Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

dan tesis ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari tesis orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada tesis yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya. Dari hasil observasi yang telah dilakukan, ada beberapa tesis yang memiliki topik yang sama, namun dalam hal permasalahan dan pembahasannya jelas berbeda dengan isi tesis ini, yakni : 1. Pengaturan Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami Studi : Di Kecamatan Medan Maimun oleh Mahasiswa Magister Kenotariatan Fitria Agustina. 2. Perjanjian Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Hukum Islam oleh Mahasiswa Magister Kenotaritan Irma Febriani Nasution. 3. Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian oleh Mahasiswa Magister Kenotariatan Lusinda Maranatha Siahaan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. 23 Sedang kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran 23 JJ.M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, Penyunting M. Hisyam, Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996, hlm. 203. Universitas Sumatera Utara atau butir-butir pendapat teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui. 24 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahanpetunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati. 25 Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan diri kepada unsur hukum. Dalam ilmu hukum, ada empat unsur yang merupakan fondasi penting, yaitu : moral, hukum, kebenaran, keadilan. Akan tetapi menurut filosof besar bangsa Yunani, yaitu Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato, “Justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues.” 26 Dikaitkan dengan fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum. 27 24 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Madju, 1994, hlm. 80. 25 Snelbecker dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993, hlm. 35. 26 Roscoe Pound, Justice According To Law, Yale University Press, New Haven USA, 1952, hlm. 3. 27 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hlm. 77. Universitas Sumatera Utara Tentang isi keadilan sukar untuk memberi batasnya. Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva dan justitia commutativa. Justitia distributiva menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya, yang adil di sini ialah apabila setiap orang mendapat hak atau jatahnya secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemampuan dan sebagainya. Sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya, yang adil ilah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya. 28 Menganalisis perlindungan terhadap hak-hak isteri pada perkawinan poligami melalui perjanjian perkawinan didasarkan pada pengertian tanggung jawab dalam perjanjian yang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksa pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku. 29 Salah satu teori hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut teori kehendak, suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak diantara para 28 Ibid., hlm. 78-79. 29 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 59. Universitas Sumatera Utara pihak, yang harus dihormati dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak terdapat asumsi bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan terhadap para pihak. 30 Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu : 31 1. Ajaran kehendak wilsleer, dimana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin yang ada dalam kehendak subjektif para calon kontraktan. 2. Pandangan normatif Van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikitpun tidak memainkan peranan. Apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada hakikatnya tergantung pada penafsiran normatif para pihak pada persetujuan ini tentang dan peristiwa yang dihadapi bersama. 3. Ajaran kepercayaan vetrouwensleer, ajaran ini mengandalkan kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi terbentuknya suatu persetujuan. Perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian sebagai sumber 30 Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, Bandung : Refika Aditama, 2004, hlm. 39. 31 Ibid, hlm. 40. Universitas Sumatera Utara perikatan berbeda dari sumber perikatan lain, berdasarkan pada sifat kesukarelaan dari pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi terhadap lawan pihaknya dalam perikatan tersebut. Dalam perjanjian, pihak yang wajib untuk melakukan suatu prestasi, dalam hal ini debitur, dapat menentukan terlebih dahulu, dengan menyesuaikan pada kemampuannya untuk memenuhi prestasi dan untuk menyelaraskan dengan hak yang ada pada lawan pihaknya, apa, kapan, dimana, dan bagaimana ia akan memenuhi prestasinya. 32 Membicarakan perjanjian, tidak dapat dilepaskan dari KUH Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 33 Menurut R. Setiawan, rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dipergunakannya perkataan “perbuatan” yang berarti tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai defenisi tersebut, sehingga perumusannya menjadi : “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 34 Sesuai dengan perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum, melainkan merupakan hubungan hukum. Pandangan ini dikemukakan oleh Van 32 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hlm. 14 33 Pasal 1313 KUH Perdata 34 R. Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung : Binacipta, 1979, hlm. 49. Universitas Sumatera Utara Dunne, yang mengartikan tentang perjanjian, yaitu : “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 35 Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat, hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya atau pemenuhannya. 36 Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas yang menguasai hukum perjanjian yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan yaitu, asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat pacta sunt servanda, dan asas itikad baik. Asas konsensualisme dilahirkan pada saat momentum awal perjanjian terjadi, yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata. Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat menentukan bentuk dan isi dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan dan bukanlah sesuatu yang terlarang Pasal 1320 angka 4 KUH Perdata. Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi perjanjian ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau dapat dipersamakan dengan itu. 35 Lely Niwan, Hukum Perjanjian, Yogyakarta : Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, 1987, hlm. 26. 36 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op.cit, hlm. 14. Universitas Sumatera Utara Akibatnya perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sesuai asas pacta sunt servanda yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang menyatakan : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” dan asas itikad baik yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUH Perdata yang menyatakan : “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. 37 Menurut bentuknya, ada perjanjian yang berbentuk baku dan ada yang berbentuk timbal balik. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, sedangkan perjanjian berbentuk timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu dengan lainnya pihak satu yang mempunyai hak dan pihak lain sebagai pihak yang berkewajiban. 38 Perjanjian perkawinan dikategorikan sebagai perjanjian yang timbal balik tidak baku, untuk melakukan hal-hal tertentu, dimana pihak pertama menghendaki dari pihak kedua agar dilakukannya suatu hal untuk mencapai sesuatu tujuan. 37 Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata Seri Hukum Bisnis, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 263-283. 38 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 43. Universitas Sumatera Utara

2. Kerangka Konsepsi