ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA TERAPI KOMBINASI DARI RISPERIDON DAN HALOPERIDOL PADA FASE AKUT PASIEN SKIZOFRENIA

(1)

KARYA TULIS ILMIAH ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA

TERAPI KOMBINASI DARI RISPERIDON DAN HALOPERIDOL PADA FASE AKUT PASIEN SKIZOFRENIA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Derajad Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh Sekar Kinanti 200120310095

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2015


(2)

PADA FASE AKUT PASIEN SKIZOFRENIA

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Derajad Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun oleh Sekar Kinanti 200120310095

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2015


(3)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Sekar Kinanti

NIM : 20120310095

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 16 Februari 2016

Yang membuat pernyataan,


(4)

iv

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Analisis Efektivitas Biaya Terapi Kombinasi dari Risperidon dan Haloperidol pada Fase Akut Pasien Skizofrenia” yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Dengan terselesaikannya Karya Tulis Ilmiah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. dr. H. Ardi Pramono, Sp.An, selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. dr. Alfaina Wahyuni, Sp.OG, M.Kes, selaku Kaprodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

3. dr. Imaniar Ranti, M.Sc., selaku dosen pembimbing yang selalu memberikan semangat, masukkan, kritikan, dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

4. dr. Hidayatul Kurniawati, M.Sc, selaku dosen penguji Karya Tulis Ilmiah ini.

5. Sri Tasminatun, S.Si., M.Si., Apt., selaku dosen penguji proposal Karya Tulis Ilmiah ini.


(5)

v

6. Direktur Utama RSJ Grhasia Yogyakarta, dr. Wikan Ardiningrum, Sp. KJ dan seluruh pihak RSJ Grhasia Yogyakarta lainnya yang membantu dalam proses pengambilan data untuk Karya Tulis Ilmiah ini.

7. Kedua orang tua, Kakak dan Adik penulis yang selalu memberikan dukungan semangat dan doa selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

8. Andi Fauziyar, selaku teman satu tema KTI yang sangat membantu penulis selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

9. Teman-teman penulis terutama Fisa, Kibo, Gathak, Bella, Agas, Ade, Annisa, Mona, Aang dan Bayu Cakra yang sangat membantu penulis selama penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini masih banyak kekurangannya, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan dan peningkatan kualitas Karya Tulis Ilmiah ini. Akhir kata, penulis mengharapkan Karya Tulis Ilmiah ini dapat diterima dan hasil penelitian dapat bermanfaat.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Yogyakarta, 16 Februari 2016


(6)

vi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN KTI ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... ix

INTISARI ... x

ABSTRACT ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian... 6

E. Keaslian Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Dasar Teori ... 9

1. Skizofrenia ... 9

2. Terapi Farmakologi ... 16

3. PANSS-EC ... 21

4. Farmakoekonomi ... 22

B. Kerangka Konsep ... 24

C. Hipotesis ... 25

BAB III METODE PENELITIAN... 26

A. Desain Penelitian ... 26

B. Populasi dan Sampel Penelitian... 26

1. Populasi Penelitian ... 26


(7)

vii

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 27

D. Variabel Penelitian ... 28

1. Variabel Tergantung ... 28

2. Variabel Bebas ... 28

3. Variabel Perancu ... 28

E. Definisi Operasional ... 28

F. Instrumen Penelitian ... 29

G. Jalannya Penelitian ... 30

1. Tahap Persiapan Penelitian... 31

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 31

3. Tahap Penyelesaian ... 31

H. Analisis Data ... 31

I. Etika Penelitian ... 33

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Hasil Penelitian ... 34

B. Pembahasan ... 38

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

A. Kesimpulan ... 42

B. Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(8)

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Daftar Penelitian Sebelumnya ... 7

Tabel 2 Tabel Efektivitas Biaya ... 29

Tabel 3 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Usia ... 34

Tabel 4 Distribusi Sampel Berdasarkan Lama Fase Akut ... 34

Tabel 5 Analisis Kelompok Usia antara Kelompok Terapi Kombinasi Risperidon dan Kelompok terapi Haloperidol ... 35

Tabel 6 Karakteristik Kelompok Terapi Kombinasi Risperidon dan Kelompok terapi Haloperidol Berdasarkan Lama Fase Akut ... 35

Tabel 7 Analisis Lama Fase Akut antara Kelompok Terapi Kombinasi Risperidon dan Kelompok Terapi Kombinasi Haaloperidol ... 36

Tabel 8 Karakteristik Kelompok Terapi Kombinasi Risperidon dan Kelompok Terapi Kombinasi Haloperidol Berdasarkan Biaya... 36

Tabel 9 Analisis Biaya antara Kelompok Terapi Kombinasi Risperidon dan Kelompok Terapi Kombinasi Haloperidol ... 37


(9)

ix

DAFTAR SINGKATAN

ACER = Average Cost-Effectiveness Ratios AEB = Analisis Efektivitas Biaya

AMB = Analisis Manfaat Biaya AMiB = Analisis Minimalisasi Biaya APA = American Psychiatric Association AS = Amerika Serikat

AUB = Analisis Utilitas Biaya

FKRTL = Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan FKTP = Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

JKN = Jaminan Kesehatan Nasional

PANSS = Positive and Negative Syndrome Scale

PANSS-EC = Positive and Negative Syndrome Scale – Excitement Component PPDGJ III = Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III QALY = Quality Adjusted Life Years

REB = Rasio Efektivitas Biaya rerata pengobatan RSJ = Rumah Sakit Jiwa

SJSN = Sistem Jaminan Sosial Nasional

SPSS = Statistical Product and Service Solution WHO = World Health Organization


(10)

TERAPI KOMBINASI DARl RlSPERlDON DAN HALOPERIDOL PADA FASE AKUT PASIEN SKIZOFRENIA

Disusun oleh : Sekar Kinanti 200120310095

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal14 Maret 2016

Dosen Pembimbing Dosen Penguji

dr. Imaniar Ranti. M.Sc dr. Hidayatul Kumfawati. M.Sc NlK : 19861213201504173235 NIK: 19861125201510173245

Mengetahui

Kaprodi Pendidikan Doker FKIK

セ@

Z@ セ

ウ@ セ N@

セウ@

セZ 19711028199709173027


(11)

x

Analisis Efektivitas Biaya

Terapi Kombinasi dari Risperidon dan Haloperidol pada Fase Akut Pasien Skizofrenia

INTISARI

Latar belakang : skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas, afek tidak wajar, gangguan kognitif serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari. Perjalanan penyakit ini terdiri dari tiga fase yaitu fase akut, fase stabilisasi dan fase stabil. Sasaran terapi bervariasi berdasarkan fase dan keparahan penyakitnya. Pada fase akut, sasarannya adalah mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi normal pasien. Terapi pada fase ini berlangsung selama 7 hari pertama. Terapi farmakologik yang digunakan berupa obat antipsikotik yang dibagi menjadi dua golongan yaitu antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal. Pasien skizofrenia banyak yang mengalami relaps karena faktor ekonomi. Satu episode skizofrenia dan mendapatkan satu kali perawatan menghabiskan biaya total rata-rata sebesar Rp 1.817.466,00.

Tujuan : Melakukan analisis efektivitas biaya terapi kombinasi dari Risperidon dan Haloperidol pada fase akut pasien skizofrenia.

Metode : Penelitian non eksperimental dengan metode deskriptif analisis melalui retrospektif. Jumlah sampel sebanyak 40 orang. Analisis efektivitas biaya dilakukan dengan menggunakan diagram efektivitas biaya.

Hasil : Rata-rata biaya yang dibutuhkan pasien terapi kombinasi Risperidon adalah Rp 31.191,40 ± Rp 8.545,114 dengan biaya minimal Rp 7.598,00 dan biaya maksimal Rp 139.560,00; dan pada penggunaan terapi kombinasi Haloperidol, rata-rata biaya yang dibutuhkan pasien adalah Rp 11.186,95 ± Rp 1.163,970 dengan biaya minimal Rp 3.223,00 dan biaya maksimal Rp 18.995,00. Berdasarkan uji Mann-Whitney, nilai p < 0,05 maka ada perbedaan bermakna antara biaya terapi kombinasi Risperidon dengan biaya terapi kombinasi Haloperidol.

Kesimpulan : Hasil analisis efektivitas biaya terapi kombinasi Haloperidol lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi Risperidon pada fase akut pasien skizofrenia.

Kata kunci : skizofrenia, terapi kombinasi, Risperidon, Haloperidol, efektivitas biaya.


(12)

xi ABSTRACT

Background : Schizophrenia is a severe mental disorder characterized by a decrease or an inability to communicate, impaired reality, affective unnatural, cognitive impairment and difficulty performing daily activities. Schizophrenia consists of three phases, that are acute phase, the stabilization phase and stable phase. Therapeutic target based on the phase and severity of illness. In the acute phase, the goal is reduce or eliminate the psychotic symptoms and improve the patient's normal function. Treatment at this phase lasts for the first 7 days. Pharmacologic therapy is used in the form of antipsychotic drugs which divided into two groups, typical antipsychotics and atypical antipsychotics. Many schizophrenic patients relapse due to economic factors. Overall cost in one episode of schizophrenia spend an average total cost of Rp 1.817.466,00.

Objective : Analyze the cost-effectiveness of combination therapy between Risperidone and Haloperidol on the acute phase of schizophrenia patients. Methods : The study was non-experimental descriptive method through a retrospective analysis. The total sample is 40 people. Cost-effectiveness analysis is done using cost-effectiveness diagram.

Result : The average cost of Risperidone combination therapy is Rp 31.191,40 ± Rp 8.545,114 with minimal cost Rp 7.598,00 and maximum cost Rp 139.560,00; and the average cost of Haloperdiol combination therapy is Rp 11.186,95 ± Rp 1.163,970 with minimal cost Rp 3.223,00 and maximum cost Rp 18.995,00. Based on the Mann-Whitney test, p <0.05 so there is significant difference between the cost of Risperidone combination therapy and Haloperidol combination therapy. Conclusion : The results of cost-effectiveness analysis is Haloperidol combination therapy better than Risperidone combination therapy on the acute phase of schizophrenia patients.

Keywords : schizophrenia, the combination therapy, Risperidone, Haloperidol, cost-effectiveness.


(13)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Definisi skizofrenia adalah gangguan jiwa berat yang ditandai dengan penurunan atau ketidakmampuan berkomunikasi, gangguan realitas (halusinasi atau waham), afek tidak wajar, gangguan kognitif (tidak mampu berpikir abstrak) serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari (Keliat dkk,2011). Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III), skizofrenia dijelaskan sebagai gangguan jiwa yang ditandai dengan distorsi khas dan fundamental dalam pikiran dan persepsi yang disertai dengan adanya afek yang tumpul atau tidak wajar.

Menurut data WHO, prevalensi pasien skizofrenia sekitar 0,2% hingga 2% atau berjumlah 24 juta pasien di seluruh dunia. Insidensi atau kasus baru yang muncul tiap tahun sekitar 0,01% (Lesmanawati, 2012). Data dari Riskesdas 2013 menyatakan prevalensi pasien gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 1,7 per mil. Prevalensi terbanyak adalah Propinsi DI Yogyakarta (2,7 per mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6 per mil), Bali (2,3 per mil), dan Jawa Tengah (2,3 per mil) (Lesmanawati, 2012). Di DI Yogyakarta terdapat Rumah Sakit Jiwa yang merupakan RSJ rujukan diseluruh provinsi Yogyakarta yaitu RSJ Grhasia.

American Psychiatric Association (APA) menyatakan bahwa perjalanan penyakit skizofrenia terdiri dari tiga fase yaitu fase akut, fase


(14)

stabilisasi dan fase stabil (Reverger, 2012), sehingga sasaran terapi bervariasi berdasarkan fase dan keparahan penyakit (Melatiani dkk, 2013). Pada fase akut, sasarannya adalah mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi normal pasien. Pada fase stabilisasi, sasarannya adalah mengurangi resiko kekambuhan dan meningkatkan adaptasi pasien terhadap kehidupan dalam masyarakat (Melatiani dkk, 2013). Terapi pada fase akut selama 7 hari pertama, terapi stabilisasi selama 6-8 minggu dan terapi fase stabil dilakukan sekitar 5 tahun (Dipiro dkk, 2009).

Terapi yang bisa digunakan adalah terapi non farmakologi dan farmakologi.Terapi farmakologi berupa obat antipsikotik yang dibagi menjadi 2 golongan yaitu antipsikotik tipikal atau generasi pertama, seperti Amitriptilin, Klorpromazin, Flufenazin, Haloperidol, Loksapin, Molindon, Ferfenazin, Phenobarbital, Thioridazin, Thiotiksen, dan Trifluoperazin; dan antipsikotik atipikal atau generasi kedua, seperti Aripiprazol, Klozapin, Olanzapin, Paliperidon, Quetiapin, Risperidon, dan Ziprasidon (Price dan Brahm, 2011). Jenis yang paling sering digunakan untuk antipsikotik tipikal adalah Haloperidol (Reverger, 2012) dan terapi tunggal yang sering digunakan di Indonesia adalah Risperidon dari golongan antipsikotik atipikal (Jarut dkk, 2013).

Berdasarkan penelitian di RSJ Grhasia, penggunaan terapi kombinasi lebih sering dibandingkan dengan terapi tunggal (Perwitasari, 2008). Terapi kombinasi yang paling sering digunakan adalah Haloperidol dengan Klorpromazin (Jarut dkk, 2013). Pada penggunaan obat antipsikotik sering


(15)

3

menimbulkan efek samping berupa gejala ekstrapiramidal, sehingga diberikan obat Triheksifenidil untuk mengatasinya. Pola penggunaan obat ini lebih sering diberikan langsung bersama obat antipsikotik sebelum gejala ekstrapiramidal muncul (Wijono dkk, 2013).

Sesuai algoritma pengobatan, firstline pada pengobatan fase akut pasien skizofrenia adalah antipsikotik atipikal (Fahrul dkk, 2014). Hal ini dikarenakan efek samping yang ditimbulkan oleh obat antipsikotik atipikal minimal dan resiko untuk terkena tardive dyskinesia lebih rendah (Irwan dkk, 2008), sedangkan Haloperidol memiliki resiko tinggi terhadap timbulnya gejala ekstrapiramidal (Lesmanawati, 2012). Dijelaskan pula dalam penelitian bahwa efektivitas pengobatan dengan terapi oral tipikal sebesar 6,25% dan terapi oral atipikal sebesar 15,38% (Lesmanawati, 2012). Dilihat dari skor PANSS, pasien skizofrenia yang menggunakan Risperidon menunjukkan perbedaan yang bermakna pada simtom positif hingga minggu keempat dibandingkan dengan pasien skizofrenia yang menggunakan Haloperidol (Sianturi, 2014). Akan tetapi, sesuai studi penelitian masih didapatkan pasien skizofrenia yang diberikan Haloperidol sebagai terapi fase akut (Fahrul dkk, 2014).

Dari hasil penelitian didapatkan banyak pasien skizofrenia yang mengalami relaps karena faktor ekonomi yaitu tidak adanya biaya untuk menebus obat setelah keluar dari rumah sakit jiwa, ketidakpatuhan pasien pada pengobatan, mendapat perlakuan kasar dan pertengkaran yang terus menerus dengan saudara kandung, konflik yang berkepanjangan dengan


(16)

seseorang, dan emosi (marah) yang diekspresikan secara berlebihan oleh keluarga (Amelia dan Anwar, 2013). Dengan adanya kemungkinan relaps tersebut didapatkan data lama sakit pasien skizofrenia rerata 6,9 tahun, dengan lama sakit minimal 3 bulan dan maksimal selama 30 tahun (Dewi, 2013), serta lama rawat inap rerata adalah 23 hari (Melatiani dkk, 2013).

Di Amerika Serikat, biaya untuk menangani pasien skizofrenia diperkirakan 30 milyar dolar AS setiap tahunnya (Nevid dkk, 2005). Penelitian terbaru di Inggris tahun 2004-2005 memperkirakan biaya total yang dikeluarkan untuk pasien skizofrenia sebesar £6,7 milyar (Bhugra, 2010). Di Indonesia, satu episode skizofrenia dan mendapatkan satu kali perawatan menghabiskan biaya total rata-rata sebesar Rp 1.817.466 (Melatiani dkk, 2013).

Pada Januari 2014, sesuai dengan Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Indonesia menjalankan suatu sistem baru dalam pembiayaan kesehatan. Sistem ini dikenal dengan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam sistem JKN, skizofrenia termasuk dalam penyakit kronis yang mendapat jaminan dan pelayanan berobat secara gratis bagi peserta baik di tingkat Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) (Lesmanawati, 2012). Risperidon dan Haloperidol merupakan obat antipsikotik yang keduanya ditangung oleh JKN. Hal ini tercantum pada Pedoman Penerapan Formularium Nasional yang merupakan hasil Keputusan


(17)

5

Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan nomor HK.02.03/III/1346/2014.

Melalui sistem JKN tersebut diharapkan bisa memudahkan beban penderitaan pasien skizofrenia, untuk itu diharapkan bagi semua pasien skizofrenia mau menjalani setiap terapi yang ada. Sebagaimana tertulis dalam QS. Al Insyirah ayat 5 dan 6, bahwa sesudah kesulitan pasti ada kemudahan.

“Sebab sesungguhnya bersama kesulitan itu adakemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al Insyirah: 5, 6)

Karena Allah juga telah menurunkan obat bagi semua penyakit. Seperti hadits :

أ ا إف ،ءاود ءاد ّلكل

ّلجو ّزع ه نْ إب أرب ،ءاّ لا ءاوّ لا ص

“Setiap penyakit pasti memiliki obat. Bila sebuah obat sesuai dengan penyakitnya maka dia akan sembuh dengan seizin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Muslim)

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk meneliti perbandingan cost-effectiveness terapi kombinasi dari Risperidon dan Haloperidol pada fase akut pasien skizofrenia.


(18)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perumusan masalah penelitian ini

adalah “Bagaimana analisis efektivitas biaya terapi kombinasi dari Risperidon

dan Haloperidol pada fase akut pasien skizofrenia?”

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah melakukan analisis efektivitas biaya terapi kombinasi dari Risperidon dan Haloperidol pada fase akut pasien skizofrenia.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi RSJ Grhasia Yogyakarta

Sebagai evaluasi untuk mengembangkan suatu Clinical Pathway dalam rangka menciptakan sistem pelayanan yang efektif dan efisien.

2. Bagi responden

Sebagai upaya mendapatkan penanganan yang tepat dan benar dari segi farmakoekonomi.

3. Bagi keluarga

Mendapatkan informasi tentang pemilihan obat yang efektif dan efisien dari segi ekonomi.

4. Bagi peneliti

Bertambahnya pengetahuan, pengalaman dan pengembangan kemampuan ilmiah, khususnya yang berkaitan dengan efektivitasRisperidon dan Haloperidol dari segi farmakoekonomi.

5. Bagi Penelitian


(19)

7

E. Keaslian Penelitian

Penelitian terdahulu terkait perbandingan efektivitas biaya Risperidon dengan Haloperidol pada pasien skizofrenia adalah sebagai berikut :

Tabel 1 Daftar Penelitian Sebelumnya Nama

peneliti

Judul

Penelitian Tahun Persamaan Perbedaan Hasil Ferdinan Leo Sianturi Perbedaan Efektivitas Risperidon dan Haloperidol terhadap Simtom Postitif Pasien Skizofrenia

2010 Membanding kan

efektivitas Risperidon dan

Haloperidol

Penelitian ini membandingkan Risperidon dan Haloperidol dari segi farmakoekonom sedangkan metode penelitian sebelumnya membandingkan Risperidon dan Haloperidol dari segi quality of life Kelompok yang menggunakan Risperidon menunjukkan perbedaan yang bermakna dalam skor PANSS simtom positif hingga minggu keempat dibandingkan dengan kelompok ang menggunakan Haloperidol Melatiani Analisis

Biaya pada Pasien Skizofrenia Rawat Inap di Rumah Sakit “X” Surakarta Tahun 2012

2012 Menganalisa tentang biaya yang

ditanggung oleh pasien skizofrenia Metode penelitian menganalisa biaya penggunaan Risperidon dan Haloperidol, sedangkan metode penelitian sebelumnya menganalisa semua obat antipsikotik

Hasil penelitian pada pasien skizofrenia rawat inap di RS “X” Surakarta tahun 2012 yaitu biaya total rata-rata pasien skizofrenia sebesar Rp 1.817.466,00 Rizka Annur Putri Pengaruh Perbedaan Jenis Terapi

2015 Metode penelitian menggunaan

Penelitian membandingkan terapi dari segi

Jenis terapi antipsikotik tidak


(20)

Antipsikotik terhadap Lama Rawat Inap Pasien Skizofrenia Fase Akut di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong

teknik non-eksperimenta l dengan desain cross sectional dari data sekunder

ekonomi sedangkan penelitian sebelumnya membandingkan terapi dari segi lama rawat inap

memberikan pengaruh terhadap perbedaan lama rawat inap pasien skizofrenia fase akut di RSJD Sungai Bangkong


(21)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Dasar Teori 1. Skizofrenia

a. Definisi Skizofrenia

Skizofrenia berasal dari bahasa Yunani yaitu “Schizein” yang artinya retak atau pecah (split), dan “phren” yang artinya pikiran, yang selalu dihubungkan dengan fungsi emosi. Dengan demikian seseorang yang menderita skizofrenia adalah seseorang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian serta emosi (Sianturi, 2014). Menurut Pedoman PPDGJ III, skizofrenia dijelaskan sebagai gangguan jiwa yang ditandai dengan distorsi khas dan fundamental dalam pikiran dan persepsi yang disertai dengan adanya afek yang tumpul atau tidak wajar.

b. Epidemiologi

Menurut WHO jika 10% dari populasi mengalami masalah kesehatan jiwa maka harus mendapat perhatian karena termasuk rawan kesehatan jiwa. Satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa, di Indonesia diperkirakan mencapai 264 dari 1000 jiwa penduduk yang mengalami gangguan jiwa.

Salah satu gangguan jiwa Psikosa Fungsional yang terbanyak adalah Skizofrenia. Studi epidemiologi menyebutkan bahwa perkiraan angka


(22)

prevalensi Skizofrenia secara umum berkisar antara 0,2% hingga 2,0% tergantung di daerah atau negara mana studi itu dilakukan. Insidensi atau kasus baru yang muncul tiap tahun sekitar 0,01% (Lesmanawati, 2012). Data dari Riskesdas 2013 menyatakan prevalensi pasien gangguan jiwa berat di Indonesia sebesar 1,7 per mil. Prevalensi terbanyak adalah Propinsi DI Yogyakarta (2,7 per mil), Aceh (2,7 per mil), Sulawesi Selatan (2,6 per mil), Bali (2,3 per mil), dan Jawa Tengah (2,3 per mil) (Lesmanawati, 2012).Di Indonesia sendiri, kasus klien dengan Skizofrenia 25 tahun yang lalu diperkirakan 1/1000 penduduk dan diperkirakan dalam 25 tahun mendatang akan mencapai 3/1000 penduduk (Hawari, 2001).

Data dari Schizophrenia Information & Treatment Introductiondi Amerika penyakit Skizofrenia menimpa kurang lebih 1% dari jumlah penduduk. Lebih dari2 juta orang Amerika menderita skizofrenia pada waktu tertentu. Separuh dari pasien gangguan jiwa yang dirawat di RSJ adalah pasien dengan skizofrenia (Pitoyo, 2012). Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 sebesar 237,6 juta. Dengan asumsi angka 1 % tersebut di atas maka jumlah penderita Skizofrenia di Indonesia pada tahun 2012 sekitar 2.377.600 orang. Angka yang fantastis dibanding jumlah daya tampung 32 rumah sakit jiwa di seluruh Indonesia sebanyak 8.047 tempat tidur. Daya tampung tetap, pasien gangguan jiwa meningkat (Pitoyo, 2012).


(23)

11

c. Pedoman Diagnostik

Berikut ini merupakan pedoman diagnostik untuk Skizofrenia berdasarkan PPDGJ III :

1) Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas): a) Thought echo : isi pikiran diri sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda; atau Thought insertion or withdrawal : isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan Thought broadcasting : isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya.

b) Delusion of control : waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau Delusion of influence : waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau Delusion of passivity : waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap sesuatu kekuatan dari luar; dan Delusional perception : pengalaman inderawi yang tidak wajar, yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat.

c) Halusinasi auditorik : suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien; atau mendiskusikan perihal pasien


(24)

diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara). Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d) Waham : waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau komunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain).

2) Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas :

a) Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai ide-ide berlebihan (over- valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus berulang.

b) Arus pikiran yang terputus (break) atau mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme.

c) Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor.

d) Gejala-gejala "negatif", seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya


(25)

13

kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika.

3) Adanya gejala-gejala khas tersebut diatas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih.

4) Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek kehidupan perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (self absorbed atitude), dan penarikan diri secara sosial.

d. Etiologi

Etiologi terjadinya skizofrenia belum diketahui secara pasti. Diduga penyebabnya adalah :

1) Faktor genetik, meskipun ada gen yang abnormal, skizofrenia tidak akan muncul kecuali disertai faktor-faktor lainnya yang disebut faktor epigenetik, seperti virus atau infeksi lain selama kehamilan, menurunnya auto-immune yang mungkin disebabkan infeksi selama kehamilan, berbagai macam komplikasi kandungan dan kekurangan gizi yang cukup berat (Hawari, 2006).

2) Faktor biologi seperti hiperaktivitas sistem dopaminergik, faktor serotonin, faktor neuroimunovirologi, hipoksia atau kerusakan neurotoksik selama kehamilan dan kelahiran (Sadock dan Sadock, 2007).


(26)

3) Faktor lingkungan yang menyebabkan skizofrenia meliputi penyalahgunaan obat, pendidikan yang rendah, dan status ekonomi (Carpenter, 2010).

4) Abnormalitas korteks cerebral, talamus, dan batang otak pada penderita skizofrenia ditunjukkan dengan penelitian neuropatologi dan pemeriksaan dengan Ctscan (Sadock dan Sadock, 2007).

5) Faktor psikososial dan sosiokultural (Supratiknya, 2003).

e. Gejala Skizofrenia

Gejala-gejala skizofrenia terdiri dari dua jenis yaitu simtom positif dan simtom negatif. Simtom positif berupa delusi atau waham, halusinasi, kekecauan alam pikir, gaduh, gelisah, tidak dapat diam, mondar-mandir, agresif, bicara dengan semangat dan gembira berlebihan. Simtom negatif berupa alam perasaan (affect) “tumpul” dan “mendatar”, menarik diri atau mengasingkan diri (withdrawn) tidak mau bergaul atau kontak dengan orang lain, suka melamun (day dreaming), kontak emosional amat miskin, sukar diajak bicara, pendiam dan pola pikir stereotip (Muhyi, 2011).

f. Fase Skizofrenia

American Psychiatric Association(APA) menyatakan bahwa perjalanan penyakit skizofrenia terdiri dari tiga fase yaitu fase akut, fase stabilisasi dan fase stabil (Reverger, 2012). Ketiga fase tersebut disebut dengan fase psikotik. Sebelum fase psikotik muncul, terdapat fase premorbid dan fase prodormal (Muhyi, 2011).


(27)

15

Pada fase premorbid, fungsi-fungsi individu masih dalam keadaan normatif (Muhyi, 2011). Pada fase prodormal biasanya timbul gejala-gejala non spesifik yang lamanya bisa sampai beberapa bulan atau beberapa tahun sebelum diagnosis pasti skizofrenia ditegakkan (Herdaetha, 2009). Gejala non spesifik berupa gangguan tidur, ansietas, iritabilitas, depresi, konsentrasi berkurang, mudah lelah, dan adanya defisit perilaku misalnya kemunduran fungsi peran dan penarikan sosial (Muhyi, 2011). Hendaya fungsi pekerjaan, fungsi sosial, fungsi penggunaan waktu luang dan fungsi perawatan diri juga muncul pada fase prodormal (Safitri, 2010).

Simtom positif seperti curiga mulai berkembang di akhir fase prodromal dan berarti sudah mendekati fase psikotik (Muhyi, 2011). Masuk ke fase akut psikotik, simtom positif menjadi jelas seperti tingkah laku katatonik, inkoherensi, waham, halusinasi disertai gangguan afek (Safitri, 2010). Kemudian muncul fase stabilisasi yang berlangsung setelah dilakukan terapi dan pada fase stabil terlihat simtom negatif dan residual dari simtom positif. Pada beberapa individu bisa dijumpai asimtomatis, sedangkan individu lain mengalami gejala non psikotik misalnya, merasa tegang (tension), ansietas, depresi, atau insomnia (Muhyi, 2011).

g. Prognosis

Pemberian antipsikotik atipikal sebagai pengobatan lini awal dapat meningkatkan prognosis yang lebih baik untuk gangguan psikotik fase akut. Namun demikian penggunaan antipsikotik tipikal seperti Haloperidol tetap dipakai sampai sekarang. Pada penderita dewasa muda, antipsikotik dosis


(28)

rendah biasanya efektif untuk mengendalikan halusinasi, waham, gangguan isi pikir dan perilaku aneh. Dosis yang rendah juga akan mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping gejala ekstrapiramidal (Mar, 2012).

Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada (Ferri, 2011) : 1) Usia pertama kali timbul (onset) : makin muda maka makin buruk. 2) Mula timbulnya akut atau kronik : bila akut maka lebih baik. 3) Tipe skizofrenia : episode skizofrenia dan katatonik lebih baik. 4) Kecepatan, ketepatan, dan keteraturan pengobatan yang didapat. 5) Ada atau tidaknya faktor pencetus : jika ada maka lebih buruk. 6) Ada atau tidaknya faktor keturunan : jika ada maka lebih buruk.

7) Kepribadian prepsikotik : jika skizoid, skizotin, atau introvert maka lebih jelek.

8) Keadaan sosial ekonomi : jika rendah maka lebih jelek.

2. Terapi Farmakologi a. Haloperidol

Dasar pengobatan skizofrenia adalah medikasi dengan antipsikotik yang dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu antipsikotik tipikal dan antipsikotik atipikal (Sadock dan Sadock, 2007). Haloperidol merupakan antipsikotik tipikal yang merupakan antagonis reseptor dopamin berafinitas tinggi (Sianturi, 2014). Aksi terapi dari obat-obat antipsikotik tipikal secara langsung memblok reseptor dopamin tipe 2 (D2) yang spesifik di jalur dopamin mesolimbik (Stahl, 2000). Dopamin merupakan neurotransmiter pertama yang berkontribusi terhadap gejala skizofrenia. Terdapat empat jalur


(29)

17

penting dalam teori dopamin, yaitu jalur mesolimbik, mesokorteks, nigrostriatal, dan tuberoinfundibuler (Safitri, 2010). Aksi memblok reseptor dopamin tipe 2 mempunyai efek menurunkan hiperaktifitas dalam jalur yang menyebabkan munculnya simtom positif dari psikotik (Stahl, 2000).

Semua antagonis reseptor dopamin dengan preparat liquid lebih efisien diabsorpsi dibandingkan dengan tablet atau kapsul (Sianturi, 2014). Waktu paruh Haloperidol adalah kira-kira 24 jam. Orang dewasa dalam keadaan akut cukup sesuai dengan menggunakan dosis ekivalen Haloperidol 5-20 mg (Stahl, 2000). Sediaan Haloperidol yang disediakan oleh sistem JKN menurut Pedoman Penerapan Formularium Nasional adalah tablet 0,5 mg; 1,5 mg; dan 5 mg serta injeksi 5 mg/mL.

Efek samping Haloperidol adalah timbulnya gejala ekstrapiramidal (Lesmanawati, 2012). Gejala ekstrapiramidal yang terjadi bisa berupa distonia dan akitsia. Efek samping lain yang sangat berbahaya adalah Sindroma Neuroleptik Maligna yang ditandai dengan hipertermia, rigiditas, akinesia, mutisme, kebingungan, agitasi, hipertensi hingga kolapsnya sistem kardiovaskular (Reverger, 2012).

b. Risperidon

Risperidon merupakan obat atipikal atau obat antipsikotik generasi kedua (Lesmanawati, 2012). Cara kerja Risperidon adalah dengan memblok reseptor dopamin dan reseptor 5 HT-2. Cara kerja seperti ini efektif untuk menurunkan atau menghilangkan simtom positif maupun negatif (Sianturi,


(30)

2014). Karena sebab ituah saat ini Risperidon menjadi terapi firstline pasien skizofrenia menggantikan obat antipsikotropika tipikal (Reverger, 2012).

Dosis efektif Risperidon yang digunakan sebesar 2,7 mg/hari dan aman digunakan pada fase akut psikotik dengan dosis dibawah 4 mg/hari (Lesmanawati, 2012). Pemberian Risperidon 4 mg/hari menunjukkan kerja yang sangat cepat dalam menangani psikosis atau skizofrenia dibandingkan dengan pemberian Haloperidol 10 mg/hari terutama selama minggu pertama (Sianturi, 2014). Penggunaan obat antipsikotik yang direkomendasikan berdasarkan American Psychiatric Association (APA) menyebutkan bahwa rentang dosis untuk Haloperidol adalah 5 sampai 20 mg/hari setara dengan Risperidon 2 sampai 8 mg/hari (Mclntyere, 2006). Sediaan Risperidon yang disediakan oleh sistem JKN menurut Pedoman Penerapan Formularium Nasional adalah tablet salut 1 mg dan 2 mg serta tablet 3 mg.

Risperidon diabsorpsi dengan cepat dari saluran cerna setelah pemberian peroral sebesar 70-85%. Proses absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan sehingga dapat diberikan dengan atau tanpa makanan. Risperidon mencapai konsentrasi plasma puncak dalam 2 jam (Stahl, 2000).

Risperidon terlihat lebih unggul bila dibandingkan dengan penggunaan jenis antipsikotik tipikal dan rata-rata terjadinya relaps lebih rendah. Obat ini juga dilaporkan dapat menimbulkan gejala ekstrapiramidal, namun sangat kecil dibandingkan dengan antipsikotik tipikal (Lesmanawati, 2012). Efek samping yang ditimbulkan oleh Risperidon adalah meningkatkan konsentrasi prolaktin yang memicu terjadinya galaktore dan gangguan


(31)

19

menstruasi pada wanita serta gangguan seksual pada pria. Efek samping lain yang mungkin terjadi adalah konstipasi, takikardi dan peningkatan berat badan (Reverger, 2012).

c. Klorpromazin

Klorpromazin merupakan obat antipsikotik golongan pertama yang merupakan turunan alifatik dari Fenotiazin. Obat ini mempunyai efek pada sistem saraf pusat, autonom, dan endokrin. Kerjanya dengan menghambat beberapa reseptor seperti reseptor dopamin, alfa-adrenoreseptor, muskarinik, H1 histaminik, dan serotonin (Katzung, 2012).

Oleh karena Klorpromazin merupakan obat pertama yang digunakan pada skizofrenia, banyak sekali efek samping yang ditimbulkan (Katzung, 2012). Efek samping yang sering ditimbulkan adalah munculnya gejala ekstrapiramidal, efek sedatif, dan hipotensi (Sims dkk, 2011). Efek samping lain seperti kehilangan akomodasi, mulut kering, kesulitan kencing, konstipasi, impotensi, dan gagal ejakulasi mungkin ada karena kerjanya pada sistem saraf pusat. Amenorrhea-galacthorrhea dan infertilitas juga mungkin muncul karena adanya penghambatan reseptor dopamin yang mengakibatkan hiperprolaktinemia (Katzung, 2012). Menurut APA, dosis yang dianjurkan bagi Klorpromazin adalah 300-1000 mg per hari.

d. Triheksifenidil

Triheksifenidil merupakan obat yang direkomendasikan dan paling sering digunakan untuk mengatasi efek samping dari obat antipsikotik tipikal yaitu gejala ekstrapiramidal (Perwitasari, 2008). Obat yang merupakan


(32)

senyawa Pepiridin yang bekerja melalui neuron dopaminergik dan tergolong jenis antikolinergik yang mempunyai efek sentral lebih kuat dibanding efek perifer (Swayami, 2014). Efek sentral berupa mual, mutah, dilatasi pupil, demam tinggi, agitasi, halusinasi, dan gangguan kognitif; sedangkan efek perifer contohnya mulut dan hidung kering, pandangan kabur, retensi urin, dan konstipasi (Wijono dkk, 2013). Obat ini spesifik menekan dan menghambat reseptor muskarinik sehingga menghambat sistem saraf parasimpatik (Swayami, 2014). Akibat dari dihambatnya reseptor muskarinik tersebut dapat memicu timbulnya efek samping yang serius yaitu munculnya kembali gejala psikosis seperti halusinasi, agresif dan kebingungan (Wijono dkk, 2013).

Dengan adanya efek samping serius yang ditimbulkan maupun efek sentral dan efek perifer, maka dibuat panduan dalam penggunaan obat ini (Swayami, 2014). Panduan berasal dari konsensus WHO berupa pemberian dosis obat sesuai dengan kebutuhan pasien dimulai dari dosis terendah yang direkomendasikan yaitu 1-4 mg diminum 2-3 kali sehari dan tidak melebihi 15 mg sehari, kemudian dinaikkan secara bertahap sampai terdapat kejadian toleransi dari pasien (Swayami, 2014), dan dievaluasi setiap 3 bulan sekali dengan mengurangi dosis secara bertahap, bila dalam pengurangan dosis timbul gejala ekstrapiramidal maka dosis dikembalikan dan dievaluasi ulang setiap 6 bulan (Wijono dkk, 2013).


(33)

21

3. PANSS-EC

Instrumen penilaian gejala positif dan negatif pada pasien skizofrenia salah satunya adalah PANSS. Instrumen tersebut terdiri dari 30 butir gejala yang terdiri dari 7 butir gejala positif, 7 butir gejala negatif dan 14 butir gejala umum (Safitri, 2010). Pada fase akut skizofrenia merupakan fase emergensi yang butuh instrumen penilaian yang cepat dan efektif (Montoya, 2011). Maka dari instrumen PANSS yang terdiri dari 30 butir gejala tersebut disederhanakan menjadi 5 butir gejala yang disebut dengan PANSS-EC. Lima butir gejala tersebut berupa :

a. Gaduh gelisah (P4) merupakan hiperaktivitas yang ditampilkan dalam bentuk percepatan perilaku motorik, peningkatan respon terhadap stimuli, waspada berlebihan atau labilitas perasaan yang berlebihan;

b. Permusuhan (P7) merupakan ekpresi verbal dan non verbal tentang kemarahan dan kebencian, termasuk sarkasme, perilaku pasif agresif, caci maki, dan penyerangan;

c. Ketegangan (G4) yang merupakan manifestasi fisik yang jelas tentang ketakutan, kecemasan, dan agitasi seperti kekakuan, tremor, keringat berlebihan, dan ketidaktenangan;

d. Ketidakkooperatifan (G8) merupakan gejala aktif menolak untuk patuh terhadap keinginan tokoh bermakna termasuk pewawancara, staf rumah sakit, atau keluarga, yang mungkin disertai dengan rasa tidak percaya, defensif, keras kepala, negativistik, dan penolakan terhadap otoritas selama wawancara, dan juga dilaporkan oleh perawat atau keluarga;


(34)

e. Pengendalian impuls yang buruk (G14) merupakan gangguan pengaturan dan pengendalian impuls yang mengakibatkan pelepasan ketegangan dan emosi yang tiba-tiba, tidak teratur, sewenang-wenang, atau tidak terarah tanpa peduli konsekuensinya (Safitri, 2010).

Penilaian pada PANSS-EC adalah diberikan nilai 1 jika tidak terdapat gejala, 2 jika minimal, 3 jika ringan, 4 jika sedang, 5 jika agak berat, 6 jika berat, dan 7 jika sangat berat pada tiap butir gejala (Sapinah, 2011). Sehingga jika dijumlahkan, nilai maksimal dari PANSS-EC adalah 35 dan nilai minimalnya adalah 5. Pada pasien skizofrenia fase akut, pasien akan dipindahkan ke fase stabil jika nilai PANSS-EC ≤ 15 atau nilai per butir gejala ≤ 3.

4. Farmakoekonomi

Farmakoekonomi didefenisikan sebagai deskripsi dan analisis dari biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Lebih spesifik lagi adalah sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program, pelayanan dan terapi (Vogenberg, 2001). Tujuan farmakoekonomi adalah membandingkan obat yang berbeda untuk pengobatan pada kondisi yang sama. Selain itu juga membandingkan pengobatan yang berbeda pada kondisi yang berbeda (Vogenberg, 2001).

Menurut Pedoman Penerapan Pengkajian Farmakoekonomi, ada empat jenis metode farmakoekonomi yang dikenal yaitu:


(35)

23

Efek dua intervensi sama (atau setara), valuasi/biaya dalam rupiah. b. Analisis Efektivitas Biaya (AEB)

Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan diukur dalam unit alamiah/indikator kesehatan, valuasi/biaya dalam rupiah. Pada penggunaan metode AEB perlu dilakukan penghitungan rasio biaya rerata dan incremental cost-effectiveness ratio (ICER). Dengan ICER dapat diketahui besarnya biaya tambahan untuk setiap perubahan satu unit efektivitas biaya. Untuk mempermudah pengambilan kesimpulan alternatif mana yang memberikan cost-effectiveness terbaik, pada kajian dengan metode AEB dapat digunakan tabel efektivitas biaya atau diagram efektivitas biaya.

c. Analisis Utilitas Biaya (AUB)

Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dalam quality adjusted life years (QALY), valuasi/biaya dalam rupiah.

d. Analisis Manfaat Biaya (AMB)

Efek dari satu intervensi lebih tinggi, hasil pengobatan dinyatakan dalam rupiah, valuasi/biaya dalam rupiah.

Secara umum, biaya yang terkait dengan perawatan kesehatan adalah : a. Biaya langsung

Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan kesehatan, termasuk biaya obat (dan perbekalan kesehatan), biaya konsultasi dokter, biaya jasa perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit


(36)

Skizofrenia fase akut

Risperidon Haloperidol

Analisis Efektivitas Biaya PANSS EC

PANSS EC

(kamar rawat inap, peralatan), uji laboratorium, biaya pelayanan informal dan biaya non-medis seperti biaya ambulan.

b. Biaya tidak langsung

Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya hilangnya produktivitas bagi pasien dan pendamping (anggota keluarga yang menemani pasien).

c. Biaya nirwujud (intangible cost)

Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter, namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya.

d. Biaya terhindarkan (averted cost, avoided cost)

Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat dihindarkan karena penggunaan suatu intervensi kesehatan (Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi, 2012).

B. Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel diteliti : Variabel tidak diteliti

Pengobatan Onset Kronisitas Faktor Pencetus Faktor Keturunan Sosial Ekonomi Tipe Skizofrenia


(37)

25

C. Hipotesis

Pada terapi fase akut pasien skizofrenia, analisis efektivitas biaya terapi kombinasi Risperidon lebih baik dibanding terapi kombinasi Haloperidol.


(38)

26 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini memakai jenis penelitian non eksperimental yang bersifat deskriptif analitik dengan melihat catatan medis pasien.

B. Populasi dan Sampel Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi penelitian dalam penelitian ini adalah semua pasien skizofrenia di RSJGrhasia Yogyakarta selama bulan November 2015 – Januari 2016.

2. Sampel Penelitian

Sampel penelitian ini diambil dari beberapa populasi penelitian dengan menggunakan desain cross sectional, sehingga didapatkan rumus besar sampel sebagai berikut :

Keterangan :

N = jumlah atau besar sampel minimal

= nilai baku distribusi normal pada tertentu (1,96)

= proporsi variabel tergantung dan variabel bebas pada penelitian sebelumnya (0,5)


(39)

27

Berdasarkan rumus tersebut didapatkan besar sampel untuk penelitian ini sejumlah 20 orang. Adapaun kriteria inklusi dan eksklusi dalam penelitian ini yaitu :

a.Kriteria Inklusi

Subyek dapat diikutsertakan dalam penelitian ini apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

1) Pasien yang terdiagnosis sebagai pasien skizofrenia di RSJ Grhasia Yogyakarta pada bulan November 2015-Januari 2016.

2) Pasien yang menggunakan farmakoterapi Risperidon kombinasi Klorpromazin dan Triheksifenidil maupun Haloperidol kombinasi Klorpromazin dan Triheksifenidil pada fase akut.

3) Pasien yang dinilai dengan PANSS-EC pada fase akut. b.Kriteria Eksklusi

Subyek tidak diikutsertakan dalam penelitian apabila : 1) Pasien skizofrenia dengan cacat fisik bawaan. 2) Pasien skizofrenia dengan gangguan fungsi verbal.

3) Pasien skizofrenia yang mengalami gangguan mental organik.

4) Pasien skizofrenia yang tidak mengalami perbaikan simtom pada fase akut atau nilai PANSS-EC> 15.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSJ Grhasia Yogyakarta. Pengambilan data penelitian pada September 2015 – Januari 2016.


(40)

D. Variabel Penelitian 1. Variabel Tergantung

Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah Analisis Efektivitas Biaya (AEB).

2. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pasien skizofrenia fase akut dengan terapi kombinasi dari Risperidon atau Haloperidol.

3. Variabel Perancu

Variabel perancu dalam penelitian ini adalah onset, kronisitas, faktor pencetus, faktor keturunan, sosial ekonomi dan tipe skizofrenia dari pasien.

E. Definisi Operasional

Definisi operasional dalam penelitian ini adalah:

1. Pasien skizofrenia adalah pasien yang terdiagnosis sebagai pasien skizofrenia di RSJ Grhasia Yogyakarta pada bulan November 2015 – Januari 2016.

2. Fase akut adalah fase dimana simtom positif mulai jelas dan berakhir jika nilai PANSS-EC ≤ 15 atau nilai per butir gejala ≤ 3.

3. Terapi kombinasi Risperidon merupakan obat antipsikotik generasi kedua (atipikal)yang digunakan pada terapi fase akut pasien skizofrenia di RSJ Grhasia Yogyakarta yang dikombinasikan dengan Klorpromazin dan Triheksifenidil.


(41)

29

4. Terapi kombinasi Haloperidol merupakan obat antipsikotik konvensional/generasi pertama (tipikal) yang digunakan pada terapi fase akut pasien skizofrenia di RSJ Grhasia Yogyakarta yang dikombinasikan dengan Klorpromazin dan Triheksifenidil.

5. Analisis Efektivitas Biaya adalah teknik analisis ekonomi untuk membandingkan biaya perawatan pasien skizofrenia di RSJ Grhasia Yogyakarta yang menggunakan terapi kombinasi dari Risperidon atau Haloperidol.

F. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah AEB (Analisis Efektivitas Biaya) dengan alat bantu tabel efektivitas biaya atau diagram efektivitas biaya. Melalui alat bantu tersebut dapat diketahui perlu tidaknya dilakukan AEB. Sebelum melakukan AEB, beberapa tahap perhitungan harus dilakukan, yaitu :

1. Identifikasi tingkat efektivitas obat dari studi literatur

2. Identifikasi dan hitung biaya pengobatan. Dalam penelitian ini yang dihitung adalah biaya langsung yang dikeluarkan oleh pasien skizofrenia 3. Menetapkan posisi alternatif pengobatan dalam Tabel Efektivitas Biaya

dilihat dari biaya pengobatan, bukan dari REB. Tabel 1 Tabel Efektivitas Biaya

Biaya lebih

Rendah Biaya sama

Biaya lebih tinggi

Efektivitas lebih rendah A B C

Efektivitas sama D E F


(42)

Keterangan :

a. Posisi Dominan adalah intervensi yang pasti lebih efektif sehingga tak perlu dilakukan AEB yaitu pada kolom G, kolom D dan kolom H.

b. Posisi Didominasi adalah intervensi yang tidak perlu dipertimbangkan sebagai alternatif, sehingga tidak perlu diikutsertakan dalam perhitungan AEB, yaitu pada kolom C, kolom B dan kolom F.

c. Posisi Seimbang adalah intervensi yang mungkin dipilih jika lebih mudah diperoleh dan/atau cara pemakaiannya lebih memungkinkan untuk ditaati oleh pasien, yaitu pada kolom E. Dalam kategori ini, ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan di samping biaya dan hasil pengobatan, misalnya kebijakan, ketersediaan, aksesibilitas dan lain-lain.

d. Posisi yang memerlukan pertimbanngan efektivitas biaya adalah kolom A dan kolom I.

4. Melakukan perhitungan RIEB/ICER sesuai dengan posisi yang telah ditentukan. Rumusnya adalah :

5. Lakukan analisis sensitivitas dan ambil kesimpulan. Analisis dilakukan dengan melihat standar deviasi dari efektivitas setiap pengobatan, limit atas, dan limit bawah. Setelah itu, hitung biaya satuan dengan mempertimbangkan variasi volume obat yang digunakan.

G. Jalannya Penelitian


(43)

31

1. Tahap Persiapan Penelitian

Pada tahap ini peneliti mempelajari dan mempersiapkan instrumen penelitian yaitu berupa AEB (Analisis Efektivitas Biaya).

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan pengambilan data dilakukan di RSJ Grhasia Yogyakarta. Peneliti terlebih dahulu melakukan studi pendahuluan terhadap pasien-pasien skizofrenia yang memenuhi kriteria, kemudian mengambil data yang diperlukan dalam penelitian dan mengamati biaya yang dibutuhkan pasien skizofrenia selama perawatan fase akut.

3. Tahap Penyelesaian

Pengolahan data dimulai dengan menganalisis biaya dengan metode AEB (Analisis Efektivitas Biaya) dan selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) pada komputer. Pembahasan hasil penelitian dilakukan setelah melakukan analisis data, kemudian revisi, dan presentasi dengan Pembimbing serta Penguji.

H. Analisis Data

Analisis data dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut : 1. Editing

Editing dilakukan dengan cara memeriksa kelengkapan data, kesinambungan dan kesesuaian data. Editing dilakukan segera setelah peneliti menerima data sekunder dari pihak RSJ, sehingga apabila terjadi kesalahan dapat segera diklarifikasi.


(44)

2. Coding

Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini antara lain memberikan kode berupa angka pada masing-masing data sekunder tiap responden, selanjutnya dimasukkan dalam lembaran tabel kerja untuk mempermudah pengolahan.

3. Data Entry

Data entry yaitu proses memasukan data ke dalam kategori tertentu untuk dilakukan analisis data dengan menggunakan bantuan komputer program SPSS.

4. Tabulating

Tabulating adalah langkah memasukkan data-data hasil penelitian ke dalam tabel-tabel sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.

5. Cleaning

Cleaning adalah mengecek kembali data yang sudah dimasukkan apakah ada kesalahan atau tidak dan membuang data yang sudah tidak dipakai. 6. Analiting

Data yang terkumpul diolah dan dianalisis, diantaranya yaitu : a. Analisis Univariate

Analisis univariate bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariate tergantung dari jenis datanya (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini analisis univariate menggunakan uji saphiro-wilk karena sampel kurang dari 50.


(45)

33

b. Analisis Bivariate

Setelah dilakukan analisis univariate akan diketahui karakteristik atau distribusi dari setiap variabel, kemudian dilanjutkan dengan analisis bivariate. Analisis bivariate dalam penelitian ini dilakukan dengan uji Independent Sample T Test jika sebaran data normal atau uji Mann-Whitney jika sebaran data tidak normal.

I. Etika Penelitian

Proposal penelitian sudah diajukan untuk mendapatkan ethical clearance kepada komisi etik penelitian FKIK Unniversitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(46)

34 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah pasien skizofrenia fase akut di RSJ Grhasia. Data diambil dari catatan rekam medis pasien pada bulan November 2015 – Januari 2016. Dengan menggunakan desain cross sectional didapatkan sampel sebanyak 40 orang, terdiri dari 20 orang menggunakan terapi kombinasi Risperidon dan 20 orang menggunakan terapi kombinasi Haloperidol. Hasil yang diperoleh setelah data diolah adalah sebagai berikut :

Tabel 1 Distribusi Sampel Berdasarkan Kelompok Usia Kelompok Usia Frequency Percent

Valid Percent

Cumulative Percent 20 – 29

30 – 39 40 – 49 >50 Total 8 17 11 4 40 20,0 42,5 27,5 10,0 100,0 20,0 42,5 27,5 10,0 100,0 20,0 62,5 90,0 100,0

Tabel 3 di atas menjelaskan bahwa berdasarkan kelompok usia yang memiliki sampel terbanyak adalah kelompok usia 30 – 39 tahun yaitu sebanyak 17 orang dan yang paling sedikit adalah kelompok usia lebih dari 50 tahun yaitu sebanyak 4 orang.

Tabel 2 Distribusi Sampel Berdasarkan Lama Fase Akut Lama Fase Akut

(Hari) Frequency Percent

Valid Percent Cumulative Percent 1 2 3 8 Total 23 9 7 1 40 57,5 22,5 17,5 2,5 100,0 57,5 22,5 17,5 2,5 100,0 57,5 80,0 97,5 100,0


(47)

35

Tabel 4 menjelaskan bahwa pasien yang fase akutnya selama 1 hari sebanyak 23 orang, selama 2 hari sebanyak 9 orang, selama 3 hari sebanyak 7 orang, dan selama 8 hari sebanyak 1 orang.

Tabel 3 Analisis Kelompok Usia antara Kelompok Terapi Kombinasi Risperidon dan Kelompok terapi Haloperidol

Kelompok Usia

Obat

Total p

Terapi Kombinasi Risperidon Terapi Kombinasi Haloperidol 20 – 29 Count

% within obat

5 25,0 % 3 15,0 % 8 20,0 % ,885 30 – 39 Count

% within obat

8 40,0 % 9 45,0 % 17 42,5 % 40 – 49 Count

% within obat

5 25,0 % 6 30,0 % 11 27,5 % >50 Count

% within obat

2 10,0 % 2 10,0 % 4 10,0 % Total Count

% within obat

20 100,0 % 20 100,0 % 40 100,0 %

Tabel 5 di atas menjelaskan bahwa pada kelompok terapi kombinasi Risperidon sampel terbanyak berjumlah 8 orang dan paling sedikit berjumlah 2 orang, sedangkan pada kelompok terapi kombinasi Haloperidol sampel terbanyak berjumlah 9 orang dan paling sedikit berjumlah 2 orang. Berdasarkan analisis Chi-Square tersebut didapatkan nilai p = 0,885, maka hubungan antara kelompok terapi kombinasi Risperidon dan kelompok terapi kombinasi Haloperidol berdasarakan kelompok usia tidak terdapat perbedaan.

Tabel 4 Karakteristik Kelompok Terapi Kombinasi Risperidon dan Kelompok terapi Haloperidol Berdasarkan Lama Fase Akut Lama Fase

Akut (Hari)

Terapi Kombinasi Risperidon Terapi Kombinasi Haloperidol

Statistic Std. Error Statistic Std. Error

Mean 1,95 ,366 1,55 ,170

Maximum 1 1


(48)

Berdasarkan tabel 6 diketahui bahwa pada penggunaan terapi kombinasi Risperidon, rata-rata lama hari yang dibutuhkan adalah 1,95 ± 0,366 hari dengan lama fase akut minimal 1 hari dan maksimal 8 hari; sedangkan pada penggunaan terapi kombinasi Haloperidol, rata-rata lama hari yang dibutuhkan adalah 1,55 ± 0,170 hari dengan lama fase akut minimal 1 hari dan maksimal 3 hari.

Tabel 5 Analisis Lama Fase Akut antara Kelompok Terapi Kombinasi Risperidon dan Kelompok Terapi Kombinasi Haaloperidol

Obat n

Mean Rank

Sum of Ranks

Asymp. Sig. (2-tailed)

Lama Fase Akut (Hari) Terapi Kombinasi Risperidon Terapi Kombinasi Haloperidol Total

20 21,40 428,00 ,585

20 40

19,60 392,00

Berdasarkan uji Mann-Whitney sesuai tabel 7 di atas didapatkan nilai p = 0,585. Untuk hipotesis satu arah, nilai p = 0,293. Karena nilai p> 0,05, secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara lama fase akut terapi kombinasi Risperidon dengan lama fase akut terapi kombinasi Haloperidol.

Tabel 6 Karakteristik Kelompok Terapi Kombinasi Risperidon dan Kelompok Terapi Kombinasi Haloperidol Berdasarkan Biaya Biaya

Terapi Kombinasi Risperidon Terapi Kombinasi Haloperidol

Statistic Std. Error Statistic Std. Error

Mean Rp 31.191,40 8.545,114 Rp 11.186,95 1.163,970

Maximum Rp 7.598,00 Rp 3.223,00

Minimum Rp 139.560,00 Rp 18.995,00

Berdasarkan tabel 8 dijelaskan bahwa pada penggunaan terapi kombinasi Risperidon, rata-rata biaya yang dibutuhkan pasien adalah Rp 31.191,40 ± Rp 8.545,114 dengan biaya minimal Rp 7.598,00 dan biaya maksimal Rp 139.560,00; dan pada penggunaan terapi kombinasi


(49)

37

Haloperidol, rata-rata biaya yang dibutuhkan pasien adalah Rp 11.186,95 ± Rp 1.163,970 dengan biaya minimal Rp 3.223,00 dan biaya maksimal Rp 18.995,00.

Tabel 7 Analisis Biaya antara Kelompok Terapi Kombinasi Risperidon dan Kelompok Terapi Kombinasi Haloperidol

Obat

n Mean Rank

Sum of Ranks

Asymp. Sig. (2-tailed)

Biaya Terapi Kombinasi Risperidon Terapi Kombinasi Haloperidol Total 20 20 40 25,23 15,78 504,50 315,50 ,010

Berdasarkan uji Mann-Whitney sesuai tabel 9 di atas didapatkan nilai p = 0,010. Untuk hipotesis satu arah, nilai p = 0,005. Karena nilai p< 0,05, secara statistik ada perbedaan bermakna antara biaya terapi kombinasi Risperidon dengan biaya terapi kombinasi Haloperidol.

Tabel 8 Analisis Biaya Menggunakan Tabel Efektivitas Biaya Biaya lebih

Rendah Biaya sama Biaya lebih tinggi Efektivitas lebih

rendah

A B C

Efektivitas sama D Terapi Kombinasi Haloperidol terhadap Terapi Kombinasi Risperidon

E F

Terapi Kombinasi Risperidon terhadap Terapi Kombinasi Haloperidol Efektivitas lebih tinggi

G H I

Sesuai tabel 10 di atas, letak efektivitas biaya dari terapi kombinasi Risperidon terhadap terapi kombinasi Haloperidol berada di kelompok F, sehingga tidak perlu menggunakan perhitungan RIEB. Letak efektivitas biaya dari terapi kombinasi Haloperidol terhadap terapi kombinasi Risperidon


(50)

berada di kelompok D, sehingga efektivitas biaya terapi kombinasi Haloperidol lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi Risperidon.

B. Pembahasan

Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa berdasarkan kelompok usia yang menderita skizofrenia paling banyak adalah kelompok usia 30 – 39 tahun dan paling sedikit pada kelompok usia di atas 50 tahun. Jika dilihat dari etiologi, skizofrenia dapat disebabkan karena faktor psikososial dan sosiokultural (Supratiknya, 2003). Hal ini juga berkaitan dengan teori diatesis stres yang menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki kerentanan spesifik (diatesis) bila dikenai suatu pengaruh lingkungan yang dapat menimbulkan stres akan memungkinkan adanya perkembangan gejala skizofrenia (Putri, 2013).

Banyak pula pasien skizofrenia yang mengalami relaps karena faktor ekonomi yaitu tidak adanya biaya untuk menebus obat setelah keluar dari rumah sakit jiwa, ketidakpatuhan pasien pada pengobatan, mendapat perlakuan kasar dan pertengkaran yang terus menerus dengan saudara kandung, konflik yang berkepanjangan dengan seseorang, dan emosi (marah) yang diekspresikan secara berlebihan oleh keluarga (Amelia dan Anwar, 2013). Sesuai dengan penelitian Putri, menunjukkan bahwa kelompok usia 30 – 39 tahun adalah usia yang paling sering terkena skizofrenia (Putri, 2013). Hal ini dikarenakan usia 30 – 39 tahun merupakan usia produktif yang cenderung terkena masalah – masalah yang kompleks, meliputi masalah


(51)

39

dengan teman dekat, rekan kerja, pekerjaan yang terlalu berat, ekonomi, dan masalah keluarga.

Kelompok usia yang paling sedikit terkena skizofrenia adalah kelompok usia di atas 50 tahun. Hal ini disebabkan karena usia tua lebih dipengaruhi oleh kondisi biologis dibandingkan dengan kondisi lingkungan yang dapat mempengaruhi perkembangan emosional seperti pada usia muda (Fahrul, 2014). Terapi kombinasi Risperidon dan terapi kombinasi Haloperidol, keduanya memiliki hasil yang sama dalam distribusi berdasarkan kelompok usia. Kemudian, dilakukan analisis Chi-Square dan didapatkan nilai p = 0,885, maka kedua kelompok terapi memiliki kesetaraan pada saat awal sebelum dilakukan terapi.

American Psychiatric Association (APA) menyatakan bahwa perjalanan penyakit skizofrenia terdiri dari tiga fase yaitu fase akut, fase stabilisasi dan fase stabil (Reverger, 2012). Pada fase akut, sasaran terapinya adalah mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi normal pasien yang biasanya terjadi selama 7 hari pertama (Dipiro dkk, 2009). Terbukti pada tabel 5 yang menjelaskan bahwa pasien fase akut terjadi pada 7 hari pertama, yaitu selama 1 hari, 2 hari, dan 3 hari. Tetapi ada 1 orang yang fase akutnya selama 8 hari. Terbukti pula pada tabel 7 yang menyatakan bahwa pada penggunaan terapi kombinasi Risperidon, rata-rata lama hari yang dibutuhkan adalah 1,95 ± 0,366 hari; sedangkan pada penggunaan terapi kombinasi Haloperidol, rata-rata lama hari yang dibutuhkan adalah 1,55 ± 0,170 hari.


(52)

Berdasarkan tabel 7 tersebut didapatkan hasil bahwa ternyata pasien yang diterapi menggunakan terapi kombinasi Haloperidol lebih cepat menjadi fase stabil jika dibandingkan dengan pasien yang menggunakan terapi kombinasi Risperidon. Akan tetapi, secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara lama fase akut terapi kombinasi Risperidon dengan lama fase akut terapi kombinasi Haloperidol. Sesuai dengan penelitian Putri dimana jenis terapi antipsikotik tidak memberikan pengaruh terhadap perbedaan lama rawat inap pasien fase akut (Putri, 2015). Keduanya efektif dalam memblok reseptor dopamin tipe 2 (D2) yang spesifik di jalur dopamin mesolimbik. Aksi memblok reseptor dopamin tipe 2 mempunyai efek menurunkan hiperaktifitas dalam jalur yang menyebabkan munculnya simtom positif dari psikotik (Stahl, 2000). Hal ini dikarenakan pada fase akut, simtom positif lebih menonjol sehingga reseptor dopamin tipe 2 yang berperan.

Dilihat dari segi biaya, penggunaan terapi kombinasi Risperidon, rata-rata biaya yang dibutuhkan adalah Rp 31.191,40 ± Rp 8.545,114; sedangkan pada penggunaan terapi kombinasi Haloperidol, rata-rata biaya yang dibutuhkan adalah Rp 11.186,95 ± Rp 1.163,970. Biaya yang dibutuhkan pada pasien yang menggunakan terapi kombinasi Haloperidol ternyata lebih rendah dan setelah dilakukan analisis didapatkan nilai p = 0,005 yang berarti ada perbedaan bermakna. Bila dibandingkan dengan efektivitas menurut skor PANSS-EC, keduanya tidak terdapat perbedaan yang bermakna (Octaviany, 2016), efektivitasnya sama sehingga jika dilakukan analisis menggunakan tabel alternatif pada tabel 13 hasilnya adalah efektivitas biaya terapi


(53)

41

kombinasi Haloperidol lebih baik jika dibandingkan dengan terapi kombinasi Risperidon. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis dan literatur yang ada. Kemungkinan terjadi ketidakcocokan dengan hipotesis dan literatur karena pada fase akut yang menonjol adalah simtom postif dan pada penelitian kali ini terapi yang digunakan adalah kombinasi Risperidon – Klorpromazin – Triheksifenidil dan Haloperidol – Klorpromazin – Triheksifenidil. Pada simtom positif yang dibutuhkan adalah blokade reseptor D2. Kombinasi dari Haloperidol dan Klorpromazin sangat sesuai karena cara kerja keduanya sama yaitu memblok reseptor D2, sedangkan Risperidon selain memblok reseptor D2 juga memblok reseptor 5 HT-2. Dilihat dari segi biaya, harga satuan Risperidon jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga satuan Haloperidol. Hal ini juga yang mungkin menyebabkan efektivitas biaya Haloperidol lebih baik dibandingkan dengan Risperidon karena jika dilihat dari lama fase akut keduanya mempunyai hasil yang tidak terlalu signifikan perbedaannya.


(54)

42 A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian kali ini dapat disimpulkan bahwa pada penggunaan terapi kombinasi Risperidon, rata-rata biaya yang dibutuhkan adalah Rp 31.191,40 ± Rp 8.545,114 dengan biaya minimal Rp 7.598,00 dan maksimal Rp 139.560,00; sedangkan pada penggunaan terapi kombinasi Haloperidol, rata-rata biaya yang dibutuhkan adalah Rp 11.186,95 ± Rp 1.163,970 dengan biaya minimal Rp 3.223,00 dan maksimal Rp 18.995,00. Analisis efektivitas biaya terapi kombinasi Haloperidol lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi Risperidon sesuai dengan tabel efektivitas biaya (p = 0,005).

B. Saran

1. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan metode eksperimental untuk menghindari bias dan mengontrol perlakuan yang diberikan.

2. Pada penelitian selanjutnya juga sebaiknya tidak hanya melihat dari lama fase akutnya saja dalam membandingkan kedua jenis terapi.

3. Bagi pihak RSJ, penggunaan Haloperidol bisa dipertimbangkan untuk digunakan dalam terapi fase akut pasien skizofrenia jika dilihat dari segi biaya.


(55)

43

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, D. R., & Anwar, Z. (2013). Relaps pada pasien skizofrenia. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, Vol. 01 No. 01.

Association, A.P. 1995. The AmericanPsychiatric Association. Florida, Amerika Serikat.

Bhugra, D. (2010). The culture and identity schedule: A measure of cultural affiliation: Acculturation, marginalization and schizophrenia. International Journal of Social Psychiatry, 56(5), 540-56.

Carpenter, W. T. (2010). Conceptualizing schizophrenia through attenuated symptoms in the population. American Journal of Psychiatry, 167, 9. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1993). Pedoman

penggolongandiagnosis gangguan jiwa diIndonesia. (3rd ed). Jakarta: DepKes RI.

Dewi, S., Elvira, S. D., & Budiman, R. (2013). Gambaran kebutuhan hidup penyandang skizofrenia. J Indon Med Assoc, Vol. 63 No. 03.

Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., & Dipiro, C.V. (2009). Pharmacotherapy handbook. (7th ed.). New York: McGraw-Hill Medical. Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan (2012). Pedoman Penerapan Pengkajian Farmakoekonomi 2012. Jakarta: Balai Penerbit Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Fahrul, Mukaddas, A., & Faustine, I. (2014).Rasionalitas penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014. Online Jurnal of Natural Science, 3(2), 18-29.

Ferri, A. (2011). Pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok terhadap Kualitas Hidup Pasien Skizofrenia di Wilayah Kerja Puskesmas Kasihan II Bantul. Karya Tulis Ilmiah strata satu, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

Hawari H. D. (2012). Skizofrenia (3rd ed). Jakarta: FK-UI.

Herdaetha, A. (2009). Keefektifan terapi mediasi kognitif dengan bantuan komputer terhadap disfungsi kognitif pasien skizofrenia kronis di Panti Rehabilitasi Budi Makarti Boyolali. Karya Tulis Ilmiah strata dua, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Surakarta.


(56)

Irwan, M., Fajriansyah, A., Sinuhadji. B., & Indrayana, M. (2008). Penatalaksanaan Skizofrenia. Riau: Fakultas Kedokteran Riau.

Jarut, Y. M., Fatimawali, & Wiyono, W. I. (2013). Tinjauan penggunaan antipsikotik pada pengobatan skizofrenia di Rumah Sakit Prof. dr. V. L. Ratumbuysang Manado Periode Januari 2013-Maret 2013. Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT, Vol. 02 No. 03.

Katzung, B. (2012). Farmakologi Dasar dan Klinik (10th ed.). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Keliat, B. A., Wiyono, A. P. & Susanti, H. (2011), Manajemen Kasus Gangguan Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Lesmanawati, D. A. S. (2012). Analisis efektivitas biaya penggunaan terapi antipsikotika pada pasien skizofrenia di instalansi rawat inap RSJ Grhasia Yogyakarta. Karya Tulis Imiah strata dua, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Mclntyere, J. S., dkk. First MB, Fochtmann LJ editors Quick Reference to the American Psychiatric Association Practice Guidelines for the treatment of Psychiatrics disorders compendium 2006. USA: 2006, h.130.

Melatiani, Sutrisna, E., & Azizah, T. (2013). Analisis biaya pada pasien skizofrenia rawat inap di Rumah Sakit “X” Surakarta tahun 2012. Karya Tulis Ilmiah strata satu, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Menteri Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Formularium Nasional. Jakarta. Montoya, A., Valladares, A., Lizan, L., San, L., Escobar, R., & Paz, S., (2011).

Validation of The Excited Component of The Poositive and Negative Syndrome Scale (PANSS-EC) in a Naturalistic Sample of 278 Patients with Acute Psychosis and Agitation in a Psychiatric Emergency Room. Health and Quality of Life Outcomes. 9:18.

Muhyi, A. (2011). Prevalensi penderita skizofrenia paranoid dengan gejala depresi di RSJ dr. Soeharto Heerdjan Jakarta tahun 2010. Karya Tulis Ilmiah strata satu, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Nevid, J.S., Rathus, S.A. & Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal. (5th ed.). Jakarta: Erlangga.

Octaviany, A. F. (2016). Perbedaan Efektivitas Penggunaan Kombinasi Haloperidol dan Kombinasi Risperidon pada Terapi Fase Akut Pasien


(57)

45

45

Skizofenia Berdasarkan Skor PANSS-EC. Karya Tulis Ilmiah sttrata satu, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

Perwitasari, D. A. (2008). Kajian Pengunaan Atypical Antipsychoticc dan Conventional Antipsychotic pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta. Lembaga Penelitian dan Pengembangan UAD Yogyakarta.

Price, S. A., &Brahm, N. C. (2011). Antipsychotic treatment of adolescent dual

diagnosis patients. J Pediatr Pharmacol Ther, 16(4), 226–236.

Putri, R. A. (2015). Pengaruh Perbedaan Jenis Terapi Antipsikotik terhadap Lama Rawat Inap Pasien Skizofrenia fase Akut di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong. Karya Tulis Ilmiah strata satu. Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Reverger, M. J. (2012). Perbandingan performa fungsi pasien skizofrenia yang mendapat terapi tunggal dengan terapi kombinasi antipsikotika di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Karya Tulis Ilmiah strata dua, Universitas Indonesia, Jakarta.

Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2007). Kaplan and Sadock’s. Synopsis of

Psychiatry Behavioral Sciences / Clinical Psychiatry Tenth Edition. New York: Lippincott Williams and Wilkins.

Safitri, M. (2010). Perbedaan kualitas hidup antara pasien skizofrenia gejala positif dan gejala negatif menonjol. Karya Tulis Ilmiah strata satu, Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, Surakarta.

Sianturi, F. L. (2014). Risperidone and Haloperidol Comparative Effects of Positive Symptoms Patient Schizophrenic. Journal of Biology, Agriculture and Healthcare, Vol. 04 No. 28.

Stahl, S. M. (2000). Essential psychopharmacology (2nd ed.). New York: Cambridge University Press.

Swayami, I. G. A. V. (2014). Aspek Biologi Triheksifenidil di Bidang Psikiatri. Jurnal Ilmiah Kedokteran, 89-93.

Vogenberg, F. R. (2001). Introduction to apllied pharmacoeconomics. Mcgraw-Hill Publication.

Wijono, R., Nasrun, M. W., & Damping, C. E. (2013). Gambaran dan Karakteristik Penggunaan Triheksifenidil pada Pasien yang Mendapat Terapi Antipsikotik. J Indon Med Assoc, 63 (1), 14-20.


(58)

46 LAMPIRAN


(59)

(60)

(61)

(62)

(63)

(64)

(65)

(66)

(67)

(1)

Tabel 5 Analisis Biaya antara Kelompok Terapi Kombinasi Risperidon dan Kelompok Terapi Kombinasi Haloperidol

Obat N Mean Rank Su m of Ranks Asymp. Sig. (2-tailed)

Biaya Terapi Kombinasi

Risperidon

Terapi Kombinasi Haloperidol Total 20 20 40 25,23 15,78 504 ,50 315 ,50 ,010

Berdasarkan uji Mann-Whitney sesuai tabel 5 di atas didapatkan nilai p = 0,010. Untuk hipotesis satu arah, nilai p = 0,005.

Karena nilai p< 0,05, secara statistik ada perbedaan bermakna antara biaya terapi kombinasi Risperidon dengan biaya terapi kombinasi Haloperidol.

Tabel 6 Analisis Biaya Menggunakan Tabel Efektivitas Biaya Biaya lebih

Rendah Biaya sama

Biaya lebih tinggi Efektivitas lebih

rendah

A B C

Efektivitas sama D Terapi Kombinasi Haloperidol terhadap Terapi Kombinasi Risperidon

E F

Terapi Kombinasi Risperidon terhadap Terapi Kombinasi Haloperidol Efektivitas lebih tinggi

G H I

Sesuai tabel 6 di atas, letak efektivitas biaya dari terapi kombinasi Risperidon terhadap terapi kombinasi Haloperidol berada di kelompok F, sehingga tidak perlu menggunakan perhitungan RIEB. Letak efektivitas biaya dari terapi kombinasi Haloperidol terhadap terapi kombinasi Risperidon berada di kelompok D, sehingga

efektivitas biaya terapi kombinasi Haloperidol lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi Risperidon.

Pembahasan

American Psychiatric Association (APA) menyatakan bahwa perjalanan penyakit skizofrenia terdiri dari tiga fase


(2)

yaitu fase akut, fase stabilisasi dan fase stabil14. Pada fase akut, sasaran terapinya adalah mengurangi atau menghilangkan gejala psikotik dan meningkatkan fungsi normal pasien yang biasanya terjadi selama 7 hari pertama4. Terbukti pada tabel 1 yang menjelaskan bahwa pasien fase akut terjadi pada 7 hari pertama, yaitu selama 1 hari, 2 hari, dan 3 hari. Tetapi ada 1 orang yang fase akutnya selama 8 hari. Terbukti pula pada tabel 2 yang menyatakan bahwa pada penggunaan terapi kombinasi Risperidon, rata-rata lama hari yang dibutuhkan adalah 1,95 ± 0,366 hari; sedangkan pada penggunaan terapi kombinasi Haloperidol, rata-rata lama hari yang dibutuhkan adalah 1,55 ± 0,170 hari.

Berdasarkan tabel 2 tersebut didapatkan hasil bahwa ternyata pasien yang diterapi menggunakan terapi kombinasi Haloperidol lebih cepat menjadi fase stabil jika dibandingkan dengan pasien yang menggunakan terapi kombinasi Risperidon. Akan tetapi, secara statistik tidak ada

perbedaan bermakna antara lama fase akut terapi kombinasi Risperidon dengan lama fase akut terapi kombinasi Haloperidol. Sesuai dengan penelitian Putri dimana jenis terapi antipsikotik tidak memberikan pengaruh terhadap perbedaan lama rawat inap pasien fase akut13. Keduanya efektif dalam memblok reseptor dopamin tipe 2 (D2) yang spesifik di jalur dopamin mesolimbik. Aksi memblok reseptor dopamin tipe 2 mempunyai efek menurunkan hiperaktifitas dalam jalur yang menyebabkan munculnya simtom positif dari psikotik15. Hal ini dikarenakan pada fase akut, simtom positif lebih menonjol sehingga reseptor dopamin tipe 2 yang berperan.

Dilihat dari segi biaya, penggunaan terapi kombinasi Risperidon, rata-rata biaya yang dibutuhkan adalah Rp 31.191,40 ± Rp 8.545,114; sedangkan pada penggunaan terapi kombinasi Haloperidol, rata-rata biaya yang dibutuhkan adalah Rp 11.186,95


(3)

± Rp 1.163,970. Biaya yang dibutuhkan pada pasien yang menggunakan terapi kombinasi Haloperidol ternyata lebih rendah dan setelah dilakukan analisis didapatkan nilai p = 0,005 yang berarti ada perbedaan bermakna.

Bila dibandingkan dengan efektivitas menurut skor PANSS-EC, keduanya tidak terdapat perbedaan yang bermakna10, efektivitasnya sama sehingga jika dilakukan analisis menggunakan tabel alternatif pada tabel 6 hasilnya adalah efektivitas biaya terapi kombinasi Haloperidol lebih baik jika dibandingkan dengan terapi kombinasi Risperidon. Hal ini tidak sesuai dengan hipotesis dan literatur yang ada. Kemungkinan terjadi ketidakcocokan dengan hipotesis dan literatur karena pada fase akut yang menonjol adalah simtom postif dan pada penelitian kali ini terapi yang digunakan adalah kombinasi Risperidon – Klorpromazin – Triheksifenidil dan Haloperidol – Klorpromazin – Triheksifenidil. Pada

simtom positif yang dibutuhkan adalah blokade reseptor D2. Kombinasi dari Haloperidol dan Klorpromazin sangat sesuai karena cara kerja keduanya sama yaitu memblok reseptor D2, sedangkan Risperidon selain memblok reseptor D2 juga memblok reseptor 5 HT-2. Dilihat dari segi biaya, harga satuan Risperidon jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga satuan Haloperidol. Hal ini juga yang mungkin menyebabkan efektivitas biaya Haloperidol lebih baik dibandingkan dengan Risperidon karena jika dilihat dari lama fase akut keduanya mempunyai hasil yang tidak terlalu signifikan perbedaannya.

Kesimpulan

Dari hasil penelitian kali ini dapat disimpulkan bahwa pada penggunaan terapi kombinasi Risperidon, rata-rata biaya yang dibutuhkan adalah Rp 31.191,40 ± Rp 8.545,114 dengan biaya minimal Rp 7.598,00 dan maksimal Rp 139.560,00; sedangkan pada penggunaan terapi


(4)

kombinasi Haloperidol, rata-rata biaya yang dibutuhkan adalah Rp 11.186,95 ± Rp 1.163,970 dengan biaya minimal Rp 3.223,00 dan maksimal Rp 18.995,00. Analisis efektivitas biaya terapi kombinasi Haloperidol lebih baik dibandingkan dengan terapi kombinasi Risperidon sesuai dengan tabel efektivitas biaya (p = 0,005).

Saran

1. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk menggunakan metode eksperimental untuk menghindari bias dan mengontrol perlakuan yang diberikan.

2. Pada penelitian selanjutnya juga sebaiknya tidak hanya melihat dari lama fase akutnya saja dalam membandingkan kedua jenis terapi.

3. Bagi pihak RSJ, penggunaan Haloperidol bisa dipertimbangkan untuk digunakan dalam terapi fase akut pasien skizofrenia jika dilihat dari segi biaya.

Daftar Pustaka

1. Amelia, D. R., & Anwar, Z. (2013). Relaps pada pasien skizofrenia. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, Vol. 01 No. 01. 2. Association, A.P. 1995. The AmericanPsychiatric

Association. Florida, Amerika Serikat.

3. Dewi, S., Elvira, S. D., & Budiman, R. (2013). Gambaran kebutuhan hidup penyandang skizofrenia. J Indon Med Assoc, Vol. 63 No. 03.

4. Dipiro, J.T., Wells, B.G., Schwinghammer, T.L., & Dipiro, C.V. (2009). Pharmacotherapy handbook. (7th ed.). New

York: McGraw-Hill Medical.

5. Fahrul, Mukaddas, A., & Faustine, I. (2014).Rasionalitas penggunaan antipsikotik pada pasien skizofrenia di instalasi rawat inap jiwa RSD Madani Provinsi Sulawesi Tengah periode Januari-April 2014. Online Jurnal of Natural Science, 3(2), 18-29.

6. Jarut, Y. M., Fatimawali, & Wiyono, W. I. (2013). Tinjauan penggunaan antipsikotik pada pengobatan skizofrenia di Rumah Sakit Prof. dr. V. L. Ratumbuysang Manado Periode Januari 2013-Maret 2013. Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT, Vol. 02 No. 03.

7. Keliat, B. A., Wiyono, A. P. & Susanti, H. (2011), Manajemen Kasus Gangguan Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

8. Lesmanawati, D. A. S. (2012). Analisis efektivitas biaya penggunaan terapi antipsikotika pada pasien skizofrenia di instalansi rawat inap RSJ Grhasia Yogyakarta. Karya Tulis Imiah strata dua, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 9. Melatiani, Sutrisna, E., & Azizah, T. (2013). Analisis biaya

pada pasien skizofrenia rawat inap di Rumah Sakit “X” Surakarta tahun 2012. Karya Tulis Ilmiah strata satu, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

10. Octaviany, A. F. (2016). Perbedaan Efektivitas Penggunaan Kombinasi Haloperidol dan Kombinasi Risperidon pada Terapi Fase Akut Pasien Skizofenia Berdasarkan Skor PANSS-EC. Karya Tulis Ilmiah sttrata satu, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

11. Perwitasari, D. A. (2008). Kajian Pengunaan Atypical Antipsychoticc dan Conventional Antipsychotic pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Grhasia Yogyakarta. Lembaga Penelitian dan Pengembangan UAD Yogyakarta.

12. Price, S. A., &Brahm, N. C. (2011). Antipsychotic treatment of adolescent dual diagnosis patients. J Pediatr Pharmacol Ther, 16(4), 226–236.

13. Putri, R. A. (2015). Pengaruh Perbedaan Jenis Terapi Antipsikotik terhadap Lama Rawat Inap Pasien Skizofrenia fase Akut di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong.


(5)

Karya Tulis Ilmiah strata satu. Universitas Tanjungpura, Pontianak.

14. Reverger, M. J. (2012). Perbandingan performa fungsi pasien skizofrenia yang mendapat terapi tunggal dengan terapi kombinasi antipsikotika di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Karya Tulis Ilmiah strata dua, Universitas Indonesia, Jakarta.

15. Stahl, S. M. (2000). Essential psychopharmacology (2nd ed.).

New York: Cambridge University Press.

16. Wijono, R., Nasrun, M. W., & Damping, C. E. (2013). Gambaran dan Karakteristik Penggunaan Triheksifenidil pada Pasien yang Mendapat Terapi Antipsikotik. J Indon Med Assoc, 63 (1), 14-20.


(6)

Dokumen yang terkait

Perbedaan Efektifitas Risperidon Dan Haloperidol Terhadap Simtom Positif Pasien Skizofrenik

12 94 113

Pelaksanaan Terapi Bagi Pasien Skizofrenia Di Madani Mental Health Care Jakarta Timur

0 18 94

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA TERAPI ANTIHIPERTENSIPADA PASIEN HIPERTENSI RAWAT INAP DI RUMAH Analisis Efektivitas Biaya Terapi Antihipertensi Pada Pasien Hipertensi Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Tahun 2014.

0 4 11

PERBEDAAN EFEKTIVITAS TERAPI BETAHISTIN DAN KOMBINASI DENGAN DIFENHIDRAMIN PADA Perbedaan Efektivitas Terapi Betahistin Dan Kombinasi Dengan Difenhidramin Pada Pasien Vertigo Perifer Di RSUD Sukoharjo.

0 2 14

ANALISIS BIAYA DAN EFEKTIVITAS PENGGUNAAN ANTIHIPERTENSI DUA KOMBINASI PADA PASIEN Analisis Biaya dan Efektivitas Penggunaan Antihipertensi Dua Kombinasi pada Pasien Hipertensi Rawat Jalan di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta Tahun 2009-2010.

0 0 19

ANALISIS BIAYA DAN EFEKTIVITAS TERAPI ASMA PASIEN RAWAT JALAN Analisis Biaya Dan Efektivitas Terapi Asma Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi.

0 1 16

Keefektifan Pemberian Clozapin Dibandingkan Risperidon Terhadap PANSS dan Kadar Interleukin 2 Pada Pasien Skizofrenia Eksaserbasi Akut.

7 33 131

Analisis Efektivitas Terapi dan Biaya antara Haloperidol Kombinasi dengan Risperidon Kombinasi pada Terapi Skizofrenia Fase Akut | Ranti | Jurnal Mutiara Medika 2495 7027 1 PB

2 14 8

Analisis Efektivitas Biaya (Cost-Effectiveness Analysis) Penggunaan Antibiotik Profilaksis dan Terapi Bentuk Tunggal dan Kombinasi pada Pasien - Ubaya Repository

0 0 1

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA DAN TERAPI AN

0 0 10