Wacana dan Praktik Komunikasi Multikultur

17

Bab III Wacana dan Praktik Komunikasi Multikultur

di Sekolah-Sekolah Negeri di Yogyakarta Masalah multikulturalisme yang pada awalnya biasa saja, akhirnya menjadi masalah yang sangat dilematik dan problematik. Multikulturalisme yang mula-mula hanya “fakta sosiologis” berubah menjadi masalah teologis sejak zaman Nabi, dan sekarang menjadi masalah oleh sebagian kelompok di bangsa ini. Di masa saat ini dan mendatang yang diperlukan bukan sekadar kerukunan atau toleransi, tetapi menjalin kerjasama atau koperasi antarumat beragama ta’awanu ‘ala al- birri wa at-taqwa. Dengan kata lain, hubungan antarumat beragama sudah saatnya bergerak dari inward looking ke outward looking. Lebih jauh, dialog antaragama bukan hanya bertujuan untuk hidup bersama secara damai dengan membiarkan pemeluk agama lain ‘ada’ --ko-eksistensi, melainkan juga berpartisipasi secara aktif meng-‘ada’-kan pemeluk lain itu--pro-eksistensi Hans Kung dan Karl Kuschel: 1999. Artinya, dialog tidak hanya mengantarkan pada sikap bahwa setiap agama berhak untuk bereksistensi secara bersama-sama, melainkan juga mengakui dan mendukung –bukan berarti menyamakan—eksistensi semua agama. Barangkali inilah yang dimaksudkan oleh Raimundo Panikkar dengan istilah dialog intra-religius, yaitu dialog yang tidak hanya menuntut suatu sikap inklusif, melainkan juga sikap paralelisme, dengan mengakui bahwa agama merupakan jalan-jalan yang setara. Sebagai bagian dari upaya mengetahui penyebarluasan wacana multikulturalisme, maka perlu dilakukan bagaimana wacana dan praktik tersebut di tingkatan sekolah- sekolah, yakni SD, SMP dan SMAK negeri. Medium untuk mengetahuinya salah satunya melalui komunikasi di dalam dunia pendidikan, dan salah satunya melalui mata pelajaran Pendidikan Agama yang diajarkan oleh guru-guru agama di sekolah. Kompetensi Dasar dalam Pendidikan Agama telah memuat sikap toleransi yang dibutuhkan untuk penguatan dan penghormatan terhadap keberagamaan, kebhinnekaan. Nilai-nilai kebhinekaan atau nilai-nilai multikultur yang sudah tertanam jauh sejak jaman dahulu perlu digali kembali dan disaripatikan untuk ditananamkan kepada anak didik kita sejak dini. Nilai-nilai tersebut perlu dipetakan dan disesuaikan menurut jenjang pendidikan. Sehingga apakah nilai multikultur dapat secara berkesinambungan diterapkan sejak usia sekolah dasar hingga menengah atas SMA. Bagaimana pula para guru melakukan komunikasi kepada anak-anak didik mereka tentang wacana multikulturalisme. 18

C. Multikulturalisme di Mata Guru-guru Agama-Agama