FAKTOR KEMENANGAN KOALISI SUHARSONO-HALIM DALAM PEMENANGAN PEMILU KEPALA DAERAH KABUPATEN BANTUL TAHUN 2015

(1)

xiv Abstrak

Pemilu kepala daerah (Pemilukada) merupakan salah satu bagian dari mekanisme demokrasi, menjadi gerbang utama dalam membangun kepemimpinan di daerah. Kabupaten Bantul berhasil melaksanakan pemilukada serentak pertama pada tanggal 9 Desember 2015 yang diikuti oleh 2 pasangan calon, yakni Suharsono-Abdul Halim Muslih (Suharsono-Halim) yang diusung oleh koalisi PKB, Partai Gerindra, dan di dukung oleh PKS dan Partai Demokrat. Pasangan lain ialah Sri Suryawidati-Misbakhul Munir (Ida-Munir) yang diusung oleh koalisi PDI-P, Nasdem dan didukung oleh partai Golkar dan PPP. Berdasarkan hasil penghitungan suara pada Pemilukada Kabupaten Bantul tahun 2015, kemenangan diraih oleh pasangan Suharsono-Halim dengan jumlah perolehan sebesar 261.412 suara sah atau 52,80%.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dimana teknik pengumpulan datanya menggunakan wawancara, dokumentasi dan studi kepustakaan. Pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling, dimana narasumber yang akan di wawancarai dipilih berdasarkan pertimbangan dan merupakan informan yang berkompeten untuk menjawab pertanyaan peneliti.

Hasil penelitian mengemukakan bahwa faktor kemenangan koalisi pasangan Suharsono-Halim pada pemilukada di Kabupaten Bantul tahun 2015 dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama koalisi partai politik, dimana partai pendukung pasangan Suharsono-Halim memiliki strategi sendiri yang mereka sebut sebagai strategi intelejensi, strategi ini digunakan untuk mempengaruhi masyarakat dalam upaya pemenangan suara. Kedua partisipasi politik, keterlibatan masyarakat Bantul dalam pemberian hak suara pada pemilukada tahun 2015 meningkat dibanding pemilukada tahun 2010, dan tertinggi Diantara Kabupaten Gunung Kidul dan Kabupaten Sleman, karena masyarakat ingin mendapatkan pemimpin yang bisa membawa perubahan di Bantul. Ketiga modalitas, modalitas ini terdiri dari modal politik, modal sosial, modal budaya dan modal ekonomi. Dengan demikian kemenangan yang diraih oleh koalisi pasangan Suharsono-Halim merupakan hasil kerjasama berbagai pihak, terutama dari kinerja partai politik yang mengusung maupun mendukung, serta keterlibatan masyarakat dalam partisipasi politik yang tinggi.

Kata kunci : Faktor Kemenangan Koalisi, Modalitas, Pemilukada, Partisipasi Politik


(2)

xv Abstract

The district head election (Pemilukada) is one of the mechanism part of democracy, become the main gate to build the district leadership. Bantul district succeed in executing the first district head election simultaneously on 9th December 2015 which followed by 2 candidates, they are Suharsono-Abdul Halim Muslih (Suharsono-Halim) who carried by coalition of PKB , Gerindra party, and supported by PKS and Demokrat party. The other candidates are Sri Suryawidati-Misbakhul Munir (Ida-Munir) who carried by coalition of PDI-P, Nasdem and supported by Golkar party and PPP. Based on the voting result in Pemilukada Bantul District 2015, the winner is Suharsono-Halim candidate with 261.412 valid votes or 52.80%.

This research uses the qualitative method, which the data collecting technique using the interview, documentation and library study. The sample is taking by using the purposive sampling technique, where the interviewees is chosen with consideration and one of the competent informant to answer the researcher questions.

The results of this research shows that the winnings factors of Suharsono-Halim candidate coalition in Pemilukada of Bantul District 2015 is affected by 3 factors. The first factor is the political party coalition, the second factor is political participation, and the third factor is the asset, this assets is consist of the political, social, cultural, and economical. It can be concluded that the winnings of the Suharsono-Halim candidate coalition is form of the teamwork from a lot of party, especially from the political party performance who carried even supported, also the society involvement in high political participation

Keywords : The Coalition Winnings Factors, Assets, Pemilukada, Political Participation


(3)

xvi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

HALAMAN LEMBAR REVISI ... v

HALAMAN PENGESAHAN PROGRAM STUDI ... vi

HALAMAN MOTTO ... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... viii

KATA PENGANTAR ... xi

ABSTRAK ... xiv

DAFTAR ISI... xvi

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

BAB I Pendahuluan ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 13

1.3. Tujuan Penelitian ... 14

1.4. Kegunaan Penelitian ... 14

BAB II Tinjauan Teori ... 16

2.1. Kajian Pustaka ... 16

2.2. Kerangka Teori ... 22

2.2.1. Koalisi Partai Politik ... 23

2.2.2. Partisipasi Politik ... 29

2.2.3. Modalitas ... 40

2.3. Kerangka Pemikiran ... 60

2.4. Definisi Konsepsional ... 61


(4)

xvii

BAB III Metode Penelitian ... 64

3.1. Lokasi Penelitian ... 64

3.2. Jenis Penelitian ... 65

3.3. Sumber Data Penelitian ... 67

3.3.1.Data Primer ... 67

3.3.2.Data Sekunder ... 67

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 68

3.5. Teknik Pengambilan Sampel ... 71

3.6. Unit Analisis Data ... 72

3.7. Teknik Analisis Data ... 72

3.8. Sistematika Penulisan ... 75

BAB IV Deskripsi Objek Penelitian ... 77

4.1. Gambaran Umum Kabupaten Bantul ... 77

4.2. Gambaran Umum Pemilukada 2015 ... 79

4.3. Partai Gerakan Indonesia Raya (GERINDRA) ... 85

4.2.1. Sejarah Partai Gerindra ... 85

4.2.2. Visi dan Misi partai Gerindra ... 88

4.3. PARTAI KEBANGKITAN BANGSA (PKB) ... 90

4.3.1. Sejarah Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ... 90

4.3.2. Visi dan Misi PKB ... 93

4.4. PARTAI DEMOKRAT ... 95

4.4.1. Sejarah Partai Demokrat ... 95

4.4.2. Visi Misi Partai Demokrat ... 98

4.5. PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) ... 100

4.5.1. Sejarah Partai Keadilan Sejahtera ... 100

4.5.2. Visi Misi PKS ... 104


(5)

xviii 5.1. Faktor Kemenangan Koalisi Suharsono-Halim dalam

Pemenangan Pemilu Kepala Daerah Kabupaten Bantul

Tahun 2015 ... 112

5.1.1. Koalisi Partai Politik ... 112

5.1.2. Partisipasi Politik ... 123

5.1.3. Modalitas ... 135

1. Modal Politik ... 136

2. Modal Sosial ... 142

3. Modal Budaya ... 146

4. Modal Ekonomi ... 150

5.2. Temuan di Lapangan ... 157

5.2.1. Perpecahan di Kubu Lawan ... 157

5.2.2. Isu Politik yang Diusung Pasangan ... 164

BAB VI PENUTUP ... 169

6.1. Kesimpulan ... 169

6.2. Saran ... 175


(6)

xix DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Rekapitulasi Perolehan Kursi Politik dalam Pemilu

Anggota DPRD Kabupaten Bantul tahun 20014 ... 5

Tabel 1.2. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Sah Partai Politikdalam Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Bantul tahun 2014 ... 7

Tabel 1.3. Hasil suara Pemilukada Kabupaten Bantul tahun 2015 ... 9

Tabel 2.1. Tabel Penelitian Terdahulu ... 21

Tabel 2.2. Matrix Definisi Operasional ... 63

Tabel 3.1. Unit Analisis Data ... 72

Tabel 4.1. Tabel Luas Wilayah dan Banyaknya Desa Menurut Kecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2015 ... 78

Tabel. 4.2. Tabel Daftar Pemilih Tetap (DPT) Kabupaten Bantul tahun 2015 ... 83

Tabel. 4.3. Daftar Rutan dan RS yang dilayani ... 84

Tabel 5.1. Jumlah suara sah dan perolehan kursi Pemilu legislative Kabupaten Bantul tahun 2014 ... 116

Tabel 5.2. Korelasi Teori Koalisi dengan Temuan ... 119

Tabel 5.2. Tingkat Partisipasi Pemilih Per Kecamatan di Kabupaten Bantul tahun 2015 ... 133

Tabel 5.3. Jenis Alat Peraga Kampanye KPU Kabupaten Bantul ... 152

Tabel 5.4. Bahan Kampanye KPU Kabupaten Bantul ... 153

Tabel 5.5. Tabel Korelasi Temuan dengan Teori ... 163


(7)

xx DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Teoritis ... 60

Gambar 4.1. Peta Kabupaten Bantul ... 77

Gambar 4.2. Presentase Luas Wilayah Kabupaten Bantul Menurut Kecamatan ... 79

Gambar 4.3. Logo Partai Gerindra ... 86

Gambar 4.4. Logo PKB ... 92

Gambar 4.5. Logo Partai Demokrat ... 97

Gambar 4.6. Logo PKS ... 102

Gambar 5.1. Foto Kandidat ... 108

Gambar 5.2. Foto Hasil Perolehan Suara masing-masing nomor urut ... 122

Gambar 5.3. Rekapitulasi perolehan suara pasangan Suharsono- Halim Pada pemilukada Kabupaten Bantul tahun 2015 ... 122

Gambar 5.4. Grafik Partisipasi Pemilih ... 129

Gambar 5.5. Tingkat Partisipasi Pemilih Berdasarkan Kecamatan ... 133

Gambar 5.6. Atribut koalisi Partai Politik Pendukung Pasangan Saat kampanye ... 139

Gambar 5.7. Kunjungan Suharsono ke Warga Bantul ... 145

Gambar 5.8. Pemasangan Spanduk di Pertigaan Jetak, Ringinharjo, Bantul ... 154


(8)

xxi DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ambardi, Kuskridho, Mengungkap Politik Kartel : Studi Tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Jakarta: Kepustaan Populer Gramedia, 2009.

Ancok, Jamaluddin, “Modal Sosial, dan Kualitas Masyarakat”, Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM Yogyakarta.

Arend Lijphart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta: Raja Grafindo, 1995.

Arifin, Anwar, Pencitraan dalam Politik (Strategi Pemenangan PEMILU dalam Perspektif Komunikasi Politik), Pustaka Indonesia, Jakarta: 2006.

Berger, Peter L, Pyramids of Sacrifice : Political Ethnics and Social Change, New York:Anchor Books, 1976

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik,: edisi revisi, Jakarta: Gramedia, 1993.

Evriza, Political Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik, New York: Free Press, 2012.

Fukuyama, Francis. The End of History and The Last Man: K menangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 1999

Goel, M.L dan Lester Milbrath, Political Participation,Chicago: Rand McNally College Publishing Co, 1997

Haryanto, Kekuasaan Elit (Suatu Bahasan Pengantar), JIP UGM, Yogyakarta 2005

Ishiyama, John T dan Breuning, Marjike. Ilmu Politik : Dalam Paradigma Abad Ke-21. Cet. Ke-1. Jakarta : Kencana, 2013

Ishomuddin, Diskursus Politik dan Pembangunan, Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, 2001


(9)

xxii KPU Kabupaten Bantul, Rakyat Bantul Memilih, Gambaran Proses Penyelenggaraan Tahapan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bantul Tahun 2015, Bantul : KPU Bantul, 2015.

Lapalombara, Joseph, Myron Weiner, “The Origin and Development of Political Parties” merujuk Political Parties and Political Development. Princenton: University Press, 1996.

Nurhasim, Moch, dkk, Konflik antar Elit Politik Lokal dalam Pemilihan Kepala Daerah, Jakarta: Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, 2003 Rahman, A.H.I, Sistem Politik Indonesia,Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007 Sahdan, Gregorius dan Muhtar Haboddin, Evaluasi Kritis Penyelenggaraan

Pilkada Di Indonesia, IPD, Yogyakarta, 2009

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,

Surakhmad,Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Alfabeta, 1994

Wibawanto, Agung dkk. Strategi Menang dalam Pemilihan Kepala Daerah, Teknik Memandu Kemenangan Politik Calon Kepala Daerah, Yogyakarta: Pembaruan, 2005.

Jurnal Ilmiah

Fitriyah. Meninjau Ulang Sistem Pilkada Langsung: Masukan Untuk Pilkada Langsung Berkualitas, Politika Jurnal Ilmu Politik, Vol. 2 Nomor 1. April 2011

Indris, Khanif, Koalisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan- Partai Kebangkitan Bangsa-Partai Amanat Nasional Dan Partai Keadilan Sejahtera Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun 2010, Semarang: Universitas Dipenogoro.

Konversi Modal Sosial menuju Modal Politik, Depok: Universitas Indonesia

Mukarom, Zainal, Strategi komunikasi Politik perempuan di Lembaga Legislatif, Jurnal Ilmu Dakwah Vol. 5 No 2 edisi Juli-Desember 2011, Jurnal, 2011


(10)

xxiii Olsen, Marvin E, “A Model of Political Participation Stratification”Journal of Political and Military Sosiology, No.1 Fall, 1973

Saputra, Muchammad Ichsan dkk, Marketing Politik Pasangan Kepala Daerah Dalam Pemilukada (Studi Kasus Tim Sukses Pemenangan Pasangan Abah Anton dan Sutiaji dalam Pemilukada Kota Malang 2013), Malang: Universitas Brawijaya

Tesis

Ariyanto Umarama, Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keterpilihan Perempuan Di DPRD (Studi Kasus Kabupaten Sleman 2014), Tesis, Yogyakarta, 2016

Stella Maria Ignasia Pantouw, Modalitas Dalam Kontestasi Politik (Studi Tentang Modalitas dalam Kemenangan Pasangan Hanny Sondakh dan Maximiliaan Lomban Pada Pemilukada di Kota Bitung Sulawesi Utara Tahun 2010), Tesis, Semarang, 2012 Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Perubahan kedua Bab IV tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan KPU no 9 tahun 2015 tentang pencalonan Gubernur, Bupati dan Walikota

Data dari lembaga perkantoran Bantul dalam angka tahun 2015

Internet

Afifi, Muhammad, https://detik.com/news/berita/2977197/disebut-jago-boneka-bakal-calon-bupati-ini-bilang-demi-allah-saya-serius#

Apriyadi, Anas

http://www.tribunnews.com/regional/2015/12/21/suharsono-abdul-halim-bupati-dan-wakil-bupati-bantul-2015-2020

Informasi Pendidikan,


(11)

xxiv Sudirman Nasir, SBY Antara Modal Politik Dan Modal Simbolik, dalam http://pemilu.liputan6.com/kolom

Linangkung, Erfanto, Priyo Setyawan, dkk

http://daerah.sindonews.com/read/1027224/pan-merasa-ditelikung-gerindra-pks-1438140971

Pemkab Bantul, https://bantulkab.go.id/pemerintahan/daftar_bupati.html Rahardjo, Mudjia, www.iun-malang.ac.id/r/101001/triangulasi-salam-penelitian-kualitatif.html

Suprapta, http://www.kompasiana.com/suprapta/mencermati-visi-dan-misi-paslon-pilkada-2015-di-kabupaten-bantul_562edfbaa6afbd710927bf1f Mencermati Visi dan Misi Paslon Pilkada 2015 di Kabupaten Bantul http://www.landasanteori.com/2015/10/sejarah-berdirinya-partai-keadilan.html


(12)

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Dewasa ini perkembangan politik di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup pesat, diawali dengan politik pada era orde baru yang bersifat sentralistik dan otoriter hingga era reformasi yang bersifat demokrasi, dimana adanya pemberian kebebasan seluas-luasnya untuk berpendapat dan membuat kelompok. Pesatnya perkembangan pemilu di Indonesia juga dapat dirasakan hingga ke level pemerintah daerah.

Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab IV mengatur bagaimana penentuan kepala daerah yang berbunyi Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Undang-undang ini menjadi dasar dalam pelaksanaan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada) di Indonesia, Pilkada tersebut dilaksanakan semata-mata bertujuan untuk


(13)

2

menentukan pemimpin daerah yang berkualitas, amanah, akuntabel dan mengutamakan kepentingan rakyat di daerahnya.

Wibawanto, dkk (2005:1) menjelaskan bahwa jabatan kepala daerah tidak lagi di tentukan oleh Dewan Pemilihan Rakyat Daerah (DPRD), calon kepala daerah yang terpilih kedepannya tidak akan mendapatkan dominasi dari DPRD, melainkan posisi kepala daerah dan DPRD akan berjalan seiringan dan sederajat serta keduanya dapat bekerjasama sebagai mitra kerja di dalam pemerintahan.

Dalam jurnal yang di tulis oleh Indris (2010:2) menjelaskan bahwa penentuan calon kepala daerah tidak lepas dari peranan partai politik, ataupun gabungan dari beberapa partai politik yang disebut dengan koalisi partai politik, ketentuan ini diubah dengan UU no 12 tahun 2008 yang berbunyi peserta pilkada juga dapat berasal dari perseorangan yang didukung oleh sejumlah orang. Partai politik atau koalisi partai dapat mendaftarkan pasangan


(14)

3

kandidat tersebut bila memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu legislatif di daerah bersangkutan, seperti yang teruang dalam pasal 59 ayat 2 UUD no 12 tahun 2008.

Pemilukada serentak yang dilaksanakan tanggal 9 Desember 2015 merupakan kebijakan baru yang dibuat pemerintah untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemilukada di Indonesia. Pemilukada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diikuti oleh 3 kabupaten yakni di Kabupaten Bantul, Kabupaten Gunungkidul, dan Kabupaten Sleman.

Kabupaten Bantul merupakan salah satu dari 269 daerah yang melaksanakan pilkada secara serentak, pilkada ini dilaksanakan di 1.768 Tempat Pemilihan Suara (TPS), dan diikuti oleh 685.920 Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang dimana pelaksanaanya dianggarkan sebesar Rp 23.496.868.500 dan dana ini ditetapkan tanggal 15 mei 2015 setelah terbitnya Permendagri no 44 tahun 2015.


(15)

4

Suprapta dalam media cetak kompasiana yang di posting pada tanggal 27 oktober 2015 mendeskripsikan bahwa pilkada di Kabupaten Bantul hanya di ikuti oleh 2 pasangan calon kepala daerah, yakni Suharsono-Abdul Halim Muslih (Suharsono-Halim) yang diusung oleh koalisi PKB, PKS, Partai Gerindra serta Partai Demokrat.

Visi yang diangkat ialah “Terwujudnya Masyarakat Bantul yang sehat, cerdas dan sejahtera berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, nasionalisme dan religiusitas dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI)” dengan 5 misi yang mengikuti visi tersebut. Sedangkan pasangan pesaing ialah Sri Suryawidati dan wakilnya Misbakhul Munir (Ida-Munir) yang diusung oleh koalisi PDI-P, Nasdem serta didukung oleh partai

Golkar dengan mengangkat visi “Bantul Projotamansari

Sejahtera, Demokratis dan Agamis” serta ada 3 misi yang mengikuti visi tersebut.

Sesuai dengan ketentuan dalam pasal 59 ayat 2 UUD no 12 tahun 2008, partai politik atau koalisi partai dapat


(16)

5

mendaftarkan pasangan kandidat tersebut bila memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPRD atau 15% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu legislatif di daerah bersangkutan. Berikut tabel hasil perolehan jumlah kursi DPRD masing-masing partai pada pemilu legislatif di Kabupaten Bantul pada tahun 2014 .

Tabel 1.1. Rekapitulasi Perolehan Kursi Partai Politik dalam Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Bantul Tahun 2014

No Partai Politik

Perolehan Kursi

Jumlah

kursi % Dapil 1 Dapil 2 Dapil 3 Dapil 4 Dapil 5 Dapil 6

1 Partai NasDem - - - - 1 1 2 4.44

2 PKB 1 1 1 1 - - 4 8.89

3 PKS 1 1 1 1 - - 4 8.89

4 PDI Perjuangan 1 3 2 2 2 2 12 26.67

5 Partai Golkar 1 - 1 1 1 1 5 11.12

6 Partai Gerindra 2 1 1 1 - 1 6 13.33

7 Partai Demokrat - - - - 1 - 1 2.22

8 PAN 1 1 1 1 1 1 6 13.33

9 PPP 1 1 - - 1 1 4 8.89

10 Partai Hanura - - - 0

14 Partai Bulan

Bintang - - - 1 - - 1 2.22

15 PKPI - - - 0

JUMLAH 8 8 7 8 7 7 45 100


(17)

6

Dari tabel diatas perolehan kursi partai pengusung Suharsono-Halim yakni PKB memiliki 4 kursi di DPRD, sedangkan Partai Gerindra memiliki 6 suara di DPRD. Begitu pula dengan partai politik pengusung koalisi Ida-Munir yakni PDIP yang memiliki 12 kursi, dan partai Nasdem yang memiliki 2 kursi di DPRD.

Berdasarkan perolehan kursi di DPRD tersebut, semua partai politik yang mengusung pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati pada pemilukada tahun 2015 sudah memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk membuat sebuah koalisi. Sedangkan untuk perolehan suara sah dari setiap partai politik yang mengikuti pemilu legislatif DPRD tahun 2014 di Kabupaten Bantul terlampir dalam tabel berikut :


(18)

7

Tabel 1.2. Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara Sah Partai Politik dalam Pemilu Anggota DPRD Kabupaten Bantul Tahun 2014

No Partai

Politik Perolehan Kursi Jumlah Suara Sah %

Dapil 1 Dapil 2 Dapil 3 Dapil 4 Dapil 5 Dapil 6

1 Partai

NasDem 3.368 3.444 2.841 5.595 6.152 10.672 32.072 5.72 2 PKB 15.617 6.102 16.520 10.012 5.977 3.295 57.523 10.26 3 PKS 8.086 7.706 7.233 8.269 5.128 5.679 42.101 7.51 4 PDI-P 17.517 29.583 19.912 28.228 28.875 27.321 151.436 27.01 5 Partai

Golkar 6.812 4.765 7.058 7.958 9.336 6.353 42.282 7.54 6 Partai

Gerindra 19.052 13.872 17.674 8.882 4.660 11.434 75.514 13.47 7 Partai

Demokrat 4.420 3.649 4.349 4.185 6.600 5.181 28.384 5.06 8 PAN 12.269 12.507 8.259 14.780 12.887 8.933 69.635 12.41 9 PPP 6.290 7.749 5.157 4.934 6.769 7.108 38.007 6.78 10 Partai

Hanura 2.010 2.004 901 1.817 3.451 850 11.033 1.97

14 PBB 844 558 261 5.988 2.958 493 11.102 1.98

15 PKPI 321 173 117 254 523 250 1.638 0.29

JUMLAH 96.606 92.112 90.282 100.842 93.316 87.569 560.727 100

Sumber : KPU Kabupaten Bantul tahun 2014

Pelaksanaan pilkada di Kabupaten Bantul pada awalnya dikhawatirkan mengalami kemunduran, karena menjelang berakhirnya masa pendaftaran kepala daerah hanya ada satu pasangan saja yang sudah yakin mendaftarkan diri sebagai calon bupati dan wakil bupati yakni pasangan Ida-Munir.


(19)

8

Majunya pasangan Suharsono-Halim ini mampu memupuskan kekhawatiran tertundanya pilkada di Kabupaten Bantul, meskipun begitu majunya pasangan Suharsono-Halim tidak terlepas dari rumor yang tidak baik, pasangan ini dianggap sebagai calon boneka yang sengaja dimunculkan oleh kubu pasangan Ida-Munir.

Kemunculan isu calon boneka ini berawal dari belum adanya titik temu komunikasi politik yang dibangun antara partai-partai di Kabupaten Bantul, padahal purnawirawan polisi yang pernah bertugas di mabes polri ini sudah jauh-jauh hari berupaya mencari partai pendukung dan pasangan bakal calon wakil bupati, selain itu pasangan petahana dianggap terlalu kuat dan sulit untuk ditandingi.

Mendengar rumor yang beredar menjelang pilkada tersebut berlangsung, Suharsono dalam detik.com membantah tegas anggapan dirinya sebagai calon boneka, dengan tegas dan mengucap sumpah ia menyatakan sebuah bantahan terkait rumor tersebut selepas


(20)

9

mendaftarkan diri di KPU Bantul pada selasa 28/7/15 yang dikemukakan oleh Afifi

“Demi Allah, saya ini orang Islam. Saya tidak ada

niatan menipu. Demi Allah saya siap bertarung dan akan berusaha semaksimal mungkin untuk menang dalam pilkada. Kita sudah bentuk tim, kita atur strategi. Melawan incumbent bukan berarti menyiutkan nyali saya. Saya kira rakyat Bantul sudah cerdas, jadi rumor itu tidak akan berpengaruh”

Dari hasil pemilukada yang telah dilaksanakan di Kabupaten Bantul pada tahun 2015 yang lalu, kemenangan diraih oleh Koalisi pasangan Harsono-Halim dengan suara terbanyak yaitu sebesar 261.412 suara atau 52,8%. Sedangkan perolehan suara koalisi pasangan pesaing yaitu pasangan Ida-Munir sebesar 233.677 suara atau 47,2%. Hasil kemenangan tersebut dapat digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel. 1.3. Hasil suara Pemilukada Kabupaten Bantul tahun 2015

No Pasangan Calon Partai Koalisi

Hasil Suara

Presentase (%) 1 Suharsono - Abdul Halim

Muslih (Suharsono-Halim)

PKB, PKS, Partai

Gerindra Partai Demokrat. 261.412 52,8 2 Sri Suryawidati - Misbakhul

Munir (Ida-Munir)

PDI-P, Partai Nasdem,


(21)

10

Perolehan suara pada pemilukada tahun 2015 di Kabupaten Bantul ini cukup membuat masyarakat kaget, hal tersebut dikarenakan pasangan petahana ini dapat dikalahkan oleh pendatang baru yang merupakan purnawirawan dari kepolisian, dimana AKBP Suharsono tidak pernah sama sekali menempati posisi jabatan struktural (jabatan dalam pemerintahan) maupun jabatan politik di sebuah partai berbeda dengan wakilnya yang merupakan Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PKB.

Kemampuan Suharsono-Halim mengalahkan Pasangan Petahana menjadi hal yang cukup mengejutkan pihak lawan (Ida-Munir), karena pihak lawan merasa koalisi yang mengusung pasangannya merupakan Koalisi yang memiliki basis masa cukup banyak di Kabupaten Bantul. Ida juga merupakan Bupati Kabupaten Bantul yang masih menjabat pada Periode 2010-2015, dan memutuskan mencoba peruntungan kembali dalam pilkada untuk periode 2015-2020 sebagai pasangan


(22)

11

Petahana, sehingga dapat dipastikan hasil suara terbanyak akan tetap berada di posisi pasangan Ida-Munir.

Pada hasilnya pemilukada Kabupaten Bantul tahun 2015 membuktikan bahwa kemenangan tidak berada di posisi Ida-Munir melainkan berada pada kubu Suharsono-Halim. Hasil pemilukada di Kabupaten Bantul tahun 2015 ini membuat peneliti tertarik ingin melakukan penelitian terkait faktor kemenangan koalisi partai politik yang mengusung calon kepala daerah. Koalisi yang mengusung kemenangan Suharsono-Munir merupakan bentuk koalisi campuran dimana partai-partai yang tergabung dalam koalisi tersebut memiliki idologi yang berbeda, PKB dan PKS merupakan partai dengan Ideologi Islam (partai agamis), partai Gerindra dengan ideologi Nasionalis, dan partai Demokrat merupakan partai dengan ideologi Nasionalis Agamis.

Oleh karena itu penulis mengambil penelitian tesis dengan judul “Faktor Kemenangan Koalisi Suharsono-Halim dalam Pemenangan Pemilu Kepala Daerah


(23)

12

Kabupaten Bantul Tahun 2015”. Penelitian ini

dilaksanakan di Kabupaten Bantul, alasan pengambilan lokasi tersebut karena dari 5 Kabupaten yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta Kabupaten Bantul memiliki fenomena yang unik dalam proses penyelenggaraan pemilu disetiap periodenya.

Salah satu fenomena yang akrab di masyarakat Kabupaten Bantul yakni adanya politik dinasti, dimana dalam beberapa periode terakhir kepemimpinan bupati Bantul di pegang oleh sebuah keluarga dengan partai tunggal sebagai satu-satunya partai pendukungnya. Namun pada pemilukada pada Kabupaten Bantul tahun 2015 ini politik dinasti tersebut berhasil terhenti dengan kemenangan pasangan purnawirawan polri yakni Suharsono-Halim mengalahkan pasangan petahana yakni Ida-Munir.

Tidak hanya itu pemilihan Kabupaten Bantul sebagai lokasi penelitian juga di karenakan geografis yang dimiliki penduduk Kabupaten Bantul beragam, ada


(24)

13

beberapa penduduknya yang tinggal di daerah dataran tinggi seperti di Kecamatan Dlingo, Kecamatan Imogiri, ada juga yang tinggal di sekitar pantai (pesisir), dan ada juga yang tinggal bersebelahan dengan Kota Yogyakarta yakni pada Kecamatan Banguntapan, Kecamatan Sewon, serta Kecamatan Kasihan.

Dengan beragam nya lokasi tempat tinggal penduduk di Kabupaten Bantul ini, maka beragam pula pemikiran politik yang dimiliki oleh masyarakat tersebut sehingga fenomena politik pada pemilihan kepala daerah dan strategi yang digunakan partai politik ataupun calon bupati untuk meraih suara menjadi semakin menarik untuk diteliti.

1.2. Rumusan Masalah

Dari penjabaran latar belakang diatas peneliti merumuskan permasalahan yang ingin di teliti, yakni

Faktor apa saja yang mempengaruhi kemenangan koalisi Suharsono-Halim dalam pemenangan pemilu kepala daerah Kabupaten Bantul Tahun 2015


(25)

14

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.3.1.Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut tujuan penelitian ini dilaksanakan untuk menganalisis dan memahami faktor apa saja yang mempengaruhi kemenangan koalisi Suharsono-Halim dalam pemenangan pemilukada Kabupaten Bantul tahun 2015. 1.3.2. Kegunaan Penelitian

Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Secara Teoritis

a. Dapat memperkaya dan menambah pengetahuan tentang faktor apa saja yang mempengaruhi kemenangan koalisi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dalam pemenangan pemilukada, serta sebagai tambahan kajian khusunya di bidang Ilmu Pemerintahan


(26)

15

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan informasi untuk penelitian selanjutnya tentang faktor kemenangan koalisi dalam pemilukada.

2. Secara Praktis

a. penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi sumber informasi atau bahan masukan bagi semua partai politik dan pihak-pihak yang terkait untuk mengetahui faktor apa saja yang mempengaruhi kemenangan koalisi Suharsono-Halim dalam pemenangan pemilukada Kabupaten Bantul tahun 2015. b. Dapat dijadikan refrensi atau pedoman bagi

penelitian selanjutnya tentang faktor kemenangan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dalam pemenangan pemilu secara umum dan pemenangan pemilukada secara khusus.


(27)

16

BAB II

TINJAUAN TEORI 2.1. Kajian Pustaka

Peneliti yang membahas permasalahan mengenai faktor kemenangan koalisi pasangan Bupati dan Wakil Bupati pada pemilukada cukup banyak ditemui dalam jurnal-jurnal politik. Penelitian pada umumnya sebagian besar membahas hal-hal yang terkait strategi yang digunakan oleh pasangan calon kepala daerah, hasil pemilu kepala daerah, konflik yang terjadi saat pelaksanaan pemilu kepala daerah, serta dampak pelaksanaan pemilukada.

Penelitian mengenai faktor kemenangan koalisi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati pada pemilu kepala derah di Kabupaten Bantul, diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan untuk menentukan faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kemenangan koalisi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dalam pelaksanaan pemilukada di daerah-daerah lainnya. Dalam


(28)

17

penelitian yang dilaksanakan oleh Fitriyah, Hermini, Susiatianingsih dan Supratiwi menjelaskan Faktor Determinan dari kemenangan kandidat pada Pemilukada Kabupaten Batang 2011.

Penelitian ini diawali dengan penjabaran tingkat partisipasi masyarakat di Kabupaten Batang dalam menggunakan hak pilihnya tergolong tinggi dan konsisten yakni di atas 75%, antusias pemilih ini terutama terjadi pada pemilukada yang cenderung tinggi dibanding pemilu lainnya. Selain itu keputusan masyarakat dalam menentukan pilihan didasari oleh pilihannya sendiri, bukan dari pihak luar ataupun lingkungan, hanya sebagian kecil masyarakat yang masih terpengaruh lingkungan seperti teman, keluarga maupun tetangga.

Faktor figur dan ketokohan memainkan peran penting dalam mempengaruhi keputusan memilih. Faktor sosiologis, faktor ekonomi, dan faktor psikologis juga berpengaruh dalam menentukan pilihan masyarakat, namun ketiga faktor tersebut tidak berpengaruh secara


(29)

18

signifikan terhadap keputusan memilih. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa politik uang adalah hal yang wajar dalam pemilu dan pada prakteknya semua calon menenebar uang, hanya sebagian kecil saja masyarakat menolak adanya politik uang. Kondisi seperti ini ternyata bukan menjadi faktor utama sebagai pertimbangan dalam memilih seorang calon.

Sofyan A Jusuf, Mashuri Maschab (2007) dalam tesisnya yang berjudul Studi tentang strategi politik pasangan Bandjela Paliudju dan Achmad yahya dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung Gubernur Sulawesi tengah tahun 2006 dapat mengungkapkan bahwa kemenangan yang diraih oleh pasangan tersebut mutlak sepenuhnya terjadi karena adanya strategi politik yang dibentuk dan diterapkan oleh pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yakni strategi memperluas dukungan partai politik dan konsitutuennya, strategi pencitraan figur politik, serta strategi kampanye.


(30)

19

Penelitian ini merekomendasikan beberapa point bagi setiap kandidat yang hendak bertarung yakni, diawali dengan perlunya dibangun dukungan konstituen partai yang lebih solid dan terkoordinasi baik pelaksanaannya di tingkat koalisi maupun dalam struktur partai serta pelaksanaannya di tingkat konstituen partai koalisi yang mengusung pasangan calon. Perlunya mengefektifkan mesin partai koalisi yang berkolaborasi dengan tim sukses pasangan calon agar menghindari adanya kader yang menyimpang dari koalisi dan memperkuat dukungan.

Point selanjutnya yakni pembentukan (citra politik) pasangan calon harus lebih kongkrit, menunjukkan pasangan tersebut mampu memimpin melalui program kerja yang terarah. Pelaksanaan kampanye juga harus melibatkan komponen masyarakat. Dalam pengelolaan isu-isu politik hendaknya memperhatikan strategi pemerataan pembangunan antar daerah, lintas budaya, etnis, dan agama, guna memperluas dukungan yang di


(31)

20

dapat dan mengangkat citra figur calon, sehingga semua pihak merasa diayomi dan diperhatikan.

Dari beberapa penelitian yang dikemukakan diatas, terdapat persamaan dalam pembahasan mengenai kemenangan calon Bupati dan Wakil Bupati pada pemilukada, namun yang menjadi perbedaan penelitian pada pemilukada di Kabupaten Bantul tahun 2015 ini dengan penelitian yang sebelumnya ialah lebih spesifikasi pada pembahasan faktor kemenangan koalisi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dalam pemenangan pemilukada Kabupaten Bantul.


(32)

21

Tabel 2.1. Tabel Penelitian Terdahulu No Penelitian

(tahun) Judul Penelitian Hasil

1 Fitriyah, Hermini Susiatianingsih dan Supratiwi Faktor Determinan Kemenangan Kandidat Pada Pemilukada Kabupaten Batang 2011

Faktor determinan kemenangan kandidat antara lain : (1) Tingkat partisipasi pemilih yang menggunakan hak pilihnya tinggi, (2) Keputusan memilih pemilih di Kabupaten Batang di dasari oleh pilihan pribadi, (3) Faktor figur dan ketokohan memainkan peran penting dalam membuat keputusan memilih, (4) Figur calon pasangan sangat signifikan berpengaruh terhadap hasil suara, dan (5) Faktor sosiologis dan psikologis juga berperan namun tidak secara signifikan 2 Sofyan A

Jusuf, Mashuri Maschab

(2007)

Studi tentang strategi politik pasangan Bandjela Paliudju dan Achmad yahya

dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung Gubernur Sulawesi tengah

tahun 2006

Hasil kemenangan pemilukada di Sulawesi tengah tahun 2006 tersebut sepenuhnya disebabkan karena adanya strategi politik yang dirancang dan diterapkan oleh pasangan calon yakni strategi memperluas dukungan partai politik dan konsitutuennya, strategi pencitraan figur politik, serta strategi kampanye.

3 Susilo Utomo (2013)

Peran Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

dalam Memenangkan Pasangan Ganjar Pranowo

– Heru Sudjatmoko Pada Pilgub Jateng 2013

Peran PDIP dalam pemenangan pasangan Ganjar Pranowo – Heru sudjatmoko memiliki tingkatan yang kuat yakni sebagai perekrut politik, mesin pengumpul suara dan sebagai penggerak basis massa atau mobilisasi massa.

4 Muchammad Ichsan Saputra, Bambang Santoso Haryono, Mochammad Rozikin (2013)

Marketing Politik Pasangan Kepala Daerah dalam Pemkilukada (Studi Kasus

Tim Sukses Pemenangan Pasangan Abah Anton dan

Sutiaji dalam Pemilukada Kota Malang 2013)

Marketing politik yang telah dilaksanakan oleh tim sukses dalam pemenangan pasngan Abah Anton dan Sutiaji, yaitu pembentukan figure dan program-program kampanye yang kompleks mencakup dari penentuan produk politik, promotion, place, price, dan segmentasi pemilih.


(33)

22

5 Nehemia Syalom Ginting (2013)

Marketing Politik dalam Pemilukada Kabupaten

Karo tahun 2010

Keberhasilan strategi politik yang diterapkan oleh tim pemenangan pasangan Kena Ukur Surbakti – Terkelin Brahmana antara lain : (1) Tim pemenangan pasangan ini memperkuat basis marketing politik kedaerah mayoritas adalah pemilih tradisional yakni daerah pedesaan. (2) Tim pemenangan pasangan ini menonjolkan etnititas sebagai isu utama untuk menarik dukungan dari masyarakat

2.2. Kerangka Teori

Kerangka teori diharapkan menjadi sebuah acuan secara konsep yang nantinya dapat digunakan dalam memandang, menilai dan menganalisis sebuah permasalahan. Teori yang nantinya digunakan dalam penelitian ini ialah teori Koalisi Partai Politik, teori Partisipasi Politik dan teori Modal Sosial. Teori yang dipaparkan tersebut dapat digunakan sebagai bahan analisa permasalahan yang dibahas oleh peneliti.

Teori Koalisi Partai Politik digunakan untuk menganalisis bentuk koalisi yang diusung oleh pasangan Suharsono-Halim dalam pemenangan pemilukada Kabupaten Bantul tahun 2015. Teori Partisipasi Politik ini sendiri digunakan untuk menganalisis bagaimana partisipasi masyarakat dalam


(34)

23

pemilukada di Kabupaten Bantul dalam pemenangan pemilukada Kabupaten Bantul tahun 2015.

Serta teori Modal Politik digunakan untuk mengetahui dan menganalisis variabel apa saja dari modal politik yang di miliki oleh pasangan Suharsono-Halim dalam pemenangan pemilukada Kabupaten Bantul tahun 2015.

2.2.1. Koalisi Partai Politik

Teori koalisi partai telah lama berkembang di negara-negara yang menggunakan sistem parlementer. Menurut Arend (1995:221) Koalisi partai politik dapat dimaknai dengan upaya penggabungan kelompok individu yang saling berinteraksi dan sengaja dibentuk secara independen dari struktur organisasi formal, terdiri dari keanggotaan yang dipersepsikan saling menguntungkan, berorientasi kepada isu atau masalah, memfokuskan pada tujuan diluar koalisi, serta memerlukan aksi bersama para anggota.

Dalam ranah politik, koalisi merupakan gabungan dua partai atau lebih yang memiliki tujuan untuk membentuk secara bersama satu pemerintahan. Pada negara yang


(35)

24

menggunakan sistem pemerintahan presidensil yang multi partai, Bambang Cipto (2000:22) mendeskripsikan definisi koalisi yakni suatu keniscayaan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakikat sebuah koalisi ialah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomus), dan tahan lama (durable).

Pemerintahan yang kuat bisa diartikan sebagai pemerintahan yang mampu menciptakan dan mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan atau perlawanan di parlemen. Sampai saat ini koalisi yang tercipta antara partai politik tidak ada yang ideal, tidak ada satupun koalisi yang digalang para elit menghasilkan paduan yang sesuai dengan hakikatnya.

Bentuk koalisi yang sering ditemui ialah koalisi yang membingungkan, secara kompleks kekuatan politik, aktor dan ideologi menjadi faktor yang menyulitkan. Secara teoritis koalisi partai hanya akan berjalan bila dibangun diatas landasan pemikiran yang realistis dan layak.


(36)

25

1. Jenis-Jenis Koalisi

Efriza (2012) dalam bukunya yang berjudul Political Explore Sebuah Kajian Ilmu Politik dan mengacu pada teori Arend Lijphart mengemukakan dengan jelas beberapa bentuk koalisi berdasarkan jenisnya, antara lain :

a. Koalisi Berbasis Ideologi

Teori koalisi berbasis ideologi berfokus pada pentingnya kesamaan ideologi dan kebijakan partai sebagai pertimbangan dalam membentuk koalisi. Ambardi dalam de Swan (1973) menjelaskan bahwa teori ini menyatakan bahwa para politikus umumnya ingin meninggalkan jejak ideologi dan kebijakan partai di pemerintahan.

Politikus ini tidak menjadikan jabatan kabinet sebagai tujuan akhir, melainkan sekedar sarana untuk menerapkan kebijakan tertentu. Karena memilih dan mempertahankan kebijakan terbaik menjadi dorongan utama, maka pertalian ideologis menjadi dasar


(37)

26

pembentukan koalisi. Oleh Karena itu, besar kecilnya koalisi tidak menjadi kriteria utama dalam merangkul atau mengesampingkan satu partai. Hal yang paling penting ialah koalisi tersebut berusaha membentuk pemerintahan yang kompak (ambardi dalam Gallagher, Laver, Mair 1995:305). Dalam konteks ini, partai politik berfungsi sebagai sabuk transisi.

b. Koalisi Kemenangan Minimal (miminal-winning coalition)

Teori ini menyatakan prinsip dasar koalisi berada pada maksimalisasi kekuasaan dan meraih jabatan pemerintahan sebanyak mungkin. Teori kemenangan minimal ini beranggapan bahwa duduk di pemerintahan merupakan tujuan pokok partai karena akan memberi peserta koalisi keuntungan dari segi politik dan material.

Hal ini dilakukan dengan cara mencari sebanyak mungkin partai politik yang memperoleh kursi di kabinet untuk bergabung dan mengabaikan


(38)

partai-27

partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi. Dalam teori ini partai-partai bergabung membentuk koalisi dengan menghitung kemungkinan pemenangan suara terbanyak, yakni 50% + 1. Biasanya peserta koalisi akan berhenti menjadi rekan baru ketika perolehan kursi parlemen 50 persen telah terlampaui.

Kondisi ini dikemukakan oleh Ambardi dalam Riker (1962:33) yang menjelaskan bahwa peserta koalisi akan membentuk koalisi seminimal mungkin asal menjamin kemenangan dalam persaingan, dan tidak akan menambah peserta lagi. Dengan demikian keuntungan politik yang didapat dapat di distribusikan secara maksimal kepada peserta koalisi. Secara singkat peserta koalisi hanya berfokus pada suara yang dibutuhkan guna memenangkan pertarungan politik.

c. Minimal Range Coalition

Dasar dari pelaksanaan koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk


(39)

28

memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet dalam sebuah pemerintahan. d. Minimum Size Coalition

Koalisi ini merupakan Partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk bergabung demi sekadar mencapai suara mayoritas. e. Bargaining Proposition

Merupakan koalisi dengan jumlah anggota partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi dalam pemerintahan dan dalam pembentukan kebijakan. Dasar dari teori ini dilaksanakan adalah untuk memudahkan proses tawar-menawar dan negosiasi karena anggota atau rekanan koalisi hanya sedikit.

2. Cara Terbentuknya Koalisi

Menurut Evriza (2012), suatu koalisi dapat terbentuk melalui beberapa cara, yakni :

a. Bermula dengan satu pendiri (founder). b. Mencapai massa kritis (critical mass).


(40)

29

c. Mengajak yang paling lemah untuk mendukung (weak ties can be strong).

d. Membentuk diam-diam dan membubarkan secepatnya

2.2.2. Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan salah satu aspek penting dalam pelaksanaan demokrasi. Huntington dalam Rahman (2007:285), mengemukakan definisi dari partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kegiatan politik, seperti memilih seorang pemimpin atau upaya-upaya yang dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah.

Peter L.Berger (1976:60) dalam bukunya Pyramids of Sacrifice : Political Ethnics and Social Change mengemukakan bahwa asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) adalah orang yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya ialah orang itu sendiri. Hal ini didasari oleh keputusan politik yang dibentuk tersebut sudah pasti akan berhubungan dan mempengaruhi


(41)

30

kehidupan warga masyarakat, sehingga warga masyarakat berhak ikut serta dalam menentukan keputusan politik.

Oleh karena itu Partisipasi dalam arti sederhana adalah keikut sertaan atau keterlibatan seseorang atau kelompok didalam suatu kegiatan yang dilakukan secara sengaja dan ikut bertanggung jawab agar turut menunjang keberhasilan pelaksanaan kegiatan tersebut Ishomuddin (2001:165). Berdasarkan penjelasan diatas, kegiatan tersebut antara lain mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan kritik dan koreksi atas pelaksanaan sebuah kebijakan, dan mendukung atau menentang calon pemimpin tertentu, mengajukan alternatif pemimpin, dan memilih wakil rakyat dalam sebuah pemilihan umum.

Semakin hari masyarakat berkembang menjadi sangat kritis dan selalu mengevaluasi apa saja hasil yang telah diraih oleh pasangan yang memenankan pemilu. Apabila program kerja yang diusung pasangan tidak terlaksana dan tidak sesuai dengan janji saat kampanye pemilu,


(42)

31

masyarakat akan menentukan keputusan untuk tidak memilihnya kembali pada pemilu tahun berikutnya.

1. Tipologi Partisipasi Politik

Rahman (2007:288) dalam bukunya Sistem Politik Indonesia, membagi partisipasi politik sebagai kegiatan menjadi tiga jenis, yakni:

a. Partisipasi aktif yakni kegiatan untuk mengajukan usul mengenai suatu kebijakan, mengajukan kritik terhadap suatu kebijakan yang ada, membayar pajak dan ikut serta dalam memilih pemimpin atau pemerintahan. Kondisi ini menunjukkan bahwa partisipasi dapat berorientasi pada proses input dan output.

b. Partisipasi pasif yaitu, kegiatan berupa sikap yang menaati pemerintahan, menerima dan melakasanakan apa saja yang diputuskan oleh pemerintah, serta hanya berorientasi pada output.

c. Golongan Putih (Golput) atau kelompok apatis, golongan ini menganggap sistem politik yang ada saat


(43)

32

ini telah jauh bergeser dari apa yang sebelumnya sudah dicita-citakan.

Sedangkan menurut Milbarth dan Goel (1997) partisipasi dapat dibedakan menjadi beberapa kategori, yakni :

a. Kelompok Apatis, anggota dari kelompok ini ialah orang yang tidak akan berpartisipasi dan cenderung menarik diri dari kegiatan politik.

b. Spektator, kelompok ini setidaknya penah memberikan haknya untuk memilih dalam pemilihan umum.

c. Gladiator, anggota kelompok ini terdiri dari mereka yang secara aktif mengikuti kegiatan politik seperti aktivis partai, aktivis masyarakat, komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, serta pekerja kampanye.

d. Pengeritik, kelomopok ini mengikuti kegiatan politik namun tidak dalam bentuk partisipasi konvensional.


(44)

33

Olsen (1997) memandang partisipasi politik sebagai sudut pandang utama stratifikasi sosial. Partisipasi politik dibagi menjadi enam lapisan, yaitu pemimpin politik, aktivitas politik, komunikator (orang yang bertugas menyampaikan dan menerima ide-ide, perilaku dan informasi politik lain kepada orang lain), warga negara, kelompok marginal (kelompok yang sangat sedikit melakukan aktivitas sistem politik), dan masyarakat terisolasi (masyarakat yang jarang melakukan kontak dengan sistem politik).

2. Model Partisipasi Politik

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam dalam proses politik ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik). Berdasarkan tinggi rendahnya kedua faktor tersebut, Paige (1971:810-820) membagi partisipasi menjadi empat tipe. Adapun tipe tersebut antara lain :


(45)

34

a. Partisipasi Cenderung Aktif merupakan kondisi yang dimiliki oleh seseorang yang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah yang tinggi.

b. Partisipasi Cenderung Pasif - Apatis (tertekan) merupakan kondisi dimana seseorang atau masyarakat yang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah rendah.

c. Militan Radikal, yakni kondisi yang dimiliki seseorang atau masyarakat apabila kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat rendah.

d. Partisipasi Tidak Aktif (pasif), kondisi ini terjadi apabila kesadaran politik sangat rendah tetapi kepercayaan kepada pemerintah sangat tinggi.

Kedua faktor diatas tidaklah berdiri sendiri (variabel independent) melainkan dipengaruhi pula oleh faktor lain seperti status sosial (kedudukan seseorang dalam masyarakat karena keturunan, pendidikan dan pekerjaan),


(46)

35

status ekonomi yakni kedudukan seseorang berdasarkan kepemilikan kekayaan, afiliasi politik orang tua dan pengalaman berorganisasi.

Hubungan faktor-faktor tersebut dapat digambarkan sebagai berikut, dimana status sosial dan ekonomi, afiliasi politik orang tua dan pengalaman berorganisasi dikelompokkan sebagai variabel pengaruh atau variabel independent. Kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah dikategorikan sebagai intervening variabel. Sedangkan partisipasi politik dikategorikan sebagai variabel terpengaruh atau variabel dependen.

3. Perilaku Memilih

Kerikut sertaan masyarakat dalam pemilihan umum merupakan serangkaian kegiatan guna membuat keputusan apakah turut serta dalam pemilihan umum atau tidak. Menurut Surbakti (2010:186) ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk menganalisis alasan dasar yang digunakan masyarakat dalam memilih seseorang, yakni :


(47)

36

a. Struktural

Pendekatan ini melihat kegiatan memilih sebagai bagian dari konteks struktur yang lebih luas seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemerintahan umum, permasalahan, dan program yang ditonjolkan setiap partai. Struktur sosial yang menjadi kemajemukan politik tersebut berupa perbedaan agama, bahasa dan nasionalisme, basis sosial sistem partai, jumlah partai, dan program-program yang ditonjolkan karena perbedaan struktur sosial tersebut.

b. Sosiologis

Pendekatan sosiologis lebih menempatkan kegiatan memilih dalam kegiatan konteks sosial. Model sosiologis ini tidak akan mengembangkan ikatan psikologis dengan partai politik yang melandaskan para pengaruh keluarga, melainkan lebih fokus pada pengaruh dari keseimbangan sosial, yang mencerminkan berbagai permasalahan perpecahan dan ketegangan di lingkungan masyarakat.


(48)

37

Pada sadarnya, pilihan seseorang dalam pemilihan umum dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi. Kondisi tersebut antara lain jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas dan pendapatan serta agama. Pada model ini penjelasan yang berhubungan dengan sosial dapat diterima dengan akal sejauh kepentingan-kepentingan kelompok data membentuk kesetiaan partai politik.

c. Ekologis

Pendekatan ini hanya relevan apabila dalam sebuah daerah pemilihan memiliki perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit territorial, seperti desa, kelurahan, kecamatan dan kabupaten. Kelompok masyarakat seperti tipe penganut agama tertentu, buruh, kelas menengah, mahasiswa, suku tertentu, dan profesi tertentu yang bertempat tinggal pada unit teriotorial sehingga perubahan komposisi penduduk yang tinggal di unit territorial dapat dijadikan sebagai penjelasan atas perubahan hasil pemilihan umum.


(49)

38

Pendekatan ekologis ini penting sekali digunakan karena karakteristik data hasil pemilu untuk masing-masing tingkat berbeda. Seperti hasil pemilu di provinsi berbeda dengan karakteristik data di kabupaten, atau karakteristik data di kabupaten berbeda dengan yang ada di kecamatan.

d. Psikologis sosial

Salah satu konsep yang digunakan ialah identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Dengan kata lain, partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor lain.

e. Pilihan Rasional

Pendekatan rasional ini melihat kegiatan memilih sebagai kalkulasi untung dan rugi, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa para pemilih secara individu


(50)

39

menentukan partai pilihan mereka berdasarkan kepentingan pribadi personal.

Adapun hal yang menjadi pertimbangan ialah

bukan hanya “ongkos” memilih dan kemungkinan

suaranya dapat mempengaruhi hasil yang diharapkan melainkan pertimbangan dari segi untung dan rugi yang digunakan untuk membuat keputusan tentang partai atau kandidat yang akan dipilih, terutama digunakan untuk menentukan keputusan apakah akan ikut memilih atau tidak. Akan tetapi kondisi ini digunakan oleh pemilih dan kandidat yang hendak mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat pemerintah.

Dalam proses memahami bagaimana pilihan rasional akan mempengaruhi keputusan seseorang untuk memilih, Williams dalam Ishiyama dan Breuning (2013:1310) menjelaskan bahwa diperlukan sebuah kajian yang lebih mendalam pada model pilihan Rasional ini. Pilihan rasional berasumsi bahwa individu


(51)

40

memiliki informasi secara lengkap tentang biaya dan manfaat mereka memberikan pilihan.

Penentuan sikap untuk memilih mengharuskan seseorang mengetahui terlebih dulu biaya dan manfaat dari pemberian pilihan, hal ini dilakukan untuk membuat perbedaan yang mendasari pilihannya. Biaya tersebut sangat bervariasi jenisnya, ada biaya yang dikhususkan untuk pemilih itu sendiri seperti uang transportasi untuk menuju ke lokasi pemilihan, ataupun uang pengganti karena mengorbankan waktu kerja dengan meninggalkan pekerjaan yang sedang dijalani, maupun meninggalkan waktu untuk aktivitas lainnya demi mengikuti proses pemilihan umum.

2.2.3. Modalitas

Piere Bourdieu (1986) membagi modal dalam empat bentuk, yakni modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik, bentuk ini di deskripsikan dalam bukunya The Forms of Capital, namun dalam penelitian ini peneliti hanya memfokuskan pada modal politik, modal


(52)

41

sosial dan modal budaya. Menurutnya definisi dari modal itu sangat luas dan mencakup hal-hal yang bersifat material (dapat memiliki nilai yang simbolik), serta modal budaya (yang dikategorikan sebagai minat bernilai budaya dan pola-pola konsumsi).

Menurut Bourdieu modal memiliki peran sebagai relasi sosial yang berada di dalam sebuah sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas pada segala bentuk barang baik berupa materiil ataupun berupa simbol, modal mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk di cari dalam sebuah formasi sosial tertentu. Bourdieu juga menyatakan memandang modal sebagai basis dari dominasi, cukup banyak jenis modal yang dapat ditukar dengan jenis-jenis modal lainnya, hal ini menjelaskan bahwa artian modal memiliki sifat dapat ditukar.

Penukaran paling hebat yang telah berhasil dilakukan adalah penukaran pada modal simbolik, sebab dalam bentuk inilah modal yang berbeda dapat dipersepsikan dan dikenali sebagai sesuatu yang dianggap sah (legitimate).


(53)

42

Agar dipandang sebagai seseorang atau kelas yang berstatus, dan mempunyai nilai lebih (prestise), berarti ia harus diterima sebagai sesuatu yang dianggap sah (legitimate).

Dalam proses pelaksanaan pemilukada, kandidat yang kemungkinan akan memenangkan pemilukada jikalau ia memiliki modalitas yang terbangun. Modal utama yang harus dimiliki oleh kandidat yang ingin maju ialah modal politik, modal sosial dan modal ekonomi. Pasangan calon kepala daerah akan berpeluang besar memenangkan dan terpilih apabila memiliki akumulasi lebih dari satu modal, asumsinya semakin besar pasangan calon mampu mengakumulasikan ketiga modal itu, maka semakin besar peluang untuk terpilih sebagai kepala daerah.

Berikut akan dijelaskan beberapa tipe modal utama yang harus dimiliki kandidat yang hendak mencalonkan diri sebagai kepala daerah pada Pemilukada langsung, modalitas tersebut yakni :


(54)

43

1. Modal Politik

Definisi dari modal politik dalam kajian ilmu sosial jauh lebih sedikit dibanding publikasi model jenis lainnya, yakni modal simbolik (symbolic capital), modal sosial (social capital), modal budaya (cultural capital) maupun modal ekonomi (economy capital).

Dalam pemilukada pasangan calon memerlukan dukungan politik yang didapat dari partai politik. Partai politik merupakan organisasi politik yang dapat mengajukan seorang kandidat dalam pemilukada untuk menempati posisi politik di pemerintahan dan kemudian di pilih oleh masyarakat. Pemilihan umum sendiri merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk menentukan orang-orang yang nantinya akan mewakili rakyat dalam pemerintahan.

Pasangan calon akan berusaha mencari sebanyak mungkin koalisi partai politik untuk dapat mengusungnya di pemilukada, baik yang memperoleh kursi di DPRD dari hasil pemilukada maupun yang tidak memiliki kursi.


(55)

44

Dalam kondisi ini fungsi dari partai politik sebagai alat mobilisasi dukungan tergolong kecil sehingga pasangan yang ingin memenangkan suaranya haruslah tetap memanfaatkan jaringan organisasi politik untuk memperoleh dukungan politik, karena pengaruh figur kandidat akan menjadi fokus utama dalam kompetisi di pemilukada.

Menurut A. Hick dan J. Misra (1993) ia menyampaikan bahwa modal politik merupakan fokus pemberian kekuasaan/sumber daya untuk dapat merealisasikan hal-hal yang dapat membantu mewujudkan kepentingan. Jadi pada intinya, modal politik merupakan kekuasaan yang dimiliki oleh seseorang, kekuasaan tersebut bisa dioperasikan atau dapat berkontribusi terhadap keberhasilan kontestasinya dalam proses politik seperti pemilihan umum.

Casey dalam Sudirman Nasir (2009) menjelaskan bahwa definisi modal politik digunakan untuk pendayagunaan keseluruhan modal yang dimiliki oleh


(56)

45

seorang pelaku politik atau sebuah lembaga politik guna menghasilkan tindakan politik yang menguntungkan dan dapat memperkuat posisi pelaku politik atau lembaga politik bersangkutan.

Casey mengemukakan adanya empat dimensi politik yang dapat berpengaruh pada besaran modal politik yang dimiliki oleh seorang pelaku politik atau sebuah lembaga politik. Dimensi pertama ialah pemilu, karena pemilu merupakan instumen dasar untuk memilih pemimpin dalam sistem demokrasi, dimensi kedua ialah perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan publik.

Dimensi ketiga ialah dinamika hubungan dan konflik yang terjadi antara pelaku politik dan lembaga politik dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan publik, serta dimensi politik keempat ialah pendapat atau pandangan umum (public opinion) terkait pelaku politik atau lembaga politik tersebut.

Modal simbolik dalam hubungannya dengan dinamika politik dapat dimaknai sebagai besaran


(57)

46

legitimasi, reputasi, dan tingkat penghormatan (respect) yang dapatkan oleh pelaku-politik maupun lembaga politik, sebagai akibat dari tindakan politik yang dilakukan maupun yang tidak dilakukan olehnya.

Pemilihan umum digunakan untuk melaksanakan sirkulasi elit dalam mengisi jabatan politik dalam sebuah pemerintahan. Elit dalam sebuah politik harus memiliki keunggulan tersendiri, prosentase kemenangan pasangan kandidat yang di dasari oleh besar atau dominannya suara partai politik tidak menjamin ia akan memenangkan pilkada secara langsung. Kondisi ini dikarenakan figur pasangan lebih kuat dibandingkan dengan koalisi partai politik pendukung.

Selain dukungan dari partai politik, Haryanto (2005) mengemukakan bahwa seorang pasangan calon juga harus berusaha sebanyak mungkin memperoleh dukungan dari elit politik lokal, serta kekuatan-kekuatan non politik, seperti organisasi keagamaan, organisasi pemuda dan lainnya.


(58)

47

2. Modal Sosial

Modal sosial merupakan sumberdaya sosial yang bisa digunakan sebagai investasi untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan berbersama-sama didalam kelompok. Dalam buku The Form of Capital, Pierre Bourdieu (1986) mengemukakan definisi dari modal sosial merupakan sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang, dimana berasal dari jaringan sosial yang terlembaga.

Kondisi ini terjadi secara terus-menerus berbentuk pengakuan keanggotaan dalam sebuah kelompok sosial yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan yang bersifat kolektif. Bourdieu juga menegaskan tentang model sosial sebagai sesuatu yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya baik dari segi ekonomi, budaya maupun bentuk modal sosial lainnya berupa institusi lokal maupun kekayaan sumber daya alamnya.


(59)

48

Sumberdaya sosial tersebut dapat dikategorikan seperti tingkat pendidikan, pekerjaan awal, ketokohannya di lingkungan masyarakat (tokoh agama, tokoh adat, organisasi pemuda, profesi dan sebagainya). Pengaruh ketokohan dan popularitas, latar belakang pendidikan dan pekerjaan kandidat menentukan pemenangan pemilukada, karena untuk membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat kandidat harus memiliki pengaruh tersebut.

Nurhasim (2003:8) menjelaskan bahwa latar belakang sosial tersebut merupakan modal sosial yang harus dimiliki oleh pasangan calon guna membangun relasi dan kepercayaan dari masyarakat, dimana kekuasaan juga dapat diperoleh dengan adanya kepercayaan.

Kepercayaan digunakan untuk memperoleh kekuasaan atau kedudukan, kepercayaan diberikan kepada seseorang atau sekelompok orang yang memang dapat dipercaya, dengan membawa kepercayaan dari masyarakat. Apabila kekuasaan yang sudah diberikan di


(60)

49

langgar, maka tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemegang kekuasaan sudah hilang.

Fitriyah (2011:4) mengemukakan bahwa modal sosial merupakan syarat yang harus dilaksanakan bagi pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, sosial, politik dan stabilitas dalam demokrasi. Apabila modal sosial lemah, maka semangat gotong royong akan berkurang, menambah tingkat kemiskinan dan pengangguran, kriminalitas meningkat, dan menjadi sumber penghalang dalam peningkatan kesejahteraan penduduk.

Para ahli dalam mendefinisikan modal sosial dibagi menjadi dalam dua kelompok. Kelompok pertama yakni lebih menekankan pada jaringan hubungan sosial (sosial network), sedangkan kelompok kedua cenderung menekankan pada karakteristik yang melekat (embedded) pada diri individu yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial, pembagian ini di kemukakan oleh Jamaluddin Ancok (2003).


(61)

50

Definisi lain dari modal sosial di kemukakan oleh Fukuyama (1995) yakni, merupakan serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal yang dimiliki secara bersama diantara anggota sebuah kelompok yang memungkinkan terjadinya dan terjalinnya kerjasama antar mereka. Ia mengatakan bahwa modal sosial memiliki peranan yang sangat penting dalam memberi fungsi dan memperkuat kehidupan masyarakat modern.

Kepercayaan (trust) jadi unsur penting dalam kajian Fukuyama yang berhubungan dengan kebajikan sosial dan modal sosial. Fukuyama mengeksplorasi modal sosial guna menjelaskan bahwa masyarakat dengan tingkat kepercayaan yang tinggi, dijamin akan sukses menjalankan visi dan misinya (high-trust society).

Sebaliknya, sikap curiga, suka menaruh kecewa kepada unit masyarakat yang lain, dan selalu cemburu satu sama lain merupakan indikasi rendahnya kepercayaan. Dalam kata lain, apabila seseorang yang terpilih dalam pemilihan umum tidak didasari oleh modal


(62)

51

sosial berupa kepercayaan yang tinggi, maka kedepannya akan sulit menjalankan misi politik sehari-hari.

Secara umum Modal sosial dapat digambarkan dengan dukungan figur kandidat karena ketokohan sehingga adanya kepercayaan dari masyarakat menciptakan interaksi sosial dan adanya jaringan-jaringan yang mendukung.

3. Modal Budaya

Penggunaan istilah modal budaya ini pertama kali di kemukakan oleh Pierre Bourdieu dan Jean-Claude

Passeron dalam “Cultural Reproduction dan Social Reproduction (1973). Modal budaya merupakan sebuah konsep sosiologi yang mendapatkan popularitas tinggi sejak konsep ini di kemukakan oleh Pierre Bourdieu.

Menurutnya modal budaya merujuk kepada aset bukan fiskal yang melibatkan ilmu pendidikan, sosial dan intelektual. Modal budaya dapat mencakup rentangan luas properti, seperti seni, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa. Modal budaya juga merupakan pengetahuan atau


(63)

52

selera yang memiliki nilai secara budaya dan pola-pola konsumsi. Modal ini juga menjadi penentu kedudukan sosial seseorang, dimana cita rasa ditentukan secara sosial. Modal budaya merupakan dimensi yang lebih luas dari habitus. Individu memperoleh modal ini sejak ia kecil dimana modal ini sudah terbentuk dan terinternalisasi secara sendiri, salah satunya melalui ajaran orang tuanya dan pengaruh lingkungan keluarganya. Dapat dikatakan bahwa modal budaya ini dibentuk sendiri oleh lingkungan sosial yang beranekaragam serta pendidikan yang diperoleh individu tersebut, pendidikan tersebut bisa berupa pendidikan formal maupun warisan budaya dari keluarga.

Individu tersebut dapat memahami tentang modal budaya secara tidak sadar, karena dengan cara itulah kondisi ini akan berfungsi secara optimal. Modal budaya terdiri dari beberapa dimensi, dimensi tersebut antara lain ialah :


(64)

53

- Pengetahuan obyektif tentang seni dan budaya - Cita rasa budaya (cultural taste) dan preferensi - Kualifikasi formal (seperti gelar yang di dapat dari

univeristas)

- Kemampuan budayawi dan pengetahuan praktis - Kemampuan untuk membuat perbedaan antara

yang baik maupun yang buruk, serta kemampuan untuk dibedakan.

Modal budaya memberikan kemungkinan bagi kita untuk memperoleh kesempatan dalam hidup, karena modal budaya menghasilkan kesetaraan maupun ketidaksetaraan yang akan terus memotivasi manusia untuk memenuhi kebutuhannya dalam mencapai kelas sosial tertentu. Modal sendiri dapat di peroleh jika individu memiliki habitus yang sesuai dalam hidupnya.

Dalam kebudayaan masyarakat Indonesia, hasil pemikiran Bourdieu memberikan manfaat secara signifikan dalam upaya memahami dan menganalisis kesenjangan sosial-budaya ekonomi, dan politik yang


(65)

54

terjadi di masyarakat, karena modal budaya dan habitus dapat membantu memberi pencerahan terhadap bentuk dan struktur budaya.

Kondisi ini sesuai dengan masyarakat di Indonesia yang sangat mengenal apa yang dinamakan kelas sosial, dimana individu yang memiliki status sosial lebih tinggi jauh lebih dihormati dan dikenal dari pada individu yang memiliki status sosial biasa maupun rendah.

4. Modal Ekonomi

Dalam pelaksanaan pemilukada setiap pasangan maupun koalisi partai politik pasti mempersiapkan modalitas ekonomi atau dana politik yang tidak sedikit, karena berkaitan dengan pembiayaan yang besar atau berdasarkan penggunaan atas dana politik tersebut.

Definisi dari modal politik diawali dari adanya pemahaman terhadap barang atau benda yang memiliki nilai ekonomis yang disebut sebagai uang/mata uang. Kalau dilihat dari segi ekonomi, modal bisa berupa hasil investasi yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain


(66)

55

atau pihak lain, kemudian ditukarkan dengan keuntungan baik berupa barang atau uang/jasa politik.

Modal ekonomi memiliki peranan yang sangat penting sebagai roda penggerak dan memperlancar mesin politik yang digunakan. Dalam musim pemilihan umum, dana yang dibutuhkan pada umumnya berada dalam angka yang besar. Uang tersebut digunakan untuk membiayai kebutuhan kampanye seperti mencetak baliho, spanduk, membayar iklan, dan berbagai kebutuhan lainnya. Bahkan modal ekonomi dapat menjadi syarat utama saat calon tersebut bukan berasal dari partai politik yang dicalonkannya.

Pakar ekonomi telah lama membahas tentang modal (capital), kajian lebih khusus berada pada modal ekonomi atau finansial (financial capital). Modal ekonomi atau financial merupakan sejumlah uang yang dapat dipergunakan untuk membeli fasilitas dan alat produksi perusahaan (misalnya pabri, alat kantor, maupun


(67)

56

kendaraan) atau uang yang dapat disimpan untuk investasi masa depan.

Konsep modal seperti ini cenderung mudah dipahami oleh orang awam, kegiatan membelanjakan atau menginvestasikan uang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat dengan pemikiran yang jelas. Dengan kata lain modal finansial atau ekonomi mudah untuk diukur, karena jumlah uang yang dibelanjakan dapat di identifikasi dengan barang yang dibeli.

Modal politik dan modal ekonomi saling berkaitan dalam kegiatan politik yang menekankan kepada interaksi spontan yang terjadi antara pemilih dan calon politik. Waktu yang relatif pendek dalam sosialisasi diri pasangan calon, lebih mendorong penggunaan modal ekonomi sebagai jalan pintas.

Kondisi seperti ini banyak terjadi di negara-negara berkembang yang masih dalam tahapan transisi menuju pemilu rasional dan penciptaan pemilih rasional. Pilihan publik dalam sebuah pemilihan umum pada perspektif


(68)

57

politik dan ekonomi merupakan proses dimana keputusan individu dikombinasikan kedalam keputusan kolektif.

Pasangan calon membutuhkan dukungan dari segi ekonomi, selain dari dana kandidat pribadi juga dana bisa berasal dari aktor-aktor ekonomi yang membiayai semua kegiatan politik kandidat dengan tujuan memenangkan pilkada. Sahdan dan Haboddin (2009:120-121) menyatakan bahwa proses politik pilkada membutuhkan biaya/ongkos yang sangat mahal.

Kondisi ini menyebabkan tantangan bagi pengembangan demokrasi dalam sektor lokal, dimana kandidat yang bertarung merupakan para pemilik modal/uang yang besar. Tingginya biaya yang dikeluarkan saat pilkada disebabkan oleh 3 (tiga) faktor, yakni :

- Pasangan calon kepala daerah yang akan bertarung diwajibkan membeli partai politik sebagai kendaraan politik. Partai politik yang akan dijadikan kendaraan dalam pilkada mewajibkan pasangan


(69)

58

calon untuk membayar dana sumbangan dalam jumlah besar

- Model kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon membutuhkan banyak biaya untuk pembuatan poster, pemasangan iklan di media massa, baik di media cetak maupun media elektronik.

- Adanya praktek politik uang di setiap proses pentahapan pemilukada, guna mempengaruhi pemilih uuntuk memberikan suaranya kepada seorang pasangan calon. Praktek uang ini biasanya terlihat sangat menonjol saat kampanye berlangsung dan menjelang pemungutan suara.

Sahdan dan Haboddin (2009) menambahkan bahwa setiap proses penyelenggaraan pilkada membutuhkan

“dana politik” untuk memenuhi biaya dari kegiatan

tersebut. Istilah dana politik ini dapat dibedakan berdasarkan sumber dana dan penggunaan, yaitu :

a. Dari sumbernya, dana ini bersumber dari sumbangan pasangan calon, sumbangan dari


(70)

59

simpatisan (donatur) baik secara perseorangan maupun perusahaan.

b. Dari sisi pengguna, dana digunakan untuk membiayai aktivitas rutin partai politik dan pengeluaran kampanye. Dalam konteks pilkada, penggunaan dana politik tidak hanya untuk pengeluaran kampanye seperti pencetakan brosur, konvoi, biaya transport, konsumsi, cetak kaos, poster dan iklan. Melainkan juga untuk membayar partai politik yang akan dijadikan kendaraan politik, dan membeli suara masyarakat.

Hal inilah yang mendasari mengapa dana politik yang digunakan sangat mahal, karena pelaksanaan pemilukada sejak persiapan, kampanye, hingga proses pemungutan suara serta pemberian dana politik lainnya membutuhkan uang. Besarnya modalitas kandidat terkadang menjadi alasan sebuah partai politik bersedia mengusung pasangan calon tersebut dan mengambil keuntungan dari kekuatan mobilitas kandidat


(71)

60

Secara garis besar modal ekonomi dapat dirangkum secara singkat, yakni dukungan ekonomi berupa dana politik baik bersumber dari dana pribadi maupun donator. Sedangkan berdasarkan penggunaannya, dana politik umunya digunakan untuk membayar partai politik pengusung, untuk pelaksanan kampanye dan untuk pembelian suara kepada masyarakat, semuanya dilaksanakan dalam upaya pemenangan pilkada.

2.3.Kerangka Pemikiran

Gambar 2.1. Kerangka Pikir Teoritis

Kemenangan koalisi

Suharsono-Halim dalam Pemilukada

Kabupaten Bantul tahun 2015

Koalisi Partai politik

Partisipasi Politik

Modalitas :

a.

Modal politik

b.

Modal sosial

c.

Modal budaya

d.

Modal ekonomi


(72)

61

2.4. Definisi Konsepsional

Definisi konsepsional adalah suatu pemikiran umum yang berusaha untuk menjelaskan mengenai pembatasan pengertian antara konsep yang satu dengan yang lainnya agar tidak terjadi kesalahpahaman. Definisi konsepsional juga merupakan penggambaran hubungan konsep-konsep khusus yang akan menentukan variabel-variabel yang akan saling berhubungan. Maka definisi konsepsional dari masing-masing variabel dapat dilihat sebagai berikut :

1. Koalisi partai politik merupakan gabungan antara dua partai atau lebih yang memiliki visi, misi, dan tujuan yang sama untuk membentuk suatu pemerintahan yang kuat. Hakikat dari sebuah koalisi ialah untuk membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri (autonomus) dan tahan lama (durable).

2. Partisipasi Politik merupakan salah satu kegiatan yang dilaksanakan oleh masyarakat dalam proses mempengaruhi sebuah keputusan atau kebijakan


(73)

62

dalam sebuah pemerintahan. Partisipasi merupakan salah satu aspek peting dalam pelaksanaan demokrasi. 3. Modalitas merupakan sumberdaya dasar yang dimiliki oleh pasangan calon untuk memenangkan pemilu kepala daerah, modal tersebut dibagi menjadi tiga bagian yakni modal politik, modal sosial, modal budaya dan modal ekonomi

2.5. Definisi Operasional

Definisi Operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain definisi operasional adalah petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Melalui definisi operasional akan ditentukan gejala atau indikator variabel dan bagaimana mengukur gejala atau indikator tersebut. Adapun definisi operasional yang digunakan oleh peneliti ialah :


(74)

63

1. Koalisi Partai Politik

- Bentuk Koalisi yang Dibangun 2. Partisipasi Politik

- Tingkat Partisipasi Pemilih 3. Modalitas

- Modal Politik - Modal Sosial - Modal Budaya - Modal ekonomi

Tabel 2.2. Matriks Definisi Operasional

No Variabel Dimensi Indikator

1 Faktor yang mempengaruhi

1. Koalisi partai politik 1. Koalisi Kemenangan Minimal

2. Partipasi Politik

1. Tingkat partisipasi masyarakat dilihat dari perbandingan pilkada sebelumnya dan

perbandingan antara kabupaten 3. Modalitas 2. Modal yang digunakan

a. Modal Politik a. Partai Politik, Jaringan, Isu politik

b. Modal Sosial b. Kondisi sosial masyarakat, c. Modal Budaya c. Pengaruh Budaya, gelar dan

jabatan

d. Modal Ekonomi d. Sumber dana politik, alokasi dana


(75)

64

BAB III

METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Bantul, peneliti menentukan Kabupaten Bantul sebagai lokasi penelitian dikarenakan dari 4 Kabupaten/Kota di DIY Kabupaten Bantul memiliki fenomena pemilu yang cukup unik, dimana partai dengan koalisi gemuk yang memiliki basis masa cukup banyak dapat dikalahkan dengan partai koalisi yang memiliki basis masa tidak sebanyak partai pesaingnya.

Tidak hanya itu Kabupaten Bantul juga memiliki cerita tersendiri di setiap pilkada yang dilaksanakan, dalam website resmi pemerintah Kabupaten Bantul dapat dilihat dengan awal menjabatnya M.Idham Samawi pada periode kepemimpinan 1999-2004 yang kemudian digantikan oleh Mujono NA, dimana ia hanya menjabat beberapa bulan saja yakni pada bulan Desember 2004-Januari 2005 dikarenakan tutup usia.

Di periode selanjutnya Bupati Bantul dijabat kembali oleh bupati sebelumnya yakni M.Idham Samawi pada periode


(76)

65

2005-2010 ia terpilih kembali melalui pilkada langsung pada tahun 2005, setelah masa jabatannya selesai posisi Bupati Bantul digantikan oleh istrinya sendiri yakni Sri Surya Widati pada periode 2010 – 2015.

Dinamika politik kekeluargaan yang terjadi di Kabupaten Bantul ini oleh masyarakat setempat di beri sebutan sebagai

“Dinasti Samawi”. Pada pemilu tahun 2015 Sri Surya Widati

mencalonkan dirinya kembali, namun bukan kemenangan melainkan kekalahan yang di raih olehnya, hal ini secara otomatis menghentikan politik Dinasti Samawi yang terjadi. Salah satu hal unik seperti ini lah yang menyebabkan peneliti berminat untuk melaksanakan penelitian di wilayah Kabupaten Bantul.

3.2. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berhubungan dengan ide, persepsi, pendapat, kepercayaan orang yang akan diteliti dan kesemuanya tidak dapat di ukur dengan angka. Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan


(77)

66

alat-alat yang menjadi perwakilan intensitas atau frekuensi, peneliti langsung menggunakan dirinya sebagai perangkat penelitian, mengupayakan dengan maksimal kedeketannya dengan objek ataupun subjek penelitiannya.

Metode penelitian ini digunakan oleh peneliti memiliki tujuan untuk mengungkapkan fakta dan femonena yang di temukan dalam menentukan faktor kemenangan pasangan Suharsono-Halim dalam pemenangan pemilukada Kabupaten Bantul tahun 2015, menyuguhkan dengan apa adanya tanpa ada rekayasa dari peneliti dan sesuai dengan tujuan penelitian. Kondisi ini sesuai dengan tujuan dari metode penelitian itu sendiri, yakni untuk mengungkap fakta, fenomena, variabel dan keadaan yang terjadi saat penelitian berlangsung serta menyuguhkan kondisi yang apa adanya tanpa rekayasa dari peneliti.

Dilansir dari website Informasi Pendidikan (2016) Penelitian deskriptif kualitatif juga menafsirkan dan menggambarkan data yang bersangkutan dengan situasi yang


(1)

172 (Relawan Perubahan) dan 14 PAC PDIP (Relawan Jas Merah)

b. Modal sosial

Menunjukkan bahwa faktor kemenangan koalisi pasangan Suharsono-Halim dalam pemenangan pemilukada tahun 2015 disebabkan karena memang memiliki modal sosial yang meliputi basis massa, dan ketokohan. Basis massa ini terdiri dari keluarga besar pasangan calon Bupati dan calon Wakil bupati, baik di tingkat desa maupun di tingkat kecamatan, serta di organisasi-organisasi masyarakat yang berhasil dirangkul.

Kondisi ini didukung karena Suharsono dan Halim merupakan bagian dari pengurus dari Nahdatul Ulana (NU) yang menjadi basis masa di Kabupaten Bantul. Konflik yang terjadi saat pelaksanaan kampanye pasangan lawan yakni Ida-Munir juga berpengaruh terhadap tingkat partisipasi masyarakat untuk memilih


(2)

Suharsono-173 Halim, karena masyarakat merasa pasangan ini mampu membawa perubahan kearah yang lebih baik.

c. Modal budaya

Menunjukkan bahwa faktor kemenangan koalisi pasangan Suharsono-Halim dalam pemenangan pemilukada tahun 2015 disebabkan karena memang memiliki modal budaya, karena latar belakang pendidikan militer yang dimiliki oleh Suharsono menjadi salah satu modal yang tergolong kuat. Serta adanya loatar belakang keluarga yang memiliki citra baik, secara otomatis akan mendongkrak reputasi pasangan calon. Didukung pula oleh riwayat Halim yang merupakan ketua DPC PKB Kabupaten Bantul, dan ia pernah menjabat sebagai anggota DPRD di Provinsi DIY.

Selain itu budaya kepemipinan dinasti politik yang kaku dan cenderung otoriter pada


(3)

174 kepemimpinan sebelumnya dengan julukan yang

diberikan yakni “si tangan besi” menjadi salah satu

modal yang bisa dimanfaatkan agar kepemimpinan Suharsono-Halim tidak seperti itu dan lebih memfokuskan terhadap kesejahteraan masyarakat d. Modal ekonomi

Menunjukkan bahwa faktor kemenangan koalisi pasangan Suharsono-Halim dalam pemenangan pemilukada tahun 2015 disebabkan karena memang memiliki modal ekonomi. Modal ekonomi tersebut diperoleh dari partai koalisi, pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati yakni Suharsono-Halim, serta dari relawan yang mendukung pasangan ini. Dengan adanya regulasi baru yang dikeluarkan oleh pemerintah yakni undang-undang No 8 Tahun 2015 yang kemudian diturunkan kedalam PKPU nomor 7 tahun 2015. Fasilitas kampanye pada pemilukada Kabupaten Bantul sebagian besar di kelola oleh KPU, maka


(4)

175 modal politik yang dimiliki oleh Pasangan Suharsono-Halim terfokus pada penambahan atribut kampanye seperti kaos, stiker, pendanaan kampanye umum yang tidak dikelola oleh KPU dan memberi bantuan kepada masyarakat seperti pembuatan sarana prasarana umum di daerah yang membutuhkan.

6.2. Saran

1. Untuk meningkatkan kemenangan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dalam sebuah Pemilukada kuota minimum kursi di DPRD sejumlah 9 kursi itu tidak cukup. Oleh karena itu harus dinaikkan minimal 12 kursi, agar partai yang mendukung benar-benar mampu memenangkan pasangan tersebut.

2. Regulasi dalam pelaksanaan pemilukada hendaklah tidak berubah-ubah, agar dapat dijadikan Patokan untuk pemilu selanjutnya dan evaluasi pemilu yang sebelumnya

3. Meningkatkan sistem pengawasan pemilu yang baik agar tidak ada kekerasan dalam proses kampanye berlangsung


(5)

FAKTOR KEMENANGAN KOALISI SUHARSONO-HALIM DALAM PEMENANGAN PEMILU KEPALA DAERAH

KABUPATEN BANTUL TAHUN 2015

"Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelardalam

Magister Ilmu Pemerintahan"

TESIS

Disusun Oleh : MASDIYAN PUTRI

20141040047

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016


(6)

FAKTOR KEMENANGAN KOALISI SUHARSONO-HALIM DALAM PEMENANGAN PEMILU KEPALA DAERAH

KABUPATEN BANTUL TAHUN 2015

"Diajukan kepada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelardalam

Magister Ilmu Pemerintahan"

TESIS

Disusun Oleh : MASDIYAN PUTRI

20141040047

MAGISTER ILMU PEMERINTAHAN PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016