KAJIAN BERBAGAI JENIS DAN TAKARAN KOMPOS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI SEGRENG HANDAYANI DIINOKULASI Rhizobacteri DI TANAH PASIR PANTAI DENGAN CEKAMAN KEKERINGAN

(1)

SKRIPSI

Oleh: Akhmad Bustamil

20110210049

Program Studi Agroteknologi

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA


(2)

ii

KAJIAN BERBAGAI JENIS DAN TAKARAN KOMPOS

TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL PADI SEGRENG

HANDAYANI DIINOKULASI Rhizobacteri DI TANAH PASIR

PANTAI DENGAN CEKAMAN KEKERINGAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk memenuhi salah satu persyaratan

guna memperoleh Derajat Sarjana Pertanian

Oleh: Akhmad Bustamil

20110210049

Program Studi Agroteknologi

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA YOGYAKARTA


(3)

ix

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

INTISARI ... xiii

ABSTRACT ... xiv

I. PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

A. Tanaman Padi Gogo Varietas Segreng Handayani ... 4

B. Asosiasi Rhizobacteri pada Tanaman ... 7

C. Tanah Pasir Pantai ... 10

D. Kompos... 12

E. Hipotesis ... 19

III. TATA CARA PENELITIAN ... 20

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 20

B. Bahan dan Alat Penelitian ... 20

C. Metode Penelitian ... 21

D. Tata Laksana Penelitian ... 22

E. Parameter Pengamatan ... 32

F. Analisis Data ... 38

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39

A. Identifikasi dan Karakterisasi ... 39

B. Dinamika Populasi Rhizobacteri indigenous Merapi ... 42

C. Pertumbuhan Perakaran Tanaman Padi Segreng Handayani ... 47

D. Pertumbuhan Tajuk Tanaman Padi Segreng Handayani ... 59

E. Hasil Tanaman Padi Segreng Handayani ... 74

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 91

A. Kesimpulan ... 91

B. Saran ... 91

DAFTAR PUSTAKA ... 92


(4)

(5)

xiv

indigenous Merapi in sandy soils of beach, also to determine types and dosages of compost that gave the best effect on the growth and yield of Segreng Handayani rice variety were inoculated Rhizobacteri indigenous Merapi in sandy soils beach. This research has been conducted in Agrobiotechnology Laboratory and The Land of Specimen Agriculture Faculty of Universitas Muhamadiyah Yogyakarta from June 2015 up to January 2016 with the watering twice per days.

The research was compiled in single factor experiment with 7 treatments which arranged in Completely Randomized Design (CRD). The treatments tested were A=composted cow manure 30 ton/h, B= composted cow manure 40 ton/h, C= composted chicken manure 30 ton/h, D= composted chicken manure 40 ton/h, E= composted Azolla 20 ton/h, F= composted Azolla 30 ton/h and G=control (without composting or only using Rhizobacteri indigenous Merapi MB+MD isolates). Each treatment was repeated 3 replications, so obtained 21 experiment units. Each unit consisted of 3 sample plants, 3 victim plants and 1 reserve plant so obtained 147 polybags, also 40 polybags of correction plant.

The result showed that the treatment of various types and dosages of compost in Segreng Handayani rice variety were inoculated Rhizobacteri indigenous MB+MD isolates in sandy soils of beach with drought stress there was significant difference all the growth in fifth week, except sum native plant and not significant plant height in eighth week, except plant height and age of flowering. The effect of various types and dosages of compost in Segreng Handayani rice variety were inoculated Rhizobacteri indigenous Merapi in sandy soils of beach

with drought stress while without composting or only using Rhizobacteri

indigenous Merapi (control) gave grained yield 4.13 ton/h.

Keywords: Rhizobacteri indigenous Merapi, compost, Segreng Handayani rice variety.


(6)

xiii

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh berbagai jenis dan takaran kompos pada padi varietas Segreng Handayani yang diinokulasi

Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai, menentukan jenis dan

takaran kompos yang memberikan pengaruh lebih baik pada pertumbuhan dan hasil tanaman padi varietas Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri

indigenous di tanah pasir pantai. Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium

Agrobioteknologi dan Lahan Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada bulan Juni 2015 sampai Januari 2016 dengan penyiraman 2 hari sekali.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan percobaan faktor tunggal terdiri dari 7 perlakuan yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Tujuh perlakuan yang diuji yaitu: A= kompos kotoran sapi 30 ton/h, B= kompos kotoran sapi 40 ton/h, C= kompos kotoran ayam 30 ton/h, D= kompos kotoran ayam 40 ton/h, E= kompos Azolla 20 ton/h, F= kompos Azolla 30 ton/h dan G= kontrol (tanpa pemberian kompos). Setiap Perlakuan dilakukan 3 kali ulangan sehingga diperoleh 21 unit percobaan. Setiap unit terdiri dari 3 tanaman korban, 3 tanaman sampel dan 1 tanaman cadangan sehingga diperoleh 147 polybag serta tanaman koreksi 40 polybag.

Hasil menyatakan bahwa pemberian berbagai jenis dan takaran kompos pada padi Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi isolat MB+MD di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan ada beda nyata pada semua parameter pertumbuhan di minggu ke 5, kecuali jumlah anakan namun tidak ada beda nyata di minggu ke 8, kecuali tinggi tanaman dan umur berbunga. Sedangkan pada parameter hasil tidak ada beda nyata pada semua perlakuan. Pemberian berbagai jenis dan takaran kompos memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap hasil padi Segreng Handayani yang diinokulasi

Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekeman

kekeringan, bahkan yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi tanpa pemberian kompos (kontrol) mampu memberikan hasil gabah yang sama tinggi yaitu 4,13 ton/h.

Kata kunci: Rhizobacteri indigenous Merapi, kompos, Padi Segreng Handayani.


(7)

1

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014) bahwa produksi padi pada tahun 2014 sebanyak 70,61 juta ton GKG, mengalami penurunan sebesar 0,67 juta ton (0,94%) dibandingkan dengan produktivitas padi pada tahun 2013 yakni sebesar 0,24 Kuintal/hektar (0,47%). Tanaman padi seluas 119 hektar di Bali mengalami gagal panen (puso) karena lahan pertanian mengalami kekeringan seluas 425,42 hektar sampai bulan September 2014 (Republika, 2014). Penurunan ini disebabkan oleh fenomena perubahan iklim yang tidak dapat diprediksi serta meningkatnya alih fungsi lahan pertanian. Pemanfaatan lahan marjinal pasir pantai merupakan upaya untuk meningkatkan produksi padi. Akan tetapi lahan pasir pantai memiliki faktor pembatas yang berupa kemampuan dalam menyimpan air rendah, infiltrasi dan evaporasi tinggi, kesuburan dan bahan organik sangat rendah serta efisiensi penggunaan air rendah.

Untuk mengatasi permasalahan penurunan produksi padi dapat dilakukan secara intensifikasi yakni dengan cara menggunakan bibit unggul yang toleran terhadap stres lingkungan, misalnya penggunaan padi gogo, antara lain dengan menggunakan verietas Segreng Handayani. Kristamtini dan Prajitno (2009) menyatakan bahwa Varietas Segreng Handayani merupakan salah satu varietas unggul padi gogo yang toleran terhadap cekaman air, namun produksinya baru mencapai 3–4 ton/h. Untuk meningkatkan produksi padi dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik dan pemanfaatan bioteknologi mikrobia berupa pupuk


(8)

2

hayati akan dapat meningkatkan kesuburan tanah dan tahan terhadap cekaman kekeringan.

Isolat Rhizobacteri indigenous Merapi memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai pupuk hayati, khususnya pada tanaman padi di lahan yang mengalami keterbatasan air. Hal ini didukung penelitian Agung_Astuti dkk (2013.a) bahwa tanaman padi yang diinokulasikan dengan Rhizobacteri

indigenous Merapi dengan frekuensi penyiraman 6 hari tidak berbeda nyata

dengan perlakukan tanaman padi tanpa inokulasi dengan frekuensi penyiraman 1 hari.

Berdasarkan penelitian Agung_Astuti dkk, (2014.b) aplikasi inokulum

Rhizobacteri indigenous Merapi pada padi varietas Segreng Handayani di tanah

Regosol mampu menghasilkan padi sebesar 1,78 ton/hektar lebih banyak dibandingkan dengan hasil varietas Ciherang dan IR 64, meskipun potensi hasilnya belum mencapai 3-4 ton/hektar. Oleh sebab itu, perlu adanya penambahan bahan organik seperti penggunaan pupuk kompos. Menurut Mertikawati dkk, (1999) bahwa dengan penambahan pupuk kotoran sapi dengan dosis 30 ton/hektar mampu memberikan hasil padi gogo 5,93 ton/hektar.


(9)

B. Perumusan Masalah

1. Apakah pemberian berbagai jenis dan takaran kompos dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi varietas Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali?

2. Apa jenis kompos dan berapa takaran yang dapat memberikan pertumbuhan dan hasil paling baik pada tanaman padi varietas Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengkaji pengaruh berbagai jenis dan takaran kompos pada padi varietas Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali.

2. Menentukan jenis dan takaran kompos yang memberikan pengaruh lebih baik pada pertumbuhan dan hasil tanaman padi varietas Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali.


(10)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Padi Gogo Varietas Segreng Handayani

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki sumber daya genetik yaitu padi merah varietas lokal. Lima varietas padi merah lokal yang ada salah satunya adalah Segreng Handayani (asal Gunung Kidul) salah satu beras merah yang sangat bermanfaat bagi kesehatan, antara lain untuk mencegah kekurangan pangan dan gizi serta menyembuhkan penyakit kekurangan vitamin A (rabun ayam) dan vitamin B (beri-beri). Kandungan antosianin dalam beras merah diyakini dapat mencegah berbagai penyakit, antara lain kanker, kolesterol, dan jantung koroner. Beras merah adalah sumber protein dan mineral seperti selenium yang dapat mening-katkan daya tahan tubuh, serta sumber vitamin B yang dapat menyehatkan sel-sel syaraf dan sistem pencernaan. Beras merah juga memiliki kandungan serat yang tinggi sehingga dapat mencegah konstipasi (Purwaningsih dan Kristamtini, 2009).

Kabupaten Gunung Kidul dibagi menjadi 3 zona pengembangan yakni; 1) Zona Utara disebut wilayah Batur Agung dengan ketinggian 200-700 mdpl yang didominasi oleh jenis tanah latosol dengan bahan induk batuan induk vulkanik dan sedimen taufan, 2) Zona Tengah disebut zona pengembangan Ledok Wonosari dengan ketinggian 150-200 mdpl yang didominasi oleh jenis tanah mediteran merah dan grumusol hitam dengan bahan induk batu kapur, 3) Zona Selatan disebut wilayah pengembangan Gunung Seribu dengan ketinggian 0-300 mdpl dengan didominasi oleh batuan dasar pembentuknya adalah batu kapur


(11)

(Wikipedia, 2016). Varietas Segreng Handayani merupakan beras merah lokal yang berasal dari Gunung Kidul, Yogyakarta. Padi beras merah Segreng adalah jenis padi gogo beras merah lokal yang telah dilepas sebagai varietas unggul dengan nama Segreng Handayani (SK Mentan Nomor 2226/ Kpts/SR.120/5/2009; Departemen Pertanian 2009) (Purwaningsih dan Kristamtini, 2009). Padi gogo verietas Segreng Handayani memiliki karakteristik sebagai berikut: umur tanaman 109- 115 hari, tinggi tanaman: 94 cm, bulu daun: kasar, muka daun: kasar, posisi daun: tegak, daun bendera tegak, warna helai daun: hijau, warna pelepah daun: hijau warna daun bendera: hijau, warna lidah daun: tidak berwarna (transpran), warna leher daun: tidak berwarna (transpran), warna telinga daun: tidak berwarna (transpran), lebar daun: agak sempit, ketuan daun: lambat, sudut batang: tegak, kekuatan batang: kuat, warna noda (buku): putih, warna inter noda: hijau muda, warna dasar batang: hijau keunguan, tipe malai: terbuka, leher malai: pendek, bulu pada gabah: cere, warna stigma (kepala putik): kuning, kerontokan: mudah rontok, bulu gabah (apiculus): tidak ada, warna ujung gabah: kuning pucat, warna sterillema (kelopak bunga): putih kekuningan, bentuk gabah: ramping, tipe endosperm (beras): tidak berperut, warna beras: merah pada kulit ari. Kristamtini dan Prajitno (2009) menyebutkan bahwa padi varietas Segreng Handayani yang dikembangkan di wilayah Gunungkidul (Kecamatan Semanu, Ponjong, Tepus dan Wonosari) memiliki keunggulan yaitu 1) Hasilnya cukup tinggi 3- 4 ton/ h, 2) Warna beras merah pada kulit arinya terkandung β- karoten 488, 65 mikro g/ 100 g, protein 7,3 %, besi 4,2 %, dan vitamin B1 0,34 %, dapat berfungsi untuk menjaga kesehatan jantung dan mencegah penuaan, 3) Nilai jual beras tinggi, 30%


(12)

6

lebih mahal dari beras biasa, dan 4) Padi yang toleran terhadap cekaman air. Sedangkan berdasarkan informasi setempat bahwa hasil gabah dari petani di Gunungkidul masih rendah yakni hanya mencapai 1 ton/h.

Kristamtini dan Prajitno (2009) menyebutkan bahwa benih yang harus digunakan harus sudah masak secara fisiologis dan mempunyai kadar air konstan <14%. Adapun pupuk yang digunakan untuk menanam padi varietas Segreng Handayani menggunakan pupuk organik majemuk 2 ton/h, Urea 200 kg/h, TSP 50 kg/h, dan KCl 25 kg/h. Padi gogo dapat tumbuh pada berbagai agroekologi dan jenis tanah. Sedangkan syarat tumbuh utama untuk tanaman padi gogo adalah kondisi tanah dan iklim yang sesuai. Faktor iklim terutama curah hujan merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan budidaya padi gogo. Hal ini disebabkan kebutuhan air untuk padi gogo hanya mengandalkan curah hujan. Artinya padi gogo memang mempunyai sifat tahan terhadap cekaman kekeringan.

Ketahanan terhadap cekaman air merupakan sifat yang kompleks dari beberapa karakter morfologi, fisiologi, dan biokimia yang secara positif berkontribusi kepada kemampuan untuk tumbuh dan berproduksi pada keadaan yang terbatas. Mekanisme fisiologis tanaman padi dalam menghadapi cekaman air dapat dengan cara menghindar atau toleransi. Tanaman mempunyai toleransi yang berbeda terhadap kekeringan karena perbedaan dalam mekanisme morfologi, fisiologi, biokimia dan molekular (Dhanda et al., 2004). Menurut hasil penelitian Agung_Astuti dkk,. (2014.b) menyatakan bahwa padi varietas Segreng Handayani pada perlakuan isolat MB dan isolat MD memiliki berat segar akar dan panjang akar akhir paling tinggi dibandingkan dengan varietas Ciherang dan IR-64


(13)

meskipun berat segar akar dan panjang akar setiap minggu menunjukkan perkembangan yang sama antar varietas. Hal ini dikarenakan isolat MB+MD memiliki ketahanan yang baik terhadap cekaman kekeringan sehingga mampu hidup dizona perakaran dan membantu akar tanaman dalam menyerap air dan nutrisi. Pada kondisi dengan intensitas penyiraman 1 hari menunjukkan berat segar akar tidak berbeda nyata terhadap penyiraman 3-6 hari (Agung_Astuti dkk, 2013).

B. Asosiasi Rhizobacteri pada Tanaman

Rhizobacteri yaitu bakteri yang hidup di rhizosfer akar dan mampu

menghasilkan ZPT dan senyawa osmotoleran sehingga tahan terhadap cekaman kekeringan. Pada dasarnya Rhizobacteri dibedakan menjadi dua golongan yaitu;

Rhizobakteri yang memacu pertumbuhan tanaman atau PGPR (Plant Growth

Promoting Rhizobacteri) dan bakteri yang merugikan tanaman atau DRB

(Deletereuis Rhizobacteri). Adaptasi untuk menghadapi cekaman osmotik pada

dasarnya dapat dilakukan dengan tiga strategi, yaitu sintesis osmoprotektan secara

de nova, mengambil (uptake) senyawa osmoprotektan yang ada di lingkungannya,

mengubah komposisi dinding sel agar tidak rusak kerena tekanan osmotik (Fembria, 2010). Rhizobacteri osmotoleran adalah kelompok mikrobia yang mempunyai mekanisme osmoregulasi di dalam sistem fisiologinya, yaitu suatu mekanisme adaptasi selular, menghasilkan senyawa organik untuk mencegah bahaya dehidrasi sel, karena ada cekaman osmotik. Adaptasi untuk menghadapi cekaman osmotik pada dasarnya dapat dilakukan dengan tiga macam strategi, yaitu : (1) sintesis osmoprotektan secara de novo, (2) mengambil (uptake)


(14)

8

senyawa osmoprotektan yang ada di lingkungannya, (3) mengubah komposisi dinding sel agar tidak rusak karena cekaman osmotik (Hartmann et al., 1991). Senyawa osmoprotektan adalah senyawa organik dengan berat molekul rendah yang dapat berupa : (1) karbohidrat (Glukosa, Sukrosa, Fruktosa), (2) poliol

(Gliserol, Glukosilgliserol), atau (3) turunan Asam amino (Glisin betain, Prolin

betain, Prolin, Glutamin betain) (Hartmann, et al., 1991).

Sebagian besar jasad osmotoleran diketahui mengakumulasi glisin betain

Glisin betain merupakan senyawa osmoprotektan paling potensial dan paling

efisien dalam memberikan tanggapan terhadap cekaman osmotik. Glisin betain

merupakan senyawa yang diakumulasikan oleh bakteri gram negatif pada kondisi cekaman kekeringan yang tinggi. Akumulasi Glisin betain yang dihasilkan

Rhizobacteri di permukaan akar menurunkan potensial solut perakaran akibatnya

terjadi aliran air menuju rhizofer sehingga Rhizobacteri dapat bertahan hidup pada kondisi cekaman kekeringan. (Hartmann, et al., 1991)

Mekanisme asosiasi antara Rhizobacteri pada tanaman berlangsung disekitar daerah perakaran tanaman, yaitu sejumlah eksudat akar dalam berbagai bentuk senyawa karbon organik yang berfungsi substrat penyokong pertumbuhan dan aktivitas hidup Rhizobacteri. Sebaliknya Rhizobacteri memiliki kemampuan menghasilkan fitohormon tertentu seperti IAA, GAA dan kemampuan memfiksasi N serta menghasilkan osmoprotektan, sehingga bakteri tersebut berperan sebagai pupuk hayati bagi tanaman. Berdasarkan penelitian (Astuti, 2002) telah dikaji isolat Rhizobacteri yang berpotensi sebagai pupuk hayati. Ini dilihat dari kemampuannya yang dapat menghasilkan hormon pertumbuhan dan


(15)

osmoprotektan yang dapat meningkatkan ketahanan tanaman dari cekaman kekeringan dan mampu memfiksasi N dari udara. Menurut Samidjo dkk, (2002) mekanisme lain disebabkan oleh endorhizobakteri yang menghasilkan osmolit yang akan menurunkan potensial osmotik dalam sel akar sehingga menyebabkan potensial air di dalam sel akar akan selalu lebih rendah daripada lingkungannya. Akibatnya, proses pengambilan air oleh tanaman dapat berjalan baik sehingga memungkinkan metabolisme berlangsung secara baik pula walaupun dalam cekaman kekeringan.

Hasil penelitian Kusumastuti dkk, (2003) membuktikan bahwa pada padi IR-64 dengan sistem inokulasi campuran dua inokulum Rhizobacteri osmotoleran (Al-19+M-7b) mampu menghasilkan anakan terbanyak pada pada aras lengas 80%, sedangkan pemberian inokulum campuran dari isolat Rhizobacteri

indigenous Merapi menjadikan tanaman padi dapat bertahan tanpa penyiraman

hingga 6 hari (Agung_Astuti dkk, 2013a). Hasil penelitian Agung _Astuti dkk (2014.b) membuktikan bahwa kombinasi isolat MB dan isolat MD sebesar 2 ml suspensi Rhizobacteri indigenous Merapi pada padi varietas Segreng Handayani mampu memberikan pertumbuhan yang paling tinggi dibandingkan varietas Ciherang dan IR-64.

Menurut Husen dkk, (2012) jumlah populasi bakteri minimum yang terdapat dalam kemasan pupuk hayati, yaitu >109 sel g-1 atau ml-1 pada saat diproduksi dan >107 sel g-1 atau ml-1 pada masa kedaluarsa. Formulasi

Rhizobacteri tersebut diaplikasikan pada medium tanam dengan cara menaburkan


(16)

10

Raharjo, 2009). Hal lain yang perlu diperhatikan ialah kemasaman dan kadar air dalam kemasan. Formula inokulum harus memiliki pH 7 dan kadar air 40% untuk menunjang pertumbuhan Rhizobacteri indigenous Merapi dalam carrier. Carrier

yang digunakan adalah kombinasi 89% gambut (w/w) + 1% gula (w/w) +10 arang aktif (w/w) dengan kemasan plastik. Bahan yang digunakan untuk menyesuaikan

pH carrier ialah CaCO3 (kapur) dan untuk menyesuaikan kadar air digunakan air

steril (Agung_Astuti dkk, 2014b).

C. Tanah Pasir Pantai

Lahan pasir pantai merupakan salah satu yang termasuk ke dalam lahan marginal. Selama ini penanganan lahan pasir masih relatif kurang. Pulau Jawa memiliki pantai yang luas 81.000 km2 potensial dikembangkan sebagai lahan pertanian. Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki lahan pasir pantai seluas sekitar 3.300 hektar atau 4% luas wilayah, terbentang sepanjang 110 km di pantai selatan lautan Indonesia. Bentangan pasir pantai ini berkisar antara 1-3 km dari garis pantai. Sistem bentang darat ini mudah goyah mengakibatkan terhambatnya proses pembentukan tanah (Yuwono, 2009). Wilayah pasir merupakan perbatasan antara daratan dan lautan, dengan batas ke arah daratan sejauh 1 km dari garis pantai pada saat kedudukan pasang tertinggi di mana wilayah ini masih dipengaruhi oleh proses laut dan menghasilkan sistem ekologi yang unik. Batas ke arah laut lepas sejauh 3 mil.

Lahan pasir pantai mempunyai ciri-ciri antara lain: tekstur pasiran, struktur lepas-lepas, kandungan hara rendah, kemampuan menukar kation rendah, daya menyimpan air rendah, suhu tanah di siang hari sangat tinggi, kecepatan angin dan


(17)

laju evaporasi sangat tinggi. Ciri yang mencolok pada daerah pesisir pantai antara lain: (a) angin kencang dengan hembusan garam, (b) kadar garam tinggi dalam tanah (c) porositas tinggi, (d) pergerakan pasir yang bebas (Sulastri, 2012).

Jenis angin yang merupakan ciri khas kawasan pantai adalah angin yang bertiup dari laut. Angin ini akan mempercepat laju transpirasi tumbuhan. Angin yang berhembus dengan kecepatan tinggi akan membawa teks-teks kecil air garam dari laut pada sisi arah laut tumbuhan pesisir dan juga pada pasirnya. Karena air bergaram, maka air tersebut tidak dapat digunakan oleh tumbuhan dan garam itu meresap ke dalam tunas karena abrasi mekanis dan ion kloridanya terkumpul pada ujung ranting daun sampai kadar merugikan, sehingga meristem ujung daun dan yang menghadap ke laut menjadi mati, sedangkan yang menghadap daratan dapat berkembang (Ewussie, 1990 dalam Sulastri, 2012).

Upaya dalam peningkatan kesuburan tanah lahan pertanian kawasan pasir pantai yang secara alami kurang produktif dapat dilakukan melalui penerapan teknologi tertentu. Pemberian masukan tertentu, misalnya dengan pemberian kompos dapat dilakukan ke dalam tanah dengan tujuan perbaikan sifat fisika, kimia dan biologi tanah sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah pasir pantai. Hasil penelitian menunjukan bahwa perbandingan pemberian pupuk kandang 125% dan media pasir 100% memberikan hasil yang terbaik pada tinggi dan panjang daun tanaman kangkung darat (Triana, 2007). Penambahan bahan organik di tanah pasiran akan meningkatkan kadar air pada lapang, akibat dari meningkatnya pori yang berukuran menengah (meso) dan menurunnya pori makro, sehingga daya menahan air meningkat, dan berdampak pada peningkatan


(18)

12

ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman (Scholes et al., 1994 dalam Suntoro, 2003). Terbukti penambahan pupuk kandang di Andisol mampu meningkatkan pori memegang air sebesar 4,73% (dari 69,8% menjadi 73,1%) (Tejasuwarna, 1999).

D. Kompos

Kompos merupakan bahan organik seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rerumputan, dedak padi, batang jagung, sulur carang-carang, serta kotoran hewan yang telah mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme pengurai sehingga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat-sifat tanah. Kompos mengandung hara-hara mineral yang esensial bagi tanaman (Setyorini dkk, 2006).

Penggunaan kompos sebagai bahan pembenah tanah (soil conditioner) dapat meningkatkan kandungan bahan organik tanah sehingga mempertahankan dan menambahkan kesuburan tanah pertanian. Karakteristik umum yang dimiliki kompos antara lain: mengandung unsur hara dalam jenis dan jumlah bervariasi tergantung bahan asal, menyediakan unsur hara secara lambat (slow release) dan dalam jumlah terbatas, dan mempunyai fungsi utama memperbaiki kesuburan dab kesehatan tanah (Setyorini dkk, 2006).

Peran bahan organik terhadap sifat fisik tanah di antaranya merangsang granulasi, memperbaiki aerasi tanah, dan meningkatkan kemampuan menahan air. Peran bahan organik terhadap sifat biologis tanah adalah meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang berperan pada fiksasi Nitrogen dan transfer hara tertentu seperti N, P, dan S. Peran bahan organik terhadap sifat kimia tanah adalah meningkatkan kapasitas tukar kation sehingga memengaruhi serapan hara oleh


(19)

tanaman (Gaur, 1980 dalam Wikipedia, 2014 ). Adapun macam-macam kompos misalnya:

1. Azolla

Azolla adalah asal kata dari bahasa latin yaitu azollaceae, yang merupakan tumbuhan paku air yang termasuk ordo Salviniales, famili Azollaceae. dan mempunyai enam spesies. Sangat mudah berkembang terkadang dianggap petani sebagai gulma atau limbah pertanian. Azolla pada daerah persawahan akan mengambang diatas permukaan air dan bila air surut akan menempel pada tanah yang lembab. Pemanfatan Azolla sebagai pupuk pengganti urea telah banyak dilaporkan oleh karena dapat mengikat Nitrogen yang cukup besar. Spesies yang banyak terdapat di Indonesia terutama di pulau Jawa adalah Azolla pinnata, dan biasa tumbuh bersama-sama padi di sawah (Wikipedia, 2015).

Azolla dikenal mampu bersimbiosis dengan bakteri biru-hijau Anabaena azollae dan mengikat nitrogen langsung dari udara. Potensi ini membuat Azolla digunakan sebagai pupuk hijau baik di lahan sawah maupun lahan kering. Pada kondisi optimal Azolla akan tumbuh baik dengan laju pertumbuhan 35% tiap hari Nilai nutrisi Azolla mengandung kadar protein tinggi antara 24-30%. Kandungan asam amino essensialnya, terutama lisin 0,42% lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrat jagung, dedak, dan beras pecah. Tanaman Azolla Sp. memang sudah tidak diragukan lagi konstribusinya dalam memengaruhi peningkatan tanaman padi. Hal ini telah dibuktikan dibeberapa tempat dan beberapa negara. Konstribusi terbesar azolla adalah dengan menjaga hasil panen tetap tinggi. Meskipun penggunaannya sebagai pupuk hijau pada tanaman padi masih dilakukan di China


(20)

14

dan Vietnam, dengan adanya peningkatan biaya tenaga kerja, membuatnya kurang diminati. Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan pupuk hijau, penggunaan azolla ini kini lebih banyak dimanfaatkan untuk budidaya perikanan. Dengan adanya mindazbesi yang menggabungkan mina padi dengan azolla, selain menjadikannya sebagai pakan perikanan juga konstribusi dapat digunakan untuk peningkatan produksi padi (Wikipedia, 2015).

Meski sudah diperkenalkan dan dipopulerkan sejak awal tahun 1990-an, ternyata belum banyak petani yang memanfaatkan tanaman Azolla (Azolla

pinnata) untuk usaha taninya. Padahal manfaat tanaman air yang satu ini cukup

banyak. Selain biasa untuk pupuk dan media tanaman biasa, Azolla juga bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak dan ikan. Menurut Djojosuwito (2000) kandungan unsur kimia Azolla berdasarkan persentase berat kering adalah sebagai berikut: N (4,00-5,00%), P (0,50-0,90%), K (2,00-4,50%), Ca (0,40-1,00%), Mg (0,50-0,60%), Mn (0,11-1,16%) dan Fe (0,06-0,26%).

Kompos Azolla ialah pupuk organik yang dapat menghemat penggunaan pupuk anorganik serta membantu dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, serta biologi tanah sehingga sangat bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman. Penggunaan pupuk alami (termasuk kompos Azolla) sebagai pupuk tanah dapat meningkatkan kandungan C organik (Gatot_Kustiono dkk, 2009).

Penggunaan kompos Azolla lebih sering akan meningkatkan aktivitas biologi, meningkatkan kondisi fisik dan kimia sehingga menjadi lebih baik dan selanjutnya kompos Azolla dapat sebagai penyedia unsur hara dan mineral yang terdapat pada tanah bagian bawah secara lebih efisien (Suhartini dan Adisarwanto,


(21)

1996). Kompos Azolla mempunyai kandungan hara yang tinggi dari kompos lain, sehingga sangat menguntungkan karena tidak membutuhkan dosis yang banyak dalam pemakaiannya (Pasaribu, 2009).

Telah banyak pemanfaatan Azolla sebagai pupuk organik. Menurut hasil percobaan yang telah dilakukan pada tanaman padi, menunjukan bahwa pemanfaatan Azolla sebagai pupuk dasar dan pupuk susulan sebelum dan sesudah tanam dapat mampu meningkatkan hasil gabah secara nyata. Hasil penelitian di China menunjukan bahwa penggunaan Azolla sebagai pupuk dasar meningkatkan hasil padi sekitar 600-700 kg/hektar. Azolla mempunyai C/N rendah sehingga hasil dekomposisi Azolla akan memasok Nitrogen lebih cepat. Pada umumnya pertumbuhan tanaman yang berumur lebih panjang memanfaatkan Nitrogen yang dipasok Azolla lebih baik daripada yang berumur pendek (Sutanto, 2002) sedangkan menurut Djojosuwito (2000) hasil penelitian di Bogor menunjukan bahwa pemberian Azolla sebanyak 20 ton/hektar pada tanaman padi dapat menghemat penggunaan pupuk unsur Nitrogen hingga 60 kg/hektar atau setara dengan pupuk urea ± 133 kg/hektar. Dengan demikian bahwa Azolla dapat dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif pengganti pupuk Urea dan Azolla mempunyai kemamuan yang sama dengan urea untuk meningkatkan produksi dalam sistem usaha tani.

Hasil penelitian menunjukan bahwa aplikasi kompos Azolla 6 ton/hektar pada tanaman padi varietas Ciherang pada tanah inceptisol mampu menghasilkan gabah 8,69 ton/hektar, sedangkan perlakuan pupuk anorganik 100% (300 kg/hektar Urea; 75 kg/hektar SP36; 50 kg/hektar KCl) tanaman padi varietas


(22)

16

Ciherang mampu menghasilkan gabah 8,09 ton/hektar (Gatot_Kustiono dkk, 2009).

Dosis kompos Azolla dan Kalium memberikan pengaruh nyata terhadap K tertukar, kadar bahan organik, N total tanah, kapasitas tukar kation, berat segar brangkasan dan berat kering brangkasan tanaman kacang tanah pada tanah Alfisol namun tidak berpengaruh terhadap kadar pH, berat segar polong, berat kering polong, jumlah polong, tinggi tanaman, berat biji dan jumlah biji kacang tanah di tanah alfisol. Dosis rekomendasi yang terbaik adalah dengan pemberian kompos azolla sebanyak 5 ton per hektar dan kalium organik setara 75 kg KCl memberikan hasil yang lebih baik dibandingan tanpa perlakuan (P0) dan setara dibandingkan dengan pemberian pupuk kandang dan N, P, K (Ismoyo dkk, 2013).

2. Kotoran Sapi

Pupuk kandang kotoran sapi adalah pupuk yang berasal dari kandang ternak sapi, baik berupa kotoran padat (faeces) yang bercampur sisa makanan maupun air kencing (urine), sehingga kualitas pupuk kandang kotoran sapi beragam tergantung pada jenis, umur serta kesehatan ternak, jenis dan kadar serta jumlah pakan yang dikonsumsi, jenis pekerjaan dan lamanya ternak bekerja, lama dan kondisi penyimpanan, jumlah serta kandungan haranya. Pupuk kandang sapi biasanya terdiri atas campuran 0,5% N; 0,25% P dan 0,5% K. Pupuk kandang sapi padat dengan kadar air 85% mengandung 0,40% N; 0,20% P dan 0,1% K dan yang cair dengan kadar air 95% mengandung 1% N; 0,2% P dan 1,35% K (Ikmal_Tawakkal, 2009). Adapun komposisi unsur hara yang terkandung dalam pupuk organik dari kompos kotoran sapi yaitu: N (2,34%), P (1,08%), K (0,69 %),


(23)

dan C/N ratio (16,8%), sedangkan kandungan hara kotoran sapi yang belum dikomposkan yaitu, C (63,44%), N (1,53%), C/N (41,46%), P (0,67%), K (0,70%) (Hartatik dan Widowati, 2006).

Menurut Hartatik dan Widowati (2006) Pupuk kandang sapi mempunyai kadar serat yang tinggi seperti selulosa. Hal ini terbukti dari hasil pengukuran parameter C/N rasio yang cukup tinggi >40. Tingginya kadar C dalam kotoran sapi sapi dapat menghambat penggunaan langsung ke lahan pertanian karena akan menekan pertumbuhan tanaman utama. Penekanan pertumbuhan terjadi karena mikroba dekomposer akan menggunakan N yang tersedia untuk mendekomposisi bahan organik tersebut sehingga tanaman utama akan kekurangan N. Untuk memaksimalkan penggunaan pupuk kotoran sapi harus dilakukan pengomposan agar menjadi kompos kotoran sapi dengan rasio C/N di bawah 20.

Beberapa penelitian telah banyak mengenai penggunaan pupuk kompos kotoran sapi untuk pertumbuhan dan hasil tanaman. Hasil Penelitian menunjukan bahwa penambahan pupuk kandang sapi dengan dosis 30 ton/hektar mampu memberikan hasil padi gogo 5,93 ton/hektar (Mertikawati dkk, 1999). Sedangkan pada tanaman kedelai dilaporkan bahwa pengunaan pupuk kandang sapi 20 ton/hektar mampu memberikan hasil biji 1,21 ton/hektar (Wiskandar, 2002 dalam

Suntoro, 2003). Sedangkan Menurut Kastono (2003) bahwa pemberian takaran kompos 30 ton/hektar memberikan hasil kedelai tertinggi yaitu 1,53 ton/hektar, namun tidak berbeda nyata dengan takaran kompos 10 dan 20 ton/hektar.


(24)

18

3. Kotoran Ayam

Pupuk kandang merupakan kotoran padat dan cair dari hewan ternak baik ternak ruminansia ataupun ternak unggas. Keunggulan pupuk kandang tidak terletak pada kandungan unsur hara karena sesungguhnya pupuk kandang memiliki kandungan hara yang rendah. Kelebihannya adalah pupuk kandang dapat meningkatkan humus, memperbaiki struktur tanah, dan meningkatkan kehidupan mikroorganisme pengurai. Kandungan unsur hara yang terkandung dalam pupuk organik dari kotoran ayam sebelum di komposkan yaitu: C (42,18%), N (1,50%), C/N (28,12%), P (1,97%) dan K (0,68%), sedangkan setelah dikomposkan yaitu: N (1,70%), C/N (10,8%), P (2,12%) dan K (1,45%) (Hartatik dan Widowati, 2006).

Hasil penelitian Sian dkk,(2007) bahwa semakin tinggi pemberian pupuk kandang kotoran ayam diikuti pula dengan peningkatan pH tanah gambut, dimana pemberian takaran 10 ton/hektar pupuk kandang kotoran ayam menghasilkan kenaikan pH dengan massa inkubasi 8 dan 10 minggu masing-masing 5,51 dan 5,63. Beberapa penelitian yang menjelaskan manfaat kompos dari kotoran ayam. Menurut Sarno (2009) bahwa pemberian pupuk kandang ayam dapat mengurangi pengunaan NPK. Pemberian NPK dikombinasikan dengan pupuk kandang memberikan hasil yang lebih baik daripada NPK 100% atau pupuk kandang saja. Pada tanaman caisim pemberian pupuk NPK dan pupuk kandang sangat diperlukan untuk mendapatkan produksi caisim yang tinggi.

Menurut Limin (1992) dalam Yovita (2012) Pemberian pupuk kandang kotoran ayam 21 ton/hektar menunjukan peningkatan pada pertumbuhan dan hasil


(25)

jagung manis pada tanah gambut pedalaman di Kalampangan. Menurut Yovita (2012) pada pemberian tunggal kompos dan pemberian kombinasi 20 ton/hektar dengan NPK dosis 200 kg/hektar menunjukan hasil terbaik pada pertumbuhan dan hasil tanaman jagung manis pada tanah gambut.

Penelitian lain menurut Andi (2014) Pemberian kompos kotoran sapi, kotoran ayam, daun gamal dan daun angsana dengan dosis 30 ton/hektar dapat memperbaiki sifat fisik tanah (Kelengasan tanah, porositas tanah, dan berat volume) dan sifat kimia tanah (pH tanah, C-organik tanah dan Bahan organik tanah).

E. Hipotesis

Pemberian kompos Azolla 30 ton/hektar dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi varietas Segreng Handayani yang diinokulasi isolat campuran

Rhizobacteri indigenous MB dan MD di lahan Pasir Pantai dengan cekaman


(26)

20

III. TATA CARA PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2015 hingga Januari 2016 bertempat di Laboratorium Agrobioteknologi dan Lahan Fakultas Pertanian UMY, Jl. Lingkar Barat,Tamantirto, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, DIY.

B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih padi Segreng Handayani koleksi dari petani Gunung Kidul, Rhizobacteri adalah Rhizobacteri

indegenous Merapi isolat MB dan isolat MD (koleksi Ir. Agung Astuti, M.Si),

media platting LBA (Luria Bertani Agar), media perbanyakan isolat LBC (Luria Bertani Cair), kompos kotoran sapi, kompos kotoran ayam, kompos Azolla, pupuk NPK (Urea, SP-36, dan KCl), tanah pasir pantai untuk media tanam, air untuk penyiraman, air steril, alkohol, dan bahan perekat Sticker, Matador (pestisida).

2. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tabung reaksi,

colonicounter, haemacytometer, petridish, shaker, erlenmeyer, mikro pipet,

timbangan, gelas, besek pembibibitan, plastik PE, bambu, raffia, kawat, lakban, polybag, penggaris, kaca, timbangan analitik, jarum ose, driglasky, pinset, pipet ukur, blue and yellow tip, autoklaf, oven, gelas piala, lampu bunsen, lumpang, dan martir.


(27)

C. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan rancangan percobaan faktor tunggal terdiri dari 7 perlakuan yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan yang diujikan adalah berbagai jenis kompos dengan perbedaan takaran kompos pada tanaman padi varietas Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi dalam cekaman kekeringan selama 2 hari sekali. Perlakuan yang diujikan antara lain:

A. Kompos Kotoran Sapi takaran 30 ton/hektar B. Kompos Kotoran Sapi takaran 40 ton/hektar C. Kompos Kotoran Ayam takaran 30 ton/hektar D. Kompos Kotoran Ayam takaran 40 ton/hektar E. Kompos Azolla takaran 20 ton/hektar

F. Kompos Azolla takaran 30 ton/hektar

G. Kontrol (Tanpa Pemberian Kompos atau hanya inokulasi Rhizobacteri

indigenous Merapi)

Setiap perlakuan dilakukan 3 kali ulangan sehingga diperoleh 21 unit percobaan. Setiap unit terdiri dari 3 tanaman korban, 3 tanaman sampel dan 1 tanaman cadangan sehingga diperoleh 147 polybag serta tanaman koreksi 40 tanaman dalam cekaman air selama 2 hari sekali.


(28)

22

D. Tata Laksana Penelitian

1. Tahap Pertama: Pembuatan inokulum Rhizobacteri indigenous Merapi

a. Sterilisasi alat

Alat-alat yang terbuat dari logam dan gelas dicuci bersih kemudian setelah kering alat-alat tersebut dibungkus menggunakan kertas payung, kemudian disterilkan dalam autoklaf dengan temperatur 121oC bertekanan 1 atm selama 30 menit (Lampiran 12.a.1).

b. Pembuatan medium Luria Betani Agar (LBA) dan Luria Betani Cair (LBC)

Media LBA digunakan untuk identifikasi isolat MB dan MD dan untuk pembutaan kultur stok isolat. Media LBC digunakan untuk perbanyakan

Rhizobacteri indigenous Merapi dan pembuatan starter campuran. Seluruh bahan

LBA dan LBC dilarutkan dan dipanaskan hingga homogen, pH 6,5-7,2 dan media harus steril. Medium LBA kemudian dimasukkan ke dalam 4 tabung reaksi steril sebanyak 10 ml/tabung reaksi, kemudian sebagian mediam LBA dimasukkan dalam erlenmeyer. Medium LBC dimasukkan ke dalam erlenmeyer sebanyak 360 ml dan 60 ml kedalam tabung reaksi. Setelah medium dipindah ke dalam tabung reaksi dan erlenmeyer, kemudian distrerilkan menggunakan autoklaf pada temperatur 121ºC, 1 atm selama 15-20 menit. Medium steril dalam tabung reaksi kemudian diletakkan dengan kemiringan 30-45º (Lampiran 12.a.2&3).


(29)

c. Identifikasi koloni dan sel isolat MB dan MD Rhizobacteri indigenous

Merapi

Identifikasi koloni dilakukan dengan cara menumbuhkan isolat MB dan MD dari hasil pembiakan kultur murni pada medium LBA menggunakan metode permukaan (surface platting method) (Lampiran 12.a.4&5). Pada tahap ini yang perlu diamati ialah warna, diameter, bentuk koloni, bentuk tepi, elevasi dan struktur dalam koloni serta bentuk dan sifat sel Rhizobacteri indigenous (Lay, 1994).Hasil identifikasi karakteristik koloni Rhizobacteri indigenous Merapi dapat dilihat pada gambar 1.

d. Pembuatan biakan murni Isolat Rhizobacteri indigenous Merapi untuk kultur stok

Isolat Rhizobacter Indigenous Lahan Pasir Vulkanik Merapi yang diperoleh dari hasil penelitian sebelumnya dimurnikan dengan cara mengambil 1 ose isolat bakteri ditumbuhkan pada medium LBA miring dengan medium goresan (streak platting method). Setiap tabung reaksi diisi dengan satu ose isolat bakteri yang diharapkan dalam medium LBA pada tabung reaksi tumbuh bakteri yang berkoloni. Biakan murni dibuat dari 1 ose isolat MB dan MD pada medium Luria Bertani Agar miring dan diinkubasi selama 48 jam pada suhu 27oC (Lampiran 12.a.6).

e. Perbanyakan dan pembuatan starter campuran isolat MB dan MD

Perbanyakan isolat MB dan MD dilakukan dengan mengambil 1 ose setiap isolat hasil pemurnian kemudian diinokulasikan ke dalam 2 tabung reaksi berisi 10 ml medium LBC untuk tiap isolat dan diinkubasi dengan suhu ruang 27oC selama 48 jam (Lampiran 12.a.7). Selanjutnya diteruskan pembuatan starter


(30)

24

campuran dengan mengambil 2,5 ml hasil perbanyakan tiap isolat dan diinokulasikan pada erlenmeyer steril berisi media LBC 50 ml dan dilakukan penggojokan pada rotary shaker dengan kecepatan 120 rpm selama 48 jam. Tujuan penggojokan adalah untuk menggiatkan kontak antara permukaan bakteri dengan larutan media, memudahkan peresapan larutan nutrisi ke dalam jaringan bakteri, melancarkan sirkulasi udara, sehingga udara dapat masuk ke dalam media serta menjaga homogenitas atau keseragaman larutan nutrisi dalam media (Kumala dkk, 2015).

Setelah 48 jam pengaktifan fase mid log bakteri pada rotary shaker

dilakukan uji viabilitas starter campuran (Lampiran 12.a.8). Uji viabilitas dilakukan dengan cara mengambil satu mililiter starter campuran lalu diencerkan menggunakan air steril hingga seri pengenceran 10-8. Pada seri pengenceran 10-6, 10-7 dan 10-8 diambil 0,1 ml lalu diinokulasikan pada medium LBA dengan

surface platting method. Perhitungan jumlah koloni Rhizobacteri indigenous

Merapi dilakukan setelah inkubasi selama 48 jam pada suhu ruangan 27ºC dengan metode Total Plate Count (TPC) (Lampiran 12.a.9). Starter campuran harus memiliki kepadatan populasi bakteri ± 107 cfu/g. Skema perbanyakan dan pembuatan starter campuran dapat dilihat pada lampiran 3.

f. Pembuatan Formulasi Inokulum Padat

Bakteri Rhizobakteri indigenous Merapi diaplikasikan dengan ketentuan setiap 15 ml starter campuran untuk 50 gram carrier gambut dan lempung halus yang telah disterilkan dengan perbandingan 3:2. Starter campuran harus memiliki kepadatan populasi bakteri ± 107 cfu/g. Carrier yang digunakan adalah kombinasi


(31)

89% gambut (w/w) + 1% gula (w/w) +10% arang aktif (w/w) dengan kemasan plastik (Lampiran 12.a.10) Bahan yang digunakan untuk menyesuaikan pH

carrier ialah CaCO3 (kapur) dan untuk menyesuaikan kadar air digunakan air

steril (Agung_Astuti dkk, 2014a).

Tahapan formulasi diawali dengan mengambil 15 ml starter campuran

Rhizobacteri indigenous Merapi dan dituang ke dalam kemasan plastik yang berisi

50 g carrier inokulum padat sambil diaduk supaya homogen yang dilakukan secara steril di dalam ruangan inokulasi bakteri (lampiran 12.a.11). Hal yang perlu diperhatikan saat formulasi adalah pH dan kadar air. Kemasaman dan kadar air formula harus disesuaikan yaitu pH 7 dan kadar air 40% untuk menunjang pertumbuhan Rhizobacteri indigenous Merapi dalam carrier. Bahan yang digunakan untuk menyesuaikan pH carrier ialah CaCO3 (kapur) dan untuk

menyesuaikan kadar air digunakan air steril. Selanjutnya, hasil percampuran

starter campuran dan bahan pembawa dikemas dalam plastik kemasan diinkubasi

selama 1 minggu (lampiran 12.a.12).

2. Tahap ke dua: Persiapan Pembuatan Pupuk Kompos dan Media Tanam

a. Pupuk Kompos Azolla

Proses pembuatan kompos Azolla dengan mengomposkan bahan tersebut dengan cara menaruh Azolla basah kedalam karung kemudian didiamkan selama satu minggu. Setelah itu, bahan-bahan di kering angin sampai menjadi kompos. Ciri-ciri kompos yang sudah matang yaitu berwarna coklat kehitaman, remah dan tidak berbau.


(32)

26

b. Pupuk Kompos Kotoran Ayam

Proses pembuatan kompos kotoran ayam dilaksanakan dengan mengomposkan kotoran ayam dengan kondisi kering, kemudian kotoran ayam yang sudah kering tersebut disiram air yang telah dicampur bioaktivator EM4 diaduk sampai rata hingga keadaan air ± 60%, kemudian dimasukkan ke dalam karung dan diikat, lalu karung di lubangi. Setelah satu minggu diaduk/dibalik secara merata untuk menambah suplai oksigen dan meningkatkan homogenitas bahan. Pada tahap ini diharapkan terjadi peningkatan suhu hingga mencapai 7 ˚C untuk mematikan pertumbuhan biji gulma sehingga kompos yang dihasilkan dapat bebas dari biji gulma. Ciri – ciri kompos yang matang yaitu berwarna coklat kehitaman, menjadi remah, tidak berbau, suhu tidak panas dan kering.

c. Pupuk Kompos Kotoran Sapi

Proses pembuatan kompos kotoran sapi dilaksanakan dengan mengomposkan kotoran sapi dengan kondisi kering, kemudian kotoran sapi yang sudah kering tersebut disiram air yang telah dicampur bioaktivator EM4 diaduk sampai rata hingga keadaan air ± 60%, kemudian dimasukkan ke dalam karung dan diikat, lalu karung di lubangi. Setelah satu minggu diaduk/dibalik secara merata untuk menambah suplai oksigen dan meningkatkan homogenitas bahan. Pada tahap ini diharapkan terjadi peningkatan suhu hingga mencapai 7 ˚C untuk mematikan pertumbuhan biji gulma sehingga kompos yang dihasilkan dapat bebas dari biji gulma. Ciri – ciri kompos yang matang yaitu berwarna coklat kehitaman, menjadi remah, tidak berbau, suhu tidak panas dan kering.


(33)

d. Persiapan Media Tanam dan Pemberian Kompos

Persiapan media tanam dilakukan 2 (dua) minggu sebelum tanam dengan cara memasukan tanah pasir pantai masing-masing 10 kg kedalam polybag ukuran 35x40 cm dan ditambahkan air sampai kapasitas lapang. Setelah itu, di tambahkan pupuk dasar berupa NPK 100% dari dosis anjuran (Urea=250 kg/h, SP-36=150 kg/h dan KCl= 150 kg/h) dan ditambahkan kompos sesuai masing-masing perlakuan. Pemberian pupuk dasar dilakukan bersamaan dengan persiapan media tanam atau satu minggu sebelum tanam dengan cara dibenamkan di sekitar lubang tanam (Lampiran 6.).

3. Tahap ke tiga: Aplikasi Inokulum Rhizobacteri Pada Benih Padi Segreng Handayani

a. Uji Daya Kecambah

Uji daya kecambah dilakukan untuk mengetahui potensi benih yang bisa berkecambah dari suatu kelompok atau satuan berat benih. Pertama yang harus dilakukan adalah menyeleksi benih dengan cara merendam benih dengan air garam. Memisahkan antara benih yang mengapung dan tenggelam setelah 20 menit. Apabila benih tenggelam maka menandakan benih itu masih baik (Lampiran 12.b.1).

Pengujian daya kecambah dilakukan dengan cara mengambil 100 biji secara acak dan dijemur sinar matahari langsung selama 20-30 menit, kemudian benih disemai pada petridish yang sudah diberi kapas atau kertas saring yang telah dibasahi. Kemudian dihitung berapa jumlah benih yang berkecambah selama 6 hari (Lampiran 12.b.2).


(34)

28

Rumus perhitungan daya kecambah :

DB

=

Keterangan:

DB = Persentase biji berkecambah JBK= Jumlah biji berkecambah JBT= Jumlah biji yang ditabur

Tabel 1. Hasil uji daya kecambah padi Segreng Handayani

Ulangan Jumlah Biji kecambah Persentase Biji Kecambah (%)

1 98 98

2 99 99

3 100 100

Rata-rata 99 99

Hasil rata-rata persentasi biji kecambah padi Segreng Handayani sebesar 99%, sehingga memenuhi standar untuk digunakan sebagai bahan tanam.

b. Seleksi benih dengan larutan garam

Seleksi benih dilakukan dengan cara memasukkan benih ke dalam wadah yang berisi air dan dicampur dengan garam ± 20% dari volume air yang digunakan, kemudian benih tersebut diaduk sampai benih terpisah antara yang terapung dan tenggelam. Benih yang tenggelam adalah benih yang terbaik untuk dibibitkan. Selanjutnya benih tenggelam diambil dan dibilas dengan air biasa sampai bersih dan dikering anginkan.

c. Aplikasi Formula Inokulum Padat Rhizobacteri indigenous Merapi Pada Benih Padi

Formula padat Rhizobakteri indigenous Merapi diaplikasikan pada benih padi Segreng Handayani sesuai perlakuan dengan takaran 4-6 g/kg benih atau setara dengan 0,28-0,42 kg/h (Metting, 1992) dengan penambahan perekat berupa indostik dengan penggunaan sebanyak 0,03% (v/w) dan didiamkan selama 24 jam


(35)

(Lampiran 12.a.6). Selanjutnya setelah diinokulasi, benih dikeringanginkan dan ditempatkan pada tempat yang teduh agar tidak terkena sinar matahari dan kemudian langsung disemaikan di wadah (Lampiran 12.b.7). Benih yang di semaikan dipelihara dengan cara disiram air agar media tempat persemaian selalu lembab (Lampiran 12.b.8). Selama persemaian dilakukan pengamatan terhadap pertumbuhan Rhizobacteri saat fase persemaian. Pengamatan dilakukan akhir pada 3 minggu atau selama 21 hari dengan metode Total Plate Count

menggunakan media LBA+NaCl 0,2 M.

d. Penanaman

Penanaman dilakukan saat padi berumur 3 minggu setelah semai atau pada umur 17 hari setelah semai kemudian ditanam dengan cara tanam 2 bibit dalam 1 lubang untuk mengurangi resiko jika ada tanaman yang mati (Lampiran 12.b.9).

4. Tahap ke empat: Pemeliharaan Tanaman a. Pengairan

Pada awal penanaman selama 2 minggu kondisi tanah akan disamakan sesuai syarat penanaman padi sawah yaitu macak-macak, setelah itu pengairan disesuaikan dengan cekaman kekeringan yaitu Intensitas penyiraman yang digunakan setiap 2 hari sekali karena menggunakan tanah pasir pantai. Kebutuhan air per polybag di ukur dengan tanaman koreksi. Tanaman koreksi menggunakan pendekatan 6 hari sekali dengan cara menimbang berat tanah awal pada saat kapasitas lapang di tambahkan berat tanaman koreksi pada hari pengamatan tanaman setiap 6 hari sekali, kemudian hasilnya di kurangi berat tanaman sampel


(36)

30

(tanah+tanaman) pada masing-masing perlakuan. Selisih dari penimbangan tersebut digunakan sebagai kebutuhan air pada tanaman untuk intensitas 2 hari sekali. Rumus kebutuhan air yaitu:

KA= (KL+TK) –TS

Keterangan:

KA = Kebutuhan Air

KL = Berat Tanah Kapasitas Lapang (kg) TK = Berat Tanaman Koreksi (kg) TS = Berat Tanah+Tanaman Sampel (kg)

b. Pemupukan susulan

Pemupukan susulan dilakukan pada saat padi berumur 14 HST (Urea 30%= 0,23 gram/polybag dan KCl 50%= 0,39 gram/polybag), 30 HST (Urea 40%=0,31 gram/polybag), dan 40 HST (Urea 30%=0,23 gram/polybag dan KCl 50%=0,39 gram/polybag) (BPTP Kalbar, 2010) (Lampiran 7.).

c. Penyiangan dan Pembumbunan

Penyiangan gulma dilakukan dengan cara mencabut dengan cara manual, penyiangan dilakukan ketika gulma yang tumbuh di daerah pertumbuhan tanaman padi dipolybag. Penyiangan dilakukan pada saat tanaman berumur 3-4 minggu dan 8 minggu. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan pertama dan 1-2 minggu sebelum muncul malai.

d. Pengendalian Hama dan Penyakit

Pengendalian hama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara kimiawi menggunakan pestisida. Beberapa hama menyerang pada tanaman padi Segreng Handayani adalah:


(37)

1. Penggerek Batang Padi (Scirpophaga incertulas)

Hama ini dapat menyebabkan kerusakan secara nyata karena dapat merusak malai sehingga mengurangi jumlah malai yang dapat dipanen atau dalam fase vegetatif mereka mematikan titik tumbuh sehingga mengurangi jumlah anakan. Pengendalian menggunakan insektisida sistemik Matador (1 g/L).

2. Walang Sangit (Leptocorixa acuta)

Walang sangit merupakan hama yang menghisap cairan bulir pada fase masak susu. Kerusakan yang ditimbulkan walang sangit menyebabkan beras berubah warna, mengapur serta hampa. Hal ini dikarenakan walang sangit menghisap cairan dalam bulir padi. Fase tanaman padi yang rentan terserang hama walang sangit adalah saat tanaman padi mulai keluar malai sampai fase masak susu. Pengendalian dianjurkan dilakukan pada saat gabah masak susu pada umur 70-80 hari setelah tanam dengan disemprot insektisida Matador (1 g/L).

e. Pemanenan

Pemanenan dapat dilakukan ketika ciri tanaman padi yang siap panen antara lain telah menguning 95% dan merunduk karena malai dari padi telah terisi. Padi varietas Segreng Handayani dipanen pada umur 103, 108 dan 111 hari setelah tanam dari berbagai perlakuan. Cara pemanenan yaitu dengan memotong padi pertanaman karena padi ditanam dalam polybag.


(38)

32

E. Parameter Pengamatan

Pada penelitian ini parameter pengamatan meliputi pertumbuhan bakteri, pertumbuhan vegetatif dan pertumbuhan generatif. Pengamatan parameter pertumbuhan dan hasil tanaman dilakukan mulai dari minggu ke-1 hingga minggu ke-8.

1. Dinamika Populasi Rhizobacteri indigenous Merapi (CFU/ml)

Pengujian pertumbuhan Rhizobacteri menggunakan medium LBA dengan kadar NaCl 0,2 M, pengamatan ini dilakukan pada 3 tahap, yaitu:

a. Pada formulasi padat, dilakukan setelah seminggu penyimpanan dengan tujuan untuk mengetahui apakah Rhizobacteri yang diformulasi tumbuh dan siap untuk diaplikasikan.

b. Setelah pembibitan/penyemaian, kegiatan ini dilakukan pada hari ke 17 setelah persemaian.

c. Minggu ke 2, 5 dan 8 setelah tanam/selama budidaya.

Satu ml sampel diencerkan pada botol suntik (10-2; 10-4; 10-6) dan 2 tabung reaksi (10-7;10-8), sehingga didapat seri pengenceran hingga 10-8. Setiap 0,1 ml pada seri 10-6, 10-7, 10-8 diinokulasikan dengan metode permukaan atau surface

platting method dan setiap seri pengenceran yang diujikan dengan seri

pengenceran 10-7, 10-8, 10-9 dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Uji kemampuan hidup mikroba berdasarkan daya viabilitas dan jumlah koloni populasi bakteri (Lampiran 12.b.11). Penghitungan populasi bakteri ini dengan metode Total Plate


(39)

yang tumbuh dari masing-masing pengenceran. Penentuan jumlah bakteri per mililiter dengan menggunakan rumus:

Dalam perhitungan dengan menggunakan cara TPC harus memenuhi syarat sebagai berikut:

i. Jumlah koloni tiap cawan petri antara 30-300 koloni.

ii. Tidak ada koloni yang menutup lebih besar dari setengah luas cawan petri

(Spreader).

iii. Perbandingan jumlah koloni dari pengenceran yang berturut-turut antara pengenceran yang lebih besar dengan pengenceran sebelumnya. Jika sama atau lebih kecil dari 2 maka hasilnya dirata-rata, dan jika lebih besar dari 2 maka yang dipakai adalah jumlah koloni dari hasil pengenceran sebelumnya.

iv. Jika dengan ulangan setelah memenuhi syarat hasilnya dirata-rata.

2. Pengamatan Pertumbuhan Tanaman

Pengamatan ini dilakukan terhadap tanaman sampel pada dari minggu ke-1 hingga minggu ke-8 meliputi:

a. Tinggi Tanaman (cm)

Tinggi tanaman sampel diukur dari pangkal batang atau permukaan tanah sampai dengan ujung daun yang tertinggi, alat yang digunakan adalah penggaris dengan satuan cm. Pengamatan dilakuan setiap minggu hingga minggu ke-8 pada


(40)

34

tanaman sampel atau berhenti ketika titik maksimum perkembangan vegetatif yang ditandai dengan keluarnya malai.

b. Jumlah Anakan (Satuan)

Pengamatan dilakukan dengan menghitung keseluruhan jumlah anakan dinyatakan dalam satuan. Diamati setiap satu minggu sekali sampai minggu ke-8 pada tanaman sampel.

3. Pengamatan Tanaman Korban Minggu ke -2, ke-5 dan ke-8

Pengamatan ini dilakukan terhadap tanaman korban pada dari minggu ke 2, 5 dan 8 meliputi:

a. Proliferasi akar

Proliferasi akar diketahui dengan mengamati percabangan perakaran tanaman padi. Pengamatan dilakukan pada 1 tanaman korban per perlakuan pada minggu ke-2, ke-5 dan ke-8 setelah tanam. Proliferasi akar dinyatakan secara kualitatif dengan harkat (++++) untuk perakaran yang memiliki percabangan yang rumit serta banyak secara horizontal dan vertikal, (+++) untuk perakaran yang memiliki percabangan yang cukup banyak, (++) untuk perakaran yang memiliki percabangan akar yang sedang, dan (+) untuk perakaran yang memiliki percabangan akar yang sedikit dan (-) untuk perakaran yang tidak memiliki percabangan.


(41)

b. Panjang akar (cm)

Panjang akar diukur menggunakan penggaris mulai dari pangkal akar tanaman hingga ujung akar terpanjang. Pengamatan panjang akar dilakukan pada minggu ke- 2, 5 dan 8 setelah tanam terhadap satu tanaman korban per unit perlakuan.

c. Berat segar dan kering akar (gram)

Pengamatan berat segar akar dilakukan dengan cara mencabut tanaman sampel kemudian menimbang bagian akar yang sudah dibersihkan dari tanahnya. Akar ditimbang menggunakan timbangan analitik, dan dinyatakan dalam satuan gram. Selanjutnya akar dijemur di bawah sinar matahari selama 24 jam dan dioven pada suhu 60oC sampai beratnya konstan. Pengamatan berat kering akar dilakukan dengan cara menimbang akar yang sudah kering oven menggunakan timbangan analitik dan dinyatakan dalam satuan gram. Penghitungan berat segar dan kering akar dilakukan pada tanaman korban minggu ke 2, 5 dan 8.

d. Berat segar dan kering tajuk (gram)

Pengamatan berat segar tajuk dilakukan dengan cara mencabut tanaman korban kemudian menimbang bagian daun dan batang. Tajuk ditimbang menggunakan timbangan analitik, dan dinyatakan dalam satuan gram. Selanjutnya tajuk dijemur di bawah sinar matahari selama 24 jam dan dioven pada suhu 60oC sampai bobotnya konstan. Pengamatan beratt kering tajuk dilakukan dengan cara menimbang daun dan batang yang sudah kering oven menggunakan timbangan


(42)

36

analitik dan dinyatakan dalam satuan gram. Penghitungan berat segar dan kering tajuk dilakukan pada tanaman korban minggu ke 2, 5 dan 8.

e. Umur Berbunga

Pengamatan umur berbunga dilakukan saat padi mengalami pembungaan lebih dari 50%. Pengamatan ini dilakukan dengan cara mencatat umur berbunga yang dihitung dari hari setelah tanam padi (Lampiran 12.b.10).

4. Pengamatan Hasil Tanaman

Pengamatan hasil tanaman dilakukan terhadap tanaman sampel yang meliputi:

a. Umur Panen

Pengamatan ini dilakukan saat tanaman padi dipanen ketika memenuhi persyaratan panen yakni menguning 95% dan merunduk karena malai padi sudah berisi. Pengamatan ini dilakukan dengan cara mencatat umur panen yang dihitung dari hari setelah tanam padi.

b. Jumlah malai per rumpun (satuan)

Menghitung jumlah malai dari tanaman sampel, dilakukan dengan menghitung semua anakan yang ada dalam rumpun tersebut, baik yang berisi maupun yang hampa. Penghitungan jumlah malai per rumpun ini dilakukan pada tanaman sampel di waktu panen. Alat yang digunakan dalam pengamatan adalah bolpoint dan kertas.


(43)

c. Berat biji per rumpun (gram)

Menghitung berat biji per rumpun dari tanaman sampel, dilakukan dengan cara mengeringkan semua biji yang telah dirontokan dalam satu rumpun tanaman sampel, baik yang berisi maupun hampa dibawah sinar matahari langsung. Setelah itu, ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik dalam satuan gram. Berat biji per rumpun kemudian di konversikan ke kadar air 14% (Lampiran 12.b.14).

d. Berat 1000 biji (gram)

Pengamatan berat 100 biji dilakukan dengan cara menimbang berat gabah 100 biji dari setiap tanaman sampel masing-masing perlakuan yang telah dikeringkan, kemudian mengukur kadar airnya dan selanjutnya dikonversikan pada kadar air 14% dengan rumus:

a=

a= berat 100 biji pada kadar air 14 % b= berat 100 biji pada kadar air terukur

Hasil perhitungan dikalikan 10 untuk mengetahui berat 1000 biji.

e. Hasil Gabah (ton/hektar)

Pengamatan dilakukan pada saat panen dari tanaman sampel tiap perlakuan yaitu dengan cara mengeringkan butir gabah selama 3 hari (Lampiran 12.b.13). Selanjutnya gabah ditimbang dan diukur kadar airnya (Lampiran 12.b.15) kemudian dikonversikan dalam ton/h pada kadar air 14% dengan rumus :


(44)

38

H =

H = hasil gabah/h pada kadar air 14% A = luas lahan dalam satuan ha (10.000 m2) B = jarak tanam (20x20 cm=0,04m2)

C = berat biji per rumpun kadar air 14% (g) Ka= kadar air biji terukur

F. Analisis Data

Data hasil pengamatan secara periodik disajikan dalam bentuk diagram dan grafik. Data pengamatan agronomis dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (Analysis of variance) α 5%. Untuk perlakuan yang berbeda nyata diuji lebih lanjut dengan uji jarak berganda Duncan (DMRT).


(45)

39

Identifikasi dilakukan untuk memastikan bahwa bakteri yang digunakan sama dengan bakteri yang telah ditentukan. Identifikasi Rhizobacteri Indigenous

Merapi meliputi karakterisasi koloni dan sel, karakterisasi koloni dilakukan dengan membiakan isolat MB dan MD pada medium LBA menggunakan metode permukaan (surface platting method). Karakterisasi koloni dilakukan pada koloni tunggal yang tumbuh kemudian diamati gambar bakteri yang digunakan tersaji pada gambar 1.

MB MD

Gambar 1. Hasil surface platting isolat Rhizobacteri MB dan MD pada media Luria Bertani Agar (LBA) Standar

Gambar 2. Karakteristik koloni Rhizobacteri MB dan MD secara mikroskopis dengan perbesaran 400 kali


(46)

40

Pada gambar 1. menunjukan hasil pertumbuhan koloni Rhizobacteri

indigenous Merapi isolat MB dan MD pada media LBA standar dengan metode

surface platting. Pada gambar 1, isolat yang tumbuh memiliki karakterisitik

koloni secara makroskpis sudah sesuai dengan deskripsi isolat Rhizobacteri MB dan MD (Tabel 2.), sedangkan untuk mengetahui perbedaan isolat MB daan MD dapat dilihat dari hasil karakteristik koloni (warna, diameter, bentuk koloni, bentuk tepi, elevasi dan struktur dalam) dan karaktersitik sel (bentuk sel dan sifat gram). Hasil identifikasi dan karakterisasi Rhizobacteri indigenous Merapi isolat MB dan MD dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 1. Deskripsi Rhizobacteri indigenous MerapiIsolat MB dan MD

No Karakterisasi Koloni Isolat MB Isolat MD

1 Warna Putih Putih cream

2 Diameter 0,4 cm 1,4 cm

3 Bentuk Koloni Circular Ramuse

4 Bentuk Tepi Entire Filamentous

5 Elevasi Law convex Convex rugose

6 Struktur Dalam Coarsely Granular Arborescent

7 Bentuk Sel Baccil Coccus

8 Gram Negatif Negatif

Berdasarkan hasil identifikasi yang telah dilakukan sesuai dengan identifikasi yang dilakukan oleh Agung_Astuti (2012) (Lampiran 7.) perbedaan hanya terletak pada ukuran diameter bakteri, dimana ukuran diameter hasil identifikasi berukuran lebih besar khususnya pada isolat MD. Menurut Brock (1997) dari ukuran diameter koloni dapat diketahui tipe pertumbuhan bakteri

Rhizobacteri indigenous. Untuk ukuran 1 mm atau lebih digolongkan dalam slow

growing sedangkan ukuran 4-6 mm digolongkan dalam fast growing. Berdasarkan


(47)

tipe pertumbuhan fast growing karena memiliki ukuran koloni maksimal 15 mm sedangkan untuk isolat MA, MB, MC dari lahan pasir vulkanik Merapi diduga mempunyai tipe pertumbuhan slow growing karena kurang dari 4 mm.

Berdasarkan gambar 1, isolat MB dan MD yang diamati memiliki karakteristik koloni (warna, diameter, bentuk koloni, bentuk tepi, elevasi dan struktur dalam) dan karakteristik sel (gram dan bentuk) yang sesuai dengan deskripsi karakter Rhizobacteri indigenous Merapi yang dilakukan oleh Agung_Astuti (2012) dan hasil dari identifikasi dapat dilihat pada lampiran 7. Identifikasi karakterisasi sel pada Rhizobacteri indigenous Merapi isolat MB dan MD adalah gram negatif. Hal ini menunjukan Rhizobacteri indigenous Merapi dapat mengakumulasi Glisin betain. Glisin betain adalah senyawa yang diakumulasikan oleh bakteri gram negatif pada kondisi cekaman kekeringan yang tinggi. Menurut Brock, (1997) karakterisasi sel Rhizobacteri adalah bakteri gram negatif dengan diameter 0,5 – 0,9 µm panjang 1,2 – 3,0 µm dan tidak membentuk spora. Hal tersebut sesuai dengan sifat gram isolat Rhizobacteri indigenous

Merapi yaitu gram negatif, dengan bentuk Baccil dan Coccus. Berdasarkan hasil karakteristiknya maka isolat dari lahan pasir vulkanik Merapi adalah Rhizobacteri

indigenous. Hal ini didukung penelitian Agung_Astuti (2012) bahwa Rhizobacteri

indigenous Merapi isolat MB dan MD mempunyai karakterisasi sel yakni gram

negatif dan bentuk Baccil dan Coccus yang tahan terhadap cekaman osmotik hingga >2,75 M NaCl.


(48)

42

B. Dinamika Populasi Rhizobacteri indigenous Merapi

Dinamika populasi Rhizobacteri indigenous Merapi dari berbagai perlakuan dapat diketahui melalui perhitungan jumlah koloni yang tumbuh sesuai bentuk dan koloni masing-masing pada rhizosfer tanaman padi. Pengamatan dinamika populasi Rhizobacteri indigenous Merapi dilakukan pada saat starter campuran, pembibitan, umur tanaman padi minggu ke 2, 5 dan 8 sejak tanam. Perhitungan jumlah koloni ini menggunakan metode Total Plate Count (TPC). Populasi Rhizobacteri indigenous Merapi pada saat starter campuran mencapai 48,33x107 CFU/ml (MB dan MD) dan saat pembibitan di Greenhouse populasi isolat MB meningkat sebesar 2796x107 CFU/ml. Peningkatan populasi ini diikuti isolat MD sebesar 426,67x107 CFU/ml. Sedangkan populasi bakteri lain dalam tanahsebesar 196x107 CFU/ml, sehingga bakteri total pada saat pembibitan adalah 3418,67x107 CFU/ml. Hal ini diduga populasi Rhizbacteri indigenous Merapi isolat MB dan MB mengalami fase pertumbuhan dan mampu melewati fase adaptasi lingkungan dalam pembibitan. Imas dkk, (1989) menyatakan bahwa jasad-jasad mikro tanah mampu tumbuh dalam satu lingkungan yang berbeda dan berfluktuasi, oleh karenanya jasad-jasad mikro tanah harus mampu beradaptasi terhadap kondisi baru. Hal ini terbukti pada penelitian Agung_Astuti, dkk (2014.c) bahwa selama pembibitan populasi Rhizbacteri indigenous Merapi isolat MA, MB dan MB mengalami mengalami peningkatan dari minggu ke 1 hingga minggu ke 3. Dinamika populasi bakteri total, bakteri lain dan Rhizobacteri


(1)

tanaman secara maksimal terhadap padi inokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi. Hal ini juga didukung oleh parameter berat segar dan berat kering akar yang menunjukan nyata lebih baik dari perlakuan lain.

Berat Kering Tajuk. Berdasarkan sidik ragam pada parameter berat kering tajuk menunjukan ada beda nyata pada perlakuan pemberian berbagai jenis dan takaran kompos terhadap berat kering tajuk padi Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali di minggu ke 5 (Tabel 3.) sedangkan berat kering tajuk di minggu ke 8 menunjukan tidak ada beda nyata (Tabel 4.). Berat kering tajuk perlakuan kompos kotoran sapi 30 ton/h (9,86 gram) berbeda nyata dengan kompos kotoran ayam 30 ton/h (1,37 gram), kompos kotoran ayam 40 ton/h (1,42 gram), kompos Azolla 20 ton/h (4,21 gram) dan Azolla 30 ton/h (0,46 gram) di minggu ke 5 (Tabel 3.) sedangkan Berat kering tajuk perlakuan kompos kotoran sapi 30 ton/h (22,77 gram) cenderung memiliki berat kering tajuk lebih tinggi meskipun tidak berbeda nyata (Tabel 4.). Diduga unsur hara pada kompos kotoran sapi 30 ton/h mampu meningkatkan berat biomassa terhadap padi Segreng Handayani. Kompos kotoran sapi 30 ton/h mampu menyediakan energi dan nitrogen bagi Rhizobacteri indigenous Merapi sehingga dapat menyuburkan tanaman. Menurut Rao (1994) Akar tanaman padi memiliki kemampuan dalam menyediakan eksudat berupa senyawa organik yang dibutuhkan bagi mikroorganisme tanah. Hal ini juga didukung oleh parameter berat segar tajuk yang nyata lebih baik dari perlakuan lain (Tabel 3. dan Tabel 4.).

Jumlah Anakan. Berdasarkan sidik ragam menunjukan tidak ada beda nyata antar perlakuan pemberian berbagai jenis dan takaran kompos pada jumlah anakan

padi Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali di minggu ke 5 (Tabel 3.) dan di minggu ke 8 menunjukan tidak ada beda nyata pada perlakuan pemberian berbagai jenis dan takaran kompos pada jumlah anakan padi Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali (Tabel 4.). Perlakuan pemberian kompos kotoran sapi 30 ton/h (23,78 anakan) menunjukan jumlah anakan cenderung lebih tinggi dibanding perlakuan lain di minggu ke 5 (Tabel 3.) sedangkan pada minggu ke 8 pada perlakuan kompos Azolla 20 ton/h (31,11 anakan) cenderung memiliki jumlah anakan tertinggi meskipun tidak berbeda nyata dengan perlakuan lain (Tabel 4.). Namun, apabila diaplikasikan kedalam lapangan perlakuan kontrol bisa menjadi solusi karena tidak membutuhkan bahan organik atau hanya di inokulasikan Rhizobacteri indigenous Merapi MB+MB sehingga lebih hemat dalam persiapan budidayanya. Diduga unsur hara pemberian kompos kotoran sapi 30 ton/h dan mampu diserap dengan baik oleh tanaman di minggu ke 5 (Tabel 3.). Perlakuan kompos Azolla 20 ton/h mampu meningkatkan maksimum jumlah anakan di minggu ke 8. Hal ini diduga unsur N pada Azolla 20 ton/h mampu diserap oleh tanaman dan N nya mampu memberikan energi bagi Rhizobacteri indigenous Merapi. Selain itu, karena peranan Rhizobacteri indigenous Merapi yang dapat menghasilkan fitohormon seperti IAA. Bahan organik kotoran sapi 30 ton/h dan Azolla 20 ton/h dapat sebagai nutrisi yang membantu pertumbuhan Rhizobacteri indigenous Merapi dalam akar sehingga menyuburkan tanaman. Penelitian Agung_Astuti, dkk (2014.b) bahwa perlakuan inokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi isolat MB+MD memiliki jumlah anakan lebih tinggi sebanyak 12,16 anakan dan pada perlakuan varietas Segreng Handayani


(2)

memiliki 9,27 anakan. Menurut Utami dkk (2009) jumlah anakan produktif padi Segreng Handayani sebanyak 10,14 anakan.

Umur berbunga. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukan ada beda nyata pada perlakuan pemberian berbagai jenis dan takaran kompos pada umur berbunga padi Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali (Tabel 4.). Umur berbunga padi Segreng Handayani inokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi pada perlakuan kompos Azolla 30 ton/h (77 hari) berbeda nyata dengan semua perlakuan (Tabel 4.). Perlakuan kontrol (63 hari) memiliki umur berbunga lebih cepat meskipun tidak berbeda dengan perlakuan kompos kotoran sapi 30 ton/h (63,67 hari) dan kompos Azolla 20 ton/h (68,33 hari). Agus_Arianto (2016) bahwa umur berbunga padi Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi adalah 62,04 hari. Perbedaan umur berbunga ini diduga karena beberapa jenis kompos memiliki tingkat kemampuan dalam mengikat air berbeda-beda apalagi pada tanah pasir pantai, dimana tanah pasir pantai memiliki tingkat porositas tinggi sehingga mudah mengalami kekeringan. Kekeringan dapat mempengaruhi morfologi, fisiologi, dan aktivitas pada tingkatan molekular tanaman padi seperti menunda pembungaan, mengurangi distribusi dan alokasi bahan kering, mengurangi kapasitas fotosintesis sebagai akibat dari menutupnya stomata, pembatasan berkenaan dengan metabolisme dan kerusakan pada kloroplas (Farooq et al., 2009).

Hasil Tanaman Padi Segreng Handayani Produktivitas dari penanaman padi adalah hasil akhir dari pengaruh interaksi antara faktor genetik varietas gabah dengan lingkungannya. (Yoshida, 1981). Nilai rerata umur panen, jumlah malai per rumpun, berat biji per rumpun, berat 1000 biji, dan hasil gabah dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Rerata umur panen, jumlah malai per rumpun, berat biji per rumpun, berat 1000 biji dan hasil gabah (ton/h)

Perl aku an

Hasil Tanaman Umur

Panen (Hari)

Jumlah Malai per

Rumpun (satuan)

Berat Biji per Rumpun

(g)

Berat 1000 biji (g)

Hasil Gabah (ton/h) A 104,67 a 29,11 a 17,46 a 20,65 a 4,25 a B 107,33 a 24,33 a 14,90 a 17,03 a 3,63 a C 109,00 a 23,72 a 15,59 a 18,01 a 3,80 a D 107,00 a 25,34 a 15,59 a 20,50 a 3,90 a E 107,33 a 27,83 a 17,21 a 18,64 a 4,19 a F 111,00 a 22,50 a 8,38 a 17,64 a 2,04 a G 104,67 a 27,89 a 16,93 a 20,50 a 4,13 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang

tidak sama menunjukan ada beda nyata berdasarkan uji F dan DMRT pada taraf nyata 5%. A = Kompos Kotoran Sapi 30 ton/h B = Kompos Kotoran Sapi 40 ton/h C = Kompos Kotoran ayam 30 ton/h D = Kompos Kotoran ayam 40 ton/h E = Kompos Azolla 20 ton/h

F = Kompos Azolla 30 ton/h

G = Kontrol (tanpa diberi kompos/hanya inokulasi Rhizobacteri indigenous)

Umur Panen. Berdasarkan sidik ragam menunjukan tidak ada beda nyata pada perlakuan pemberian berbagai jenis dan takaran kompos terhadap umur panen padi Segreng Handayani inokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali (Tabel 5.). Perlakuan pemberian kompos kotoran sapi 30 ton/h (104,67 hari) cenderung lebih cepat panen daripada


(3)

perlakuan lain, meskipun kontrol memiliki umur panen yang sama (Tabel 5.) Menurut Purwaningsih dan Kristamtini (2009) umur tanaman padi Segreng Handayani adalah 109 hari setelah tanam. Diduga dengan pemberian kompos kotoran sapi 30 ton/h mampu meningkatkan pertumbuhan lebih cepat karena unsur hara diserap secara maksimal serta menyediakan energi dan nitogren bagi Rhizobacteri indigenous Merapi sehingga umur panen lebih cepat. Rhizobacteri indigenous Merapi memiliki kemampuan menghasilkan ion-ion NO3-, NH4+ melalui proses mineralisasi sehingga mampu membentuk material kompleks seperti asam-asam amino dan asam asam nukleat yang dapat langsung diserap dan digunakan oleh tanaman (Agung_Astuti, 2014c) sehingga dapat menjadi pupuk hayati bagi pertumbuhan tanaman.

Jumlah Malai per Rumpun. Berdasarkan sidik ragam menunjukan bahwa tidak ada beda nyata antar perlakuan pemberian berbagai jenis dan takaran kompos pada jumlah malai per rumun padi Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali (Tabel 5). Perlakuan pemberian kompos kotoran sapi 30 ton/h (29,11) memiliki jumlah malai per rumpun lebih tinggi meskipun tidak berbeda dengan perlakuan lain (Tabel 5.) Kristamtini dan Prajitno (2009) menyebutkan bahwa jumlah malai per rumpun padi Segreng Handayani baru mencapai 8,7 malai. Diduga dengan pemberian kompos kotoran sapi 30 ton/h mampu meningkatkan pertumbuhan lebih cepat karena unsur hara diserap secara maksimal serta menyediakan energi dan nitogren bagi Rhizobacteri indigenous

Merapi sehingga meningkatkan jumlah malai pada padi Segreng Handayani. Selain itu, kemampuan Rhizobacteri indigenous Merapi yang mampu menyuburkan tanaman karena dapat menghasilkan IAA.

Berat Biji per Rumpun. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata pada perlakuan pemberian berbagai jenis dan takaran kompos terhadap berat biji per rumpun padi Segreng Handayani inokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali (Tabel 5.). Pada perlakuan pemberian kompos kotoran sapi 30 ton/h (17,46 gram) cenderung lebih tinggi berat biji per rumpun dari perlakuan perlakuan lain (Tabel 5.). Penelitian Agus_Arianto (2016) bahwa padi yang diinokulasikan Rhizobacteri indigenous Merapi MB+MD dapat menghasilkan berat biji per rumpun sebanyak 16,75 gram. Diduga pemberian kompos kotoran sapi 30 ton/h mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif maupun generatif lebih cepat karena unsur hara diserap secara maksimal serta menyediakan energi dan nitogren bagi Rhizobacteri indigenous Merapi sehingga proses fotosintesis pada padi Segreng Handayani berjalan dengan maksimal. Selain itu, kemampuan Rhizobacteri indigenous Merapi yang mampu menyuburkan tanaman karena dapat menghasilkan IAA. Berdasarkan penelitian (Astuti, 2002) telah dikaji isolat Rhizobacteri yang berpotensi sebagai pupuk hayati. Ini dilihat dari kemampuannya yang dapat menghasilkan hormon pertumbuhan dan osmoprotektan yang dapat meningkatkan ketahanan tanaman dari cekaman kekeringan dan mampu memfiksasi N dari udara.


(4)

Berat 1000 biji. Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada beda nyata antar perlakuan pemberian berbagai jenis dan takaran kompos terhadap berat 1000 biji padi Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi isolat MB+MD di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali (Tabel 5.). Berat 1000 biji padi Segreng Handayani pada perlakuan kompos kotoran sapi 30 ton/h (20,65 gram) lebih tinggi dari perlakuan lain meskipun semua perlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 5.). Menurut Purwaningsih dan Kristamtini (2009) menyatakan bahwa padi Segreng Handayani memiliki berat 1000 biji rata-rata 24,33 gram.

Hasil Gabah (ton/h). Berdasarkan hasil sidik ragam menunjukkan bahwa tidak beda nyata pada perlakuan pemberian berbagai jenis dan takaran kompos terhadap padi Segreng Handayani inokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan 2 hari sekali (Tabel 5.). Perlakuan kompos kotoran sapi 30 ton/h (4,25 ton/h) cenderung lebih baik dari perlakuan lain (Tabel 5.). Perlakuan pemberian Azolla dengan takaran lebih tinggi cenderung mengalami proses denitrifikasi (N hilang ke atmosfer berupa gas). Denitrifikasi adalah proses reduksi oksida nitrogenesus terutama nitrit dan nitrat menjadi dinitrogen gas, N2O dan N2 (Tiedje, 1988). Selain itu juga pengaruh suhu lingkungan (volatilisasi) penelitian yang panas sehingga unsur N maupun ammonium dalam tanah akan terlepas di udara dalam bentuk gas sehingga dalam pertumbuhan vegetatif maupun generatif akan cenderung lebih lambat. Volatilisasi adalah perubahan ammonium menjadi gas ammonia dan proses ini banyak terjadi di dalam tanah yang memiliki pH lebih besar dari 7,5, dengan tekstur pasir (Budiyanto, 2009). perlakuan pemberian kompos

kotoran sapi 30 ton/h memiliki hasil gabah (ton/h) cenderung lebih tinggi (4,25 ton/h) dibandingkan dengan kompos Azolla 30 ton/h (2,04 ton/h), diikuti dengan perlakuan Azolla 20 ton/h (4,19 ton/h), kontrol (4,13 ton/h), kotoran ayam 40 ton/h (3,90 ton/h), kotoran ayam 30 ton/h (3,80 ton/h) dan kotoran sapi 40 ton/h (3,63 ton/h) meskipun semua perlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 5.). Hal ini diduga pada pemberian kompos kotoran sapi 30 ton/h pada padi Segreng Handayani inokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi isolat MB+MD di tanah pasir pantai mampu diserap oleh tanaman padi secara maksimal. Hal ini didukung oleh parameter berat 1000 biji bahwa perlakuan kompos sapi 30 ton/h cenderung lebih tinggi dari perlakuan Azolla 30 ton/h, meskipun tidak berbeda dengan perlakuan lain. Namun perlakuan kontrol akan lebih hemat dalam biaya persiapan lahan karena hasilnya pun tidak berbeda dengan perlakuan kompos sapi 30 ton/h (Tabel 5.).

SIMPULAN

Pemberian berbagai jenis dan takaran kompos pada padi Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi isolat MB+MD di tanah pasir pantai dengan cekaman kekeringan ada beda nyata pada semua parameter pertumbuhan di minggu ke 5, kecuali jumlah anakan namun tidak ada beda nyata di minggu ke 8, kecuali tinggi tanaman dan umur berbunga. Sedangkan pada parameter hasil tidak ada beda nyata pada semua perlakuan. Pemberian berbagai jenis dan takaran kompos memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap hasil padi Segreng Handayani yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi di tanah pasir pantai dengan cekeman kekeringan, bahkan yang diinokulasi Rhizobacteri indigenous Merapi tanpa pemberian kompos (kontrol) mampu memberikan hasil gabah yang sama tinggi yaitu 4,13 ton/h.


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Kepada tim Proyek Penelitian Ir. Agung Astuti, M.Si tahun 2016.

DAFTAR PUSTAKA

Agung-Astuti. 2012. Isolasi dan Karakterisasi Rhizobacteri Akar Rumput di lahan Pasir Vulkanik Merapi. Seminar Ilmiah Fakultas Pertanian UMY.

Agung-Astuti, Sarjiyah dan Haryono. 2013. a. Uji Potensi Rhizobacteri indigenous Lahan Pasir Vulkanik Merapi Untuk Dikembangkan Sebagai Pupuk Hayati Di Lahan Marginal. Prosiding Seminar Nasional Pemanfaatan Lahan Marginal Sumberdaya Lokal. HITI-UNSOED. Purwokerto.

Agung-Astuti, Sarjiyah dan Haryono. 2013. b. Pengembangan Isolat Rhizobacteri indigenous Sebagai Pupuk Hayati Di Untuk Meningkatkan Produktivitas Padi Lahan Kering. Laporan Hibah Dikti Tahun Ke I. Belum dipublikasikan. Agung-Astuti, Sarjiyah, Haryono and

Habibi. 2014b. Compatibility Test Of Indigenous Rhizobacterial Isolate Of Merapi With Rice Varieties Under Drought Stress. Proceeding Seminar International Biotechnology Conference (IBC). Konsorsium Bioteknologi

Indonesia-LIPI-RISTEK-DEPTAN- UNSRI.

Palembang.

Agung_Astuti. Haryono dan Luniawati, T. 2014c. Pengaruh Formulasi Inokulum Cair Rhizobakteri Indigenous Merapi dan Metode Aplikasi Terhadap Pertumbuhan Padi Dalam Cekaman Kekeringan. Skripsi Mahasiswa Pertanian UMY (Tidak Dipublikasikan).

Agus_Arianto. 2016. Kajian Asosiasi Rhizobacteri Indigenous Merapi– Mikoriza Dan Frekuensi Penyiraman Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil

Padi Segreng Di Tanah Regosol. Skripsi Program Studi Agroteknologi. UMY. Tidak Dipublikasikan.

Apriyanti. 2007. Pengujian Bentuk Dan Takaran Inokulum Terhadap Aktivitas Infeksi Dan Nodulasi Akar Tanaman Kerandang (Pueraria phaseoloides sp.) Di Tanah Pasir Pantai.

Astuti. F. 2002. Pengaruh Pemberian Inokulan Rhizobacteri Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Kedelai (Glycine Max (L.) Merril) VarietasArgomulyo.http://digilib.gu nadarma.ac.id/go.php?id=jiptumm-gdl-s1-2002-febri-5873-kedelai. Diakses pada tanggal 5 Maret 2015. BPS. 2014. Produksi Tanaman Pangan

Angka Ramalan II (Aram II) 2014 dalam Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Katalog BPS:9199017. Edisi 54 November 2014.

Brock, 1997. Biology of Microorganisms. Southern Illinois University-carbondale. Prentice Hall International, Inc.

Budiyanto,Gunawan. 2009. Bahan Organik dan Pengelolaan Nitrogen Lahan Pasir. Unpad Press: 71-75. Farooq, M., A. Wahid, D.J. Lee, O. Ito,

and K.H.M. Siddique. 2009. Advances in drought resistance of rice. Critical Reviews in Plant Sciences.. 28(4): 199.

Gardner, F. P., R. B, Pearce dan R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. UI Press. Jakarta.

Kristamtini dan Prajitno AL. 2009. Karakterisasi Padi Beras Merah Segreng Varietas Unggul Lokal Gunungkidul. Jurnal Ilmu-ilmu Pengetahuan. 5(2): 45-51

Mertikawati, I., A.D. Suyono, dan S. Djakasutami. 1999. Pengaruh berbagai pupuk organik terhadap beberapa sifat fisika dan kimia vertisol dan ultisol serta hasil padi gogo. Konggres Nasional VII. HITI. Bandung.


(6)

Purwaningsih, Heni dan Kristamtini, 2009. Potensi Pengembangan Beras Merah Sebagai Plasma Nutfah Yogyakarta. Jurnal Litbang Pertanian. 28 (3): 88-95.

Rao, N.S.S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI press. Jakarta. hal: 63-68.

Republika. 2014. 119 Hektar Tanaman Padi di Bali Gagal Panen. http://nasional.republika.co.id/berita/ nasional/daerah/14/09/25/ncftb0- 119-hektare-tanaman-padi-di-bali-gagal-panen. Akses 3 Maret 2014 Tiedje,J.M. 1988. Ecology of

Denitrification and Dissimilatory Nitrate Reduction to Ammonium in

Biology Of Anaerobic

Microorganism edited by Zehnder, A.J.B: 179-183.

Utami D. W., Kristamtini, Prajitno al. KS. 2009. Karakterisasi Plasma Nutfah Padi Beras Merah Lokal Asal Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Karakter Morfo-Agronomi dan Marka SSRs. Yogyakarta.

Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Scinse. Tre International Rice Research Institute. Los Banos, Laguna. Philippine.