Perlindungan Terhadap Hak-hak Istri pada Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

(1)

PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK ISTERI PADA

PERKAWINAN POLIGAMI MELALUI PERJANJIAN

PERKAWINAN MENURUT PASAL 29 UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 1974

TESIS

OLEH

NORA SARI DEWI NASUTION

087011085/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK ISTERI PADA

PERKAWINAN POLIGAMI MELALUI PERJANJIAN

PERKAWINAN MENURUT PASAL 29 UNDANG-UNDANG

NOMOR 1 TAHUN 1974

T E S I S

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

NORA SARI DEWI NASUTION

087011085/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(3)

JUDUL TESIS : PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK ISTRI

PADA PERKAWINAN POLIGAMI MELALUI

PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT PASAL 29 UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 NAMA MAHASISWA : NORA SARI DEWI NASUTION

NIM : 087011085

PROGRAM STUDI : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Dr. T. Keizerina Devi A,SH, CN, M.Hum) (Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 06 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN Anggota : 1. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum

2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn

3. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum 4. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum


(5)

ABSTRAK

Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada hakekatnya mengandung pengertian suatu ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai sepasang suami istri untuk hidup bersama dengan tujuan membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera, dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada prinsipnya mengandung azas monogami, dimana satu orang suami hanya boleh mempunyai satu orang istri, demikian pula sebaliknya. Perkawinan poligami merupakan suatu pengecualian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan wajib memenuhi sejumlah syarat, ketentuan dan prosedur hukum yang telah diterapkan. Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan salah satu pasal yang bertujuan untuk melindungi hak-hak para istri yang dipoligami, yaitu dengan mengadakan suatu perjanjian tertulis pra perkawinan yang memuat dan mengatur hak-hak dan kewajiban suami istri apabila melaksanakan perkawinan poligami. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi pengaturan perlindungan hak-hak istri dalam perkawinan poligami yang telah dicatatkan, hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan bagi istri yang dipoligami dan juga akibat hukum yang timbul jika suami yang berpoligami melanggar perjanjian perkawinan tersebut.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang memaparkan, menganalisa dan menyimpulkan masalah perkawinan poligami dan permasalahan yang terkait didalamnya dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan. Bahan-bahan hukum yang diperoleh terdiri dari bahan hukum primer yaitu undang-undang tentang perkawinan dan peraturan yang terkait dengan perkawinan tersebut. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari hasil-hasil penelitian, laporan-laporan serta artikel yang berkaitan dengan penelitian ini.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan hak-hak istri dalam perkawinan poligami yang dicatatkan dapat dilakukan melalui pembuatan perjanjian sebelum perkawinan dilangsungkan. Akte perjanjian perkawinan tersebut bersifat akta autentik (notaril) yang terdiri dari beberapa pasal yang pada intinya berisikan hak-hak dan kewajiban seorang istri yang dipoligami terutama di bidang harta benda perkawinan, dan hak-hak lainnya yang berupa nafkah lahir batin yang wajib dipenuhi oleh suami yang berpoligami, termasuk larangan penggunaan kekerasan dalam perkawinan, hak-hak asuh anak bila terjadi perceraian. Akibat hukum apabila suami melanggar hal-hal yang telah diperjanjikan dalam perjanjian sebelum perkawinan tersebut berlangsung, dapat diancam dengan hukuman ganti rugi sebagai pengganti hak-hak bagi pihak yang dirugikan. Bentuk ganti rugi yang dimaksud adalah ganti rugi yang telah disepakati kedua belah pihak yang telah tertuang dalam perjanjian tersebut. Disamping itu pelanggaran perjanjian dapat pula dijadikan alas an oleh istri yang dipoligami untuk menuntut perceraian ke pengadilan Agama.


(6)

ABSTRACT

Marriage, according to Article I of Marriage Law No. 1/1974, basically constitutes a material and spiritual bond between a man and a woman, where a close and lofty relationship was established between a husband and a wife who pledge allegiance to live together happily, prosperously, and eternally, based on God Almighty. Law No. 1/1974 on Marriage principally constituted to pronciple of monogamy in which a man could marry only one woman at one time, and vice versa. Polygamy is an exception of Law No. 1/1974 in which the married couple must comply with a number of requirements and legal procedures which have been applied. Article 29, paragraph (1)of Law No. 1/1974 is one of the articles which is aimed to protect the rights of the polygamous wives by making a written agreement prior to marriage which contains and regulatesn the husband’s and the wives right and obligation in the polygamous marriage. The problems discussed in this research included the regulations on the protection of the wives’ right in legal polygamous marriage, anything which has been promised in the marriage contract to the polygamous wives’ and the legal consequences which might arise when the polygamous husbands violate the marriage law.

This research was descriptive analytic with judicial normative approach in which the research desribed, analyzed and concluded the problems of polygamous marriage and any problems which were related to it which refereed to legal norms found in the legal provisions on marriage. The legal materials consisted of the primary legal materials such as marriage law and legal provisions which were related to the marriage. The secondary legal materials consisted of the results of researches, reports and articles which were reklated to the research.

The result of the research showed that the protection of the wives’ rights in the legal polygamous marriage could be done through the marriage contract prior to the marriage. The marriage contract should be authentic (notarial). Consisted of some articles which basically contained the polygamous wives’ right and obligation, especially the joint property and the other rights such as the financial and conjugal rights which had to be fulfilled by the polygamous husbands, including the prohibition against violence in married life and the custody of the children if there was a divorce. A legal consequence would be taken by the husband if he broke the agreement of the marriage contract. Besides that, the violation of the agreement could be taken as the reason for the polygamous wives to life a claim for divorce to Religious Court.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini tepat pada waktunya. Adapun judul tesis ini adalah “Perlindungan Terhadap Hak-hak Istri pada Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan Menurut Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dan dorongan baik berupa masukan maupun saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar BapakProf. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN,selaku Pembimbing utama penulis, IbuDr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum, selaku Pembimbing II penulis, IbuChairani Bustami, SH, SpN, MKn,selaku selaku Pembimbing III penulis yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat dan amat terpelajar Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum dan Ibu Dr. Utary Maharani Barus, SH, M.Hum yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Dalam kesempatan ini penulis juga dengan tulus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. BapakProf. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSC (CTM),, Sp.A (K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kesempatan dan


(8)

fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.

2. BapakProf. Dr. Runtung, SH. MHum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah memberi kesempatan dan fasilitas kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini.

3. BapakProf. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus pembimbing yang telah memberikan bimbingan serta saran yang membangun kepada penulis Tesis ini.

4. Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

5. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ayahanda Bapak H. Bahman Nasution, SH dan Ibunda Rosmala Dewi Batubara, yang telah melahirkan, mengasuh, mendidik dan membesarkan penulis, Ayah dan Ibu mertua, BapakUssulluddin Lubisdan IbuHj. Dahliana Pulungan,yang telah memberikan bimbingan, perhatian dan doa yang cukup besar selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada suami tercinta Syahril Lubis, SE, serta kakak dan adik-adikku Drg. Suri Kumala Dewi Nasution, A. Putra Rahmadan NasutiondanAkbar Halim Nasution, juga kepada Staf bagian Pendidikan Magister Kenotariatan USU,Bu Fatimah, Kak Lisa, Kak Sari, Kak Winda, Afni, Bang Iken, Bang Aldy dan Bang Rizal, yang selama ini telah


(9)

memberikan semangat dan doa restu serta kesempatan untuk menimba ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun tak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Medan, Agustus 2011 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Nora Sari Dewi Nasution Tempat/Tanggal Lahir : Binjai, 05 September 1986 Status : Menikah

Pekerjaan : PNS

Alamat : Jl. STM / Pembangunan No. 34/18 Medan

II. KELUARGA

Nama Suami : Syahril Lubis, SE Pekerjaan : PT. Bank Sumut

III. PENDIDIKAN

- SD : SD Taman Siswa Binjai (Tahun 1992 s/d 1998) - SLTP : SLTP Ahmad Yani Binjai (Tahun 1998 s/d 2001) - SMU : SMU Kartika I-2 Medan (Tahun 2001 s/d 2004) - Perguruan Tinggi : - Fakultas Hukum Universitas Pembangunan

Panca Budi Medan (Tahun 2004 s/d 2008) - Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Permasalahan ... 9

C. Tujuan Penelitian... 10

D. Manfaat Penelitian... 10

E. Keaslian Penulisan... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

G. Metode Penelitian... 20

BAB II PERLINDUNGAN HAK ISTRI DALAM PERKAWINAN POLIGAMI YANG DICATATKAN... 25

A. Hak-hak Istri dalam Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam 25 B. Hak-hak Istri dalam Perkawinan Poligami... 38

BAB III HAL-HAL YANG DAPAT DIPERJANJIKAN DALAM PERKAWINAN POLIGAMI... 52

A. Kedudukan Istri-istri dalam Perkawinan Poligami... 52

B. Perjanjian Perkawinan Poligami... 54

C. Hal-hal yang Diperjanjikan dalam Perjanjian Perkawinan Poligami... 62

D. Hal-hal yang Diperjanjikan dalam Perkawinan Poligami ... 74

BAB IV AKIBAT HUKUM PELANGGARAN ATAS PERJANJIAN PERKAWINAN POLIGAMI... 88


(12)

A. Sanksi-sanksi dalam Perjanjian Perkawinan Poligami... 88

B. Pelanggaran dalam Perjanjian Perkawinan Poligami ... 89

C. Akibat Hukum Pelanggaran dalam Perjanjian Perkawinan Poligami... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 94

A. Kesimpulan... 94

B. Saran ... 95


(13)

ABSTRAK

Perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pada hakekatnya mengandung pengertian suatu ikatan lahir bathin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai sepasang suami istri untuk hidup bersama dengan tujuan membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera, dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada prinsipnya mengandung azas monogami, dimana satu orang suami hanya boleh mempunyai satu orang istri, demikian pula sebaliknya. Perkawinan poligami merupakan suatu pengecualian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan wajib memenuhi sejumlah syarat, ketentuan dan prosedur hukum yang telah diterapkan. Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 merupakan salah satu pasal yang bertujuan untuk melindungi hak-hak para istri yang dipoligami, yaitu dengan mengadakan suatu perjanjian tertulis pra perkawinan yang memuat dan mengatur hak-hak dan kewajiban suami istri apabila melaksanakan perkawinan poligami. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini meliputi pengaturan perlindungan hak-hak istri dalam perkawinan poligami yang telah dicatatkan, hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan bagi istri yang dipoligami dan juga akibat hukum yang timbul jika suami yang berpoligami melanggar perjanjian perkawinan tersebut.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang memaparkan, menganalisa dan menyimpulkan masalah perkawinan poligami dan permasalahan yang terkait didalamnya dengan mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan. Bahan-bahan hukum yang diperoleh terdiri dari bahan hukum primer yaitu undang-undang tentang perkawinan dan peraturan yang terkait dengan perkawinan tersebut. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari hasil-hasil penelitian, laporan-laporan serta artikel yang berkaitan dengan penelitian ini.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perlindungan hak-hak istri dalam perkawinan poligami yang dicatatkan dapat dilakukan melalui pembuatan perjanjian sebelum perkawinan dilangsungkan. Akte perjanjian perkawinan tersebut bersifat akta autentik (notaril) yang terdiri dari beberapa pasal yang pada intinya berisikan hak-hak dan kewajiban seorang istri yang dipoligami terutama di bidang harta benda perkawinan, dan hak-hak lainnya yang berupa nafkah lahir batin yang wajib dipenuhi oleh suami yang berpoligami, termasuk larangan penggunaan kekerasan dalam perkawinan, hak-hak asuh anak bila terjadi perceraian. Akibat hukum apabila suami melanggar hal-hal yang telah diperjanjikan dalam perjanjian sebelum perkawinan tersebut berlangsung, dapat diancam dengan hukuman ganti rugi sebagai pengganti hak-hak bagi pihak yang dirugikan. Bentuk ganti rugi yang dimaksud adalah ganti rugi yang telah disepakati kedua belah pihak yang telah tertuang dalam perjanjian tersebut. Disamping itu pelanggaran perjanjian dapat pula dijadikan alas an oleh istri yang dipoligami untuk menuntut perceraian ke pengadilan Agama.


(14)

ABSTRACT

Marriage, according to Article I of Marriage Law No. 1/1974, basically constitutes a material and spiritual bond between a man and a woman, where a close and lofty relationship was established between a husband and a wife who pledge allegiance to live together happily, prosperously, and eternally, based on God Almighty. Law No. 1/1974 on Marriage principally constituted to pronciple of monogamy in which a man could marry only one woman at one time, and vice versa. Polygamy is an exception of Law No. 1/1974 in which the married couple must comply with a number of requirements and legal procedures which have been applied. Article 29, paragraph (1)of Law No. 1/1974 is one of the articles which is aimed to protect the rights of the polygamous wives by making a written agreement prior to marriage which contains and regulatesn the husband’s and the wives right and obligation in the polygamous marriage. The problems discussed in this research included the regulations on the protection of the wives’ right in legal polygamous marriage, anything which has been promised in the marriage contract to the polygamous wives’ and the legal consequences which might arise when the polygamous husbands violate the marriage law.

This research was descriptive analytic with judicial normative approach in which the research desribed, analyzed and concluded the problems of polygamous marriage and any problems which were related to it which refereed to legal norms found in the legal provisions on marriage. The legal materials consisted of the primary legal materials such as marriage law and legal provisions which were related to the marriage. The secondary legal materials consisted of the results of researches, reports and articles which were reklated to the research.

The result of the research showed that the protection of the wives’ rights in the legal polygamous marriage could be done through the marriage contract prior to the marriage. The marriage contract should be authentic (notarial). Consisted of some articles which basically contained the polygamous wives’ right and obligation, especially the joint property and the other rights such as the financial and conjugal rights which had to be fulfilled by the polygamous husbands, including the prohibition against violence in married life and the custody of the children if there was a divorce. A legal consequence would be taken by the husband if he broke the agreement of the marriage contract. Besides that, the violation of the agreement could be taken as the reason for the polygamous wives to life a claim for divorce to Religious Court.


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pernikahan atau perkawinan merupakan perilaku sakral yang termaktub dalam seluruh ajaran agama. Dengan pernikahan diharapkan akan menciptakan pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat,1 interaksi hidup berumah tangga dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara anggota keluarga,2 yang semuanya bermuara pada harmonisasi keluarga.

Al-Qur’an menyebut perkawinan sebagai perjanjian yang kokoh, mitsaqan ghaliza, seperti yang termaktub dalam Surat An-Nisaa ayat 21 yang artinya :3

Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan kepada isterimu, padahal sebagian kamu telah bergaul dengan sebagian yang lain sebagai suami isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.

Sebagai suatu perjanjian, perkawinan mengandung tiga unsur utama, yaitu :4 1. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa ada unsur suka rela dari kedua belah

pihak5

1Abd Nashr Taufik Al-Athar,Saat Anda Meminang,(Jakarta : Terj. Abu Syarifah dan Afifah

Pustaka Azam), 2000, hlm. 5.

2Ahmad Azar Basyir,Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas

Islam Indonesia, 1995), hlm. 1.

3Al-Qur’an dan Terjemahnya (Madinah : Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, 2003). 4

Soemiyarti, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty, 1982), hlm. 10.

5 Jawad Muhammad Muqniyah, Pernikahan Menurut Hukum Perdata dari Lima Mahzab,


(16)

2. Perkawinan itu memiliki dan mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan sebaik mungkin oleh suami dan isteri tersebut.6

3. Kedua belah pihak (suami dan isteri) yang mengikatkan diri dalam perkawinan masing-masing mempunyai hak untuk memutuskan perkawinan itu berdasarkan prosedur tertentu menurut ketentuan hukum yang ada.

Meski perkawinan dapat dikatakan sebagai suatu bentuk perjanjian karena adanya unsur persetujuan untuk saling mengikatkan diri, persetujuan dalam perkawinan tidak sama dengan persetujuan lain yang dikenal dalam hukum perdata. Alasannya, pada persetujuan biasa para pihak bebas menentukan isi perjanjiannya asal tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Sebaliknya dalam perkawinan, isi perjanjian (ikatan) sudah ditentukan oleh hukum.7

Para ulama sepakat bahwa terjadinya perkawinan secara sah menurut hukum Islam adalah melalui akad nikah yang memuat dua unsur, yaitu ijab dan qabul. Ijab adalah lafaz penawaran yang sah dari pihak perempuan melalui walinya dan qabul adalah penerimaan yang sah dari pihak calon pengantin laki-laki atau wakilnya. Lafaz ijab dan qabul dimulai dengan kata zawajtu (aku jodohkan) atau ankahtu (aku nikahkan) dari wali calon pengantin perempuan dan dijawab dengan kata khabilatu

(saya terima) atau radhitu (saya rela) oleh calon pengantin laki-laki.8 Ketentuan ini

6

Soemiyarti,Op.cit,hlm. 10

7 Muhammad Idris Ramulyo,

Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam,(Jakarta : IND HILL. Co, 1990), hlm. 17.


(17)

menjadi kesepakatan menurut Imam Malik bin Annas, Imam Muhammad Hambal (Hambali) maupun Imam Syafi’i.9

Perkawinan pada prinsipnya menganut asas monogami. Prinsip ini tampak pada Pasal 3 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974. Dengan kata lain, perkawinan poligami dipandang sebagai suatu bentuk pengecualian yang hanya dapat dilaksanakan jika terpenuhi syarat dan prosedur tertentu. Ketentuan mengenai poligami yang secara legalistik formal diatur oleh hukum positif di Indonesia, berdasarkan bunyi Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 hanya berlaku bagi orang-orang yang agamanya tidak melarang poligami bagi pelakunya.

Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.10

Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut

9

Ibid,hlm. 8

10 Amiur Nurudin dan Ahmad Azhari Tarigan, Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta :


(18)

poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Istri-istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha memperoleh keadilan.11

Kedatangan Islam dengan ayat-ayat poligaminya (Q.S. an-Nisa’; 3 dan 129), kendatipun tidak menghapus praktek poligami, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan adil di antara istri. Menurut Asghar, sebenarnya dua ayat diatas menjelaskan betapa Al-Qur’an begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada, oleh karena Al-Qur’an membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus adil. Asghar mengutip al-Tabari, inti ayat di atas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka.12

Menurut hukum Islam (fiqh), kebolehan hukum poligami telah menjadi kesepakatan ulama walaupun dengan persyaratan yang ketat, yaitu harus berlaku adil terhadap istri-istrinya. Pengertian poligami adalah seorang suami yang beristeri lebih dari satu orang13yang dalam ajaran Islam hal tersebut diperbolehkan, dengan perintah Allah untuk berlaku adil sebagaimana firman Allah sebagai berikut :

11Asghar Ali Engineer,

Pembebasan Perempuan,(Yogyakarta : LKIS, 2003), hlm. 111.

12Ibid,hlm. 112-113.


(19)

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, yaitu budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Namun fakta yang berkembang, harmonisasi keluarga terganggu oleh fenomena poligami. Walaupun secara normatif poligami diakui oleh hukum Islam, tetapi karena suatu hal, maka poligami ditentang banyak intelektual, lebih-lebih para penggerak wanita. Apalagi terdapat sinyalemen bahwa poligami yang dipraktikkan oleh banyak muslim telah mereduksi rasa penghargaan kepada wanita dan nilai-nilai keadilan.

Pasal-pasal dalam perundang-undangan Indonesia tentang poligami sebenarnya sudah cukup berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar mampu berbuat adil dan mampu menafkahi isteri-isteri dan anak-anaknya. Selain itu, perundang-undangan Indonesia berupaya menghargai isteri sebagai pasangan hidup. Terbukti bahwa untuk berpoligami suami harus mendapat persetujuan isteri. Untuk mencapai tujuan ini, perundang-undangan Indonesia memberikan kepercayaan yang besar kepada hakim pengadilan agama.14

Hal lain yang sangat perlu diperhatikan menyangkut ketentuan mengenai kewajiban suami untuk berlaku adil dan jaminan suami bahwa ia memiliki kemampuan untuk menafkahi isteri-isteri dan anak-anaknya. Dua kewajiban penting

14 Khoiruddin Nasution,

Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, (Jakarta : INIS Leiden, 2002), hlm. 58.


(20)

yang harus dipenuhi suami sebelum mengajukan permohonan menikah lagi ke pengadilan agama ini ternyata tidak membawa konsekuensi hukum jika ternyata dilanggar oleh suami. Sebab-sebab yang mendasari ketiadaan pengaturan tentang sanksi terhadap pelanggaran prinsip kemampuan ekonomi dan berlaku adil menurut kajian lebih dalam, sebab adanya sanksi sesungguhnya merupakan konsekuensi dari adanya suatu kaidah hukum. Tentang ini Malinowski mengemukakan :15

“The rules of law stands out from the rest in that they are felt and regarded as the obligations of one person and the rightful claims of another. They are sanctioned not by a mere psychological motive, but by a definitive social machinery of binding force…”

Franz Magnis Suseno dalam kalimat yang kurang lebih mengandung kesamaan makna menyatakan bahwa norma hukum dikatakan berlaku hanya apabila norma tersebut diterima dan diakui masyarakat. Ciri khas suatu norma hukum adalah bahwa suatu pelanggaran tidak akan dibiarkan begitu saja. Artinya, norma hukum itu bukan norma yang hanya diharapkan berlaku oleh penegak hukum dan pembuat Undang-Undang, tetapi benar-benar berlaku dan secara nyata menentukan tingkah laku masyarakat. Dengan demikian, maka bagi norma hukum, faktisitasnya merupakan unsur yang menentukan.16

Penelitian dan jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai pihak, termasuk penelitian oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, ternyata menunjukkan bahwa pelanggaran terbanyak atas ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

15

Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999), hlm. 61.

16Franz Magnis Suseno, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,


(21)

1974 berkaitan dengan poligami.17 Penyebab banyaknya pelanggaran itu setidaknya dapat dilihat dari sudut sosiologi hukum, yang salah satu tujuannya adalah meneliti efektivitas ketentuan hukum dalam masyarakat.18 Salah satu tokohnya, Eugen Ehrilch, pelopor sociological jurisprudence, mengemukakan bahwa hukum positif hanya akan efektif dan ditaati apabila selaras dengan social patterns yang berlaku di masyarakat.19 Oleh karena itu, perlu dikaji mengapa pasal-pasal hukum tentang poligami sangat banyak dilanggar, sebab menurut Soerjono Soekanto dan S. Hutagalung kesadaran hukum masyarakat untuk mentaati hukum adalah satu-satunya sumber bagi daya mengikat hukum tersebut.20

Belakangan muncul wacana tentang perjanjian pranikah, yaitu suatu perjanjian yang diproyeksikan sebagai “senjata” bagi wanita untuk melindungi hak-haknya dalam apabila suaminya berpoligami. Perjanjian pranikah tersebut diatur dalam Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut :

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

17 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang 20 Tahun

Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,(Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995), hlm. 21.

18

Soerjono Soekanto,Op.cit,hlm. 22.

19Ibid,hlm. 36. 20Ibid,hlm. 147


(22)

4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Perjanjian pranikah sering juga disebut dengan perjanjian perkawinan. Jika diuraikan secara etimologi, maka dapat merujuk pada dari dua akar kata, perjanjian dan pernikahan. Dalam bahasa Arab, ‘janji’ atau ‘perjanjian’ biasa disebut dengan atau,21 yang dapat diartikan dengan persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.22

Adapun perjanjian pranikah (prenuptial agreement), yaitu suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan. Perjanjian biasanya dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun isteri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada kedua pihak.

Pada perkawinan poligami, perjanjian perkawinan ini merupakan salah satu bentuk perlindungan terhadap isteri dalam menjaga hak-haknya sebagai salah satu pihak dalam perkawinan poligami yang mungkin merasa dirugikan dengan adanya praktek poligami yang dilakukan pihak suami. Misalnya akta perjanjian kawin di luar persekuytuan harta benda dalam perkawinan yang isinya antara lain tidak ada

21M. Abdul Mujieb, dkk.,Kamus Istilah Fiqih,(Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 138. 22Sudarsono,Kamus Hukum,(Jakarta : Rineka Cipta, tt), hlm. 355.


(23)

percampuran harta benda sehingga hutang yang dibuat masing-masing pihak menjadi tanggungan masing-masing pihak. Selain itu misalnya semua pengeluaran biaya pendidikan, pemeliharaan anak-anak yang lahir dari perkawinan mereka seluruhnya menjadi tanggungan pihak suami. Tulisan ini mencoba untuk mengkaji tentang pemanfaatan perjanjian perkawinan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam upaya melindungi hak-hak isteri pada perkawinan poligami.

B. Permasalahan

1. Bagaimana perlindungan hak-hak isteri dalam perkawinan poligami yang telah dicatatkan ?

2. Hal-hal apa saja yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan bagi isteri yang dipoligami ?

3. Apa akibat hukum jika suami yang berpoligami melanggar perjanjian perkawinan ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui perlindungan hak-hak isteri dalam perkawinan poligami yang telah dicatatkan.

2. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang diperjanjikan dalam perjanjian perkawinan bagi isteri yang dipoligami.

3. Untuk mengetahui akibat hukum jika suami yang berpoligami melanggar perjanjian perkawinan.


(24)

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Teoritis

Diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan ilmu hukum perkawinan dan hukum perdata pada umumnya.

2. Secara Praktis

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga penegak hukum, praktisi hukum dan pemerintah agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang hak-hak perkawinan pada perkawinan poligami melalui perjanjian perkawinan di Indonesia dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan lainnya yang terkait di Indonesia. Penelitian ini juga sedapat mungkin dilakukan agar dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Suatu peraturan yang baik adalah peraturan yang tidak saja memenuhi persyaratan-persyaratan formal sebagai suatu peraturan, tetapi menimbulkan rasa keadilan dan kepatutan dan dilaksanakan/ditegakkan dalam kenyataannya.

E. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai “Perlindungan Terhadap Hak-hak Isteri Pada Perkawinan Poligami Melalui Perjanjian Perkawinan Menurut Pasal 29 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974” belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di lingkungan Universitas Sumatera Utara


(25)

dan tesis ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari tesis orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah. Apabila ternyata ada tesis yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya. Dari hasil observasi yang telah dilakukan, ada beberapa tesis yang memiliki topik yang sama, namun dalam hal permasalahan dan pembahasannya jelas berbeda dengan isi tesis ini, yakni :

1. Pengaturan Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami (Studi : Di Kecamatan Medan Maimun) oleh Mahasiswa Magister Kenotariatan Fitria Agustina.

2. Perjanjian Perkawinan Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Hukum Islam oleh Mahasiswa Magister Kenotaritan Irma Febriani Nasution. 3. Pembagian Harta Bersama Dalam Hal Putusnya Perkawinan Karena Perceraian

oleh Mahasiswa Magister Kenotariatan Lusinda Maranatha Siahaan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.23Sedang kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran

23JJ.M. Wuisman,Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas,Penyunting M. Hisyam, (Jakarta :


(26)

atau butir-butir pendapat teori, tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.24

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.25 Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan diri kepada unsur hukum.

Dalam ilmu hukum, ada empat unsur yang merupakan fondasi penting, yaitu : moral, hukum, kebenaran, keadilan. Akan tetapi menurut filosof besar bangsa Yunani, yaitu Plato, keadilan merupakan nilai kebajikan yang tertinggi. Menurut Plato,“Justice is the supreme virtue which harmonize all other virtues.”26

Dikaitkan dengan fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan dan hukum mempunyai sasaran yang hendak dicapai. Adapun tujuan pokok hukum adalah menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan. Dengan tercapainya ketertiban dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi. Dalam mencapai tujuannya itu hukum bertugas membagi hak dan kewajiban antar perorangan di dalam masyarakat, membagi wewenang dan mengatur cara memecahkan masalah hukum serta memelihara kepastian hukum.27

24M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian,(Bandung : Mandar Madju, 1994), hlm. 80. 25Snelbecker dalam Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Kualitatif,(Bandung : Remaja

Rosdakarya, 1993), hlm. 35.

26

Roscoe Pound,Justice According To Law,Yale University Press, New Haven USA, 1952, hlm. 3.

27 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003,


(27)

Tentang isi keadilan sukar untuk memberi batasnya. Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan, yaitu justitia distributiva dan justitia commutativa. Justitia distributivamenuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi hak atau jatahnya, yang adil di sini ialah apabila setiap orang mendapat hak atau jatahnya secara proporsional mengingat akan pendidikan, kedudukan, kemampuan dan sebagainya. Sedangkan justitia commutativa memberi kepada setiap orang sama banyaknya, yang adil ilah apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan sebagainya.28

Menganalisis perlindungan terhadap hak-hak isteri pada perkawinan poligami melalui perjanjian perkawinan didasarkan pada pengertian tanggung jawab dalam perjanjian yang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undang-undang maupun karena perjanjian. Jadi perjanjian adalah sumber dari perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya, maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksa pelaksanaannya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.29

Salah satu teori hukum kontrak klasik adalah teori kehendak. Menurut teori kehendak, suatu kontrak menghadirkan suatu ungkapan kehendak diantara para

28

Ibid.,hlm. 78-79.

29Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta :


(28)

pihak, yang harus dihormati dan dipaksakan oleh pengadilan. Dalam teori kehendak terdapat asumsi bahwa suatu kontrak melibatkan kewajiban yang dibebankan terhadap para pihak.30

Gr. Van der Burght mengemukakan bahwa selain teori kehendak sebagai teori klasik yang tetap dipertahankan, terdapat beberapa teori yang dipergunakan untuk timbulnya suatu kesepakatan, yaitu :31

1. Ajaran kehendak(wilsleer),dimana ajaran ini mengutarakan bahwa faktor yang menentukan terbentuk tidaknya suatu persetujuan adalah suara batin yang ada dalam kehendak subjektif para calon kontraktan.

2. Pandangan normatif Van Dunne, dalam ajaran ini kehendak sedikitpun tidak memainkan peranan. Apakah suatu persetujuan telah terbentuk pada hakikatnya tergantung pada penafsiran normatif para pihak pada persetujuan ini tentang dan peristiwa yang dihadapi bersama.

3. Ajaran kepercayaan (vetrouwensleer), ajaran ini mengandalkan kepercayaan yang dibangkitkan oleh pihak lawan, bahwa ia sepakat dan oleh karena itu telah memenuhi persyaratan tanda persetujuannya bagi terbentuknya suatu persetujuan.

Perjanjian dibuat dengan pengetahuan dan kehendak bersama dari para pihak, dengan tujuan untuk menciptakan atau melahirkan kewajiban pada salah satu atau kedua belah pihak yang membuat perjanjian tersebut. Perjanjian sebagai sumber

30Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu,

Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern, (Bandung : Refika Aditama, 2004), hlm. 39.


(29)

perikatan berbeda dari sumber perikatan lain, berdasarkan pada sifat kesukarelaan dari pihak yang berkewajiban untuk melakukan prestasi terhadap lawan pihaknya dalam perikatan tersebut. Dalam perjanjian, pihak yang wajib untuk melakukan suatu prestasi, dalam hal ini debitur, dapat menentukan terlebih dahulu, dengan menyesuaikan pada kemampuannya untuk memenuhi prestasi dan untuk menyelaraskan dengan hak yang ada pada lawan pihaknya, apa, kapan, dimana, dan bagaimana ia akan memenuhi prestasinya.32

Membicarakan perjanjian, tidak dapat dilepaskan dari KUH Perdata. Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.33

Menurut R. Setiawan, rumusan tersebut selain tidak lengkap juga sangat luas. Tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja. Sangat luas karena dipergunakannya perkataan “perbuatan” yang berarti tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Sehubungan dengan itu, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai defenisi tersebut, sehingga perumusannya menjadi : “Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.34

Sesuai dengan perkembangannya, perjanjian bukan lagi sebagai perbuatan hukum, melainkan merupakan hubungan hukum. Pandangan ini dikemukakan oleh Van

32Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,

Op.cit,hlm. 14

33Pasal 1313 KUH Perdata


(30)

Dunne, yang mengartikan tentang perjanjian, yaitu : “suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.35

Dalam rangka menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang mengikat bagi para pihak, oleh KUH Perdata diberikan berbagai asas umum, yang merupakan pedoman atau patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian yang akan dibuat, hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya atau pemenuhannya.36

Adapun prinsip-prinsip atau asas-asas yang menguasai hukum perjanjian yang berkaitan dengan perjanjian perkawinan yaitu, asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, asas kekuatan mengikat (pacta sunt servanda), dan asas itikad baik. Asas konsensualisme dilahirkan pada saat momentum awal perjanjian terjadi, yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya (Pasal 1320 angka 1 KUH Perdata). Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. Dalam asas ini para pihak dapat menentukan bentuk dan isi dengan bebas sepanjang dapat dipertanggungjawabkan dan bukanlah sesuatu yang terlarang (Pasal 1320 angka 4 KUH Perdata). Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi perjanjian ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau dapat dipersamakan dengan itu.

35 Lely Niwan,

Hukum Perjanjian, (Yogyakarta : Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, 1987), hlm. 26.


(31)

Akibatnya perjanjian tersebut mengikat kedua belah pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Sesuai asas pacta sunt servanda yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan : “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” dan asas itikad baik yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan : “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.37

Menurut bentuknya, ada perjanjian yang berbentuk baku dan ada yang berbentuk timbal balik. Adapun yang dimaksud dengan perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang dibuat hanya oleh salah satu pihak dalam kontrak tersebut, sedangkan perjanjian berbentuk timbal balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak, dan hak serta kewajiban tersebut mempunyai hubungan satu dengan lainnya (pihak satu yang mempunyai hak dan pihak lain sebagai pihak yang berkewajiban).38 Perjanjian perkawinan dikategorikan sebagai perjanjian yang timbal balik (tidak baku), untuk melakukan hal-hal tertentu, dimana pihak pertama menghendaki dari pihak kedua agar dilakukannya suatu hal untuk mencapai sesuatu tujuan.

37

Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata (Seri Hukum Bisnis),(Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 263-283.

38 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, (Bandung :


(32)

2. Kerangka Konsepsi

Guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka berikut akan dijelaskan maksud dari istilah-istilah sebagai berikut :

Perlindungan adalah jaminan perlindungan pemerintah dan/ atau masyarakat dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.39

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.40

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.41

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian dibuat oleh calon suami dengan calon isteri pada waktu sebelum perkawinan dilangsungkan, perjanjian mana dilakukan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai pencatat nikah dan isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang diperjanjikan.42

Dari sudut pandang terminologi, poligami berasal dari bahasa Yunani, dimana katapolyberarti banyak dangamienberarti kawin. Kawin banyak disini berarti seorang pria kawin dengan beberapa wanita atau sebaliknya seorang wanita kawin dengan

39www.hukumoneline.com. Diakses pada tanggal 13 Januari 2010. 40

Subekti,“Hukum Perjanjian”,(Jakarta : Cet. XII, PT. Intermasa, 1990), hlm. 1.

41

Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

42Gatot Supramono,Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, (Jakarta : Djambatan, 1998),


(33)

le4bih dari satu pria atau sama-sama banyak pasangan pria dan wanita yang mengadakan transaksi perkawinan.43

G. Metode Penelitian

Metode adalah cara yang berfungsi untuk mencapai tujuan. Metode merupakan suatu cara tertentu yang di dalamnya mengandung suatu teknik yang berfungsi sebagai alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu.44 Penelitian adalah penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu; penelitian tidak lain dari suatu metode studi yang dilakukan seseorang melalui penyelidikan yang hati-hati dan sempurna terhadap suatu masalah sehingga diperoleh pemecahan yang tepat terhadap masalah tersebut.45

Berdasarkan pendapat tersebut di atas mengenai metode dan penelitian, dapat diambil kesimpulannya bahwa metode penelitian adalah suatu cara yang mengandung teknik, yang berfungsi sebagai alat dalam suatu penyelidikan dengan hati-hati untuk mendapatkan fakta sehingga diperoleh pemecahan masalah yang tepat terhadap masalah yang telah ditentukan. Untuk itu dalam suatu penelitian, peneliti harus membuat atau menentukan metode secara tepat untuk mendapatkan hasil yang baik.

Suatu metode penelitian diharapkan mampu untuk menemukan, merumuskan, menganalisis, mampu memecahkan masalah-masalah dalam suatu penelitian dan agar

43

Bibit Suprapto,Liku-liku Poligami,(Yogyakarta : Al Kautsar, 1990), hlm. 11

44Arief Furchan,

Pengantar Metode Penelitian Kualitatif,(Surabaya : Usaha Nasional, 1997), hlm. 11.


(34)

data-data diperoleh lengkap, relevan, akurat, dan reliable, diperlukan metode yang tepat yang dapat diandalkan(dependable).Maka penulis gunakan metode penelitian :

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian menggunakan pendekatan normatif. Pendekatan normatif adalah “Dalam menganalisis data didasarkan pada asas-asas hukum dan perbandingan-perbandingan hukum yang ada dalam masyarakat”.46 Aspek-aspek hukum, baik undang-undang sebagai hukum yang tertulis maupun hukum yang ada dalam masyarakat yaitu nilai-nilai atau norma yang ada dalam masyarakat, dalam kelayakan, kepatutan, itikad yang ada dalam masyarakat sehingga dapat diketahui legalitas atau kedudukan hukum.

2. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yang disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book),maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan(law it is decided by the judge through judicial process)47. Penelitian hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.48

46Soerdjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,(Jakarta : Raja

Grafindo Persada, 2001), hlm. 6.

47

Amiruddin dan Zainal Asikin,Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 118.

48J. Supranto,Metode Penelitian Hukum dan Statistik,(Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada,


(35)

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.49 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku mengenai perlindungan terhadap hak-hak isteri pada perkawinan poligami melalui perjanjian perkawinan.

3. Sumber Data

Dalam penelitian ini diperlukan jenis sumber data yang berasal dari literatur-literatur yang berhubungan dengan penelitian, sebab penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan normatif yang bersumber pada data sekunder.

Data yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah sekunder yang terdiri dari :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang tidak

49Johnny Ibrahim,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,(Malang : UMM Press,


(36)

dikodifikasi, yurisprudensi. Data dari pemerintah yang berupa dokumen-dokumen tertulis yang bersumber pada Perundang-undangan, diantaranya :

1) KUH Perdata 2) HIR

3) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 4) Yurisprudensi

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang tidak mempunyai kekuatan dan hanya berfungsi sebagai penjelas dari hukum primer, yaitu hasil karya ilmiah para sarjana.

c. Bahan hukum tersier, bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan

(Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan, artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik, dokumen-dokumen pemerintah, termasuk peraturan perundang-undangan.


(37)

5. Analisa Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik tesis ini, sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.


(38)

BAB II

PERLINDUNGAN HAK ISTERI DALAM PERKAWINAN POLIGAMI YANG DICATATKAN

A. Hak-hak Isteri dalam Perkawinan Berdasarkan Hukum Islam

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, maka yang menjadi inti pengertian dalam perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana diantara mereka terjalin hubungan yang erat dan mulia sebagai suami isteri untuk hidup bersama untuk membentuk dan membina suatu keluarga yang bahagia, sejahtera dan kekal karena didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.

Begitu pula mengenai tujuan perkawinan yang juga tercantum pada pengertian perkawinan pada bunyi Pasal 1 tersebut yaitu : “…Dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Didalam penjelasan umum Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa karena tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, maka untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dalam mencapai kesejahteraan materiil dan spritual.


(39)

Sahnya perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan diatur dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Hal ini berarti Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berarti hukum dari salah satu agama itu masing-masing bukan berarti “hukum agamanya masing-masing” yaitu hukum agama yang dianut kedua mempelai atau keluarganya.

“Jadi perkawinan yang sah jika terjadi perkawinan antar agama, adalah perkawinan yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan salah satu agama, agama calon suami atau agama calon isteri, bukan perkawinan yang dilaksanakan oleh setiap agama yang dianut kedua calon suami isteri dan atau keluarganya. Jika perkawinan telah dilaksanakan menurut hukum Budha kemudian dilakukan lagi perkawinan menurut hukum Protestan atau Hindu maka perkawinan itu menjadi tidak sah demikian pula sebaliknya”.50

Keabsahan suatu perkawinan dalam Pasal 2 ayat 1 itu, dipertegas lagi dalam penjelasan Pasal 1 Undang-undang Perkawinan, yang menyatakan : “Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1 ini, tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentang atau tidak ditentukan lain dalam Undang-undang ini”.

Untuk mencapai syarat-syarat perkawinan tersebut, maka harus memenuhi syarat-syarat perkawinan. Menurut Pasal 6 Undang-undang Perkawinan, adapun syarat-syarat (Syarat Materil) adalah sebagai berikut :

50Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,


(40)

1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai.

2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5. Dalam hal perbedaan pendapat atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah terlebih dahulu mendengar orang-orang tersebut yang memberikan izin.

6. Ketentuan tersebut berlaku sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Selain syarat materil tersebut di atas, untuk melangsungkan perkawinan juga harus memenuhi syarat formil, adapun syarat-syarat formil tersebut adalah :

1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan pada Pegawai Pencatat Perkawinan;

2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing;

4. Pencatatan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Adapun yang menjadi tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai


(41)

kesejahteraan spiritual dan material.51 Oleh karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang menganut prinsip untuk mempersukar terjadi perceraian.52

“Hak isteri terhadap suaminya ada 2 yaitu hak kebendaan dan hak rohaniah. Hak kebendaan yaitu mahar dan nafkah sedangkan hak rohaniah adalah seperti bersikap adil jika suami berpoligami dan tidak boleh menyengsarakan isteri.”53

1. Hak kebendaan (Hak isteri dalam bentuk materi) a. Menerima mahar atau mas kawin

“Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.”54 Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban membayar mahar (mas kawin) tidak dimasukkan pada Pasal 80 mengenai kewajiban suami, akan tetapi dimasukkan pada Pasal 30 Bab V yang khusus mengatur masalah mahar. Hal ini suatu indikasi adanya usaha Islam dalam memperhatikan dan menghargai kedudukan isteri, yaitu memberinya hak untuk memegang urusannya.

Pada zaman Jahiliyah, hak perempuan itu dihilangkan dan disia-siakan, sehingga walinya dengan semena-mena dapat menggunakan hartanya dan tidak memberikan kesempatan kepada perempuan yang berada di bawah perwaliannya untuk mengurus atau menggunakan hartanya sendiri. Dalam hal ini Islam pun datang untuk menghilangkan belenggu tersebut. Kepadanya diberi hak mahar, dan kepada suami diwajibkan memberikan mahar kepadanya, bukan kepada ayahnya. Orang

51 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992,

hlm. 5.

52

Ibid,hlm. 6.

53Sayyid Sabiq,Fiqih Sunnah Jilid 3,Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006, hlm. 39. 54Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit,hlm. 6


(42)

yang paling dekat keapdanya sekalipun tidak dibenarkan menjamah sedikitpun dari harta bendanya tersebut, kecuali dengan kerelaannya. Firman Allah dalam Q.Sannisa :4 yang artinya sebagai berikut :55

“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” Maksudnya adalah bahwa suami wajib memberikan mahar kepada para isteri sebagai pemberian wajib, bukan pembelian atau ganti rugi. Apabila si perempuan memberikan sebagian mas kawin yang sudah menjadi miliknya, tanpa paksaan dan tipu muslihat maka sang suami boleh menerimanya. Hal tersebut tidak disalahkan atau dianggap dosa. Namun bila isteri memberikan sebagian maharnya karena malu, takut, atau terpedaya maka suami tidak halal menerimanya.

Mahar atau mas kawin wajib diterima oleh isteri dan menjadi hak isteri bukan untuk orangtua atau saudaranya. Mahar adalah imbangan untuk dapat menikmati tubuh si perempuan dan sebagai tanda kerelaan untuk digauli oleh suaminya. Selain itu maskawin juga akan memperkokoh ikatan dan untuk menimbulkan kasih sayang dari isteri kepada suaminya sebagai teman hidupnya. Sebagaimana pendapat as Shabuni bahwa :56

“Mahar itu bermakna pemberian dengan kebaikan jiwa, padahal hukumnya wajib atas suami untuk memberitahukan bahwa pemberian itu berdasarkan

55Mahmud Junus,

Op.cit,hlm. 71.

56Mohammad Zuhri,Perintah dan Larangan Allah Ta’ala dalam Relasi Suami Isteri,Nuansa


(43)

sempurnanya keridhaan dan kebaikan hati. Selanjutnya mahar juga untuk memperkuat hubungan dan menumbuhkan tali kasih sayang dan cinta mencintai antara suami dan isteri.”

Islam tidak menetapkan jumlah besar atau kecilnya mahar. Islam menyerahkan masalah jumlah mahar itu berdasarkan kemampuan masing-masing orang atau keadaan dan tradisi keluarganya. Segala nash yang memberikan keterangan tentang mahar, tidak lain hanya dimaksudkan untuk menunjukkan pentingnya nilai mahar tersebut, tanpa melihat besar kecil jumlahnya tapi sesuatu yang bernilai dan bermanfaat. Jadi mahar dapat berupa cincin besi, segantang kurma, selembar kain, atau mengajarkannya beberapa ayat Al-Qur’an dan lain sebagainya dengan syarat telah disepakati oleh kedua belah pihak yang melakukan aqad. Dalam beberapa Hadits bahwa mahar yang diberikan oleh suami kepada isterinya dapat berupa sepasang sandal saja, hafalan ayat Al Qur’an, dan ke Islaman (masuk Islamnya) calon suami.

“Golongan Hanafi menyebutkan jumlah mahar sedikitnya sepuluh dirham. Golongan Maliki menyebutkan tiga dirham.”57 Namun jumlah seperti ini tidak didasarkan pada keterangan nash agama yang kuat atau alasan yang sah. Islam memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada laki-laki dan perempuan menikah, agar masing-masing dapat menikmati hubungan yang halal dan baik. Untuk mencapai hal ini, tentunya harus diberikan jalan yang mudah dan sarana yang praktis sehingga orang-orang fakir yang tidak mampu mengeluarkan biaya yang besar mampu untuk


(44)

menikah. Mereka ini merupakan golongan mayoritas dari umat manusia. Oleh karena itu, Islam tidak menyukai mahar yang berlebih-lebihan.

Sebaliknya, Islam menghendaki bahwa setiap kali mahar itu lebih murah sudah tentu akan memberikan keberkahan dalam kehidupan suami isteri karena mahar yang murah menunjukkan kemurahan hati dari pihak perempuan. Aisyah berkata bahwa Nabi SAW bersabda :

“Sesungguhnya, perkawinan yang besar keberkahannya adalah yang paling murah maharnya. Perempuan yang baik hati adalah yang murah maharnya, memudahkan urusan perkawinannya dan baik akhlaknya. Adapun perempuan yang celaka yaitu yang mahal maharnya, menyusahkan perkawinannya dan buruk akhlaknya.”58

Banyak sekali manusia yang tidak mengetahui ajaran ini bahkan menyalahinya dan berpegang kepada adat Jahiliyah dalam pemberian mahar yang berlebih-lebihan dan menolak untuk menikahkan anaknya kecuali kalau dapat membayar mahar dengan jumlah yang besar, memberatkan dan menyusahkan urusan perkawinan, sehingga seolah-olah perempuan itu merupakan barang dagangan yang dipasang tarif dalam sebuah etika perdagangan. Perbuatan semacam ini menimbulkan banyak kegelisahan sehingga baik laki-laki maupun perempuan terlibat dalam bahaya, menimbulkan banyak kejahatan, kerusakan dan mengacaukan pemikiran serta semangat menuju perkawinan. Akibatnya timbul persepsi bahwa yang halal (menikah) ini lebih sulit dicapai daripada yang haram (berzina).

Pelaksanaan pemberian mahar boleh dengan kontan dan berhutang atau kontan sebagian dan hutang sebagian. Hal ini terserah kepada adat masyarakat dan


(45)

kebiasaan mereka yang berlaku. Akan tetapi, membayar kontan sebagian, ini adalah sunnah karena Ibnu Abbas meriwayatkan : “Nabi SAW melarang Ali tidur serumah dengan Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Ali berkata, ‘Aku tidak mempunyai apa-apa.’ Lalu beliau bersabda, ‘Di manakah baju besi Hutaiyahmu? Ali lalu memberikan barang itu kepada Fatimah.”59 Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa Aisyah berkata : “Rasulullah menyuruhku supaya memerintahkan perempuan tidur serumah bersama suaminya meskipun ia belum membayar sesuatu (maharnya).”60 Hadits ini menunjukkan boleh tidur serumah dengan isteri meskipun ia belum membayar maharnya sedikitpun. Adapun hadits Ibnu Abbas menunjukkan larangan suami isteri tidur serumah sebelum suami membayar mahar dan inilah yang lebih baik, yang secara hukum dipandang sunnah. “Para ulama mensunnahkan tidak mencampuri isteri sebelum dibayarkan sebagian maharnya.”61

b. Menerima nafkah

Maksud dari nafkah disini adalah memenuhi “kebutuhan makan, tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan isteri meskipun isterinya itu orang kaya.”62 Memberi nafkah hukumnya wajib menurut Al Qur’an, Sunnah dan Ijma’. Oleh karena seorang isteri dengan sebab adanya akad nikah menjadi terikat kepada suaminya, ia berada di bawah kekuasaan suaminya dan suaminya berhak penuh untuk

59

Ibid,hlm. 75

60

Ibid,hlm. 76

61Sayyid Sabiq,Op.Cit,hlm. 45 62Ibid,hlm. 55


(46)

menikmati dirinya, ia wajib taat kepada suaminya, tinggal di rumah suaminya, mengatur rumah tangga suaminya, mengasuh anak suaminya dan sebagainya maka agama menetapkan suami untuk memberikan nafkah kepada isterinya selama perkawinan itu berlangsung dan si isteri tidaknusyuz serta tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah berdasarkan kaidah umum yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik orang lain dan diambil manfaatnya maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang menguasainya.

Syarat-syarat untuk mendapatkan nafkah sebagai berikut : 1) Akad nikahnya sah

2) Perempuan itu sudah menyerahkan dirinya kepada suaminya

3) Isteri itu memungkinkan bagi si suami untuk dapat menikmati dirinya

4) Isterinya tidak berkeberatan untuk pindah tempat apabila suami menghendakinya, kecuali apabila suami bermaksud jahat dengan kepergiannya itu atau tidak membuat aman diri si isteri dan kekayaannya atau pada waktu akad sudah ada janji untuk tidak pindah dari rumah isteri atau tidak akan pergi dengan isterinya.

5) Suami isteri masih mampu melaksanakan kewajiban sebagai suami isteri.63 Apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi maka suami tidak berkewajiban memberi nafkah kepada isterinya. Isteri yang tidak berhak menerima nafkah dari suami yaitu :64

63H.S.A. Alhamdani,Op.Cit,hlm. 125 64Ibid,hlm. 125-126


(47)

1) Isteri yang masih kecil yang belum dicampuri meskipun ia sudah menyerahkan dirinya untuk dicampuri. Sebaliknya kalau yang masih kecil itu suaminya sedangkan isterinya sudah baligh maka nafkah wajib dibayar, sebab kemungkinan nafkah itu ada di pihak isteri sedang uzur tidak menerima nafkah itu di pihak suami. Berdasarkan sunnah Rasulullah waktu kawin dengan Aisyah beliau tidak memberi nafkah selama dua tahun karena belum mencampurinya.

2) Apabila isteri berpindah dari rumah suaminya ke rumah lain tanpa alasan syar’i atau pergi tanpa izin suami.

3) Apabila isteri bekerja atau membuka usaha sedangkan suami melarangnya untuk bekerja dan si perempuan tidak memperhatikan larangan suaminya. 4) Apabila isteri berpuasa sunnah atau beri’tikaf sunnah.

5) Apabila si isteri di penjara karena melakukan kejahatan atau karena tidak membayar hutangnya.

6) Apabila si isteri diculik orang lain sehingga berpisah dengan suaminya.

7) Apabila isteri nusyuz atau durhaka atau berbuat maksiyat terhadap suaminya atau tidak mau melayani suaminya.

Namun jika seorang isteri menderita sakit keras sehingga tidak dapat disetubuhi oleh suaminya, maka suami tetap wajib menafkahinya. Sangat tidak adil jika isteri sakit tidak menerima nafkah. Termasuk kategori hukum sakit, adalah jika kemaluan isteri sempit, tubuhnya kurus kerempeng, dan menderita cacat yang dapat menghalangi hubungan seks suami isteri. Begitu juga halnya jika suami itu bertabiat


(48)

kasar atau kemaluannya buntung atau dikebiri atau sakit berat sehingga tidak dapat menggauli isterinya atau dipenjara karena utang atau karena suatu kejahatan. Dalam keadaan seperti ini, isteri tetap berhak mendapatkan nafkah. Hal ini karena pihak isteri masih tetap dapat memberi kenikmatan kepada suaminya, tetapi kesalahan terletak pada suami. Hilangnya kesempatan ini bukanlah kesalahan isteri, melainkan suami yang tidak dapat memenuhi hak isterinya.65

2. Hak rohaniah (Hak isteri dalam bentuk bukan materi)

Hak isteri dalam bentuk bukan materi yang bersifat rohaniah antara lain sebagai berikut :

a. Mendapat perlakuan yang baik dari suami

Kewajiban suami terhadap isterinya adalah menghormatinya, bergaul dengan baik, memperlakukannya dengan wajar, mendahulukan kepentingannya yang memang patut didahulukan untuk menyenangkan hatinya, terlebih lagi menahan diri dari sikap yang kurang menyenangkan dihadapannya dan bersabar ketika menghadapi setiap permasalahan yang ditimbulkan isteri. Allah telah berfirman dalam Q.San Nisa: 19 yang artinya sebagai berikut : “….Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”66

65Sayyid Sabiq,Op.Cit,hlm. 58 66Mahmud Junus,Op.cit,hlm. 74.


(49)

b. Mendapat penjagaan dengan baik dari suami

Suami wajib menjaga isterinya, memeliharanya dari segala sesuatu yang menodai kehormatannya, menjaga harga dirinya, menjunjung kemuliaannya, menjauhkannya dari pembicaraan yang tidak baik. Semua ini merupakan tanda dari sifat cemburu yang disenangi Allah.

c. Hak untuk melakukan hubungan biologis dengan suami

Hak isteri untuk melakukan hubungan biologis dengan suaminya adalah sesuai dengan firman Allah dalam Q.S al Baqarah : 222 yang artinya sebagai berikut bahwa : “….Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu….”67

Berkaitan dengan hak isteri untuk melakukan hubungan biologis (seputar masalah seks) dengan suami ini telah dilakukan penelitian oleh Muslimat Nahdatul Ulama (NU) dalam suatu Studi atas Pandangan Ulama Perempuan Jember tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan bahwa para wanita berhak untuk :

1) Hak menikmati hubungan seks

Isteri berhak mendapatkan kenikmatan dan kepuasan ketika berhubungan seks dengan suami, bukan hanya wajib memuaskan dan menyenangkan untuk suami saja ketika melakukan hubungan seks sebagai kewajiban untuk melayani kebutuhan biologis suami semata.


(50)

2) Hak menolak untuk melakukan hubungan seks

Isteri berhak menolak untuk melakukan hubungan seks dengan suaminya dengan alasan tertentu.

3) Hak merencanakan kehamilan dan jumlah anak

Isteri berhak untuk diajak bermusyawarah oleh suami dalam merencanakan kehamilan dan jumlah anak yang dikehendaki tetapi dengan alasan tetap bahwa untuk memperhatikan dan mengutamakan kesehatan dan kemaslahatan isteri, walau tentunya Allah SWT yang pasti sebagai penentu.

4) Hak cuti reproduksi

Dalam hal ini isteri berhak untuk cuti melakukan kegiatan rumah tangga ketika bereproduksi (selama masa kehamilan hingga melahirkan). Oleh karena itu, diharapkan agar suami mulai berfikir untuk menggaji pembantu guna melakukan pekerjaan rumah tangganya atau mengajak kerabat atau keluarganya untuk membantu pekerjaan tersebut.68

B. Hak-hak Isteri dalam Perkawinan Poligami

Pada dasarnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menganut asas monogami di dalam perkawinan. Hal ini tegas disebut dalam Pasal 3 :

68Hamdanah, Musim Kawin di Musim Kemarau (Studi atas Pandangan Ulama Perempuan


(51)

(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.

(2) Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.69 Asas monogami dalam Undang-undang perkawinan ini tidak bersifat mutlak, tetapi hanya bersifat pengarahan kepada pembentukan perkawinan monogami dengan jalan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapuskan sama sekali sistem poligami. Dapat tidaknya seorang suami beristeri dari seorang ditentukan Pengadilan Agama berdasarkan syarta-syarat yang ditentukan. Pembolehan adanya poligami adalah merupakan suatu perkecualian. Dan pembolehan ini diberikan dengan pembatasan-pembatasan yang berat berupa syarat-syarat dan tujuan yang mendesak. Pembatasan-pembatasan itu ialah sebagai berikut :

1. Maksimal empat orang

Jumlah wanita yang boleh dikawini tidak boleh lebih dari empat orang, seperti yang tersebut dalam Al-Qur’an suratr An-Nisa’ ayat 3 : “….maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat…”.

2. Adil terhadap semua isteri

Seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari satu diharuskan sanggup berlaku adil terhadap semua isteri-isterinya. Kalau sekiranya sudah merasa tidak dapat berlaku adil terhadap semua isterinya, maka sebaiknya jangan kawin lagi untuk kedua kalinya atau seterusnya.


(52)

3. Wanita yang akan dikawini seyogyanya adalah wanita yang mempunyai anak yatim.

Hal ini adalah sebagai upaya agar anak yatim tersebut berada di bawah pengawasan laki-laki yang akan berpoligami tersebut dan supaya ia dapat berlaku adil terhadap anak yatim dan harta anak yatim tersebut.

4. Wanita-wanita yang hendak dikawini itu tidak boleh ada hubungan saudara, baik sedarah ataupun sesusuan.70

Undang-undang mengenai syarat-syarat poligami adalah sebagaimana tata cara yang telah diatur dalam Pasal 4 (2) Undang-undang No.1 tahun 1974 dan Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi :

“Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :71

a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri

b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan

Dalam Pasal 5 (1) Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 maupun Pasal 58 Kompilasi Hukum Islam diatur secara jelas tentang tata cara untuk dapat mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :72

1. Adanya persetujuan dari isteri-isteri

70Soemiyarti,

Op.Cit,hlm. 75-76.

71Departemen Agama RI, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, hlm. 118. 72Ibid


(53)

2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.

Sedangkan dalam PP No. 9 tahun 1975 Pasal 40 telah diatur bahwa : Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.

Selanjutnya dijelaskan pada Pasal 41 bahwa :

1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah :73

a. Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

b. Bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;

c. Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

2. Ada atau tidaknya persertujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan;

3. Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan :


(54)

a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau

b. Surat keterangan pajak penghasilan; atau iii. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan;

4. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.

Pada dasarnya aturan pembatasan, penerapan syarat-syarat dan kemestian campur tangan penguasa yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 diambil seluruhnya oleh KHI. Keberanian KHI mengambil alih aturan tersebut merupakan langkah maju secara dinamis aktualisasi hukum Islam di bidang poligami. Keberanian untuk mengaktualkan dan membatasi kebebasan poligami didasarkan atas alasan Ketertiban Umum.74Dengan demikian poligami :

1. Harus didasarkan pada alasan yangenumeratif. Tanpa dipenuhi salah satu alasan tak boleh poligami. Alasannya :

a. Isteri tak dapat menjalankan kewajiban,

b. Isteri cacat atau sakit yang tak dapat disembuhkan, c. Isteri mandul

2. Harus memenuhi syarat : a. Mesti ada persetujuan isteri,

74M. Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,(Jakarta : Sinar


(55)

b. Mampu berlaku adil,

c. Kepastian atas kemampuan menjamin kehidupan. 3. Harus ada izin PA (Pengadilan Agama)75

Peraturan dalam perundang-undangan tentang poligami menegaskan juga menekankan bahwa pelaksanaan poligami itu adalah merupakan satu perkecualian dan hanya diperbolehkan bagi seorang laki-laki yang memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan.

Poligami merupakan syariat Islam yang akan berlaku sepanjang zaman hingga hari akhir. Poligami diperbolehkan dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para isteri, sebagaimana pada ayat yang artinya :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Berlaku adil dalam bermuamalah dengan isteri-isterinya, yaitu dengan memberikan kepada masing-masing isteri hak-haknya. Adil disini lawan dari curang, yaitu memberikan kepada seseorang kekurangan hak yang dipunyainya dan mengambil dari yang lain kelebihan hak yang dimilikinya. Jadi adil dapat diartikan persamaan. Berdasarkan hal ini maka adil antar para isteri adalah menyamakan hak yang ada pada para isteri dalam perkara-perkara yang memungkinkan untuk disamakan di dalamnya.


(1)

Undang Perkawinan yang berlaku dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2. Setiap perkawinan poligami seharusnya tercatat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga hak-hak dari isteri yang dipoligami tidak dapat diabaikan begitu saja sehingga status isteri dalam perkawinan poligami memiliki suatu kepastian hukum yang jelas dalam penuntutan hak-haknya baik selama perkawinan berlangsung maupun apabila terjadi perceraian. 3. Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 perlu lebih disosialisasikan

aplikasinya khususnya dalam perkawinan poligami yang dicatatkan dan apabila dipandang perlu dijadikan suatu kewajiban untuk memperoleh izin bagi seorang suami untuk mengadakan perkawinan poligami. Sehingga hak-hak dari isteri yang dipoligami tersebut dapat terlindungi dengan baik sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tentang perkawinan dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Abidin, Slamet, dkk,Fiqih Munakahat,Bandung : CV. Pustaka Setia, 1999.

Al-Athar, Abd Nashr Taufik,Saat Anda Meminang,Jakarta : Terj. Abu Syarifah dan Afifah Pustaka Azam, 2000.

Ali, Zainuddin,Hukum Perdata Islam di Indonesia,Jakarta : Sinar Grafika, 2006. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Madinah : Pemerintah Kerajaan Arab Saudi, 2003. Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Bandung :

PT. Citra Aditya Bakti, 2006.

Badan Pembinaan Hukum Nasional,Analisis dan Evaluasi Hukum Tentang 20 Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1995.

Badjeber, Zain,Tanya Jawab Hukum Perkawinan,Jakarta : Sinar Harapan, 1985. Basyir, Ahmad Azar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta, Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, 1995.

Departemen Agama RI, Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama,Kompilasi Hukum Islam,2000. Engineer, Asghar Ali,Pembebasan Perempuan,Yogyakarta : LKIS, 2003.

Furchan, Arief, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif,Surabaya : Usaha Nasional, 1997.

Hadikusuma, Hilman,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama,Cet-1, Bandung: Mandar Maju, 1990.

Hamdanah, Musim Kawin di Musim Kemarau (Studi atas Pandangan Ulama Perempuan Jember tentang Hak-hak Reproduksi Perempuan), Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2005.


(3)

Harahap, M. Yahya,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta : Sinar Grafika, 2003.

Ibrahim, Johannes dan Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis dalam Persepsi Manusia Modern,Bandung : Refika Aditama, 2004.

Ibrahim, Johnny,Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,Malang : UMM Press, 2007.

Lubis, M. Solly,Filsafat Ilmu dan Penelitian,Bandung : Mandar Madju, 1994. Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,

2003.

Moleong, Lexy J.,Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993.

Mujieb, M. Abdul, dkk.,Kamus Istilah Fiqih,Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994.

Muljadi, Kartini dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.

Muqniyah, Jawad Muhammad, Pernikahan Menurut Hukum Perdata dari Lima Mahzab,Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1978.

Musa, Kamil,Suami-isteri Islam,Cet. Ke-2, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000. Nasution, Khoiruddin,Status Wanita di Asia Tenggara : Studi Terhadap

Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta : INIS Leiden, 2002.

Niwan, Lely, Hukum Perjanjian, Yogyakarta : Dewan Kerjasama Ilmu Hukum Belanda Dengan Indonesia Proyek Hukum Perdata, 1987.

Nurudin, Amiur dan Tarigan Ahmad Azhari, Hukum Perdata di Indonesia, Jakarta : Pernada Media, 2004.

Pound, Roscoe,Justice According To Law,Yale University Press, New Haven USA, 1952.

Prodjodikoro, Wirjono,Hukum Perkawinan di Indonesia,Bandung: Sumur Bandung, 1988.


(4)

Prodjohamidjojo, Martiman, Tanya Jawab Undang-Undang Perkawinan Indonesia, Jakarta : PT. Abadi, 2003.

Ramulyo, Muhammad Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta : IND HILL. Co, 1990.

Reksopradoto, Wibowo,Hukum Perkawinan Nasional, Hukum Perdata Barat Hukum Keluarga,Semarang : Etikad Baik, 1977.

Sabiq, Sayyid,Fiqih Sunnah Jilid 3,Pena Pundi Aksara, Jakarta, 2006.

Satrio, J., Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.

Setiawan, R.,Pokok-pokok Hukum Perikatan,Bandung : Binacipta, 1979.

Soekanto, Soerjono, Intisari Hukum Keluarga, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.

_______________, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1999.

_______________, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.

Soemiyarti, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Yogyakarta : Liberty, 1982.

Subekti,“Hukum Perjanjian”,Jakarta : Cet. XII, PT. Intermasa, 1990. Sudarsono,Kamus Hukum,Jakarta : Rineka Cipta, tt.

Sumiarni, Endang, Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan (Kajian Kesetaraan Jender Melalui Perjanjian Kawin), Yogyakarta : Wonderful Publishing Company, 2004.

Supramono, Gatot, Segi-segi Hukum Hubungan Luar Nikah, Jakarta : Djambatan, 1998.

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2003.


(5)

Suprapto, Bibit,Liku-liku Poligami,Yogyakarta : Al Kautsar, 1990.

Suseno, Franz Magnis, Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,Jakarta : Gramedia, 1987.

Vollmar, H.F.A.,Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Bandung : Tarsito, 1982.

Widjaja, Gunawan, Memahami Prinsip Keterbukaan Dalam Hukum Perdata (Seri Hukum Bisnis),Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Wignjodipoero, Soeroso, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, Jakarta : Haji Masagung, 1990.

Wuisman, JJ.M., Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, Penyunting M. Hisyam, Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996.

Zuhri, Mohammad,Perintah dan Larangan Allah Ta’ala dalam Relasi Suami Isteri, Nuansa Aulia, Bandung, 2007.

Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum Islam

Internet

http://www.pa-palangkaraya.net/en/artikel/107-pelanggaran-perjanjian-perkawinan. html. Diakses tanggal 15 Maret 2011.

Jasin, Surjadi, Perjanjian Perkawinan Bisa Dianggap Menyinggung Perasaan, Artikel Internet, Diakses tanggal 24 Januari 2011.

Jurnal dunia-ibu.org online, “Perjanjian Pranikah”, copyright 2001-2002, (http://www.duniaibu.org/html/ perjanjian_pra_nikah.html), diakses pada 12 Januari 2010.


(6)

Jurnal Rahima oneline. Diakses pada tanggal 13 Januari 2010.

Kompas Cyb er Media Online, “Perjanjian Prapernikahan dan Manfaatnya”, Minggu, 30 Mei 2004.

Nawawi, Muhammad Afandhi, “Perjanjian Pra-Nikah”, tanggal 9 September 2005, (vandy@cbn.net.id). Tulisan ini adalah tanggapan terhadap artikel Jurnal Hukum Jentera online, “Perjanjian Pranikah : Solusi Untuk Semua?”, 31 Oktober 2005, (http://www.hukum.on-line.com), diakses pada 28 November 2005.

Republika online,“Perjanjian sebelum Perkawinan, Perlukah?”, Minggu, 18 Februari 2001, (http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=19353&kat_id=59), diakses pada 12 Februari 2006.

Rini, Mike, “Perlukah Perjanjian Pra-nikah?”, dalam Danareksa online, 2 Maret 2005, (http://www.danareksa.com/home/index_uangkita.cfm?act=), diakses pada 25 Januari 2011.