama pembuatan bibit okulasi adalah untuk meningkatkan hasil produksi (Marsono dan Sigit, 2005).

Dalam budidaya karet ada dikenal 3 macam teknik okulasi yaitu okulasi dini, okulasi hijau dan okulasi cokelat. Pada dasarnya prinsip okulasi relatif sama, yang berbeda adalah umur batang bawah dan batang atas yang digunakan. Kebaikan yang diharapkan dari batang bawah secara umum adalah sifat perakarannya yang baik (Sianturi, 2001).


(16)

Jenis okulasi yang digunakan banyak perkebunan yaitu okulasi cokelat. Pada okulasi coklat umur batang bawah yang digunakan adalah yang sudah berumur 8-18 bulan di pembibitan atau berdiameter mencapai 2 cm dan berwarna coklat. Ada juga beberapa perkebunan yang menetapkan diameter batang 1,8 cm. Batang atas yang digunakan pada teknik okulasi coklat adalah yang berasal dari kebun entres yang berwarna hijau kecoklatan sampai coklat, berbatang lurus, dan bermata tunas dalam keadaan tidur pada saat pemotongan. Pemotongan ini biasanya dilakukan 10 hari sebelum okulasi dan dimaksudkan agar tangkai daun gugur sehingga diperoleh mata tunas yang lebih banyak (Sianturi, 2001).

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan okulasi yaitu keterampilan, kebersihan dan kecepatan mengokulasi, kompatibilitas antara batang atas dengan batang bawah, pemilihan entres dan kayu okulasi yang lurus dengan mata tunas yang masih dorman dan keadaan iklim. Pada musim kemarau tanaman karet mengalami gugur daun sehingga kurang baik untuk melakukan okulasi karena adanya gangguan fisiologis. Sebaiknya dilakukan pada awal atau akhir musim penghujan. Jika pada musim penghujan, air dapat meresap pada luka okulasi yang dapat mengakibatkan busuk (Sianturi, 2001).

Bibit stum mata tidur karet diperoleh dari bibit okulasi yang tumbuh di pembibitan selama kurang dari 2 bulan setelah pemotongan. Bibit yang terbentuk berakar tunggang satu. Agar penyerapan unsur hara lebih optimal, sebelum penanaman dilakukan pemotongan akar tunggang hingga 35 cm dan akar lateralnya hanya 5 cm. Bibit stum mata tidur merupakan bibit yang mata tunasnya belum tumbuh (Setiawan dan Andoko, 2000).


(17)

Pemeliharaan tanaman bahan okulasi adalah penyiangan, penggemburan tanah, dan yang terpenting adalah pemupukan. Dosis pemupukan tanaman karet berbeda untuk setiap jenis tanah dan umur tanamannya. Pemupukan diberikan tiap

6 bulan sekali dengan dosis pemupukan yang dianjurkan yaitu tahun pertama; 20 gram Urea+30 gram TSP+15 gram ZK (15 gram KCI) per pohon. Tahun

kedua; 65 gram Urea+80 gram TSP+40 gram ZK (40 gram KCI) per pohon (LIPTAN, 2010).

Tanah Ultisol

Ultisol merupakan salah satu jenis tanah di Indonesia yang mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia. Sebaran terluas terdapat di Kalimantan (21.938.000 ha), diikuti di

Sumatera (9.469.000 ha), Maluku dan Papua (8.859.000 ha), Sulawesi (4.303.000 ha), Jawa (1.172.000 ha) dan Nusa Tenggara (53.000 ha).

Tanah ini dapat dijumpai pada berbagai relief, mulai dari datar hingga bergunung. Pada umumnya Ultisol berwarna kuning kecoklatan hingga merah kecokelatan dan memiliki kemasaman tanah sekitar 3,5-5.5. Kesuburan alami tanah Ultisol umumnya mengandung bahan organik yang rendah. Unsur hara makro seperti

fosfor dan kalium yang sering kahat, reaksi tanah masam hingga

sangat masam sehingga sering menghambat pertumbuhan tanaman (Prasetyo dan Suriadikarta, 2006).

Ultisol merupakan salah satu tanah mineral masam yang tergolong marginal dan terdapat sangat luas di Sumatera Selatan, yaitu sekitar 2,973 juta hektar. Pada tanah ini sering kali menghadapi kendala, seperti pH yang rendah,


(18)

kekahatan unsur-unsur hara utama tanaman, seperti N, P, K, Ca, dan Mg, serta kekahatan Mo, dan tingginya kandungan unsur Al, Mn, dan Fe, serta rendahnya kandungan bahan organik tanah (Hermawan, 2002).

Untuk meningkatkan produktivitas Ultisol, dapat dilakukan melalui pemupukan, penambahan bahan organik, penerapan tehnik budidaya tanaman tumpang sari, terasering, drainase dan pengolahan tanah yang seminim mungkin (Hakim, 1986).

Limbah Padat (Sludge)

Limbah padat adalah hasil buangan industri berupa padatan lumpur yang berasal dari sisa proses pengolahan. Limbah ini dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu limbah padat yang dapat didaur ulang, seperti plastik, tekstil, potongan logam dan kedua yaitu limbah padat yang tidak punya nilai ekonomis (Rahayu, 2009).

Pabrik minyak kelapa sawit (PMKS) merupakan industri yang erat dengan residu pengolahan. Limbah cair PMKS merupakan sumber pencemaran yang potensial bagi manusia dan lingkungan, sehingga pabrik dituntut untuk mengolah limbah melalui pendekatan teknologi pengolahan limbah (end of the pipe)

(Wardhanu, 2009).

Limbah padat yang berasal dari pengolahan limbah cair berupa lumpur aktif yang terbawa oleh hasil pengolahan air limbah. Kandungan unsur hara yang berasal dari limbah kelapa sawit sekitar 0,4% (N), 0,029% sampai 0,05% (P2O5), 0,15% sampai 0,2% (K2O). Dalam 1 ha areal pertanaman kelapa sawit akan dihasilkan limbah sekitar 22 ton limbah pelepah kelapa sawit sedangkan dari


(19)

limbah Tandan Kosong Sawit (TKS) dihasilkan 6,75 ton limbah TKS (Forum Komunikasi PBT, 2010).

Limbah padat pabrik kelapa sawit, diantaranya berupa limbah lumpur (sering disebut dengan istilah sludge) pabrik kelapa sawit (PKS) dan abu janjang kosong kelapa sawit. Limbah lumpur PKS dihasilkan dari proses pengolahan kelapa sawit. Limbah ini diketahui merupakan bahan organik dengan kandungan serat dan lignoselulosa yang cukup tinggi. Sludge ini mengandung protein (14,16%), serat kasar (25,30%), dan lemak kasar (13,23%). Selain itu, kandungan N-total, P-tersedia, dan K-dd limbah lumpur ini cukup tinggi, yaitu berturut-turut 3,09 %, 240 µ g g , dan 2,37 Cmol(+)/kg, dengan pH yang rendah (pH 4,88) (Hermawan, 2002).

Ada beberapa kandungan atau senyawa yang terkandung dalam padatan sludge. Pada sludge yang baru diambil, kandungan nitrogen paling tinggi dan yang paling rendah adalah senyawa MgO. Setelah dikeringkan selama 1 bulan, senyawa nitrogen semakin tinggi dan yang paling rendah adalah senyawa K2O (Hakimuddin, 2009). Bahan organik ini akan memberi pengaruh terhadap sifat fisik dan kimia serta biologi tanah. Bahan organik ini juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur P. Hal ini disebabkan karena bahan organik dapat memasok proton dan terbentuknya senyawa compleks Ca dan anion organik yang dapat mencegah peningkatan ph pada permukaan tanah. Bahan organik memiliki peranan kimia di dalam menyediakan nitrogen, fosfor, kalium, magnesium dan sulfur bagi tanaman (Sarief, 1985).

Peranan unsur nitrogen (N) bagi tanaman adalah untuk merangsang pertumbuhan secara keseluruhan, khususnya batang, cabang, dan daun. Selain itu,


(20)

nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan hijau daun yang sangat berguna dalam proses fotosintesis serta pembentukan protein dan lemak. Peran unsur kalium juga dapat membantu pembentukan protein dan karbohidrat. Kalium pun berperan dalam memperkuat tubuh tanaman agar daun, bunga, dan buah tidak mudah gugur dab juga merupakan sumber kekuatan bagi tanaman dalam menghadapi kekeringan dan penyakit. Magnesium di dalam sludge juga berfungsi sebagai transportasi fosfat dalam tanaman serta pembentukan inti klorofil untuk fotosintesis dan pembentukan buah (Daniely, 2008). Hasil analisis padatan sludge dapat dilihat pada Tabel. 1.

Tabel. 1 Analisis Padatan (Sludge) Tanpa Pemanasan di Kebun Dolok Sinumbah.

Kandungan/senyawa Sludge Baru (mg/100 g) Sludge Umur 1 Bulan (mg/100 g) Nitrogen 2.770,00 3.400,00

P2O5 874,02 338,25 K2O 897,43 285,05 MgO 356,33 329,72 CaO 1.681,48 664,42 (Hakimuddin, 2009).

Limbar cair kelapa sawit sebelum menjadi padat juga mengandung beberapa komposisi kimia. Beberapa unsur yang dibutuhkan tanaman juga terdapat dalam limbah cair ini. Hasil analisis limbah cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit dapat dilihat pada Tabel. 2.


(21)

Tabel.2 Komposisi Kimia Limbah Cair PMKS.

(Naibaho, 1998).

Pupuk Fosfat

Pupuk adalah suatu bahan yang digunakan untuk mengubah sifat fisik, kimia atau biologi tanah sehingga menjadi lebih baik bagi pertumbuhan tanaman. Pemupukan adalah penambahan bahan organik atau anorganik ke dalam tanah agar tanah dan tanaman menjadi subur. Usaha pertanian yang dilakukan oleh manusia menyebabkan proses pencucian unsur hara dari tanah semakin besar sehingga tanah menjadi kurang subur. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemupukan adalah tanaman yang akan dipupuk, jenis tanah yang akan dipupuk, jenis pupuk yang digunakan, dosis pupuk yang diberikan, waktu pemupukan dan cara pemupukan (Huda, 2007).

Tanaman karet memerlukan unsur hara P untuk proses pertumbuhannya. Rendahnya ketersediaan hara dalam tanah dapat mengakibatkan proses-proses metabolisme dalam sel tanaman tidak dapat berlangsung dengan baik, dengan demikian tanaman akan terhambat pertumbuhannya. Unsur P sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman, hal ini disebabkan P banyak

Komponen % Berat Kering

Ekstrak dengan ether 31.60

Protein (N x 6,25) 8.20

Serat 11.90

Ekstrak tanpa N 34.20

Abu 14.10

P 0.24

K 0.99

Ca 0.97

Mg 0.30

Na 0.08


(22)

terdapat di dalam sel tanaman. P juga menstimulir pertumbuhan perakaran tanaman, terutama bulu-bulu akar. Selain itu, tanaman yang dipupuk P akan lebih tahan terhadap serangan penyakit. Kekurangan P pada tanaman muda atau bibit, mengakibatkan pertumbuhan akar agak terhambat demikian juga penyerapan hara menjadi terhambat (My Adenium, 2006).

Pupuk fosfat yang diserap oleh tanaman berbentuk ion H2PO4 atau ion (HPO4)2- . Jenis ion yang diserap tanaman tergantung pada pH tanah, pupuk dan tanaman, yang mempunyai ketersediaan tinggi pada pH 5,5 – 7,0. Kepekatan H2PO4 yang tinggi dalam larutan memungkinkan tanaman mengangkutnya dalam takaran besar. Kandungan unsur fosfat pada pupuk yang ada dijual di pasar yaitu :

- Superfosfat Tunggal (ES) mengandung 18 sampai 19 persen P2O5 - Superfosfat Rangkap (DS) mengandung lebih kurang 36 persen P2O5 - Superfosfat Triple (TSP) mengandung lebih kurang 48 persen P2O5. (Hasibuan, 2006).

Fosfor terdapat dalam bentuk phitin, nuklein dan fosfatide yang merupakan bagian protoplasma dan inti sel. Fosfor ini sangat penting dalam pembelahan sel serta perkembangan jaringan meristem. Unsur ini diserap dalam bentuk ion H2PO4- dan HPO42-. Secara umum fungsi fosfor pada tanaman adalah dapat mempercepat pertumbuhan akar semai, mempercepat serta memperkuat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa secara umum, mempercepat pembungaan dan pemasakan buah, biji atau gabah dan dapat meningkatkan produksi biji-bijian (Sutedjo, 2002).


(23)

Fosfor terpencar-pencar dalam tubuh tanaman, semua inti mengandung fosfor sebagai senyawa-senyawa fosfat dalam sitoplasma dan membran sel. Bagian tanaman seperti daun-daun bunga, tangkai sari, kepala sari, butir tepung sari serta bakal biji mengandung fosfor, sehingga diperlukan unsur P yang banyak untuk pembentukan bagian-bagian tersebut (Sutedjo, 2002).

Tanaman mengambil P sangat sedikit yaitu ± 20% dari yang diberikan. Cara mengurangi fiksasi P dalam tanah dapat dilakukan diantaranya mengatur pH yaitu dengan pengapuran, pemberian bahan organik, pemberian bahan organik ini akan menghasilkan anion dan kation yang akan mengurangi fiksasi, mengurangi kontak langsung antara pupuk dengan tanah dan pengeringan tanah agar mempercepat penguraian P-organik menjadi P tersedia (Sutedjo, 2002).

Unsur ini diserap dalam bentuk ion H2PO4- , HPO42- dan PO4-. Diantara ke-3 ion ini yang lebih mudah diserap adalah ion H2PO4 karena bermuatan satu (valensi satu) sehingga tanaman hanya membutuhkan sedikit energi untuk menyerapnya. Esensialitas dari unsur ini adalah:

1. Membentuk senyawa ATP yaitu senyawa berenergi tinggi yang dihasilkan dalam proses respirasi siklus kreb sehingga tanaman dapat melakukan semua aktifitas biokimianya seperti pembungaan, pembentukan sel, transpirasi, transportasi dan fotosintesis.

2. Membentuk senyawa fitin (Ca-Mg-inositol-6P) yang terdapat dalam biji tepatnya dalam endosperm untuk proses perkecambahan.

3. Membentuk DNA dan RNA untuk pembentukan inti sel. DNA Nukleotida untuk pembentukan inti sel terdiri dari adenin, guanin deoxsiribosa, timin


(24)

fosfat dan sitosin. Sedangkan RNA nukleotida terdiri dari adenin, guanin ribosafosfat, timin dan urasil.

4. Membentuk senyawa fosfolipid yang berfungsi dalam mengatur masuk keluarnya (permeabilitas) zat-zat makanan didalam sel dan merupakan bahan dasar dari bagian sel.

(Smith dkk, 2002).

Fosfat (P) bagi tanaman berguna untuk merangsang pertumbuhan akar, khususnya akar benih dan tanaman muda. Selain itu, fosfat berfungsi membantu proses asimilasi dan pernapasan serta mempercepat pembungaan, pemasakan biji dan buah (Daniely, 2008).

Pupuk fospat yang larut dalam air seperti pupuk superfosfat bila ditambah kedalam tanah tidak semua fosfat dari pupuk tersebut dapat diserap oleh akar tanaman sebagian dari pupuk tersebut berubah menjadi senyawa yang tidak larut sehingga tidak dapat digunakan oleh tanaman. Proses ini disebut retensi fosfat atau fiksasi fosfat. Pada prinsipnya pupuk P yang diberikan pada tanah dipengaruhi oleh kemasaman tanah. Makin tinggi tingkat kemasaman tanah, ketersediaan P dari pupuk yang diberikan akan menurun (Hasibuan, 2008).


(25)

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lahan penelitian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat ± 25 meter di atas permukaan laut. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Maret 2011 sampai dengan Juli 2011.

Bahan Dan Alat Penelitian

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah stum okulasi mata tidur karet jenis okulasi cokelat klon PB 260 sebagai objek penelitian, pupuk Urea dengan dosis 20 gram per tanaman dan KCl dengan dosis 15 gram per tanaman sebagai pupuk dasar, topsoil ultisol dan limbah padat kelapa sawit (sludge) sebagai media tanam, kertas label, polibag dengan ukuran 50 cm x 20 cm, bambu sebagai pagar, insektisida Lebaycid 500 EC dan Fungisida Dithane M-45.

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, garu, gembor, ember, meteran, handsprayer, knepsek, kalkulator, tali rafia, gunting, pisau, bambu, terpal, saringan pasir dan alat tulis.


(26)

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan 2 faktor perlakuan yaitu :

Faktor I yaitu Media Tanam (M) dengan 4 taraf : M0 : Topsoil Ultisol (8 kg)

M1 : Topsoil Ultisol (6 kg) + Sludge (2 kg) M2 : Topsoil Ultisol (4 kg) + Sludge (4 kg) M3 : Topsoil Ultisol (2 kg) + Sludge (6 kg) Faktor II yaitu Pupuk Fosfat (TSP) dengan 4 taraf :

P0 : 0 g / Tanaman P1 : 15 g / Tanaman P2 : 30 g / Tanaman P3 : 45 g / Tanaman

Maka diperoleh 16 kombinasi perlakuan sebagai berikut :

M0P0 M1P0 M2P0 M3P0

M0P1 M1P1 M2P1 M3P1

M0P2 M1P2 M2P2 M3P2

M0P3 M1P3 M2P3 M3P3

Jumlah Ulangan : 3 ulangan

Jumlah Plot : 48

Jumlah Stum Per Plot : 8

Jumlah Stum Sampel Per Plot : 4 Jumlah Stum Sampel Seluruhnya : 192


(27)

Jumlah Stum Seluruhnya : 384

Jarak Antar Polibag : 20 cm

Jarak Antar Blok : 50 cm

Jarak Antar Plot : 30 cm

Ukuran Plot : 180 cm x 120 cm

Dari hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan sidik ragam berdasarkan model linier sebagai berikut :

Yijk = µ + ρi + αj + βk + (αβ)jk + εijk

Dimana :

Yijk : Hasil pengamatan dari blok ke-i dengan media tanam pada j dan pupuk fosfat pada k

µ : Nilai tengah

ρi : Efek blok ke-i

αj : Pengaruh media tanam pada j

βk : Pengaruh pemberian pupuk fosfat pada k

(αβ)jk : Efek interaksi media tanam pada j dan pemberian pupuk fosfat pada k Eijk : Efek galat pada blok ke-i yang mempunyai media tanam pada j dan

pemberian pupuk fosfat pada k

Data hasil penelitian pada perlakuan yang berpengaruh nyata dilanjutkan dengan uji beda rataan yaitu uji DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5% (Steel dan Torrie, 1995).


(28)

PELAKSANAAN PENELITIAN

Persiapan Lahan

Lahan yang digunakan untuk penelitian terlebih dahulu harus dibersihkan dari kotoran-kotoran, gulma, batu-batu kerikil dan sampah-sampah lainnya. Kemudian dilakukan pembuatan plot penelitian dengan ukuran 180 x 100 cm dengan jarak antar plot 30 cm dan jarak antar blok 50 cm.

Persiapan Media Tanam

Media tanam yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari Topsoil

Ultisol, limbah padat kelapa sawit dan pupuk dasar yaitu Urea dengan dosis 20 gram per tanaman dan KCl 15 gram per tanaman dalam sekali aplikasi. Topsoil

Ultisol dan limbah padat kelapa sawit terlebih dahulu dikering anginkan. Kemudian Topsoil Ultisol dan limbah padat diayak untuk dibersihkan dari sisa tanaman dan kotoran. Kemudian media tanam dicampur merata sesuai taraf perlakuan lalu dimasukkan ke dalam polibag dengan diameter 20 cm dan tinggi 50 cm hingga ¾ dari polibag.

Persiapan Bahan Tanaman

Bahan tanaman yang digunakan adalah stum karet yang diperoleh dari PT. Bridgestone Sumatera Rubber Estate di Dolok Merangir, Kabupaten Simalungun. Stum dipilih yang baik dan seragam penampilannya serta memiliki keseragaman besar batang, tinggi mata okulasi dan kondisi perakaran baik. Stum


(29)

yang diambil berbatang lurus, sehat, mempunyai mata okulasi yang berwarna hijau dengan panjang batang ±30 cm. Pengambilan stum dilakukan pada sore hari.

Aplikasi Pupuk Fosfat (TSP)

Aplikasi pupuk fosfat (TSP) dilakukan setelah stum ditanam di polibag. Adapun cara pemberiannya adalah dengan cara membuat lubang di atas permukaan tanah polibag sedalam ± 3 cm lalu pupuk dimasukkan ke dalam lubang tersebut kemudian ditutup kembali dengan tanah. Pupuk fosfat diberikan sepertiga dari taraf perlakuan sebanyak 3 kali selama penelitian.

Penanaman Stum Mata Tidur Karet

Stum yang digunakan memiliki panjang akar tunggang 30 cm dengan diameter batang 1,8-2,5 cm. Jumlah stum per polibag sebanyak 1 batang, penanaman stum dilakukan pada sore hari. Sebelum ditanam, terlebih dahulu stum direndam dengan larutan Rootone-f 500 ppm selama 15 menit. Penanaman dilakukan dengan menanam stum secara tegak tepat di tengah polibag. Stum yang terbenam dalam media yaitu sampai leher akar. Kemudian stum di siram dengan air hingga kapasitas lapang.

Pemeliharaan Tanaman

Penyiraman

Penyiraman dilakukan setiap hari yaitu pagi dan sore hari secara merata pada seluruh tanaman dengan menggunakan gembor dan air bersih, dan jika


(30)

terjadi hujan maka penyiraman tidak dilakukan dan penyiraman berikutnya dilanjutkan pada esok hari jika tidak terjadi hujan.

Penyulaman

Penyulaman dilakukan untuk mengganti tanaman yang rusak akibat hama, penyakit ataupun kerusakan mekanis lainnya. Bahan cadangan disisipkan di pinggir lahan percobaan. Bahan cadangan disediakan 10% dari jumlah tanaman seluruhnya. Batas waktu penyulaman adalah 2 minggu setelah tanam. Pada saat penelitian penyulaman dilakukan karena ada beberapa tanaman yang rusak akibat hama dan patah akibat angin kencang.

Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama dilakukan dengan metode manual dan kimia. Sedangkan pengendalian penyakit dilakukan dengan metode kimia. Secara kimia menggunakan insektisida Lebaycid 500 EC untuk mengendalikan serangan hama dan fungisida Dithane M-45 dan curater untuk mengendalikan penyakit, dengan konsentrasi 2-3 gram/liter air. Pengendalian hama dan penyakit selama penelitian dilakukan 2 kali pada tanaman yang rusak akibat serangan hama dan penyakit yaitu pada 12 dan 18 MST.

Penyiangan

Penyiangan dilakukan setiap minggu pada sore hari di areal penelitian. Penyiangan di lakukan secara manual untuk gulma yang terdapat dalam polibag, sedangkan yang berada di luar polibag di bersihkan dengan menggunakan cangkul.


(31)

Parameter Yang Diamati

Kecepatan Mata Stum Melentis

Kecepatan keluarnya tunas diamati dengan menghitung mata tunas yang melentis setiap hari sejak tanam hingga 3 minggu setelah tanam. Adapun ciri-ciri tunas mata melentis adalah mata tunas okulasi membengkak dan berwarna hijau. Kecepatan mata stum melentis =

N = jumlah stum yang melentis pada satuan waktu tertentu. T = jumlah waktu melentis (21 hari)

Persentase Stum Bertunas (%)

Persentase stum bertunas dihitung setiap minggunya hingga 3 minggu setelah tanam yaitu dengan menghitung stum sampel yang bertunas dibagi jumlah stum sampel pada masing-masing plot dikali 100%.

Persentase stum bertunas =

Tinggi Tunas (cm)

Tinggi tunas diukur dari pangkal tunas okulasi hingga titik tumbuh dengan menggunakan meteran sebagai alat ukur. Pengukuran dimulai sejak 3 minggu Jumlah stum sampel yang bertunas

Jumlah stum sampel tiap plot

x 100% N1T1+ N2T2 + . . . . + N21T21


(32)

setelah tanam (3 MST) dengan interval 2 minggu sekali sampai dengan 17 minggu setelah tanam.

Lilit Batang Tunas (cm)

Lilit batang tunas diukur pada pangkal tunas. Tunas yang diukur adalah tunas yang sama dengan tunas yang diukur pada panjang tunas, dengan menggunakan benang dan dilakukan sejak 3 minggu setelah tanam dengan interval 2 minggu sekali sampai dengan 17 minggu setelah tanam.

Jumlah Daun (helai)

Jumlah daun yang dihitung adalah daun yang sudah membuka sempurna dan dilakukan setelah 3 minggu setelah tanam dengan interval 2 minggu sekali sampai dengan 17 minggu setelah tanam.

Persentase Stum Berpayung Satu (%)

Stum yang berpayung satu dihitung setelah 15 MST. Adapun rumus perhitungannya sebagai berikut:

Persentase stum berpayung satu =

Persentase Stum Berpayung Dua (%)

Stum yang berpayung dua dihitung pada akhir pengamatan yaitu 17 MST. Adapun rumus perhitungannya sebagai berikut:

Persentase stum berpayung dua = Jumlah stum payung satu Jumlah stum tiap plot

x 100%

Jumlah stum payung dua Jumlah stum tiap plot


(33)

Bobot Basah Tajuk (g)

Berat basah tajuk dihitung pada pengamatan terakhir. Tajuk dipotong sampai pangkal tunas pada pertautan okulasi kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik.

Bobot Kering Tajuk (g)

Setelah selesai kemudian dimasukkan ke dalam kertas amplop dan diovenkan pada suhu 60° selama 48 jam lalu ditimbang. Pengeringan berakhir apabila bobot keringnya sudah tetap.

Bobot Basah Akar (g)

Berat basah akar dihitung pada pengamatan terakhir. Akar dipotong sampai leher akar kemudian dibersihkan dengan air hingga bersih lalu ditiriskan, kemudian ditimbang.

Bobot Kering Akar (g)

Setelah selesai kemudian dimasukkan ke dalam kertas amplop lalu diovenkan pada suhu 60° selama 48 jam lalu ditimbang. Pengeringan berakhir apabila bobot keringnya sudah tetap.


(34)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kecepatan Mata Stum Melentis

Data hasil pengamatan dan sidik ragam kecepatan mata stum melentis dapat dilihat pada Lampiran 8 dan 9, dimana perlakuan sludge kelapa sawit, perlakuan pupuk fosfat serta interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap kecepatan mata stum melentis pada 1-21 HST.

Rataan kecepatan mata stum melentis pada perlakuan sludge kelapa sawit dan pupuk fosfat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan kecepatan mata stum melentis pada berbagai perlakuan sludge kelapa sawit dan pemberian pupuk fosfat umur 1-21 HST.

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan berbeda tidak nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5%.

Berdasarkan Tabel 3. diketahui bahwa rataan kecepatan mata stum melentis dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M2 (18.15 hari) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P1 (18.41 hari) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

MediaTanam Ultisol:Sludge

Pupuk Fosfat

Rataan

P0 (0g) P1 (15g) P2 (30g) P3(45g)

M0 (4) 16.68 17.91 18.29 18.52 17.85

M1 (3:1) 17.73 18.76 17.14 18.01 17.91

M2 (1:1) 17.94 18.54 18.67 17.45 18.15

M3 (1:3) 17.79 18.44 17.69 18.10 18.00


(35)

Persentase Stum Bertunas (%)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam persentase stum bertunas 1, 2 dan 3 MST dapat dilihat pada Lampiran 10-15. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit, perlakuan pupuk fosfat serta interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap persentase stum bertunas pada 1, 2 dan 3 MST.

Rataan persentase stum bertunas pada perlakuan sludge kelapa sawit dan pupuk fosfat dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan persentase stum bertunas (%) pada berbagai perlakuan sludge kelapa sawit dan pemberian pupuk fosfat umur 1-3 MST.

2 MST

M0 (4) 20.83 12.50 29.17 20.83 20.83

M1 (3:1) 16.67 25.00 25.00 25.00 22.92

M2 (1:1) 29.17 16.67 25.00 20.83 22.92

M3 (1:3) 20.83 20.83 25.00 20.83 21.88

Rataan 21.88 18.75 26.04 21.88

3 MST

M0 (4) 87.50 79.17 83.33 75.00 81.25

M1 (3:1) 75.00 70.83 83.33 70.83 75.00

M2 (1:1) 70.83 79.17 91.67 79.17 80.21

M3 (1:3) 83.33 79.17 79.17 79.17 80.21

Rataan 79.17 77.08 84.38 76.04

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan berbeda tidak nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5%.

Media Tanam Ultisol:Sludge

Pupuk Fosfat

ataan

P0 (0g) P1 (15g) P2 (30g) P3(45g)

1 MST

M0 (4) 4.17 4.17 4.17 4.17 4.17

M1 (3:1) 4.17 4.17 4.17 4.17 4.17

M2 (1:1) 8.33 4.17 4.17 8.33 6.25

M3 (1:3) 4.17 4.17 4.17 4.17 4.17


(36)

Berdasarkan Tabel 4. diketahui pada 1 MST bahwa rataan persentase stum bertunas dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M2 (6.25%) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P0 dan P3 (5.21%) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan P1 dan P2.

Berdasarkan Tabel 4. diketahui pada 2 MST bahwa rataan persentase stum bertunas dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M1 dan M2 (22.92%) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P2 (26.04%) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 4. diketahui pada 3 MST bahwa rataan persentase stum bertunas dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M0 (81.25%) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P2 (84.38%) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Tinggi Tunas (cm)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam tinggi tunas 3, 5, 7, 9 dan 11 dapat dilihat pada Lampiran 16-25. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit, perlakuan pupuk fosfat serta interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tunas.

Data hasil pengamatan dan sidik ragam tinggi tunas 13, 15 dan 17 dapat dilihat pada Lampiran 26-31. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit berpengaruh nyata tetapi perlakuan pupuk fosfat


(37)

berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tunas, begitu juga dengan interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tunas.

Rataan tinggi tunas umur 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15 dan 17 MST pada perlakuan sludge kelapa sawit dan perlakuan pupuk fosfat dapat dilihat pada Tabel 5.


(38)

Tabel 5. Rataan tinggi tunas (cm) pada berbagai perlakuan sludge kelapa sawit dan pemberian pupuk fosfat umur 3-17 MST.

Media Tanam Ultisol:Sludge

Pupuk Fosfat

Rataan P0 (0g) P1 (15g) P2 (30g) P3(45g)

3 MST

M0 (4) 13.39 13.46 8.11 12.96 11.98

M1 (3:1) 8.11 10.73 9.80 12.85 10.37

M2 (1:1) 9.45 9.12 12.22 10.52 10.33

M3 (1:3) 11.34 12.17 12.48 10.41 11.60

Rataan 10.57 11.37 10.65 11.68

5 MST

M0 (4) 17.56 20.45 14.92 18.12 17.76

M1 (3:1) 13.69 15.38 16.68 18.88 16.16

M2 (1:1) 14.21 13.63 17.25 14.49 14.90

M3 (1:3) 14.66 16.72 18.70 17.96 17.01

Rataan 15.03 16.54 16.89 17.36

7 MST

M0 (4) 19.37 21.68 16.73 19.36 19.28

M1 (3:1) 15.74 17.02 17.82 19.54 17.53

M2 (1:1) 16.91 15.15 18.55 13.71 16.08

M3 (1:3) 16.57 18.28 17.78 19.41 18.01

Rataan 17.15 18.03 17.72 18.00

9 MST

M0 (4) 20.58 21.64 17.37 19.70 19.82

M1 (3:1) 16.52 17.97 18.01 20.05 18.14

M2 (1:1) 18.64 20.39 19.05 16.37 18.61

M3 (1:3) 19.30 19.58 19.42 19.63 19.48

Rataan 18.76 19.89 18.46 18.94

11 MST

M0 (4) 20.86 22.41 18.27 21.62 20.79

M1 (3:1) 18.41 19.28 20.40 21.42 19.88

M2 (1:1) 18.90 22.26 21.04 16.89 19.77

M3 (1:3) 20.75 20.57 19.73 20.71 20.44

Rataan 19.73 21.13 19.86 20.16

13 MST

M0 (4) 22.13 23.58 19.53 23.08 22.08b

M1 (3:1) 20.42 21.72 22.86 23.37 22.09b

M2 (1:1) 22.76 25.28 25.11 21.47 23.65a

M3 (1:3) 26.02 24.59 24.68 24.95 25.06a

Rataan 22.83 23.79 23.04 23.22

15 MST

M0 (4) 23.26 24.90 21.17 24.28 23.40c

M1 (3:1) 22.13 23.04 24.48 25.38 23.76bc

M2 (1:1) 24.87 27.13 27.35 24.29 25.91b

M3 (1:3) 29.32 28.91 29.11 29.59 29.23a

Rataan 24.89 26.00 25.53 25.89

17 MST

M0 (4) 25.65 26.75 23.21 25.68 25.32c

M1 (3:1) 25.28 25.10 27.09 28.17 26.41c

M2 (1:1) 27.79 29.53 30.28 28.43 29.01b

M3 (1:3) 31.28 31.34 32.03 31.93 31.65a

Rataan 27.50 28.18 28.15 28.55

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan berbeda tidak nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5%.


(39)

Berdasarkan Tabel 5. diketahui pada 3 MST bahwa rataan tinggi tunas dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M0 (11.98 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Tinggi tunas pada perlakuan fosfat yang tertinggi yaitu P3 (11.68 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 5. diketahui pada 5 MST bahwa rataan tinggi tunas dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M0 (17.76 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Tinggi tunas pada perlakuan fosfat yang tertinggi yaitu P3 (17.36 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 5. diketahui pada 7 MST bahwa rataan tinggi tunas dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M0 (19.28 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Tinggi tunas pada perlakuan fosfat yang tertinggi yaitu P1 (18.03 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 5. diketahui pada 9 MST bahwa rataan tinggi tunas dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M0 (19.82 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Tinggi tunas pada perlakuan fosfat yang tertinggi yaitu P1 (19.89 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 5. diketahui pada 11 MST bahwa rataan tinggi tunas dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M0 (20.78 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Tinggi tunas pada perlakuan


(40)

fosfat yang tertinggi yaitu P1 (21.13 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 5. diketahui pada 13 MST bahwa bahwa rataan tinggi tunas dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (25.06 cm) yang berbeda nyata dengan perlakuaan M0 dan M1 tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan M2. Tinggi tunas pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P1 (23.79 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Hubungan sludge kelapa sawit dengan tinggi tunas pada umur 13 MST dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Hubungan sludge kelapa sawit dengan tinggi tunas pada umur 13 MST.

Pada Gambar 1. pada 13 MST dapat dilihat bahwa pengaruh sludge kelapa sawit terhadap tinggi tunas menunjukkan hubungan linier positif.

Berdasarkan Tabel 5. diketahui pada 15 MST bahwa bahwa rataan tinggi tunas dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (29.23 cm) yang berbeda nyata dengan perlakuan M0, M1 dan M2. Tinggi tunas pada


(41)

perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P1 (26.00 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Hubungan sludge kelapa sawit dengan tinggi tunas pada umur 15 MST dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Hubungan sludge kelapa sawit dengan tinggi tunas pada umur 15 MST.

Gambar 2. pada 15 MST dapat dilihat bahwa pengaruh sludge kelapa sawit terhadap tinggi tunas menunjukkan hubungan linier positif.

Berdasarkan Tabel 5. diketahui pada 17 MST bahwa bahwa rataan tinggi tunas dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (31.65 cm) yang berbeda nyata dengan perlakuan M0, M1 dan M2. Tinggi tunas pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P3 (28.55 cm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.


(42)

Hubungan sludge kelapa sawit dengan tinggi tunas pada umur 17 MST dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Hubungan sludge kelapa sawit dengan tinggi tunas pada umur 17 MST.

Pada Gambar 3. pada 17 MST dapat dilihat bahwa pengaruh sludge kelapa sawit terhadap tinggi tunas menunjukkan hubungan linier positif.

Lilit Batang (mm)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam lilit batang 3, 5, 7, 9 dan 11 MST dapat dilihat pada Lampiran 32-41. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit, perlakuan pupuk fosfat serta interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap lilit batang.

Data hasil pengamatan dan sidik ragam lilit batang 13, 15 dan 17 MST dapat dilihat pada Lampiran 42-47. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit berpengaruh nyata tetapi perlakuan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap lilit batang, begitu juga dengan interaksi


(43)

perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap lilit batang.

Rataan lilit batang umur 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17 MST pada perlakuan sludge kelapa sawit dan perlakuan pupuk fosfat dapat dilihat pada Tabel 6.


(44)

Tabel 6. Rataan lilit batang (mm) pada berbagai perlakuan sludge kelapa sawit dan pemberian pupuk fosfat umur 3-17 MST.

Media Tanam Ultisol:Sludge

Pupuk Fosfat

Rataan

P0 (0g) P1 (15g) P2 (30g) P3(45g)

3 MST

M0 (4) 5.13 3.81 7.25 8.87 6.26

M1 (3:1) 6.20 8.21 6.85 7.53 7.20

M2 (1:1) 8.34 8.24 9.55 8.29 8.60

M3 (1:3) 8.94 7.76 8.24 8.68 8.41

Rataan 7.15 7.00 7.97 8.34

5 MST

M0 (4) 11.56 12.09 10.31 11.23 11.30

M1 (3:1) 9.52 11.07 9.86 11.42 10.47

M2 (1:1) 10.47 9.94 10.18 9.81 10.10

M3 (1:3) 10.60 10.05 11.22 10.88 10.69

Rataan 10.54 10.78 10.39 10.83

7 MST

M0 (4) 12.74 13.13 11.59 11.96 12.35

M1 (3:1) 10.55 12.22 11.20 12.61 11.64

M2 (1:1) 11.41 11.48 12.27 11.64 11.70

M3 (1:3) 12.27 11.48 12.22 12.53 12.12

Rataan 11.74 12.08 11.82 12.18

9 MST

M0 (4) 14.49 14.10 12.66 13.65 13.73

M1 (3:1) 11.80 13.81 12.53 13.58 12.93

M2 (1:1) 13.03 13.37 13.65 12.84 13.22

M3 (1:3) 13.47 13.39 12.92 13.28 13.27

Rataan 13.20 13.67 12.94 13.34

11 MST

M0 (4) 14.94 14.54 13.50 14.89 14.47

M1 (3:1) 12.69 14.57 13.34 14.49 13.77

M2 (1:1) 13.76 14.31 14.65 14.10 14.20

M3 (1:3) 14.47 12.59 13.71 14.21 13.74

Rataan 13.96 14.00 13.80 14.42

13 MST

M0 (4) 15.81 15.70 14.75 15.94 15.55d

M1 (3:1) 16.88 18.07 18.67 18.15 17.94c

M2 (1:1) 19.64 19.55 20.01 20.05 19.81b

M3 (1:3) 21.68 21.34 22.09 21.54 21.66a

Rataan 18.51 18.66 18.88 18.92

15 MST

M0 (4) 16.75 16.42 15.68 16.67 16.38c

M1 (3:1) 18.21 19.10 19.46 20.07 19.21b

M2 (1:1) 20.68 20.51 21.17 21.04 20.85b

M3 (1:3) 23.05 22.50 23.19 22.56 22.82a

Rataan 19.67 19.63 19.88 20.09

17 MST

M0 (4) 18.19 19.36 16.57 17.86 17.95d

M1 (3:1) 19.37 20.33 20.62 21.09 20.35c

M2 (1:1) 21.97 21.49 22.34 22.34 22.04b

M3 (1:3) 24.07 23.69 24.37 23.73 23.97a

Rataan 20.90 21.22 20.97 21.26

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan berbeda tidak nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5%.


(45)

Berdasarkan Tabel 6. diketahui pada 3 MST bahwa bahwa rataan lilit batang dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M2 (8.06 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Lilit batang pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P3 (8.34 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 6. diketahui pada 5 MST bahwa bahwa rataan lilit batang dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M0 (11.30 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Lilit batang pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P3 (10.83 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 6. diketahui pada 7 MST bahwa bahwa rataan lilit batang dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M0 (12.35 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Lilit batang pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P3 (12.18 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 6. diketahui pada 9 MST bahwa bahwa rataan lilit batang dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M0 (13.73 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Lilit batang pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P1 (13.67 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 6. diketahui pada 11 MST bahwa bahwa rataan lilit batang dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M0 (14.47 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Lilit batang pada


(46)

perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P3 (14.42 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 6. diketahui pada 13 MST bahwa bahwa rataan lilit batang dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (21.66 mm) yang berbeda nyata dengan perlakuan M0, M1 dan M2. Lilit batang pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P3 (18.92 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Hubungan sludge kelapa sawit dengan lilit batang pada umur 13 MST dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Hubungan sludge kelapa sawit dengan lilit batang pada umur 13 MST.

Pada Gambar 4. pada 13 MST dapat dilihat bahwa pengaruh sludge kelapa sawit terhadap lilit batang menunjukkan hubungan linier positif.

Berdasarkan Tabel 6. diketahui pada 15 MST bahwa bahwa rataan lilit batang dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (22.82 mm) yang berbeda nyata dengan perlakuan M0, M1 dan M2. Lilit batang pada perlakuan


(47)

pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P3 (20.09 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Hubungan sludge kelapa sawit dengan lilit batang pada umur 15 MST dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Hubungan sludge kelapa sawit dengan lilit batang pada umur 15 MST.

Pada Gambar 5. pada 15 MST dapat dilihat bahwa pengaruh sludge kelapa sawit terhadap lilit batang menunjukkan hubungan linier positif.

Berdasarkan Tabel 6. diketahui pada 17 MST bahwa bahwa rataan lilit batang dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (23.97 mm) yang berbeda nyata dengan perlakuan M0, M1 dan M2. Tinggi tunas pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P3 (21.26 mm) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.


(48)

Hubungan sludge kelapa sawit dengan lilit batang pada umur 17 MST dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Hubungan sludge kelapa sawit dengan lilit batang pada umur 17 MST.

Pada Gambar 6. pada 17 MST dapat dilihat bahwa pengaruh sludge kelapa sawit terhadap lilit batang menunjukkan hubungan linier positif.

Jumlah Daun (helai)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam jumlah daun 3, 5, 7, 9 dan 11 MST dapat dilihat pada Lampiran 48-57. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit, perlakuan pupuk fosfat serta interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun.

Data hasil pengamatan dan sidik ragam jumlah daun 13 MST dan 15 MST dapat dilihat pada Lampiran 58-61. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit berpengaruh nyata tetapi perlakuan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun, begitu juga dengan interaksi


(49)

perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun.

Data hasil pengamatan dan sidik ragam jumlah daun 17 MST dapat dilihat pada Lampiran 62 dan 63. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit berpengaruh nyata dan perlakuan pupuk fosfat berpengaruh nyata terhadap jumlah daun serta interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh nyata terhadap jumlah daun.

Rataan jumlah daun umur 3, 5, 7, 9, 11, 13, 15, 17 MST pada perlakuan sludge kelapa sawit dan perlakuan pupuk fosfat dapat dilihat pada Tabel 7.


(50)

Tabel 7. Rataan jumlah daun (helai) pada berbagai perlakuan sludge kelapa sawit dan pemberian pupuk fosfat umur 3-17 MST.

Media Tanam Ultisol:Sludge

Pupuk Fosfat

Rataan

P0 (0g) P1 (15g) P2 (30g) P3(45g)

3 MST

M0 (4) 1.58 2.25 1.25 1.67 1.69

M1 (3:1) 1.42 1.75 1.83 1.42 1.60

M2 (1:1) 2.17 1.42 1.58 1.58 1.69

M3 (1:3) 2.17 1.75 2.17 1.75 1.96

Rataan 1.83 1.79 1.71 1.60

5 MST

M0 (4) 3.00 4.92 3.75 3.42 3.77

M1 (3:1) 3.17 3.83 4.08 3.75 3.71

M2 (1:1) 4.58 3.25 3.67 2.83 3.58

M3 (1:3) 3.42 3.33 4.17 4.25 3.79

Rataan 3.54 3.83 3.92 3.56

7 MST

M0 (4) 6.83 7.08 6.83 7.75 7.13

M1 (3:1) 6.75 8.00 7.67 7.58 7.50

M2 (1:1) 8.00 6.50 7.42 5.67 6.90

M3 (1:3) 6.92 6.75 7.33 8.17 7.29

Rataan 7.13 7.08 7.31 7.29

9 MST

M0 (4) 7.50 7.67 7.33 8.75 7.81

M1 (3:1) 7.75 9.33 8.75 8.25 8.52

M2 (1:1) 9.00 8.58 8.17 6.50 8.06

M3 (1:3) 7.75 7.08 8.00 8.75 7.90

Rataan 8.00 8.17 8.06 8.06

11 MST

M0 (4) 7.83 9.00 8.33 9.67 8.71

M1 (3:1) 9.83 12.42 10.83 9.17 10.56

M2 (1:1) 9.17 10.83 10.92 9.50 10.10

M3 (1:3) 9.00 8.08 9.58 10.50 9.29

Rataan 8.96 10.08 9.92 9.71

13 MST

M0 (4) 8.67 10.08 10.00 11.17 9.98b

M1 (3:1) 13.00 14.50 13.92 12.42 13.46b

M2 (1:1) 13.08 15.08 13.58 13.42 13.79a

M3 (1:3) 14.17 14.00 15.25 16.08 14.88a

Rataan 12.23 13.42 13.19 13.27

15 MST

M0 (4) 10.42 11.33 11.92 12.67 11.58c

M1 (3:1) 14.83 15.83 15.58 14.42 15.17b

M2 (1:1) 16.00 16.67 15.25 15.00 15.73b

M3 (1:3) 16.33 16.75 17.17 17.58 16.96a

Rataan 14.40 15.15 14.98 14.92

17 MST

M0 (4) 12.83p 13.75no 14.42n 15.67m 14.17c

M1 (3:1) 17.33ijkl 18.83efghi 18.67efghij 17.42ijk 18.06b

M2 (1:1) 19.00efgh 20.00e 19.33ef 19.33efg 19.42b

M3 (1:3) 21.42ab 21.17abcd 21.33abc 22.25a 21.54a

Rataan 17.65b 18.44a 18.44a 18.67a

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan berbeda tidak nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5%.


(51)

Berdasarkan Tabel 7. diketahui pada 3 MST bahwa bahwa jumlah daun dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (1.96 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Jumlah daun pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P0 (1.83 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 7. diketahui pada 5 MST bahwa bahwa jumlah daun dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (3.79 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Jumlah daun pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P2 (3.92 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 7. diketahui pada 7 MST bahwa bahwa jumlah daun dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M1 (7.50 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Jumlah daun pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P2 (7.31 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 7. diketahui pada 9 MST bahwa bahwa jumlah daun dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M1 (8.52 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Jumlah daun pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P1 (8.17 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 7. diketahui pada 11 MST bahwa bahwa jumlah daun dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M1 (10.56 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Jumlah daun pada perlakuan


(52)

pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P1 (10.08 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Berdasarkan Tabel 7. diketahui pada 13 MST bahwa bahwa jumlah daun dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (14.88 helai) yang berbeda nyata dengan perlakuan M0 dan M1 tetapi berbeda tidak nyata dengan perlakuan M2. Jumlah daun pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P1 (13.42 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Hubungan sludge kelapa sawit dengan jumlah daun pada umur 13 MST dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Hubungan sludge kelapa sawit dengan jumlah daun pada umur 13 MST.

Pada Gambar 7. pada 13 MST dapat dilihat bahwa pengaruh sludge kelapa sawit terhadap jumlah daun menunjukkan hubungan kuadratik, dimana persentase sludge kelapa sawit optimum yaitu 65.5% dengan jumlah daun maksimum 14.46 helai.

Berdasarkan Tabel 7. diketahui pada 15 MST bahwa bahwa jumlah daun dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (16.96 helai) yang


(53)

berbeda nyata dengan perlakuan M0, M1 dan M2. Jumlah daun pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P1 (15.15 helai) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Hubungan sludge kelapa sawit dengan jumlah daun pada umur 15 MST dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hubungan sludge kelapa sawit dengan jumlah daun pada umur 15 MST.

Pada Gambar 8. pada 15 MST dapat dilihat bahwa pengaruh sludge kelapa sawit terhadap jumlah daun menunjukkan hubungan kuadratik, dimana persentase sludge kelapa sawit optimum yaitu 72% dengan jumlah daun maksimum 17 helai.

Berdasarkan Tabel 7. diketahui pada 17 MST bahwa bahwa jumlah daun dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (21.54 helai) yang berbeda nyata dengan perlakuan M0, M1 dan M2. Jumlah daun pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P3 (18.67 helai) yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan P1 dan P2 tetapi berbeda nyata dengan perlakuan P0.


(54)

Hubungan sludge kelapa sawit dengan jumlah daun pada umur 17 MST dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Hubungan sludge kelapa sawit dengan jumlah daun pada umur 17 MST.

Pada Gambar 9. pada 17 MST dapat dilihat bahwa pengaruh sludge kelapa sawit terhadap jumlah daun menunjukkan hubungan kuadratik, dimana persentase sludge kelapa sawit optimum yaitu 74% dengan jumlah daun maksimum 19.80 helai.


(55)

Hubungan pupuk fosfat dengan jumlah daun pada umur 17 MST dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Hubungan pupuk fosfat dengan jumlah daun pada umur 17 MST.

Pada Gambar 10. pada 17 MST dapat dilihat bahwa pengaruh pupuk fosfat terhadap jumlah daun menunjukkan linear positif.


(56)

Hubungan pupuk fosfat terhadap daun umur 17 MST pada berbagai taraf sludge kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Hubungan pupuk fosfat terhadap jumlah daun pada umur 17 MST pada berbagai taraf sludge kelapa sawit.

Pada Gambar 11. dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat terhadap jumlah daun tertinggi pada taraf kombinasi M3P3 (22.25 helai) dan yang terendah yaitu M0P0 (12.83 helai).


(57)

Hubungan sludge kelapa sawit terhadap jumlah daun umur 17 MST pada berbagai taraf pupuk fosfat dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Hubungan sludge kelapa sawit terhadap jumlah daun pada umur 17 MST pada berbagai taraf pupuk fosfat.

Pada Gambar 12. dapat dilihat bahwa interaksi perlakuan pupuk fosfat dengan sludge kelapa sawit terhadap jumlah daun tertinggi pada taraf kombinasi M3P3 (22.25 helai) dan yang terendah yaitu M0P0 (12.83 helai).

Persentase Stum Berpayung Satu (%)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam persentase stum berpayung satu dapat dilihat pada Lampiran 64 dan 65. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit, perlakuan pupuk fosfat serta interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap persentase stum berpayung satu.

Rataan persentase stum berpayung satu pada perlakuan sludge kelapa sawit dan perlakuan pupuk fosfat dapat dilihat pada Tabel 8.


(58)

Tabel 8. Rataan persentase stum berpayung satu (%) pada berbagai perlakuan sludge kelapa sawit dan pemberian pupuk fosfat.

Media Tanam Ultisol:Sludge

Pupuk Fosfat

Rataan P0 (0g) P1 (15g) P2 (30g) P3(45g)

M0 (4) 91.67 87.50 87.50 87.50 88.54

M1 (3:1) 91.67 83.33 91.67 83.33 87.50

M2 (1:1) 83.33 91.67 91.67 79.17 86.46

M3 (1:3) 83.33 83.33 79.17 87.50 83.33

Rataan 87.50 86.46 87.50 84.38

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan berbeda tidak nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5%.

Berdasarkan Tabel 8. diketahui bahwa bahwa persentase stum berpayung satu dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M0 (88.54%) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya. Persentase stum berpayung satu pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P1 (86.46%) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Persentase Stum Berpayung Dua (%)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam persentase stum berpayung dua dapat dilihat pada Lampiran 66 dan 67. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit berpengaruh nyata tetapi perlakuan pupuk fosfat serta interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap persentase stum berpayung dua.

Rataan persentase stum berpayung dua pada perlakuan sludge kelapa sawit dan perlakuan pupuk fosfat dapat dilihat pada Tabel 9.


(59)

Tabel 9. Rataan persentase stum berpayung dua (%) pada berbagai perlakuan sludge kelapa sawit dan pemberian pupuk fosfat.

Media Tanam Ultisol:Sludge

Pupuk Fosfat

Rataan P0 (0g) P1 (15g) P2 (30g) P3(45g)

M0 (4) 41.67 33.33 41.67 33.33 37.50b

M1 (3:1) 37.50 37.50 41.67 45.83 40.63b

M2 (1:1) 45.83 41.67 54.17 50.00 47.92a

M3 (1:3) 54.17 50.00 41.67 54.17 50.00a

Rataan 44.79 40.63 44.79 45.83

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan berbeda tidak nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5%.

Berdasarkan Tabel 9. diketahui bahwa bahwa persentase stum berpayung dua dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M3 (50.00%) yang berbeda nyata dengan perlakuan M0 dan M1 dan berbeda tidak nyata dengan perlakuan M2. Persentase stum berpayung dua pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P3 (45.83%) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.

Hubungan sludge kelapa sawit dengan persentase stum berpayung dua dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Hubungan sludge kelapa sawit dengan persentase stum berpayung dua.


(60)

Pada Gambar 13. pada persentase stum berpayung dua dapat dilihat bahwa pengaruh sludge kelapa sawit terhadap persentase stum berpayung dua menunjukkan hubungan linier positif.

Bobot Basah Tajuk (g)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam bobot basah tajuk dapat dilihat pada Lampiran 68 dan 69. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit berpengaruh nyata tetapi perlakuan pupuk fosfat serta interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap bobot basah tajuk.

Rataan bobot basah tajuk pada perlakuan sludge kelapa sawit dan perlakuan pupuk fosfat dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan bobot basah tajuk (g) pada berbagai perlakuan sludge kelapa sawit dan pemberian pupuk fosfat.

Media Tanam Ultisol:Sludge

Pupuk Fosfat

Rataan P0 (0g) P1 (15g) P2 (30g) P3(45g)

M0 (4) 17.93 20.80 19.36 18.60 19.17b

M1 (3:1) 21.72 23.11 21.46 19.82 21.53a

M2 (1:1) 20.99 26.97 27.45 20.39 23.95a

M3 (1:3) 26.72 23.33 21.28 22.77 23.53a

Rataan 21.84 23.55 22.39 20.40

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan berbeda tidak nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan taraf 5%.

Berdasarkan Tabel 10. diketahui bahwa bahwa bobot basah tajuk dengan perlakuan sludge kelapa sawit yang tertinggi yaitu M2 (23.95 g) yang berbeda tidak nyata dengan perlakuan M0, M1 dan M3. Bobot basah tajuk pada perlakuan pupuk fosfat yang tertinggi yaitu P1 (23.55 g) yang berbeda tidak nyata dengan taraf perlakuan lainnya.


(61)

Hubungan sludge kelapa sawit dengan bobot basah tajuk dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Hubungan sludge kelapa sawit dengan bobot basah tajuk.

Pada Gambar 14. pada bobot basah tajuk dapat dilihat bahwa pengaruh sludge kelapa sawit terhadap bobot basah tajuk menunjukkan hubungan linier positif.

Bobot Kering Tajuk (g)

Data hasil pengamatan dan sidik ragam bobot kering tajuk dapat dilihat pada Lampiran 70 dan 71. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan sludge kelapa sawit berpengaruh nyata tetapi perlakuan pupuk fosfat serta interaksi perlakuan sludge kelapa sawit dengan pupuk fosfat berpengaruh tidak nyata terhadap bobot kering tajuk.

Rataan bobot kering tajuk pada perlakuan sludge kelapa sawit dan perlakuan pupuk Fosfat dapat dilihat pada Tabel 11.


(1)

Lampiran 66. Data Stum Berpayung Dua (%)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

M0P0 50 37.5 37.5 125.00 41.67

M0P1 37.5 37.5 25 100.00 33.33

M0P2 37.5 50 37.5 125.00 41.67

M0P3 25 50 25 100.00 33.33

M1P0 50 37.5 25 112.50 37.50

M1P1 25 50 37.5 112.50 37.50

M1P2 50 50 25 125.00 41.67

M1P3 50 37.5 50 137.50 45.83

M2P0 50 25 62.5 137.50 45.83

M2P1 37.5 62.5 25 125.00 41.67

M2P2 62.5 50 50 162.50 54.17

M2P3 50 62.5 37.5 150.00 50.00

M3P0 62.5 50 50 162.50 54.17

M3P1 50 50 50 150.00 50.00

M3P2 50 37.5 37.5 125.00 41.67

M3P3 50 50 62.5 162.50 54.17

Lampiran 67. Sidik Ragam Stum Berpayung Dua

Sumber db JK KT F.hit F.05

Blok 2 416.67 208.33 1.71 tn 3.32

Perlakuan 15 2184.24 145.62 1.20 tn 1.99 M 3 1259.77 419.92 3.46 * 2.92 Linear 1 1203.78 1203.78 9.91 * 4.17

Kuadratik 1 3.26 3.26 0.03 tn 4.17

Sisa 1 52.73 52.73 0.43 tn 4.17

P 3 192.06 64.02 0.53 tn 2.92

Linear 1 31.90 31.90 0.26 tn 4.17

Kuadratik 1 81.38 81.38 0.67 tn 4.17

Sisa 1 78.78 78.78 0.65 tn 4.17

M x P 9 732.42 81.38 0.67 tn 2.21

Galat 30 3645.83 121.53

Total 47 6246.74

FK = 92972.01 KK = 25.05


(2)

Lampiran 68. Data Bobot Basah Tajuk (g)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

M0P0 15.40 18.30 20.10 53.80 17.93

M0P1 17.68 19.10 25.63 62.41 20.80

M0P2 14.28 22.09 21.70 58.08 19.36

M0P3 17.63 16.49 21.70 55.81 18.60

M1P0 19.13 25.30 20.73 65.15 21.72

M1P1 19.69 26.29 23.36 69.34 23.11

M1P2 18.77 20.76 24.86 64.39 21.46

M1P3 16.51 19.32 23.64 59.47 19.82

M2P0 21.09 20.72 21.18 62.98 20.99

M2P1 23.07 35.06 22.80 80.92 26.97

M2P2 23.99 28.41 29.97 82.36 27.45

M2P3 19.40 17.76 24.00 61.16 20.39

M3P0 20.94 33.98 25.23 80.15 26.72

M3P1 22.82 22.74 24.43 69.99 23.33

M3P2 14.90 21.54 27.42 63.85 21.28

M3P3 19.18 22.69 26.46 68.32 22.77

Lampiran 69. Sidik Ragam Bobot Basah Tajuk

Sumber db JK KT F.hit F.05

Blok 2 223.30 111.65 11.22 * 3.32

Perlakuan 15 378.05 25.20 2.53 * 1.99 M 3 172.05 57.35 5.76 * 2.92 Linear 1 143.75 143.75 14.45 * 4.17 Kuadratik 1 23.19 23.19 2.33 tn 4.17

Sisa 1 5.11 5.11 0.51 tn 4.17

P 3 61.86 20.62 2.07 tn 2.92

Linear 1 18.11 18.11 1.82 tn 4.17

Kuadratik 1 41.23 41.23 4.14 tn 4.17

Sisa 1 2.52 2.52 0.25 tn 4.17

M x P 9 144.14 16.02 1.61 tn 2.21

Galat 30 298.46 9.95

Total 47 899.82

FK = 23327.36 KK = 14.31


(3)

Lampiran 70. Data Bobot Kering Tajuk (g)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

M0P0 6.58 8.95 9.61 25.13 8.38

M0P1 5.76 7.86 8.35 21.97 7.32

M0P2 7.50 8.27 9.69 25.47 8.49

M0P3 7.04 7.34 11.35 25.73 8.58

M1P0 6.99 10.39 10.15 27.53 9.18

M1P1 7.53 9.07 10.94 27.54 9.18

M1P2 6.82 7.00 9.47 23.29 7.76

M1P3 7.04 9.51 8.84 25.39 8.46

M2P0 8.38 9.21 10.13 27.72 9.24

M2P1 6.41 11.14 12.55 30.10 10.03

M2P2 7.11 8.61 11.03 26.75 8.92

M2P3 7.84 10.56 10.40 28.80 9.60

M3P0 7.98 11.19 13.22 32.39 10.80

M3P1 9.13 9.23 11.75 30.10 10.03

M3P2 9.99 8.34 10.56 28.89 9.63

M3P3 6.69 10.08 11.08 27.85 9.28

Lampiran 71. Sidik Ragam Bobot Kering Tajuk

Sumber db JK KT F.hit F.05

Blok 2 79.54 39.77 39.15 * 3.32

Perlakuan 15 35.20 2.35 2.31 * 1.99

M 3 22.10 7.37 7.25 * 2.92

Linear 1 21.84 21.84 21.49 * 4.17

Kuadratik 1 0.00 0.00 0.00 tn 4.17

Sisa 1 0.26 0.26 0.26 tn 4.17

P 3 3.08 1.03 1.01 tn 2.92

Linear 1 1.72 1.72 1.69 tn 4.17

Kuadratik 1 0.86 0.86 0.85 tn 4.17

Sisa 1 0.50 0.50 0.49 tn 4.17

M x P 9 10.01 1.11 1.10 tn 2.21

Galat 30 30.48 1.02

Total 47 145.22

FK = 3935.21 KK = 11.13


(4)

Lampiran 72. Data Bobot Basah Akar (g)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

M0P0 18.67 21.14 22.92 62.72 20.91

M0P1 19.60 19.12 21.55 60.27 20.09

M0P2 21.02 18.31 26.04 65.36 21.79

M0P3 24.90 21.03 25.47 71.40 23.80

M1P0 21.24 24.41 25.82 71.47 23.82

M1P1 21.91 22.83 23.58 68.31 22.77

M1P2 24.64 19.75 23.66 68.05 22.68

M1P3 23.26 23.56 28.41 75.23 25.08

M2P0 21.36 21.69 22.85 65.90 21.97

M2P1 23.10 24.02 25.24 72.36 24.12

M2P2 25.59 28.36 22.77 76.71 25.57

M2P3 23.61 24.90 24.61 73.12 24.37

M3P0 26.00 23.37 25.37 74.73 24.91

M3P1 22.37 27.65 19.73 69.75 23.25

M3P2 27.36 27.80 25.56 80.72 26.91

M3P3 23.80 20.89 24.81 69.50 23.17

Lampiran 73. Sidik Ragam Bobot Basah Akar

Sumber db JK KT F.hit F.05

Blok 2 16.28 8.14 1.64 tn 3.32

Perlakuan 15 140.03 9.34 1.89 tn 1.99 M 3 57.73 19.24 3.89 * 2.92

Linear 1 50.29 50.29 10.16 * 4.17

Kuadratik 1 5.80 5.80 1.17 tn 4.17

Sisa 1 1.63 1.63 0.33 tn 4.17

P 3 25.72 8.57 1.73 tn 2.92

Linear 1 16.76 16.76 3.39 tn 4.17

Kuadratik 1 0.13 0.13 0.03 tn 4.17

Sisa 1 8.83 8.83 1.78 tn 4.17

M x P 9 56.58 6.29 1.27 tn 2.21

Galat 30 148.47 4.95

Total 47 304.78

FK = 26394.85 KK = 9.49


(5)

Lampiran 74. Data Bobot Kering Akar (g)

Perlakuan Blok Total Rataan

I II III

M0P0 8.95 9.64 9.61 28.20 9.40

M0P1 7.28 8.17 9.37 24.82 8.27

M0P2 7.33 8.19 9.74 25.27 8.42

M0P3 8.53 9.53 9.62 27.68 9.23

M1P0 5.67 8.40 11.39 25.46 8.49

M1P1 7.73 11.74 11.57 31.04 10.35

M1P2 9.81 8.77 10.70 29.28 9.76

M1P3 7.72 8.12 10.47 26.30 8.77

M2P0 8.36 9.95 11.02 29.33 9.78

M2P1 9.40 8.77 9.60 27.76 9.25

M2P2 9.10 8.34 11.00 28.44 9.48

M2P3 8.44 9.06 10.35 27.84 9.28

M3P0 8.89 9.61 12.03 30.52 10.17

M3P1 9.85 8.06 10.81 28.72 9.57

M3P2 9.86 9.69 11.14 30.69 10.23

M3P3 8.23 10.35 12.66 31.24 10.41

Lampiran 75. Sidik Ragam Bobot Kering Akar

Sumber db JK KT F.hit F.05

Blok 2 42.23 21.12 23.55 * 3.32

Perlakuan 15 21.10 1.41 1.57 tn 1.99

M 3 9.76 3.25 3.63 * 2.92

Linear 1 9.17 9.17 10.23 * 4.17

Kuadratik 1 0.06 0.06 0.07 tn 4.17

Sisa 1 0.53 0.53 0.59 tn 4.17

P 3 0.09 0.03 0.03 tn 2.92

Linear 1 0.00 0.00 0.00 tn 4.17

Kuadratik 1 0.01 0.01 0.01 tn 4.17

Sisa 1 0.08 0.08 0.09 tn 4.17

M x P 9 11.25 1.25 1.39 tn 2.21

Galat 30 26.90 0.90

Total 47 90.24

FK = 4267.03 KK = 10.04


(6)