17. Tidak terdapat interaksi antara KAM, pembelajaran dan level PT dalam
meningkatan KKM mahasiswa 18.
Meskipun peningkatan kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan penalaran matematis lebih baik untuk pembelajaran berbasis
masalah, tetapi capaian mahasiswa pada kedua kemampuan itu masih kurang dari 50 skor ideal. Kondisi ini merupakan dampak dari
kebiasaan mahasiswa yang hanya dihadapkan pada soal-soal yang bersifat rutin.
19. Peningkatan KE mahasiswa pada PT level tinggi, PT level sedang
maupun secara keseluruhan terkategori rendah baik yang belajar dengan PBL maupun yang belajar dengan PKV. Meskipun demikian
peningkatan ini secara statistik cukup berarti. 20.
Pada PT level tinggi dan PT level sedang tidak terdapat perbedaan yang berarti terhadap peningkatan KE mahasiswa yang belajar dengan PBL
maupun PKV. Tetapi secara keseluruhan peningkatan KE mahasiswa yang belajar dengan PBL lebih baik dibandingkan peningkatan KE
mahasiswa yang belajar dengan PKV.
B. Implikasi
Fokus dari penelitian ini adalah peningkatan kemampuan penalaran matematis, kemampuan komunikasi matematis, dan kecerdasan emosional
mahasiswa melalui pembelajaran berbasis masalah. Penalaran akan terjadi jika ada konflik kognitif dalam pikiran mahasiswa. Dalam pembelajaran berbasis
masalah konflik kognitif dapat terjadi ketika mahasiswa dihadapkan pada masalah diawal proses pembelajaran. Ketika dihadapkan pada masalah,mahasiswa dituntut
untuk melakukan beberapa langkah yaitu, 1 menggali semua informasi yang ada dalam masalah dengan menjawab pertanyaan tentang apa yang diketahui dalam
soal, apa yang diperlukan dan apa yang harus dilakukan; 2 membuat beberapa pertanyaan matematika yang mungkin untuk mengarahkan dalam menjawab
permasalahan; 3 membuat berbagai alternatif solusi berdasarkan pertanyaan matematika pada langkah sebelumnya; dan 4 memeriksa kembali dan
memutuskan untuk memilih jawaban yang paling tepat membuat kesimpulan atau refleksi.
Melalui konflik kognitif yang terjadi ketika dihadapkan pada masalah- masalah autentik, mahasiswa melakukan kebiasaan-kebiasaan berpikir matematis
yang terpola secara sistematis dan mengaitkan masalah yang akan diselesaikan dengan pengetahuan yang mereka miliki. Hal ini sesuai dengan pendapat Piaget
yang menyebutkan, pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi peserta didik membentuk pengetahuannya sendiri melalui proses asimilasi dan
akomodasi. Proses asimilasi terjadi apabila struktur pengetahuan baru dibentuk berdasarkan pengetahuan yang sudah ada. Hal ini terjadi dalam PBL ketika
mahasiswa dihadapkan pada masalah dan berusaha menggali informasi yang terkandung dalam masalah yang diberikan. Proses akomodasi merupakan proses
menerima pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pengetahuan lama yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan disequilibrium. Proses akomodasi
dalam PBL terjadi disaat masalah yang diberikan menimbulkan konflik yang
menuntut mahasiswa untuk berpikir secara individu. Pada proses ini, mahasiswa melakukan analisis, membandingkan, mencermati pola sehingga terjadi proses
internalisasi dalam diri mahasiswa yang menuntun mereka sampai pada pencapaian aktual batas kemampuan. Kegiatan-kegiatan ini dapat menumbuhkan
kemampuan penalaran mahasiswa. Ketika mereka sampai pada batas kemampuannya akan terjadi dialok,
diskusi dengan teman atau dengan dosen sampai ia mencapai keseimbangan. Untuk mencapai keseimbangan equilibrium, melalui kegiatan diskusi akan
mengakibatkan struktur pengetahuan lama dimodifikasi dan menyesuaikan dengan pengetahuan baru. Kondisi equilibrium terjadi ketika mahasiswa telah
menemukan penyelesaian soal atau mendapatkan jawaban dari permasalahan yang diajukan dan meyakini bahwa jawaban yang ia peroleh tersebut benar. Diskusi
dengan teman atau bertanya pada dosen akan menumbuhkan kemampuan komunikasi matematis. Selain itu diskusi juga akan mengurangi rasa cemas, takut
salah dan ragu-ragu, karena hasil yang telah disepakati dalam kelompok akan mampu menambah keyakinan mahasiswa terhadap perolehannya. Malalui diskusi
mereka berlatih untuk menjelaskan idenya, mendengarkan ide orang lain. Kegiatan ini selain memicu tumbuhnya kemampuan komunikasi matematis juga
dapat memicu berkembangnya kecerdasan emosional mahasiswa. Karena dengan mendengarkan akan tumbuh empati terhadap orang lain, memahami emosi orang
lain. Selain itu kegiatan diskusi juga akan menambah kepercayaan diri, yang akhirnya akan menumbuhkan kemampuan memanfaatkan emosi dalam kegiatan
intelektual.
Dalam penelitian ini, agar konflik kognitif dapat terjadi maka pembelajaran dirancang dengan mengajukan permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan isu-isu baru dan memuat tantangan bagi mahasiswa untuk berpikir. Masalah yang diajukan berkaitan dengan penemuan konsep, dan
penerapan konsep. Melalui penelitian ini telah ditemukan bahwa mahasiswa yang belajar
dengan PBL memiliki kemampuan penalaran matematis dan kemampuan komunikasi matematis yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa yang belajar
dengan pembelajaran konvensional. Penelitian ini telah menyimpulkan bahwa faktor KAM, faktor pembelajaran dan level PT berpengaruh dalam meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan penalaran matematis mahasiswa. Hal ini bermakna bahwa kemampuan akademik yang yang tercermin
dari faktor KAM dan level PT juga ikut berpengaruh dalam mengembangkan kemampuan komunikasi matematis dan kemampuan penalaran matematis
mahasiswa. Artinya mahasiswa yang memiliki kemampuan akademis tinggi yang belajar dengan PBL akan cenderung memperoleh dampak yang lebih baik dalam
pengembangan kemampuan komunikasi matematis dan penalaran matematis. Temuan ini kurang sesuai dengan pendapat Delisle1977 yang
menyebutkan bahwa PBL dapat digunakan pada semua mahasiswa dari berbagai tingkat kemampuan. Berdasarkan pengamatan selama proses pembelajaran, ketika
diberikan masalah mahasiswa dengan kemampuan akademik tinggi terlihat langsung bekerja. Sedangkan mahasiswa dengan kemampuan rendah memerlukan
perenungan yang lebih lama, bahkan seringkali tidak dapat menemukan
penyelesaiannya. Untuk itu jika PBL akan digunakan pada kelompokmahasiswa dengan
kemampuan akademik
kurang, maka
diperlukan perencanaan
pembelajaran yang berbeda dari mahasiswa dengan kemampuan akademik tinggi. Perbedaan itu dapat dilakukan pada bentuk konflik kognitif yang
disediakan, sebaiknya untuk mahasiswa dengan kemampuan akademik kurang masalah kognitif yang diajukan lebih disederhanakan sehingga dapat didekati
dengan cara-cara yang lebih sederhana. Selain itu untuk mahasiswa dengan kemampuan akademik yang kurang perlu pemberian scaffolding yang lebih
intensif. Dengan perbaikan-perbaikan tersebut diharapkan pembelajaran berbasis masalah dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan komunikasi
matematis dan kemampuan penalaran matematis pada semua kondisi mahasiswa. Untuk itu diperlukan pengkajian lanjutan.
Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian ini, sebaiknya langkah- langkah PBL, yaitu melibatkan mahasiswa dalam menemukan konsep melalui
pemahamanpendefinisian masalah menggali informasi untuk menemukan fakta, melakukan dugaan untuk menyelesaikan masalah, dan memeriksa kembali, perlu
diterapkan dalam perkuliahan lain. Karena dengan cara ini diharapkan mahasiswa akan terbiasa melakukan analisis, mencermati hubungan sebab akibat, membuat
argument dan selanjutnya membuat keputusan yang semuanya akan dapat meningkatkan kemampuan penalaran matematis KPM, dan kemampuan
komunikasi matematis mahasiswa. Hasil penelitian ini telah menyimpulkan bahwa kecerdasan emosional
mahasiswa yang belajar menggunakan PBL cenderung sama atau tidak berbeda
secara signifikan dengan kecerdasan emosional mahasiswa yang belajar menggunakan PKV. Kualitas peningkatan kecerdasan emosional yang
ditunjukkan dalam penelitian ini tergolong rendah sangat kecil. Hal ini berarti bahwa PBL yang telah dilaksanakan dalam penelitian ini belum mampu
mengembangkan kecerdasan emosional mahasiswa secara maksimal. Langkah- langkah yang dirancang dalam PBL belum mampu secara maksimal membantu
mahasiswa mengelola emosinya. Secara umum mahasiswa belum dapat memanfaatkan emosi dalam kegiatan-kegiatan intelektual dan belum dapat
mengubah energi negatif menjadi energi positif. Diduga hal ini merupakan salah satu penyebab masih rendahnya skor kemampuan komunikasi matematis dan
kemampuan penalaran matematis mahasiswa kurang dari 50. Masalah ini masih perlu dikaji lebih lanjut melalui kegiatan pembelajaran yang menggunakan
PBL. Meskipun demikian suasana yang tampak dalam ruang kelas PBL sudah
menunjukkan terjadinya perubahan dalam cara belajar mahasiswa. Sebagian besar mahasiswa sudah mau ikut terlibat dalam proses pembelajaran. Hal ini
berimplikasi pada perubahan pandangan mahasiswa terhadap pembelajaran. Mahasiswa telah menyadari bahwa pengetahuan itu tidak hanya diterima dari
dosen tetapi perlu diusahakan mendapatkannya melalui keterlibatan dalam proses pembelajaran. Dampak dari pandangan ini adalah sikap empati, dan menghargai
pandangan orang lain; mampu mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan sendiri, dan melakukan remedial, melalui self-directed learning secara kontinu
memelihara suatu pembelajaran dengan pikiran terbuka, kritis dan aktif;
menghargai teman sebaya dan pengajar sebagai individu yang memiliki kebersamaan dalam proses pendidikan dengan pengetahuan, pemahaman,
perasaan, dan minat. Perubahan suasana belajar yang terjadi di kelas PBL mengindikasikan adanya perubahan kecerdasan pada emosional mahasiswa.
Telah ditemukan bahwa salah satu penyebab kecilnya skor KE akhir mahasiswa adalah waktu pemberian skala KE yang bersamaan dengan waktu
untuk tes. Kondisi stress dalam mengikuti tes, telah mengakibatkan mahasiswa kurang teliti dan kurang cermat dalam membaca dan memilih option skala KE.
Darwis 2006 menyebutkan bahwa ”didalam kecerdasan emosional tujuan yang telah tercapai, kurang bersifat paten pada seseorang”. Artinya jika skor awal KE
mahasiswa lebih baik, maka skor itu dapat berubah lebih kecil atau lebih besar pada skala KE akhir.
Tidaklah mudah mengubah kecerdasan emosional seseorang, seperti diungkapkan oleh Darwis 2006 ”kecerdasan emosional bukan didasarkan pada
kepintaran seorang anak melainkan pada suatu yang dahulu disebut ‘karakter’ atau ‘karakteristik pribadi’, butuh waktu yang lama untuk dapat mengubah
karakter seseorang, tetapi perubahan itu bukan tidak mungkin terjadi”. Pendapat ini mengisaratkan, bahwa kecerdasan emosional tidak dapat berubah dalam waktu
yang relatif singkat, tetapi perubahan itu dapat diupayakan. Artinya, agar peningkatan kecerdasan emosional dapat terjadi maka sebaiknya berbagai
kegiatan yang dapat memicu peningkatan tersebut dilakukan secara terus-menerus dalam setiap perkuliahan.
Berdasarkan pendapat di atas, kecilnya peningkatan kecerdasan emosional, bukan berarti PBL tidak dapat digunakan untuk mengembangkan kecerdasan
emosional mahasiswa. Jika kegiatan-kegiatan dalam PBL seperti kebiasaan berbagi pendapat dalam diskusi dilakukan dalam setiap kegiatan perkuliahan,
maka peningkatan kecerdasan emosional sangat mungkin terjadi.
C. Rekomendasi