Keberdayaan, Kemajuan dan Keberlanjutan Usaha Pengrajin: Kasus Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Magetan Provinsi Jawa Timur

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pembangunan pada hakekatnya adalah perubahan terencana dari satu
situasi ke situasi lainnya yang dinilai lebih baik. Pembangunan yang terlalu
mengejar pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhatikan pengembangan
sumberdaya manusia berakibat pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia.
Sumberdaya manusia yang kurang mendapat sentuhan pembangunan menjadi
tidak kuat dan goyah ketika dihadapkan pada situasi krisis. Mereka yang
bergantung pada industri-industri besar menjadi terhempas ketika industri besar
tersebut jatuh. Pemutusan hubungan kerja (akibat penciutan usaha atau kepailitan)
pada industri sering berdampak pada terjadinya pengangguran karena tenaga kerja
tidak terserap dalam pasar kerja tidak terelakkan.
Industri kecil merupakan salah satu soko guru perekonomian yang turut
mempercepat pemerataan pertumbuhan ekonomi karena dapat menyerap tenaga
kerja dalam jumlah yang besar (padat karya). Jumlah tenaga kerja yang bekerja di
sektor industri kecil meningkat tajam sejak tahun 1985 dengan laju pertumbuhan
tenaga kerja 6,4% per tahun. Pada tahun 1989 jumlah tenaga kerja yang bekerja di
sektor ini berjumlah 7.334.874 orang dan pada akhir tahun 2003 mencapai
11.643.072 orang (BPS, 2004)
Selain menyerap tenaga kerja, industri kecil menjadi penyumbang
pendapatan asli daerah yang signifikan. Pada beberapa jenis produk, hasil

produksi industri kecil di bidang pangan, sandang, kulit, kimia dan bahan
bangunan, kerajinan dan umum prospektif untuk ekspor (Hubeis, 1997). Oleh
karena itu, dalam rangka otonomi daerah pemerintah memberikan perhatian yang
lebih optimal guna meningkatkan produktivitas sektor ini.

Pemerintah telah

melakukan upaya pembangunan industri kecil dalam jangka waktu puluhan tahun,
namun apabila dilihat fakta yang ada kondisi pengrajinnya masih banyak yang
belum mengalami kemajuan. Kondisi pengrajin pada saat ini sebagian besar masih
seperti pada saat orang tua atau sanak kerabatnya memulai usaha itu puluhan
tahun yang lalu.

Upaya menjalin kerjasama dengan individu lain terutama yang terkait
dengan bidang usaha, meliputi pemasok barang, pemodal, pelanggan atau mitra
usaha lainnya masih lemah. Terdapat beberapa faktor penyebab lemahnya
kemampuan kerjasama ini. Beberapa diantaranya adalah kemampuan komunikasi,
pengetahuan tentang kerjasama itu sendiri, upaya subordinasi dan dominasi elit
bisnis (pemodal, pemasok barang, distributor), dan yang paling utama adalah rasa
percaya diri yang masih rendah (Wijaya, 2001; Karsidi, 1999; Tawardi, 1999).

Karsidi (1999) menemukan bahwa permasalahan utama yang menghambat
peningkatan kesejahteraan pengrajin adalah pola hidup mereka

yang masih

tradisional, mereka cepat puas, kurang tanggap terhadap peluang, dan kurang
memiliki kemampuan. Selain itu, para pengrajin industri kecil masih belum siap
dan mereka memiliki latar belakang pendidikan yang kurang. Oleh karena itu,
kompetensi pengrajin perlu dikembangkan dengan kegiatan penyuluhan yang
dirancang sesuai dengan kelompok jabatan: buruh pengrajin, pengrajin dan
pengusaha pengrajin.
Pelham (1999) menemukan bahwasanya industri kecil masih lemah dalam
hal

perencanaan,

pemikiran

strategis


dan

orientrasi

jangka

panjang.

Kecenderungan memenuhi kebutuhan jangka pendek mengakibatkan mereka tidak
melakukan perencanaan ke depan tentang pasar, pengelolaan keuangan, atau
persediaan sumber daya yang dibutuhkan. Kurang dari 50% pengusaha industri
kecil yang secara rutin dan berkelanjutan mengumpulkan infromasi tentang
pertumbuhan pasar atau segmen pasar.
Selain itu, pengrajin masih belum memposisikan diri sebagai wirausaha
yang berkualitas, kreativitas menjadi modal dasar untuk menghadapi persaingan
belum dipenuhi dengan optimal dan masih bersifat subsisten menjadikan kualitas
perilakunya masih rendah (Megginson et al., 2000, Sigito 2001, Tawardi, 1999).
Ismawan (2002) mencatat beberapa keterbatasan yang dijumpai pengrajin
yaitu: (1) manajemen, pengelolaan keuangan, keberlanjutan lembaga dan
semacamnya; (2) scope dan skala ekonomi yang terbatas dan tidak dapat dengan

mudah serta cepat dikembangkan karena keterbatasan akses pelayanan keuangan,
informasi, dan pasar; dan (3) lingkungan usaha yang kurang fair, adil,

diskriminatif, kurang jelas aturan mainnya dan konsistensi dalam menjaga aturan
main yang ada.
Permasalahan lain yang dihadapi pengrajin adalah bahwasanya industri
kerajinan sangat dipengaruhi oleh perkembangan mode. Oleh karena itu,
permintaan produk dengan model yang berkembang terus menuntut kreativitas
dan inovasi produk yang tinggi pula. Kenyataan yang ada menunjukkan variasi
produk sangat monoton, sehingga kadang timbul kejenuhan dari konsumen
(Sigito, 2001). Selain itu, tingkat disiplin pengrajin juga kurang sehingga sering
target tidak dapat dipenuhi. Tingginya persaingan dalam industri kerajinan
menuntut

ketrampilan

pengrajin

untuk


membaca

peluang

pasar

dan

mengembangkan daerah pemasaran. Perkembangan strategi penjualan produk
juga tampaknya perlu dikuasai oleh pengrajin.
Berdasarkan pendapat tersebut maka permasalahan industri kecil dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
(1) Kapasitas, permasalahan yang terkait dengan rendahnya kapasitas pengrajin
dalam hal: perencanaan, pengelolaan keuangan, kewirausahaan, keberlanjutan
usaha, pertumbuhan skala ekonomi.
(2) Akses, keterbatasan akses terutama dalam hal akses pada pelayanan keuangan,
informasi, dan pasar.
(3) Lingkungan, rendahnya keberpihakan lingkungan terutama pemerintah dalam
memberikan pembinaan terhadap industri kecil, regulasi terhadap arus produk
pesaing dari luar negeri, dan regulasi lainnya yang fair, adil, tidak

diskriminatif, jelas aturan mainnya dan konsistensi dalam menjaga aturan
main yang ada.
Menyadari kenyataan yang ada, maka pada masa mendatang diperlukan
adanya suatu model pemberdayaan yang mampu meningkatkan kemampuan
pengrajin sehingga mampu berkolaborasi dengan pengrajin dan pendukung usaha
lainnya (stakeholder). Selain itu, agar pengrajin yang telah ada mampu
mengembangkan skala usahanya. Pemberdayaan ini tidak terlepas dari upaya yang
ditujukan untuk menempatkan pengrajin menjadi subyek pembangunan, serta
menempatkan sumber daya manusia pengrajin sebagai komponen utama dalam

pembangunan industri kecil sehingga pengrajin mampu mandiri menghadapi
persaingan usaha.

Masalah Penelitian
Kurang berkembangnya industri kecil di Indonesia telah menimbulkan
kesan bahwa berbagai program pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap industri kecil selama ini kurang banyak manfaatnya. Kurang berhasilnya
kebijakan dan program pengembangan industri kecil di Indonesia disebabkan
antara lain oleh: adanya tumpang tindih dalam program dan populasi sasaran serta
pendekatan yang tidak terkoordinasi dan tidak konsisten. Akibatnya, mereka
sering menjadi obyek pembangunan, tergantung, dan tidak mandiri. Berdasarkan

hasil analisis Pardede (2000) diketahui bahwa kebijakan pemerintah dalam
membangun industri kecil

lebih menekankan pada upaya meningkatkan

produktivitas dan kurang menyentuh aspek peningkatan kualitas SDM
Peningkatan kualitas SDM pengrajin adalah sasaran yang seharusnya
menjadi tujuan pembangunan industri kecil, sehingga dengan SDM yang
berkualitas akan dapat membawa pengrajin ke arah keberlanjutan dan kemajuan
usaha, dan keberhasilan pembangunan industri kecil dapat mewujudkan
kesejahteraan masyarakat industri kecil.
Menurut Megginson, Byrd dan Magginson (2000), berbagai penelitian
telah berhasil memetakan permasalahan industri kecil namun aspek perilaku
belum mendapat perhatian khusus. Pada saat ini gaya hidup pengrajin industri
kecil pada umumnya masih berada dalam gaya hidup transisi (pre modern), sebab
untuk mencapai kemandirian perlu diubah menjadi gaya hidup modern, kegiatan
industrialisasi menjadi dominan (Karsidi, 1999).
Sebagai seorang wirausaha pengrajin industri kecil masih belum mempunyai sifat tanggap terhadap peluang usaha. Hal ini apabila dikaitkan dengan
sifat perilaku wirausaha yang berhasil adalah bersifat opportunistis (Bird, 1989).
Sebagai salah satu contoh yang terjadi pada industri kecil tas dan sepatu yang

seringkali tidak dapat merespon dengan baik penawaran yang diberikan oleh pasar
berupa pesanan tas dan sepatu, pesanan tidak diselesaikan tepat waktu, kualitas
menjadi menurun karena jumlah pesanan banyak dan sebagainya sehingga pasar

tidak puas. Sifat kurang tanggap ini juga terkait dengan pengambilan keputusan
yang lambat dari pengusaha industri kecil.
Industri kecil dari bahan kulit adalah industri yang terkait dengan mode,
yakni mode akan berjalan sesuai dengan trend. Kejenuhan pasar akan terjadi pada
saat industri kecil tidak mampu menghasilkan kreasi yang sesuai dengan trend
yang ada. Kreativitas pengrajin tas dan koper di Sidoarjo untuk mengikuti trend
yang dibutuhkan pasar adalah masih rendah (Sigito, 2001).
Perilaku pengrajin industri kecil sekarang ini masih belum kondusif.
Berdasarkan penelitian Tawardi (1999) ditemukan bahwa: (1) orientasi hidup
pengusaha kecil masih untuk memenuhi keperluan hari ini, (2) kadang-kadang
merasa rendah diri karena ekonomi lemah, dan (3) percaya diri terlalu tinggi
sehingga merasa mutu produknya lebih baik dibanding orang lain.
Perkembangan teknologi yang cepat dalam proses produksi akan menunjang kualitas produk dan ketepatan waktu pengerjaan. Mengingat karakteristik
produk kerajinan barang dari bahan kulit terkait dengan selera, maka sangat
dibutuhkan peralatan yang bisa menghasilkan produk yang berkualitas, misalnya
jenis mesin jahit, jarum, alat pengguntingan, pengepresan dan sebagainya. Kondisi

yang dihadapi sebagian besar industri kecil kerajinan barang dari bahan kulit
kurang bisa merespon perubahan selera konsumen dan perubahan teknologi
dengan cepat. Apabila dikaji lebih mendalam permasalahan yang dihadapi
industri kecil ini adalah perilaku pengrajinnya yang sedang dituntut berubah.
Aspek perilaku wirausaha terdiri dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik
pengrajin industri kecil masih belum kondusif. Berdasarkan latar belakang
penelitian, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut:
(1) Bagaimana perilaku wirausaha, tingkat kemandirian usaha, tingkat kemajuan
usaha, dan keberlanjutan usaha pengrajin?
(2) Faktor-faktor manakah yang berpengaruh terhadap kualitas perilaku wirausaha
para pelaku industri kecil?
(3) Faktor-faktor manakah yang menentukan tingkat kemandirian berusaha para
pelaku industri kecil?
(4) Faktor-faktor manakah yang cenderung lebih menentukan kemajuan usaha?
(5) Faktor-faktor manakah yang lebih menentukan keberlanjutan usaha?

(6) Bagaimana model pemberdayaan yang efektif untuk memandirikan pengrajin,
membentuk perilaku wirausaha yang berkualitas, dan memajukan usaha?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah-masalah yang telah disebutkan, maka secara umum

tujuan penelitian adalah sebagai berikut:
(1) Mendapatkan gambaran tentang perilaku wirausaha, tingkat kemandirian
usaha, tingkat kemajuan usaha, dan keberlanjutan usaha pengrajin.
(2) Menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas perilaku wirausaha
para pelaku industri kecil.
(3) Menjelaskan faktor-faktor penentu tingkat kemandirian berusaha para pelaku
industri kecil.
(4) Menjelaskan faktor-faktor yang menentukan kemajuan usaha para pelaku
industri kecil.
(5) Menjelaskan faktor-faktor yang menentukan keberlanjutan usaha para pelaku
industri kecil.
(6) Merumuskan model pemberdayaan yang efektif untuk memandirikan
pengrajin, membentuk perilaku wirausaha yang berkualitas, dan memajukan
usaha.
Manfaat Hasil Penelitian
Hasil yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan se cara ilmiah dan secara praktis. Diharapkan hasil penelitian ini dapat
memberikan beberapa manfaat sebagai berikut:
(1) Bagi perkembangan ilmu penyuluhan pembangunan, diharapkan penelitian ini
dapat memberikan sumbangan terhadap:

 Pengembangan model intervensi terhadap komunitas pengrajin.
 Pengembangan paradigma penyuluhan yang memberdayakan pengrajin.
 Pengembangan konsep perilaku wirausaha dan kemandirian pengrajin.
 Peningkatan kemajuan usaha dan keberlanjutan usaha industri kecil.
(2) Bagi pembangunan industri kecil, diharapkan penelitian ini dapat dimanfaat
sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun kebijakan dan program
pemberdayaan pengrajin.

Definisi Istilah
(1) Industri kerajinan adalah aktivitas usaha di tingkat rumah tangga yang
mencakup semua perusahaan/usaha yang melakukan kegiatan mengubah
barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang
kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual.
Yang termasuk dalam kategori tersebut adalah perusahaan/usaha yang
memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang, memiliki asset maksimal Rp 200 juta
tidak termasuk tanah dan harta tak bergerak.
(2) Pengrajin adalah orang yang bekerja di bidang kegiatan mengubah barang
dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang
nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual untuk
memenuhi nafkah hidupnya yang memiliki kemampuan menjalankan aktivitas
di bidang produksi dan perdagangan.
(3) Karakteristik individu pengrajin adalah ciri-ciri yang melekat pada individu
pelaku kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan
atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih tinggi nilainya dengan
maksud untuk dijual, yang membedakan dirinya dengan orang lain
berdasarkan waktu tertentu.
(4) Faktor pendukung usaha adalah tingkat ketersediaan faktor-faktor yang sesuai
dengan kebutuhan untuk menunjang kegiatan usaha kerajinan kulit yang
bermutu.
(5) Dukungan lingkungan adalah individu-individu lain, lembaga, atau sistem
yang melingkupi pengrajin dan usahanya, yang memberikan dukungan
sehingga dapat mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin.
(6) Keberdayaan pengrajin adalah daya yang dimiliki pelaku kegiatan usaha
kerajinan yang ditekankan pada perilaku wirausaha (yang tercermin pada sifat
inovatif, memiliki inisiatif atas usahanya, mampu mengelola resiko, berdaya
saing) dan kemandirian dalam kegiatan usahanya (permodalan, produksi,
kerjasama dan pemasaran).

(7) Perilaku wirausaha adalah aspek-aspek yang terinternalisasi dalam diri
pengrajin yang ditunjukkan oleh pengetahuan, sikap dan ketrampilannya
untuk melakukan usaha dengan inovatif, inisiatif, berani mengambil resiko
dan berdaya saing.
(8) Kemandirian usaha adalah kemampuan pelaku usaha kerajinan dalam kegiatan
produksi, pemasaran dan permodalan yang tidak tersubordinasi dengan pihak
lain serta kemampuan kerjasama dengan individu, kelompok atau organisasi
untuk mencapai kemajuan terbesar bersama.
(9) Kemajuan usaha pengrajin adalah kondisi perkembangan aktivitas di bidang
kerajinan dalam bentuk penjualan, keuntungan dan pangsa pasar yang
diperoleh pengrajin.
(10) Keberlanjutan usaha adalah aktivitas dan sikap proaktif pengrajin dalam
mengantisipasi kebutuhan dan selera konsumen secara terus menerus dari
masa ke masa.
(11) Pemberdayaan

pengrajin

adalah

proses

pembelajaran

yang

berkesinambungan yang ditujukan untuk mengembangkan kekuatan kepada
masyarakat agar: (1) memiliki kesadaran, rasa percaya diri dan ketegasan
dalam seluruh segi kehidupannya; (2) mampu mengambil keputusan,
memecahkan masalah, berkreasi dalam usaha kerajinannya; (3) mampu
bekerjasama dan membina hubungan dalam lingkungan usaha dan
lingkungan sosialnya; dan (4) mampu mengakses sumberdaya, peluang,
pengetahuan dan ketrampilan untuk kelangsungan usaha dan kehidupan
keluarganya di masa yang akan datang dengan lebih baik.

TINJAUAN PUSTAKA

Industri Kecil Kerajinan Rumah Tangga
Atribut “kecil” pada industri kecil memiliki arti yang berbeda dalam
berbagai konteks dan lembaga yang menggunakannya, dan hal ini seringkali
menimbulkan kekeliruan interpretasi bagi yang mencoba mengadopsi kebijakan
atau pengalaman negara lain dalam pengembangan industri kecil.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan mendefinisikan industri kecil
berdasarkan asset dan kepemilikan, yaitu perusahaan yang memiliki asset sampai
Rp 600 juta di luar tanah dan bangunan yang ditempatinya dan dimiliki oleh
warga negara Indonesia. Kriteria industri kecil yang ditetapkan oleh Undangundang Usaha Kecil No. 9 tahun 1995 yang digunakan oleh Departemen Koperasi
adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih maksimum Rp 200 juta di luar tanah
dan bangunan atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 milliar
dan dimiliki oleh warga negara Indonesia. Konsep usaha kecil menurut Kamar
Dagang dan Industri (KADIN) adalah sektor usaha yang memiliki asset maksimal
Rp.250 juta, tenaga kerja paling banyak tiga orang dan nilai penjualan di bawah
Rp.100 juta perbulan.
BPS (1995) membagi empat kriteria tentang industri: (1) industri kerajinan
dan rumah tangga yaitu perusahaan dengan jumlah tenaga kerja 1-4 orang, (2)
industri kecil yaitu perusahaan dengan tenaga kerja 5-19, (3) industri sedang atau
menengah yaitu perusahaan dengan tenaga kerja 20-99 orang, dan (4) industri
besar adalah perusahaan dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang.
Apabila dilihat dari sifat dan bentuknya, menurut Haeruman (2001),
industri kecil bercirikan: (1) berbasis pada sumber daya lokal sehingga dapat memanfaatkan potensi secara maksimal dan memperkuat kemandirian, (2) dimiliki
dan dilaksanakan oleh masyarakat lokal sehingga mampu me-ngembangkan
sumberdaya manusia, (3) menerapkan teknologi lokal (indigenous technology)
agar dapat dilaksanakan dan dikembangkan oleh tenaga lokal, dan (4) tersebar
dalam jumlah yang banyak sehingga merupakan alat pemerataan pembangunan
yang efektif.

Berdasarkan pada penjelasan tersebut di atas, pengertian industri kerajinan
yang dimaksudkan dalam penelitian ini mengacu pada industri rumah tangga yang
mencakup semua perusahaan/usaha yang melakukan kegiatan mengubah barang
dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya
menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual. Yang
termasuk dalam kategori tersebut jika dilihat dari jumlah tenaga kerjanya
memiliki tenaga kerja antara 1-4 orang, memiliki asset maksimal Rp 200 juta
tidak termasuk tanah dan harta tak bergerak.

Konsep Pengrajin
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengrajin = perajin adalah
subyek melakukan suatu kegiatan yang menghasilkan kerajinan. Kata “kerajinan”
menurut ilmu asal usul bahasa adalah berasal dari kata dasar “rajin” yang
mendapat imbuhan ke-an, menunjuk kata benda yang dihasilkan melalui proses
yang membutuhkan sifat rajin, teliti, cermat dan kreatif dari pembuatnya. Jadi
pengrajin adalah orang yang bekerja membuat barang kerajinan yang memiliki
sifat-sifat rajin, teliti, cermat dan kreatif.
Karsidi (1999) membagi tiga jabatan pengrajin yaitu : (1) tenaga kerja
terampil industri kecil, (2) pengrajin industri kecil, dan (3) pengrajin pengusaha
industri kecil. Wijaya (2001) menemukan pengelompokan pengrajin dalam
industri kerajinan seni ukir dalam tiga kelompok yaitu: (1) buruh pengrajin atau
yang tergolong semi terampil dalam kegiatan produksi, (2) pengrajin yang
tergolong terampil dalam kegiatan produksi, dan (3) pengusaha hiasan seni ukir
yang keterampilan dalam kegiatan produksi dan perdagangan. Sigito (2001)
menemukan dua kelompok pengrajin di Industri Kecil Tas yaitu: (1) pengrajin
sekaligus pedagang dan (2) pengrajin tukang.
Nadvi dan Barientoss (2004) mengelompokkan pekerja sektor industri
kecil menjadi tiga yaitu: (1) small producers, yang memiliki buruh, beberapa asset
dan memiliki keuntungan kecil tetapi rentan terhadap kebangkrutan; (2)
subcontractor, orang-orang yang tergantung pada broker (middle man) yang
menghubungkan ke pasar, bahan baku dan kredit, mereka memiliki pendapatan

yang rendah; dan (3) homeworker and casual day labourer, yang memiliki
pendapatan sangat rendah yaitu 1 dollar per hari.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka konsep pengrajin dalam penelitian
ini adalah orang yang bekerja di bidang kegiatan mengubah barang dasar menjadi
barang jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi lebih
tinggi nilainya dengan maksud untuk dijual, yang memiliki ketrampilan produksi
dan perdagangan. Kelompok ini memiliki fungsi-fungsi usaha yang masih sangat
sederhana dan masih terikat dengan middle man atau menjadi subkontrak (Wijaya,
2001; Sigito, 2001) dalam mengakses pasar, bahan baku dan kredit sehingga perlu
dikembangkan kemandirian usahanya.
Aspek informalitas, masih banyak ditemui di kalangan pengrajin.
Meskipun terdapat beberapa industri kecil yang memiliki badan hukum, namun
sebagian besar pelaku bekerja diluar kerangka legal dan pengaturan (legal and
regulatory framework) yang ada. Informalitas Industri kecil ini menyebabkan
mereka tidak bisa mengakses lembaga keuangan formal dan terpaksa harus
berhubungan dengan sumber pinjaman informal.
Ketidakformalan industri kecil dapat membawa konsekuensi tiadanya
jaminan keberlanjutan aktivitas yang dijalani. Berbagai kebijakan pemerintah
dapat secara dramatis mempengaruhi keberlangsungan suatu aktifitas industri
kecil. Dalam merespon kondisi yang demikian, sektor industri kecil menjadi
sektor yang relatif mudah dimasuki dan ditinggalkan. Apabila pada aktifitas
ekonomi tertentu terdapat banyak peluang maka dengan segera akan banyak
pelaku yang menerjuninya; sebaliknya, apabila terjadi perubahan yang
mengancam keberlangsungan jenis usaha tertentu maka dengan segera para
pelakunya akan berpindah ke jenis usaha yang lain.
Hal yang perlu dilakukan adalah memperbaiki posisi pengrajin yang lebih
banyak memilih berusaha untuk memenuhi kebutuhan sesaat. Sebagaimana
digambarkan oleh Getz (2005) yang menggambarkan pengrajin dan pengusaha
kecil sebagai seorang seniman, wirausahawan yang bergaya hidup (lifestyle
entrepreneur), usahanya dikelola secara kekeluargaan. Para pengrajin ini sering
diasumsikan sebagai pihak yang menolak resiko atas usahanya karena mereka

lebih memprioritaskan keselamatan keluarga daripada meningkatkan pertumbuhan
usahanya.
Gambaran tersebut menunjukkan bahwa pengrajin merasa nyaman dengan
kondisi saat ini dan kurang senang menghadapi tantangan demi kemajuan
usahanya. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk mengarahkan pengrajin pada
peningkatan daya saing dan kualitas usahanya. Sebagaimana hasil penelitian Getz
(2005) yang menemukan adanya kelompok wirausahawan yang berorientasi pada
pertumbuhan (growth). Kelompok ini akan diarahkan untuk memaksimumkan
daya saing, meningkatkan kualitas dan nilai tambah. Selain itu, ada kelompok
wirausahawan yang berorientasi pada laba dan pertumbuhan (profit and growth)
akan diarahkan pada peningkatan inovasi produk dan pemasaran.

Karakteristik Individu Pengrajin
Kegiatan usaha kerajinan digerakkan oleh individu yang sebagian besar
adalah pemilik usaha tersebut. Pengrajin tersebut selain sebagai pemilik usaha,
tenaga produksi / pekerja, pengelola keuangan juga sebagai tenaga pemasar.
Melihat posisi individu yang multi fungsi tersebut, maka perlu mendapatkan
pengetahuan yang lebih dari pada seorang manajer yang spesialis dalam bidangbidang tertentu sesuai dengan fungsinya.
Konteks individu menjadi pembahasan yang menarik dalam berbagai riset
tentang SDM, dengan karakteristik yang bersifat multiple, terkait dengan interaksi
sosial yang didasarkan pada aspek-aspek kondisi genetik dan lingkungan prenatal
(seperti karaktersitik biologis, neurologist, dan fisiologis) (Salkind, 1989).
Haber dan Reichel (2006) mengukur SDM pengusaha kecil berdasarkan:
tingkat pendidikan, pengalaman dan ketrampilan. Terdapat hubungan yang
signifikan antara tingkat pendidikan dengan kinerja usaha kecil, serta pengalaman
usaha menjadi prediktor yang bagus untuk memulai usaha yang beresiko dan
kesuksesan penguatan jejaring. Sedangkan ketrampilan managemen pengusaha
sangat kondusif bagi kinerja dan pertumbuhan usaha.
Stewart Jr et al. (1998) memfokuskan penelitiannya pada individu
wirausahawan yang didasarkan pada teori-teori psikologi. Dalam penelitian
tersebut ditemukan bahwa faktor-faktor individu yaitu: umur, pendidikan, gender,

suku (race). Faktor individu tersebut

menjadi faktor penentu keberhasilan

kegiatan kewirausahaan. Adapun kegiatan kewirausahaan tersebut diawali dari
perumusan tujuan, pembentukan usaha, perencanaan strategis sampai dengan
dihasilkannya kinerja.
Dalam konteks wirausaha, menururt Bird (1996), faktor individu
wirausaha merupakan individu yang menjalankan usaha, faktor-faktor yang ada
pada individu tersebut adalah: (1) karakteristik biologis meliputi: umur, jenis
kelamin, pendidikan, (2) latar belakang wirausaha yaitu: pengalaman usaha,
alasan berusaha, pekerjaan orang tua dan keluarga, dan (3) motivasi.
Stewart Jr (1998) menemukan bahwa faktor kepribadian memberikan
pengaruh signifikan terhadap kemajuan usaha seorang wirausahawan. Meskipun
faktor sosial dan faktor situational merupakan komponen yang terintegrasi dalam
proses kewirausaahan, tetapi tidak semua wirausahawan mampu mengkombinasikan kedua komponen tersebut, sebab masih ada satu faktor lain yang cukup
penting bagi pengembangan proses kewirausahaan yaitu faktor kepribadian
wirausahwan tersebut.
Menurut Sen (Nadvi dan Barientoss (2004)), kemampuan dan kesungguhan individu berhubungan dengan kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya.
Sen cenderung mendefinisikan kemiskinan sebagai deprivasi terhadap kemampuan individu daripada rendahnya pendapatan. Oleh karena itu, untuk memberdayakan masyarakat miskin perlu ditingkatkan kemampuan individu terlebih dahulu
yang kemudian akan mendorong peningkatan pendapatan secara berkelanjutan.
Berdasarkan pendapat di atas, maka faktor individu adalah ciri-ciri yang
melekat pada pribadi pengrajin yang membedakan dirinya dengan orang lain
berdasarkan waktu tertentu.
Menurut Rakhmat (2001) faktor internal individu merupakan ciri-ciri yang
dimiliki oleh seseorang yang berhubungan dengan semua aspek kehidupan dengan
lingkungannya. Karakteristik tersebut terbentuk oleh faktor-faktor biologis dan
sosiopsikologis. Untuk mengetahui perilaku masyarakat terhadap sesuatu obyek
tertentu, maka karakteristik individu merupakan salah satu faktor yang penting
untuk diketahui. Azwar (2003), menyebutkan bahwa karakteristik individu
meliputi variabel sepert motif, nilai-nilai, sifat kepribadian, dan sikap yang saling

berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan faktor-faktor
lingkungan dalam menentukan perilaku.
Umur
Pada usaha pertanian, umur petani akan sejalan dengan pengalaman dan
pengetahuannya sesuai dengan pertumbuhan biologis dan perkembangan psikisnya. Petani yang lebih tua tampaknya cenderung lebih berhati-hati, sehingga ada
kesan mereka relatif kurang responsif atau lambat. Sebenarnya bukan berarti
mereka tidak mau menerima perubahan, tapi mereka mungkin punya pertimbangan praktis seperti kesehatan, kekuatan fisik yang kurang mengizinkan, atau ingin
menikmati masa tua mereka (Soekartawi, 1988).
Robbins (1996) memberikan pendapat tentang efek yang ditimbulkan oleh
usia pada pergantian karyawan, kemangkiran, produktivitas dan kepuasan. Terdapat beberapa hasil penelitian yang menyebutkan bahwa: (1) makin tua seseorang maka makin kecil kemungkinannya berhenti dari pekerjaan, (2) usia memiliki hubungan terbalik dengan kemangkiran, orang dengan usia yang lebih tua
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dengan masuk kerja yang lebih teratur, (3)
tidak terbukti bahwasanya semakin tua usia maka produktivitas semakin menurun
akibat menurunnya kecekatan, kecepatan, kekuatan dan koordinasi, jika ada
penuruan karena usia, maka akan diimbangi dengan pengalaman, (4) pada
individu yang profesional kepuasan cenderung meningkat dengan meningkatnya
usia, pada individu yang non profesional kepuasan cenderung menurun dengan
meningkatnya usia pada setengah baya dan akan naik lagi pada tahun-tahun
berikutnya.
Bird (2001) mencatat beberapa hasil penelitian tentang usia wirausahawan
yaitu: (1) kronologis umur memulai usaha berkontribusi terhadap keberhasilan
jangka panjang, wirausahawan muda akan memiliki karir yang lebih lama, (2)
terdapat usia-usia tertentu yang dianggap sebagai titik tumpu untuk memulai
usaha yang akan berkontribusi terhadap motivasi untuk benar-benar akan memulai
usaha, (3) semakin awal seseorang me-mulai karir wirausaha, semakin lama
mereka akan tinggal di dalamnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Perry, Batstone dan Pulsarum (2003)
tentang keberhasilan usaha kecil menengah di Thailand juga menemukan adanya

hubungan yang positif dan memimiliki signifikansi tinggi antara umur dengan
keberhasilan usaha kecil.
Berdasarkan pendapat tersebut di atas, umur mempengaruhi perilaku
pengrajin dalam melaksanakan aktivitas usaha dan dalam konteks usaha kecil
umur mempunyai pengaruh positif terhadap kemajuan usaha.
Pendidikan
Pendidikan, baik formal maupun non formal adalah sarana untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Pada umumnya seseorang yang
berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak, akan lebih
mudah dan lebih mampu berkomunikasi dengan baik Semakin tinggi pendidikan
formal akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring dan
menerapkan inovasi yang dikenalkan kepadanya.
Bird (2001) mengumpulkan beberapa fakta yang menyatakan bahwa
pendidikan adalah penting bagi kebanyakan wirausahawan sehingga upaya
pengembangan kompetensi melalui pendidikan penting untuk keberhasilan usaha.
Perry, Batstone dan Pulsarum (2003) menemukan semakin lama tahun menempuh
pendidikan maka semakin besar kesuksesan yang dapat diraih.
Pendidikan formal ditujukan untuk memperkuat dan mendorong
kreatifitas, keingintahuan (curiosity), open mindedness, dan ketrampilan yang
bagus, hal tersebut berkontribusi terhadap keinovatian dan kemampuan mengelola
sumberdaya dalam kehidupannya. Selain itu, pelatihan teknis penting bagi karir
dan usaha yang menggunakan teknologi dan produksi yang maju. Pendidikan juga
dapat mempengaruhi motivasi, pelatihan profesional dapat memperkuat nilai dan
posisi karir yang mantap.
Pendidikan menunjukkan tingkat intelegensi yang berhubungan dengan
daya pikir seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin luas
pengetahuannya. Gonzales (Jahi, 1988) merangkum pendapat beberapa ilmuwan
bahwa pendidikan merupakan suatu faktor yang menentukan dalam mendapatkan
pengetahuan. Pendidikan menggambarkan tingkat kemampuan kognitif dan
derajat ilmu pengetahuan yang dimiliki seseorang.

Wirausahawan yang bekerja dengan pendidikan rendah dapat menghadapi
kesulitan dalam memperoleh materi-materi pendidikan selanjutnya. Seringkali
sulit untuk menentukan gaji seseorang yang berpendidikan lebih baik, lebih
berpengalaman dan lebih pandai. Pendidikan yang diperoleh pada usia muda
(sebagian besar wirausahawan tidak mau kembali sekolah formal) memiliki
kontribusi yang penting terhadap kemampuan wirausahawan dan menunjang
keberhasilan usaha karena lebih kritis dalam mengakses informasi.
Tanggungan Keluarga
Usaha kecil dilaksanakan dengan mengandalkan anggota keluarga.
Menurut

Soekartawi

(1988)

anggota

keluarga

sering

dijadikan

bahan

pertimbangan dalam pengambilan keputusan suatu inovasi. Konsekuensi
penerimaan inovasi akan berpengaruh terhadap keseluruhan sistem keluarga,
mulai dari isteri, anak-anak dan anggota keluarga lainnya.
Besarnya keluarga sangat terkait dengan tingkat pendapatan seseorang.
Jumlah keluarga yang semakin besar menyebabkan seseorang memerlukan
tambahan pengeluaran atau kebutuhan penghasilan yang lebih tinggi untuk
membiayai kehidupannya. Sehingga dibutuhkan tingkat aktifitas yang lebih tinggi
dalam memenuhi kebutuhan (Azwar, 2003).
Pengalaman Usaha
Pengalaman berusaha perlu dijadikan salah satu pertimbangan, karena
menentukan mudah tidaknya bagi wirausahawan untuk menyesuaikan diri dengan
kondisi lingkungan biofisik, sosial ekonomi, dan teknologi. Pengalaman memiliki
kontribusi terhadap perkembangan skill, kemampuan dan kompetensi, yang
memiliki fungsi untuk menggerakkan ide-ide usaha, sama pentingnya dengan nilai
(value), kebutuhan (need) dan insentif.
Hal-hal yang telah kita alami akan ikut membentuk dan mempengaruhi
penghayatan kita terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah-satu
dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan,
seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis.
Sehubungan dengan itu Azwar (2003) mengatakan bahwa tidak adanya

pengalaman sama sekali dengan suatu obyek psikologis cenderung akan
membentuk sikap negatif terhadap obyek tersebut. Pengalaman merupakan salah
satu cara kepemilikan pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu
yang tidak ditentukan. Secara psikologis seluruh pemikiran manusia, kepribadian
dan temperamen ditentukan oleh pengalaman indera. Pikiran dan perasaan bukan
penyebab perilaku tetapi disebabkan oleh penyebab masa lalu (Rakhmat 2001).
Menurut Bird (2001), pembelajaran yang diperoleh dari pengalaman
memberikan kemampuan (ability) bagi seseorang untuk: (1) belajar dari
pengalaman yang berasal dari kegagalan dan keberhasilan, (2) merefleksikan
pengalaman dengan melibatkan ego, emosi dan asumsi untuk melihat apa yang
akan terjadi, (3) mengabstraksi pengalaman yang dialami dan menghubungkan
dengan pengalaman orang lain, kemudian membuat prediksi apa yang akan
dilakukan, (4) mencoba sesuatu yang baru pada masa yang akan datang. Perry,
Batstone dan Pulsarum (2003) menemukan pengalaman usaha memiliki pengrauh
yang signifikan terhadap keberhasilan usaha kecil menengah.
Jadi pengalaman usaha menjadi prediktor yang baik bagi pengambilan
keputusan, keberhasilan usaha dan perilaku wirausahawan.
Motivasi berusaha
Semua kegiatan manusia selalu berhubungan dengan motivasi. Motivasi
berasal dari dua kata, yaitu motif dan asi (action). Motif berarti dorongan, dan asi
berarti usaha. Sehingga motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk
menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan tindakan. Setiap tindakan
manusia, pasti memiliki motif atau dorongan. Dorongan atau motif ini ada di
belakang setiap tindakan manusia.

Motif adanya di dalam tubuh manusia.

Yang terlihat pada kita adalah tindakan. Motif ada dibelakang tindakan. Motif
mendorong timbulnya tindakan.

Namun demikian, timbulnya motif bisa

dilakukan dari luar diri manusia atau dari dalam diri manusia. Oleh karena itu kita
mengenal dua bentuk motivasi yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah motivasi yang menunjukkan bahwa timbulnya dorongan
pada diri seseorang berasal dari kesadarannya sendiri. Motivasi ekstrinsik adalah
motivasi yang menunjukkan bahwa timbulnya dorongan berasal dari luar atau
orang lain (Padmowihardjo 2001).

Usaha yang dilakukan oleh seseorang karena adanya motivasi, dimana
Luthans (Thoha, 1988) menyebutkan ada tiga unsur motif yang saling
berinteraksi, yaitu kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goal).
Motivasi seseorang tergantung pada kekuatan motivaasinya (motifnya), yakni
semua unsur penggerak atau alasan-alasan dalam diri manusia yang menyebkan ia
berperilaku tertentu (Gerungan, 1999 dan Thoha, 1988), seperti: kebutuhan,
dorongan, keinginan dan aspirasi.
Orang berusaha dalam situasi tertentu dapat dilihat dari pendekatan
kognitif, yaitu: adanya kebutuhan, keinginan, hasrat, nilai, dan harapan serta
pendekatan non kognitif, yaitu: pengaruh atau konsekuensi yang mengikutinya
seperti hadiah dan hukuman (Kast dan Rozenzweig, 1995). Dikemukakan pula
bahwa, motivasi dapat didekati dari dua dimensi, yaitu (1) apa yang
menggerakkan orang (isi), teori isi berfokus pada variabel spesifik yang
mempengaruhi usaha seseorang, seperti kebutuhan internal atau kondisi eksternal,
dan (2) bagaimana perilaku itu dihasilkan (proses), teori proses berfokus pada
insentif, dorongan (drive), penguatan (reinvocement), dan harapan (expectations).
Hiks dan Gullet (1996) mengemukakan bahwa, berbagai kebutuhan, keinginan,
harapan yang terdapat di dalam diri seseorang dapat membentuk motivasi internal,
sedangkan upah/gaji, keadaan kerja, penghargaan, tanggung jawab membentuk
motivasi eksternal.
Pemenuhan Kebutuhan
Kebutuhan dalam teori motivasi Maslow merupakan hirarki kebutuhan
(hierarchi of need), yaitu: kebutuhan fisik, keamanan, sosial, penghargaan, dan
aktualisasi diri. Kebutuhan tersebut bisa dicapai secara bertahap tapi bisa juga
melompat pada kebutuhan yang lebih tinggi (Thoha, 1988), sedangkan Aldefer
mengenalkan tiga kelompok inti kebutuhan, yaitu: kebutuhan akan keberadaan
(existence), kebutuhan berhubungan (relatedness), dan kebutuhan untuk
berkembang (growth).
Keberhasilan melakukan usaha agribisnis adalah suatu prestasi, demiian
juga produktivitas adalah sebuah prestasi. Kebutuhan untuk berprestasi (n-Ach)
dari McClelland juga merupakan suatu motif yang dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan budaya (McClelland, 1987) dan seseorang dikatakan

mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk
melakukan suatu karya yang lebih baik dari prestasi karya orang lain.
Karakteristik orang-orang berprestasi tinggi adalah: suka mengambil resiko yang
moderat, memerlukan umpan balik yang segera, lebih memperhitungkan
keberhasilan,

dan

menyatu

dalam

tugas-tugasnya

(McClelland,

1987).

McClelland (1987) mengemukakan bahwa masyarakat yang memiliki n-Ach
tinggi

menghasilkan wiraswatawan-wiraswastawan yang lebih giat, dan pada

gilirannya menghasilkan pembangunan ekonomi yang lebih pesat. Orang yang
mempunyai n-Ach tinggi akan berprestasi lebih tinggi serta bekerja lebih efisien.
Insentif dapat menjadi dorongan bagi pengrajin, seperti: perbandingan
harga yang menguntungkan, pembagian hasil, tersedianya barang dan jasa yang
ingin dibeli, dan penghargaan masyarakat terhadap prestasi (Mosher, 1987), motif
mencari laba menurut Ricardo (McClelland, 1987), harapan untuk memperoleh
penghargaan (keuangan) disebut juga insentir (Thoha, 1988).

Kast dan

Rosenzweig (1995) mengemukakan bahwa pekerjaan itu sendiri (yang benarbenar menarik, menguntungkan dan memuaskan) serta tanggung jawab pribadi
terhadap pekerjaan itu dapat menjadi motivator.
Informasi di atas memberi gambaran bahwa motivasi dapat membentuk
upaya yang dilakukan seseorang, yang terdiri atas: (1) motif kebutuhan (needs),
yakni

kebutuhan

akan

keberadaan

(exixtence),

kebutuhan

berhubungan

(relatedness), kebutuhan untuk berkembang (growth), dan kebutuhan untuk
berprestasi (n-Ach), dan (2) motif dorongan, yakni dorongan karena adanya
desakan atau rangsangan dari luar (eksternal).
Komunikasi
Pada

dasarnya

komunikasi

merupakan

proses

penyampaian

dan

penerimaan lambang-lambang yang mengandung arti. Dalam komunikasi yang
penting adalah pengertian bersama dari lambang-lambang tersebut, dan karena itu
komunikasi merupakan proses sosial. Bila komunikasi itu berlangsung terusmenerus antara pengrajin dengan pihak lain, maka akan terjadi interaksi yaitu
proses saling mempengaruhi antara individu yang satu dengan yang lain. Terdapat
beberapa hal yang terkait dengan kegiatan komunikasi diantaranya adalah:
aksesibiltas terhadap sumber informasi dan sifat kosmopolitansi.

Golongan masyarakat yang aktif mencari informasi dan ide-ide baru,
biasanya lebih inovatif dibandingkan dengan orang-orang pasif apalagi yang
sekalu skeptis (tidak percaya) terhadap sesuatu yang baru (Lionberger, 1964).
Menurut Lionberger (1964), golongan

yang inovatif, biasanya banyak

memanfaatkan beragam sumber informasi, seperti lembaga pendidikan/perguruan
tinggi, lembaga penelitian, dinas-dinas yang terkait, media masa, tokoh-tokoh
masyarakat,

sesama pengrajin, maupun dari lembaga-lembaga komersial

(pedagang). Berbeda dengan golongan inovatif, golongan masyarakat yang kurang
inovatif umumnya hanya memanfaatkan informasi dari tokoh-tokoh (pengrajin)
setempat, dan relatif sedikit memanfaatkan informasi dari media masa.
Menurut Mardikanto (1996), sifat kekosmopolitan adalah tingkat
hubungannya dengan “dunia luar” di luar sistem sosialnya sendiri.

Sifat

kekosmopolitan dicirikan oleh fekwensi dan jarak perjalanan yang dilakukan,
serta pemanfaatan media masa.

Bagi warga masyarakat yang relatif lebih

kosmopolit, adopsi inovasi dapat berlangsung cepat. Tetapi, bagi yang lebih
“localit” (tertutup, terkungkung di dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi
inovasi akan berlangsung sangat lamban karena tidak adanya keinginan-keinginan
baru untuk hidup lebih “baik” seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang
lain di luar sistem sosialnya sendiri.
Sifat kekosmopolitan individu dicirikan oleh sejumlah atribut yang
membedakan mereka dari orang-orang lain di dalam komunitasnya, yaitu
memiliki status sosial yang lebih tinggi, partisipasi sosial yang lebih tinggi, lebih
banyak berhubungan dengan pihak luar, lebih banyak menggunakan media massa,
dan memiliki hubungan lebih banyak dengan orang lain maupun lembaga yang
berada di luar komunitasnya.
Aspek Gender
Gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung
jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh
keadaan sosial dan budaya masyarakat.
Berdasarkan Instruksi Presiden RI No.9 Tahun 2000, Kesetaraan Gender
adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan

berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan
keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Pada konteks pembangunan masyarakat pengrajin, diperlukan kesetaraan
gender dalam seluruh aspek kegiatan usaha guna meningkatkan peran perempuan
dan laki-laki secara seimbang. Hal ini dapat menunjang keberhasilan usaha
kerajinan dan meningkatkan kesejahteraan perempuan dan laki-laki secara adil.

Faktor Lingkungan Usaha Kerajinan
Lingkungan merupakan suatu tempat dimana suatu unit usaha memulai
atau menjalankan usahanya untuk meraih peluang dan kesempatan serta
kemungkinan akan memperoleh ancaman dari pesaing. Menurut Kotler (1995),
terdapat ada enam kekuatan utama yang membentuk lingkungan usaha yaitu :
(1) Lingkungan demografi, misalnya: pertumbuhan penduduk, perubahan angka
harapan hidup, adat istiadat, tingkat pendidikan, pola berumah tangga,
perubahan dari satu mass market ke beberapa micromarkets.
(2) Lingkungan ekonomi, kekuatan membeli konsumen dari sudut ekonomi akan
dipengaruhi oleh: distribusi pendapatan, harga, tabungan, pinjaman, dan
ketersediaan kredit.
(3) Kondisi alam, perusahaan harus waspada terhadap kecenderungan kondisi :
ketersediaan bahan mentah, kenaikan biaya sumber daya energi, kenaikan
tingkat polusi serta perubahan peraturan pemerintah tentang proteksi
lingkungan.
(4) Lingkungan teknologi, kecenderungan teknologi berikut ini harus dicermati
oleh perusahaan : pengakselerasian perubahan teknologi, kesempatan inovasi
yang tidak terbatas, keanekaragaman anggaran riset dan develompent,
peningkatan aturan perubahan teknologi.
(5) Lingkungan politik, perkembangan lingkungan politik berpengaruh secara
kuat terhadap keputusan pemasaran. Lingkungan ini terdiri dari hukum,
lembaga pemerintah dan kelompok yang berkuasa.
(6) Lingkungan budaya, kehidupan masyarakat tidak bisa terlepas dari
kepercayaan, nilai dan norma-norma. Berikut ini beberapa karakteristik
budaya yang ada dalam masyarakat : nilai-nilai kebudayaan murni yang
memiliki persistensi yang tinggi, di dalam kebudayaan terdapat sub
kebudayaan.
Senada dengan enam kekuaatan tersebut, Badri et al, (2000) menyatakan
bahwa faktor-faktor lingkungan yang penting dicermati pengusaha yaitu trend
ekonomi, perubahan teknologi, kondisi politik, perubahan sosial, ketersediaan
sumberdaya vital dan kekuatan kolektif konsumen dan supplier.

Haber dan Reichel (2006) menginventarisasi beberapa dukungan yang
diperoleh dari lingkungan luar untuk kemajuan usaha kecil pada masa yang akan
datang, yaitu: (1) bimbingan keuangan (financial assistance), usaha kecil biasanya
memiliki keterbatasan dalam hal mengakses sumber pendanaan. Untuk itu peran
pemerintah sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan usaha pada jangka
pendek, dan pada jangka panjang akan berkontribusi pada pembangunan ekonomi
daerah; dan (2) bimbingan inkubator, diperlukan untuk memperkecil gap dalam
keuangan dengan meningkatkan kualitas talenta wirausaha berbasis lokal dan
pembangunan perusahaan berbasis kearifan lokal (indigenous companies).
Secara singkat, Heizer dan Render (1993) menyebutkan variabel lingkungan usaha kecil meliputi: ekonomi, budaya. Teknologi, demografi dan hukumpolitik. Wirausahawan perlu melakukan kontak dengan lingkungan, sebagaimana
dikemukakan oleh Zhao dan Aram (1995), bahwasanya kontak personal antara
wirausahawan dengan orang lain akan dapat memberi dua manfaat yaitu: (1)
meningkatkan dukungan sosial, jaring pengaman (safety net) yang menghindarkan
wirausahawan melanggar norma sosial dalam proses pengambilan resiko, (2)
dapat menjadi alat untuk mengakses sumber daya lingkungan dan sebagai wadah
untuk mewujudkan misi organisasi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka faktor lingkungan dalam
penelitian didefinisikan sebagai individu-individu lain, lembaga, atau sistem yang
melingkupi pengrajin dan usahanya, yang memberikan dukungan sehingga dapat
mempengaruhi pola pikir dan tindakan-tindakan pengrajin.

Potensi Industri Kecil Kerajinan
Industri kecil kerajinan merupakan salah satu alternatif usaha yang dipilih
oleh masyarakat pada negara-negara berkembang disamping sektor pertanian. Di
Indonesia, usaha kecil banyak ditekuni masyarakat di pedesaan dan di perkotaan
dengan memanfaatkan potensi sumber daya lokal berupa bahan baku, tenaga
kerja, peralatan, metode, atau seni dan budaya lokal. Usaha kecil berbasis pada
sumber daya lokal dan menerapkan indigenous technology ini memiliki potensi
tinggi untuk dikembangkan secara partisipatif.

Industri kecil memiliki daya tahan yang kuat dalam menghadapi
goncangan

ekonomi.

Mardhuki

(APO,

2000)

menyatakan:

“massive

unemployment, falling unemployment benefits and other welfare transfers and
scarcity of job opportunities in transition economies, have led to a growing
movement towards self-employment and a small business creation.” Permasalahan
di bidang ekonomi yang timbul akibat krisis mendorong manusia untuk
mempertahankan hidupnya dengan menciptakan lapangan kerja untuk dirinya
sendiri melalui kreasi di bidang usaha kecil.
Selain itu, Nadvi dan Barientos (2004 mengemukakan bahwa terdapat
banyak industri kecil pedesaaan dan pinggiran perkotaan (peri-urban) di
Indonesia yaitu: kuningan dan perabot (furniture) mampu bertahan dalam kondisi
krisis, bahkan industri ukiran dari Jepara yang didukung koperasi yang kuat dan
jaringan pemasaran global tetap bertahan mengekspor produknya ke beberapa
pasar luar negeri. Bahkan ketika kondisi krisis menyebabkan beberapa perusahaan
besar mengurangi tenaga kerjanya, industrikecil ini masih mampu mempertahankan tenaga kerjanya dan tingkat upah mereka lebih baik daripada tingkat
upah regional.
Industri kecil memiliki kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan
eknomi lokal maupun nasional. Belajar dari pengalaman China yang memiliki
pertumbuhan ekonomi sangat cepat. Menurut Gibb dan Jun Li (2003), pada dua
dekade terakhir pertumbuhan eknomi cina yang cepat diperoleh keberhasilan
usaha kecil baik di pedesaan maupun perkotaan, usaha kecil tersebut diantaranya
berupa, usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah yang dikenal dengan istilah
Micro, Small and Medium-Sized Entreprisess (MSME), usaha kecil ini dikelola
oleh masyarakat lokal dan dikontrol oleh pemerintah daerah.
Di Indonesia, industri kecil dilaksanakan secara padat karya sehingga
menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Hal ini memberikan kontribusi terhadap
permasalahan pengangguran. Dalam konteks pembangunan lokal, hal ini dapat
menjadi sarana pemerataan kesejahteraan masyarakat baik sebagai penyedia
tenaga di bidang produksi, penyedia input bahan baku atau penyedia jasa lainnya,
sebagai efek dari munculnya usaha di tingkat lokal. Meskipun industri kecil

memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi, beberapa permasalahan
masih banyak dihadapi oleh mereka.
Pola kebijakan sosial ekonomi lokal dan nasional banyak dipengaruhi oleh
ide-ide dan konsep pembangunan internasional. Peningkatan penggunaan
teknologi komunikasi telah memfasilitasi transfer pengetahuan dan ide-ide kepada
dunia usaha secara cepat, tanpa ada batas skala nasional lagi. Trend model bisnis
dan produk terbaru lebih mudah diadopsi dalam skala global.
Kebijakan makro ekonomi memiliki peran terbesar bagi keberhasilan
pembangunan industri kecil. Menurut Ismawan (2002), pergeseran orientasi
pembangunan sudah mulai diarahkan untuk melihat industri kecil sebagai
stakeholder penting yang dibutuhkan untuk mencapai pertumbuhan yang
berkelanjutan (sustainable growth), dahulu industri besar menjadi lokomotif
pembangunan berubah ke strategi pertumbuhan yang berbasis luas (broad based
growth) atau yang oleh Bank Dunia disebut pertumbuhan yang berkualitas (the
quality of growth). Dharmawan (2000) menyatakan bahwa istilah pertumbuhan
masih memberi kesan adanya bias pengukuran kekayaan dan berkembangnya
budaya korupsi.
Apabila kebijakan makro telah dapat mengapresiasi sektor industri kecil
maka akan tercipta lingkungan yang mendukung (enabling environment). Oleh
kartena itu, upaya pengembangan kapasitas sektor industri kecil dan penyediaan
berbagai akses yang dibutuhkan oleh sektor industri kecil dapat dilaksanakan.
Pembinaan terhadap industri kecil telah dilakukan dalam berbagai bentuk
kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah, perusahaan, LSM, Perguruan Tinggi
dan sebagainya. Diharapkan pembinaan dapat ditujukan untuk: (1) meningkatkan
kemampuannya agar kuat dan tahan terhadap perubahan-perubahan ekonomi, (2)
meningkatkan posisi tawamya (bargaining position) terhadap konsumen/pasar di
dalam kondisi persaingan yang semakin meningkat, dan (3) meningkatkan
motivasi untuk mencapai kemajuan berusaha di dalam wadah kebersamaan dalam
bentuk koperasi.
Dari beberapa kebijakan tersebut dapat dikritisi bahwa kebijakan
pengembangan industri kecil di I