Akumulasi logam berat dan pengaruhnya terhadap morfologi jaringan lunak karang di Perairan Tanjung Jumlah, Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur

(1)

AKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA

TERHADAP MORFOLOGI JARINGAN LUNAK

KARANG DI PERAIRAN TANJUNG JUMLAI,

PANAJAM PASER UTARA, KALIMANTAN TIMUR

RISTIANA ERYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Akumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya Terhadap Morfologi Jaringan Lunak Karang di Perairan Tanjung Jumlai, Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2008

Ristiana Eryati NRP: C 651040031


(3)

ABSTRACT

RISTIANA ERYATI. Heavy Metal Accumulation and Their Impact Upon Soft Tissue Morphology of Coral at Tanjung Jumlai, Panajam Paser Utara, East Kalimantan. Under the direction of NEVIATY P. ZAMANI, HARPASIS S. SANUSI, and ADI WINARTO.

Coral reef is one of the most important ecosystem in the coastal area. The changes of water quality parameters and degradation of the coral reef ecosystem were caused by complexity activity in the area. The aims of the research are to study the condition of water quality which influence the organism quality which living in these area, especially heavy metals. The massive coral from Genus

Porites were used as the biological indicators, pollution level of heavy metals in coral tissues gave information concerning the water quality condition.

Sampling station were fixed at 8 points by using random sampling and considering the physical and chemical characteristics. Analysis have been done in laboratory using the histological technic (tissue analysis). The result of the research showed that covered percentage of coral reef were 14,8 % (Stastion 3), 77,4 % (Station 4), 42,4 % (Station 5) and 39,6 % (Station 6) respectively. Coral Mortality Index (CMI) shows a value 0,68 (Station 3), 0,18 (Station 4), 0,39 (Station 5) and 0,46 (Station 6) respectively. Base on heavy metals concentration in soft tissues were recorded four times higher than ambient condition. This condition inconsidered not affecting the cell structure and its function.

Keywords : Water quality, heavy metals, pollution, Porites, coral tissue, accumulation.


(4)

RINGKASAN

RISTIANA ERYATI. Akumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya Terhadap Morfologi Jaringan Lunak Karang di Perairan Tanjung Jumlai, Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI, HARPASIS S. SANUSI , dan ADI WINARTO.

Ekosistem terumbu karang adalah salah satu dari ekosistem penting di kawasan pesisir. Perairan Tanjung Jumlai merupakan kawasan pesisir yang memiliki sumberdaya mineral dan perikanan yang melimpah. Ekosistem terumbu karang yang berupa gosong karang dapat dijumpai di kawasan ini. Tingginya aktivitas di perairan Tanjung Juml ai seperti aktivitas penambangan minyak bumi, pertambakan dan pelabuhan dapat menyebabkan degradasi lingkungan serta ekosistem terumbu karang. Berdasarkan sifat bioakumulasi logam berat maka hewan karang dapat dijadikan sebagai bioindikator dalam melihat tingkat pencemaran lingkungan.

Lokasi penelitian terbagi dalam delapan stasiun pengamatan kualitas air dan termasuk di dalamnya empat stasiun pengamatan karang. Contoh air di ambil di setiap stasiun pengamatan pada saat air surut sebanyak tiga kali ulangan dengan rentang waktu dua bulan. Data individu karang diperoleh dengan menggunakan metode transek garis menyinggung (line intercept transect – LIT). Contoh potongan hewan karang dilakukan dengan memotong bagian karang menggunakan pahat, contoh yang diambil adalah karang masif dari Genus

Porites, uji histologis jaringan lunak karang dilakukan dengan metode section dan pewarnaan. Karakteristik lingkungan digambarkan dengan menggunakan metode analisis Manova untuk melihat pengaruh variabel independen (kualitas air dan logam berat) terhadap perbedaan variabel dependen (stasiun pengamatan). Metode analisis komponen utama (principal component analysis – PCA) di gunakan untuk melihat variabel penciri kualitas air pada setiap stasiun pengamatan. Keeratan hubungan antara variabel biologi (kategori lifeform) dengan stasiun pengamatan dilihat menggunakan metode analisis faktorial koresponden (correspondence analysis – CA). Rumus biokonsentrasi faktor (BCF) digunakan untuk mengetahui besarnya daya absorbsi dan laju distribusi pencemar (logam berat) dalam jaringan lunak karang. Persentase penutupan substrat dasar dihitung dengan menggunakan rumus persen penutupan. Tingkat kematian karang nilainya ditentukan dengan rumus indeks mortalitas karang (IMK).

Kisaran nilai rerata kualitas air yang di peroleh dari hasil pengukuran menunjukkan suhu perairan sebesar 29,90 – 30,87 0C. Kondisi suhu pada setiap stasiun pengamatan relatif seragam dan nilainya masih tergolong normal jika perbandingan didasarkan pada nilai baku mutu air laut yang berkisar antara 28 – 30 0C. Kekeruhan yang terukur antara 6,67 – 15,67 NTU dan semakin menurun nilainya berdasarkan letak stasiun pengamatan. Nilai kekeruhan tersebut kurang mendukung kehidupan karang di perairan karena melebihi batas normal yang telah ditetapkan sebesar < 5 NTU. Nilai TSS sebesar 21,93 – 33,93 mg/l telah melebihi batas normal yang ditetapkan sebesar 20 mg/l untuk perairan dengan ekosistem terumbu karang. Salinitas yang terukur di stasiun pengamatan karang


(5)

sebesar 33,07 – 33,33 ‰ masih dalam kisaran nilai yang normal sebesar 33 – 34 ‰. Derajat keasaman (pH) berada dalam kisaran normal sekitar 7,32 – 8,08. Nilai oksigen terlarut (DO) yang terukur sebesar 5,63 – 6,90 mg/l masih tergolong baik yaitu > 5 mg/l. Nilai BOD5 yang terukur sebesar 1,33 – 1,67 mg/l berada dalam kondisi yang tidak menyimpang dari batas normal yaitu < 20 mg/l.

Nilai sebesar 41,74 – 44,97 mg/l untuk bahan organik total (TOM) mengindikasikan bahwa nilai TOM yang terukur di seluruh stasiun pengamatan menunjukkan bahwa proses oksidasi masih berlangsung dan dimanfaatkan dengan baik oleh organisme untuk kehidupan dan pertumbuhannya. Ketersediaan nitrogen seperti NH3-N (0,03 – 0,20 mg/l), NO3-N (0,26 – 0,84 mg/l) dan NO2-N (0,003 - 0,074 mg/l) di perairan terbilang cukup, sehingga nitrogen relatif tidak menjadi faktor pembatas. Nilai fosfor (orthofosfat) yang terukur sebesar 0,024 -0,173 mg/l menunjukkan adanya pengaruh daratan, berdasarkan nilai fosfornya tingkat kesuburan perairan di lokasi ini tergolong sedang hingga sangat baik. Logam berat Pb dan Cd yang terdeteksi di badan air sebesar 0,453 – 0,560 mg/l untuk Pb dan 0,0044 – 0,055 mg/l untuk Cd telah melebihi batas baku mutu yang di tetapkan yaitu sebesar 0,008 mg/l untuk Pb dan 0,001 mg/l untuk Cd.

Persentase penutupan karang keras (hard coral) pada empat stasiun pengamatan karang memmperlihat penutupan di Stasiun 3 sebesar 14,8 %, Stasiun 4 sebesar 77,4 %, Stasiun 5 sebesar 42,4 % dan Stasiun 6 sebesar 39,6 %. Nilai indeks mortalitas karang (IMK) di Stasiun 3 sebesar 0,68 yang artinya bahwa dari karang yang hidup di Stasiun 3 sekitar 68 % telah menghilang atau mengalami kematian, di Stasiun 4 IMK sebesar 0,18, Stasiun 5 sebesar 0,39 dan Stasiun 6 sebesar 0,46.

Berdasarkan nilai biokonsentrasi faktor (BCF) diketahui terjadi peningkatan logam berat Pb hingga empat kali lipat dan Cd hingga dua kali lipat konsentrasinya di jaringan lunak karang. Kondisi ini terjadi karena sifat bioakumulasi dari logam berat tersebut.

Gambaran histologis dinding polip karang Genus Porites terdiri dari tiga lapisan jaringan utama yaitu ektoderma, mesoglea dan endoderma (gastroderma). Jaringan di bawah polip terdiri dari saluran yang menuju ke mesenteri filamen dan organ mesenteri filamen. Jaringan yang diwarnai menggunakan pewarnaan hematoksilin untuk logam memperlihatkan bahwa telah terjadi akumulasi logam berat Pb dan Cd pada jaringan lunak karang, kondisi ini di perkuat oleh data konsentrasi logam berat Pb (1,089 - 2,232 mg/l) dan Cd (0,073 – 0,128 mg/l) hasil destruksi jaringan lunak karang dari individu yang sama untuk histologi jaringan dan dideteksi menggunakan atomic absorption spectrophotometry (AAS). Jaringan pembanding yang digunakan sebagai kontrol menunjukkan bahwa tingginya konsentrasi tersebut belum merubah susunan sel dan fungsi sel masih berjalan dengan baik.

Hasil analisis manova menunjukkan bahwa secara umum variabel kualitas air berbeda sangat nyata terhadap posisi stasiun pengamatan pada tingkat a 0,05. Analisis komponen utama (PCA) memperlihatkan bahwa Stasiun 1 memiliki variabel penciri suhu, kekeruhan, TSS, NH3-N, NO2-N, NO3-N dan HPO4=. Stasiun 3 dan Stasiun 4 memiliki variabel penciri logam Pb, Cd dan BOD5. Stasiun 5 dan Stasiun 6 memiliki variabel penciri pH, salinitas, DO dan TOM. Hasil analisis faktorial koresponden (CA) menunjukkan bahwa Stasiun 3 erat hubungannya dengan kategori kelompok alga (AA) dan faktor abiotik (AB,


(6)

Stasiun 4 memiliki keeratan hubungan dengan karang keras (HC). Stasiun 5 erat hubungannya dengan karang mati (DC) dan karang lunak (SC). Stasiun 6 erat hubungannya dengan patahan karang (R), karang mati yang ditumbuhi alga (DCA) dan organisme lain (OT).

Variabel kualitas air saat dilakukannya penelitian secara umum masih dapat mendukung kehidupan terumbu karang di perairan tersebut. Hewan karang yang tumbuh di daerah ini khususnya karang keras dari Genus Porites telah terakumulasi logam berat dengan nilai konsentrasi Pb di jaringan lunak lebih tinggi hingga empat kali lipat daripada konsentrasi Pb di badan air. Nilai konsentrasi Cd di jaringan diketahui lebih tinggi hingga dua kali lipat daripada konsentrasi Cd di badan air. Akumulasi logam Pb pada jaringan lunak karang hingga 2,23 mg/l tidak mengakibatkan perubahan gambaran mikromorfologi jaringan lunak karang Porites. Karang mempunyai sistem unik dalam mengeleminir loga m di tubuhnya, hal ini merupakan salah satu strategi bagi karang untuk bisa bertahan terhadap kondisi perairan yang menyimpang dari kondisi normal.


(7)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor.


(8)

AKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA

TERHADAP MORFOLOGI JARINGAN LUNAK

KARANG DI PERAIRAN TANJUNG JUMLAI,

PANAJAM PASER UTARA, KALIMANTAN TIMUR

RISTIANA ERYATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(9)

(10)

Judul Tesis : Akumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya Terhadap Morfologi Jaringan Lunak Karang di Perairan Tanjung Jumlai,

Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur Nama : Ristiana Eryati

NRP : C651040031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir.Neviaty P Zamani, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Harpasis S Sanusi, M.Sc Anggota

drh. Adi Winarto, Ph.D Anggota

Diketahui

Ketua Program Sudi

Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S


(11)

AKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA

TERHADAP MORFOLOGI JARINGAN LUNAK

KARANG DI PERAIRAN TANJUNG JUMLAI,

PANAJAM PASER UTARA, KALIMANTAN TIMUR

RISTIANA ERYATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Akumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya Terhadap Morfologi Jaringan Lunak Karang di Perairan Tanjung Jumlai, Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2008

Ristiana Eryati NRP: C 651040031


(13)

ABSTRACT

RISTIANA ERYATI. Heavy Metal Accumulation and Their Impact Upon Soft Tissue Morphology of Coral at Tanjung Jumlai, Panajam Paser Utara, East Kalimantan. Under the direction of NEVIATY P. ZAMANI, HARPASIS S. SANUSI, and ADI WINARTO.

Coral reef is one of the most important ecosystem in the coastal area. The changes of water quality parameters and degradation of the coral reef ecosystem were caused by complexity activity in the area. The aims of the research are to study the condition of water quality which influence the organism quality which living in these area, especially heavy metals. The massive coral from Genus

Porites were used as the biological indicators, pollution level of heavy metals in coral tissues gave information concerning the water quality condition.

Sampling station were fixed at 8 points by using random sampling and considering the physical and chemical characteristics. Analysis have been done in laboratory using the histological technic (tissue analysis). The result of the research showed that covered percentage of coral reef were 14,8 % (Stastion 3), 77,4 % (Station 4), 42,4 % (Station 5) and 39,6 % (Station 6) respectively. Coral Mortality Index (CMI) shows a value 0,68 (Station 3), 0,18 (Station 4), 0,39 (Station 5) and 0,46 (Station 6) respectively. Base on heavy metals concentration in soft tissues were recorded four times higher than ambient condition. This condition inconsidered not affecting the cell structure and its function.

Keywords : Water quality, heavy metals, pollution, Porites, coral tissue, accumulation.


(14)

RINGKASAN

RISTIANA ERYATI. Akumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya Terhadap Morfologi Jaringan Lunak Karang di Perairan Tanjung Jumlai, Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh NEVIATY P. ZAMANI, HARPASIS S. SANUSI , dan ADI WINARTO.

Ekosistem terumbu karang adalah salah satu dari ekosistem penting di kawasan pesisir. Perairan Tanjung Jumlai merupakan kawasan pesisir yang memiliki sumberdaya mineral dan perikanan yang melimpah. Ekosistem terumbu karang yang berupa gosong karang dapat dijumpai di kawasan ini. Tingginya aktivitas di perairan Tanjung Juml ai seperti aktivitas penambangan minyak bumi, pertambakan dan pelabuhan dapat menyebabkan degradasi lingkungan serta ekosistem terumbu karang. Berdasarkan sifat bioakumulasi logam berat maka hewan karang dapat dijadikan sebagai bioindikator dalam melihat tingkat pencemaran lingkungan.

Lokasi penelitian terbagi dalam delapan stasiun pengamatan kualitas air dan termasuk di dalamnya empat stasiun pengamatan karang. Contoh air di ambil di setiap stasiun pengamatan pada saat air surut sebanyak tiga kali ulangan dengan rentang waktu dua bulan. Data individu karang diperoleh dengan menggunakan metode transek garis menyinggung (line intercept transect – LIT). Contoh potongan hewan karang dilakukan dengan memotong bagian karang menggunakan pahat, contoh yang diambil adalah karang masif dari Genus

Porites, uji histologis jaringan lunak karang dilakukan dengan metode section dan pewarnaan. Karakteristik lingkungan digambarkan dengan menggunakan metode analisis Manova untuk melihat pengaruh variabel independen (kualitas air dan logam berat) terhadap perbedaan variabel dependen (stasiun pengamatan). Metode analisis komponen utama (principal component analysis – PCA) di gunakan untuk melihat variabel penciri kualitas air pada setiap stasiun pengamatan. Keeratan hubungan antara variabel biologi (kategori lifeform) dengan stasiun pengamatan dilihat menggunakan metode analisis faktorial koresponden (correspondence analysis – CA). Rumus biokonsentrasi faktor (BCF) digunakan untuk mengetahui besarnya daya absorbsi dan laju distribusi pencemar (logam berat) dalam jaringan lunak karang. Persentase penutupan substrat dasar dihitung dengan menggunakan rumus persen penutupan. Tingkat kematian karang nilainya ditentukan dengan rumus indeks mortalitas karang (IMK).

Kisaran nilai rerata kualitas air yang di peroleh dari hasil pengukuran menunjukkan suhu perairan sebesar 29,90 – 30,87 0C. Kondisi suhu pada setiap stasiun pengamatan relatif seragam dan nilainya masih tergolong normal jika perbandingan didasarkan pada nilai baku mutu air laut yang berkisar antara 28 – 30 0C. Kekeruhan yang terukur antara 6,67 – 15,67 NTU dan semakin menurun nilainya berdasarkan letak stasiun pengamatan. Nilai kekeruhan tersebut kurang mendukung kehidupan karang di perairan karena melebihi batas normal yang telah ditetapkan sebesar < 5 NTU. Nilai TSS sebesar 21,93 – 33,93 mg/l telah melebihi batas normal yang ditetapkan sebesar 20 mg/l untuk perairan dengan ekosistem terumbu karang. Salinitas yang terukur di stasiun pengamatan karang


(15)

sebesar 33,07 – 33,33 ‰ masih dalam kisaran nilai yang normal sebesar 33 – 34 ‰. Derajat keasaman (pH) berada dalam kisaran normal sekitar 7,32 – 8,08. Nilai oksigen terlarut (DO) yang terukur sebesar 5,63 – 6,90 mg/l masih tergolong baik yaitu > 5 mg/l. Nilai BOD5 yang terukur sebesar 1,33 – 1,67 mg/l berada dalam kondisi yang tidak menyimpang dari batas normal yaitu < 20 mg/l.

Nilai sebesar 41,74 – 44,97 mg/l untuk bahan organik total (TOM) mengindikasikan bahwa nilai TOM yang terukur di seluruh stasiun pengamatan menunjukkan bahwa proses oksidasi masih berlangsung dan dimanfaatkan dengan baik oleh organisme untuk kehidupan dan pertumbuhannya. Ketersediaan nitrogen seperti NH3-N (0,03 – 0,20 mg/l), NO3-N (0,26 – 0,84 mg/l) dan NO2-N (0,003 - 0,074 mg/l) di perairan terbilang cukup, sehingga nitrogen relatif tidak menjadi faktor pembatas. Nilai fosfor (orthofosfat) yang terukur sebesar 0,024 -0,173 mg/l menunjukkan adanya pengaruh daratan, berdasarkan nilai fosfornya tingkat kesuburan perairan di lokasi ini tergolong sedang hingga sangat baik. Logam berat Pb dan Cd yang terdeteksi di badan air sebesar 0,453 – 0,560 mg/l untuk Pb dan 0,0044 – 0,055 mg/l untuk Cd telah melebihi batas baku mutu yang di tetapkan yaitu sebesar 0,008 mg/l untuk Pb dan 0,001 mg/l untuk Cd.

Persentase penutupan karang keras (hard coral) pada empat stasiun pengamatan karang memmperlihat penutupan di Stasiun 3 sebesar 14,8 %, Stasiun 4 sebesar 77,4 %, Stasiun 5 sebesar 42,4 % dan Stasiun 6 sebesar 39,6 %. Nilai indeks mortalitas karang (IMK) di Stasiun 3 sebesar 0,68 yang artinya bahwa dari karang yang hidup di Stasiun 3 sekitar 68 % telah menghilang atau mengalami kematian, di Stasiun 4 IMK sebesar 0,18, Stasiun 5 sebesar 0,39 dan Stasiun 6 sebesar 0,46.

Berdasarkan nilai biokonsentrasi faktor (BCF) diketahui terjadi peningkatan logam berat Pb hingga empat kali lipat dan Cd hingga dua kali lipat konsentrasinya di jaringan lunak karang. Kondisi ini terjadi karena sifat bioakumulasi dari logam berat tersebut.

Gambaran histologis dinding polip karang Genus Porites terdiri dari tiga lapisan jaringan utama yaitu ektoderma, mesoglea dan endoderma (gastroderma). Jaringan di bawah polip terdiri dari saluran yang menuju ke mesenteri filamen dan organ mesenteri filamen. Jaringan yang diwarnai menggunakan pewarnaan hematoksilin untuk logam memperlihatkan bahwa telah terjadi akumulasi logam berat Pb dan Cd pada jaringan lunak karang, kondisi ini di perkuat oleh data konsentrasi logam berat Pb (1,089 - 2,232 mg/l) dan Cd (0,073 – 0,128 mg/l) hasil destruksi jaringan lunak karang dari individu yang sama untuk histologi jaringan dan dideteksi menggunakan atomic absorption spectrophotometry (AAS). Jaringan pembanding yang digunakan sebagai kontrol menunjukkan bahwa tingginya konsentrasi tersebut belum merubah susunan sel dan fungsi sel masih berjalan dengan baik.

Hasil analisis manova menunjukkan bahwa secara umum variabel kualitas air berbeda sangat nyata terhadap posisi stasiun pengamatan pada tingkat a 0,05. Analisis komponen utama (PCA) memperlihatkan bahwa Stasiun 1 memiliki variabel penciri suhu, kekeruhan, TSS, NH3-N, NO2-N, NO3-N dan HPO4=. Stasiun 3 dan Stasiun 4 memiliki variabel penciri logam Pb, Cd dan BOD5. Stasiun 5 dan Stasiun 6 memiliki variabel penciri pH, salinitas, DO dan TOM. Hasil analisis faktorial koresponden (CA) menunjukkan bahwa Stasiun 3 erat hubungannya dengan kategori kelompok alga (AA) dan faktor abiotik (AB,


(16)

Stasiun 4 memiliki keeratan hubungan dengan karang keras (HC). Stasiun 5 erat hubungannya dengan karang mati (DC) dan karang lunak (SC). Stasiun 6 erat hubungannya dengan patahan karang (R), karang mati yang ditumbuhi alga (DCA) dan organisme lain (OT).

Variabel kualitas air saat dilakukannya penelitian secara umum masih dapat mendukung kehidupan terumbu karang di perairan tersebut. Hewan karang yang tumbuh di daerah ini khususnya karang keras dari Genus Porites telah terakumulasi logam berat dengan nilai konsentrasi Pb di jaringan lunak lebih tinggi hingga empat kali lipat daripada konsentrasi Pb di badan air. Nilai konsentrasi Cd di jaringan diketahui lebih tinggi hingga dua kali lipat daripada konsentrasi Cd di badan air. Akumulasi logam Pb pada jaringan lunak karang hingga 2,23 mg/l tidak mengakibatkan perubahan gambaran mikromorfologi jaringan lunak karang Porites. Karang mempunyai sistem unik dalam mengeleminir loga m di tubuhnya, hal ini merupakan salah satu strategi bagi karang untuk bisa bertahan terhadap kondisi perairan yang menyimpang dari kondisi normal.


(17)

©

Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008

Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor.


(18)

AKUMULASI LOGAM BERAT DAN PENGARUHNYA

TERHADAP MORFOLOGI JARINGAN LUNAK

KARANG DI PERAIRAN TANJUNG JUMLAI,

PANAJAM PASER UTARA, KALIMANTAN TIMUR

RISTIANA ERYATI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(19)

(20)

Judul Tesis : Akumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya Terhadap Morfologi Jaringan Lunak Karang di Perairan Tanjung Jumlai,

Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur Nama : Ristiana Eryati

NRP : C651040031

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir.Neviaty P Zamani, M.Sc Ketua

Prof. Dr. Ir. Harpasis S Sanusi, M.Sc Anggota

drh. Adi Winarto, Ph.D Anggota

Diketahui

Ketua Program Sudi

Ilmu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S


(21)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat, hidayah, kekuatan dan semangat, sehingga tugas akhir guna meraih gelar Magister Sains di bidang Biologi Laut ini dapat diselesaikan. Tesis dengan judul “Akumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya Terhadap Morfologi Jaringan Lunak Karang di Perairan Tanjung Jumlai, Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur” adalah bagian dari studi Pascasarjana pada Program Studi Ilmu Kelautan di Institut Pertanian Bogor.

Dengan selesainya penulisan tesis ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih dan rasa horma t yang setinggi-tingginya kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Neviaty P. Zamani, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Prof. Dr. Ir. Harpasis S. Sanusi, M.Sc dan Bapak drh. Adi Winarto, Ph.D sebagai anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu serta dengan penuh kesabaran telah membimbing dan mengarahkan penulis semenjak pembuatan proposal, pengumpulan dan pengolahan data hingga penyelesaian penulisan tesis ini.

2. Bapak Prof. Dr. Ir.Dedi Soedharma, DEA yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing pada saat ujian tesis.

3. Seluruh staf dan teknisi Laboratorium Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan – Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk penggunaan laboratorium dalam penelitian ini.

4. Seluruh civitas akademika Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dan telah banyak membantu penulis baik dalam hal moril maupun materiil.

5. Suami tercinta Akhmad Rafii, S.Pi., M.Si dan putriku Sabila Najwa Azizah yang dengan penuh kesabaran dan pengertiannya senantiasa memberikan semangat, dukungan serta doa selama penulis menempuh pendidikan.


(22)

6. Ayahanda Suradiono dan Ibunda Masirah tercinta serta abangku Andi Amin yang telah melimpahkan kasih sayangnya sejak penulis dilahirkan hingga dewasa, hanya Allah SWT yang dapat membalas amal budi kalian. 7. Rekan – rekan selama studi pada Program Studi Ilmu Kelautan Angkatan

2004 dan 2005 : Hanifah Mutia, Iwan Setiabudi, Yunita Ramili, Hawis Maddupa, Riris Aryawati, Meutia Samira Ismet, Nurul Fitriya, Heron Surbakti, La Ode Nurman Mbay, Beginner Subhan, Roni Fitrianto, Adriani Sunuddin, Zia, Ucha, Bu Nur, Bu Irma, Era, Pak Judistira, Yeni, Bang Agus dan Bapak Wisnu Wijatmoko yang telah banyak membantu penulis selama menjalani studi.

8. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari dengan sesungguhnya bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya saran atau kritik dari semua pihak yang dapat digunakan untuk melengkapi tesis ini. Semoga penelitian ini dapat memberikan kontribusi dan menambah wawasan pengetahuan kita dalam bidang biologi laut, khususnya mengenai terumbu karang.

Bogor, Januari 2008


(23)

RIWAYAT HIDUP

Ristiana Eryati dilahirkan di Tanjung Redeb, Kaltim pada tanggal 17 Pebruari 1981 sebagai ana k kedua dari dua bersaudara dari ayah Suradiono dan ibu Masirah. Pendidikan tinggi diawali pada tahun 1998 pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman Samarinda dan gelar Sarjana Perikanan (S.Pi) diraih pada tahun 2002. Sejak akhir tahun 2002 sampai sekarang bekerja sebagai staf pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman Samarinda.

Pada tahun 2004 melalui Beasiswa (BPPS DIKTI) penulis berkesempatan mengikuti pendidikan Pascasarjana (S2) di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Ilmu Kelautan dengan bidang konsentrasi Biologi Laut. Selama menjadi mahasiswa Pascasarjana, penulis aktif di kegiatan kemahasiswaan pada Wahana Interaksi Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kelautan (WATERMASS). Selain itu penulis juga aktif mengikuti seminar dalam bidang kelautan dan perikanan. Untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains, penulis melakukan penelitian dengan judul ” Akumulasi Loga m Berat dan Pengaruhnya terhadap Morfologi Jaringan Lunak Karang di Perairan Tanjung Jumlai, Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur”.


(24)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... PENDAHULUAN

Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 Manfaat ... 3 Hipotesis ... 3 Perumusan Masalah ... 3 TINJAUAN PUSTAKA

Terumbu Karang ... 5 Anatomi dan Morfologi Karang ... 5 Distribusi dan Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu

Karang ... 10 Formasi dan Zonasi Terumbu Karang ... 12 Pencemaran Logam Berat ... 15 Akumulasi Logam Berat pada Biota Laut ... 18

Porites sebagai Pencatat Dampak Lingkungan ... 19 BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu ... 20 Alat dan Bahan ... 22 Metode Pengukuran ... 22 Analisis Data ... 25 Manova (Multivariate Analysis of Variance) ... 25 Analisis Komponen Utama (PCA, Principal Component

Abalysis) ... 26 Analisis Faktorial Koresponden (CA, Correspondance

Analysis) ... 27 Biokonsentrasi Faktor ... 28 Persentase Penutupan Karang ... 29 Indeks Mortalitas Karang (IMK) ... 29 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Perairan ... 30 Fisik ... 30 Pola Pasang Surut dan Arus ... 30 Suhu ... 33 Kekeruhan ... 35 TSS ... 36 Kimia ... 38 Salinitas ... 38 pH ... 40 Oksigen Terlarut ... 41


(25)

DAFTAR ISI

Halaman

BOD5 ... 43 Bahan Organik Total (TOM) ... 45 Nitrogen ... 46 Ortofosfat (HPO4=) ... 48 Logam Berat ... 50 Biologi ... 54 Persentase Penutupan Substrat Dasar ... 54 Indeks Mortalitas Karang ... 56 Logam Berat pada Jaringan Lunak Karang ... 57 Analisa Laboratorium ... 57 Analisa Histologis ... 59 Morfologi ... 59 Pendeteksian Karbohidrat ... 64 Sebaran Logam dalam Jaringan ... 65 Hubungan Antar Variabel ... 69 SIMPULAN

Kesimpulan ... 81 Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA ... 82 LAMPIRAN ... 87


(26)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Posisi geografis stasiun pengamatan ... 20 2 Parameter pengamatan ... 23 3 Manova... 25 4 Kecepatan dan arah arus sesaat di lokasi penelitian ... 33 5 Hasil pengukuran suhu saat siang hari selama penelitian ... 34 6 Nilai kekeruhan yang di peroleh selama penelitian ... 36 7 Nilai TSS hasil pengukuran selama penelitian ... 38 8 Nilai salinitas pada lokasi penelitian ... 39 9 Nilai pH yang terukur selama penelitian ... 40 10 Kandungan oksigen terlarut dalam badan air ... 42 11 Nilai BOD5 yang terukur selama penelitian ... 44 12 Kandungan TOM di badan air selama penelitian ... 45 13 Kandungan NH3-N, NO3-N dan NO2-N yang terukur

selama penelitian ... 47 14 Kandungan HPO4= dalam badan air selama penelitian ... 49 15 Konsentrasi logam berat yang terdeteksi dalam kolom

air selama penelitian ... 51 16 Konsentrasi logam Pb dan Cd di Perairan Laut Tanjung

Jumlai pada waktu yang berbeda ... 52 17 Nilai faktor biokonsentrasi (BCF) logam Pb dan Cd

terhadap jaringan lunak karang ... 59 18 Nilai korelasi antar variabel IMK terhadap Pb, Cd,

salinitas, kekeruhan, suhu dan TSS ... 77 19 Nilai korelasi antar variabel Pb dan Cd terhadap arus,

suhu, kekeruhan, TSS dan salinitas ... 78 20 Nilai korelasi antar variabel lingkungan terhadap karang


(27)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan alir pendekatan masalah ... 4 2 Bentuk anatomi umum karang skleraktinia (Veron 1993) ... 5 3 Jaringan-jaringan dalam tentakel karang (Suharsono 2004) ... 7 4 Lapisan tubuh karang dengan nematosit dan zooxantela di

dalamnya ... 8 5 Lempeng dasar karang (Suharsono 2004) ... 9 6 Tingkatan formasi karang ... 13 7 Profil umum zonasi terumbu pada tipe terumbu karang tepi

(fringing reef) (Barnes 1980) ... 15 8 Lokasi penelitian ... 21 9 Waktu pengambilan contoh kualitas air berdasarkan pasang-surut ... 31 10 Arah arus sesaat selama penelitian ... 32 11 Rerata suhu selama penelitian ... 35 12 Rerata kekeruhan selama penelitian ... 36 13 Rerata TSS selama penelitian ... 38 14 Rerata logam Pb dan Cd pada badan air selama penelitian... 40 15 Rerata salinitas selama penelitian ... 41 16 Rerata pH selama penelitian ... 43 17 Rerata oksigen terlarut dan saturasi oksigen selama penelitian ... 45 18 Rerata BOD5 selama penelitian ... 46 19 Rerata TOM selama penelitian ... 48 20 Rerata NH3-N, NO3-N dan NO2-N selama penelitian ... 50 21 Rerata HPO2= ... 52 22 Perbandingan persentase penutupan substrat dasar di lokasi

penelitian ... 55 23 Perbandingan genera karang keras ... 56 24 Indeks Mortalitas Karang ... 57 25 Skema struktur morfologis dan anatomis karang Genus

Porites ... 60 26 Mikromorfologi dinding polip karang keras Genus Porites ... 60 27 Serabut otot pada lapisan mesoglea ... 62


(28)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

28 Bentuk filamen pada saluran gastrovaskuler... 62 29 Mesenteri filamen pada Genus Porites (Pewarnaan

Hematoksilin dan Eosin) ... 63 30 Mesenteri filamen Genus Porites pada daerah penelitian

(Pewarnaan Masson Trichrome) ... 63 31 Mesenteri filamen dengan bagian yang dikenali (Pewarnaan

Alcian Blue) ... 65 32 Sebaran logam berat pada jaringan lunak karang Porites

(Pewarnaan Hematoksilin untuk logam) ... 66 33 Jaringan penghubung antar polip (coenosarc) ... 67 34 Sebaran logam berat pada mesenteri filamen karang ... 67 35 Akumulasi logam pada tepi luar jaringan ... 68 36 Analisis komponen utama karakteristik kualitas air (F1 x F2) ... 71 37 Dendrogram klasifikasi hirarki stasiun pengamatan ... 72 38 Analisis faktorial koresponden stasiun pengamatan dan

persentase penutupan karang (F1 x F2) ... 73 39 Analisis komponen utama karakteristik kualitas air,

genera karang keras dan IMK (F1x F2) ... 76 40 Dendogram klasifikasi hirarki stasiun pengamatan karang ... 79


(29)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Hasil pengukuran parameter pengamatan selama

penelitian ... 88 2. Hasil test multivariat kualitas air (Manova) ... 93 3. Test pengaruh antar variabel kualitas air (Manova) ... 93 4. Perbandingan variabel kualitas air antar stasiun

pengamatan (Manova) ... 96 5. Hasil test multivariat logam berat pada hewan

karang (Manova) ... 116 6. Test pengaruh antar variabel logam berat pada

hewan karang (Manova) ... 116 7. Perbandingan variabel logam berat pada hewan

karang antar stasiun pengamatan (Manova) ... 117 8. Akar ciri dan persentase total ragam (Analisis

Koresponden Utama) ... 118 9. Faktor koordinat dan kontribusi variabel kualitas

air (Analisis Koresponden Utama) ... 118 10.Faktor koordinat dan kontribusi stasiun pengamatan

(Analisis Koresponden Utama) ... 118 11.Korelasi antar variabel (Analisis Koresponden Utama) ... 119 12.Mean dan standar deviasi (Analisis Kelompok) ... 120 13.Jarak Euclidean(Analisis Kelompok) ... 120 14.Pengelompokan stasiun berdasarkan hubungan jarak

(Analisis Kelompok) ... 120 15.Akar ciri dan persentase faktor inertia (Analisis

Faktorial Koresponden) ... 121 16.Faktor koordinat dan kontribusi lifeform (Analisis

Faktorial Koresponden) ... 121 17.Faktor koordinat dan kontribusi stasiun pengamatan

karang ... 122 18.Korelasi antar variabel kualitas air, genera karang

keras dan IMK (Analisis Komponen Utama) ... 123 19.Mean dan standar deviasi stasiun pengamatan


(30)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

20.Jarak Euclidean untuk stasiun pengamatan karang

(Analisis Kelompok) ... 129 21.Pengelompokkan stasiun pengamatan karang berdasarkan

hubungan jarak (Analisis Kelompok) ... 129 22.Akar ciri dan persentase faktor inertia (Analisis Faktorial

Koresponden) ... 129 23.Faktor koordinat dan kontribusi lifeform (Analisis Faktorial

Koresponden) ... 130 24.Faktor koordinat dan kontribusi stasiun pengamatan

(Analisis Faktorial Koresponden) ... 130 25.Nilai biokonsentrasi faktor (BCF) pada jaringan lunak

karang keras Genus Porites ... 130 26.Langkah pembuatan preparat histologi ... 131 27.Prosedur pewarnaan jaringan (Kiernan 1990)... 132 28.Alur destruksi basah pada jaringan karang ... 135 29.Persen penutupan substrat dasar ... 136


(31)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kompleksitas pengelolaan kawasan pesisir hingga saat ini masih tergolong tinggi, bahkan volume kegiatannya cenderung terus meningkat. Pada kawasan pesisir banyak sekali kegiatan yang tumpang tindih dan tidak bisa dipisah-pisahkan, serta saling bertentangan.

Perairan Tanjung Jumlai merupakan suatu daerah pesisir yang mempunyai potensi sumberdaya alam yang besar. Tidak hanya potensi perikanan dan sumberdaya hayati perairan, tetapi juga mengandung sumberdaya mineral yang berlimpah seperti minyak dan gas bumi. Sebagai konsekuensi dari ragam potensi tersebut, sehingga dalam pemanfaatannya tidak menutup kemungkinan terjadinya konflik kepentingan. Walaupun semua kegiatan pemanfaatan di atas mempunyai tujuan yang sama, yaitu demi kesejahteraan masyarakat, khususnya di Kalimantan Timur dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Namun kegiatan tersebut akan dapat berhasil dan berdaya guna jika dilakukan dengan baik dan tanpa merugikan salah satu pihak yang berkepentingan, yakni dengan memahami dan berusaha untuk menghasilkan seminimal mungkin dampak dari masing-masing kegiatannya.

Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir dan laut yang penting dan sangat berharga serta memiliki produktivitas yang tinggi. Oleh karena itu, keberadaan dan kelangsungan hidupnya sangat perlu diperhatikan dengan lebih ekstra. Hal ini mengingat lingkungan dimana ekosistem terumbu karang berada adalah lingkungan yang pemanfaatannya sangat kompleks, sehingga ekosistem ini sangat potensial mengalami kerusakan atau degradasi.

Menurut Moosa (2001) bahwa kondisi terumbu karang di Indonesia saat ini berada pada kondisi yang cukup memprihatinkan, dari sekitar 85.707 km2 luas areal terumbu karang di Indonesia, kondisinya 6,20% masih sangat baik, 23,72% baik, 28,30% sedang dan 41,78% berada pada kondisi buruk atau rusak. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ekosistem terumbu karang Indonesia telah mengalami tekanan yang sangat berat akibat dari kegiatan pembangunan dan industrialisasi yang tidak berwawasan lingkungan.


(32)

Ekosistem terumbu karang yang mengalami kerusakan akibat tekanan ekologis terjadi juga di Kalimantan Timur seperti di perairan pesisir Tanjung Jumlai. Kerusakan ini disebabkan karena tingginya pemanfaatan sumberdaya yang ada dan adanya tumpang tindih kegiatan antar pihak-pihak yang berkepentingan serta saling bertentangan. Keadaan ini menciptakan suatu kondisi yang merugikan bagi lingkungan perairan, sehingga mutu kualitas perairan mengalami penurunan. Lingkungan perairan yang mengalami penurunan mutu kualitas lebih lanjut akan berdampak terhadap organisme yang hidup di perairan tersebut, tidak terkecuali terumbu karang. Scott (1990) dan Esslemont (1999) mengatakan bahwa hewan karang sebagai organisme indikator sangat berguna untuk monitoring lingkungan, karena kerangka kapurnya mengasimilasi logam-logam lebih dari ratusan tahun, demikian juga jaringan lunaknya dapat digunakan untuk tujuan monitoring.

Metode pengukuran berat kering yang dilakukan oleh Esslemont (1999) mendapatkan perbedaan konsentrasi logam berat pada kerangka kapur (Pb: 0,01 – 0,04 µg/g; Cd: < 0,01 µg/g) dan di jaringan (Pb: 0,2 – 0,5 µg/g; Cd: 0,2 – 0,4 µg/g) karang Goniastrea aspera di Pulau Heron yang tumbuh di daerah reef flat.

Lebih lanjut Fallon et al. (2002) dan David (2003) mencontohkan karang Porites, dapat berfungsi sebagai pencatat dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan dan industri. Lapisan pertumbuhan kerangka kapur karang skleraktinia yang berbentuk masif diakui berguna dalam studi time series untuk melihat variasi jejak dalam air laut seperti tingkat kandungan nutrien dan akumulasi polutan yang memasuki lingkungan laut..

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengkaji beberapa parameter kualitas air di ekosistem terumbu karang.

2. Mengkaji keberadaan logam berat yang terakumulasi dalam jaringan lunak karang beserta perubahan morfologi yang mungkin terjadi dari jenis yang dominan hidup di lokasi penelitian.


(33)

Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran kondisi aktual mengenai tingkat akumulasi logam berat dalam jaringan lunak karang beserta kondisi kualitas air sebagai akibat dari tingginya aktivitas di perairan Tanjung Jumlai dan sekitarnya.

Hipotesis

Tingginya konsentrasi logam berat pada jaringan lunak karang dapat menyebabkan kerusakan jaringan karang.

Perumusan Masalah

Pengaruh toksisitas logam berat dalam tubuh hewan karang akan menyebabkan kerusakan jaringan lunak atau susunan sel, baik pada polip maupun zooxantela dengan ditemukannya akumulasi logam berat dalam jaringan lunak hewan karang. Hal ini menyebabkan fungsi anatomi dan fisiologi karang tidak bekerja dengan baik, pertumbuhan dan perkembangan akan terhambat dan pengaruhnya lebih lanjut akan mematikan karang. Sejauh ini belum ada penelitian mengenai toksisitas logam berat terhadap terumbu karang di sekitar perairan Tanjung Jumlai. Mengingat letaknya berhadapan dengan Teluk Balikpapan yang memiliki aktivitas tinggi maka tidak menutup kemungkinan dampak dari aktivitas di daerah tersebut mempengaruhi organisme yang hidup di perairan sekitarnya termasuk ekosistem terumbu karang yang ada di Tanjung Jumlai.

Mengacu pada permasalahan tersebut, maka dianggap perlu dilakukan suatu penelitian khusus mengenai “Akumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya Terhadap Morfologi Jaringan Lunak Karang di Perairan Tanjung Jumlai, Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur”. Dipilihnya karang sebagai objek penelitian karena pola pertumbuhannya yang relatif lebih lambat jika dibandingkan dengan biota lainnya, sehingga dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi perairan di sekitarnya.


(34)

Gambar 1 Bagan alir pendekatan masalah. Kondisi terumbu karang

Hewan karang

Bioakumulasi

Histologi

Biokonsentrasi faktor

Kesimpulan

Lingkungan perairan

Kimia:

-Logam berat -Salinitas -DO -BOD5 -TOM -NH3-N -NO2-N -NO3-N -H2PO4

-Fisika:

- Suhu - Kekeruhan - TSS - Kecerahan

Biologi:

-Persen penutupan -Indeks Mortalitas

Perubahan morfologi


(35)

TINJAUAN PUSTAKA

Terumbu Karang Anatomi dan Morfologi Karang

Terumbu (reef) terbentuk dari endapan-endapan masif terutama kalsium karbonat yang dihasilkan oleh hewan karang (Filum Cnidaria, Kelas Anthozoa, Ordo Scleractinia), alga berkapur dan organisme -organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken 1993). Sementara itu hewan karang adalah hewan yang tidak bertulang belakang dan termasuk dalam Kelas Anthozoa (hewan berbentuk bunga). Hewan karang umumnya merupakan koloni yang terdiri dari banyak individu berupa polip dengan bentuk dasar seperti mangkuk dengan tepian berumbai atau tentakel. Ukuran polip umumnya sangat kecil tetapi ada yang besar mencapai beberapa sentimeter seperti Fungia. Hanya karang yang bersimbiosis dengan zooxantela yang mampu menghasilkan terumbu dan hidupnya hanya di daerah tropis.


(36)

Setiap polip karang tumbuh dan mengendapkan kapur yang membentuk kerangka. Kerangka kapur ini berupa lempengan-lempengan yang tersusun secara radial dan berdiri tegak pada lempeng dasar. Lempeng yang berdiri disebut sebagai septa yang tersusun dari bahan anorganik dan kapur yang merupakan hasil sekresi dari polip karang.

Menurut Timotius (2003) dan Suharsono (2004), bagian-bagian tubuh polip karang terdiri dari :

1. Mulut, dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri.

2. Rongga tubuh (coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan (gastrovaskuler).

3. Dinding polip yang tersusun dari tiga lapisan, yaitu :

a. Ektoderma adalah jaringan terluar yang terdiri dari berbagai jenis sel. Pada lapisan ini banyak dijumpai sel glandula yang berisi mukus (lendir)berfungsi untuk membantu menangkap makanan dan untuk membersihkan diri dari sedimen yang melekat dan sel knidoblast yang berisi sel nematosit.

b. Endoderma adalah jaringan yang terdapat di lapisan dalam dimana sebagian besar selnya berisi sel alga (zooxantela) yang merupakan simbion karang. Seluruh permukaan jaringan karang juga dilengkapi dengan cilia dan flagela. Kedua sel ini berkembang dengan baik di tentakel dan di dalam sel mesentari. c. Mesoglea adalah jaringan berupa lapisan seperti jely yang terletak di antara

ektoderma dan endoderma. Dalam lapisan jely terdapat fibril-fibril sedangkan di lapisan luar terdapat sel semacam sel otot.


(37)

Gambar 3 Jaringan-jaringan dalam tentakel karang (Suharsono 2004).

Karang mempunyai sistem syaraf, jaringan otot dan reproduksi yang sederhana yang telah berkembang dan berfungsi secara baik (Suharsono 2004 dan Wells 1956), yaitu :

1. Jaringan syaraf, tersebar di endoderma dan ektoderma serta mesoglea dan dikoordinasi oleh sel khusus yang disebut sel penghubung yang bertanggung jawab memberi respon baik mekanik maupun kimia terhadap adanya stimulasi cahaya.

2. Jaringan otot, biasanya terdapat diantara jaringan mesoglea yang bertanggung jawab atas gerakan polip untuk mengembang atau mengkerut sebagai respon perintah jaringan syaraf. Sinyal dalam jaringan ini tidak hanya dalam satu polip tetapi juga diteruskan ke polip yang lain.

3. Jaringan mesenterial filamen, berfungsi sebagai alat pencernaan dimana sebagian besar selnya berisi sel mukus yang berisi enzim untuk mencerna makanan. Lapisan luar jaringan ini dilengkapi sel silia yang halus.

4. Organ reproduksi, berkembang diantara mesentari filamen. Pada saat tertentu organ-organ reproduksi terlihat dan pada waktu yang lain menghilang, terutama untuk jenis- jenis karang yang hidup di daerah subtropis. Untuk karang yang hidup di daerah tropis organ reproduksi ini dapat ditemukan sepanjang tahun karena siklus reproduksinya terjadi sepanjang tahun. Dalam satu polip dapat ditemukan organ betina saja atau jantan saja atau kedua-duanya (hermaprodit).


(38)

Namun karang hermaprodit jarang yang mempunyai tingkat pemasakan antara gonad jantan dan betina matang pada saat yang bersamaan.

Karang memiliki kemampuan bereproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual dilakukan dengan melibatkan peleburan sel sperma dan sel telur (fertilisasi). Sifat reproduksinya lebih komplek, karena selain terjadi fertilisasi juga melalui sejumlah tahap lanjutan yaitu pembentukan larva, penempelan, pertumbuhan dan pematangan). Secara umum mekanisme fertilisasi terbagi dua jenis, yaitu brooding/planulator dan spawning. Reproduksi aseksual dilakukan dengan tidak melibatkan peleburan sel jantan dan sel betina. Pada reproduksi ini polip atau koloni karang membentuk polip atau koloni baru melalui pemisahan potongan-potongan tubuh atau rangka. Ada pertumbuhan koloni (Partenogenesis dan pertunasan) dan pembentukan koloni baru (Polip bailout dan fragmentasi).

Karang dapat menarik dan menjulurkan tentakelnya. Tentakel tersebut aktif dijulurkan pada malam hari, saat karang mencari mangsa. Sementara pada siang hari tentakel ditarik masuk ke dalam rangka. Di jaringan ektoderma tentakel memiliki sel penyengat (knidoblast), yang merupakan ciri khas semua hewan cnidaria. Knidoblast dilengkapi dengan alat penyengat nematosit beserta racun di dalamnya, berfungsi sebagai alat penangkap makanan dan mempertahankan diri. Sel penyengat bila tidak digunakan akan berada dalam kondisi tidak aktif, dan alat sengat berada dalam sel. Bila ada zooplankton atau hewan lain yang akan ditangkap, maka alat penyengat dan racun akan dikeluarkan.

Gambar 4 Lapisan tubuh karang dengan nematosit dan zooxantella di dalamnya. Tampak sel penyengat dalam kondisi tidak aktif dengan yang sedang aktif (Mojetta 1995).


(39)

Umumnya karang pembentuk terumbu bersimbiosis dengan alga mikroskopik bersel tunggal yaitu zooxantela. Zooxantela adalah alga dari kelompok dinoflagelata yang bersimbiosis denga n hewan, seperti karang, anemon, moluska dan lainnya. Jumlah zooxantela dalam tubuh inangnya relatif konstan, dengan kepadatan berkisar 0.6 – 2.0 x 106 sel/cm2. Jumlah ini tergantung dari spesies dan kedalaman karang. Zooxantela melalui proses fotosintesis memberi suplai makanan dan oksigen bagi polip dan juga membantu proses pembentukan kerangka kapur. Sebaliknya polip karang menghasilkan sisa-sisa metabolisme berupa karbondioksida (CO2), posfat dan nitrogen yang digunakan zooxantela untuk fotosintesis dan pertumbuhannya (Muscatine 1980).

Suharsono (2004) menyatakan bahwa morfologi terumbu karang tersusun atas kalsium karbonat (CaCO3) dan terdiri atas: lempeng dasar, merupakan lempeng yang berfungsi sebagai pondasi dari septa yang muncul membentuk struktur tegak dan melekat pada dinding yang disebut epiteka. Keseluruhan skeleton yang terbentuk dari satu polip disebut koralit, sedangkan keseluruhan skeleton yang dibentuk dari banyak polip dari satu individu atau koloni disebut koralum. Permukaan koralit yang terbuka disebut kalik. Septa dibedakan menjadi septa pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, tergantung dari besar -kecil dan posisinya. Septa yang tumbuh hingga mencapai dinding luar dari koralit disebut kosta. Pada dasar sebelah dalam dari septa tertentu umumnya dilanjutkan oleh suatu struktur yang disebut pali. Struktur yang berada di dasar dan di tengah koralit sering merupakan kelanjutan dari septa yang disebut kolumela (Gambar 5).

K O S T A S E P T A

K O L U M E L L A

L E M P E N G D A S A R PALI

K O N E S T E U M

K O R A L U M K O R A L I T

K A L I K


(40)

Salah satu pemberian nama karang dapat dilakukan dengan melihat skeleton atau cangkang yang terbuat dari kapur. Koralit berdasarkan cara terbentuknya dapat dibedakan menjadi ekstra tentakular yaitu jika koralit yang baru terbentuk di luar dari koralit yang lama dan intra tentakular yaitu jika koralit yang baru terbentuk di dalam koralit yang lama. Cara pembentukan koloni karang yang demikian pada akhirnya membentuk berbagai bentuk koloni yang dibedakan berdasarkan konfigurasi koralit. Bentuk-bentuk tersebut yaitu hydnoporoid, dendroid, phaceloid, plocoid, flabellate, ceriroid dan meandroid (Ditlev 1980dan Suharsono 1996). Pola septa berbeda dari spesies satu dengan yang lain dan seringkali digunakan sebagai alat identifikasi dan klasifikasi diantara spesies (Nybakken 1993).

Berdasarkan atas kemampuannya membentuk terumbu, karang dibedakan menjadi dua kelompok yaitu hermatifik dan ahermatifik. Karang hermatifik dapat menghasilkan terumbu (reef) karena bersimbiosis dengan zooxantela yang hidup di dalam jaringan endoderma dan distribusinya hanya ditemukan di daerah tropis. Sedangkan karang ahermatifik adalah karang yang dapat menghasilkan terumbu karena mempunyai zooxantela dalam jaringannya dan hidupnya tidak tergantung pada cahaya. Karang jenis ini berkembang pada tempat yang tidak terbatas (Nybakken 1993 dan Dahuri 2003).

Distribusi dan Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang

Terumbu karang tersebar pada perairan dangkal dari daerah tropis hingga subtropis pada posisi 35 0LU dan 32 0LS. Batas lintang tersebut merupakan batas maksimum dimana karang masih dapat tumbuh (Ledd 1977 diacu dalam Sukarno 1983). Tiga daerah besar terumbu karang adalah Laut Karibia, Samudera Hindia dan Indo-Pasifik. Terumbu karang di Laut Karibia tercatat 20 ge nera dan pertumbuhannya mulai di bagian tenggara pantai Amerika sampai sebelah barat laut pantai Amerika Selatan. Jenis karang yang tumbuh di Laut Karibia sebagian besar berbeda dengan yang tumbuh di Samudera Hindia maupun Samudera Pasifik. Terbatasnya jumlah marga di Samudera Atlantik lebih disebabkan karena tingginya sedimentasi, rendahnya suhu pada musim dingin di bawah batas toleransi suhu


(41)

karang, adanya arus dingin dan upwelling. Di Samudera Hindia sebaran karang meliputi pantai timur Afrika, Laut Merah, Teluk Aden, Teluk Persia, Teluk Oman sampai Samudera Hindia selatan. Tercatat 50 genera dimana sebaran karang di daerah ini lebih banyak ditentukan oleh adanya upwelling dan salinitas yang ekstrim yaitu 46 ‰ di Teluk Persia dan 26 ‰ untuk Samudera Hindia bagian Selatan.

Terumbu karang di Samudera Pasifik meliputi Laut Cina Selatan sampai pantai barat Australia Barat, pantai Panama sampai pantai selatan Teluk Kalifornia. Karang tumbuh dengan baik di daerah Indo-Pasifik dan sampai saat ini tercatat sekitar 70 genera di daerah tersebut. Faktor alami adalah penyebab melimpahnya karang di kawasan Samudera Pasifik. Menurut Nybakken (1993), jumlah spesies dan genera terumbu karang yang terbesar berada di daerah Indo-Pasifik, termasuk di dalamnya Kepulaua n Filipina, Kepulauan Indonesia, Nugini dan bagian Utara Australia. Peta penyebaran terumbu karang di dunia ditemukan pada perairan yang dibatasi oleh permukaan yang isoterm 20 0C.

Faktor – faktor pembatas kelangsungan hidup karang antara lain :

1. Suhu, terumbu karang hidup di perairan dengan rata-rata suhu tahunan 19 0C – 20 0C, dengan pertumbuhan optimal terjadi pada suhu 25 0C – 30 0C

(Grashkov dan Yakushova 1977;Randal 1983). Pada suhu rata-rata tahunan di bawah 18 0C pertumbuhan karang terhambat bahkan dapat mengakibatkan kematian.

2. Cahaya yang cukup harus ada untuk keperluan fotosintesis oleh simbiotik zooxanthela di jaringan karang. Tanpa cahaya laju kemampuan fotosintesis menurun, dengan demikian akan mengurangi kemampuan karang untuk mensekret kalsium karbonat dan menghasilkan rangka.

3. Salinitas, karang hermatifik tidak dapat bertahan pada salinitas yang menyimpang dari salinitas normal (32 ‰ – 35 ‰). Secara fisiologis salinitas mempengaruhi kehidupan hewan karang, karena adanya tekanan osmosis pada jaringan hidup. Sehingga karang jarang ditemukan hidup pada daerah-daerah muara sungai besar, bercurah hujan tinggi atau perairan dengan kadar garam tinggi (Ditlev 1980 dan Nybakken 1993).


(42)

4. Kedalaman, terumbu karang tidak dapat berkembang pada perairan dengan kedalaman lebih dari 50 m. Sebagian besar karang tumbuh pada kedalaman kurang dari 25 m, dimana pada kedalaman tersebut intensitas penetrasi cahaya sangat besar. Faktor kedalaman dan intensitas cahaya sangat mempengaruhi kehidupan karang, sehingga pada daerah keruh dan dalam tidak ditemukan terumbu karang (Ditlev 1980).

5. Sedimentasi, dapat menutupi permukaan karang. Sebagian besar karang dapat menghilangkan sedimen yang melekat dengan mengikatnya menggunakan mukus dan melepaskannya dengan pergerakan silia. Karang juga umumnya tidak dapat bertahan dengan sedimentasi yang berat, dimana silianya bekerja keras untuk membersihkan mukus yang menutupinya dan menyumbat struktur pemberian makan mereka. Selain itu sedimentasi pada perairan menyebabkan kekeruhan sehingga keberadaan cahaya untuk fotosintesis menurun jumlahnya dan zooxantela sulit menghasilkan makanan bagi jaringan karang.

6. Pergerakan massa air; berupa gelombang dan arus yang berperan dalam pertumbuhan karang, yaitu dengan membawa oksigen terlarut dan makanan. Selain itu gelombang dan arus dapat membersihkan polip dari kotoran-kotoran yang menempel dan yang masuk ke dalamnya. Oleh karena itu karang yang tumbuh di daerah ombak dan arus kuat lebih berkembang baik diba ndingkan di daerah yang tenang dan terlindung.

Formasi dan Zonasi Terumbu Karang

Perubahan formasi terumbu karang terjadi sepanjang waktu. Diawali dengan pulau karang atau pulau datar tropis yang baru dihasilkan oleh batas daratan dan berubah secara perlahan sepanjang ribuan tahun dari fringing reef , ke barrier reef menjadi atoll dan akhirnya menjadi terumbu yang punah seperti gunung laut atau guyot. Pulau karang atau pulau datar, berasal dari terumbu karang yang tumbuh dari bawah ke atas sampai permukaan kemudian terbentuk pulau karang, seperti terdapat


(43)

di Kepulauan Seribu. Umumnya pulau karang ini akan berkembang ke arah horisontal atau vertikal pada kedalaman yang relatif dangkal.

Gambar 6 Tingkatan formasi karang (Andersen 2003).

Terumbu karang tepi (fringing reef) merupakan terumbu karang yang terbentuk di sepanjang tepi pantai dari daratan atau pulau. Hal ini terjadi karena hewan karang pembangun terumbu adalah salah satu dari sebagian kecil organisme laut yang dapat bertahan hidup di perairan tropis yang hangat dengan kandungan nutrien yang sedikit. Dapat mencapai kedalaman 40 m dengan peretumbuhan ke atas dan ke arah luar laut terbuka. Proses perkembangan terumbu ini ditandai dengan adanya ban atau bagian endapan karang mati di sekeliling pulau.

Terumbu karang penghalang (barrier reef) terbentuk dari pulau yang berhubungan langsung dengan laut. Diawali dengan tenggelamnya permukaan pulau dan tidak ada pembentukan pulau vulkanik, komposisi terumbu karang bertambah dan terjadi erosi pada permukaan daratan atau pulau. Formasi terumbu ini letaknya relatif jauh dari daratan atau pulau, mencapai 0,5 – 2 km dengan dibatasi kedalaman perairan mencapai 75 km. Kadang-kadang terumbu ini berbentuk laguna. Umumnya karang penghalang tumbuh di sekitar pulau besar atau benua dan membentuk pulau karang yang terputus-putus.


(44)

Atol terbentuk ketika pulau benar-benar tenggelam di bawah permukaan laut tetapi terumbu karang terus tumbuh ke arah atas. Atol umumnya berbentuk cincin yang merupakan proses lanjutan dari karang penghalang. Material terumbu yang tererosi dapat bertumpuk dengan bagian atas terumbu lainnya, menghasilkan suatu area di bawah permukaan laut dan pulaunya disebut cay. Cay dapat menjadi sangat stabil (karena seringkali terdapat tumbuhan air) yang memberikan bangunan pulau yang permanen. Cay juga dapat menjadi tidak stabil dan bergerak menjauhi karang atau menghilang. Kedalaman rata-rata atol sekitar 45 m. Jenis terumbu ini banyak ditemukan di Pasifik Selatan dan Indonesia Timur.

Zonasi terumbu dikendalikan oleh kemampuan beberapa jenis karang yang mampu beradaptasi terhadap kondisi tingkat cahaya yang tinggi dan atau rendah. Bentuk umum dari pembentukan terumbu tergantung pada (1) waktu relatif tingginya permukaan laut dibandingkan dengan kemampuan akresi ke atas dari terumbu, dan (2) lamanya tinggi permukaan laut per satuan waktu melawan kemampuan terumbu untuk berjuang dalam kondisi tersebut (Birkeland 1997). Tetapi sebenarnya sangat sulit membuat pola zonasi untuk terumbu yang dapat digunakan secara umum, karena adanya tipe-tipe habitat yang berbeda serta luasnya dan kehadirannya dalam terumbu bervariasi di daerah geografis yang berbeda. Pola zonasi, walaupun rumit, bersifat tetap untuk atol, dan ini digunakan sebagai petunjuk umum.

Diawali dari bagian yang menghadap ke arah datangnya angin (windward), zona pertama terumbu karang adalah lereng terluar yang menghadap laut (Reef slope = outer seaward slope). Pada kedalaman kurang dari 15 m karang tumbuh dengan subur. Pada permukaan air tedapat batas terumbu yang menghadap ke arah datangnya angin (Reef front = windward reef margin), daerah ini juga mendukung pertumbuhan yang subur dari karang pembentuk terumbu yang dominan, seperti Karang bercabang dari jenis Acropora, dan disini perkembangan terumbu karang sangat cepat. Hal ini disebabkan kondisi lingkungan yang optimal. Di belakang zona ini terdapat zona batas antara laut yang dalam dengan laut yang dangkal (reef edge). Daerah ini merupakan punggung bukit yang bebas dari karang dan ditutupi oleh alga koralin. Daerah ini juga menerima pengaruh yang kuat dari energi gelombang,


(45)

sehingga tidak terdapat organisme apapun kecuali alga koralin pembentuk lapisan kulit yang keras. Di sepanjang zona ini akan terdapat beberapa saluran-saluran air yang menghubungkannya dengan daerah dalam zona.

W I N D

Gambar 7 Profil umum zonasi terumbu pada tipe terumbu karang tepi (fringing reef) (Barnes 1980).

Di belakang zona reef edge terdapat zona dataran terumbu (reef flat) yang sangat dangkal. Daerah ini merupakan daerah yang kompleks dengan berbagai faktor lingkungan seperti suhu, kekeruhan, dan terbuka di udara bebas. Faktor-faktor ini dilengkapi dengan kedalaman yang berbeda-beda dan berbagai tipe substrat (batu karang, pasir), membentuk sejumlah besar habitat yang menyebabkan zona ini terbagi menjadi beberapa bagian. Daerah ini juga merupakan salah satu daerah yang kaya akan spesies terumbu.

Pencemaran Logam Berat

Menurut Palar (2004), istilah logam berat digunakan untuk menyatakan pengelompokan ion-ion logam ke dalam tiga kelompok biologi dan kimia (bio-kimia). Pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Logam-logam yang dengan mudah mengalami reaksi kimia bila bertemu dengan unsur oksigen ( oxygen-seeking metal), (2) Logam-logam dengan mudah mengalami reaksi kimia bila


(46)

bertemu dengan unsur nitrogen atau belerang atau sulfur (nitrogen sulfur-seeking metal), dan terakhir (3) Logam antara atau transisi yang memiliki sifat spesifik sebagai logam pengganti (ion pengganti).

Air sering tercemar oleh komponen-komponen anorganik, diantaranya berbagai logam berat yang berbahaya. Logam berat merupakan unsur kimia yang akhir-akhir ini ramai dituding sebagai bahan pencemaran air. Menurut Palar (2004), pencemaran yang dapat menghancurkan tatanan hidup biasanya berasal dari limbah yang memiliki daya racun tinggi, seperti limbah kimia (berupa persenyawaan maupun dalam bentuk unsur ionisasi) yang mempunyai bahan aktif dari logam berat. Daya racun yang dimiliki oleh bahan aktif dari logam berat akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim dalam proses fisiologis dan metabolisme tubuh hingga terputus. Di samping itu bahan beracun dari senyawa kimia juga dapat terakumulasi atau menumpuk dalam tubuh sehingga timbul gejala keracunan kronis.

Bryan (1976) diacu dalam Supriharyono (2002) menyatakan, secara umum sumber-sumber pencemaran logam berat di laut dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber-sumber yang bersifat alami dan buatan. Logam berat yang masuk ke perairan laut secara alami berasal dari tiga sumber, yaitu: masukan dari daerah pantai (coastal supply) yang berasal dari sungai dan hasil abrasi pantai akibat aktivitas gelombang, masukan dari laut dalam (deep sea supply) meliputi logam-logam yang dibebaskan dari aktivitas gunung berapi di laut dalam dan partikel atau sedimen akibat proses kimiawi, serta masukan dari lingkungan dekat daratan pantai (termasuk logam yang ditransportasi ikan dari atmosfer sebagai partikel debu). Adapun sumber buatan (man-made) adalah logam-logam yang dibebaskan oleh proses industri logam dan batu-batuan.

Beberapa jenis logam berat yang sering mencemari lingkungan antara lain adalah Merkuri (Hg), Timbal (Pb), Arsenik (As), Kadmium (Cd), Khromium (Cr) dan Nikel (Ni) (Palar 2004). Menurut Bryan (1976) diacu dalam Supriharyono (2002), ada 18 unsur logam yang dipertimbangkan ada kaitannya dengan masalah pencemaran air, walaupun beberapa diantara unsur-unsur logam tersebut merupakan unsur esensial bagi kehidupan organisme, namun dalam juml ah berlebih bersifat


(47)

racun dan menghambat kerja enzim. Jenis-jenis logam tersebut antara lain adalah Aluminium (Al), Antimony (Sb), Arsenik (As), Kadmium (Cd), Kromium (Cr+6), Kobalt (Co), Copper (Cu), Iron (Fe), Lead (Pb), Mangan (Mn), Merkuri (Hg), Molybdenum (Mo), Nikel (Ni), Selenium (Se), Silver (Ag), Tin (Sn), Vanadium (V), dan Zinc (Zn).

Logam berat biasanya menimbulkan efek khusus pada makhluk hidup. Semua logam berat dapat menjadi bahan beracun jika masuk ke dalam tubuh organisme, namun demikian sebagian tetap dibutuhkan dalam jumlah tertentu. Bila kebutuhan dalam jumlah tertentu tidak terpenuhi, maka dapat berakibat fatal terhadap kelangsungan hidup organisme tersebut. Karena tingkat kebutuhannya sangat dipentingkan maka logam-logam tersebut juga dinamakan sebagai logam atau mineral esensial tubuh, seperti Zn, Mn, Co, Cu dan Fe. Beberapa faktor yang mempengaruhi daya racun dari logam berat yang terlarut dalam badan perairan, yaitu :

1. Bentuk logam dalam air (senyawa organik atau senyawa anorganik baik yang tidak dapat larut maupun yang dapat larut). Senyawa organik (yang persisten) dapat larut dalam badan perairan sehingga dengan mudah dapat diserap oleh biota perairan.

2. Keberadaan logam-logam lain dalam badan perairan menyebabkan logam tertentu menjadi sinergenis atau antagonis. Logam berat yang sinergenis bila bertemu pasangannya akan membentuk persenyawaan yang dapat berubah fungsi menjadi racun yang berbahaya (daya racun berlipat ganda). Sebaliknya, logam berat yang antagonis bila bersenyawa dengan pasangannya akan berkurang daya racunnya. 3. Fisiologis dari biota (organismenya). Besar kecilnya jumlah logam berat yang

terakumulasi dalam tubuh akan mempengaruhi daya racun yang ditimbulkan oleh logam berat. Proses fisiologi juga mempengaruhi peningkatan kandungan logam berat dalam badan perairan. Ini disebabkan karena ada organisme yang mempunyai toleransi tinggi (mampu menetralisir logam berat sampai konsentrasi tertentu) dan toleransi rendah (tidak mampu menetralisir logam berat).

4. Kondisi biota, biasanya berkaitan dengan fase-fase kehidupan yang dilalui oleh biota tersebut.


(48)

Akumulasi Logam Berat pada Biota Laut

Mekanisme keracunan logam berat pada biota laut terbagi atas dua fase, yaitu fase kinetik dan fase dinamik. Fase kinetik meliputi proses-proses biologi biasa seperti; penyerapan, penyebaran dalam tubuh, metabolisme dan proses pembuangan atau eksresi. Adapun fase dinamik meliputi semua reaksi-reaksi biokimia yang terjadi dalam tubuh, berupa katabolisme dan anabolisme yang melibatkan enzim-enzim. Pada fase kinetik, toksikan (bahan-bahan beracun) dan atau protoksikan (bahan-bahan yang mempunyai potensi menjadi racun), akan mengalami proses sinerge nis atau sebaliknya proses antagonis. Proses sinergenis merupakan proses atau peristiwa terjadinya penggandaan atau peningkatan daya racun yang sangat tinggi, sedangkan proses antagonis merupakan proses atau peristiwa pengurangan dan bahkan mungkin penghapusan daya racun yang dibina oleh suatu zat atau senyawa.

Fase dinamik merupakan proses lanjut dari fase kinetik. Pada fase dinamik ini bahan beracun yang tidak mampu dinetralisir oleh tubuh organisme akan bereaksi dengan senyawa-senyawa hasil dari biosintesa seperti protein, enzim, asam inti dan lemak. Hasil reaksi yang terjadi antara bahan beracun dengan produk biosintesa ini bersifat merusak terhadap proses-proses biomolekul dalam tubuh. Ma’ruf (2007) melakukan penelitian pada ikan beronang di wilayah pesisir Bontang Kuala, Kaltim dan mengamati tiga bagian tubuh ikan yaitu hati, insang dan daging. Konsentrasi logam Pb tertinggi ditemukan dalam organ hati (47,60 mg/kg), insang (30,35 mg/kg) dan daging tubuh (17,35 mg/kg). Sementara itu untuk konsentrasi logam Cd tertinggi di temukan pada organ hati (3,09 mg/kg), insang (2,69 mg/kg) dan daging tubuh (2,07 mg/kg).

Menurut Palar (2004), keberadaan logam-logam berat dalam suatu perairan dapat mengakibatkan kematian terhadap beberapa jenis biota perairan, keadaan ini akan terjadi bila konsentrasi kelarutan dari logam berat pada badan perairan tersebut cukup tinggi. Tingkat kelarutan tersebut dapat dikatakan tinggi bila, jumlah yang terlarut dalam badan air melebihi jumlah kelarutan normalnya. Melalui cara yang rumit dan sangat panjang, dalam jumlah yang sedikit logam berat juga dapat membunuh organisme hidup. Proses itu diawali dengan peristiwa penumpukan


(49)

(akumulasi) logam berat dalam tubuh biota. Lambat laun penumpukan logam berat yang terjadi akan melebihi daya toleransi dari biotanya. Keadaan ini awalnya akan menyebabkan kerusakan jaringa n hingga nantinya akan menjadi penyebab kematian pada biota.

Porites sebagaiPencatat Dampak Lingkungan

Terumbu karang di seluruh dunia merupakan objek yang paling intensif mengalami kerusakan. Sebagian besar daerah terumbu karang merupakan pendukung utama dalam menopang kehidupan manusia, tetapi keberadaan mereka terancam oleh aktivitas ekonomi yang mereka dukung. Dua faktor antropogenik yang turut menyumbangkan penurunan terumbu karang adalah eutrofikasi dan kerusakan akibat akivitas manusia. Dampak polutan jelas sangat merugikan bagi lingkungan perairan, misalnya penurunan keanekaragaman, penurunan produksi dan kematian karang. Scott (1990) dan Esslemont et al. (1999) mengatakan bahwa hewan karang sangat berguna sebagai indikator untuk melihat tingkat polusi yang terjadi pada suatu lingkungan karena dapat menggambarkan keberadaan logam lebih dari ratusan tahun. Karang dari genus Porites, dapat berfungsi sebagai pencatat dampak lingkungan dari kegiatan pertambangan dan industri (Fallon et al. 2002; David 2003). Suatu daerah dengan dominasi karang dari genus Porites dapat menjadi dasar identifikasi kerusakan lingkungan akibat pengaruh aktivitas manusia. Hal ini berkaitan dengan tipe pertumbuhannya yang berbentuk masif dan ukuran polipnya yang sangat kecil sehingga mampu bertahan dalam kondisi perairan yang ekstrim.

Selain logam berat, dampak sedimentasi juga dapat menjadi penyebab kematian karang. Sedimen dapat mempengaruhi kehidupan karang melalui beberapa cara. Penumpukan sedimen di atas koloni karang dapat membunuh jaringan dan sedimentasi yang berlebihan sering menimbulkan kematian. Karang memiliki beberapa mekanisme untuk membersihkan sedimen dari jaringannya, diantaranya dengan terus menerus mengambil air dan mengalirkannya melalui jaringan, menahan partikel-partikel yang menyebabkan sedimentasi dengan menggunakan silia dan gerakan tentakel serta mensekresi mukus (Stafford-Smith dan Ormond 1992).


(50)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Lokasi penelitian terletak di perairan laut Tanjung Jumlai, Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pada perairan ini terdapat hamparan terumbu karang yang berupa gosong karang (Gambar 8). Bagian Utara lokasi penelitian berbatasan langsung dengan Teluk Balikpapan yang merupakan kawasan industri, sedangkan bagian Barat berbatasan dengan daerah pesisir Tanjung Jumlai, dimana terdapat muara Sungai Sesumpu dan area pertambakan. Pada bagian Selatan dan Timur lokasi ini merupakan kawasan penambangan minyak dan gas bumi. Stasiun pengamatan ditetapkan sebanyak delapan lokasi, diawali dari muara Sungai Sesumpu hingga perairan depan Kampung Baru dan selebihnya tersebar di sekeliling daerah terumbu karang. Posisi geografis stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Posisi geografis stasiun pengamatan

Stasiun Posisi Geografis

Bujur Timur (BT) Lintang Selatan (LS)

1 1160 45’ 30,7” 10 19’ 40,4”

2 1160 46’ 9,6” 10 21’ 8,8”

3 1160 45’ 59,5” 10 22’ 10,6”

4 1160 45’ 45,4” 10 22’ 58,4”

5 1160 46’ 1,7” 10 23’ 8,1”

6 1160 46’ 26,8” 10 22’ 19,6”

7 1160 47’ 14,4” 10 21’ 41,5”

8 1160 47’ 59,8” 10 20’ 35,8”

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari – Juni 2007. Analisis kualitas air dan logam berat dilakukan di Laboratorium Kualitas Air Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Mulawarman. Uji histologis jaringan lunak karang dilakukan di Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.


(51)

Sumber : Peta dasar Bakosurtanal (1998), dimo difikasi oleh Jurusan MSP FPIK UNMUL (2007) Gambar 8 Lokasi penelitian ( posisi stasiun karang).

1 1 0

1 1 0 1 1 2

1 1 2 1 1 4

1 1 4 1 1 6

1 1 6 1 1 8

1 1 8

- 4 - 4

- 2 - 2

0 0

2 2

4 4

6 6


(52)

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan selama penelitian adalah botol pengambil contoh air kapasitas 1 liter, alat pengukur kualitas air(merek Horiba U-10 dan Oxy-meter merek WTW 330i), AAS (Atomic Adsorption Spectrophotometer), oven, inkubator, GPS (Global Position System), timbangan analitik, kertas saring, peralatan titrasi dan peralatan glass ware, mikroskop, potongan hewan karang, mikrotom, gelas objek, gelas penutup, fotomikroskop, alat selam dasar, kompas, kapal, rollmeter 50 m, kamera bawah air, sabak, pensil, buku identifikasi karang (Suharsono 2004) dan CD (compact disc) identifikasi karang (Veron 2002). Bahan pereaksi yang digunakan selama penelitian antara lain H2SO4, HNO3, KMnO4, MnSO4, larutan clorox, larutan phenate, sulfanilamid dan larutan NED, larutan brusin, ammonium molybdate dan larutan stannous klorida, formalin 37 %, larutan bouin, larutan dekalsifikasi, akuades, alkohol 70 – 100 %, parafin, xylol, bahan pewarnaan (hematoksilin dan eosin, hematoksilin logam, alcian blue pH 2,5, dan masson trichrome).

Metode Pengukuran

Metode pengukuran/analisis contoh air dan kandungan logam dalam jaringan dilakukan berdasarkan Standard Methods for the Examination of Water and Waste Water (APHA 2000). Uji histologis jaringan lunak karang dilakukan dengan metode section dan pewarnaan, antara lain pewarnaan Hematoksilin dan Eosin, pewarnaan Hematoksilin Logam, pewarnaan Alcian Blue, dan pewarnaan Masson Trichrome. Pengamatan kondisi terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT) dengan panjang transek 50 m. Transek dibentangkan pada hamparan terumbu (reef top) dimana ditemukan karang yang tumbuh secara optimal, yaitu pada kedalaman ± 2 m. Tabel 2 memperlihatkan parameter pengamatan yang dianalisis selama penelitian.


(53)

Parameter Satuan Metode Alat dan

Bahan Pengamatan FISIK

OSEANOGRAFI: 1. Arus

2. Kedalaman 3. Posisi Geografis

m/dt m

Lintang-Bujur

Kecepatan dan arah arus permukaan Kedalaman rata-rata Posisi Global

Floating drift Tali berskala GPS

In situ In situ In situ KUALITAS AIR:

4. Suhu Air 5. Kekeruhan 6. TSS 7. Salinitas 8. pH 9. DO

10. Saturasi Oksigen 11. BOD5

12. TOM 13. NH3-N

14. NO2-N

15. NO3-N

16. HPO4=

17. Logam Berat

0 C NTU mg/l ‰ - mg/l % mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l Pemuaian Potensiometrik Gravimetrik Potensiometrik Potensiometrik Potensiometrik Potensiometrik Titrimetrik

Titrimetrik, KMnO4

Spektrofotometrik Spektrofotometrik Spektrofotometrik, Brusin Spektrofotometrik, Ammonium Molybdate Absorbsi Energi Gelombang Termometer Turbidity-meter Millipore Salinometer pH-meter Oxy-meter Oxy-meter Peralatan Titrasi Peralatan Titrasi Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer Spektrofotometer AAS (Hitachi 170-30) Deteksi limit (mg/l) : - Pb < 0,01 - Cd < 0,001

In situ In situ Ex situ In situ In situ In situ In situ Ex situ Ex situ Ex situ Ex situ Ex situ Ex situ Ex situ BIOLOGI :

18. Luas Penutupan 19. Preparat jaringan

% sel

Line Intercept Transect Section dan Pewarnaan

Tali berskala (meteran) Mikrotom

In situ Ex situ

Contoh air diambil di setiap stasiun pengamatan menggunakan botol pengambil contoh air. Cara pengambilan contoh air dilakukan dengan menenggelamkan botol hingga mendekati dasar perairan, selanjutnya pegas pada penutup botol ditarik melalui tali penghubung sehingga contoh air dapat masuk ke dalam botol. Setelah itu botol ditarik ke permukaan, sehingga contoh air yang terambil merupakan contoh air yang mewakili setiap lapisan kolom air. Contoh air selanjutnya dimasukan ke dalam 3 buah botol untuk dilakukan perlakuan lebih lanjut. Dua botol contoh air diawetkan dengan H2SO4 dan HNO3, dan satu botol sisanya tidak diawetkan (blanko). Semua botol yang berisi contoh air disimpan ke


(54)

dalam coll box yang berisi es untuk menghambat aktivitas mikroorganisme. Contoh air dianalisis lebih lanjut pada Laboratorium Kualitas Air Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman dengan mengacu kepada metode menurut ASTM (1972) dan APHA (2000).

Pengambilan contoh karang untuk uji histologis dilakukan dengan memotong bagian karang menggunakan pahat. Contoh karang dimasukkan dalam botol polietilen berisi larutan formalin 10% untuk di analisa lebih lanjut di Laboratorium. Contoh karang yang dibuat preparat histologi adalah karang masif Genus Porites yang dominan hidup di lokasi penelitian. Kualitas karang yang diamati dengan histologi meliputi bentuk dan morfologi polip dan sel, kandungan logam berat dalam jaringan dan zat yang terdapat di dalam polip dan sel dengan metode yang mengacu kepada Kiernan (1990). Morfologi bentuk sel jaringan diamati dengan menggunakan metode pewarnaan Hematoksilin dan Eosin. Jaringan ikat diamati dengan metode pewarnaan Masson Trichrome (Modifikasi Goldner). Kandungan logam berat diamati dengan metode pewarnaan Hematoksilin untuk Logam. Kandungan mukus dilihat dengan pewarnaan Alcian Blue (AB) pH 2,5 (Kiernan 1990).

Untuk pengumpulan data individu karang dilakukan dengan membentangkan tali berskala di atas koloni karang (Line Intercept Transect) (English et al. 1994). Genera karang skleraktinia di identifikasi secara langsung dengan melihat koloni yang ditemukan (Rapid Reef Assessment). Perhitungan karang meliputi persentase penutupan berdasarkan bentuk pertumbuhan (lifeform) dan luas area koloni karang.


(55)

Analisis Data

1. Manova (Multivariate Analysis of Variance)

Analisis multivariabel (Manova) digunakan untuk mengeksplor hubungan diantara variabel independen yang bersifat kategorikal (perlakuan atau lokasi) dari dua atau lebih variabel independen metrik. Analisis Manova akan menguji hipotesis nol (Ho) yang menyatakan tidak ada perbedaan rata-rata (mean) dari variabel tak bebas (Y) dalam kelompok yang berbeda. Hipotesis alternatifnya (Ha) menyatakan, ada perbedaan rata-rata (mean) dari variabel tak bebas (Y) dalam kelompok yang berbeda. Persamaan Manova adalah sebagai berikut (Manly 1986, diacu dalamMa’ruf 2007) :

X

ij

= µ + di + eij

Tabel 3 Manova

Sumber Variasi Jumlah Kuadrat Df

Perlakuan (between group) Galat/residual (within group)

B W

G – 1 Sni - g

B + W Sni - 1

W = (n1 – 1) S1 + (n2 – 1) S2 + ….. + (ng – 1) Sg

(

Xi X

)(

Xj X

)

B=

ig= − − 1

dimana : W = jumlah kuadrat residual seluruh kelompok B = jumlah kuadrat antar kelompok

S1 = varian X1 S2 = varian X2

Sg = varian gabungan

Xi = rerata/mean Xi

Xj = rerata/mean Xj


(1)

Lampiran 27 Lanjutan

Masson Trichrome (Modifikasi Goldner)

Metode pewarnaan khusus salah satunya dapat dilakukan dengan pewarnaan Masson Trichrome. Menggunakan bahan-bahan yang bersifat heteropolyacid, yaitu Phosphomolibdic acid (PMA) dan Phosphotungstik acid (PTA). PTA mengikat protein dan asam, asam amino tetapi bukan untuk mengikat karbohidrat. Sementara itu kolagen dapat berikatan dengan banyak PMA. Pewarnaan Masson Trichrome dilakukan untuk melihat jaringan ikat. Prosedur pewarrnaan MT adalah sebagai berikut :

1. Sediaan di deparafinisasi dan rehidrasi.

2. Rendam dalam larutan mordant selama 30–40 menit, bilas dengan aquades. 3. Rendam dalam larutan Carrazi’s hematoxylin selama 40 menit, bilas dengan

air destilasi.

4. Selanjutnya masukkan sediaan ke larutan orange G 0,75% selama 1-2 menit. 5. Tanpa dibilas air destilasi masukkan sediaan ke dalam larutan acetic acid 1%

sebanyak dua kali (sambil diguncang-guncang).

6. Kemudian masukkan kedalam larutan ponceau xylidine fuchsin selama 15 menit, masukkan sediaan dalam larutan acetic acid 1% sebanyak dua kali. 7. Rendam sediaan dalam larutan phosphotungstik acid 2,5% selama 10 menit,

selanjutnya pindahkan dalam larutan acetic acid 1% sebanyak dua kali.

8. Berikutnya rendam kembali sediaan dalam larutan aniline blue selama 15 menit, pindahkan ke larutan acetic acid 1% sebanyak dua kali.

9. Selanjutnya rendam dalam alkohol 95% selama tiga menit, setelah itu di dehidrasi dan terakhir sediaan di tutup dengan cover gelas (mounting).

10. Jika pewarnaan dilakukan dengan benar maka hasilnya seperti berikut : Nukleus berwarna coklat (tetapi kadang-kadang biru)

Muscle, sitoplasma berwarna merah

Benang-benang fibrin dan kalsium berwarna ungu Hyalin berwarna biru muda


(2)

Lampiran 27 Lanjutan

Hematoksilin Logam

Metode pewarnaan ini termasuk dalam metode pewarnaan khusus bertujuan untuk melihat kandungan logam dalam jaringan. Warna yang lebih kompleks dan lebih gelap dalam jaringan setelah dicelupkan menggambarkan banyaknya logam yang terakumulasi. Agar sensitifitasnya tinggi larutan Hematoksilin harus dibuat baru (fresh) untuk setiap pemakaian.

Prosedur Pewarnaan Hematoksilin Logam adalah sebagai berikut : 1. Sediaan di deparafinisasi dan rehidrasi.

2. Tetesi dengan larutan Hematoksilin, uji selama 2 jam. 3. Tanpa dibilas aquades.

4. Dehidrasi dengan Alk 90%, dua kali dengan Alk Abs selama beberapa detik. 5. Mounting dengan cover glass.

Alcian Blue (AB) pH 2,5

Metode pewarnaan khusus AB bertujuan untuk melihat kandungan karbohidrat dalam sel mukus.

Prosedur pewarnaannya adalah sebagai berikut : 1. Deparafinisasi dan rehidrasi

2. Cuci dengan air mengalir dan aquades (masing-masing selama 5 menit). 3. Penurunan pH dengan 3% asam asetat (5 menit).

4. Tetesi dengan Alcian Blue pH 2,5 (kurang dari 30 menit).

5. Cuci dengan 3% asam asetat (sebanyak tiga kali masing-masing selama 5 menit).

6. Bilas dengan aquades (sebanyak tiga kali masing-masing selama lima menit). 7. Counterstain (misal : Nuclear Fast Red ) cek dengan mikroskop.

8. Cuci dengan akuades.


(3)

Lampiran 28 Alur destruksi basah pada jaringan karang

contoh uji

75 gr contoh uji

+ akuades s/d 100 ml dipanaskan + HNO3 (5-10 ml)

dipanaskan

sampai volume akhir 10 ml

didinginkan

+ 5 ml HNO3

+ HCLO4 tetes demi tetes

dipanaskan

sampai muncul asap putih / filtrat bening

pemanasan diteruskan sampai 30 menit

belum terdekomposisi seluruhnya

terdekomposisi seluruhnya

ulangi tahap awal masukkan ke dalam labu ukuran 100 ml

terdekomposisi seluruhnya

disaring

siap diukur dengan AAS (blanko) 100 ml


(4)

Lampiran 29 Persen penutupan substrat dasar

No Keterangan

Lokasi Pengamatan

Stasiun 3 Stasiun 4

m % m %

Hard coral

1. DC 0 0 0 0

2. DCA 4,7 9,4 4,1 8,2

3. Acropora 3,8 7,6 22,6 45,2

4. Favia 0,5 1 0,5 1

5. Fungia 1,2 2,4 0,5 1

6. Heliofungia 0,2 0,4 0 0

7. Pocillopora 0,5 1 0 0

8. Echinopora 0,4 0,8 0 0

9. Platygyra 0,1 0,2 0 0

10. Porites 0,4 0,8 1,5 3

11. Seriatopora 0,3 0,6 0 0

12. Montipora 0 0 1,3 2,6

13. Sandalolita 0 0 0,4 0,8

14. Pachyseris 0 0 0,9 1,8

15. Pectinia 0 0 0,7 1,4

16. Millepora 0 0 5,4 10,8

17. Heliopora 0 0 4,4 8,8

18. Pavona 0 0 0,5 1

Other Fauna

19. SC 0 0 0 0

20. SP 0 0 0 0

21. ZO 0 0 0 0

22. OT 0,2 0,4 2 4

23. AA 18,9 37,8 0,7 1,4

24. CA 0 0 0 0

25. HA 1,3 2,6 0 0

26. MA 4,1 8,2 0 0

Abiotik

27. S 2,6 5,2 0 0

28. R 10,8 21,6 4,5 9

29. SI 0 0 0 0

30. WA 0 0 0 0

31. RCK 0 0 0 0

32. DDD 0 0 0 0


(5)

Lampiran 29 Lanjutan

No Keterangan

Lokasi Pengamatan

Stasiun 5 Stasiun 6

m % m %

Hard coral

1. DC 6,3 12,6 2,8 5,6

2. DCA 0 0 4,4 8,8

3. Acropora 8,5 17 6,4 12,8

4. Favia - - 2,8 -

5. Fungia 0,3 0,6 0,2 0,4

6. Porites 2,4 4,8 3,6 7,2

7. Seriatopora 0 0 0,7 1,4

8. Montipora 0,6 1,2 1,1 2,2

9. Pectinia 3 6 - -

10. Millepora 3,9 7,8 - -

11. Heliopora 0,7 1,4 3,8 7,6

12. Oxypora 1,5 3 - -

13. Styllopora 0,2 0,4 - -

14. Leptoseris 0,1 0,2 3,8 0,4

15. Euphyllia - - 1,4 2,8

16. Goniastrea - - 0,5 1

17. Goniophora - - 0,5 1

18. Lobophylla - - 1,4 2,8

Other Fauna

19. SC 7,7 15,4 3,1 6,2

20. SP 5,1 10,2 0,8 1,6

21. ZO - - - -

22. OT - - - -

23. AA - - 3,1 6,2

24. CA - - - -

25. HA - - - -

26. MA 1,1 2,2 6,3 12,6

Abiotik

27. S 1,6 3,2 - -

28. R 7 14 9,7 19,4

29. SI - - - -

30. WA - - - -

31. RCK - - - -

32. DDD - - - -


(6)

SIMPULAN

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di perairan Tanjung Jumlai dapat disimpulkan bahwa :

1. Variabel kualitas air saat penelitian dilakukan secara umum masih dapat mendukung kehidupan terumbu karang di perairan tersebut.

2. Hewan karang yang tumbuh di perairan Tanjung Jumlai khus usnya dari Genus Porites telah terakumulasi logam berat dengan nilai konsentrasi Pb di jaringan lunak lebih tinggi hingga empat kali lipat daripada konsentrasi Pb di badan air. Nilai konsentrasi Cd di jaringan diketahui lebih tinggi hingga dua kali lipat daripada konsentrasi Cd di badan air.

3. Akumulasi logam Pb pada jaringan lunak karang hingga 2,23 mg/l tidak mengakibatkan perubahan gambaran mikromorfologi jaringan lunak karang Porites.

4. Karang mempunyai sistem yang unik dalam mengeliminir logam dalam tubuhnya. Hal ini merupakan salah satu strategi bagi karang untuk bisa bertahan terhadap kondisi perairan yang menyimpang dari kondisi normal.

Saran

1. Perlu kajian lebih lanjut untuk melihat dampak akumulasi logam berat terhadap ultrastruktur sel-sel polip karang.

2. Perlu kajian akumulasi logam berat dalam kerangka kapur untuk melihat potensi karang Porites sebagai bioindikator dan biofilter perairan.