Penyelesaian perkara tindak pidana perzinahan Yang dilakukan prajurit tni di pengadilan Militer ii 11 yogyakarta

(1)

Penyelesaian perkara tindak pidana perzinahan Yang dilakukan prajurit tni di pengadilan

Militer ii-11 yogyakarta

Penulisan Hukum (Skripsi)

Disusun dan diajukan untuk

Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh Tera Kumalasari NIM : E.1104207

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008


(2)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN PRAJURIT TNI DI PENGADILAN

MILITER II-11 YOGYAKARTA

Disusun oleh : TERA KUMALASARI

NIM : E.1104207

Disetujui untuk Dipertahankan Dosen Pembimbing

Edy Herdyanto, S.H., M.H. NIP. 131 472 194


(3)

PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum ( Skripsi )

PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN PRAJURIT TNI DI PENGADILAN

MILITER II-11 YOGYAKARTA Disusun oleh :

TERA KUMALASARI E. 1104207

Telah diterima dan di sahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada : Hari : Selasa

Tanggal : 22 April 2008 TIM PENGUJI

1. Kristiyadi, S.H., M.H. Ketua

: ……….

2. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. Sekretaris

: ……….

3. Edy Herdyanto, S.H., M.H Anggota

: ……….

MENGETAHUI Dekan,

Mohammad Jamin, S.H.,M.Hum NIP. 131 570 154


(4)

Motto

Terus menuntut ilmu untuk mencari keridhaan ALLah, niatkan dalam hati,

dengan ilmu kita akan semakin taqwa kepada ALLah. Tanamkan di dalam

dada bahwa menuntut ilmu itu ibadah, membahas ilmu itu bagaikan

jihad fisabilillah tiada habisnya dan mengajarkan ilmu kepada

orang yang belum tahu itu adalah sedekah. ALLah akan

selalu tahu apa yang telah kita kerjakan.

“hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu : berlapanglah

dalam majelis, maka lapangkanlah, sesungguhnya ALLah akan meninggikan

orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu

pengetahuan beberapa derajat”

(Q.S. Al Mujadallah : 11)

Hasil sempurna bukanlah aksi tunggal, tetapi ia adalah sebuah kebiasaan. Apa

yang kamu kerjakan berulang-ulang menjadikan siapa dirimu sebenarnya.

(Shaquiille Oneal)

Pilihan kita akan bertambah banyak jika kita tidak terlalu berambisi untuk

melakukan sesuatu yang menurut kita berharga untuk dikerjakan.

Jangan pernah mengikuti orang lain, percaya pada diri sendiri dan bersikap

pasti dalam setiap menentukan putusan.

Tetaplah memegang teguh putusan anda, tetapi berusahalah fleksibel dalam

pendekatannya.

(Tom Robbins)

PERSEMB AH AN

Sepenuh cinta dalam hati


(5)

ALLah AWT Nabi Muhammad SAW

Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Djodi Suranto dan Ibu Inira Dani, terimakasih atas doa, curahan cinta dan kasih sayang

tanpa henti semoga ALLah SWT memberikan balasan surga bagi kalian kelak.

Adikku tersayang, Dika Yudanto yang selalu memberi keceriaan dan doa semoga hidayah Allah membersamai langkah kita

dalam mengarungi hidup.

Keluarga besar Purwosumardjo yang terus memberi dorongan dan doa, Semoga Allah memberikan balasan yang terbaik.

Keluarga besar Damandari tiada yang lebih membahagiakan diri ini bila mampu membahagiakan kalian.

ABSTRAK

Tera Kumalasari, 2008. PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN PRAJURIT TNI DI PENGADILAN MILITER II-11 YOGYAKARTA. Fakultas Hukum UNS.

Penelitian hukum ini bertujuan unuk mengetahui dan mengkaji permasalahan mengenai penyelesaian perkara tindak pidana perzinahan yang dilakukan prajurit TNI di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta, pelaksanaan hukuman administrasi/ hukum disiplin terhadap pelanggar tindak pidana perzinahan yang dilakukan oleh anggota TNI serta hambatan dan permasalahan dalam penyelesaian perkara perzinahan.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian hukum empiris yang bersifat deskriptif. Data penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data utama penelitian ini. Sedangkan data sekunder digunakan sebagai pendukung data primer. Subyek yang diteliti lebih dipandang sebagai informan


(6)

yang akan memberikan informasi mengenai permasalahan yang diteliti. Teknik pengumpulan data adalah wawancara dan studi pustaka kemudian dari semua data yang terkumpul dilakukan analisa interaktif dengan teknik analisis yang digunakan bersifat kualitatif.

Hasil penelitian yang didapatkan memberikan kesimpulan bahwa dalam penyelesaian perkara tindak pidana perzinahan di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta. Pada dasarnya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari suami/istri yang dirugikan, karena perzinahan merupakan delik aduan yaitu pasal 284 KUHP. Bagi prajurit TNI yang melakukan perzinahan berlaku ketentuan tersebut. Dalam persidangan perkara perzinahan berdasarkan pertimbangan Hakim dalam putusan pengadilan, terdakwa yang telah melanggar ketentuan pasal 284 ayat (1) ke-2a KUHP oleh Hakim Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta dijatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan dipecat dari dinas kemiliteran. Dalam hal pelaksanaan sanksi disiplin/administrasi bagi pelanggar yang telah melakukan tindak pidana perzinahan. Bahwa terpidana disamping dikenakan sanksi pidana penjara juga diproses, dalam hal ini pemecatan atau sanksi administrasi lainnya. Hambatan atau permasalahan penyelesaian perkara perzinahan apabila adanya pencabutan pengaduan sehingga perkara tersebut dikembalikan kepada atasannya atau Papera (Perwira Penyerah Perkara) untuk diproses hukuman pemecatan atau hukuman lainnya.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya telah memberikan kemudahan, semangat, dan kelancaran kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Tiada daya dan upaya penulis tanpa kemurahan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini sebagai syarat untuk meraih gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan judul “PENYELESAIAN PERKARA TINDAK PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN PRAJURIT TNI DI PENGADILAN MILITER II-11 YOGYAKARTA”.

Banyak hambatan dan permasalahan yang penulis alami, menyangkut penyelesaian penulisan hukum ini, baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Namun, berkat bimbingan, saran, dan bantuan dari berbagai pihak, serta kebersamaan orang-orang disekitar penulis, oleh karena itu pada kesempatan ini dengan perasaan yang setulus-tulusnya dari hati yang paling dalam, penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuannya di dalam penyusunan penulisan hukum ini. Untuk itu


(7)

dengan segenap kerendahan hati dan kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah banyak memberi kemudahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.

2. Bapak Agus Rianto, S.H., M. Hum., selaku Pembimbing Akademik yang telah memberikan saran dan nasehat kepada penulis selama belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian hukum Acara sekaligus Pembimbing Skripsi yang telah sangat membantu, mendukung, membimbing, dan mengarahkan dengan penuh kesabaran kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Terimakasih atas bimbingannya selama penulisan skripsi hingga selesai.

4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum, yang selama ini telah banyak memberikan bekal ilmu bagi penulis selama penulis belajar di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

5. Bapak dan Ibu di bagian Kemahasiswaan, bagian Akademik, bagian Transit, dan bagian Perpustakaan serta bagian Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

6. Ibu Letkol. CHK. Sinoeng Hardjanti, S.H., M.Hum., selaku Kepala Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta yang telah memberikan ijin dan kemudahan penulis untuk melakukan penelitian. Terima kasih atas pelayanan dan keramahtamahan yang diberikan.

7. Bapak Mayor CHK Tatang, S.H., selaku Wakil Kepala Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta yang telah meluangkan waktu kepada penulis untuk memperoleh data-data dan informasi yang dibutuhkan penulis.

8. Bapak Peltu Sutaryadi, BcHk., yang telah sangat membantu penulis dalam memberikan data dan informasi yang dibutuhkan.

9. Seluruh Staf Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta yang telah banyak membantu penulis selama penulis mengadakan penelitian.


(8)

10.Ayahanda dan Ibunda tercinta yang senantiasa memberikan doa dan restu serta pengorbanan yang luar biasa untuk masa depan penulis, kepada ayahanda terima kasih atas bimbingannya dan selalu setia memantau perkembangan penulisan hukum ini. Kalian kebanggaanku.

11.Keluarga besar penulis, Eyang Kakung-Putri, Pakde-bude, om-tante, sepupu-sepupu, semua terima kasih atas perhatian, bantuan dan semua kebaikkan selama penulis menimba ilmu di Solo.

12.Salita Babe’s, Mb Amie ndut, Vanny_Teot, Mb Martha_Butet, Tika_Tikul, Mew-mew, Nila_Menil, Vani_Iting, Mila, Wahyu, Mungky, Andhika_List, Tina, Metha, Tiara, Unna, Tiwi, Ayu, Fani, Vira, Wulan, Mb Vivin, Mayang, Norma, Lia, Tika again, Lusi, Farikhah, Dita, Ratna, Janti, Putri, Diah_Coblah, Reysa, Mb Sinar, Nisa. Thanks for all moment guys, sungguh kebersamaan yang begitu indah dan tidak bisa terlupakan. Salita Crew, Bapak dan Ibu Roby, Mas Joko dan Mb Wati thankyu dah buat merasa nyaman tinggal di Salita.”Kost Sweat Home”

13.Sahabat-sahabat penulis, Dilah, Tika, Livia, Herman, Mb Am, List, Mila, Vany2, Mew-mew, Nila kalian selalu ada saat ku butuhkan dan selalu memberi semangat semoga persahabatan kita abadi untuk selamanya.

14.Temen Seperjuangan Penulis, Dewi, Keterina, Dani, Ratih, ayo kita get job! 15.Keluarga besar angkatan ’04 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

16.Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang turut membantu serta memperlancar penyusunan Penulisan Hukum ini. Semoga yang telah diberikan akan mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah, SWT.

Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu berbagai kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Akhir kata semoga penulisan hukum ini bermanfaat bagi perkembangan Ilmu Pengetahuan khususnya Ilmu Hukum.


(9)

Surakarta, April 2008

Penulis DAFTAR ISI

HALAMAN

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

ABSTRAK... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 4

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Metode Penelitian ... 6

F. Sistematika Penulisan Hukum. ... 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori ... 13

1. Tinjauan Umum tentang Hukum Pidana Militer... 13

2. Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Hukum... 14

3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana ... 15

a. Pengertian Tindak Pidana... 15

b. Unsur-unsur Tindak Pidana... 17


(10)

4. Tinjauan Umum tentang Perzinahan... 19

a. Perzinahan ... 19

b. Pengaturan Perzinahan dalam Perundang-undangan... 20

c. Makna Perzinahan Menurut Pasal 284 KUHP ... 26

5. Tinjauan Umum tentang Delik Aduan ... 27

a. Pengertian Delik Aduan. ... 27

b. Syarat Pengaduan ... 29

6. Tinjauan Umum tentang Prajurit TNI ... 35

a. Pengertian Prajurit TNI ... 35

b. Kewajiban dan Pelanggaran Hukum Disiplin Prajurit TNI... 35

7. Tinjauan Umum tentang Peradilan Militer ... 37

a. Pengertian Peradilan Militer... 37

b. Wewenang Peradilan Militer... 37

c. Hukum Acara Pada Peradilan Militer... 40

B. Kerangka Pemikiran... 44

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perzinahan dalam Pengadilan Militer... 46

B. Proses Pelaksanaan Hukum Administrasi/Disiplin yang Dijatuhkan Bagi Pelanggar ... 74

1. Proses Proses Administrasi berdasarkan Penetapan ... 74

2. Penyelesaian Perkara Oleh Ankum/Papera ... 74

C. Hambatan dan Permasalahan dalam Penyelesaian Perkara Perzinahan. 78 BAB IV PENUTUP A. Simpulan ... 81

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan Umum Tentang Hukum Pidana Militer

Hukum pidana militer adalah bagian dari hukum positif yang berlaku bagi justisiabel badan peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan tentang tindakan terlarang dan diharuskan terhadap prajurit yang melanggarnya diancam dengan pidana dan menentukan pula dalam hal pelanggar mempertanggungjawabkan atas tindakannya serta menentukan juga tentang cara penuntutan, penjatuhan pidana dan pelaksanaan pidana, demi tercapainya keadilan dan ketertiban.

Perumusan diatas sekaligus mencakup pengertian hukum pidana militer material dan hukum pidana militer formal.

Seperti diketahui bahwa Hukum Pidana Militer di samping merupakan bagian dari Hukum Militer juga merupakan bagian dari Hukum Pidana pada umumnya. Bahkan dikatakan Hukum Pidana Militer merupakan hukum pidana Khusus (lex spesialis) dibandingkan dengan Hukum Pidana Umum (lex generali). Kekhususan Hukum Pidana Militer didasarkan pada keberlakuaannya yang ditujukan kepada golongan justisiabel tertentu yang dalam hal ini adalah militer dan yang disamakan serta non-militer dalam hal yang lebih khusus.

Mengenai Hukum Pidana Militer formal atau Hukum Acara Pidana Militer yang pada dasarnya mengatur tentang kekuasaan badan-badan peradilan militer dan tentang acara penyelesaian suatu perkara pidana yang dilakukan oleh seseorang justisiabel peradilan militer, dapat ditemukan pada perundang-undangan sebagai berikut ;

§ Undang-undang No.5 Tahun 1950 jo Undang-undang No. 22 Pnps Tahun 1965 tentang Susunan dan kekuasaan badan-badan peradilan militer.


(12)

§ Undang-undang No. 6 tahun 1950 jo Undang-undang No. 1 Drt Tahun 1958 tentang Hukum Acara Pidana pada Peradilan Militer. § Undang-undang No. 16 Pnps tahun 1963 tentang Mahmillub.

§ Undang-undang No.3 Pnps Tahun 1965 jo Undang-undang No. 23 Pnps Tahun 1965 tentang berlakunya Hukum Pidana Militer bagi Ta, Ba dan Pa Polri.

§ Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (beberapa pasal).

§ Undang-undang No. 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan Negara.

§ Berbagai keputusan tentang Perwira Penyerah Perkara § Dan lain sebagainya

Suatu kekhususan dari hukum Acara Pidana Militer adalah bahwa kepada para Komandan (Ankum/Papera) diberikan kewenangan tertentu dalam proses penyelesaian suatu perkara pidana sejak dari tahap penyidikan, penangkapan/penahanan, penyerahan/penuntutan perkara, bahkan sampai kepada pelaksanaan pidana. Adanya kewenangan tersebut tentunya merupakan konsekuensi logis dari ditegakkannya dasar-dasar organisasi militer (S.R. Sianturi, 1985:27-29).

2. Tinjauan Umum tentang Penyelesaian Hukum

Penyelesaian menurut istilah dalam Kamus Bahasa Indonesia artinya suatu proses, perbuatan atau cara penyelesaian. Dalam berbagai arti seperti pemecahan.

Hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia harus dilaksanakan. Dalam hal terjadi pelanggaran hukum atau sengketa, pelaksanaan atau penegakan hukum itu diserahkan kepada penguasa, dalam hal ini kekuasaan kehakiman

Dalam penyelesaian hukum khususnya dalam perkara pidana yang diterapkan dalam pengadilan, dalam hal ini Pengadilan Militer oleh Majelis Hakim mengacu pada KUHPM, KUHP dan proses


(13)

beracaranya pada Undang-undang No. 31 Tahun 1997. Selain itu juga menggunakan aturan lain yang berlaku dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti undang-undang. Majelis Hakim dalam memutus suatu perkara harus berdasarkan hukum yang ada. Sebagaimana asas hukum pidana apabila undang-undang telah mengatur secara khusus tentang tindak pidana maka boleh mengesampingkan KUHP yang sifatnya umum, yang disebut dengan asas lex specialis derogat legi generalis.

Pada upaya penyelesaian perkara atau kasus secara hukum menurut UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 2 menyebutkan Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan : Umum, Agama, Militer, Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi. Pada perkara pidana dengan terdakwa prajurit TNI maka diselesaikan dalam Pengadilan Militer.

Proses pengadilan militer secara hukum acara pidana dalam proses pelaksanaannya terdapat ketentuan-ketentuan yang khusus namun tidak bertentanagna dengan sistem Peradilan Pidana Nasional. Dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, proses penyelesaian perkara pidana pidana yaitu penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di persidangan serta tahap pelaksanaan putusan.

Jadi penyelesaian hukum disini merupakan suatu cara atau proses dengan melakukan perbuatan secara hukum di Pengadilan Militer untuk menyelesaikan perkara pidana. Melalui berbagai proses sebagaimana yang ditetapkan di dalam Undang-undang No. 31 tahun 1997 yang diterapkan secara hukum untuk menjatuhkan hukuman sesuai dengan tindak pidana atas suatu perkara sehingga memperoleh kekuatan hukum tetap.

3. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana


(14)

Perkataan “delik” berasal dari Eropa yang berarti peristiwa (perbuatan) yang dapat dihukum karena melanggar undang-undang (W.J.S. Poerwodarminta, 1976 : 237). Delik atau delict, juga berarti “tindak pidana”, perbuatan yang diancam dengan hukuman (Subekti dan Tjitrosoedibio, 1978 : 39).Sedangkan dalam Kamus Indonesia-Belanda, perkataan dalam bahasa Indonesia “delik”, dalam bahasa Belanda delict atau strafbaarfeit yang berarti “peristiwa pidana” (Van Der Tas, 1961 : 67).

Demi jelasnya perkataan “delik” ini secara yuridis, mengutip dari para ahli hukum seperti sebagai berikut :

“Untuk perkataan delict atau stradbaarfeit dalam bahasa Indonesia dipergunakan istilah “tindak pidana”, menurut beliau merupakan istilah resmi dalam Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di Indonesia”. Tindak Pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana (Wiryono Projodikoro, 1969:45).

Moeljatno :

Untuk perkataan “delik” ini, beliau mempergunakan istilah “perbuatan pidana”. Menurut beliau “perbuatan pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan disertai ancaman yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar tersebut.

Beliau menambahkan, bahwa dapat pula dikatakan “perbuatan pidana” adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum yang dilarang dan diancam, asal saja dalam pada itu diingat bahwa larangannya yang ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedang ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu (Moeljatno, 2002:54).

Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan dilarang yang disertai ancaman pidana pada barangsiapa


(15)

yang melanggar larangan tersebut. Wadah tindak pidana ialah Undang-undang, baik berbentuk kodifikasi yakni KUHP dan di luar kodifikasi, tersebar luas dalam berbagai peraturan perundang-undangan (Adami Chazawi, 2002:67).

Sudarto berpendapat beliau lebih condong untuk memakai istilah, tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang sekarang, menurut beliau istilah tersebut sudah diterima oleh masyarakat jadi yang mempunyai sosiologi geding

(Sudarto, 1975 : 29).

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bermacam-macam istilah tersebut ingin mencari istilah yang tepat untuk mengganti istilah strafbaarfeit dalam bahasa Indonesia. Dengan demikian penulis menyetui pendapat Sudarto yang menyatakan bahwa “Pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadi soal, asal diketahui apa yang dimaksudkan dan dalam hal ini yang penting ialah isi dari pengertian itu” (Sudarto, 1975 : 29 ).

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Unsur-unsur “tindak pidana” adalah :

1) Subyek tindak pidana adalah manusia sebagai oknum 2) Perbuatan dari tindak pidana

3) Hubungan sebab musabab (Causal Verband) 4) Sifat melawan hukum (Onrechmatigheid)

5) Kesalahan pelaku tindak pidana (Wiryono Projodikoro, 1969:45) Adapun menurut Moeljatno unsur atau elemen perbuatanpidana adalah :

1) Kelakuan dan akibat (perbuatan)

2) Hal ikwal atau keadaan yang menyertai perbuatan 3) Keadaan tambahan yang memperberat pidana 4) Unsur melawan hukum yang obyektif


(16)

Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan tindak pidana tidak terdapat unsur melawan hukum, namun jangan mengira bahwa perbuatan tersebut lalu tidak melawan hukum. Dalam hal ini perbuatan yang sudah wajar dengan sifat melawan hukum sehingga tidak perlu untuk dinyatakan sendiri.

Akhirnya ditekankan bahwa meskipun perbuatan pidana pada umumnya adalah keadaan lahir dan terdiri atas elemen-elemen yang lahir, namun ada kalanya dalam perumusan juga diperlukan eleman batin yaitu sifat melawan hukum yang subyektif (Moeljatno, 2002 : 63).

Dari uraian diatas, menurut SR. Sianturi unsur-unsur dari tindak pidana, yaitu :

1) Subyek 2) Kesalahan

3) Bersifat melawan hukum (dari tindakan)

4) Suatu tindakan aktif/pasif yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/perundangan dan terhadap pelanggaran diancam dengan pidana.

5) Waktu, tempat dan keadaan (unsur obyektif lainnya) (SR. Sianturi, 1996:207).

Dengan demikian dapat dirumuskan pengertian dari tindak pidana sebagai suatu tindakan tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (ataudiharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (yang mampu bertanggung jawab).

c. Jenis-jenis Tindak Pidana

Dengan demikian, Wiryono Projodikoro menyetujui dua jenis delik menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berlaku sekarang di Indonesia, yaitu:


(17)

b) Pelanggaran (Overtredingen) (Wirjono Projodikoro, 1969:45) Perbuatan-perbuatan pidana selain dibedakan dalam kejahatan dan pelanggaran, dapat di bedakan pula antara lain : a) Delik dolus dan delik culpa

Delik dolus diperlukan adanya kesengajaan misalnya Pasal 338 KUHP, sedangkan pada delik culpa, dapat dipidana bila kesalahannya itu berbentuk kealapaan, misalnya Pasal 359 KUHP.

b) Delik commissionis dan delikta commissionis.

Pertama adalah delik yang terdiri dari melakukan sesuatu (berbuat sesuatu) perbuatan yang dilarang oleh aturan-aturan pidana, misalnya pasal 362, 372 dan 378. yang kedua adalah delik yang terdiri dari tidak berbuat atau melakukan sesuatu padahal mestinya berbuat, misal pasal 164.

c) Delik biasa dan delik yang dikualifisir (dikhususkan).

Delik yang belakangan adalah delik biasa ditambah dengan unsur-unsur lain yang memberatkan ancaman pidananya. Adakalanya unsur-unsur lain itu mengenai cara khas dalam melakukan delik biasa, adakalanya objek khas, adakalanya pula mengenai akibat yang khas dari perbuatan yang merupakan delik biasa.

d) Delik menerus dan delik tidak menerus.

Dalam delik menerus perbuatan yang dilarang menimbulkan keadaan yang berlangsung terus. Jadi perbuatan dilarang tidak habis ketika kelakuannya selesai dan begitu sebaliknya delik tidak menerus (Moeljatno. 2002 : 75-76).

4. Tinjauan Umum tentang Perzinahan a. Pengertian Perzinahan

Zina atau zinah secara etimologis berarti perbuatan bersetubuh yang tidak sah (seperti bersundal, bermukah, bersendak,


(18)

dan sebagainya) sedangkan berzina atau berzinah adalah perbuatan zina, perzina(h)an : perbuatan zina (W.J.S. Poerwodarminto, 1976 : 1155).

Di dalam KUHP tidak disebutkan definisi tentang zina, begitu juga dalam KUHPerdata tidak ada pasal-pasal yang menyebutkan maupun dalam Undang-undang Perkawinan, tapi yang dapat kita temukan adalah pengertian zina itu sendiri yaitu persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya (R. Susilo, 1983: 209). Supaya masuk dalam kategori pasal ini, maka persetubuhan itu haruslah dilakukan dengan suka sama suka dan tidak ada paksaan dari salah satu pihak.

Dalam hal tersebut pengertian persetubuhan menurut SR. Sianturi adalah “mau sama mau” di pandang sebagai perzinahan jika karenanya terjadi pelanggaran terhadap “janji setia perkawinan” atau terhadap “keluhuran perkawinan”. Yang dapat melanggar janjinya sendiri untuk “setia perkawinan” adalah yang terikat kepada perkawinan itu sendiri karenanyalah maka perzinahan hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah terikat perkawinan (SR. Sianturi, 1983 : 255).

b. Pengaturan Perzinahan dalam Perundang-undangan.

Dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) disebutkan “terhadap tindak pidana yang tercantum dalam kitab Undang-undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan peradilan militer, diterapkan dengan undang-undang”.

Didalam mempelajari peraturan perundang-undangan, maka tentang perzinahan hanya diatur dalam Pasal 284 KUHP, dan bagi anggota TNI yang melakukan perbuatan pidana perzinahan juga


(19)

diberlakukan Pasal 284 KUHP. Untuk lebih jelasnya bunyi Pasal 284 KUHP tersebut adalah sebagai berikut :

Ayat (1) : Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan :

Ke-1 :

a. seorang pria telah nikah melakukan zina, padahal diketahui, bahwa pasal 27 BW berlaku baginya;

b. seorang wanita telah nikah yang melakukan zina; Ke-2 :

a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui, bahwa yang turut bersalah telah nikah; b. seorang wanita tidak nikah yang turut serta melakukan

perbuatan itu padahal diketahui olehnya, bahwa yang turut bersalah telah nikah dan Pasal 27 BW berlaku baginya;

Ayat (2) : Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku Pasal 27 BW, dalam tempo tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasan itu juga.

Ayat (3) : Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.

Ayat (4) : Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.

Ayat (5) : Jika bagi suami-istri berlaku Pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama pernikahan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum keputusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap. Mengenai Pasal 27 BW yaitu tentang perkawinan sudah tidak berlaku lagi dan segala ketentuan yang menyangkut perkawinan diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang


(20)

Perkawinan. Adapun bunyi Pasal 27 KUHPerdata adalah sebagai berikut :

“Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya”

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat beberapa pasal yang pada intinya perkawinan hanya boleh dilaksanakan secara monogami, pasal-pasal tersebut antara lain :

Pasal 3 :

Ayat 1: pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

Ayat 2 : pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 4 :

Ayat 1 : dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pasal 3 ayat 2 undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

Ayat 2 : pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :

1) istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;

2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

3) istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Bahwa untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan maka dikeluarkan Peraturan Pemerintah


(21)

Republik Indonesia nomor 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.

Masih dalam kaitannya dengan hal ini, anggota TNI/Militer merupakan suatu organisasi khusus yang bagi mereka diadakan norma-norma atau kaidah-kaidah yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang ditentukan dengan pasti dan pelaksanaannya diawasi dengan ketat (Amiroedin Sjarief, 1996 : 1), dengan mengingat ketentuan perundang-undangan yang telah disebut dimuka, bagi anggota TNI berlaku peraturan khusus yang mengatur perkawinan perceraian dan rujuk bagi anggota TNI yaitu Keputusan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata Nomor Kep: 01/I/1980 tentang Peraturan Perkawinan, perceraian dan Rujuk anggota ABRI. Dalam surat keputusan Menhankam Pangab Tersebut, pasal 3 menyebutkan :

a. Pada asasnya seorang anggota ABRI pria/wanita hanya diizinkan mempunyai seorang istri/suami.

b. Menyimpang dari ketentuan tersebut ayat (a) dalam pasal ini, seorang suami hanya dapat dipertimbangkan untuk diizinkan mempunyai istri lebih dari seorang, apabila hal itu tidak bertentangan dengan ketentuan agama yang dianutnya dan dalam hal istri tidak dapat melahirkan keturunan dengan surat keterangan dokter.

c. Dalam hubungan ayat (b) pasal ini, surat permohonannya harus dilengkapi selain dengan lampiran tersebut dalam pasal 14 keputusan ini juga dengan menyatakan :

1) Surat keterangan pribadi dari calon istri yang menyatakan bahwa ia tidak keberatan dan sanggup untuk dimadu. 2) Surat pernyataan/persetujuan dari istri pertama.

3) Surat pernyataan suami yang menyatakan adanya kepastian bahwa ia mampu menjamin kebutuhan jasmani dan rohani terhadap istri-istrinya.


(22)

Selanjutnya dalam Pasal 4 Surat Keputusan Menhankam Pangab tersebut disebutkan :

a. Anggota ABRI tidak diperkenankan :

1) Kawin selama mengikuti pendidikan pembentukan pertama/pendidikan dasar baik di dalam maupun di luar negeri

2) Hidup bersama dengan wanita/pria sebagai ikatan suami istri tanpa dasar perkawinan yang sah.

b. Setiap atasan/pejabat agama harus menegur/memperingatkan dan melarang anggotanya yang melakukan perbuatan yang dimaksud ayat (a) sub 2 pasal ini.

Berdasarkan uraian diatas, perzinahan merupakan perbuatan pidana yang dilarang dan diancam dengan hukuman. Bagi anggota TNI pada dasarnya berlaku ketentuan Pasal 284 KUHP, apabila disidangkan di Pengadilan Umum. Namun, karena Indonesia menganut asas Lex Spesialis Derogat Lex Generalis, maka bagi anggota TNI yang disidangkan di Pengadilan Militer menggunakan ketentuan yang Tercantum dalam surat keputusan Menhankam Pangab Nomor Kep 01/I/1980 selain sanksi yang tercantum dalam pasal 284 KUHP.

Dalam lingkungan militer juga terdapat peraturan yang mengatur tentang kehidupan militer walaupun didalamnya tidak diatur mengenai perzinahan, namun perbuatan ini secara tersirat merupakan pelanggaran terhadap aturan atau disiplin militer. Perundangan yang mengatur atau berisi materi hukum disiplin militer yang berlaku dalam TNI sekarang adalah :

1) Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer (KUHDM) 2) Peraturan Disiplin Tentara (PDT)

3) Peraturan pelaksana lainnya yaitu Peraturan Urusan Dalam (PUD).


(23)

Peraturan Disiplin Tentara (PDT) adalah penjabaran dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), pengertian perbuatan yang tidak layak terjadi dalam disiplin atau tata tertib militer dijabarkan dalam Peraturan Disiplin Tentara demikian selanjutnya mengenai pengertian disiplin militer dan pengertian tata tertib militer dapat ditemui dalam Peraturan Disiplin Militer.

Jadi jika seorang militer melanggar kewajiban-kewajiban yang tercantum dalam Peraturan Disiplin Militer, maka ia dapat dihukum berdasarkan Pasal 2 ayat (1) KUHPM yang berbunyi : “Pelanggaran disiplin militer adalah semua tindakan yang tidak tercantum dalam perundang-undangan ketentuan pidana yang bertentangan dengan suatu perintah dinas atau yang tidak layak terjadi di dalam disiplin militer atau ketertiban militer”. Dengan demikian jelaslah hubungan antara KUHDM dengan Peraturan Disiplin Tentara.

Peraturan Disiplin Tentara pada hakikatnya merupakan suatu pengantar, penuntutan atau pembimbing disiplin militer yang berisi tentang landasan-landasan disiplin militer, hak dan kewajiban yang penting dari seorang militer dalam kehidupan keprajuritan. Oleh karena itu Peraturan Disiplin Tentara wajib diberikan kepada setiap orang yang pada saat itu diterima menjadi anggota TNI. Isi dari Peraturan Disiplin Tentara tersebut dalam garis besarnya adalah sebagai berikut :

1) Pengertian Umum tentang Disiplin Militer 2) Hubungan antara atasan dan bawahan 3) Tingkat Kedudukan

4) Perihal menjalankan kewajiban 5) Larangan-larangan

6) Perihal mengajukan keberatan atas perintah yang diterima 7) Pelanggaran disiplin dan hukuman


(24)

Perundang-perundangan dan dokumen yang mengandung materi hukum disiplin militer adalah :

1) Dewan kehormatan militer yang ditentukan dalam peraturan pemerintah Nomor 40 tahun 1952.

2) Sapta Marga. 3) Sumpah Prajurit.

c. Makna Perzinahan Menurut Pasal 284 KUHP

Didalam ketentuan Pasal 27 BW pada dasarnya mempunyai ketentuan yang sama dengan ketentuan pada Pasal 2 Undang-undang Perkawinan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang berbunyi: “pada asasnya dalam perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri, seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”, karena pasal ini sudah mencakup ketentuan tersebut Pasal 27 BW maka berdasarkan Pasal 66 Undang-undang Perkawinan, Pasal 284 KUHP harus dibaca tanpa menyebutkan Pasal 27 BW lagi. Jadi jika seorang pria sudah kawin, melakukan persetubuhan dengan seorang wanita yang bukan istrinya, maka ia telah melakukan delik perzinahan, tanpa mempersoalkan apakah pasal 27 BW berlaku baginya (SR. Sianturi, 1983 : 225).

Makna dari Pasal 284 KUHP ini adalah bahwa hanya pelaku persetubuhan yang sudah terikat perkawinan yang dapat disebut sebagai pelaku. Jika keduanya sudah terikat perkawinan, maka keduanya adalah pelaku. Jika salah satu saja yang sudah terikat perkawinan, maka yang belum terikat perkawinan itu disebut sebagai peserta zina sedangkan jika persetubuhan itu dilakukan oleh dua orang dimana ke dua orang tersebut sama-sama belum terikat suatu perkawinan, maka tidak ada pelaku zina diantara mereka.

Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga


(25)

(rumah tangga) yang bahagia, dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam hal ini apabila dalam perkawinan terjadi adanya persetubuhan yang dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai ikatan perkawinan maka persetubuhan tersebut dipandang sebagai perzinahan karena terjadi pelanggaran terhadap janji setia perkawinan. Sebagai gambaran dapat dilihat contoh berikut ini :

A_________B...C_________D Ket : _________ = hubungan perkawinan

... = hubungan perzinahan

B dan C melakukan perzinahan maka yang berhak mengadu karena perbuatan B adalah A, atau D dapat mengadu karena perbuatan C. Pengaduan tersebut karena masing-masing pengadu merasa dilanggar “janji setia perkawinannya”.

Jika A mengadukan B maka B adalah pelaku sedangkan C tidak jika ditinjau dari sudut perkawinan A dan B, dalam hal ini C adalah peserta. C dapat dipidana dengan sebutan sebagai peserta tetapi tidak dapat dipidana sebagai pelaku dan sekaligus peserta zinah, seperti juga B adalah pelaku sekaligus peserta. Karena ancaman pidana bagi pelaku atau peserta adalah sama, maka berdasarkan Pasal 63 ayat (1) KUHP yang diterapkan hanya satu pidana saja. Dengan demikian uraian-uraian diatas dapat disimpulkan bahwa delik tersebut Pasal 284 ayat (1) ke-1a dan ke-1b atau ke-1a dan ke-2b adalah berdiri sendiri-sendiri.

5. Tinjauan umum tentang Delik Aduan a. Pengertian Delik Aduan

Banyaknya peristiwa pidana terjadi dengan beberapa jenis yang hampir semuanya adalah kejahatan, namun yang hanya dapat dituntut atas pengaduan dari orang yang terkena peristiwa pidana


(26)

atau orang yang mendapat kerugian atas perbuatan pidana tersebut. Peristiwa pidana semacam ini disebut sebagai delik aduan.

Dilihat dari sudut acara penuntutannya, delik aduan diperbedakan dari delik yang dapat dituntut karena jabatan. Penuntutan suatu delik aduan hanya dapat diterima apabila telah masuk pengaduan dari penderita atau dari seseorang yang berhak mengadu. Penyimpangan penuntutan terhadap delik aduan adalah karena kepentingan pribadi dari yang dirugikan/penderita/yang berhak mengadu dipandang perlu diutamakan perlindungannya (SR. Sianturi, 1996 : 407). Dengan perkataan lain yang dijadikan alasan dari adanya delik aduan ini adalah bahwa dalam beberapa hal tertentu bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu daripada dilakukan penuntutan. Dalam militer, seorang anggota TNI yang diadukan istrinya dengan tuduhan perzinahan, maka konsekuensi yang didapat bukan hanya bagi pelaku perzinahan saja, namun bagi pelapor juga akan mendapatkan konsekuensi secara tidak langsung yaitu jika tuduhan itu terbukti maka suami yang melakukan perzinahan akan terkena sanksi disiplin atau sanksi administratif diantaranya pemecatan, pemotongan gaji dan lain-lain.

Hal tersebut tentu saja akan merugikan pengadu (istri) karena ia tidak lagi mendapatkan nafkah seperti sebelumnya dan tentunya nama baik keluarganya pun akan tercemar.

Menurut SR. Sianturi menjelaskan bahwa Hukum Pidana merupakan bagian hukum publik. Hal ini berarti bahwa kepentingan umum lebih di utamakan karenanya penuntutan suatu delik pada dasarnya dibebankan/ ditugaskan kepada penguasa karena jabatannya. Tidak tergantung kepada orang yang menderita sebagai akibat dari suatu delik, bahkan juga andaikata ada keberatan dari penderita, tidak merupakan penghalang bagi usaha penuntutan. Namun dalam beberapa hal tertentu ada pengecualian. Karenanya


(27)

apabila kepada suatu pengadilan/Mahkamah diajukan suatu delik aduan tanpa dilengkapi dengan pengaduan (tertulis atau lisan yang dicatat oleh petugas penerima aduan), harus dinyatakan sebagai tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Delik aduan dibedakan antara delik aduan yang sebenarnya (absolute klachtdelict) dan delik aduan nisbi (relatieve klachtdelict). Delik aduan absolut adalah delik aduan yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan (SR. Sianturi, 1996 : 407), seperti halnya yang tersebut dalam Pasal 284 KUHP tentang perzinahan, Pasal 287 KUHP tentang pencabulan dibawah umur, Pasal 203 KUHP tentang pencabulan dibawah umur disertai dengan penyesatan dan lain-lain.

Delik aduan nisbi/relatif secara normaliter adalah delik yang dapat dituntut karena jabatan, akan tetapi apabila delik-delik tertentu itu terjadi dalam hubungan suami istri “yang dalam penjajagan perceraian” atau sudah bercerai, atau dalam hubungan keluarga-dekat (sedarah atau semenda dalam garis lurus atau dalam garis menyimpang sampai dua derajat), ia merupakan delik aduan. (SR. Sianturi, 1996 : 408).

Delik aduan relatif adalah delik yang biasanya bukan merupakan delik aduan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367 KUHP lalu menjadi delik aduan. Dalam hal ini berarti polisi tidak dapat melakukan tindakan apabila nyata-nyata mengetahui adanya delik aduan atau hanya bersifat menunggu sampai ada orang yang datang mengadu. Jika melihat bunyi undang-undangnya yang menjadi pedoman untuk pengaduan itu adalah bukan penyidikan atau penyelidikan maka polisi sebagai pegawai penyidik sudah dapat bertindak sebelum ada pengaduan diajukan (Kusnindar, 1987: 9).


(28)

Dalam sistem Peradilan Militer, di kenal adanya 4 (empat) tahapan dalam proses penyelesaian perkara pidana yaitu : Tahap penyidikan, tahap penuntutan dan tahap pemeriksaan di persidangan serta tahap pelaksanaan putusan (Eksekusi).

Guna mewujudkan tercapainya Peradilan yang sederhaha, cepat, dan biaya ringan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4 ayat (2) jo Pasal 5 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, maka salah satu yang harus menjadi perhatian mulai dari tahap penyidikan, penuntutan sampai saat berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan Militer adalah “meneliti kelengkapan berkas perkara mengenai Syarat Formal dan Syarat Materiil”

Dalam proses penyelesaian perkara kasus susila khususnya perzinahan, selain memeriksa/meneliti persyaratan Formal dan Materiil seperti perkara pidana yang dapat dituntut karena jabatan, maka dalam tindak pidana (delik) aduan, harus diperhatikan salah satu syarat formal yang sangat penting yaitu harus ada surat pengaduan dari pihak yang berhak mengadu/pihak yang merasa dirugikan. Dalam perkara perzinahan (Pasal 284 KUHP) pihak-pihak yang berhak mengadu adalah suami atau istri yang merasa tercemar/dirugikan.

Persyaratan Formal

Persyaratan Formal dalam berkas perkara adalah suatu kelengkapan berkas perkara sesuai dengan bentuk dan hasil dari penyidikan, biasanya berbentuk dokumen atau surat-surat yang menyebutkan kejadian atau suatu peristiwa, status dan lain-lain. Persyaratan Materiil

Persyaratan materiil adalah suatu uraian fakta tentang rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh tersangka, secara cermat, jelas dan lengkap, apakah rangkaian perbuatan tersangka tersebut sudah memenuhi unsur-unsur tindak pidana.


(29)

Bahwa sehubungan dengan syarat pengaduan dalam perkara perzinahan (Pasal 284 KUHP), maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah memahami apa yang dimaksud dengan pengaduan dalam perkara perzinahan, siapa-siapa yang berhak mengadu serta siapa yang dapat diajukan, kapan tanggang waktu hak mengadu serta bagaimana cara penarikan pengaduan, bagaimana mengenai bentuk pengaduan (Joko Sasmito, 2006 : 7-10) :

1. Laporan dan Pengaduan

Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajibannya berdasarkan Undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadi peristiwa pidana (Pasal 1 angka 14 UU No. 31 Tahun 1997). Laporan polisi merupakan awal dari suatu penyelidikan atau penyidikan yang harus memuat hal-hal sebagai berikut :

a) Keterangan yang jelas tentang waktu dan tempat kejadian b) Uraian kejadian

c) Akibat kejadian

d) Identitas tersangka dan saksi

Pengaduan adalah pemperitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya (Pasal 1 angka 15 UU No. 31 Tahun 1997).

Setiap orang yang menjadi korban atau yang mengalami atau menyaksikan atau melihat dan/atau mendengar secara langsung tentang terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang (Yustisiabel Peradilan Militer), berhak mengajukan laporan atau pengaduan kepada penyidik baik lisan maupun tulisan. Kemudian Penyidik harus membuat surat tanda terima “Laporan atau Pengaduan” diberikan kepada yang bersangkutan


(30)

dengan ditanda tangani oleh pelapor dan penerima laporan (Pasal 100 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 31 Tahun 1997). 2. Hak Mengadu

Dalam ketentuan Pasal 72, 73 dan 75 KUHP tidak berlaku dalam perkara perzinahan. Berdasarkan ketentuan Pasal 72 KUHP dalam hal seseorang yang terkena delik aduan belum 16 tahun dan belum dewasa atau seseorang yang dibawah pengampuan bukan karena keborosan, maka pengaduan diajukan oleh wakil yang sah. Apabila wakil tersebut yang melakukan delik aduan dan hendak diadukan, maka yang berhak maju adalah wali pengawas atau pengampu pengawas. Dalam hal yang terkena delik aduan itu adalah orang yang dibawah pengampuan dilakukan oleh istri penderita, atau seseorang keluarga sedarah dalam garis lurus atau jika itu tidak ada, oleh seorang keluarga sedarah dalam garis menyimpang sampai derajat ketiga.

Pada Pasal 73 KUHP ditentukan bahwa apabila penderita (yang terkena delik aduan) meninggal dalam tenggang waktu pengaduan, maka tanpa memperpanjang tenggang waktu tersebut, yang berhak menggantikan/maju sebagai pengadu adalah orang tuanya, anaknya, atau suaminya yang masih hidup, kecuali jika ternyata bahwa mendiang semasa hidupnya tidak menghendaki penuntutan.

Dalam Pasal 75 KUHP menentukan bahwa orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam tenggang waktu 3 bulan setelah pengaduan diajukan.

3. Persyaratan sahnya surat pengaduan dalam tindak pidana perzinahan (Pasal 284 KUHP)

Dalam tindak pidana aduan (klachtdelict) termasuk perkara perzinahan (Pasal 284 KUHP), perkara baru dapat diproses sesuai hukum yang berlaku dengan syarat adanya suatu


(31)

surat pengaduan, dan surat pengaduan yang dijadikan alat penuntutan perkara perzinahan harus sah secara hukum. Surat pengaduan dikatakan sah secara hukum apabila memenuhi syarat formal dan materiil.

a. Syarat formil pengaduan :

1) Pengaduan hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 6 bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan jika yang bersangkutan tinggal diwilayah Indonesia, jika di luar negeri waktunya 9 bulan (Pasal 74 KUHP).

2) Pengaduan harus dilakukan oleh orang yang berhak mengadu, dalam kasus perzinahan yang berhak mengajukan pengaduan adalah suami/istri yang tercemar/dirugikan (Pasal 284 Ayat (2) KUHP).

3) Pengaduan harus dilakukan secara tertulis maupun lisan. Ketentuan perundang-undangan tidak mengatur bagaimana bentuk pengaduan. Oleh karenanya pengaduan dapat dilakukan dalam bentuk tertulis atau lisan. Jika dalam bentuk tertulis tidak disyaratkan adanya sistematika tertentu. Apabila pengaduan dilakukan secara lisan maka si pengadu diwajibkan untuk hadir pada saat pemeriksaan.

b. Penarikan kembali Pengaduan :

Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa ketentuan Pasal 75 KUHP tidak berlaku untuk perkara perzinahan (Pasal 284 KUHP). Dalam hal ini karena Pasal 284 ayat (4) KUHP telah mengatur bahwa pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai. Didalam prakteknya penarikan/pencabutan pengaduan dalam kasus perzinahan


(32)

dapat dilakukan sebelum sidang dimulai/dibuka atau sesudah sidang dimulai/dibuka.

c. Pemisahan Penuntutan Dalam Perkara Perzinahan

Bahwa dalam perkara perzinahan, mengenai pengaduan yang hanya ditujukan kepada peserta pelaku (berarti istri/suaminya tidak diingini untuk diperkarakan) atau juga disebut sebagai pemisahan penuntutan. Berdasarkan Putusan MA No. 52/K/Kr/1953 tanggal 19 Maret 1955 pada pokoknya mengatakan bahwa pengaduan perihal kejahatan perzinahan berarti juga terhadap istri yang melakukan perzinahan, tetapi penuntut umum leluasa untuk tidak menuntut si istri berdasarkan atas “asas opportunitas”. Dalam praktek persidangan yang sudah berlangsung di pengadilan yang berlaku di Indonesia, pemisahan penuntutan dalam perkara perzinahan (Pasal 284 KUHP) dalam arti suami/istri yang dicemarkan/dirugikan hanya mengadukan peserta pelaku saja sudah biasa dilaksanakan. d. Syarat materiil Pengaduan:

1) Persyaratan pengaduan berisi hal-hal sebagai berikut : 2) Tindak pidana apa yang terjadi

3) Siapa yang melakukan tindak pidana aduan itu 4) Dimana dilakukan tindak pidana aduan itu

5) Sejak kapan tindak pidana aduan itu diketahui oleh orang berhak mengadu

6) Kapan terjadinya tindak pidana aduan tersebut

7) Mengapa dilakukan (latar belakang) tindak pidana aduan

8) Dengan apa dilakukan tindak pidana aduan tersebut 9) Bagaimana cara melakukan tindak pidana aduan


(33)

Dengan demikian pada kasus perkara pidana khususnya dalam perkara perzinahan Pasal 284 KUHP, harus diteliti kelengkapan syarat pengaduannya karena dalam kasus perzinahan merupakan pengaduan yang absolute, sehingga mulai dari tahap penyidikan, tahap penuntutan, dan sampai dengan tahap pemeriksaan di Pengadilan harus benar-benar meneliti syarat pengaduan tersebut.

6. Tinjauan Umum tentang Prajurit TNI a. Pengertian Prajurit TNI

Tentara Nasional Indonsia yang disebut TNI berperan sebagai alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Adapun tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Prajurit adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan (Pasal 21 UU Nomor 34 Tahun 2004). Prajurit TNI terdiri atas prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut, dan prajurit Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara yang melaksanakan tugasnya secara matra atau gabungan di bawah pimpinan Panglima.

b. Kewajiban dan Pelanggaran Hukum Disiplin Prajurit TNI Prajurit berkewajiban menjunjung tinggi kepercayaan yang diberikan oleh bangsa dan negara untuk melakukan usaha pembelaan negara sebagaimana termuat dalam Sumpah Prajurit. Untuk keamanan negara, setiap prajurit yang telah berakhir


(34)

menjalani dinas keprajuritan atau prajurit siswa yang karena suatu hal tidak dilantik menjadi prajurit wajib memegang teguh rahasia tentara walaupun yang bersangkutan diberhentikan dengan hormat atau dengan tidak hormat.

Dalam menjalankan tugas dan kewajiban prajuri berpedoman pada Kode Etik Prajurit dan Kode Etik Perwira. Selain itu berpedoman pada Hukum disiplin prajurit yang merupakan serangkaian peraturan dan norma untuk mengatur menegakkan, dan membina disiplin atau tata kehidupan prajurit agar setiap tugas dan kewajiannya dapat berjalan dengan sempurna.

Dalam mengemban tugas dan kewajiban sebagai prajurit TNI tidak lepas dari pelanggaran terhadap hukum disiplin Prajurit TNI yang meliputi :

1) Pelanggaran hukum disiplin murni merupakan setiap perbuatan yang bukan tindak pidana, tetapi bertentangan dengan perintah kedinasan atau peraturan kedinasan atau perbuatan yang tidak sesuai dengan tata kehidupan prajurit.

2) Pelanggaran hukum disiplin tidak murni merupakan setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana yang sedemikian ringan sifatnya sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin prajurit

Penentuan penyelesaian secara hukum disiplin prajurit merupakan kewenangan Perwira Penyerah Perkara yang selamjutnya disingkat Pepera setelah menerima saran pendapat hukum dari Oditurat (Pasal 5 UU No. 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit).

Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang berdasarkan Pasal 65 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI


(35)

7. Tinjauan Umum tentang Peradilan Militer a. Pengertian Peradilan Militer

Pada Pasal 5 Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer menerangkan bahwa peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Tentara Nasional Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Sedangkan Oditurat merupakan badan pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan pelimpahan dari Panglima, dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.

Dalam hal pembinaan teknis pengadilan dalam lingkungan peradilan militer dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pembinaan organisasi dan prosedur, administrasi, finansial badan-badan Pengadilan Oditurat dilakukan oleh Panglima dan dalam pembinaan tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata dimana pelaksanaan kekuasaan kehakiman tersebut berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

b. Wewenang Peradilan Militer

Menurut Pasal 9 UU No. 31 Tahun 1997 Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mempunyai wewenang :

1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah :


(36)

b) Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan Prajurit;

c) Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-undang;

d) Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf (a), huruf (b), dan huruf (c) tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer

2) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.

3) Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.

Dalam peradilan militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh mereka (prajurit TNI) yang dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yaitu :

1) Tempat kejadiannya berada didaerah hukumnya; atau

2) Terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya.

Apabila lebih dari 1 (satu) pengadilan berkuasa mengadili suatu perkara dengan syarat-syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang menerima perkara itu lebih dahulu harus mengadili perkara tersebut.

Susunan pengadilan dalam lingkungan peradilan militer terdiri dari :

1) Pengadilan Militer;

2) Pengadilan Militer Tinggi; 3) Pengadilan Militer Utama;


(37)

4) Pengadilan Militer Pertempuran.

Berdasarkan susunan pengadilan dalam peradilan militer dapat dikategorikan Nama, Tempat Kedudukan dan Daerah Hukumnya :

1) Pengadilan Militer

Tempat kedudukan Pengadilan Militer berada di tingkat komando daerah militer yang terdiri dari 19 Peradilan Militer di seluruh Indonesia. Dalam hal ini mempunyai kekuasaan untuk memeriksa dan memutus pada Tingkat Pertama terdakwa yang merupakan prajurit berpangkat kapten kebawah.

2) Pengadilan Militer Tinggi

§ Terdiri dari Pengadilan Militer Tinggi I yang berkedudukan di Medan yang daerah hukumnya meliputi Pengadilan Militer Aceh, Pengadilan Militer Medan, Pengadilan Militer Padang, Pengadilan Militer Palembang, Pengadilan Militer Pontianak, Pengadilan Militer Banjarmasin.

§ Pengadilan Militer Balikpapan. Pengadilan Militer Tinggi II berkedudukan di Jakarta meliputi Pengadilan Militer Bandung, Pengadilan Militer Semarang, Pengadilan Militer Jogyakarta.

§ Pengadilan Militer III berkedudukan di Surabaya meliputi Pengadilan Militer Madiun, Pengadilan Militer Surabaya, Pengadilan Militer Denpasar, Pengadilan Militer Makasar, Pengadilan Militer Manado, Pengadilan Militer Ambon, Pengadilan Militer Jayapura.

Mempunyai kekuasaan memeriksa dan memutus pada Tingkat Pertama terdakwa yang merupakan prajurit berpangkat mayor keatas, memeriksa memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.


(38)

§ Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama berada di Ibukota Negara Republik Indonesia yang daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. § Nama, tempat kedudukan, dan daerah hukum pengadilan

lainnya ditetapkan dengan Keputusan Panglima.

§ Apabila perlu, Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi dapat bersidang di luar tempat kedudukannya. § Apabila perlu, Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer

Tinggi dapat bersidang diluar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer Utama.

Kekuasaannya yaitu memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang diputus Pengadilan Militer Tinggi. Selain itu, memutus pada Tingkat Pertama dan terakhir sengketa mengadili :

a) Antar pengadilan Militer yang berada pada Wilayah hukum pengadilan Militer Tinggiyang berbeda

b) Antar Pengadilan Militer Tinggi

c) Antara pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi. 4) Pengadilan Militer Pertempuran

Berkedudukan dimana terjadi pertempuran berdasarkan Skep Pangap yang berkedududkan di Tingkat Pengadilan Militer. Dalam hal ini mempunyai kekuasaan yaitu memeriksa dan memutus pada Tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan terdakwa sesuai dalam pasal 9 ayat (1) di daerah pertempuran.

c. Hukum Acara Pada Peradilan Militer

Hukum acara pada peradilan militer yang diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 disusun berdasarkan pendekatan kesisteman dengan memadukan berbagai konsepsi hukum acara pidana nasional yang antara lain tertuang dalam


(39)

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 dengan berbagai kekhususan acara yang bersumber dasi asas dan ciri-ciri tata kehidupan Angkatan Bersenjata, yaitu :

1) Asas kesatuan Komando.

Dalam kehidupan militer dengan struktur organisasinya, seorang komandan mempunyai kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya. Oleh karena itu seorang komandan diberi wewenang penyerahan perkara dalam perkara pidana. Sesuai dengan asas kesatuan komando tersebut diatas, dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak dikenal adanya pra peradilan dan pra penuntutan. 2) Asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya

Dalam tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Angkatan Bersenjata, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru, bapak, dan pelatih sehingga seorang komandan harus bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya.

3) Asas kepentingan militer.

Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan perorangan. Namun, khusus dalam proses peradilan kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum.

Berdasarkan pendekatan kesisteman, sepanjang tidak bertentangan dengan asas dan ciri-ciri tata kehidupan Angkatan bersenjata, berbagai konsepsi dan rumusan hukum acara pidana yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 yaitu muatannya mencakup :

1) Tahap penyidikan

Atasan yang berhak menghukum, Polisi Militer dan Oditur adalah Penyidik. Namun kewenangan penyidikan yang ada pada Atasan yang berhak menghukum tidak dilaksanakan


(40)

sendiri, tetapi dilaksanakan oleh Penyidik Polisi Militer dan/atau Oditur. Dalam hal penyelidikan pelaksanaannya dilakukan oleh Penyidik polisi Militer. Atasan yang berhak menghukum dan Perwira Penyerah perkara mempunyai kewenangan penahanan, yang pelaksanaan penahanannya hanya dilaksanakan di rumah tahanan militer, karena di lingkungan peradilan militer hanya dikenal satu jenis penahanan yaitu penahanan di rumah tahanan militer.

2) Tahap penyerahan perkara

Wewenang penyerahan perkara kepada Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum ada pada Perwira Penyerah Perkara. Dalam hukum acara pidana militer, tahap penuntutan termasuk tahap penyerahan perkara, dan pelaksanaan penuntutan dilakukan oleh Oditur yang secara teknis yuridis bertanggung jawab kepada Oditur Jenderal, sedangkan secara operasional justisial bertanggung jawab kepada Perwira Penyerah Perkara.

3) Tahap pemeriksaan dalam persidangan

Dalam pemeriksaan perkara pidana dikenal adanya acara pemeriksaan biasa, cepat, khusus dan koneksitas. Acara pemeriksaan cepat adalah acara untuk memeriksa perkara lalu lintas dan angkutan umum. Acara pemeriksaan khusus adalah acara pemeriksaan pada Pengadilan militer Pertempuran, yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk perkara pidana yang dilakukan oleh Prajurit di daerah pertempuran yang hanya dapat diajukan permintaan kasasi. Acara pemeriksaan Koneksitas adalah tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalan lingkungan peradilan umum kecuali apabila menurut keputusan menteri dengan persetujuan


(41)

Menteri kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim bebas menentukan siapa yang akan diperiksa terlebih dahulu

Pada asasnya sidang pengadilan terbuka untuk umum, kecuali untuk pemeriksaan perkara kesusilaan, sidang dinyatakan tertutup. Pada prinsipnya pengadilan bersidang dengan hakim majelis kecuali dalam acara pemeriksaan cepat. Terhadap tindak pidana militer tertentu, Hukum Acara Pidana Militer mengenai peradilan in absensia yaitu untuk perkara desersi. Hal tersebut berkaitan dengan kepentingan komando dalam hal kesiapan kesatuan, sehingga tidak hadirnya prajurit secara tidak sah, perlu segera ditentukan status hukumnya.

4) Tahap pelaksanaan putusan

Pengawasan terhadap pelaksanaan putusan hakim dilaksanakan oleh Kepala Pengadilan pada tingkat pertama dan khusus pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat dilakukan dengan bantuan komandan yang bersangkutan, sehingga komandan dapat memberikan bimbingan supaya terpidana kembali menjadi prajurit yang baik dan tidak akan melakukan tindak pidana lagi.

Khusus dalam pelaksanaan putusan tentang ganti rugi akibat penggabungan gugatan ganti rugi dalam perkara pidana dilaksanakan oleh Kepala Kepaniteraan sebagai juru sita.


(42)

B. Kerangka Pemikiran

Makna dari Pasal 284 KUHP bahwa pelaku persetubuhan yang sudah terikat perkawinan yang dapat disebut dengan pezinah. Jika kedua-duanya sudah terikat dengan perkawinan maka kedua-duanya adalah pezina. Jika salah satu saja yang sudah terikat dengan perkawinan, maka yang belum atau tidak terikat itu disebut sebagai peserta zinah saja. Jika keduanya belum atau tidak terikat suatu perkawinan, maka tidak ada pezinah diantara mereka.

Persetubuhan “mau sama mau” dipandang sebagai perzinahan jika karenanya terjadi pelanggaran terhadap keluhuran perkawinan. Seseorang yang dapat melanggar janji perkawinannya sendiri adalah seseorang yang

Anggota TNI

Tindak Pidana Perzinahan

Pengaduan

Pemeriksaan Pengadilan

Militer

Penyelesaian Perkara

Hambatan Hukuman

Disiplin/ Administrasi


(43)

telah terikat pada perkawinan itu sendiri. Kiranya perzinahan hanya dapat dilakukan oleh orang yang terikat perkawinan.

Delik ini dinyatakan sebagai delik aduan, jika pengaduan diajukan dalam tenggang waktu 6 bulan, sesuai Pasal 74 KUHP dan diadukan oleh suami atau istri yang melakukan persetubuhan oleh suami atau istri yang telah melanggar janji perkawinannya. Sedangkan dalam TNI yang berhak mengadu bukan hanya suami atau istri yang telah dirugikan, namun orang lain atau pihak yang dirugikan juga berhak mengadu.

Setelah adanya pengaduan dilanjutkan dengan pemeriksaan Pengadilan Militer sebagai lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan perkara pada pelaku yaitu anggota TNI. Dalam penyelesaian perkara pun tidak lepas dari adanya hambatan atau permasalahan yang sering kali ditemukan dalam proses persidangan. Dapat diketahui pula mengenai sanksi disiplin/administrasi bagi pelanggar.

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Perzinahan Dalam Pengadilan Militer.

Sehubungan dengan asas monogami sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang perkawinan, maka seorang yang dulunya tidak tunduk pada asas monogami, sekarang dapat dituntut dan dipidana berdasarkan Pasal 284 KUHP yang mengatur tentang perzinahan. Pasal 284 KUHP merupakan delik aduan absolut, dimana pengaduan terhadap salah satu pihak berarti pengaduan juga untuk pihak lain yang melakukan perzinahan, sebab pengaduan adalah mengenai perbuatannnya dan bukan mengenai orang-orangnya yang melakukan perbuatan itu.

Dalam Pasal 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) disebutkan “terhadap tindak pidana yang tercantum dalam kitab


(44)

Undang-undang ini, yang dilakukan oleh orang-orang yang tunduk pada kekuasaan badan peradilan militer, diterapkan dengan undang-undang”.

Bagi anggota TNI yang melakukan perbuatan tindak pidana perzinahan juga diberlakukan Pasal 284 KUHP, apabila disidangkan di Pengadilan Umum. Namun, karena Indonesia meganut asas Lex Spesialis Derogat generalis, maka bagi anggota TNI yang disidangkan di Pengadilan Militer menggunakan ketentuan yang Tercantum dalam surat keputusan Menhankam Pangab Nomor Kep 01/I/1980 selain sanksi yang tercantum dalam pasal 284 KUHP.

Pada perkara tindak pidana perzinahan berdasarkan hasil penelitian mengenai tata cara yang digunakan dalam penyelesaian perkara ini dengan menggunakan acara pemeriksaan biasa dengan dasar hukum berupa KUHPM, KUHP dan Undang-undang No. 31 Tahun 1997, serta perundang-undangan lainnya. Dalam menyelesaikan suatu perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI di dalam persidangan mempertimbangkan berbagai rumusan hukum yang digunakan untuk mengadili. Hal ini berdasarkan pada KUHP dan Undang-undang No. 31 Tahun 1997 serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam penelitian ini penulis meneliti dan membahas Putusan Pengadilan Militer Yogyakarta terhadap Tindak Pidana Perzinahan yang telah diputus dan mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Dimana putusan tersebut sebagai wujud penyelesaian hukum oleh Hakim Pengadilan Militer Yogyakarta.

Salah satu kasus tindak pidana perzinahan pada Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta dengan terdakwa :

Nama Lengkap : SU (dengan inisial) Pangkat/Nrp : SERKA/597741

J a b a t a n : Ba Minlog sekarang Ba Kodim 0732/Sleman K e s a t u a n : Kodim 0732/Sleman

Tempat/tanggal lahir : Semarang, 30 Januari 1967

Alamat : Desa Mlandangan, Kec. Pace, Kab. Nganjuk Jenis kelamin : Laki-laki


(45)

Agama : Islam

Alamat tempat tinggal : Dusun Kemloko Desa Margorejo Kec. Tempel Kab. Sleman Yogyakarta.

Perkara yang telah dilakukan adalah terdakwa SU (dengan inisial) Prajurit TNI-AD sejak 1986/1987 yang saat ini SU ditugaskan di Kodim 0732/Sleman dan masih berstatus dinas aktif dengan pangkat Serka. Bahwa terdakwa yaitu Serka SU telah menikah secara resmi dengan sdri. SN di KUA Kecamatan Godean Kabupaten Sleman Yogyakarta sesuai kutipan Akta Nikah Nomor : 322/28/I1991 tanggal 26 Januari 1991 dan dikaruniai tiga orang anak. Sejak tahun 1998 telah kenal dengan sdri. WR yang merupakan istri dari Sertu ST teman Serka SU telah menikah secara resmi di KUA kecamatan Ngemplak Kabupaten Sleman Yogyakarta sesuai kutipan Akta Nikah Nomor : 54/7/V/1995 tanggal 18 April 1995. Pada + bulan Maret 2006, sdri. WR meminjam uang sebesar Rp. 600.000,-(enam ratus ribu rupiah) kepada Serka SU. Namun, hubungan diantara keduanya berlanjut hingga saling mencintai. Pada bulan Maret 2006 sekira pukul 24.00 pada saat melaksanakan tugas di Kodim 0732/ Sleman, Serka SU datang kerumah sdri. WR, kemudian merayu serta mengajak sdri. WR untuk melakukan persetubuhan dan sdri. WR menerima ajakan tersebut. Perbuatan tersebut tidak hanya dilakukan pada waktu itu saja melainkan lebih dari satu kali dan perbuatan itu dilakukan di rumah sdri. WR atas dasar suka sama suka pada saat Sertu ST sedang melaksanakan pidana di Masmil Cimahi Bandung. Kebenaran peristiwa itu di ketahui Sertu ST pada tanggal 7 November 2006 dengan menanyakan langsung kepada sdri. WR dan saat itu diakuinya. Kemudian Sertu ST tidak tinggal diam, ia melaporkan permasalahan tersebut kepada Pasi Intel Kodim 0732/Sleman Kapten Inf Suwardi kemudian pada tanggal 21 Desember 2006 ia membuat surat pengaduan. Yang kemudian perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Militer Yogyakarta II-11 Yogyakarta.


(46)

Pengaduan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak dan kewajibannya berdasarkan Undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang diduga akan terjadi tindak pidana. Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 31 Tahun 1997 pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang merugikan.

Apabila yang menerima telah melakukan laporan adalah Atasan yang berhak menghukum atau Ankum, maka ia segera menyerahkan pelaksanaan penyelidikan kepada Penyidik, selanjutnya Penyidik yang menerima Pengaduan wajib segera melakukan penyidikan (Pasal 99 ayat (1) UU No.31 Tahun 1997).

Kemudian penyidik yang melakukan penyidikan wajib melaporkannya kepada atasan yang berhak menghukum dari tersangka. Adapun yang berhak membuat pengaduan (pasal 100) adalah :

§ setiap orang yang menjadi korban tindak pidana § setiap orang yang mengalami tindak pidana § setiap orang yang menyaksikan tindak pidana

§ setiap orang yang secara langsung mengetahui terjadinya tindak pidana § setiap orang yang melihat atau mendengar secara langsung tentang

terjadinya tindak pidana yang dilakukan seseorang (Darwan Prints, 2003:16).

Pasal 284 adalah suatu delik aduan yang absolut, artinya tidak dapat dituntut apabila tidak ada pengaduan dari pihak suami atau istri yang dirugikan. Selama prkara itu belum diperiksa dimuka persidangan, maka pengaduan itu senantiasa masih dapat ditarik kembali. Mengenai pengaduan ini maka Pasal 72, 73 dan 75 KUHP tidak berlaku.

Pengaduan ini tidak boleh dibelah, maksudnya apabila pihak laki-laki (A) mengadukan bahwa istrinya (B) telah berzinah dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai pihak yang melakukan perzinahan dan (C) sebagai turut serta perzinahan kedua-duanya harus dituntut.


(47)

Tidak mungkin misalnya minta supaya pihak yang dituntut tersebut hanya (C) saja, sedangkan (B) karena atas dasar masih cinta tidak dituntut. Hal ini tidak mengurangkan, bahwa oditur selaku Penuntut Umum berdasarkan asas Opportunitas sesungguhnya berkuasa untuk tidak melakukan penuntutan terhadap perempuan itu.

Meskipun belum ada pengaduan dari yang berkepentingan, polisi tidak dilarang untuk mengadakan pemeriksaan bila menjumpai peristiwa perzinahan, bahkan dalam hal-hal tertentu ia harus mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan guna menjaga keamanan dan ketertiban umum.

Sudah jelas bahwa Pasal 284 KUHP merupakan delik aduan absolut, berarti suami/istri yang dipermalukan ini menjadi pengadu, namun hal ini seringkali suami atau istrinya tidak mau mengadu, karena alasan cinta kepada istri/suaminya atau anak-anaknya atau menjaga karier suaminya. Apabila menemui hal seperti ini menjadi perhatian nama kesatuan prajurit dalam menjaga disiplin kesatuan.

Dalam hal ini Sertu ST sebagai Pengadu atas perzinahan yang dilakukan Serka SU dengan istri Sertu ST, ia melaporkan permasalahan tersebut kepada Pasi Intel Kodim 0732/Sleman Kapten Inf Suwardi kemudian pada tanggal 21 Desember 2006 ia membuat surat pengaduan. Kemudian perkara tersebut diajukan ke Pengadilan Militer Yogyakarta II-11 Yogyakarta.

Adapun Tahap Pemeriksaan Permulaan Persidangan adalah sebagai berikut :

1. Penelitian Berkas Perkara

Kadilmil segera meneliti dan mempelajari berkas perkara berikut lampirannya yang diterima dari Baotmil untuk mengetahui apakah berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan formil dan materil yang telah ditentukan. Dalam ketentuan Pasal 132 UU No. 31 tahun 1997 menentukan bahwa sesudah Pengadilan Militer menerima pelimpahan berkas perkara Oditur Militer segera mempelajari apakah perkara itu


(48)

termasuk wewenang Pengadilan militer yang di pimpinnya apa tidak, hal ini tentu harus diperiksa syarat formil atau materilnya termasuk ada atau tidak surat pengaduan dalam perkara perzinahan (Pasal 284 KUHP).

a. Pemeriksaan syarat formil dan materil adalah sebagai berikut : 1) Persyaratan formil

Persyaratan formil dalam berkas perkara adalah suatu kelengkapan berkas perkara sesuai dngan bentuk dan hasil dari penyidikan, biasanya berbentuk dokumen atau surat-surat yang menyebutkan kejadian atau suatu tindak pidana.

Persyaratan formil dalam suatu berkas perkara yang perlu diperhatikan adalah sebagai berikut :

a) Kelengkapan berkas perkara terdiri dari : - Sampul daftar pemeriksaan pendahuluan - Laporan polisi

- Berita Acara Pendapat - Daftar nama Tersangka

- Berita Acara Pemeriksaan Tersangka - Daftar Nama Saksi

- Berita Acara Pemeriksaan Saksi - Berita Acara Penyumpahan Saksi - Daftar barang Bukti

- Berita Acara Penyerahan barang Bukti

- Surat Permohonan VER (Visum Et Repertum) - VER

- Surat Perintah Penahanan - Surat pembebasan Penahanan - Surat-surat lain yang perlu.

b) Status tersangka (mutasi, skorsing, dipecat, MPP, pensiun, dan lain-lain).


(49)

c) Apakah ada surat pengaduan dari yang berhak mengadu, jika perkara tersebut merupakan delik aduan, termasuk dalam perkara perzinahan (Pasal 284 KUHP).

Setelah pengadilan Militer menerima pelimpahan berkas perkara dari Oditur Militer, selain memeriksa kelengkapan berkas perkara sebagaimana tersebut diatas, maka syarat formil lainnya yang harus diteliti adalah sebagai berikut :

- Berita Acara Pendapat Oditur Militer - Surat Pendapat Hukum Kepala Oditurat - Surat keputusan Penyerahan Perkara - Surat Dakwaan.

2) Persyaratan Materil

Persyaratan Materil adalah suatu uraian fakta tentang rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh terdakwa, secara cerma, jelas, dan lengkap, apakah rangkaian perbuatan terdakwa tersebut sudah memenuhi unsur tindak pidana.

Berdasarkan ketentuan Pasal 124 UU No. 31 Tahun 1997 menentukan bahwa : Oditur Militer dapat meminta kepada penyidik dalam hal ini Polisi Militer untuk melengkapi persyaratan formal yang masih kurang, tetapi apabila hasil penyelidikannnya dirasa belum cukup (belum memenuhi syarat materilnya), Oditur dapat melakukan pemeriksaan tambahan (Nasporing) untuk melengkapi atau mengembalikan berkas perkara kepada penyidik dengan disertai petunjuk tentang hal-hal yang diperlukan (Joko Sasmito, 2006: 4-6).

b. Dalam hal Kadilmil berpendapat bahwa perkara tersebut termasuk dalam kewenangan Pengadilan yang dipimpinnya, maka ia segera menunjuk Hakim Militer yang nantinya akan menyidangkan perkara tersebut.

c. Dalam Hakim Militer yang ditunjuk berpendapat bahwa terdapat kekeliruan atau kekurangan dalam surat dakwaan, ia dapat


(1)

a. Dalam bidang disiplin militer :

– Hukuman penurunan pangkat bagi yang berpangkat Bintara/Tamtama.

– Hukuman disiplin militer yang terberat sesuai dengan KUHDT jo PDT bagi Perwira.

b. Dalam bidang Administratif : – Penundaan kenaikan pangkat

– Pemindahan jabatan sebagai tindakan Administratif – Pengakhiran ikatan dinas

– Pemberhentian dari dinas ABRI.

Mengenai subyek hukum disiplin militer sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 KUHDM adalah militer jadi bukan anggota ABRI atau lainnya. KUHDM sendiri menentukan ada 2 jenis pelanggaran disiplin. Pertama pada pasal 2 ke 1 yang dalam pelajaran dan praktek dikenal dengan sebutan pelanggaran disiplin yang murni atau pelanggaran disiplin yang sebenarnya. Kedua adalah sebagai yang tertera dalam pasal 2 ke-2 sampai dengan ke-6 yang biasa disebut pelanggaran disiplin yang tidak murni atau pelangggaran disiplin yang tidak sebenarnya.

Menurut Pasal 2 ke-1 KUHPM yang dimaksud dengan pelangggaran disiplin yang murni adalah semua perbuatan yang tidak tercantum dalam perundang-undangan ketentuan pidana, yang bertentangan dengan suatu perintah dinas atau peraturan dinas atau yang tidak layak terjadi didalam disiplin atau ketentuan militer. Sedangkan untuk pelangggaran disiplin tidak murni terlihat dari Pasal 2 ke-2 sampai dengan ke-6 KUHDM yang dirumuskan secara padat dengan cara penunjukan (verwijzing) kepada sekian banyaknya pasal-pasal KUHDM. Pasal KUHP dan perundang-undangan pidana lainnya diluar ke 2 (dua) kitab undang-undang tersebut diatas (Amiroedin Syarif, 1996: 14).

Tindak pidana perzinahan memang bukan perkara yang ringan sifatnya, namun mengingat perbuatan itu tidak layak terjadi dalam kehidupan militer dan mungkin saja seorang Ankum dengan itikad baik


(2)

menangani secara disipliner suatu perbuatan tindak pidana yang dilakukan anak buahnya dengan pertimbangan perlu diadakan tindakan yang cepat terhadap setiap pelanggaran yang dilakukan anak buahnya bahwa setiap pelanggaran mendapat ganjaran, maka atas dasar hal tersebut terhadap perkara perzinahan dapat juga dijatuhi sanksi hukuman disiplin militer.

Mengenai sanksi Administratif bagi anggota TNI yang melakukan pelanggaran salah satunya diatur dalam PP No. 6 Tahun 1990 tentang Administrasi prajurit TNI. Pada bab VII mengenai pemberhentian sementara dari jabatan, pasal 39 ayat 1 menyatakan :

“Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diberhentikan sementara dari jabatan apabila :

a. Dipandang perlu untuk kepentingan kedinasan dan/atau disiplin karena diduga melakukan perbuatan yang merugikan atau dapat merugikan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

b. Beberapa dalam hal penahanan yustisial.

c. Sedang mengalami hukuman penjara atau hukuman kurungan serendah-rendahnya 1 bulan berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (Departeman Pertahanan Keamanan, 1996:139).

Sebagai tindak lanjut dari sanksi administrasi berupa pemberhentian sementara dari jabatan yang tercantum dalam PP No.6 Tahun 1990 tentang Administrasi ABRI, maka dapat dilaksanaan dengan mengacu pada buku petunjuk pelaksanaan hukum administrasi personil mengenai pemberhentian sementara dari jabatan (schorsing) beserta tindak lanjut didalamnya disebutkan bahwa selama dalam status diberhentikan sementara dari jabatan, tidak berhak untuk :

a. Diusulkan kenaikan pangkat dan pelaksanaan kenaikan pangkat.

b. Diusulkan mengikuti pendidikan dan pelaksanaan mengikuti pendidikan.

c. Diperhitungkan masa kerja sesungguhnya dan masa kerja gaji. Saat berlakunya :


(3)

a. Pengurangan gaji, tunjangan jabatan dan fasilitas tersebut diatas berlaku mulai tanggal 1 bulan berikutnya dari bulan mulai berlakunya pemberhentian sementara dari jabatan.

b. Peniadaan hak atas usul kenaikan pangkat, usul mengikuti pendidikan dan pelaksanaan mengikuti pendidikan tersebut diatas berlaku mulai tanggal dikeluarkannnya Skep pemberitahuan sementara.

Sebagai kelanjutan dari pemberhentian sementara dari jabatan karena alasan tersebut pada huruf a, maka bagi anggota TNI :

a. Dapat dilanjutkan dengan pemberhentian tidak hormat dari dinas TNI (dipecat).

b. Pemberhentian tidak dengan hormat tersebut dilakukan bisa yang bersangkutan mempunyai tabiat yang nyata-nyata merugikan atau dapat merugikan disiplin dan dinas TNI.

c. Bagi seorang Perwira pemberhentian dengan tidak hormat tersebut hanya dilakukan setelah melalui pertimbangan dewan kehormatan militer.

Terhadap yang melakukan perbuatan sebagaimana tersebut dalam huruf a, Ankum yang bersangkutan dapat mengambil tindakan melarang melakukan jabatan, sebagai tindakan permulaan dalam rangka pemberhentian sementara dari jabatan.

Dalam penyelesaian perkara ini dapat diketahui bahwa tidak diadili melalui pengadilan Militer namun diselesaikan pada komandan kesatuannnya sehingga proses pelaksanaannya pada Papera langsung kepada terhukum. Dapat dilihat pula bahwa proses penyelesaian pada perkara perzinahan secara hukum disiplin pada dasarnya prajurit yang melanggar ketentuan ini merupakan pelanggar kejahatan atau telah melakukan tindak pidana, namun apabila pelanggaran tersebut tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana atau tindakan dianggap sedemikian ringan sifatnya maka tindak pidana susila (perzinahan) ini dapat diselesaikan secara Hukum disiplin oleh Ankum.


(4)

Setiap hukuman disiplin harus segera dilaksanakan setelah keputusan dijatuhkan kecuali dalam hal tertentu adanya penundaan pelaksanaan hukuman antara lain : terhukum mengajukan keberatan dalam hal penurunan pangkat dan diputuskan ileh Ankum tingkat II untuk menunda pelaksanaan.

Tindakan perzinahan yang dilakukan prajurit TNI tersebut jelas dapat dikenakan tindakan administrasi berupa Pemberhentian dari dinas TNI.

C.Hambatan dan Permasalahan dalam penyelesaian perkara perzinahan Bahwa dalam praktek persidangan seringkali ditemukan hal-hal baik merupakan hambatan ataupun menjadi permasalahan. Hambatan dan permasalahan itu antara lain :

1. Perkara oleh Oditur pada mulanya disarankan kepada Papera didisiplinkan saja, misalnya karena unsur-unsur baik dalam Pasal 284 KUHP lemah. Namun oleh Papera dikeluarkan Skeppera dan Oditur meneruskan berkas perkara kepada Pengadilan Militer, dengan harapan keterangan saksi-saksi bisa dikembangkan didalam persidangan. Padahal sebenarnya Oditur lebih dahulu mengadakan pemeriksaan tambahan sebelum berkas perkara dilimpahkan. Karena keadaan perkara yang demikian sejak awalnya dan tidak berkembang, maka putusan Penagdilan Militer adalah membebaskan terdakwa.

2. Seperti halnya perkara-perkara lain yang penting termasuk pula perkara delik zinah. Perkara ini tidak dapat disidangkan berhubung karena antara lain :

– Terdakwa sudah dipecat atau pensiun sehingga sulit ditemukan alamatnya.

– Saksi korban/saksi utama yang tidak hadir, padahal sangat penting kesaksiannya. Biasanya saksi ini sudah kawin dan pindah ke kota lain, sehingga alamatnya sudah tidak diketahui lagi.


(5)

3. Istri yang kedua ini secara resmi disahkan oleh kesatuan yang baru, padahal oleh Kesatuan yang lain Terdakwa ini diadukan istrinya telah berbuat zinah. Pengadilan dalam putusannya menghukum Terdakwa bersalah melanggar Pasal 284 KUHP.

Dalam hal ini Yang dimaksud dengan permasalahan disini yaitu bagaimana Putusan Majelis Hakim Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta memutus perkara Perzinahan oleh terdakwa yang berstatus sebagai prajurit TNI, sehingga perundang-undangan mana yang akan digunakan untuk menjatuhkan pidana bagi terdakwa. Untuk itu lebih lanjutnya akan penulis mencoba membahas permasalahan yang timbul dalam praktek penyelesaian perkara pembocoran Ujian Akhir Nasional yang diperoleh dari hasil wawancara penulis dengan Hakim Pengadilan Negeri Ngawi yang menangani perkara ini.

Sebagaimana yang telah diuraikan diatas hambatan dan permasalahann disini pertama yaitu mengenai berkas perkara yang tidak lengkap tidak diketahui sampai pada proses persidangan sehingga dapat mengakibatkan keadaan perkara tidak berkembang dan pengadilan menjatuhkan putusan bebas. Selain itu dalam hal proses yang telah dilimpahkan ke pengadilan Militer tidak lengkap juga dapat membebaskan terdakwa, namun dalam hal ini bebas bukan berarti bisa bebas dari hukuman. Terdakwa dapat dikenakan sanksi yaitu sanksi administrasi. Apabila adanya pencabutan pengaduan sehingga perkara tersebut dikembalikan kepada atasannya atau Papera (Perwira Penyerah Perkara) untuk diproses hukuman pemecatan atau hukuman lainnya.

Hal kedua yaitu terdakwa yang sudah dipecat sulit ditemukan alamatnya, padahal hal ini dimungkinkan untuk proses pemeriksaan lebih lanjut. Selain itu kehadiran saksi korban atau saksi utama yaitu orang yang menjadi korban terhadap tindak pidana tersebut merupakan kunci utama dalam menemukan fakta-fakta hingga akan berpengaruh pada putusan.


(6)

Bahwa berdasarkan asas monogami seorang prajurit TNI hanya dapat beristri satu orang, apabila terjadi perbuatan yang melanggar Pasal 284 KUHP maka baik dari kesatuan maupun dalam pemeriksaan persidangan, terdakwa harus memilih salah satu istri yang sah dan seijin dari komandan kesatuannya sedangkan perempuan yang tidak sah harus diceraikan.


Dokumen yang terkait

Penerapan alat bukti pada proses penyelesaian tindak pidana insubordinasi Yang dilakukan oleh anggota tni dalam lingkungan peradilan militer (studi kasus di pengadilan militer ii 11 yogyakarta)

2 36 72

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN ANGGOTA TNI Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Anggota TNI Di Lingkungan Pengadilan Militer II-10 Semarang.

0 2 17

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA YANG DILAKUKAN ANGGOTA TNI Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Anggota TNI Di Lingkungan Pengadilan Militer II-10 Semarang.

0 5 12

PENDAHULUAN Penyelesaian Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Anggota TNI Di Lingkungan Pengadilan Militer II-10 Semarang.

0 2 19

SKRIPSI PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG DILAKUKAN Proses Penyelesaian Perkara Pidana Yang Dilakukan Oleh Anggota TNI Studi Kasus di DENPOM Salatiga, Pengadilan Militer II-10 Semarang.

0 2 12

PENDAHULUAN Proses Penyelesaian Perkara Pidana Yang Dilakukan Oleh Anggota TNI Studi Kasus di DENPOM Salatiga, Pengadilan Militer II-10 Semarang.

0 3 17

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI Proses Penyelesaian Perkara Pidana Yang Dilakukan Oleh Anggota TNI Studi Kasus di DENPOM Salatiga, Pengadilan Militer II-10 Semarang.

1 2 29

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN PRAJURIT TNI DI WILAYAH HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN PRAJURIT TNI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II-10 SEMARANG DAN PENGADILAN MILITER II-11 YOGYAKARTA.

0 0 12

PENDAHULUAN PENYELESAIAN PERKARA PIDANA PERZINAHAN YANG DILAKUKAN PRAJURIT TNI DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II-10 SEMARANG DAN PENGADILAN MILITER II-11 YOGYAKARTA.

0 0 15

PENYELESAIAN TINDAK PIDANA PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM TNI DI PENGADILAN MILITER I-03 PADANG.

0 0 7