Analisis kebijakan pemerintah tentang koperasi syariah ditinjau dari perspektif Islam

(1)

ANALISA KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG

KOPERASI SYARIAH DITINJAU DARI PERSPEKTIF

ISLAM

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ekonomi Islam (SEI)

Disusun Oleh: ERSHAD SELESA NIM: 103046128257

KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH

PROGRAM STUDI MUAMALAT

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

ABSTRAKSI

Koperasi sebagaimana amanat dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945 sebagai soko guru perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan koperasi sebagai penopang utama keberadaan usaha rakyat kecil dan memang koperasi bersentuhan langsung dengan perekonomian rakyat akar rumput dibandingkan dengan lembaga keuangan lainnya. Karena itulah para founding father negeri ini

concern terhadap perkembangan koperasi di Indonesia, terutama perhatian besar yang diberikan kepada wakil presiden RI yang pertama Mochammad Hatta. Dalam perjalanannya sampai saat ini pertumbuhan dan perkembangan koperasi masih jalan ditempat. Semenjak Orde Baru pemerintah telah beralih perhatiannya kepada industri besar berbasis korporasi dengan asumsi korporasi memberikan sumbangan besar bagi pemasukan negara. Akibatnya tahun 1998 pemerintah baru merasakan betapa rapuhnya industri berbasis korporasi yang diagung-agungkan.

Lahirnya era reformasi memberikan berkah tersendiri bagi industri dengan pola syariah. Dimulai dengan lahir dan perkembangan pesat Bank syariah, kemudian bisa dikatakan itu sebagai stimulus lahirnya lembaga-lembaga keuangan syariah tak terkecuali koperasi syariah. Pada kenyataannya, koperasi syariah mampu bersaing dengan koperasi konvensional dan para lintah darat. Pertumbuhannya pun sangat signifikan jika dibandingkan dengan koperasi konvensional. Bahkan ditengah rontoknya koperasi-koperasi konvensional akibat ketidakberdayaannya menghadapi kendala-kendala teknis maupun non teknis,


(3)

koperasi syariah mampu bertahan walaupun sebelumnya status badan usaha koperasi masih diperdebatkan.

Pemerintah memberikan solusi berupa keputusan menteri koperasi dan UKM yang disingkat Kepmenegkop sebagai “batu loncatan” bagi landasan hukum kegiatan koperasi syariah. Setelah ada keputusan menteri ini, bukan berarti keputusan tersebut luput dari pengkajian bagi sarjana-sarjana muslim untuk meneliti dan menelaah lebih lanjut kesesuaian antara konsep Islam dengan rumusan keputusan pemerintah yang terangkum dalam keputusan menteri tersebut.

Penelitian yang dilakukan dalam keputusan menteri ini dilakukan dengan metode kualitatif, yakni memberikan sejumlah kesimpulan dalam bentuk kalimat yang menggambarkan gejala-gejala yang ada. Penellitian dalam bentuk skripsi ini juga bertujuan memahami apa isi kandungan keputusan tersebut, karena selama ini belum ada aturan yang jelas mengenai koperasi syariah di Tanah Air.

Selama penelitian dilakukan, penulis menemukan sejumlah penemuan berbanding lurus antara prinsip-prinsip Islam dalam pengembangan ekonomi dengan isi kandungan dari keputusan ini. Meskipun demikian, keputusan menteri ini masih ditemukan pula sejumlah kekurangan yang substansial dan harus diperbaiki oleh pembuat kebijakan supaya tidak mengurangi isi kualitas dari keputusan ini.


(4)

BAB

I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Siapapun meyakini bahwa sektor usaha kecil dan menengah memainkan peran yang sangat signifikan dalam pembangunan bangsa dan memberikan kontribusi besar di setiap pembangunan ekonomi di negara-negara berkembang, tidak terkecuali Indonesia. Pada kenyataannya hampir 90 persen penduduk Indonesia bergelut dalam aktivitas ekonomi di sektor usaha kecil dan menengah dan 70 persennya terdapat pada sektor pertanian. Sumbangan besar ini mencerminkan betapa UKM menjadi acuan utama pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan untuk mencapai kesejateraan masyarakat Indonesia. Pembangunan ekonomi berbasis sektor usaha kecil dan menengah (UKM) sangat erat dengan ekonomi kerakyatan karena di dalamnya terdapat sistem ekonomi yang berbasis kekuatan rakyat. Pembangunan ekonomi berorientasi pada kerakyatan sejatinya melahirkan ketahanan ekonomi di segala bidang.

Saat ini, rapuhnya fundamental perekonomian nasional menuntut penanganan serius karena tantangan ke depan yang semakin berat. Globalisasi dan isu-isu perdagangan bebas merupakan tantangan eksternal Indonesia ke depan, di samping masalah-masalah dalam negeri seperti krisis multidimensi yang berkepanjangan, otonomi daerah, serta isu-isu disintegrasi bangsa. Ada dua


(5)

pelajaran penting yang dapat ditarik dari krisis ekonomi 10 tahun silam.1Pertama, pembangunan ekonomi yang tidak berbasis pada kekuatan sendiri, melainkan bertumpu pada utang dan impor, ternyata sangat rentan terhadap perubahan faktor eksternal dan membawa negara ke dalam krisis yang berkepanjangan. Kedua, pendekatan pembangunan yang serba sentralistik, sergam dan hanya berpusat pada pemerintah ternyata tidak menghasilkan struktur sosial ekonomi yang memiliki fondasi yang kokoh, tetapi cendrung menghasilkan struktur yang didominasi usaha skala besar (yang dihuni oleh sekelompok kecil orang) dengan kinerja sangat rapuh. Dua pelajaran yang sangat berharga ini harus dapat diaktualisasikan ke dalam rancangan strategis dan kebijakan pembangunan berikutnya agar tidak terjerumus kesalahan yang sama.

Salah satu bentuk aktualisasi tersebut adalah dengan munculnya wacana pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah yang memang merepresentasikan kedua pelajaran diatas. UKM menjadi perwujudan konkret dari kegiatan ekonomi rakyat yang bertumpu pada kekuatan sendiri, terdesentralisasi, beragam dan merupakan kelompok usaha yang mampu menjadi buffer saat perekonomian Indonesia dilanda krisis. Keragaman usaha UKM seperti, peternak kecil, petani gurem, nelayan, tukang sayur, industri rumah tangga, usaha kerajinan, koperasi, pedagang kecil/ eceran, sopir angkot dan seterusnya adalah pelaku ekonomi yang memberi andil cukup besar dalam menggerakkan denyut nadi kehidupan masyarakat.

1

Amran Husen, Strategi Penguatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, dalam Ahmad Erani Yustika, ed., “Perekonomian Indonesia ; Deskripsi, Preskripsi & Kebijakan” (Malang: Bayumedia, 2005) h.39


(6)

Di beberapa negara seperti Italia di mana kontribusi UKM terhadap ekspornya lebih besar usaha besar pada 1998, yakni mencapai 78 persen. Di kawasan APEC, kontribusi UKM dalam Product Domestic Bruto (PDB) berkisar antara 30 – 70 persen. Di samping dalam pembentukan PDB, UKM juga berperan besar dalam penyerapan tenaga kerja. Sebanyak 42,3 juta UKM yang ada di Indonesia, mampu meyerap lebih dari 79 juta tenaga kerja atau 99,4 persen dan untuk kawasan APEC sendiri, UKM mampu menyerap tenaga kerja hingga 50 persen.2

Sebagai usaha kecil, UKM kerap kali terjebak dalam pelbagai permasalahan yang mengancam eksistensinya, baik permasalahan internal maupun eksternal. Permasalahan internal UKM meliputi3:

a. Rendahnya profesionalisme tenaga pengelola UKM,

b. Keterbatasan permodalan dan kurangnya akses terhadap perbankan dan pasar,

c. Kemampuan penguasaan teknologi yang masih kurang.

Adapun pemasalahan eksternal yang dihadapi UKM yakni:

a. Iklim usaha yang kurang menguntungkan bagi pengembangan usaha kecil,

b. Kebijakan pemerintah yang belum berjalan sebagaimana yang diharapkan,

2

“Kontribusi UKM Sangat Besar dalam Perekonomian,” Harian umum Republika, Jumat 22 September 2006

3

Jafar Mohammad Hafsah, Kemitraan Usaha; Konsep dan Strategi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), h. 25


(7)

c. Kurangnya dukungan, dan

d. Masih kurangnya pembinaan, bimbingan manajemen dan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Jika permasalahan-permasalahan demikian tidak teratasi dengan baik, maka kegagalan dan kepailitan usaha akan terus terjadi yang selanjutnya berdampak negatif bagi perekonomian bangsa. Oleh karena itu, peranan pemerintah yang berpihak pada UKM dan peranan lembaga keuangan mikro (LKM) menjadi penopang utama saat permasalahan-permasalahan tersebut timbul kepermukaan. Dalam hal peran pemerintah, kebutuhan UKM yang harus penuhi pemerintah berupa kebijakan yang berpihak kepada sektor usaha mikro, kecil dan menengah. Selain itu, pemerintah perlu memberikan penyuluhan dan pembinaan sabagai upaya maintanance kepada UKM untuk terus mempertahankan keberadannya. Pengembangan UKM tidak bisa lepas dari LKM, karena selama ini LKM merupakan pihak yang mampu memberikan dukungan kepada UKM.

Berangkat dari fenomena tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan LKM merupakan salah satu prasyarat mutlak yang harus dipenuhi dalam rangka pengembangan UKM. LKM yang kerap kali bersentuhan langsung dengan para pengelola UKM adalah koperasi. Disamping itu, ada pula LKM yang berlandaskan prinsip syariah seperti Baitul Mal Wattamwil dan koperasi syariah. Perlu diketahui bahwa lembaga keuangan mikro umum ataupun yang berlandaskan prinsip syariah merupakan bagian dari UKM itu sendiri. Koperasi dan UKM ibarat dua sisi mata uang tidak dapat dipisahkan. Karena itu, dukungan


(8)

regulasi berupa kebijakan-kebijakan pemerintah juga dibutuhkan bagi perkembangan dan pengembangan koperasi.

Meskipun demikian, belum ada ketentuan khusus yang mengatur operasional koperasi syariah, baik berupa undang-undang ataupun peraturan pemerintah. Padahal sejauh ini koperasi syariah mampu membantu usaha mikro, kecil dan menengah dengan jumlah yang cukup signifikan yang disebut-sebut sebagai pondasi pokok ketahanan perekonomian negara. Atas dasar itulah menjadi latar belakang saya untuk menyusun karya tulis berjudul “Analisa Kebijakan Pemerintah tentang Koperasi Syariah Ditinjau dari Perspektif Islam”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Industri usaha kecil dan menengah mencakup banyak hal sektor usaha kecil dan menengah. Koperasi menjadi salah satu yang terintegrasi ke dalam bagian unit usaha kecil dan menengah tersebut. Prinsip usahanya pun ada yang bersifat umum dan adapula yang menggunakan prinsip syariah seperti Baitul Mal Wattamwil dan Koperasi Syariah. Dalam hal ini, pembatasan masalah pada penelitian ini tertuju pada sektor usaha koperasi syariah.

Posisi koperasi dirasakan begitu strategis bagi pengembangan UKM, terlebih koperasi yang benar-benar berlandaskan prinsip syariah dalam menjalankan usahanya. Walaupun selama ini belum terlihat dukungan regulasi yang signifikan kepada koperasi berprinsip syariah dari pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan dan kualitas koperasi syariah. Koperasi syariah


(9)

ataupun koperasi pada umumnya merupakan bagian dari unit Usaha kecil dan menengah yang juga membutuhkan sokongan dari pemerintah dan lembaga keuangan yang lebih besar. Sokongan tersebut berupa kebijakan yang dapat membantu pelakasanaan tugas pokok koperasi yang harus diberikan pemerintah, dan dukungan permodalan merupakan kebutuhan penting koperasi yang harus ditopang oleh sektor perbankan. Pertanyaan selanjutnya yang akan muncul adalah:

1. Prinsip-prinsip apa yang digariskan Islam dalam pengembangan ekonomi?

2. Kebijakan apa yang diterbitkan pemerintah dalam pengembangan UKM di sektor usaha koperasi syariah?

3. Bagaimana kesesuaian antara kebijakan pemerintah dalam pengembangan sektor usaha koperasi syariah dengan prinsip-prinsip pengembangan ekonomi yang digariskan Islam?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan antara lain:

1. Memahami kebijakan pemerintah tentang pengembangan koperasi syariah yang selama ini belum terakomodasi oleh peraturan pemerintah dan perundang-undangan

2. Mengetahui relevansi antara prinsip-prinsip Islam secara garis besar dengan kebijakan tersebut dari segi teori dan praktik.


(10)

3. Memberikan informasi kepada publik mengenai perkembangan koperasi syariah di Indonesia.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang kebijakan pemerintah untuk meningkatkan laju usaha kecil dan menengah di sektor koperasi syariah.

2. Memberi masukan konsruktif kepada instansi terkait bagi pengembangan koperasi di Indonesia.

D. Kerangka Teori

“Hai Orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah rasul dan pemimpin diantara kamu...” (An-Nisa’ : 59)

Pemerintah sebagai penguasa yang telah diberi amanah oleh Allah SWT untuk memimpin bumi, bertanggung jawab terhadap rakyatnyabaik secara materi maupun non-materi. Pada umumnya campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi adalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan, penyusunan, penerangan dan peraturan untuk mewujudkan kelancaran, keadilan dan kesimbangan dalam masyarakat.


(11)

Allah SWT mensifati orang-orang beriman yang diteguhkan kedudukannya dimuka bumi dengan firman-Nya:

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat makruf dan mencegah perbutan munkar” (Al-Hajj: 41).

Yang dimaksud dengan diteguhkan di bumi adalah bagi orang-orang yang beriman yaitu kekuasan di tangan mereka. Pengaruh dari diteguhkan tampak pada ditegakkannya hak Allah yang paling menonjol, shalat, terpeliharanya hak menusia terutama bagi fakir miskin yaitu hak mereka bagian dari zakat, tersebarnya kebaikan dan ditentangnya kebatilan dan kerusakan. Tampaklah bahwa peran negara di lapangan ekonomi mantap dan kokoh dalam menjaga norma dan kewajiban, yaitu dalam semua bidang tanpa kecuali.

Negara bertugas menegakkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap individu dan mencegah mereka dari segala perbuatan haram atau yang merugikan orang lain maupun pribadi4

4

Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 252


(12)

E. Metode Penelitian

Bagian ini menguraikan secara detail cara kerja dan prosedur pelaksanaan penelitian.

A. Jenis penelitian

1. Studi Kepustakaan

Penelitian kepustakaan dilakukan dengan pengkajian terhadap teori-teori dengan mempelajari buku-buku, literatur-literatur, surat kabar, internet, bahan dokumentasi dan sebagainya yang berhubungan dengan tema penulisan yang menjelaskan mengenai pengertian koperasi dan segala macamnya, kebijakan-kebijakan pemerintah yang terkait dalam penanganan koperasi syariah, serta penjelasan-penjelasan dari maksud dari kebijakan-kebijakan tersebut.

B. Pendekatan Penelitian

Skripsi ini mendeskripsikan kesesuaian antara teori yang ada dengan kondisi ril di lapangan. Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan pada penelitian ini mengarah kepada pendekatan empiris dengan kajian politik ekonomi.

C. Data Penelitian


(13)

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Primer, yakni data yang diperoleh dari kebijakan pemerintah yang terkait pada pembahasan penelitian ini. Adapun Data Sekunder yang diperoleh diperoleh melalui data yang telah diteliti sebelumnya dan dikumpulkan berkaitan dengan permasalah penelitian ini.

2. Jenis Data

Adapun jenis penelitian ini dikatagorikan jenis penelitian kualitatif, karena lebih mendeskripsikan teori-teori sosial dan normatif. Selain itu, analisa yang dilakukan adalah memaparkan secara terperinci tentang kebijakan-kebijakan pemerintah kemudian analisis untuk mengetahui ada atau tidaknya kesesuaian antara prinsip-prinsip pengembangan UKM dalam perspektif pemerintahan Islam dengan kebijakan-kebijakan yang ada dalam bentuk pernyataan dan kesimpulan sehingga penelitian ini dikatagorikan sebagai penelitian kualitatif

3. Teknik Pengumpulan Data

Pada penelitian ini teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode studi dokumentasi naskah (studi pustaka).


(14)

Objek pada penelitian ini terfokus kepada kebijakan yang telah dikeluarkan pemerintah melalui Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.

E. Teknik Pengolahan Data

Karena jenis data yang digunakan adalah data kualitatif, maka teknik pengolahan data dimulai dengan melakukan pengkodean data, untuk selanjutnya dilakukan kategorisasi.5

F. Metode Analisa

Analisa dalam penelitian ini menggunakan model analisis isi dengan mendeskripsikan teori-teori yang ada kemudian disesuaikan dengan kenyataan yang ada dan analisis wacana dengan memberikan pernyataan peneliti dari gejala dan masalah yang ada.

G. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini berpedomen pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

H. Sistematika Penulisan

5

Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,

Buku Pedoman Penulisan Skripsi (Jakarta: Fakultas Syariah & Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), h.28


(15)

Penulisan skripsi ini mengacu kepada pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. Urutan penulisan penelitian pada skripsi ini, penulis membaginya menjadi 5 bab, yakni:

1. BAB I : PENDAHULUAN

Berisi tentang latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian metodologi penelitian, studi kepustakaan, kerangka teori dan sistematika penulisan.

2. BAB II : LANDASAN TEORI

Berisi tentang pemaparan teoritis dan normatif tentang hubungan Islam dan Ekonomi, peran dan tanggung jawab negara pada pembangunan ekonomi skala mikro di sektor lembaga usaha koperasi syariah yang didalamnya terdapat peran negara dalam pengembangan usaha koperasi syariah dan prinsip-prinsip pengembangan ekonomi yang digariskan Islam.

BAB III : GAMBARAN UMUM

Bab ini menjelaskan secara teoritis mengenai pengertian koperasi syariah. Selain itu mendeskripsikan latar belakang munculnya kebijakan koperasi syariah dan Kebijakan pemerintah tentang koperasi syariah.


(16)

Pada bab ini dideskripsikan mengenai perkembangan Koperasi syariah setelah diterbitkannya keputusan menteri koperasi dan UKM dan analisa kesesuaain antara prinsip-prinsip pengembangan ekonomi yang digariskan Islam.

4. BAB V : PENUTUP

Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran yang diperoleh penulis melalui hasil penelitian di karya skripsi ini.


(17)

BAB II

TINJAUAN ISLAM TERHADAP PENGEMBANGAN USAHA MIKRO PADA SEKTOR USAHA KOPERASI SYARIAH

A. Islam dan Ekonomi

Menurut ilmu bahasa (etimologi), Islam berasal dari bahasa Arab, dari kata

salima yang berarti “selamat sentosa.” Dari asal kata itu dibentuk kata aslama

yang artinya “memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa,” dan berarti juga “menyerahkan diri, tunduk, patuh, dan taat.” Seseorang yang bersikap sebagaimana yang dimaksud oleh pengertian Islam tersebut disebut muslim, yaitu orang yang menyatakan dirinya taat, menyerahkan diri dan tunduk kepada Allah SWT.6 Secara terminolgis, Islam berarti ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan

kepada manusia melalui seorang Rasul. Atau lebih tegas lagi Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul.7

Adapun kata Ekonomi berasal dari bahasa yunani, yakni dari kata oikos

yang berarti rumah tangga (household) dan Nomos yang berarti aturan, kaidah atau pengelolaan. Secara sederhana, ekonomi dapat diartikan sebagai kaidah-kaidah, aturan-aturan, atau cara pengelolaan suatu rumah tangga. Ekonomi pada

6

Abuddin Nata, “Al-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah I)”,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992, Ed. Revisi), h. 23, review buku Khursid Ahmad, Islam its Meaning and Message,

(London: Islamic Council of Europe, 1976) h. 21

7

Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I (Jakarta: UI Pres, 1979), h. 17


(18)

umumnya didefinisikan sebagai kajian tentang perilaku manusia dalam hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber produktif yang langka untuk produksi barang-barang dan jasa-jasa serta mendistribusikannya untuk dikonsumsi. Dengan demikian bidang garapan ekonomi adalah salah satu sektor dalam perilaku manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan konsumsi.8 Menurut Jean Baptiste Say (1767-1832), ekonomi adalah ilmu yang

mempelajari tentang kesejahteraan.9

Manusia hidup dalam suatu kelompok masyarakat, yang secera keseluruhan membentuk sebuah sistem. Sistem tersebut secara sederhana membentuk dapat diartikan sebagai interaksi, atau kaitan, atau hubungan dari unsur-unsur yang lebih kecil membentuk suatu kesatuan yang lebih kompleks sifatnya. Manusia juga memeliki kebutuhan yang beraneka ragam seperti belitan dikehidupan keluarga, keinginan, agama, kewajiaban dan kontak sosial dengan teman-temannya. Pada akhirnya, manusia harus memenuhi kebutuhan akhirnya dan berusaha keras untuk mendapatkan kebutuhan ekonominya demi memenuhi segala keinginannya.

Masalah utama pada dasarnya terletak pada bermulanya kelangkaan

(scarcity) barang dan sumber daya yang dibutuhkan manusia, di sisi lain kebutuhan manusia tidak terbatas sehingga yang muncul adalah persaingan

(competition) untuk mendapatkan barang dan sumber daya tersebut. Manusia

8

Paul A. Samuelson, Economics (New York: McGraw-Hill Book Co., 1973), h.3

9

Mehr Muhammad Nawaz Khan, Islamic and Other Economic System (Lahore: Islamic Book Service, 1989) h.10


(19)

tidak pernah merasa puas atas apa yang diperoleh dan dicapai. Apabila keinginan sebelumnya sudah terepenuhi, maka keinginan-keinginan yang lain akan muncul. Dengan ditandainya keterbatasan dan kelangkaan sumber daya yang tersedia, manusia harus menentukan pilihan-pilihannya (choice) dalam menentukan kebutuhannya yang kompleks.

Semua urusan dan kebutuhan manusia sebenarnya sudah diatur oleh Islam yang terangkum dalam kitab suci Al-Quran, yakni Allah telah memfasilitasi itu semua melalui sumber daya alam yang melimpah ruah. Islam memandang bahwa bumi dengan segala isinya merupakan amanah Allah kepada manusia sebagai khalifah agar dipergunakan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama. Pernyataan ini ditegaskan dalam Al-Quran yang berbunyi:

“Tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah Telah menundukkan untuk (kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan” (Lukman: 20)

Di samping itu, Islam juga sebagai agama terakhir yang sudah disempurnakan Allah SWT, artinya hanya agama Islam-lah yang menjadi satu-satunya agama yang diridhai Allah sebagai agama yang harus diikuti oleh seluruh makhluk hidup. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT yang berbunyi:


(20)

“Pada hari Ini Telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan Telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”. (Al- Maaidah: 3)

Tujuan agama Islam secara umum adalah membawa manusia kepada kehidupan baik, sejahtera lahir dan batin sehingga memperoleh kedamaian dan ketentraman hidup di dunia dan akhirat. Agama Islam berpedoman kepada Al-Quran karim dan Sunah Rasul. Membicarakan ajaran Islam tidak dapat dilepaskan hubungan kedua pedoman utama tersebut. Oleh karena itu, ajaran Islam sebagai suatu syariah yang dibawa oleh Rasul terakhir mempunyai keunikan tersendiri. Syariah ini bukan hanya menyeluruh atau komprehensif, tetapi juga universal. Karakter istimewa ini diperlukan, sebab tidak akan ada syariah lain yang datang untuk menyempurnakannya.

Komprehensif berarti syariah Islam mengintegralkan seluruh aspek kehidupan, baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Ibadah berkaitan dngan interaksi vertikal antara makhluk dengan Sang Pencipta. Sedangkan, muamalah diturunkan untuk menjadi rules of game dalam kehidupan antar makhluk.

Universal bermakna bahwa ajaran Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai Hari Akhir. Universalitas ini nampak jelas terutama pada bidang muamalah. Selain mempunyai cakupan luas dan fleksibel, muamalah


(21)

tidak membeda-bedakan muslim dan non-muslim. Kenyataan ini tersirat dalam ungkapan yang diriwayatkan oleh Sayyidina Ali ra., “Dalam bidang muamalah kewajiban mereka adalah kewajiban kita dan hak mereka adalah hak kita.” Dalam sektor ekonmi misalnya, larangan riba, sistem bagi hasil, pengambilan keuntungan, pengenaan zakat, dan lain-lain yang merupakan bagian dari prinsip pelaksanaan aktifitas ekonomi. Adapun variabelnya diantaranya adalah aplikasi prinsip jual-beli dalam modal kerja, penerapan asa mudharabah dalam investasi, atau penerapan ba’i salam dalam pembangunan suatu proyek. Sifat muamalah itu menjadi acuan utama dalam aktifitas ekonomi karena Islam mengenal hal yang diistilahkan sebagai Prinsiples and variabels(tsawabit wa mutaghayyirat).

Ekonomi yang diyakini sebagai salah satu cabang ilmu secara otomatis tidak dapat dipisahkan dengan Islam. Terlebih lagi Al-Quran dan As-Sunah sebagai sumber hukum dari semua perkara, memberikan porsi yang cukup besar dalam membahas berbagai hal berkaitan ekonomi. Bahkan prinsip, metodologi dan hukum pengaturan perekonomian dalam Islam tidak bisa dipisahkan dengan Islam sebagai agama. Misalnya, dalam mekanisme zakat, yang merupakan salah satu rukun atau pilar utama agama, dimana urgensi zakat dapat dipersamakan dengan empat pilar utama lainnya yaitu dua kalimat syahadat, salat lima waktu, puasa dan haji. Mengabaikan zakat sama saja dengan mengamputasi Islam sebagai agama, karena zakat menjadi salah satu rukunnya.

Demikian sebaliknya, dalam aktifitas ekonomi, zakat menjadi pilar penting agar mekanisme atau proses ekonomi dapat terus berlangsung. Zakat pada


(22)

dasarnya menjaga agar daya beli masyarakat khususnya golongan bawah

(mustahik) selalu ada, atau zakat memberikan kesempatan pada masyarakat yang tidak memiliki akses pada ekonomi, sehingga semua elemen masyarakat terlibat dapat aktif dalam aktifitas ekonomi. Dengan kata lain, zakat adalah satu instrumen ekonomi yang menjaga agar tingkat minimum permintaan yang dubutuhkan oleh pasar agar pasar berjalan selalu terpelihara. Zakat juga secara tidak langsung mampu menekan atau bahkan menghindarkan masyarakat dari masalah-masalah sosial lainnya, seperti pengangguran, kemiskinan, kriminalitas, dan konflik sosial10.

Berdasarkan alasan ini, mustahil mendikotomikan Islam dan ekonomi, karena ekonomi menjadi salah satu sistem berkehidupan yang diatur oleh agama, agar harmonisasi, keseimbangan dan kesejahteraan dapat dicapai dan terjaga keberlangsungannya. Islam juga mengajarkan pemeluknya untuk mengejar kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Kesejahteraan di akhirat tntu saja menjadi acuan utama dalam ajaran Islam. Sedangkan kesejahteraan dunia adalah tidak bsa dilepas dari terwujudnya hidup yang meliputi kesejahteraan harta. Jelas sekali bahwa miskin, bodoh, terbelakang dan semacamnya tidak akan disebut baik dalam hidupnya. Dan ini semua tidak menjadi cita-cita Islam secara doktrinal. Dalil lain yang lebih cocok dan sering dijadikan dalil untuk berusaha memperoleh kesejahteraan dunia adalah:

10

Ali sakti, Analisis Teoritis Ekonomi Islam (Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern), (ttp. : Paradigma & Aa Publishing, 2007), h.10


(23)

“Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Al-Qashash: 77)

Oleh karena itu, permasalahan ekonomi dalam Islam lebih terletak pada perputaran harta dibandingkan dengan masalah kelangkaan dan pilihan. Orientasi ekonomi tidak sempit hanya tertuju pada pencapaian materi, tetapi juga pencapaian spiritual.

Sebagaimana keterangan di atas, Islam mempunyai pandangan yang jelas mengenai harta dan kegiatan ekonomi, pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut11:

1. Pemilik mutlak terhadap segala sesuatu yang ada dimuka bumi adalah Allah. Kepemilikan oleh manusia hanya bersifat relatif, sebatas untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan keteentuan Allah.

11

Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan, (Jakarta: Tazkia Institute, 2001), h.42 review materi Pelatihan Perbankan Syariah TAZKIA oleh Dr. H Didin Hafiduddin


(24)

“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (Al-Hadid: 7)

2. Status harta yang dimiliki manusia adalah sebagai:

a. Titipan dari Allah dan manusia sebagai pemegang amanah.

b. perhiasan hidup yang memungkinkan manusia bisa menikmatinya dengan baik dan tidak berlebih-lebihan.

c. Ujian keimanan terutama menyangkut soal cara mendapatkannya dan memanfaatkannya.

d. Bekal ibadah, yakni untuk melaksanakan perintah Allah dan melaksanakan muamalah sesama manusia melalui kegiatan zakat, infak dan sedekah.

3. Pemilikan harta dapat dilakukan antara lain melalui usaha atau mata pencaharian (ma’isyah) yang halal sesuai dengan aturan-Nya.

4. Islam melarang mencari harta, berusaha, atau bekerja yang dapat melupakan kematian, melupakan dzikrullah, melupakan salat dan zakat dan memusatkan kekayaan pada sekelompok orang saja.


(25)

5. Islam melarang menepuh usaha yang haram, seperti melalui kegiatan riba, perjudian, jual-beli barang yang dilarang atau haram, mencuri, merampok, penggasaban, curang dalam takaran, melalui cara-cara yang batil dan merugikan, dan melalui suap-menyuap.

sumber: M. Syafi’i Antonio

B. Peran Dan Tanggung Jawab Negara dalam Pengembangan Usaha

Koperasi Syariah Ditinjau dari Perspektif Islam

Pemberdayan ekonomi rakyat akan terasa makin penting, jika kenyataan menunjukan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya berbasis ekonomi rakyat, yakni kegiatan ekonomi yang didominasi unit usaha kecil, mikro dan menengah. Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, Usaha Kecil Menengah (UKM)

ISLA M C O M PREHENSIV E W A Y O F LIFE

ISLA M

AQIDAH SYARIAH AKHLAQ

IBA D A H M UA M A LA H

SPEC IA L PUBLIC RIG HTS

C RIM INA L C IVIL LA W S INTERIO R EXTERIO R INTERNTIO NA

L RELA TIO N C O NSTITUE EC O NO M Y

A DM INISTRA TIV

FINA NC E

BA NKING M O RTA G A INSURA NC E


(26)

selalu digambarkan sebagai sektor yang mempunyai peranan penting, karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sektor tradisional maupun modern. UKM akan terasa semakin kokoh bilamana akan Lembaga Keuangan Mikro terlibat di dalamnya. Terutama lembaga mikro yang berprinsip syariah. Lembaga syariah yang disebut-sebut dekat dengan usaha akar rumput ini adalah Koperasi Syariah. Karena perannya sangat strategis, yakni menopang keberlangsungan usaha mikro yang posisinya juga sebagai badan usaha mikro itu sendiri yang diakui pemerintah. Dengan demikian, peran dan Tanggung Jawab yang besar untuk memberdayakan perekonomian umat adalah bagian dari kewajiban negara yang harus dilaksanakan.

“Hai Orang-orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah rasul dan pemimpin diantara kamu...” (An-Nisa’ : 59)

Pemerintah sebagai penguasa yang telah diberi amanah oleh Allah SWT untuk memimpin bumi, bertanggung jawab terhadap rakyatnyabaik secara materi maupun non-materi. Pada umumnya campur tangan pemerintah dalam kegiatan ekonomi adalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan pengurusan, penyusunan, penerangan dan peraturan untuk mewujudkan kelancaran, keadilan dan kesimbangan dalam masyarakat.


(27)

Allah SWT mensifati orang-orang beriman yang diteguhkan kedudukannya dimuka bumi dengan firman-Nya:

“(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat makruf dan mencegah perbutan munkar” (Al-Hajj: 41). Yang dimaksud dengan diteguhkan di bumi adalah bagi orang-orang yang beriman yaitu kekuasan di tangan mereka. Pengaruh dari diteguhkan tampak pada ditegakkannya hak Allah yang paling menonjol, shalat, terpeliharanya hak menusia terutama bagi fakir miskin yaitu hak mereka bagian dari zakat, tersebarnya kebaikan dan ditentangnya kebatilan dan kerusakan. Negara bertugas menegakkan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap individu dan mencegah mereka dari segala perbuatan haram atau yang merugikan orang lain maupun pribadi.12 Tampaklah bahwa peran negara di lapangan ekonomi mantap

dan kokoh dalam menjaga norma dan kewajiban, yaitu dalam semua bidang tanpa kecuali. Rasulullah dan para Khalifah Rasyidin sebagai seorang kepala negara sekaligus agama adalah contoh nyata.

Ibnu Taimiyah menyatakan pemerintahan merupakan institusi yang sangat dibutuhkan. Dia memberi alasan dalam menetapkan negara dan kepemimpinan

12


(28)

negara itu sebagai kewajiban agama. Sabda Rasulullah SAW: “Jika tiga orang melakukan perjalanan bersama, mereka harus mengangkat seorang diantara mereka sebagai pemimpin.” Ketika mengutip hadits tersebut, dia menjelaskan:

“Jika seorang pemimpin dibutuhkan dalam perjalanan yang secara temporer yang dilakukan dan hanya terdiri beberapa orang sungguh merupakan perintah untuk memiliki seorang pemimpin pula untuk mengatur sebuah asosiasi banyak orang yang sangat besar”13

Dia lebih jauh menyatakan bahwa kewajiban bagi setiap bagi setiap muslim untuk mengajak berbuat baik dan mencegah perbuatan jahat. Tugas itu tidak bisa disempurnakan pelaksanaannya tanpa kekuatan dan otoritas kepemimpinan. melaksanakan kewajiban agama, menegakkan keadilan, memberantas kemiskianan, memerangi kemungkaran dan menjamin adanya supremasi hukum bagi seluruh warga negara. Semua tugas tersebut tak mungkin ditangani dengan baik tanpa adanya pemerintahan dan kekuasaan.14

Campur tangan pemerintah terhadap pengembangan usaha kecil dan menengah erat kaitannya dengan pemberantasan kemiskinan, dan menjadi kewajiban sebuah negara untuk membantu penduduk mampu mencapai kondisi finansial yang lebih baik. Hal demikian sudah menjadi konsensus umum bahwa siapapun yang tak mampu memperoleh penghasilan yang mencukupi harus dibantu dengan sejumlah uang agar mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Tidak menjadi persoalan apakah mereka itu para peminta-minta atau tentara, pedagang, tukang ataupun petani. Misalnya seorang pedagang kecil yang hasil

13

Ibnu Taimiyah, “Al-Siyasah al-Syar’iyyah,” (Kairo: Dar Al-Shab, 1971), h.184

14

Abdul Azim Islahi, The Economic Concept of Ibn Taimiyah, (UK: The Islamic Foundation, 1982) h. 173


(29)

dagangannya tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhannya, atau petani yang keterbatasan modal untuk melakukan produksi. Maka semuanya berhak atas bantuan sedekah yang sumbernya dari anggaran negara.15 Negara juga harus

berupaya agar penduduk mampu memliki standar hidup lebih baik dan membantu penduduknya agar bisa hidup mandiri.

Selama para pedagang atau usahawan kecil mengalami kesulitan untuk mengembangkan usahanya maka peranan pemerintah sangat diperlukan yang wujudnya bisa dalam bentuk investasi, pembinaan, dan pengawasan. Jika peranan ini dilaksanakan dengan baik, maka kemiskinan dapat segera diatasi karena peranan jenis sangat ampuh mendidik masyarakat untuk mandiri dan produktif.

C. Prinsip-prinsip Pengembangan Ekonomi yang Digariskan Islam

Kesempurnaan ajaran Islam mengatur hubungan antar manusia, memberikan arahan jelas dalam menjalankan aktifitas ekonomi. Salah satunya adalah seperti yang terdapat dalam kaidah ushul fikih yang bunyinya, “Semua aktiftas muamalah hukumnya adalah boleh kecuali ada dalil yang melarangnya.” Karena itu, segala aktifitas ekonomi yang mengandung unsur penzaliman terhadap

stakeholder atau sebaliknya hukumnya menjadi haram dan dilarang karena perbuatan zalim dalam Islam adalah dosa. Terkait dengan itu semua, Islam memberikan garis besar dalam dalam melakukan tindakan ekonomi yang terangkum dalam prinsip-prinsip Islam dalam pengembangan ekonomi.

15


(30)

Dalam hal falsafah dan keyakinan, maka prinsip yang harus diperhatikan adalah:

a. Prinsip Ketauhidan

Batu pondasi Islam adalah tauhid (keimanan) karena pada konsep ini konsep ini bermuara semua pandangan dunia dan strateginya. Tauhid mengandung arti bahwa alam semesta didesain dan diciptakan oleh Tuhan Yang Mahakuasa, yang bersifat esa dan unik dan ia tidak terjadi karena aksiden. Segala sesuatu yang diciptakan memiliki tujuan. Tujuan inilah yang memberikan arti dan signifikansi bagi eksistensi jagat raya, di mana manusia merupakan salah satu bagiannya.16

Semua aktifitas yang dilakukan manusia harus tergambar sebagai usaha untuk mencari kebahagiaan hidup. Tidak hanya kebahagiaan hidup di dunia saja tetapi juga kebahagiaan setelah kematian. Gambaran tersebut hanya bisa tercapai dari sikap ketauhidan manusia kepada penciptanya. Termasuk peran pemerintah saat menjalankan roda pemerintahan tidak terlepas dari aktifitas untuk mencapai kebahagiaan hidup. Mensejahterakan kehidupan rakyat adalah salah satu usaha untuk mencapai kehidupan yang bahagia. Tetapi kehidupan yang bahagia menjadi semu bila tidak disertai ketauhidan dan ketundukkan kepada penciptanya. Menjalankan nilai-nilai spiritual, norma dan etika merupakan bagian dari bentuk manifestasi prinsip ketauhidan.

16

M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: GIP – Tazkia Institute, 2000), h. 204


(31)

Nilai tauhid yang dijunjung manusia bersifat universal dan komprehensif, berlaku kepada semua makhluk hidup, penguasa, ulama, rakyat kecil, bahkan pengusaha. Maka, sangat berbeda orientasi seseorang yang berusaha dilandasi dengan prinsip ketauhidan dengan mencari keuntungan yang sifatnya materialistis. Jika usaha yang materialistis dihadapkan pada kerugiaan dan bencana, timbul kegelisahan dan tekanan batin. Akan tetapi, usaha yang dilandasi nilai keimanan masih memiliki revers dalam rohaninya, tidak mudah kecewa atau kecil hati karena sandarannya tetap ada, yaitu keimanan.17

Tauhid disini tidak hanya diartikah untuk mengesakan Allah, melainkan juga meyakini bahwa Allah SWT telah mengutus para utusannya di muka bumi dalam rangka mengemban risalah dakwah Islam. Keyakinan terhadap sifat-sifat kenabian menjadi kewajiban yang harus diusahakan bagi kehidupan individu, masyarakat, dan penguasa dalam rangka menyempurnakan prinsip tauhid ini. Termasuk diartikan meyakini kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya sampai saat ini yang semuanya terintegrasi dalam rukun Iman.

b. Khilafah

Khilafah dalam arti ini bukan dalam pengertian lembaga pemerintahan Islam, tetapi pendelegasian manusia sebagai wakil Allah di muka bumi. Firman Allah SWT:

17

Abdullah Zaky Al-Kaaf, Ekonomi dalam Perspektif Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h. 116


(32)

Artinya: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (Al-Baqarah : 30)

Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu.” (Al-An’am: 165)

Ayat ini mengandung dua hal. Pertama, segala yang ada di alam semesta termasuk manusia adalah kepunyaan Allah yang memiliki kedaulatan sepenuhnya dan sempurna atas makhluk-makhlukNya yang lain. Manusia diciptakan Allah untuk menjadi wakilNya di muka bumi dan diberi kelebihan yang tidak ada pada binatang dan tumbuhan, bahkan manusia sendiri yang mampu memanfaatkannya. Kedua, Allah mengamanatkan kekayaan dan kekuasaaan ke tangan manusia dengan tingkat derajat yang berlainan. Ada yang mendapat bagian yang lebih banyak atau sebaliknya. Amanat itu dimaksudkan sebagai cobaan bagi manusia yang kelak akan menentukan nasib setiappribadi pada hari kiamat.

Dalam hal prinsip khilafah, pemerintah atau penguasa (umara’) adalah bagian perwujudan dari salah satu wakil Allah untuk memanfaatkan sumber daya yang Allah sediakan di bumi. Pemerintah diberikan kewenangan untuk mnegatur suatu wilayah tertentu, mengatur kehidupan masyarakatnya menjadi lebih baik


(33)

dan bermartabat. Kewenangan tersebut merupakan amanat Tuhan yang dianugrahkan kepada manusia. Maka, amanat tersebut menjadi kewajiban bagi manusia untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.

Pengaturan tersebut tidak hanya dalam konteks kelembagaan pemerintah, tetapi juga kelembagaan dalam cakupan yang lebih kecil seperti organisasi, keluarga, anggota masyarakat dan lain sebagainya. Termasuk kepemimpinan manusia dalam mengorganisasikan lembaga ekonomi mikro seperti koperasi, keberadaan prinsip khilafah tidak bisa dinafikkan oleh para pengelola dan juga pemerintah.

Kebijakan yang dikeluarkan dalam menjalankan aktifitas pemerintahan merupakan bagian kecil peran khilafah yang dimainkan manusia dalam rangka mengatur kehidupan masyarakat banyak. Belum lagi peran manusia dalam memimpin dan mengatur sebuah institusi, termasuk pula institusi lembaga keuangan mikro semacam koperasi syariah yang banyak memainkan peran khilafah dalam mengembangkan lembaga keuangan ini.

Sedangkan prinsip yang harus diperhatikan pemerintah mengenai nilai dasar Islam dalam kegiatan ekonomi antara lain:

a. Keadilan

Nilai keadilan adalah instrumen yang tidak bisa dipisahkan dengan ajaran Islam. Prinsip keadilan salah satu nilai yang begitu penting dalam menjalankan roda pemerintahan. Supremasi hukum suatu negara dinilai mampu tegak jika


(34)

nilai-nilai keadilan dijunjung tinggi oleh pemerintah. Maka, dalam setiap kebijakan dan keputusan yang dibuat pemerintah sudah seharusnya terkandung instrumen keadilan.

Kata adil adalah kata yang terbanyak disebut dalam Al-Quran lebih dari seribu kali, setelah perkataan Allah dan ilmu pengetahuan. Karena itu, dalam Islam keadilan adalah titik tolak sekaligus sekaligus proses dan tujuan semua tindakan manusia.18 Ini berarti bahwa nilai kata itu sangat penting dalam ajaran

Islam terutama dalam kehidupan hukum, sosial, politik dan ekonomi. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan bahwa (a) keadilan itu harus diterapkan di semua bidang kehidupan ekonomi. Dalam proses produksi dan konsumsi misalnya, keadilan harus menjadi alat pengatur efisiensi dan pemberantasan keborosan sebagaimana dalam surat Al-Israa ayat 16:

“Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.” (Al-Israa’: 16)

18

Mohammad Daud Adi, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press, 1988) h.8 reviem buku Sri-Edi Swasono, Pandangan Islam dalam Sistem Ekonomi Indonesia, (Jakarta: UI-Press) h. 11


(35)

Orang yang mutraf, yakni orang yang boros, bekerja tidak efisien, mencari kemewahan dan berfoya-foya dalam kemaksiatan. Lalu berlakulah keadilan Allah dengan menghancurkan suatu negeri akibat perbuatan penghuni negeri tersebut.

(b) Keadilan juga berarti kebijaksanaan mengalokasikan sejumlah hasil kegiatan ekonomi tertentu bagi orang yang tidak mampu memasuki pasar, melalui zakat, infak dan sedekah terutama kepada orang-orang miskin.

Watak utama nilai keadilan yang dikemukakan diatas adalah bawha masyarakat ekonomi haruslah masyarakat yang memiliki sifat makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Penyimpangan dari watak ini akan menimbulkan bencana bagi masyarakat bersangkutan.19

Menurut Umer Chapra, penegakkan keadilan merupakan salah satu tujuan pokok Allah menurunkan para Rasul. Al-Quran menempatkan posisi keadilan paling dekat kepada ketakwaan. Sedangkan ketakwaan merupakan hal yan paling penting karena berfungsi sebagai batu loncatan bagi semua amal shalaeh termasuk keadilan. Rasulullah SAW menyamakan ketiadaan keadilan dengan “kegelapan mutlak” dan memperingatkan “takutlah kepada kedzaliman karena kedzaliman akan menyebabkan kegelapan pada hari kiamat.” Ini merupakan keniscayaan karena kedzaliman menghapuskan persaudaraan dan solidaritas, mempertajam konflik, ketegangan dan kejahatan, memperburuk problem kemanusiaan dan pada gilirannya hanya akan mengantarkan pada kegelapan di dunia dan di akhirat.20

19

Mohammad Daud Adi, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, h.8

20

M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) h. 56-57


(36)

Jomo K.S, berpendapat bahwa ada dua prinsip dalam penegakkan keadilan dalam Islam, yaitu Pertama, kesamaan (equality). Tidak ada perbedaan dalam diri manusia, ia punya hak yang sama dalam Islam. Ketidaksamaan dalam ekonomi akan menimbulkan jurang pemisah yang akan mempengaruhi kondisi makro.

Kedua, keseksamaan (fairness). Konsep ini akan bertumpu pada penegakkan kesehatan dalam persaingan ekonomi dengan meniadakan diskriminasi dan segala bentuk kecurangan lainnya. Prinsip pertama memberikan perhatian pada hasil dari suatu proses itu sendiri. Persamaan pada gilirinnya akan menciptakan keadilan dalam pendistribusian kekayaan dan pendapatan. Dan keseksamaan akan menciptakan persaingan yang sehat dalam mendapatkan kekayaan.21

Islam mendefinisikan adil sebagai “tidak menzalimi dan tidak didzalimi.” pengakkan keadilan bukanlah sesuatu yang bisa ditawar-tawar. Dan keadilan juga menjadi nilai mutlak yang harus diterapkan oleh pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Semua dilakukan sesuai dengan sesuai kadar usahanya dan secara proporsional.

b. Kepemilkan

Nilai tauhid dan nilai adil melahirkan konsep ownership. Prinsip ini adalah nilai terjemahan dari nilai tauhid, karena pada hakekatnya pemilik primer alam jagat raya ini hanyalah Allah. Sedangkan manusia diberi amanah untuk mengelolanya. Jadi manusia dianggap sebagai pemilik sekunder. Dengan

21

Jomo KS, Alternatif Ekonomi Islam: Perspektif Kritis dan Haluan Baru, (Selanngor : Daarul Ihsan, 1992) h. 20


(37)

demikian, konsep kepemilikan swasta diakui. Namun untuk menjamin keadilan, yakni supaya tidak ada proses pendzaliman segolongan yang lain, maka cabang-cabang produksi yang penting dan yang berkaitan dengan hajat orang banyak dikuasai negara. Karenanya, kepemilikan negara dan nasionalisasi dalam Islam diakui. Sistem kepemilikan campuran juga mendapat tempat dalam Islam, baik campuran swasta-negara, swasta domestik-asing, atau negara-asing, semua konsep ini berasal dari filosofi norma dan nilai-nilai Islam.22

Dalam kebijakan ekonomi, pemerintah perlu mengatur kepemilikan suatu usaha, apakah berkaitan dengan modal, saham, maupun investasi. Tak terkecuali kebijakan ekonomi di sektor usaha kecil dan menengah dan lembaga keuangan mikro.

Kepemilikan modal dalam aktifitas usaha merupakan perkara yang rawan dari tindak kecurangan (gharar). Pemerintah memang harus campur tangan dalam rangka melakukan upaya preventif dari tindakan tersebut. Islam memberikan kewenangan kepada pemerintah/ khalifah untuk mengatur urusan ini. Sebagaimana firman Allah SWT:

“Dan di antara orang-orang yang kami ciptakan ada umat yang memberi petunjuk dengan hak, dan dengan yang hak itu (pula) mereka menjalankan keadilan.”( Al-A’raaf: 181)

22

Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h.25-26


(38)

Selain itu, Islam juga mengatur bagaimana cara mendapatkan hak milik yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusaiaan. Seperti ayat dibawah ini:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” ( An-Nisaa’ 29)

Dengan demikian, negara berkewajiban melindungi kepemilikan seseorang atau golongan dari usaha-usaha yang memungkinkan terjadinya pelanggaran hukum khususnya dalam aktifitas ekonomi.

c. Kebebasan Berusaha

Dalam aktifitas ekonomi, Islam bukanlah sistem ekonomi yang mengadopsi nilai-nilai kapitalis dan nilai-nilai sosialis/marxis. Islam lebih mengutamakan kemaslahatan, baik kemaslahatan umum maupun pribadi tanpa melanggar nilai-nilai etika. Karena pada hakekatnya kemaslahatan akan melahirkan kesimbangan ekonomi.

Oleh karena itu, semampu mungkin pemerintah bersama masyarakatnya harus dapat menyerap nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah dalam bermuamalah jika mengharapkan lahirnya kemaslahatan ekonomi, yakni siddiq, amanah, fathanah, dan tabligh.


(39)

Keempat nilai-nilai kenabian ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan nilai khalifah akan melahirkan prinsip freedom of act (kebebasan berusaha).23 Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Pemerintah bertugas memberi ruang seluas-luasnya kepada publik untuk beraktifitas ekonomi sesuai dengan pilihannya tanpa menanggalkan ketentuan hukum yang berlaku. Karena dalam kaidah hukum Islam, bahwa semua aktifitas muamalah itu diperbolehkan kecuali ada hukum yang melarangnya.

Pemerintah juga mesti menjamin setiap individu memiliki kebebasan dalam mengembangkan harta dan usahanya, namun dengan cara yang baik sesuai dengan konstitusi dan peraturan yang berlaku. Adapun dalam Islam kebebasan yang digariskan adalah:24

1. Memperhatikan halal dan haram dalam ketentuan hukum-hukum Islam, seperti memberikan manusia kebebasan untuk memanfaatkan potensi alam untuk kehidupan hajat hidup masyarakat, tetapi tidak dibenarkan memanfaatkan potensi alam dengan cara merusak lingkungan.

2. Komitmen terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan syariat Islam, diantaranya komitmen terhadap kewajiban zakat dan kewajiban nafkah lainnya.

23

Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, cet. II., (Jakarta: IIIT Indonesia, 2003), h. 67

24

Ali Fikri, Prinsip-prinsip Dasar dalam Ekonomi Islam, dalam Mustafa Kamal, ed.,

Wawasan Islam dan Ekonomi; Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1997), h. 114-117


(40)

3. Tidak menyerahkan pengelolaan harta kepada orang-orang yang bodoh, gila dan lemah.

4. Hak untuk berserikat dengan partner kerja.

5. Tidak dibenarkan mengelola harta pribadi yang merugikan kepentingan orang banyak.

Seperti itulah rambu-rambu yang digariskan, kebebasan seseorang dalam memiliki dan memperlakukan usaha ekonominya dibingkai dengan ketentuan-ketentuan syariat. Bukanlah ini berarti Islam merampas kebebasan individu dalam memiliki harta dan usaha, tetapi menunjukkan bahwa kebebasan dalam Islam bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang dimaknai kebebasan bertanggung jawab dan bermartabat. Walaupun demikian, bukan berarti Islam memasung hak untuk berusaha dan memenuhi kekayaan yang diinginkan. Bukan berarti pula menggunakan prinsip “sama rata sama rasa” di mana seseorang dibatasi cita-citanya untuk mewujudkannya menjadi kenyataan. Bukan pula setiap individu sebebas-bebasnya melakukan aktifitas ekonomi dengan memaksimalkan sumber daya yang ada, tapi di sisi lain khalayak ramai dirugikan.

d. Kebersamaan

Kebersamaan dalam menanggung suatu kebaikan merupakan doktrin dalam melakukan aktifitas kehidupan yang diapresiasi oleh ajaran Islam. Dalam kerangka ekonomi, kebersamaan disini bermaksud kebersamaan yang timbal balik antara sesama anggota masyarakat dan pemerintah dengan masyarakat baik dalam


(41)

kondisi lapang maupun sempit untuk mewujudkan kesejahteraan atau dalam mengantisipasi suatu bahaya.25

Ada bebarapa hal yang perlu digaris bawahi dalam kebersamaan dalam perspektif Islam:

1. Mewujudkan kebahagiaan, baik untuk pribadi maupun masyarakat dalam batas yang sama secara konsisten dan stabil.

2. Kepentingan pribadi tidak diperbolehkan merugikan kepentingan masyarakat. Prioritas harus tetap berada pada kepentingan masyarakat.

3. Kebersamaan ini adalah sebuah fenomena yang memperlihatkan kesatuan, keakraban, saling tolong-menolong dan saling melengkapi antara pemimpin dan dipimpin.

4. Tidak dibedakan seseorang atas yang lainnya dan tidak pula ada keistimewaan antara yang memberikan tanggungan dengan yang diberikan tanggungan.

Prinsip kebersamaan akan semakin terasa jika aktifitas ekonomi dilandasi dengan konsep kemitraan (partnership). Dan prinsip ini erat kaitannya dengan konsep koperasi syariah yang memang mengedepankan asas kebersamaan antar sesama anggota koperasi. maka, sangatlah penting pemerintah memasukkan

25


(42)

elemen ini di kebijakannya dalam pengembangan koperasi syariah di Indonesia mengingat kerjasama bagiann dari lingkungan kehidupan koperasi.

e. Kerjasama

Dengan diterapkannya prinsip kebersamaan dengan baik, maka sikap mental kerjasama dalam bisnis dan usaha akan terus terjaga. Karena aktifitas bisnis yang baik menurut Islam adalah bisnis yang dilandasi dengan nilai kerjasama yang saling menguntungkan. Tapi yang menjadi catatan bagi para pelaku usaha bahwa kerjasama yang saling menguntungkan bukan kerjasama yang menghalalkan segala cara dan bukan pula kerjasama dalam kemufasadatan dan permusuhan. Allah SWT berfirman:

...

...

“...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran...”( Al-Maaidah 2)

Dari badan usaha yang ada, koperasi menjadi garapan usaha yang paling cocok dengan prinsip kebersamaan yang selanjutnya berbuah mental kerjasama bisnis. Keja sama dan gotong-royong ini sekurang-kurangnya dilihat dari dua segi. Pertama, modal awal koperasi dikumpulkan dari semua anggota-anggotanya. Mengenai keanggotaan dalam koperasi berlaku asas satu anggota, satu suara. Karena itu besarnya modal yang dimiliki anggota, tidak menyebabkan anggota itu lebih tinggi kedudukannya dari anggota yang lebih kecil modalnya. Kedua,


(43)

permodalan itu sendiri tidak merupakan satu-satunya ukuran dalam pembagian sisa hasil usaha. Modal dalam koperasi diberi bunga terbatas dalam jumlah yang sesuai dengan keputusan rapat anggota. Sisa hasil usaha koperasi sebagian besar dibagikan kepada anggota berdasarkan besar kecilnya peranan anggota dalam pemanfaatan jasa koperasi. Misalnya, dalam koperasi konsumsi, semakin banyak membeli, seorang anggota akan mendapatkan semakin banyak keuntungan. Hal ini dimaksudkan untuk lebih merangsang peran anggota dalam perkoperasian itu. Karena itu dikatakan bahwa koperasi adalah perkumpulan orang, bukan perkumpulan modal.26

Ekonomi yang berdasarkan saling membantu dan kerja sama ini dengan sendirinya melahirkan kebaikan (falah) di mana Islam menjunjung tinggi sebuah usaha yang dilandasi dengan nilai-nilai kebaikan.27 Hal ini sudah ditegaskan pula

dalam surat Al-Maidah ayat 2 diatas.

Kerja sama antar pemerintah dan masyarakat memiliki posisi yang sangat penting dan strategis. Pemerintahan yang baik dan masyarakat yang patuh akan terciptanya hubungan harmonis antara penguasa dan rakyat. Hubungan yang bersinergi ini akan menciptakan percepatan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah perlu mengakomodasi prinsip kerjasama dalam hal pengembangan usaha koperasi terutama koperasi syariah

26

Koperasi Syariah (Syirkah Ta’awuniyyah) dalam Pandangan Islam, artikel diakses tanggal 25 Januari 2008 dari http://eksyar.blogspot.com/2006/12/koperasi-sirkah-taawuniyah-dalam.html

27

Ahmad Dimyati, Islam dan Koperasi: Telaah Peran Serta Umat Islam dalam Pembangunan Koperasi, (Jakarta: Koperasi Jasa Informasi, 1989) h. 67


(44)

yang fenomenal selama 3 tahun terakhir. Apalagi sektor usaha kecil memiliki hubungan ketergantungan finansial dengan lembaga keuangan mikro ini. Di satu sisi lembaga keuangan mikro syariah seperti koperasi syariah juga membutuhkan kebijakan pemerintah supaya operasionalnya berjalan secara efektif.

Itulah Islam yang menggariskan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan pemerintah dalam setiap mengeluarkan kebijakan ekonomi, termasuk kebijakan dalam pengembangan lembaga keuangan mikro seperti koperasi syariah tidak luput dari perhatian konsep ekonomi Islam. Namun, prinsip-tersebut belum cukup lengkap karena teori dan sistem menuntut adanya konsistensi secara berkesinambungan. Dengan kata lain, harus ada individu beriman yang beretika, berakhlak secara profesional dalam hal ekonomi dan mengawasi aktifitas perekonomian.

Berkaitan dengan kontiyuitas dari penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka sangat dituntut bagi pemerintah menjadi “wasit” yang mengawasi sebagaimana yang dianjurkan oleh Islam. Dengan demikian prinsip selanjutnya adalah:

a. Prinsip Code of Ethics

Etika atau akhlak adalah salah satu karakteristik dan nilai tambah ketika Islam membahas aktifitas ekonomi dan aktiftas muamalah lainnya. Bahkan Jack Austri di bukunya Islam dan pengembangan ekonomi sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Yusuf Qardhawi mengatakan, “Islam adalah gabungan antara tatanan kehidupan praktis dan sumber etika yang mulia. Antara keduanya


(45)

terdapat ikatan yang sangat erat yang tidak terpisahkan. Dari sini bisa dikatakan bahwa orang-orang Islam tidak bisa menerima ekonomi kapitalis. Dan ekonomi yang kekuatannya berdasarkan wahyu dari langit itu tanpa diragukan lagi adalah ekonomi yang berdasarkan etika.28

Peran etika ini yang akan menentukan pantas atau tidaknya suatu tindakan ekonomi yang akan dilakukan. Dan yang terpenting fungsi etika adalah mencegah manusia dari kebinasaan akibat menumpuk-numpuk harta dan membelanjakannya yang tidak sesuai dengan prinsip etika Islam. Hal ini ditegaskan dalam Firman Allah:

“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Al-Baqarah

:

195)

Ayat tersebut semestinya menjadi acuan bagi pemimpin dan pengusa untuk kembali menanamkan nilai etika bila tidak ingin terjatuh ke lembah kehancuran. Tidak hanya pada aspek ekonomi saja, melainkan di lini kehidupan manusia. Tapi setidaknya pemerintah mesti memperhatikan etika dalam kebijakan ekonomi, termasuk unsur etika yang termuat dalam kebijakan pengembangan lembaga keuangan mikro.

28


(46)

Aktifitas ekonomi di sektor ril yang berlandaskan etika akan semakin meneguhkan hakekat aktifitas ekonomi yang sebenarnya, yakni kokohnya pondasi ekonomi bangsa yang bermartabat. Gambaran seperti ini merupakan cerminan sistem ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam dan pernah diwujudkan oleh pemerintahan Islam di abad IX.

b. Prinsip Pengawasan

Salah satu karakteristik unik yang juga merupakan bentuk orisinil dari sistem Islam dalam mengelola pemerintahan adalah keberadaan mengenai mekanisme pengawasan. Kebaradaan lembaga pengawasan menyiratkan bagaimana Islam memandang bahwa pasar begitu penting dalam aktifitas ekonomi. Pasar merupakan jantung aktifitas ekonomi, dan pasarlah yang dijadikan alat oleh manusia dalam mencapai kesejahteraan demi menjaga manusia agar selalu aman untuk memaksimalkan Ibadah kepada Allah. Namum, dengan segala konsekuansi negatif yang juga dapat terjadi pada aktifitas ekonomi di pasar, maka pengawasan pasar menjadi sebuah syarat yang sangat vital dalam memastikan tujuan tersebut dapat tercapai.29

Oleh karena itu, Pemerintah memiliki peranan penting untuk mewujudkan kebaikan bagi masyarakat banyak dan mencegah atau melarang terjadinya tindak kecurangan sehingga merugikan orang banyak. Dengan adanya prinsip pengawasan, pemerintah berhak sepenuhnya mengambil alih

29

Sakti, Analisis Teoritis Ekonomi Islam (Jawaban atas Kekacauan Ekonomi Modern), h. 392-293


(47)

kebijakan ekonomi yang bersifat mengkondisikan keadaan perekonomian saat terjadi ketidakstabilan. Lebih luas lagi, fungsi pengawasan tidak hanya terbatas kepada pengontrolan kondisi pasar, tetapi juga menyadiakan infrastruktur untuk perkembangan pasar, arbitrase (peradilan) dan lembaga pembinaan usaha.30

Kehadiran prinsip pengawasan dalam menjadikan persaingan usaha dan aktifitas ekonomi akan terasa sehat. Kerena di sana akan selalu ada kegiatan kontrol dan evaluasi. Pengawasan ataupun pengontrolan akan mencegah semua pihak untuk bertindak zalim pelaku usaha lain. Dan dalam pengawasan akan berlaku pula tindakan reward dan punishment jika terjadi sebuah pelanggaran. Jadi prinsip ini pada dasarnya untuk mencegah dan mengatasi orang-orang melakukan tindakan-tindakan tercela yang dilarang agama Islam.

30


(48)

BAB III

KEBIJAKAN PEMERINTAH TENTANG KOPERASI SYARIAH

A. Pengertian Koperasi Syariah

Dilihat dari segi bahasa, secara umum koperasi berasal dari kata-kata latin yaitu, cum yang berarti dengan, dan apareri yang berarti bekerja. Dari dua kata ini dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah co dan operation yang dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah cooperation veregening yang berarti bekerja sama dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan tertentu.31

Sedangkan dari segi terminologi, koperasi ialah suatu perkumpulan atau organisasi yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang bekerja sama dengan penuh kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan anggota atas dasar sukarela secara kekeluargaan.

Istilah bekerja sama berdasarkan atas asas kekeluargaan, secara otentik juga digunakan dalam konstitusi negara UUD 1945 sebagai tipologi sistem perekonomian nasional. Dalam penjelasannya, istilah usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan disebut koperasi. Dalam Undang-undang 25 Tahun 1992 dinyatakan bahwa yang dimaksud koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan

31

R. T. Sutantya Rahardja Hadikusma, Hukum Koperasi Indonesia, cet. II, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002) , h. 1


(49)

kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.32

Koperasi dalam fikih Islam dikenal dengan Syirkah Ta’awuniyyah atau semakna dengan kata al-Ikhtilat, yaitu perserikatan/ perkongsian dalam ekonomi yang beroreintasi kepada kebersamaan. Adapun dilihat dari segi Istilah, koperasi adalah akad antara orang-orang untuk berserikat modal dan keuntungan.33 Jejak

koperasi berdasarkan prinsip syariah telah ada sejak abad III Hijriyah di Timur tengah dan Asia Tengah. Bahkan, secara teoritis telah dikemukakan oleh filosuf Islam Al-Farabi. As-Syarakhsi dalam Al-Mabsuth, sebagaimana dinukil oleh M. Nejatullah Siddiqi dalam Patnership and Profit Sharing in Islamic Law, ia meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah ikut dalam suatu kemitraan usaha semacam koperasi, di antaranya dengan Sai bin Syarik di Madinah.34

Sedangkan Syirkah atau Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua atau dua orang pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/ expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesapakatan.35

32

Undang-undang Perkoperasian Nomor 25 Tahun 1992 Pasal 1, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007),h. 12

33

Junaedi B. SM., Islam dan Intreprenedrialisme : Suatu Studi Fiqh Ekonomi Bisnis Modern, (Jakarta: Kalam Mulia, 1993), h. 147.

34

“Koperasi dalam Islam,” Artikel diakses tanggal 25 Februari 2008 dari

http://setiadi.wordpress.com/2007/02/07/koperasi-dalam-islam/

35

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujyahidwa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Daarul Qalam, 1988), h. 253-257.


(50)

Dilihat dari segi falsafah atau etika yang mendasari gagasan koperasi banyak terdapat segi-segi yang mendukung persamaan dan dapat diberi rujukan dari segi ajaran Islam. Persamaan falsafah atau etik itu ditemukan dalam penekanan pentingnya kerjasama dan tolong-menolong (ta’awun), persaudaraan (ukhuwah) dan pandangan hidup demokrasi (musyawarah) seperti dalam Al-Quran menyuruh manusia bekerja sama dan tolong menolong dengan menegaskan bahwa kerja sama dan tolong-menolong itu hanyalah dilakukan dalam kebaikan dan mencerminkan ketakwaan kepada Tuhan.

Determinasi institusional badan usaha koperasi dalam perspektif yuridis konstitusional di atas, secara esensial banyak mengandung aspek-aspek yang mejadi titik taut dengan prinsip syariah dalam kegiatan usaha perkoperasian. Bahkan, hampir secara totalitas memiliki kesamaan prinsip yang justru “bersenyawa” dengan sistem operasional prinsip syariah. Secara esesnsial titik temu dimaksud antara lain terletak pada:36

a. Eksistensi badan usaha koperasi sebagai suatu konsep sistem gerakan ekonomi kerakyatan sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi, secara eksklusif berperan dalam membangun dan mengembangkan kemampuan potensial ekonomi dan memajukan kesejahteraan anggotanya, melainkan juga berperan serta dalam mewujudkan kualitas kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat yang maju, adil dan makmur.

36

Faisal, dkk, Prospek Operasional Prinsip Syariah dalam Kegiatan Usaha Perkoperasian; Analisis Upaya Konversi Intan Sejatera Bandar Lampung Menjadi Koperasi Berdasarkan Prinsip Syariah, Laporan Penelitian, (Bandar Lampung: IAIN Raden Intan, 2003), h. 149-150


(51)

b. Karakteristik badan usaha koperasi tidak sekedar menjadi persekutuan orang, melainkan sangat potensial untuk dapat dikembangkan menjadi persekutuan sosial dan modal.

c. Sistem pengelolaan usaha berdasarkan prinsip open management

d. Konstruksi skim permodalan yang meniscayakan keikutsertaan seluruh anggotanya sebagai pilar utama usaha pemupukan modal, selain tetap dimungkinkan skim permodalan berasal dari pinjaman dan penyertaan.

e. Sistem pemberian jasa yang terbatas terhadap modal dan sistem pembagian sisa hasil usaha yang dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota

f. Spesifikasi kegiatan usaha yang berkaitan langung dengan kepentingan anggota, untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota selain tetap diniscayakan melakukan layanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dengan menjalankan kegiatan usaha di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat.

Secara garis besar antara koperasi konvensional dan koperasi syariah mempunyai pengertian yang sama, yaitu:

a. Badan Usaha/ lembaga (untuk kerja sama)

b. Terdiri dari anggota


(52)

d. Tidak ada paksaan

e. Modal bersama berdasarkan profit and loss sharing

Perbedaan antara keduanya yaitu:

Pertama, Koperasi syariah/ Koperasi dalam Islam belum memiliki hukum formal atau material. Belum ada yurisprudensia-nya berdasarkan fikih sosial yang berkembang di Indonesia.

Kedua, perbedaan pokok antara Koperasi Simpan Pinjam (KJKS) dengan Koperasi Simpan Pinjam Syariah atau Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJK) adalah adanya larangan untuk membayar dan dan menerima bunga pada KJKS/UJK Syariah. Karena bunga melekat pada pinjaman, maka KJK Syariah tidak menggunakan skema pinjaman dalam penyaluran dananya. Pinjaman hanya digunakan sebagai aktifitas sosial tanpa meminta imbalan, karena setiap pinjaman yang disertai dengan imbalan adalah riba.

Ketiga, dalam menanggung resiko perbedaan antara keduanya yaitu jika pada KJKS Konvensional menerapkan bahwa resiko dalam menjalankan usaha berada pada anggota, dan tidak ikut menanggung kerugian jika ussahanya merugi, maka pada KJKS ikut menanggung dan berbagi kerugian kapada anggotanya yang usahanya mengalami kerugian secara proporsional.37

37

Siti Irma Fatimah, “Analisa Strategi Koperasi Pondok Pesantren dalam Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Studi pada Kopontren Al-Iklash Subang” (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h.78


(53)

B. Latar Belakang Munculnya Kebijakan dan Peraturan Perundang-Undangan Koperasi

Pada perekonomian modern dewasa ini, telah banyak diperlihatkan kegagalan yang dialami sistem ekonomi yang dianut. Sisitem ekonomi kapitalis yang berporos pada begitu besar peran pemerintah terhadap kehidupan rakyat, kemudian runtuh dengan tumbangnya rezim komunis Uni Sovyet. Selian itu, bisa dilihat sistem ekonomi kapitalis yang menyebabkan kekayaan terpusat pada segelintir orang dan menyebabkan semakin besar gap antara kaya dan miskin, yang diharapkan membawa kemakmuran banyak orang ternyata semakin menimbulkan permasalahan-permasalahan sosial-ekonomi.

Agama Islam yang di dalamnya terdapat pedoman hidup yang komprehensif telah ‘mewanti-wanti’ umat Islam untuk menjaga kesimbangan. Dengan konsep keseimbangan inilah yang melahirkan pemerataan pendapatan, karena kesejahteraan itu muncul berawal adanya pemerataan pendapatan. Sebagaimana firman Allah SWT:

...

“.... supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah.


(54)

dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (Al-Hasyr: 7)

Pemerintah memandang koperasi syariah suatu yang penting untuk menuju efektifitas, intensif, proporsional dan pemerataan pendapatan dalam rangka mengurangi konsentrasi kekayaan hanya pada satu kalangan saja. Di samping itu, ternyata perkembangan koperasi syariah sangat signifikan mengingat kontribusinya yang cukup besar di tengah masyarakat, maka pemerintah memandang perlu membuat kebijkan khusus tentang koperasi syariah.

Koperasi di Indonesia sudah ada sewaktu di masa penjajahan Hindia Belanda. Dahaulu dinamakan hulp end spaarbank (bank simpanan) yang fungsinya menolong para pegawai negeri/ kaum priyayi yang terjerat utang dari kaum lintah darat. Namun, perkembangan koperasi pada waktu itu kurang memuaskan karena adanya hambatan dari pemerintah Belanda, terlebih gerakan Boedi Oetomo pada tahun 1908 dengan dibantu Sarekat Islam melahirkan koperasi pertama kali di Indonesia bersamaan dengan lahirnya kebangkitan nasional. Pemerintah Belanda khawatir koperasi makin tumbuh dan berkembang dikalangan bumiputra. Agar perkembangan koperasi tidak meluas, pada tahu 1915 pemerintah Belanda mengeluarkan undang-undang koperasi yang pertama kali di Indonesia yang disebut sebagai

verordening op de cooperatieve verenegingen (koninkklijk Besluit, 7 April 1915, stb. 431). Selanjutnya, Belanda membentuk komisi atau panitia koperasi atas desakan pemuka masyarakat sehingga melahirkan Undang-undang Koperasi Tahun 1927 yang disebut Regeling Inlandsche Cooperatieve


(55)

Verenegingen (stb. 1927-91). Kemudian tahun 1933 Belanda kembali mengeluarkan peraturan koperasi, yaitu algemene regeling op de cooperatieve verenegingen (stb. 1933 – 108) sebagai pengganti UU Koperasi Tahun 1927. Ternyata peraturan baru ini tidak ada bedanya dengan peraturan koperasi Tahun 1915 yang sama sekali tidak cocok dengan kondisi rakyat Indonesia. Akibatnya, koperasi pada zaman Belanda semakin bertambah mundur.38

Setelah Indonesia merdeka tahun 1945, pemerintah Orde Lama memberlakukan sejumlah undang-undang dan peraturan baru, antara lain sebagai berikut:39

1. Undang-undang Tahun 1949 yang masih menggunakan bahasa Belanda kembali diberlakukan, yakni Regeling Cooperatieve Verenegingen (stb. 1949 – 179). Tetapi, perubahannya tidak disertai dengan pencabutan stb. 1933 – 108, sehingga pada tahun 1949 di Indonesia terdapat dualisme peraturan, yakni Regeling Cooperatieve Verenegingen 1949 yang hanya berlaku bagi golongan bumipoetra dan Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenegingen 1933 (stb. 1933 – 108) yang berlaku bagi golongan rakayat termasuk golongan bumipoetra.

2. Undang-undang Koperasi Tahun 1958 yang dibuat berdasarkan UUD Sementara 1950 pasal 38 dimana isinya sama dengan ketentuan pasal 33

38

Muhammad Firdaus dan Agus Edhi Susanto, “Perkoperasian; Sejarah, Teori & Parktek,” cet.II, (Bogor: Ghalia Indoensia, 2004), h. 21-22

39


(56)

UUD 1945. Kemudian pemerintah Indonesia mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 1959 sebagai peraturan pelaksana dari UU Nomor 79 Tahun 1958. Dalam peraturan ini ditentukan bahwa pemerintah bersikap sebagai pembina, pengawas perkembangan koperasi Indonesia.

3. Pada tahun 1960, keluar Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 1960 yag isinya “bahwa untuk mendorong pertumbuhan gerakan koperasi harus ada kerja sama antara jawatan dengan masyarakat, dalam satu lembaga disebut Badan Penggerak Koperasi (Bapengkop).” Bapengkop bertugas untuk mengadakan kordinasi dalam kegiatan-kegiatan pemerintah, untuk menumbuhkan gerakan koperasi secara teratur, baik dari tingkat pusat sampai ke daerah-daerah.

4. Pada tanggal 2 – 10 Agustus 1965 diselenggrakan Musyawarah Nasional II Koperasi Indonesia, yang musyawarah sebelumnya tanggal 24 April 1961 belum dapat memberikan hasil maksimal untuk kemajuan koperasi, sehingga pada musyawarak II telah melahirkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1965 tentang perkoperasian.

Besarnya perhatian pemerintah terhadap perkembangan koperasi berdampak pada ketergantungan koperasi terhadap bantuan pemerintah, sehingga banyak sekali diantara pengurus koperasi menjadi kehilangan inisatif untuk menciptakan lapangan usaha bagi kelangsungan hidup koperasi. Selain itu, masa-masa transisi perpindahan rezim dari Orde Lama ke Orde


(57)

Baru telah banyak menimbulkan disorientasi kegiatan operasional koperasi dari prinsip-prinsip semestinya. Koperasi telah dijadikan alat perjuangan dari partai-partai politik yang berkuasa. Kondisi ini menyebabkan anggota koperasi kehilangan kepercayaan kepada pengurus, karena pengurus tidak lebih hanya motor penggerak atas kendali dari partai politik yang menguasai koperasi.

Setelah tumbangnya rezim Orde Lama, pemerintah Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, mulai menertibkan koperasi-koperasi yang ada. Diantara kebijakan pemerintah Orde Baru antara lain:

1. Diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian

2. Diberlakukannya Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1973 mengenai pembentukan BUUD (Badan Usaha Unit Desa)

3. Pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 2 Tahun 1978 tentang Badan Usaha Unit Desa (BUUD)/ Koperasi Unit Desa (KUD)

4. Dikeluarkannya Inpres Nomor 4 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan KUD

5. Tanggal 21 Okrober 1992 pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang Nommor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Pemberlakukan undang-undang ini dimaksudkan untuk lebih menyesuaikan perkembangan keadaan.


(58)

Pasca berakhirnya pemerintahan Orde Baru, kondisi perekonomian Indonesia mengalami kacau balau. Banyak perusahaan besar yang berbasis konglomerasi gulung tikar akibat melonjaknya mata uang dollar terhadap rupiah dan kenaikan suku bunga yang berlipat-lipat. Tetapi, apa yang terjadi dengan koperasi dan UKM malah sebaliknya, mereka mampu bertahan dari kondisi krisis hingga pemerintah menyadari kesalahannya selama ini. Akhirnya, pemerintah melalui presiden BJ. Habibie telah menetapkan Inpres Nomor 18 Tahun 1998 tentang pengembangan koperasi. Inpres ini merupakan antiklimaks dari pemberlakuan Inpres Nomor 4 Tahun 1984 di mana KUD merupakan koperasi satu-satunya menjadi gugur dengan semestinya. Dengan demikian, pemerintah telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk membentuk dan mengelola koperasi tanpa batas wilayah kerja, dan koperasi diberikan kesempatan untuk lebih mandiri dan bebas melakukan aktifitas usahanya.

Perubahan rezim ke era reformasi tidak hanya meninggalkan problematika krisis multidemiensi, tetapi juga menyadarkan masyarakat mengenai pentingnya bertransaksi sesuai syariah. Indikasinya adalah dikeluarkannya undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Karena undang-undang inilah dimulainya fase bisnis lembaga keuangan syariah sebagaimana bunyi undang-undang tersebut pasal 1 yakni, “Pengertian bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa


(59)

dalam lintas pembayaran.” Terlebih lagi saat Bank Muamalat Indonesia (BMI) mampu bertahan dari badai krisis, sehingga banyak pebisnis lembaga keuangan berupaya melebarkan sayap bisnisnya dengan menggarap industri perbankan syariah. Lahirnya undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 memberikan snowball effect bagi lembaga-lembaga keuangan yang selama ini terpinggirkan untuk “unjuk gigi” terhadap eksistensi dan perkembangannya di kancah perekonomian nasional. Kenyataan ini tidak bisa dihindari, tren bisnis syariah telah merambah pula ke lambaga-lembaga keuangan lainnya, baik lembaga perbankan maupun lembaga keuangan non-bank. Seperti BPR Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Lembaga Pembiayaan Syariah, Reksa Dana Syariah, Koperasi Syariah/ BMT bahkan Hotel Syariah dan lembaga keuangan lainnya yang menggunakan prinsip syariah.

Ada beberapa aspek yang melatarbelakangi lahirnya Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah. Pada aspek ekonomi, pemerintah memandang pentingnya dikeluarkan Kepmenegkop Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 dalam rangka mendorong pertumbuhan dan pemberdayaan usaha mikro dan kecil dan koperasi khususnya yang bergerak dalam pembiayaan syariah.

Dari aspek sosial-politik adalah, koperasi syariah mempunyai peran besar dalam menuntaskan kemiskinan dan pengangguran. Hal ini bisa dilihat dari peran Maal-nya yang sangat potensial untuk memberdayakan perekonomian umat sehingga pemerintah menilai perlu mengakomodasi bentuk badan hukum koperasi syariah dalam kebijakan menteri koperasi dan


(60)

usaha kecil dan menengah agar ada kepastian hukum mengingat bahwa selama ini belum tersedia undang-undang atau peraturan pemerintah yang mengatur operasional koperasi syariah.

Dari aspek keagamaan adalah, agama Islam adalah yang mempunyai perhatian penuh terhadap masalah perekonomian baik dari segi pengarahan, pengaturan dan penerapan. Selain itu, dikeluarkan fatwa haram Bunga bank oleh majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2003 semakin menambah mantap keyakinan umat Islam untuk terus bertransaksi secara Halal dan Thayibah

dalam setiap aktifitas ekonominya.

C. Kebijakan Pemerintah prihal Koperasi Syariah

Lahirnya Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank syariah pertama di Indonesia pada akhir tahun 1990 merupakan momen terpenting dalam sejarah Indonesia yang membidani lahirnya lembaga-lembaga keuangan syariah lainnya tak terkecuali koperasi syariah atau Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Berdirinya Bank Muamalat Indonesia juga membawa angin segar tumbuh berkembangnya industri keuangan mikro syariah untuk mengakomodasi keinginan sebagian besar umat Islam bertansaksi secara halal. Di Indonesia koperasi syariah/ BMT berdiri pada tahun 1992 yang kemudian di dukung Presiden RI yang meluncurkan BMT sebagai gerakan nasional pada tahun 1996. Sejak itu, Koperasi Syariah/ BMT menapak


(61)

momentumnya dengan berkembang secara nasional.40 Selanjutnya, sampai saat ini koperasi syariah semakin bertambah jumlahnya, di satu sisi regulasi khusus yang mengatur koperasi syariah baik berupa peraturan pemerintah ataupun undang-undang tidak menjelaskan secara rinci dan definitif. Maka perlu ada kebijakan tersendiri yang mengatur koperasi syariah atau BMT yang berbadan hukum koperasi, dalam hal ini Departmen Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah mengeluarkan kebijakan mengenai petunjuk pelaksanaan KJKS/ UJKS.

Kelahiran Bank Muamalat Indonesia dan bermunculannya berbagai Bank syariah di era reformasi, memberikan berkah tersendiri bagi lembaga keuangan lainnya, seperti lembaga keuangan mikro syariah semacam Koperasi Syariah. Sehingga “memaksa” pemerintah memberikan kesempatan lembaga keuangan mikro ini berperan di sektor ekonomi akar rumput. Upaya pemerintah sejauh ini adalah memberikan tata cara pelaksanaan koperasi syariah yang terangkum dalam Keputusan Menteri Koperasi dan UKM (Kepmenegkop) Republik Indonesia Nomor 91//Kep/M.KUKM.IX/2004. Tindakan tersebut dilakukan karena sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang menjelaskan koperasi syariah secara definif. Dan sudah seharusnya pemerintah melakukan tindakan ini untuk memastikan status hukum lembaga keuangan koperasi walaupun baru setingkat keputusan menteri.

40

Zainul Arifin, “Memahami Bank Syariah: Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek,”


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ajaran Islam telah menggariskan prinsip-prinsip yang harus dipatuhi oleh para

penguasa negara dalam pengembangan ekonomi. Prinsip-prinsip itu antara lain, Prinsip yang berkaitan dengan Falsafah Islam dalam bermuamalah adalah Tauhid dan Khilafah. Adapun, Prinsip yang relevan dengan pemenuhan nilai dasar Islam pada pengembangan ekonomi dalam Islam adalah Keadilan, Kepemilikan, Kebebasan berusaha, Kebersamaan dan Kerjasama. Sedangkan Prinsip yang berkaitan dengan konsistensi antara teori dan praktik adalah

Etika/ akhlak (code of ethics) dan Pengawasan.

2. Kebijakan yang mengatur koperasi syariah baru diterbitkan pada tahun 2004

melalui Keputusan Menteri Koperasi dan UKM (Kepmenegkop) Nomor 91/Kep/M.KUKM/IV/2004 tentang petunjuk pelaksanaan KJKS/UJKS. Dengan kebijakan ini landasan operasional koperasi syariah di Indonesia setidaknya mempunyai kepastian hukum dan dilegalkan pemerintah.

3. Dari Kepmenegkop Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang petunjuk


(2)

digariskan Islam dengan keputusan tersebut sepenuhnya terakomodasi oleh pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah berupaya semaksimal mungkin memuat prinsip-prinsip tersebut agar tidak terjadi ketimpangan antara teori dan praktik dalam pengembangan koperasi syariah. Namun, dalam beberapa hal Keputusan Menteri ini masih terdapat kekurangan dimana kekurangan tersebut sangat substansi seperti payung hukum Kepmen yang masih dipertanyakan, ketiadaan aspek syariah dan ketidakjelasan kedudukan dan peran Dewan Pengaswas Syariah.


(3)

B. Saran

1. Pemerintah semestinya memberikan porsi perhatian yang lebih besar pada

usaha mikro di sektor koperasi syariah, mengingat banyak koperasi konvensional mulai tumbang.

2. Walaupun sudah ada kepastian hukum, landasan konstitusi operasional

koperasi syariah masih belum kuat karena keputusan tersebut belum di undangkan oleh pemerintah. Pemerintah sebaiknya membuat undang-undang yang berkaitan dengan koperasi syariah atau mengamendemen undang-undang nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian dengan memasukkan aspek kesyariahan.

3. Pemerintah perlu menjelaskan lebih rinci mengenai kedudukan, posisi, peran

dan fungsi Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam keputusan menteri terkait pengembangan koperasi syariah.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quranul Karim dan Terjemahnya

A. Samuelson, Paul, Economic, New York: McGraw-Hill Book Corporation, 1973

Al-Kaaf, Abdullah Zaky, Ekonomi dalam Perspektif Islam, Bandung: CV Pustaka

Setia, 2002

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori dan Praktik, Jakarta: Gema

Insani Pres, 2001, cet. VIII

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Bagi Bankir dan Praktisi Keuangan,

Jakarta: Tazkia Institute, 2001

Azizy, A. Qodri, Membangun Fondasi Ekonomi Umat; Meneropong Prospek

Berkembangnya Ekonomi Islam, cet II, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta: GIP – Tazkia

Institute, 2000

Chapra, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi; Sebuah Tinjauan Islam, Jakarta:

Gema Insani Press, 2001

Dimyati, Ahmad, Islam dan Koperasi: Telaah Peran Serta Umat Islam dalam

Pembangunan Koperasi, Jakarta: Koperasi Jasa Informasi, 1989

Daud Adi, Mohammad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Jakarta:

UI-Press, 1988

Edi Sadewo, Sri, Mencari Bentuk, Posisi, dan Realitas Koperasi di dalam Orde

Ekonomi Indonesia, Jakarta: UI Press, 1987

Firdaus, Muhammad dan Agus Edhi Susanto, Perkoperasian; Sejarah, Teori &

Parktek, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, cet.II

Hadikusuma, R. T. Sutantya Rahardja, Hukum Koperasi Indonesia, Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2002, cet. II

HR, Syaukani., Konsep & Implementasi Ekonomi Kerakyatan Era Otonomi

Daerah Studi Kasus: Kabupaten Kutai Kertanegara, Jakarta: Nuansa

Madani, 2004

Islahi, Abdul Azim, The Economic Concept of Ibn Taimiyah, UK: The Islamic


(5)

Kahf, Monzer, Ekonomi Islam; (Telaah Analitik terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995

Kamal, Mustafa (ed), Wawasan Islam dan Ekonomi; Sebuah Bunga Rampai,

Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 1997

Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta: IIIT Indonesia, 2003, cet. II

Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik

Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa

Keuangan Syariah, Jakarta: Kemenegkop, 2006

Khair, Mohd. Jamaluddin, The Role of Government In an Islamic Economy, Kuala

Lumpur: A.S. Noorden, 1991, First Edition.

Madjid, Baihaqi Abd. & Saifuddin A. Rasyid (ed), Paradigma Baru Ekonomi

Kerakyatan Sistem Syariah (Perjalanan Gagasan dan Gerakan BMT di Indonesia), Jakarta: PINBUK, 2000

Muhammad Nawaz Khan, Mehr, Prof., Islamic and Other Economic System,

Lahore: Islamic Book Service, 1989

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, Jakarta: UI

Pres, 1979

Nata, Abuddin, Al-Quran dan Hadits (Dirasah Islamiyah I), Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1992

Partomo, Tiktik MS. dan Drs. Abd. Rahman Soejoeno, Ekonomi Skala Kecil/

Menengah & Koperasi, Bogor : Ghalia Indonesia,, 2004, cet.II

Pusat Pengkajian & Pengembangan Ekonomi Islam UIN Syarif Hidayatulah

Jakarta, Al-Iqtishadiyyah Jurnal Kajian Ekonomi Islam, Jakarta:

P3EI,Vol.I No.I 2004

Sakti, Ali, Analisis Teoritis Ekonomi Islam (Jawaban atas Kekacauan Ekonomi

Modern), ttp. : Paradigma & Aqsa Publishing, 2007

Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Jakarta: Gema Insani

Press, 1995.

Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Jakarta: Gema Insani Press,

1997

---, Pokok-pokok Hukum Perkoperasian, Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2007

---,UUD 1945 Setelah Amendemen Keempat Tahun 2002, Bandung: Pustaka


(6)

Yustika, Ahmad Erani (ed), Perekonomian Indonesia Deskripsi, Preskripsi & Kebijakan, Malang: Bayumedia, 2005