PERBEDAAN BENTUK PERILAKU BULLYING DITINJAU DARI POLA ASUH OTORITER DAN PERMISIF PADA REMAJA

PERBEDAAN BENTUK PERILAKU BULLYING DITINJAU DARI
POLA ASUH OTORITER DAN PERMISIF PADA REMAJA

SKRIPSI

Oleh :
Dina Nur Izzati
201210230311135

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016

PERBEDAAN BENTUK PERILAKU BULLYING DITINJAU DARI
POLA ASUH OTORITER DAN PERMISIF PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Muhammadiyah Malang
Sebagai salah satu persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Psikologi


Oleh :
Dina Nur Izzati
201210230311135

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2016
i

LEMBAR PENGESAHAN
: Perbedaan Bentuk Perilaku Bullying Ditinjau Dari Pola Asuh Otoriter
dan Permisif Pada Remaja
Nama Peneliti
: Dina Nur Izzati
NIM
: 201210230311135
Fakultas
: Psikologi
Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

Waktu Penelitian : 6 – 21 Januari 2016

1. Judul Skripsi
2.
3.
4.
5.
6.

Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 22 April 2016

Dewan Penguji
Ketua Penguji

: Ni’matuzahroh, S.Psi., M.Si.

(

)


Anggota Penguji

: 1. Siti Maimunah, S.Psi., MA.

(

)

2. Diana Savitri H, S.Psi., M.Psi.

(

)

3. Dr. Nida Hasanati, M.Si.

(

)


Pembimbing I

Pembimbing II

Ni’matuzahroh, S.Psi., M.Si.

Siti Maimunah, S.Psi., MA.

Malang, 16 Mei 2016
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Dra. Tri Dayakisni, M.Si.
ii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama


: Dina Nur Izzati

NIM

: 201210230311135

Fakultas / Jurusan

: Psikologi

Perguruan Tinggi

: Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi / karya ilmiah yang berjudul
Perbedaan Bentuk Perilaku Bullying Ditinjau Dari Pola Asuh Otoriter dan Permisif Pada
Remaja
1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk
kutipan yang digunakan dalam naskah ini dan telah disebutkan sumbernya.
2. Hasil tulisan karya ilmiah / skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan Hak bebas

Royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini
tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, 16 Mei 2016

Mengetahui
Ketua Program Studi

Yang Menyatakan

Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si

Dina Nur Izzati

iii

KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmad, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Perbedaan Bentuk Perilaku Bullying Ditinjau Dari Pola Asuh Otoriter dan Permisif Pada
Remaja”, sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana Psikologi di
Universitas Muhammadiyah Malang.
Selama proses penyusunan skripsi ini, peneliti mendapatkan begitu banyak bimbingan,
pengarahan serta bantuan yang bermanfaat dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Ibu Dra. Tri Dayakisni, M.Si selaku dekan Fakultas Psikologi di Universitas
Muhammadiyah Malang.
2. Ibu Ni’matuzahroh, S.Psi., M.Si dan ibu Siti Maimunah, S.Psi., MA selaku
Pembimbing I dan II yang telah banyak meluangkan waktu untuk memberikan arahan
yang sangat berguna sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
3. Bapak Muhammad Shohib, S.Psi., M.Si selaku dosen wali yang senantiasa
memberikan semangat serta nasehat yang begitu mendidik dan bermanfaat dari awal
perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini selesai.
4. Kedua orang tua tercinta yang senantiasa dengan sabar member nasehat, mengiringi
perjalanan penulis dengan untaian do’a dari awal perkuliahan hingga tahap akhir
penyelesaian program S1, menguatkan penulis serta member motivasi agar penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
5. Keluarga yang setiap saat selalu member semangat, merestui dengan iringan do’a,

nasehat, serta kasih sayang kepada penulis selama proses perkuliahan hingga
penyusunan skripsi ini selesai.
6. Teman-teman angkatan 2012 Fakultas Psikologi khususnya kelas B yang selalu
memberi dukungan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Pihak SMP N 18 dan SMP N 7 Malang khususnya guru BK yang telah membantu
terlaksananya kegiatan selama penelitian ini. Serta siswa yang ikut berpartisipasi
dalam penelitian hingga penulis memperoleh data dan dapat menyelesaikan skripsi ini.
8. Riwanti Rizki, Woro Edyanti, Ananda Kotrunnada dan Ernawati selaku teman-taman
dan kakak tercinta yang selalu memberikan semangat serta dukungan pada penulis
ketika penulis merasa down selama proses pengerjaan skripsi hingga skripsi ini dapat
terselesaikan.
9. Teman-teman kost tersayang yang telah membantu menemani penulis selama proses
turun lapang hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
10. Serta seluruh pihak yang terlibat dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak dapat
peneliti sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa suatu karya yang dihasilkan oleh manusia amat jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu adanya kritik dan saran yang dapat menyempurnakan skripsi
iv

ini sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat member manfaat

khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Malang, 16 Mei 2016
Penulis

Dina NurIzzati

v

DAFTARISI

HALAMAN JUDUL ...........................................................................................................

i

LEMBAR PENGESAHAN.................................................................................................

ii

SURAT PERNYATAAN ...................................................................................................


iii

KATA PENGANTAR ........................................................................................................

iv

DAFTAR ISI .......................................................................................................................

vi

DAFTAR TABEL ...............................................................................................................

vii

DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................................

viii

ABSTRAK ..........................................................................................................................


1

PENDAHULUAN ..............................................................................................................

2

TINJAUAN TEORI ...........................................................................................................

6

METODE PENELITIAN ...................................................................................................

12

A. Rancangan Penelitian .....................................................................................................

12

B. Subjek Penelitian ............................................................................................................

12

C. Variabel dan Instrumen Penelitian .................................................................................

12

D. Prosedur dan Analisa Data Penelitian ............................................................................

13

E. Validitas dan Reliabilitas Instrumen ..............................................................................

13

HASIL PENELITIAN ........................................................................................................

14

DISKUSI ............................................................................................................................

16

SIMPULAN DAN IMPLIKASI .........................................................................................

18

REFERENSI .......................................................................................................................

20

vi

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Indeks Validitas Alat Ukur Penelitian...................................................................

13

Tabel 2. Indeks Reliabilitas Alat Ukur Penelitian ...............................................................

14

Tabel 3. Deskripsi Subjek Penelitian ..................................................................................

14

Tabel 4. Analisis Data ........................................................................................................

15

Tabel 5. Perbandingan Bentuk Perilaku Bullying dengan Pola Asuh .................................

15

vii

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1
Skala Try Out .....................................................................................................................

22

Blue Print Skala Bentuk Bullying........................................................................................

23

Blue Print Skala Pola Asuh Otoriter dan Permisif ..............................................................

27

LAMPIRAN 2
Skala Turun Lapang ............................................................................................................

30

Blue Print Skala Bentuk Bullying........................................................................................

31

Blue Print Skala Pola Asuh Otoriter dan Permisif ..............................................................

35

LAMPIRAN 3
Tabulasi Data ......................................................................................................................

38

Uji Validitas dan Reliabilitas Skala I .................................................................................

39

Uji Validitas dan Reliabilitas Skala II ................................................................................

40

Data Kasar Hasil Penelitian.................................................................................................

41

Hasil Analisa Data ...............................................................................................................

49

viii

1

PERBEDAAN BENTUK PERILAKU BULLYING DITINJAU DARI
POLA ASUH OTORITER DAN PERMISIF PADA REMAJA

DINA NUR IZZATI
Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Malang
dinaizza6@gmail.com

Perilaku bullying memiliki beragam bentuk dan banyak dilakukan oleh remaja.
Perilaku bullying yang dilakukan oleh remaja dapat terjadi dimana saja, salah
satunya adalah di lingkungan sekolah. Pola asuh orang tua, lingkungan tempat
tinggal dan pergaulan remaja merupakan faktor penyebab remaja melakukan
tindakan bullying, karena masa remaja adalah masa yang penuh badai dan
tekanan, dimana individu mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitar. Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif komparasional yang bertujuan untuk
mengetahui perbedaan bentuk perilaku yang dimunculkan oleh remaja yang
mendapat pola asuh otoriter dengan remaja yang mendapat pola asuh permisif.
Data diambil dari SMP N 18 Malang dan SMP N 7 Malang dengan jumlah 50
subjek yang menerima pola asuh otoriter dan 50 subjek yang menerima pola asuh
permisif. Sehingga total keseluruhan subjek dalam penelitian ini adalah 100 orang
remaja dengan usia 12-15 tahun. Pengambilan data menggunakan skala likert.
Metode analisa data menggunakan Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan bentuk perilaku bullying antara remaja yang mendapat
pola asuh otoriter dengan remaja yang mendapat pola asuh permisif dengan nilai
probabilitas sebesar 0.149 > 0.05
Kata kunci: Bentuk perilaku bullying, pola asuh otoriter, pola asuh permisif,
remaja

Bullying has a variety of form and it is often committed by adolescent. It can
happen everywhere like in the school. Parenting, environment and relationship is
the causative factor that make adolescent do the bullying. Adolescence is the time
of storm and stress, in which the individual is affected by the surrounding
environment. This research is comparative quantitative research that aims to
identify the different forms of behavior raised by adolescent who got the
authoritarian parenting with the one who got permissive parenting. The data were
taken from SMP N 18 Malang and SMP N 7 Malang with the number of subjects
100 adolescents with the age between 12 – 15, 50 subjects receiving the
authoritarian parenting and 50 subjects receiving permissive parenting. The data
collection used the likert scale while the method of data analysis used the Chi

2

Square. The results showed that there were different forms of bullying among
adolescents receiving the authoritarian parenting with who receiving permissive
parenting with a probability value of 0.149 > 0.05.
Keywords: Bullying behavior, authoritarian parenting, permissive parenting,
Adolescence

Remaja ialah saat dimana seseorang memasuki usia 12 sampai 23 tahun (Hall, dalam
Santrock, 2007). Remaja merupakan masa yang penuh badai dan stress, dikatakan demikian
sebab pada masa remaja terdapat pikiran dan perasaan yang mudah berubah (Hall, dalam
Santrock, 2007). Selain itu, masa remaja merupakan tahapan pencarian identitas. Tahapan
tersebut merupakan salah satu tahapan perkembangan yang menurut Erikson pasti dilalui oleh
setiap individu (Erikson, dalam Santrock, 2012). Tidak hanya itu saja, remaja juga akan
mengalami masa pubertas. Masa pubertas ialah saat dimana munculnya tanda-tanda
kematangan seksual serta bertambahnya berat dan tinggi badan. Ketika masa pubertas tersebut
terdapat keinginan pada remaja untuk cenderung menunjukkan diri (Santrock, 2012).
Antara tahapan masa remaja dengan masa yang lain memiliki beberapa perbedaan kondisi
sosioemosional dan kognitif. Apabila ditinjau secara sosioemosional, remaja cenderung
bersikap narsistik yaitu remaja melakukan pendekatan terhadap orang lain dengan menjadikan
dirinya sebagai acuan dan cenderung memikirkan dirinya sendiri tanpa memperdulikan
bagaimana penilaian orang lain terhadap dirinya. Selain itu, remaja juga kerap kali melakukan
berbagai percobaan dalam pencarian identitas. Apabila remaja sukses dalam masa pencarian
identitas maka mereka akan merasa bahwa diri mereka diterima oleh lingkungan, sebaliknya
jika remaja merasa tidak sukses dalam pencarian identitas maka mereka akan cenderung
menarik diri, merasa terisolasi dan terbawa oleh pengaruh teman sebaya yang berperilaku
tanpa memiliki tujuan yang jelas, semaunya sendiri dan tanpa memperhatikan norma
(Erikson, dalam Santrock, 2012). Sedangkan secara kognisi, Piaget menyatakan bahwa
individu yang memasuki usia remaja berada pada tahap operasional formal yaitu tahap
dimana remaja sudah mulai menggunakan nalarnya untuk berpikir logis terhadap segala
sesuatu yang bersifat abstrak meskipun terkesan mengandung idealisme, selain itu remaja
juga kerap kali menggunakan pemikiran yang bersifat fantasi artinya membayangkan
kemungkinan yang akan terjadi dimasa depan dan tidak jarang pula remaja melakukan
percobaan untuk membuktikan rasa penasarannya melalui trial and error sehingga dalam hal
ini remaja mulai belajar untuk membuat kesimpulan dan menentukan keputusan (Piaget,
dalam Santrock, 2012).
Munculnya perubahan pemikiran dari operasional kongkret menuju operasional formal,
pubertas, meningkatnya tanggung jawab dan menurunnya rasa ketergantungan serta
berubahnya jenjang pendidikan yang secara bersamaan harus dihadapi oleh remaja merupakan
perubahan yang tidak kecil, butuh kesiapan diri yang baik untuk dapat menerima semua
perubahan tersebut (Santrock, 2012). Beralihnya pendidikan dari satu tingkatan menuju
tingkatan berikutnya memang bukanlah hal mudah, sebab butuh adanya proses untuk saling

3

mengenal dan beradaptasi dengan lingkungan baru dan orang-orang baru. Ketika proses
beradapatasi dengan lingkungan baru diperlukan sikap hati-hati dalam memilih teman. Sebab
pada masa remaja, teman sebaya memiliki pengaruh yang begitu besar dalam pergaulan dan
berperilaku. Selain itu pengaruh dari orang lain termasuk teman sebaya dapat menjadi salah
satu faktor pemicu bagi remaja untuk melakukan tindakan bullying. Hal ini terbukti dalam
penelitian yang dilakukan oleh Salleh & Zainal (2014) terkait bullying, hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa faktor pemicu siswa SMP di Malaysia melakukan bullying ialah
kepribadian, amarah yang mudah tersulut dan pengaruh orang lain untuk rasisme dan bentuk
bullying yang biasa dilakukan ialah bullying verbal berupa penghinaan yang berakibat pada
perkelahian fisik dengan menggunakan benda berbahaya seperti; besi, pisau dan kayu.
Bullying merupakan tindakan mengintimidasi dan bertujuan menyakiti yang biasa dilakukan
oleh individu atau sekelompok orang yang merasa kuat kepada individu yang terlihat lemah
(Wiyani, 2012). Wiyani (2012) menyatakan bahwa bullying dapat terjadi pada beberapa
lingkungan, yaitu: di lingkungan sekolah, lingkungan kerja, lingkungan politik, lingkungan
militer, bahkan melalui internet atau teknologi digital yang biasa dikenal dengan
cyberbullying. KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) menyatakan bahwa saat ini
kasus bullying merupakan kasus yang sering dikeluhkan oleh masyarakat. Sejak tahun 2011
sampai bulan Agustus 2014 KPAI mencatat bahwa terdapat 369 pengaduan dari masyarakat
terkait tindakan bullying, namun itu hanya 25% saja dari total pengaduan kasus bullying yang
terjadi dibidang pendidikan. Pada bidang pendidikan tercatat sebanyak 1.480 kasus bullying
yang terjadi di sekolah. Adapun hasil konsultasi Komisi Nasional Perlindungan Anak yang
melibatkan anak-anak pada 18 provinsi di Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa sekolah
merupakan tempat yang cukup berbahaya bagi anak apabila beragam kekerasan yang terjadi
di lingkungan tersebut tidak diatasi (Wiyani, 2012).
Pola asuh otoriter ialah jenis pola asuh dimana orang tua selalu memberi batasan aturan
kepada anak dan ketika anak melanggar aturan tersebut maka orang tua akan memberikan
hukuman kepada anak. Sehingga dengan pemberian pola asuh yang demikian, membuat anak
cenderung memiliki keterampilan komunikasi yang buruk terhadap orang lain, tidak bahagia,
cemas dan takut membandingkan dirinya dengan orang lain (Baumrin, dalam Santrock, 2012).
Pola asuh yang diterapkan oleh orang tua pada anak dalam interaksi sehari-hari ketika di
rumah akan dicontoh oleh anak. Kemudian ketika anak bersama teman sebaya di lingkungan
sekolah akan melakukan perilaku yang sama seperti yang dilihatnya ketika di rumah. Apabila
orang tua cenderung bersikap keras dan menghukum anak maka, ketika anak berada
dilingkungan sekolah akan mencari teman sebayanya yang dianggap lemah untuk dijadikan
sasaran perilaku negatif dan menyakiti termasuk salah satunya adalah perilaku bullying
(Georgiou, 2008, dalam Suparwi, 2013). Terdapat pula jenis pola asuh yang lain yang juga
diterapkan oleh orang tua pada anak yaitu pola asuh permisif dimana orang tua membolehkan
anak melakukan apa pun keinginannya dan memenuhi apa pun yang diminta oleh anak. Pola
asuh demikian dapat pula ditemukan di kota Malang yang merupakan salah satu kota besar,
karena sedikitnya kesempatan orang tua untuk melakukan komunikasi dengan anak
disebabkan padatnya pekerjaan dan kesibukan yang semakin meningkat. Sehingga orang tua

4

juga kurang dapat mengontrol dengan siapa saja anak bergaul dan perilaku apa saja yang
dilakukan oleh anak. Sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa anak akan melakukan
perilaku yang semestinya tidak boleh dilakukan seperti kekerasan bahkan pelecehan seksual
yang mengarah pada hubungan seks pranikah. Hal tersebut terjadi karena kurangnya
bimbingan, arahan dan pengawasan dari orang tua (Rohdiyati, 2008, dalam Yuanita, 2008).
Oleh sebab itu, pola asuh memiliki kaitan yang cukup erat dengan perilaku yang dimunculkan
oleh remaja. Bukti pentingnya peranan pola asuh yang diberikan oleh orang tua terhadap
tindakan yang dimunculkan oleh anak ialah mengacu pada penelitian yang pernah dilakukan
oleh Efobi & Nwokolo (2014) pada siswa SMP di Nigeria yang menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif antara pola asuh otoriter dan otoritatif terhadap kecenderungan anak
melakukan tindakan bullying di sekolah. Artinya ketika orang tua menerapkan pola asuh yang
mengekang, membatasi dengan aturan dan hukuman serta mengkombinasikan dengan pola
asuh yang hangat dan memberi kesempatan pada anak untuk berinteraksi dengan orang tua
ternyata anak juga memiliki kecenderungan untuk bertindak bullying terhadap teman sebaya
di sekolah.
Thomas Lickona seorang ahli psikologi perkembangan dan pendidikan dari Cortland
University AS mengungkapkan bahwa terdapat sepuluh tanda kehancuran bangsa. Tandatanda tersebut meliputi; Pertama, meningkatnya kekerasan dikalangan remaja. Kedua,
penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk. Ketiga, kuatnya pengaruh dari teman sebaya
dalam tindakan kekerasan. Keempat, meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti
penggunaan narkoba, alcohol dan perilaku seks bebas. Kelima, semakin kaburnya pedoman
moral baik dan buruk. Keenam, menurunnya etos kerja. Ketujuh, semakin rendahnya rasa
hormat pada orang tua dan guru. Kedelapan, rendahnya rasa tanggung jawab individu.
Kesembilan, budaya ketidak jujuran. Kesepuluh, adanya rasa saling curiga dan kebencian
diantara sesama (Setyawan, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Suparwi (2013) pada siswa SMP Muhammadiyah di salatiga
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif dan sangat signifikan antara persepsi pola asuh
otoriter dengan kemampuan berempati dan tindakan bullying. Artinya ketika orang tua
menerapkan pola asuh yang membatasi dan menghukum anak maka kemampuan untuk
berempati akan semakin rendah dan kecenderungan untuk bertindak bullying akan semakin
tinggi.
Dari hasil beberapa penelitian yang sudah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa terdapat
keterkaitan antara pola asuh yang diberikan oleh orang tua kepada anak, bagaimana orang tua
memperlakukan anak, serta sikap dan respon yang diberikan oleh orang tua kepada anak
menjadi cerminan anak dalam berperilaku terhadap teman sebayanya. Ketika anak tidak
memiliki keberanian dan kekuasaan untuk melawan perlakuan yang diberikan oleh orang tua
kepada dirinya, maka ketika anak berada dalam lingkungan teman sebaya anak akan
cenderung mencari sasaran teman sebayanya untuk dijadikan pelampiasan kemarahan dan
rasa pembalasan yang tidak dapat ia lampiaskan kepada orang tuanya (Knafo, 2003, Lee,
2009, dalam Suparwi 2013).

5

Penelitian yang sama terkait hubungan antara kecenderungan berperilaku bullying dengan
pola asuh yang diberikan oleh orang tua pada anak menunjukkan bahwa siswa laki-laki yang
berusia 11 tahun cenderung menerima pola asuh otoriter dan permisif dari orang tuanya,
mereka cenderung melakukan tindakan bullying dalam bentuk bullying verbal dan non verbal,
serta kekerasan fisik. Sedangkan untuk siswa perempuan yang berusia 11 tahun cenderung
menerima pola asuh otoritatif dari orang tuanya dan mereka tidak memiliki kecenderungan
untuk melakukan tindakan bullying (Hassan & Ee, 2015).
Meskipun dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 tersebut menggunakan subjek
yang berada pada tingkatan pendidikan yang berbeda dengan penelitian sebelumnya namun,
hasil yang diperoleh hampir sama yaitu anak yang menerima pola asuh otoriter dari orang tua
cenderung melakukan tindakan bullying pada teman sebaya di sekolah. Ternyata ditemukan
pula pola asuh permisif yang diterima oleh anak juga dapat menjadi pemicu kecenderungan
anak untuk melakukan tindakan bullying. Dimana yang dimaksud pola asuh permisif ialah
orang tua tetap memantau segala tindakan yang dilakukan oleh anak tetapi orang tua
cenderung memberi kebebasan kepada anak untuk melakukan tindakan dan perbuatan apa pun
yang diinginkan anak tanpa memberi batasan aturan. Orang tua yang menerapkan pola asuh
demikian terhadap anak memiliki keyakinan bahwa dengan cara tersebut dapat menumbuhkan
rasa percaya diri pada anak. Selain itu anak juga dapat lebih kreatif (Baumrin, dalam
Santrock, 2012).
Dari penelitian yang dilakukan oleh Suparwi (2013), kemudian Efobi & Nwokolo (2014) dan
disusul penelitian Hassan & Ee (2015) yang secara garis besar melakukan tinjauan yang sama
yaitu tentang pengaruh pola asuh terhadap kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan
bullying, maka peneliti terinspirasi untuk melakukan penelitian dengan tinjauan yang sama
yaitu kecenderungan remaja untuk berperilaku bullying akan tetapi fokus penelitian yang akan
dilakukan oleh peneliti lebih pada meninjau apabila remaja mendapatkan pola asuh otoriter
dan remaja yang lain mendapatkan pola asuh permisif, apakah dengan perbedaan pola asuh
yang mereka dapatkan tersebut dapat mempengaruhi bentuk tindakan bullying yang mereka
berikan terhadap teman sebayanya.
Adapun alasan peneliti hanya mengambil fokus pada dua pola asuh yaitu pola asuh otoriter
dan permisif adalah karena remaja yang menerima kedua pola asuh tersebut memiliki potensi
lebih untuk melakukan bentuk perilaku bullying. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian
yang dilakukan oleh peneliti terdahulu yang menegaskan bahwa munculnya pelaku bullying
berasal dari lingkungan rumah dimana orang tua menerapkan disiplin fisik, terkadang
melakukan bentuk perilaku bullying, serta penolakan yang menjadikan anak kurang memiliki
kemampuan untuk memecahkan masalah. Tidak hanya itu saja, orang tua permisif yang
cenderung agresif mengenai perilaku anak atau setiap mengajari anak yang diajarkan ialah
membalas perlakuan orang lain dengan memukul atau mencemooh. Kedua karakteristik pola
asuh orang tua tersebut yang merupakan bagian terbesar yang dapat mempengaruhi
munculnya perilaku bullying pada anak dan remaja (Ormel, et al, 2005 dalam Putik, 2014).
Penelitian terkait hubungan pola asuh dan kecenderungan perilaku bullying yang telah
diuraikan diatas juga menjadi alasan bagi peneliti untuk mengambil fokus dua pola asuh

6

karena beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan positif antara pola
asuh otoriter dan permisif dengan kecenderungan perilaku bullying pada remaja. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan bentuk bullying yang
dilakukan oleh remaja terhadap teman sebayanya ketika remaja tersebut mendapat perlakuan
pola asuh otoriter dengan permisif dari orang tua mereka. Manfaat praktis dari penelitian ini
adalah dapat menambah wawasan terkait teori dan kajian psikologi, khususnya dalam hal
pemilihan gaya pengasuhan yang seharusnya diterapkan oleh orang tua kepada anaknya dan
juga pengaruh dari gaya pengasuhan tersebut terhadap perilaku anak kepada teman sebaya.
Bullying
Bullying pada umumnya dikenal dengan tindakan mengintimidasi yang dilakukan oleh orang
yang merasa memiliki kekuasaan terhadap orang yang dianggap lemah secara berulang,
sehingga muncul rasa tidak nyaman pada diri korban dan tindakan bullying sudah terjadi pada
jenjang pendidikan sekolah dasar hingga sekolah menengah atas (Dake, et al., dalam Pratama,
et al, 2014).
Bullying adalah suatu tindakan yang ditujukan pada seseorang dengan tujuan menyakiti dan
adanya ketidakseimbangan yang terjadi diantara orang yang memiliki kekuatan dengan orang
yang lemah (Rigby, 2012).
Bullying merupakan tindakan negatif yang memunculkan rasa tidak nyaman yang dirasakan
oleh seseorang karena perbuatan orang lain secara berulang (Olweus, dalam Wiyani, 2012).
Olweus, et al., dalam Swearer, et al., (2009) menyatakan bahwa bullying merupakan perilaku
agresif, akan tetapi terdapat perbedaan antara bullying dengan agresif. Bullying merupakan
tindakan yang dilakukan secara berulang dan terdapat ketidakseimbangan antara pelaku
dengan korban.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa bullying merupakan suatu tindakan
negatif baik secara verbal maupun non verbal umumnya dilakukan oleh remaja yang merasa
kuat serta merasa memiliki kekuasaan, kepada orang lain yang dianggap lemah dengan tujuan
menyakiti.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Bullying
Tidak terdapat faktor tunggal yang menjadi pengaruh bagi seseorang untuk melakukan
tindakan bullying. Adapun beberapa faktor yang dianggap menjadi pengaruh ialah:
Pertama, keluarga. Pelaku tindakan bullying memiliki latar belakang keluarga yang tidak baik
seperti: hukuman yang diberikan oleh orang tua kepada anak yang amat sering, situasi rumah
yang tidak harmonis, adanya tindakan agresi dan pertengkaran yang terjadi antara orang tua.
Kedua, teman sebaya. Dalam bergaul dengan teman sebaya, tidak sedikit kegiatan yang
dilakukan, entah kegiatan tersebut bersifat negatif maupun positif sehingga akan sangat
mudah bagi anak untuk melakukan tindakan yang sama seperti yang dilakukan oleh teman
yang tergabung dalam suatu kelompok. Terkadang seseorang melakukan tindakan bullying

7

dengan alasan agar diterima oleh suatu kelompok sekalipun dalam melakukan tindakan
tersebut terdapat rasa tidak nyaman (Ariesto, 2009, dalam Mudjijanti, 2011 & Swearer, et al.,
2009). Selain itu terdapat pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Salleh & Zainal (2014)
menunjukkan bahwa kepribadian juga termasuk faktor penyebab seseorang melakukan
tindakan bullying. Hal tersebut didukung pula oleh pernyataan Santrock (2007) yang
menyebutkan kurangnya kemampuan berempati dan rasa kasihan terhadap korban sehingga
membuat seseorang tidak dapat merasakan rasa sakit dari tindakan menyakitkan yang
dilakukan. Sedangkan menurut Georgiou (2008), dalam Suparwi (2013) menjelaskan bahwa
anak cenderung melakukan modeling dari pengalaman menyaksikan interaksi yang terjadi
dalam keluarga sehingga anak cenderung melakukan tindakan agresi kepada orang lain yang
dianggap lemah.
Bentuk-bentuk Bullying
Tindakan bullying yang dilakukan pelaku terhadap korban terdiri dari beberapa bentuk.
Riauskina, et al., dalam Wiyani (2012) mengungkapkan bahwa terdapat lima bentuk bullying
yang dilakukan pelaku terhadap korban. Pertama, kontak fisik secara langsung yaitu dengan
memukul, mendorong, mengunci, menendang, menjambak, merusak barang korban dan
mengurung korban dalam suatu ruangan. Kedua, kontak verbal secara langsung yaitu dengan
mengancam, mempermalukan, merendahkan, memanggil dengan nama panggilan julukan dan
memaki. Ketiga, perilaku non verbal secara langsung yaitu melihat dengan sinis dan
menjulurkan lidah. Keempat, perilaku non verbal tidak langsung yaitu dengan mendiamkan
korban, mengucilkan, mengabaikan dan mengirim surat kaleng. Kelima, pelecehan seksual.
Karakteristik Bullying
Menurut Orpinas dan Horne (2006) (dalam penelitian Rachmah, 2014), menyebutkan bahwa
terdapat beberapa karakteristik dalam bullying yang mana dari beberapa karakteristik tersebut
terdapat gap karena adanya ketidakseimbangan kekuasaan. Karakteristik tersebut adalah: (1)
Pelaku. Pelaku merupakan orang yang melakukan tindakan intimidasi baik dalam bentuk
mengucilkan, mempengaruhi orang lain untuk membenci individu yang dibully, menyakiti
fisik dengan mendorong, memukul serta agresi verbal berupa ejekan, cemoohan dan
pemanggilan nama yang tidak sesuai yang mana semua tindakan tersebut dilakukan secara
berulang dan dengan tujuan menyakiti. Pelaku bullying memiliki kekuatan fisik, memiliki
kebiasaan melontarkan perkataan yang menyakiti orang lain, memiliki kemampuan
bersosialisasi dan mengagungkan status sosial untuk mencari pengikut (Ringby, 2012).
Adapun ciri-ciri pelaku tindakan bullying adalah agresif baik secara verbal maupun non
verbal, adanya keinginan untuk dianggap popular sehingga sering memunculkan perilaku
negatif, memiliki rasa dendam dan iri hati, sering merasa cemas dan kurangnya keterampilan
sosial (Olweus, 1993, dalam Purbosari, 2014). Selain itu, toleransi dan keterbukaan diri anak
kepada orang tua juga mempengaruhi anak melakukan tindakan bullying. Hal tersebut sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Purbosari (2014) yang menunjukkan bahwa apabila
seseorang memiliki toleransi dan keterbukaan diri yang tinggi maka kecenderungan untuk
melakukan tindakan bullying akan semakin menurun. (2) Korban. Korban merupakan orang

8

yang mendapatkan tindakan intimidasi dari orang lain baik dalam bentuk dikucilkan dari
lingkungan sosial, fisik yang disakiti dengan didorong, dipukul, ditendang dan juga
dicemooh, dipanggil dengan nama panggilan yang tidak semestinya. (3) Saksi. Individu yang
menyaksikan berlangsungnya tindakan bullying yang dilakukan oleh pelaku pada korban.
Pola Asuh Orang Tua
Pola asuh adalah proses interaksi baik dalam bentuk komunikasi maupun tindakan yang
dilakukan oleh orang tua dalam menjaga, merawat, memenuhi apa yang dibutuhkan oleh anak
ketika bayi sampai dewasa, serta memberikan kasih sayang, pemahaman terkait beberapa
pendidikan yang mencakup intelektual dan moral, mengajarkan rasa tanggung jawab atas
segala tindakan yang dilakukan (Brooks, 2011).
Pola asuh adalah proses interaksi yang dilakukan oleh orang tua dalam mengembangkan
berbagai aturan untuk mendisiplinkan anak, memberikan sikap yang hangat kepada anak serta
berapa banyak waktu yang diluangkan oleh orang tua untuk memberikan pengawasan
terhadap anak (Baumrind, dalam Santrock, 2012).
Pola asuh adalah proses interaksi yang terjalin antara orang tua dengan anak termasuk pula
dalam hal mengajarkan bagaimana cara bertingkah laku yang baik sesuai norma yang berlaku,
memberikan contoh perilaku yang baik pada anak serta memberikan perhatian dan kasih
sayang pada anak (Dariyo, 2004, dalam Suparwi, 2013).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pola asuh adalah serangkaian proses
menjaga, merawat, mendidik serta berinteraksi baik melalui komunikasi verbal maupun
tindakan yang dilakukan oleh orang tua dalam rangka membentuk kepribadian dan karakter
anak sehingga berpengaruh pada perilaku yang dimunculkan oleh anak.
Pola Asuh Otoriter dan Permisif
Pola asuh otoriter adalah pola asuh yang sifatnya membatasi dengan berbagai aturan yang
ditetapkan oleh orang tua dan harus diikuti oleh anak, memaksa anak untuk patuh, tidak
melibatkan anak dalam menentukan aturan yang harus disepakati, tidak memberikan
kesempatan pada anak untuk bertanya atau menyampaikan pendapat, memberikan hukuman
pada anak apabila melanggar aturan, dan orang tua hanya mengatakan apa yang seharusnya
dilakukan oleh anak tanpa memberikan penjelasan kenapa hal tersebut harus dilakukan. Orang
tua yang menerapkan pola asuh otoriter cenderung bersikap memaksa, tidak responsif pada
anak, bersikap keras dan kaku terhadap anak, sewenang-wenang dalam menentukan
keputusan, kurang dapat menghargai pemikiran anak dan kurang dapat mengerti perasaan
anak. Sedangkan anak yang menerima pola asuh otoriter kurang memiliki kesempatan untuk
dapat menentukan perilaku secara mandiri, cenderung bersifat mudah curiga pada orang lain,
merasa tidak bahagia dengan kondisi dirinya sendiri, canggung apabila harus bersoaialisasi
dengan orang lain atau teman sebaya, kurang dapat menyesuaikan diri ketika berada
dilingkungan baru dan memiliki prestasi belajar yang kurang baik (Baumrind, dalam

9

Santrock, 2007; Baumrind, dalam Papalia, et al., 2010; Baumrind, dalam Desmita, 2013;
Hurlock 1978).
Pola asuh permisif adalah pola asuh yang menekankan pada ekspresi diri dan regulasi diri.
Maksudnya, dalam pola asuh permisif ini orang tua hanya memberikan sedikit batasan pada
anak dan memberikan kebebasan pada anak untuk melakukan tindakan apa pun yang
diinginkan, orang tua cenderung memanjakan anak dan jarang memberikan hukuman kepada
anak serta selalu memenuhi segala keinginan yang diinginkan oleh anak. Sehingga anak
cenderung kurang dapat mengendalikan dirinya (Baumrind, dalam Santrock, 2007; Baumrind,
dalam Papalia, et al., 2010; Hurlock 1978). Baumrind, dalam Desmita (2013) menambahkan
bahwa pola asuh permisif terbagi menjadi dua yaitu; pertama, permissive indulgent yaitu pola
asuh dimana orang tua begitu terlibat dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh anak dengan
memberikan sedikit batasan pada anak. Sehingga anak kurang mampu mengendalikan dirinya
karena anak tidak pernah belajar bagaimana cara mengendalikan diri, selalu mengharapkan
segala keinginannya terpenuhi dan merasa bebas melakukan tindakan apa pun. Kedua,
permissive indifferent yaitu pola asuh dimana orang tua tidak banyak terlibat dalam setiap
kegiatan yang dilakukan oleh anak. Sehingga mengakibatkan anak kurang memiliki rasa
percaya diri, pengendalian diri yang buruk dan harga diri yang rendah.
Bentuk-bentuk Pola Asuh Orang Tua
Diana Baumrind menyatakan bahwa dalam mengasuh anak, orang tua tidak harus selalu
memberikan aturan dan hukuman yang begitu mengekang anak. Perlu adanya sikap yang
hangat dalam mengasuh anak. Dalam hal ini Baumrind membagi pola asuh dalam empat
bentuk yaitu:
Pertama, pengasuhan otoritarian yang biasa dikenal dengan pengasuhan otoriter. Pengasuhan
otoritarian adalah bentuk pengasuhan dimana orang tua selalu membatasi anak dengan
berbagai aturan dan memberikan hukuman apabila anak melakukan tindakan atau perbuatan
yang tidak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh orang tua. Anak yang menerima
pola pengasuhan seperti ini umumnya merasa tidak bahagia, muncul rasa takut dalam dirinya,
timbul rasa kecemasan apabila harus membandingkan dirinya dengan orang lain, inisiatif
yang dimiliki kurang dan tidak memiliki kompetensi yang baik dalam hal berkomunikasi
dengan orang lain. Kedua, pengasuhan otoritatif adalah bentuk pengasuhan yang mana orang
tua memberikan sikap yang hangat kepada anak. Selain memberi batasan aturan dalam
bertindak kepada anak, orang tua juga memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan
komunikasi secara verbal pada orang tua, disisi lain orang tua juga melatih anak untuk dapat
mandiri. Anak dengan pola asuh otoritatif kerap kali terlihat bahagia, memiliki kontrol diri
serta rasa percaya diri yang baik, memiliki orientasi untuk berprestasi, cenderung lebih
mempertahankan hubungan persahabatan dengan teman sebayanya, kooperatif terhadap orang
yang lebih dewasa dan memiliki kemampuan yang baik dalam mengatasi stres. Ketiga,
pengasuhan yang melalaikan adalah bentuk pola asuh dimana orang tua cenderung
memberikan kebebasan kepada anak tanpa memberikan kontrol ataupun memantau anak.
Sehingga anak dengan pola asuh yang demikian cenderung tidak memiliki kontrol diri yang

10

baik, memiliki harga diri yang rendah dan suka melakukan pelanggaran. Keempat,
pengasuhan yang memanjakan atau biasa disebut permisif. Pengasuhan permisif adalah pola
asuh dimana orang tua selalu mengetahui segala tindakan yang dilakukan oleh anak akan
tetapi orang tua memberi kebebasan terhadap anak untuk melakukan apa pun yang diinginkan
oleh anak. Sehingga anak tidak pernah belajar untuk mengendalikan diri dan selalu
menginginkan agar kemauannya selalu terpenuhi. Dengan pengasuhan yang demikian
membuat orang tua yakin bahwa anak dapat lebih mandiri dan kreatif namun, anak yang
menerima pola pengasuhan yang demikian cenderung kurang dapat menghargai orang lain,
mengalami kesulitan dalam mengendalikan diri, cenderung mendominasi, egosentris, tidak
patuh dan mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan dengan teman sebaya (Baumrind,
dalam Santrock, 2012).
Bentuk Perilaku Bullying dengan Pola Asuh Otoriter dan Permisif
Tindakan bullying merupakan suatu tindakan menyakiti yang dilakukan dengan unsur
kesengajaan. Terdapat beberapa bentuk bullying yang biasa dilakukan oleh pelaku tindakan
bullying terhadap korban yaitu bullying diberikan melalui kontak fisik secara langsung,
kontak verbal secara langsung, perilaku non verbal secara langsung, perilaku non verbal
secara tidak langsung dan pelecehan seksual. Pelaku tindakan bullying pada umumnya
mencari sasaran untuk melakukan tindakan bullying pada orang yang lemah dan tidak
memiliki keberanian untuk melawan. Pelaku tindakan bullying mayoritas ialah remaja yang
umumnya memiliki latar belakang keluarga tidak baik. Dikatakan tidak baik karena tidak
terdapat keharmonisan dan interaksi yang baik dalam keluarga tersebut.
Anak dapat melakukan lebih banyak pelanggaran aturan ketika ia berada di lingkungan yang
penuh aturan atau lingkungan tanpa adanya peraturan. Hal tersebut tercermin dari beberapa
kasus seperti anak-anak bolos sekolah, tawuran dan tindak kekerasan atau perilaku bullying
(Brooks, 2011). Tidak hanya itu saja, sekolah juga dapat dikatakan salah satu tempat yang
menjadi titik awal terjadinya perilaku bullying yang dapat menyebabkan beberapa anak
merasa terancam dan tidak nyaman berada di lingkungan sekolah, minimnya pengawasan dari
sekolah, ketidakpedulian teman sebaya dan kurangnya perhatian dari orang tua dapat menjadi
alasan meluasnya kecenderungan perilaku bullying (Ringby, 2012).
Apabila meninjau pola asuh otoriter dan pola asuh permisif, maka kedua pola asuh tersebut
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya terletak pada gaya komunikasi yang
berlaku pada kedua pola asuh tersebut (otoriter dan permisif). Kedua pola asuh tersebut samasama memiliki komunikasi satu arah. Pada pola asuh otoriter pemegang kuasa adalah orang
tua sehingga apa pun yang dikatakan dan diperintahkan oleh orang tua harus diikuti oleh anak
tanpa memberikan kesempatan pada anak untuk bertanya atau pun bermusyawarah.
Sedangkan pada pola asuh permisif pemegang kuasa adalah anak dan orang tua selalu
mengikuti serta memenuhi apa pun yang diinginkan oleh anak. Pola asuh otoriter merupakan
pola asuh yang cenderung mengekang dan membatasi anak dengan berbagai banyak aturan.
Sehingga remaja yang menerima pola asuh tersebut sudah terbiasa dengan batasan-batasan
yang berlaku. Berbeda dengan pola asuh permisif yang cenderung membolehkan anak

11

melakukan segala tindakan yang diinginkan serta sedikitnya aturan yang diterapkan oleh
orang tua pada anak dan pemenuhan segala keinginan yang diinginkan oleh anak. Sehingga
remaja yang menerima pola asuh tersebut cenderung kurang dapat mengendalikan diri.
Pada tahapan remaja individu banyak mencoba hal baru dan mudah terpengaruh oleh
lingkungan. Sehingga apa pun tindakan dan respon yang diterima oleh remaja akan cenderung
dicerminkan oleh remaja ketika bertindak dan memperlakukan orang lain. Salah satunya pola
asuh yang diterima oleh remaja dari orang tuanya yang memiliki kaitan dengan
kecenderungan remaja untuk melakukan tindakan bullying. Hal tersebut terbukti dari beberapa
penelitian terdahulu yang menggunakan subjek penelitian remaja siswa SMP bahkan SD kelas
6 dalam penelitian tentang hubungan antara pola asuh yang diterima oleh remaja dengan
kecenderungan remaja melakukan tindakan bullying dan hasil penelitian tersebut memiliki
hubungan positif (Suparwi, 2013; Efobi & Nwokolo, 2014; Hassan & Ee, 2015). Dari
beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat dua pola asuh yaitu pola asuh
otoriter dan pola asuh permisif yang membuat remaja memiliki kecenderungan lebih untuk
melakukan tindakan bullying pada teman sebayanya.
Merujuk pada penjelasan Mellor, dalam Setyawan (2014) terkait kasus kekerasan di
lingkungan pendidikan yang terjadi saat ini merupakan perilaku bullying. Adapun bentuk
bullying yang banyak dilakukan remaja di sekolah ialah kontak fisik dan ini termasuk
persoalan serius serta membahayakan. Dalam perilaku bullying tidak hanya terdapat korban,
tetapi juga terdapat pelaku dan saksi. Adapun dampak bullying, sebagaimana menurut
Victorian Departement of Education and Early Chilhood Development tidak hanya dialami
oleh korban bullying, akan tetapi dampak dari perilaku bullying juga dialami oleh pelaku dan
saksi. Berikut dampak dari perilaku bullying pada; (1) pelaku, bullying yang terjadi pada
tingkat SD (Sekolah Dasar) dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan pada jenjang
pendidikan berikutnya; pelaku cenderung berperilaku agresif dan terlibat dalam perkumpulan
gank serta aktivitas kenakalan lainnya; pelaku rentan terlibat dalam kasus kriminal saat
menginjak usia remaja; (2) korban, memiliki masalah emosi, akademik, cenderung memiliki
harga diri yang rendah, lebih merasa tertekan, suka menyendiri, cemas, merasa tidak aman,
bullying menimbulkan berbagai masalah yang berhubungan dengan sekolah seperti tidak suka
terhadap sekolah, membolos, dan drop out. Hal ini dirasakan oleh individu yang selalu
menjadi sasaran perilaku bullying atau hanya sesekali menjadi korban perilaku bullying. (3)
Saksi, mengalami perasaan yang tidak menyenangkan dan mengalami tekanan psikologis
yang berat, merasa terancam dan ketakutan akan menjadi korban selanjutnya, dapat
mengalami prestasi yang rendah di kelas karena perhatian masih terfokus pada bagaimana
cara menghindari menjadi target bullying dari pada tugas akademik (Setyawan, 2014).
Hipotesa
Terdapat perbedaan bentuk perilaku bullying antara remaja yang mendapat pola asuh otoriter
dengan remaja yang mendapat pola asuh permisif.

12

METODE PENELITIAN
Rancangan Penelitian
Jenis penelitian yang sesuai dengan tujuan dari penelitian ini adalah penelitian kuantitatif
komparasional. Penelitian kuantitatif adalah suatu metode penelitian yang perolehan datanya
berupa angka dan dianalisis menggunakan statistik (Sugiyono, 2011). Penelitian ini dikatakan
komparasional karena sifat penelitian ini adalah membandingkan.
Subjek Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah remaja yang memiliki karakteristik usia 12 sampai 15
tahun, jenis kelamin laki-laki atau perempuan yang menjadi pelaku perilaku bullying,
rekomendasi dari guru BK. Data diambil dari SMP N 7 Malang dan SMP N 18 dengan jumlah
populasi 982 siswa,kemudian diambil 258 siswa sebagai sampel dengan taraf signifikansi 5%.
Pada SMP N 18 Malang, dari 258 siswa ditemukan sebanyak 63 siswa yang menjadi pelaku
perilaku bullying, dengan rincian 43 siswa yang menerima pola asuh otoriter dan 20 siswa
yang menerima pola asuh permisif. Sedangkan pada SMP N 7 Malang terdapat 64 siswa yang
berpartisipasi dalam penelitian ini dan ditemukan sebanyak 43 siswa yang menjadi pelaku
perilaku bullying, dengan rincian 12 siswa yang menerima pola asuh otoriter dan 31 siswa
yang menerima pola asuh permisif. Data yang diperoleh dari SMP N 7 malang tersebut hanya
digunakan sebanyak 7 siswa yang menerima pola asuh otoriter dan 30 siswa dengan pola asuh
permisif yang termasuk pelaku perilaku bullying. Sehingga total subjek yang digunakan
dalam penelitian ini adalah 100 siswa dengan masing-masing terdiri dari 50 siswa yang
menerima pola asuh otoriter dan 50 siswa yang menerima pola asuh permisif.
Sampel adalah sebagian sumber data yang mewakili jumlah keseluruhan populasi. Adapun
pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan purposive sampling,
dimana sampel diambil berdasarkan pertimbangan tertentu.
Variabel dan Instrumen Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini terdiri dari dua yaitu pola asuh otoriter dan permisif. Pola
asuh otoriter adalah persepsi remaja terhadap tindakan orang tua dalam memberikan
pengawasan dan pengasuhan dengan menerapkan berbagai aturan, mengekang, menghukum
dan tidak memberikan kesempatan pada anak untuk bertanya. Sedangkan pola asuh permisif
adalah persepsi remaja terhadap tindakan orang tua dalam memberikan pengawasan dan
pengasuhan dengan sedikit member batasan pada anak, membolehkan anak melakukan apa
pun yang kehendaki anak dan memenuhi segala keinginan anak. Hal ini dapat diukur melalui
skala pola asuh otoriter dan permisif yang diadaptasi oleh peneliti berdasarkan teori
Baumrind, dalam Santrock, (2007); Baumrind, dalam Papalia, et al., (2010); Baumrind, dalam
Desmita, (2013); Hurlock (1978) tentang pola asuh otoriter dan permisif sebagai acuan dalam
penyusunan skala. Skala pola asuh otoriter dan permisif yang digunakan terdiri dari item
favourable. Adapun bentuk skala yang digunakan ialah skala likert, dengan ketentuan skoring
sebagai berikut; item favourable berlaku skor 4 untuk pilihan SS (Sangat Setuju), 3 untuk

13

pilihan S (Setuju), 2 untuk pilihan TS (Tidak Setuju) dan 1 untuk pilihan STS (Sangat Tidak
Setuju).
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah bentuk perilaku bullying. Bentuk perilaku bullying
adalah suatu aksi yang dimunculkan oleh seseorang secara sengaja melalui tindakan
kekerasan serta menyakiti baik berupa kekerasan fisik secara langsung, verbal secara
langsung, perilaku non verbal secara langsung meliputi; melihat dengan sinis dan
menjulurkan lidah, perilaku non verbal tidak langsung meliputi; mendiamkan, mengucilkan,
mengabaikan, mengirim surat kaleng, serta pelecehan seksual. Hal ini dapat diukur melalui
skala kecenderungan melakukan perilaku bullying yang disusun oleh peneliti berdasarkan
kajian teori bentuk-bentuk bullying menurut Riauskina, et al., dalam Wiyani (2012). Skala
kecenderungan perilaku bullying terdiri dari item favourable dan unfavourable. Adapun
bentuk skala yang digunakan ialah skala likert, dengan ketentuan skoring sebagai berikut;
item favourable berlaku skor 4 untuk pilihan SS (Sangat Setuju), 3 untuk pilihan S (Setuju), 2
untuk pilihan TS (Tidak Setuju) dan 1 untuk pilihan STS (Sangat Tidak Setuju). Sedangkan
item unfavourable berlaku skor 1 untuk pilihan SS (Sangat Setuju), 2 untuk pilihan S (Setuju),
3 untuk pilihan TS (Tidak Setuju) dan 4 untuk pilihan STS (Sangat Tidak Setuju).
Prosedur dan Analisa Data Penelitian
Secara umum, prosedur yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga yaitu :
Tahap persiapan ini mulai dari penyusunan skala kecenderungan perilaku bullying dan
adaptasi skala pola asuh otoriter dan permisif (Khairani, 2015) dengan indeks validitas 0.3550.769 dan nilai reliabilitas 0.900 yang akan digunakan sebagai alat ukur. Melakukan try out
(uji coba) skala yang sudah disusun dan diadaptasi kepada remaja dengan usia 12 sampai 15
tahun.
Tabel 1. Indeks Validitas Alat Ukur Penelitian
Alat Ukur
Skala Kecenderungan Bentuk
Perilaku Bullying
Skala Pola Asuh Otoriter
dan Permisif

Jumlah Item
Diujikan
50

Jumlah Item
Valid
35

20

15

Indeks Validitas
0.332-0.860
0.523-0.854

Pada tabel 1 tersebut menunjukkan hasil try out yang telah dilakukan, dari 50 item skala
kecenderungan bentuk perilaku bullying terdapat 35 item yang dinyatakan valid dengan nilai
indeks validitas terletak pada rentangan 0.332-0.860. Sedangkan skala pola asuh otoriter dan
permisif terdiri dari 20 item dan terdapat 15 item yang dinyatakan valid dengan nilai indeks
validitas berada pada rentangan 0.523-0.854.

14

Tabel 2. Indeks Reliabilitas Alat Ukur Penelitian
Alat Ukur
Skala Kecenderungan Bentuk Perilaku Bullying
Skala Pola Asuh Otoriter dan Permisif

Alpha
0.943
0.927

Berdasarkan tabel