Bukti Ketiadaan Naskh dalam Al-Qur’an (3)

KHAZANAH

Bukti Ketiadaan Naskh dalam Al-Qur’an (3)
PROF DRS SA’AD ABDUL WAHID
5. Ayat 240 Al-Baqarah [2]

ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang
perbuatanmu itu”.
Menurut as-Siyutiy, ayat ini dinasakh
oleh ayat 286 Al-Baqarah [2]:

litm
erg
er.
co
m)

fsp

pd


w.

htt
p:/
/w
w

De
mo
(

“(Hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan
sepuluh hari.”
Jika diteliti dengan cermat, sebenarnya
kedua ayat tersebut tidak bertentangan,
sebab masing-masing mempunyai
makna dan tujuan yang berbeda. Ayat
pertama menjelaskan hak orang yang
ditinggal mati oleh suaminya; ia berhak
memperoleh nafkah selama satu tahun dan

berhak menempati rumah suaminya.
Sedang ayat kedua menjelaskan
kewajiban istri untuk ber’iddah selama
empat bulan sepuluh hari, sesudah selesai
ber’iddah ia diperbolehkan menikah.
Jelaslah bahwa tidak ada kontradiksi antara
kedua ayat tersebut.
Muhammad Abduh menjelaskan
bahwa sebagian sahabat dan tabi’in
berpendapat; perintah wasiat dalam ayat
itu menunjukkan kepada nadb (sunnah),
bukan menunjukkan kepada wajib, maka
jelaslah bahwa ayat pertama tidak dinasakh
oleh ayat kedua.
6. Ayat 284 Al-Baqarah [2]:

“Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
Jika kita cermati kedua ayat tersebut,
maka tidaklah tampak sedikit pun makna

yang menunjukkan adanya nasakh. Pada
ayat pertama, Allah menyatakan akan
mengadakan perhitungan terhadap segala
perbuatan manusia, baik yang dikerjakan
secara terang-terangan maupun secara
tersembunyi. Kemudian pada ayat kedua,
Allah menegaskan; sekalipun demikian,
Allah tidak akan memberatkan manusia,
melainkan hanya menurut kemampuannya. Yang demikian itu tidaklah mustahil,
sebab manusia itu mempunyai banyak kelemahan, termasuk dalam melaksanakan
perintah Allah.
Rasyid Ridha dalam tafsirnya mengatakan, riwayat mengenai dinasakhkannya
ayat itu sangat varian, dan dapat ditolak dari
beberapa aspek, di antaranya ialah bahwa

Vi
sit

“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan
istri, hendaklah berwasiat untuk istrinya,

(yaitu diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh keluar (dari rumahnya).”
Menurut as-Siyutiy, ayat tersebut dinasakh oleh ayat 234 Al-Baqarah [2]:

“Dan jika kamu melahirkan apa yang
22

12 - 24 RABIULAWAL 1432 H

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah
menurut kesanggupanmu”.
Sebenarnya ayat yang kedua itu tidaklah menasakh ayat yang pertama, melainkan hanya sebagai penjelasan. Bahwa
takwa yang sesuai dengan kemampuan
itulah takwa yang sebenarnya. Sebab, Allah
tidak mungkin menuntut manusia mengerjakan sesuatu di luar kemampuannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Tawus bahwa ayat tersebut tidaklah dinasakh. Bahkan
Ibnu Abbas menafsirkannya sebagai
berikut:

“ adalah bentuk
firman Allah: “
khabariyah (berita), padahal menurut ilmu

usul, bentuk khabariyah itu tidak dapat
dinasakh. (Rasyid Ridha, al-Manar, 1373,
hlm. 139).

“Hendaklah mereka berjihad dengan
sebenar-benar jihad”.
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
sependapat dalam menolak sangkaan
bahwa ayat itu (Ali Imran: 102) telah dinasakh, bahkan mereka mengatakan bahwa
riwayat tentang dinasakhkannya ayat itu
adalah maudu’ (palsu). (Rasyid Ridha, alManar, 1373, hlm. 19).
8. Ayat 33 An-Nisaa’ [4]:

“Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka,
maka berilah kepada mereka bagiannya”.
Menurut as-Siyutiy, ayat ini telah dinasakh oleh ayat 75 Al-Anfal [8]:

7. Ayat 102 Ali Imran [3]:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.”

Menurut as-Siyutiy, ayat ini dinasakh
oleh ayat 16 At-Taghabun [64]:

“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang
bukan kerabat) di dalam Kitab Allah.”
Tanda-tanda nasakh di sini tidak tampak, bahkan kedua ayat tersebut saling melengkapi dan saling menjelaskan hukum
yang tidak dijelaskan oleh ayat lainnya.

KHAZANAH
Rasyid Ridha dalam tafsirnya, al-Manar. menjelaskan bahwa surat An-Nisaa’
diturunkan sesudah surat Al-Anfal. Surat
Al-Anfal diturunkan pada tahun Badar, dan
mawaris disyariatkan sesudah itu, sedangkan ayat yang kita bahas (33 An-Nisaa’)
diturunkan sesudah ayat mawaris. (Rasyid
Ridha, al-Manar, 1373, hlm. 65)
Maka, jika dikatakan bahwa ayat 33
An-Nisaa’ telah dinasakh oleh ayat 75 AlAnfal, adalah menyalahi kaidah usul fiqih
yang menetapkan bahwa ayat yang menasakh itu harus lebih akhir nuzulnya.

10. Ayat 2 Al-Maidah [5]:


“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah dan janganlah melanggar kehormatan
bulan-bulan haram”.
Menurut as-Siyutiy, ayat ini telah dinasakh oleh ayat 36 At-Taubah

ayat yang kedua itu justru menyempurnakan ayat yang pertama: Nabi saw disuruh
memilih antara dua alternatif, memutuskan
perkara antara orang-orang Yahudi itu atau
berpaling dari mereka Jika memilih alternatif pertama, yaitu memutuskan perkara,
maka putuskanlah perkara itu dengan kitab
yang diturunkan Allah. Dengan demikian,
jelaslah bahwa ayat yang pertama itu tidak
dinasakh. (al-Khudariy Bek, 1352 H. hlm.
316).
Rasyid Ridha, dalam tafsirnya menyatakan bahwa tidak masuk akal, jika ayatayat diturunkan dengan maksud dan nada
yang sama, seperti kita lihat pada kedua
ayat tersebut, kemudian sebagiannya menasakhkan sebagian yang lain. Justru kedua ayat tersebut saling melengkapi. Sebab
ayat yang kedua menyuruh Nabi saw agar
memutuskan perkara dengan adil, yaitu
berlandaskan Al-Qur’an yang diturunkan

Allah SwT. (Rasyid Ridha, al-Manar, 1373
H. VI, hlm. 126).

litm
erg
er.
co
m)

9. Ayat 15 An-Nisaa’ [4]:

Allah kepada mereka. Penafsiran inilah
yang memperkuat pendapat Abu Muslim
yang menyatakan bahwa ayat tersebut tidak
dinasakh. (al-Khudariy Bek, 1352 H. hlm.
316).

fsp

pd


“Jika mereka (orang Yahudi) datang
kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka”.
Menurut as-Siyutiy, ayat ini dinasakh
oleh ayat 49 Al-Ma’idah [5]:

“Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah.”
Jika diteliti dengan cermat, sebenarnya

“Atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu.”
Menurut as-Siyutiy ayat ini telah dinasakh oleh ayat 2 At-Talaq [65]:

“Dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kamu”.
Setelah diteliti, ternyata tidak ada sedikit
pun tanda-tanda adanya nasakh pada ayat
tersebut di atas. Sebab, ayat yang pertama
ditujukan khusus untuk orang yang berada

dalam perjalanan atau bepergian, kemudian meninggal dunia. Maka apabila ia
berwasiat, harus disaksikan oleh dua orang
yang adil (shalih) dari golongan Muslim
atau bukan Muslim. Islam memperbolehkannya sebab orang yang bepergian itu
kadang-kadang sulit menemukan orang
yang seagama untuk dimintai sebagai saksi
wasiat. Keringanan tersebut hanya diberikan pada waktu kesulitan memperoleh
saksi yang seagama. Sedang, ayat yang
kedua bersifat umum. Maka, jelaslah bahwa ayat yang pertama itu tidak dinasakh,
tetap muhkamah dan dapat dijadikan se-

SUARA MUHAMMADIYAH 04 / 96 | 16 - 28 FEBRUARI 2011

23

KE HAL. 49

11. Ayat 42 Al-Ma’idah [5]:

“Perempuan yang berzina dan lakilaki yang berzina, maka deralah tiap-tiap

seorang dari keduanya seratus kali dera.”
Sebagian ulama menafsirkan bahwa
ayat ini (An-Nisaa’: 15), ditujukan khusus
kepada para wanita yang diketahui sering
mendatangi tempat-tempat yang mencurigakan atau rumah-rumah tempat perbuatan mesum, tetapi tidak ada bukti yang jelas
bahwa mereka berbuat zina. Maka, jika
ada empat orang saksi laki-laki yang mengetahui bahwa mereka sering mendatangi
tempat-tempat seperti itu, hendaklah mereka dijatuhi hukum kurungan, atau diceraikan oleh suaminya. Itulah yang dimaksudkan dengan jalan keluar yang diberikan

12. Ayat 106 Al-Maidah [5]:

w.

htt
p:/
/w
w

Vi
sit

De
mo
(

“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada
empat orang saksi di antara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila
mereka telah memberi persaksian, maka
kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui
ajalnya atau sampai Allah memberi jalan
yang lain kepadanya.”
Menurut as-Siyutiy, ayat ini dinasakh
oleh ayat 2 An-Nuur [24]:

“Dan perangilah kaum musyrikin semuanya.”
Masalah ayat ini sama dengan masalah ayat 217 Al-Baqarah [2]
Menurut Abu Muslim al-Asfahaniy,
yang dimaksudkan oleh ayat ini (Al-Maidah
[5]: 2), ialah orang-orang kafir yang hidup
pada masa Rasulullah saw. Setelah masa
itu habis, maka hilanglah larangan itu. Dengan demikian hukum ayat tersebut tidak
dinasakh.
Sebagian mufassir menyatakan bahwa
ayat tersebut mengenai orang-orang
Muslim, maka ayat tersebut tetap muhkamah, tidak dinasakh. (Rasyid Ridha,
1373 H., hlm. 126).