Bukti Ketiadaan Naskh dalam Al-Qur’an (4)

KHAZANAH

Bukti Ketiadaan Naskh dalam Al-Qur’an (4)
PROF DRS SA’AD ABDUL WAHID
14. Ayat 41 At-Taubah [9]:

15. Ayat 3 An-Nur [24]:

“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh pula mengganti mereka dengan
istri-istri (yang lain).
Menurut as-Siyutiy, ayat tersebut dinasakh oleh ayat 50 Al-Ahzab:

litm
erg
er.
co
m)

htt
p:/
/w

w

w.

pd

fsp

“Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu, dan orangorang yang layak (berkawin) dari hambahamba sahayamu yang lelaki dan hambahamba sahayamu yang perempuan”.
Ayat yang pertama berbentuk khabariyah (berita), tetapi mengandung makna larangan. Yaitu, bahwa wanita yang berzina
dan telah diketahui umum dan wanita
musyrik, tidak boleh dinikahi oleh laki-laki
yang berzina atau musyrik pun tidak boleh
menikah kecuali dengan wanita yang berzina atau wanita musyrikah, sebab kedua
orang tersebut tidak menghendaki kehormatan, melainkan hanya untuk melampiaskan nafsu birahinya.
Ar-Raziy dalam tafsirnya menjelaskan,
sebagian ulama berpendapat bahwa ayat
pertama itu dinasakh oleh ijma’, tetapi ulama
lainnya mengatakan, pendapat tersebut

sangat lemah, sebab menurut usul fiqih,
ijma’ itu tidak dapat dinasakh dan tidak dapat
pula menasakhkan, dan ijma’ yang terjadi
sesudah perselisihan pendapat, tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah. Padahal masalah
nasakh terhadap ayat tersebut sudah
didahului oleh adanya perbedaan pendapat
antara Abu Bakar, Umar dan Aliy. Jelaslah
bahwa ayat pertama itu tidak dapat dinasakh
oleh ayat kedua.

De
mo
(

“Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, atas
orang-orang yang sakit dan atas orangorang yang tidak memperoleh apa yang
akan mereka nafkahkan”.
Makna ayat yang pertama adalah
umum, sedang ayat yang kedua adalah

khusus, hanya ditujukan kepada orang
buta, orang yang lemah dan orang sakit.
Mereka diperbolehkan tidak berangkat
berperang, sebab tidak mungkin Allah
membebani orang yang tidak mempunyai
kemampuan.
Ar-Raziy dalam tafsirnya, MafatihulGaib, menyatakan, para ulama telah
sepakat bahwa ayat pertama itu diturunkan
pada waktu Perang Tabuk, dan telah
disepakati pula bahwa Nabi Muhammad
saw membiarkan para wanita dan
beberapa orang laki-laki tetap tinggal di
rumah. Ini memberikan pengertian bahwa
kewajiban berperang itu bukanlah wajib
‘ain, melainkan fardlu kifayah. Dengan
pertimbangan inilah ia menetapkan bahwa
tidak ada nasakh pada ayat tersebut. (arRaziy, Mafatihul-Gaib, t.t. IV, hlm 566).
Sebenarnya hubungan antara kedua ayat
tersebut bukanlah mengenai nasikh dan
mansukh, melainkan mengenai takhsis al’am (membatasi dalil yang bersifat umum

dengan dalil yang bersifat khusus).

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina,
atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau
laki-laki musyrik”.
Menurut as-Siyutiy, ayat tersebut telah
dinasakh oleh ayat 32 An-Nur [24]:

Vi
sit

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa
berat.”
Menurut as-Siyutiy, ayat ini dinasakh
oleh ayat 91 At-Taubah [9]

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah
menghalalkan bagimu istri-istrimu yang

telah kamu berikan maskawinnya.”
Jika diteliti dengan cermat, maka kedua
ayat tersebut tidaklah bertentangan. Ayat
yang kedua menjelaskan bahwa Allah telah
menghalalkan istri-istrinya, sedang ayat
yang pertama menjelaskan bahwa Allah
melarang Nabi saw menikah lagi (sesudah
sembilan istri) dengan wanita lainnya serta
melarang Nabi saw mentalak istri-istrinya
dan menggantikannya dengan yang lain.
Maka jelaslah, orang yang mengatakan
adanya nasakh pada ayat tersebut tidak
mempunyai alasan yang kuat.
17. Ayat 12 Al-Mujadilah [58]:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.”
Menurut as-Siyutiy, ayat itu dinasakh
oleh ayat 13 Al-Mujadilah [58]:

16. Ayat 52 Al-Ahzab [33]:

“Apakah kamu takut akan (menjadi

22

25 RABIULAWAL - 9 RABIULAKHIR 1432 H

KHAZANAH
perlahan-lahan.”
Menurut as-Siyutiy, ayat tersebut telah
dinasakh oleh ayat yang terakhir dari surat
Al-Muzzammil, yaitu ayat 20:

20. Ayat 115 Al-Baqarah(2):

18. Ayat 11 Al-Mumtahanah (60):

Vi
sit

htt

p:/
/w
w

w.

pd

fsp

“Sesunggunya Tuhanmu mengetahui
bahwa kamu berdiri (shalat) kurang dari
dua pertiga malam, atau seperdua malam
atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama
kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa
kamu sekali-kali tidak dapat menentukan
batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia
memberi keringanan kepadamu, karena
itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari
Al-Qur’an, Dia mengetahui bahwa akan

ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka
bumi mencari sebagian karunia Allah,
maka bacalah apa yang mudah (bagimu)
dari Al-Qur’an dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik”.
Ayat yang pertama (1-4 Al-Muzzammil) ditujukan kepada Nabi saw, memerintahkan agar mendirikan shalat pada sebagian malam yaitu kurang lebih seperduanya, dan menjelaskan bahwa sebab diwajibkannya.
Adapun ayat yang kedua memberikan
penjelasan bahwa Nabi saw telah melaksanakan perintah Allah itu, demikian pula
para sahabat. Juga menjelaskan sebabsebab yang meringankan para sahabat,
yaitu: sakit, bepergian dan tugas perang.
Oleh karena itulah para sahabat cukup
membaca yang mudah dari Al-Qur’an.

De
mo
(

“Dan jika seseorang dari istri-istrimu
lari kepada orang-orang kafir, lalu kamu
mengalahkan mereka maka bayarkanlah
kepada orang-orang yang lari istrinya itu

mahar sebanyak yang telah mereka bayar.”
Menurut as-Siyutiy, ayat tersebut telah
dinasakh oleh ayat ganimah (41 Al-Anfal).
Sebenarnya kedua ayat tersebut tidak
bertentangan dan dapat dikompromikan.
Ayat yang pertama mengenai pemberian
mahar kepada para suami yang istrinya
lari ke daerah kafir. Sedang ayat kedua
menjelaskan tentang pembagian ghanimah
(harta rampasan perang). Jelaslah bahwa
tidak ada nasakh pada ayat tersebut.
19. Ayat 1 sampai dengan ayat 4 AlMuzzammil [73]:

“Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam
hari, kecuali sedikit (daripadanya), (yaitu)
seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua
itu. Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan

Keringanan tersebut hanya untuk para sahabat, maka jelaslah bahwa ayat pertama
itu tidak dinasakh, melainkan tetap berlaku

bagi Nabi saw.

“Maka kemana pun kamu menghadap, di situlah wajah Allah.”
Menurut as-Siyutiy, ayat ini dinasakh oleh
ayat qiblah, yaitu ayat 144 Al-Baqarah [2].
Rasyid Ridha dalam tafsirnya menjelaskan, ayat yang pertama, menurut sebagian ulama, diturunkan mengenai shalat
sunnah dalam perjalanan yang tidak disyaratkan menghadap kiblat. Sedang ulama
lainnya berpendapat bahwa ayat ini mengenai orang yang berusaha menghadap kiblat, tetapi ternyata salah arah, maka shalatnya tetap sah. (Rasyid Ridha, a/-Manar,
1373 H., hlm. 434).
Dengan demikian, ayat tersebut terlepas dari ketentuan-ketentuan shalat fardlu
bagi orang yang tidak dalam perjalanan,
maka di luar shalat fardlu, diperbolehkan
menghadap ke mana saja dalam memohon kepada Allah SwT.
Adapun ayat mengenai kiblat, menjelaskan bahwa shalat fardlu pada waktu tidak
dalam perjalanan wajib menghadap ke
arah kiblat.
Jelaslah bahwa ayat yang pertama itu
tidak dinasakh, melainkan tetap muhkamah, dan dapat dijadikan sebagai hujjah.

litm

erg
er.
co
m)

miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul?
Maka jika kamu tiada memperbuatnya
dan Allah telah memberi taubat kepadamu
maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat
dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.”
Ayat yang kedua, sebenarnya merupakan penjelasan terhadap ayat yang pertama, bahwa “sedekah itu tidaklah harus
berupa harta, melainkan dapat juga berupa
amal shalih, seperti shalat, zakat dan ibadah
lainnya. Jelaslah bahwa tidak ada kontradiksi antara kedua ayat tersebut, maka pendapat yang mengatakan adanya nasakh
pada ayat tersebut, sama sekali tidak beralasan.

5. Kesimpulan
1. Para ulama telah sepakat dan membenarkan atas terjadinya nasakh dalam
tiga kitab, Taurat, Injil dan Al-Qur’an sebab syari’at Allah selalu berkembang dan
disempurnakan. Maka sebagian syari’at
yang telah ditetapkan dalam Kitab Taurat
telah dinasakh dan disempurnakan oleh
Injil, demikian pula sebagian syari’at yang
telah ditetapkan dalam Injil telah dinasakh
dan diperbaharui serta disempurnakan
oleh Al-Qur’an.
2. Adapun nasakh dalam satu kitab, yaitu
Al-Qur’an, setelah diadakan penelitian
oleh para ulama, ternyata tiada satu
pun ayat yang telah dinasakhkan, melainkan semuanya adalah muhkamah.
Sebab, Al-Qur’an merupakan hidayah
dan rahmat bagi seluruh alam dan
merupakan mu’jizat yang kekal hingga akhir zaman.l

SUARA MUHAMMADIYAH 05 / 96 | 1 - 15 MARET 2011

23