Ketiadaan Hegemonic Power dalam Pembentu

Ketiadaan Hegemonic Power dalam Pembentukan Instrumen Hukum mengenai
Pelarangan Senjata Nuklir 2017
Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional

Oleh:
Nadia Fausta Azhara
14/363708/SP/26060

Universitas Gadjah Mada
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Departemen Ilmu Hubungan Internasional
2017

0

ABSTRACT
Years of nuclear non-proliferation negotiations had always been meeting deadlocks. Until the
end of 2015 when the United Nations (UN) formed an open-ended working group (OEWG)
on nuclear disarmament that brings a whole new discourse on nuclear disarmament based
on evidence and humanitarian reasons, and puts aside the course of security dilemma and
national interests that most likely cause the deadlock. The OEWG succeeded to conduct an

L.41 draft resolution at 2016. Soon after the resolution is adopted by the UN, the world is
ready to build a new international regime on nuclear non-proliferation that no single state is
able to blockade the agreement. Nuclear weapons will be completely banned from existing in
this world. But the strong rejections shown by Nuclear Weapon States against the plan,
including powerful and hegemonic state like the U.S., invites further debates on whether this
regime will work well to achieve its goal even without the help of powerful actor.
Keywords: Hegemonic Stability, Nuclear Weapons, Resolution L.41, Hegemonic Power,
International Cooperation, International Security

1

Pembahasan mengenai konsep Hegemonic Stability memiliki kaitan yang erat dengan
pembahasan mengenai pembentukan rezim internasional berdasarkan power. Kerjasama
dapat terbentuk dan mampu meminimalisir kemungkinan untuk defect atau ingkar oleh para
anggotanya jika terdapat suatu negara yang memiliki power untuk menjadi stabilisator
[CITATION Has04 \p 84 \l 1057 ]. Negara tersebut harus memiliki sumber daya yang cukup
agar dapat mempengaruhi negara-negara lain untuk melakukan apa yang diinginkannya.
Konsep tersebut akan ditelaah lebih lanjut di dalam makalah ini untuk melihat fenomena
pengadopsian draf resolusi pembuatan instrumen hukum yang melarang penggunaan dan
mengharuskan pemusnahan senjata nuklir oleh Majelis Umum PBB pada 28 Oktober 2016

lalu—disebut sebagai resolusi L.41. Meski sebanyak 123 negara mendukung resolusi
tersebut, namun negara-negara pemilik senjata nuklir seperti Amerika Serikat, Inggris,
Perancis dan sebagainya, serta aliansi-aliansinya menolak pengesahan resolusi tersebut.
Pasalnya, perundingan pembentukan rezim antinuklir akan tetap berjalan tanpa persetujuan
dari negara-negara yang mendukung penggunaan senjata nuklir. Sebab, meski perundingan
akan dilaksanakan secara inklusif namun mekanisme voting yang digunakan [ CITATION
Int16 \l 1057 ] menutup kemungkinan bagi negara-negara tersebut untuk memblokir hasil
yang telah disetujui oleh mayoritas negara [ CITATION Ach16 \l 1057 ].
Selama ini berbagai perundingan upaya non-poliferasi nuklir berujung pada deadlock tanpa
adanya kesepakatan bersama untuk merumuskan solusi yang dapat diterapkan. Alih-alih
hanya membentuk norma yang menyebutkan bahwa senjata nuklir adalah ilegal. Perdebatan
panjang berputar pada anggapan bahwa nuklir masih relevan disebut sebagai alat deterrence
yang efektif di dalam sistem internasional yang anarkis. Sedangkan draf resolusi yang
diusulkan oleh open-ended working group (OEWG) on nuclear disarmament kali ini
menggunakan pendekatan kemanusian atau evidence-based untuk mengumpulkan kesadaran
dan dukungan lebih banyak hingga akhirnya resolusi tersebut berhasil diadopsi [ CITATION
Rea16 \l 1057 ].
Dengan mengadopsi level analisis di tingkat sistem internasional, makalah ini akan
menanyakan seberapa jauh rezim tersebut dapat berlangsung. Apakah adopsi Resolusi L.41
dan Konferensi lanjutan dalam Pelarangan Senjata Nuklir mampu membentuk rezim antinuklir internasional yang berkelanjutan? Memang benar bahwa kerjasama tersebut terbentuk

atas kesepakatan dari mayoritas negara anggota PBB. Namun negara-negara yang memiliki
power besar, dalam hal ini negara yang memiliki sumber daya ekonomi dan militer serta
2

pengaruh yang besar, tidak hadir menjadi hegemon yang mampu menjamin keberlangsungan
rezim tersebut.
Konsep Hegemonic Stability oleh Charles Kindleberger
Buku ‘The World in Depression 1929-1939’ menyajikan ide dasar Kindleberger mengenai
teori Hegemonic Stability. Ia berpendapat bahwa agar mencapai sistem ekonomi yang stabil
dan tidak mengarah pada krisis, dibutuhkan sosok pemimpin atau yang kemudian disebut
sebagai hegemon. Baginya, pemimpin dalam sistem internasional adalah sebuah negara yang
memiliki power yang besar berdasarkan kemampuannya dalam bidang ekonomi, politik, dan
keamanan. Kemampuan tersebut penting untuk menjamin ketersediaan public goods demi
keadaan yang stabil di dalam kerjasama kawasan atau rezim. Pemimpin tersebut siap, secara
sadar maupun tidak, untuk menetapkan standar perilaku terhadap negara-negara lainnya.
Selain itu, pemimpin mampu menjalankan perannya untuk membuat negara-negara lain patuh
pada standar yang ada dengan tujuan menentukan burden-sharing dalam sistem internasional
[CITATION Kin73 \p 28 \l 1057 ].
Meskipun kasus spesifik yang diangkat oleh Kindleberger adalah permasalahan ekonomi,
namun seiring berjalannya waktu konsep ini diadopsi dalam studi Hubungan Internasional

dalam bidang lainnya juga, seperti keamanan. Secara umum konsep ini mengatakan bahwa
sistem internasional bisa menjadi stabil apabila terdapat suatu hegemon yang memiliki
kemampuan untuk mempengaruhi berbagai fenomena [ CITATION UKE15 \l 1057 ]. Suatu
hegemon harus powerful untuk dapat bisa menjalankan fungsinya menyediakan public goods
berupa kestabilan—atau sebagai stabilisator [CITATION Web89 \p 184 \l 1057 ]. Dalam
pandangan realis, dimana sistem internasional bersifat anarkis, negara-negara hanya dapat
membentuk kerjasama yang berlangsung lama (sustainable) dan efektif apabila terdapat
negara powerful yang menjadi hegemon [CITATION Has04 \p 86 \l 1057 ].
Selama beberapa dekade terakhir, Amerika Serikat (AS) masih menjadi hegemonic power
dalam dunia internasional dengan kemampuan di bidang ekonomi serta keamanannya. Selain
itu, AS menjadi salah satu Nuclear Weapon States (NWS) yang secara tegas menolak resolusi
L.41 PBB. Tidak hanya menolak atas nama negaranya, AS juga berhasil mempengaruhi
negara lain yang menjadi aliansinya, seperti Jepang, Australia, dan sebagainya, untuk tidak
mendukung resolusi tersebut. Oleh karenanya, dalam kasus ini Amerika Serikat dapat

3

dianggap sebagai hegemonic power dengan material power yang dimilikinya serta peran dan
pengaruhnya yang besar terhadap negara lain.
Konsep ini kemudian akan digunakan untuk menelaah karakteristik apa saja yang dimiliki

oleh AS sebagai NWS yang menjadikannya sebagai hegemon yang memiliki peran penting
dalam menjaga stabilitas dalam suatu rezim atau kerjasama internasional. Berangkat dari
refleksi tersebut, analisis akan menerapkan pemahaman mengenai konsep ini untuk
menjawab pertanyaan apa jadinya suatu rezim antinuklir yang dibentuk tanpa peran dari
hegemonic power.
Argumentasi Utama
Konferensi PBB yang membicarakan mengenai perlucutan senjata nuklir pada 27 hingga 31
Maret dan 15 Juni hingga 7 Juli 2017 lalu telah berhasil mengadopsi Traktat Pelarangan
Senjata Nuklir. Meskipun mayoritas negara di dunia menyetujui hal ini, namun efektivitasnya
masih diragukan—apakah rezim tersebut benar-benar mampu membuat negara-negara
pemilik senjata nuklir mau menghancurkan senjata yang mereka miliki dan tidak lagi
mengembangkannya—mengingat bahwa tidak hadirnya negara yang menjadi hegemon di
dalam rezim tersebut, sehingga tidak ada yang cukup kuat untuk mempengaruhi negara lain
dalam mengambil keputusan untuk memusnahkan senjata nuklir. AS dan negara-negara
NATO lainnya yang memiliki persenjataan nuklir serta memiliki pengaruh di bidang
keamanan dunia justru memboikot konferensi tersebut.
Berkaca dari upaya-upaya sebelumnya, misalnya dalam pembentukan Non Proliferation
Treaty (NPT), hegemonic power sangat berpengaruh pada penentuan arah kerjasama.
Ketiadaan hegemonic power dapat mengindikasikan rezim yang akan dibentuk ini tidak
memiliki arah yang jelas karena tidak adanya sosok hegemon yang memimpin. Namun bisa

juga ketiadaan kekuatan hegemon menjadi suatu perkembangan baru dalam rezim antinuklir
untuk tidak kembali lagi menemui jalan buntu (deadlocks). Kecenderungan yang lebih
kentara untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah bahwa rezim yang akan dibentuk tidak
dapat mempertahankan eksistensinya. Meskipun telah berhasil dibentuk hukum internasional
berupa traktat yang mengatur perlucutan senjata nuklir, namun kepatuhan negara-negara
dunia tidak dapat dijamin. Terlebih lagi NWS yang menjadi objek beserta aliansinya tidak
menyetujui perundingan tersebut.

4

Untuk membentuk rezim internasional yang sustainable, peran hegemonic power penting dan
diperlukan. Mereka yang mampu menyediakan public goods

yang dapat menciptakan

kestabilan. Public goods dalam kasus ini dapat berupa mekanisme transparansi dan
pemberian sanksi yang mendorong negara-negara untuk patuh. Jika tidak ada kestabilan yang
bisa ditawarkan oleh suatu rezim, secara strategis negara-negara akan cenderung untuk
berlaku ingkar (defect). Hal ini dikarenakan tidak adanya anggapan yang ditawarkan bahwa
pilihan untuk mematuhi aturan rezim lebih menguntungkan dibandingkan untuk ingkar.

Terlebih lagi, ketika AS sebagai hegemon sekaligus sebagai NWS tidak hadir di dalam rezim
ini dan mempengaruhi NWS lain beserta negara aliansinya untuk menolak rezim ini, maka
rezim antinuklir tidak dapat berjalan. Karena bahkan objek dari traktat perlucutan senjata
nuklir tersebut tidak hadir secara aktif di dalamnya. Sehingga dapat ditarik inferensi bahwa
ketiadaan hegemon menjadikan suatu rezim tidak berkelanjutan.
Upaya Pembentukan Rezim Internasional Antinuklir
Keberadaan NPT sebagai Power-Based Regime
Semenjak senjata nuklir pertama kali digunakan, yakni pada tahun 1945 oleh Amerika Serikat
(AS) terhadap Jepang pada saat Perang Dunia kedua, telah muncul berbagai perjanjian
multilateral yang mengatur tentang pembatasan kepemilikan, uji coba, serta penggunaan
senjata nuklir pada sekitar tahun 1960-an. Treaty on Non-Proliferation of Nuclear Weapons
(NPT) yang diterapkan pada tahun 1970 [ CITATION Uni16 \l 1057 ] merupakan salah satu
perjanjian multilateral yang muncul paling awal. NPT memiliki keberhasilan dalam sejarah
upaya perlucutan senjata nuklir dimana mayoritas negara di dunia—190 negara—mau
bergabung dengan perjanjian multilateral ini. NPT berhasil bertahan selama lebih dari 4
dekade dengan adanya konferensi setiap 5 tahun untuk meninjau ulang apa yang telah
berhasil dicapai selama rentang waktu tersebut yang mampu memperkuat perjanjian yang
ada. Selain itu, NPT juga dapat mengumpulkan negara-negara anggotanya melalui pertemuan
setiap 25 tahun sekali untuk menentukan apakah masa berlaku traktat ini akan diperpanjang
atau tidak [ CITATION Kim12 \l 1057 ].

Perjanjian multilateral tersebut mampu mempertemukan pandangan-pandangan antara
Nuclear Weapon States (NWS) dan juga Non-Nuclear Weapon States (NNWS) terhadap isu
yang sama dengan menempatkan keduanya menjadi negara anggota NPT. Meskipun
demikian tiga negara yang juga memiliki nuklir India, Pakistan, Israel, serta Korea Utara
tidak tergabung ke dalamnya—dengan catatan Korea Utara beberapa kali keluar-masuk
5

sebagai anggota. Fakta tersebut menunjukkan kekurangan NPT yang telah berhasil
membentuk kerangka normatif antinuklir selama lebih dari 4 dekade bahwa masih belum bisa
menjadi traktat dengan keanggotaan universal [ CITATION Kim12 \l 1057 ].
Tiga poin utama yang tercantum dalam “the grand bargain” merepresentasikan norma
internasional apa yang coba didirikan oleh NPT terhadap negara-negara anggotanya. Poinpoin tersebut menyebutkan bahwa NNWS tidak boleh menginginkan kepemilikan senjata
nuklir, NWS akan mengupayakan perlucutan senjata nuklir, serta penggunaan teknologi
nuklir hanya boleh untuk tujuan-tujuan damai saja. Satu hal yang juga tercantum dalam NPT
adalah NNWS akan mendapatkan perlindungan dalam hal keamanan dari NWS atas
kepemilikan nuklirnya yang digunakan untuk tujuan-tujuan damai. Dalam konsep hegemonic
stability, hal ini merupakan salah satu cara yang digunakan oleh hegemonic power untuk
mempengaruhi negara lain agar melakukan apa yang ia inginkan serta menjadi stabilisator.
Yakni dengan menjadi benevolent leader dimana suatu aktor dapat memunculkan
ketergantungan aktor lain terhadap dirinya karena ia memiliki resources.

Meskipun NPT memiliki tujuan besar untuk melakukan perlucutan senjata, namun terdapat
hal lain yang menjadi kekurangan NPT yang harus diperhatikan. Yakni NPT tidak
menyebutkan aturan kapan tepatnya tujuan tersebut harus dapat dicapai, dengan kata lain
tidak ada penyebutan tenggat waktu yang pasti. Selain itu, pembatasan kepemilikan serta
pengurangan senjata nuklir oleh NWS juga tidak ditentukan berapa tepatnya jumlah senjata
yang harus dikurangi setiap tahunnya. Hal ini memberikan celah bagi NWS untuk menunda
atau bahkan menghindar dari keterikatan mereka dalam perjanjian ini untuk mengurangi
senjata nuklir mereka.
Kegagalan lain yang dimiliki oleh NPT adalah berkaitan dengan mekanisme konsensus yang
diterapkan di antara negara-negara anggotanya saat hendak mengambil suatu keputusan.
Mekanisme tersebut yang menyebabkan bagaimana pertemuan tiap 5 tahunan NPT hampir
selalu menemui jalan buntu. Salah satu contoh dari kegagalan ini adalah saat berlangsungnya
review conference pada tahun 2015 lalu. Ketika akan dilakukan pembahasan mengenai
kesepakatan draf akhir dokumen untuk menciptakan zona bebas senjata pemusnah masal—
salah satunya termasuk senjata nuklir—di Timur Tengah, AS bersama dengan Kanada dan
Inggris menempatkan posisi mereka menolak keputusan mayoritas negara anggota NPT.
Ketiga negara tersebut justru mendukung kepentingan Israel yang memiliki senjata nuklir
dan bahkan bukan merupakan negara anggota NPT. Keberadaan mekanisme konsensus di
6


dalam NPT membuat keputusan AS, Kanada, dan Inggris yang menolak penyetujuan
dokumen tersebut berhasil menggagalkan keputusan yang diinginkan oleh mayoritas negara
[ CITATION Jar15 \l 1057 ].
Mekanisme konsensus yang digadang-gadang sebagai mekanisme demokratis untuk
mencapai kesepakatan bersama, justru berubah menjadi mekanisme pengambilan keputusan
yang digunakan oleh negara-negara yang memiliki power lebih—dengan kepemilikan nuklir
dan dukungan dari aliansinya—untuk memblokir hasil yang diinginkan oleh sebagian besar
negara anggota. Beberapa perwakilan negara anggota kemudian mempertanyakan efektivitas
kelanjutan NPT dalam upaya mencapai perlucutan senjata nuklir; apakah traktat ini benarbenar mampu membawa ke arah dunia yang bebas senjata nuklir?
Mulai dari ketiadaan penentuan tenggat waktu yang pasti dan berapa jumlah minimum
senjata nuklir yang harus dimusnahkan oleh NWS hingga mekanisme konsensus yang ada
membuat NPT menjadi rezim antinuklir yang dibentuk atas dasar kekuatan negara
anggotanya—power based regime. Asumsi dasar dari konsep tersebut adalah suatu rezim
internasional dapat dibentuk secara efektif dan stabil apabila terdapat suatu negara yang
memiliki power, atau disebut dengan hegemon [CITATION Has \p 197 \l 1057 ].
Pembentukan rezim yang didasari dengan power negara anggotanya biasanya cenderung
menjadikan rezim tersebut sebagai perpanjangan tangan power dari negara hegemon di dalam
sistem internasional untuk dapat mempermudah upaya dalam mencapai kepentingan
nasionalnya. Seperti halnya dengan NPT alih-alih mampu mengakomodasi kepentingan
banyak negara, justru menjadi platform untuk negara yang hegemonic untuk memblokir

keputusan yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka.
Upaya Pembentukan Rezim Antinuklir yang Independen
Semenjak pertemuan review conference terakhir yang diselenggarakan NPT dan kembali
tidak menghasilkan kesepakatan apapun, status keefektifan NPT menjadi dipertanyakan oleh
banyak negara. Mayoritas negara kemudian memiliki keinginan untuk menentukan nasib
mereka sendiri untuk hidup di dunia yang bebas dari senjata nuklir tanpa dapat dihalangi oleh
kepentingan beberapa pihak saja yang diuntungkan dengan keberadaan senjata nuklir. Oleh
karena itu, pada Oktober 2015 melalui resolusi L.13/Rev.1 yang diadopsi oleh Majelis Umum
PBB, dibentuk Open-Ended Working Group on Nuclear Disarmament (OEWG) yang kedua [
CITATION Rea16 \l 1057 ]. Forum kelompok ini dibentuk untuk membuat upaya dan

7

ketentuan hukum serta norma untuk mencapai dunia yang terbebas dari senjata nuklir
[ CITATION Int163 \l 1057 ].
Working group tersebut memiliki tujuan untuk merumuskan rekomendasi untuk membentuk
instrumen hukum perlucutan senjata nuklir serta meningkatkan kesadaran akan dampak buruk
yang ditimbulkan akibat penggunaan senjata nuklir [CITATION Ach161 \p 6 \l 1057 ].
OEWG memiliki mekanisme keanggotaan yang terbuka terhadap siapa saja baik negara
maupun aktor internasional selain negara. Melalui pendekatan kemanusiaan serta
keterbukaannya, pembentukan OEWG ini didukung oleh 138 negara. Namun lima NWS (AS,
Perancis, Rusia, Cina, an Inggris) menunjukkan penolakan mereka dengan tegas. Mereka
mengatakan bahwa keberadaan OEWG ini menciderai apa yang telah dicapai oleh NPT,
namun tidak memberikan alasan lebih lanjut. Menurut mereka, status OEWG tidak benarbenar inklusif karena tidak menerapkan mekanisme konsensus dalam mengambil keputusan.
Dikatakan bahwa mereka bisa saja memposisikan diri mereka mendukung OEWG apabila
menerapkan mekanisme konsensus. Dimana sebenarnya aturan tersebut hanya akan
memberikan kesempatan bagi mereka untuk memblokir, secara kolektif maupun individu,
aksi atau keputusan yang diajukan oleh anggota lain sehingga tidak berbeda dengan
kebuntuan NPT [ CITATION Int163 \l 1057 ].
Pada pertemuan OEWG di bulan Agustus 2016, mereka berhasil mengeluarkan laporan yang
berisi draf rekomendasi untuk PBB agar melaksanakan negosiasi lanjutan guna perlucutan
senjata nuklir di tahun 2017 [ CITATION Int162 \l 1057 ]. Sebanyak 107 negara
menunjukkan dukungan mereka untuk mengadakan konferensi di tahun 2017 untuk
melaksanakan negosiasi lanjutan menuju penghapusan secara total senjata nuklir. Hingga
pada akhirnya rekomendasi ini berhasil lolos dan dibawa untuk dirundingkan oleh First
Committee pada Sidang Umum PBB.
Keberhasilan ini menunjukkan bahwa NNWS mampu mengambil bagian penting dalam
upaya pembebasan dunia dari kebuntuan perundingan antinuklir sebelumnya. Fenomena ini
merupakan upaya pembentukan rezim antinuklir yang bukan power-based, tanpa kendali dari
hegemon. Dalam kasus ini, pembahasan lebih lanjut mengenai hegemon yang dimaksud
adalah AS. Hal tersebut didukung dengan alasan-alasan kepemilikan senjata nuklirnya,
kemampuan ekonominya, kekuatannya dalam politik internasional yang ditunjukkan dengan
kepemilikan pengaruh yang besar dalam berbagai forum internasional serta aliansi yang ia
bangun dan mendapat kepercayaan dari banyak negara.
8

Sejauh ini, pembentukan rezim tersebut tanpa kehadiran kekuatan hegemon di dalamnya
dapat berjalan dengan baik dan cukup efektif. Dimulai dengan resolusi L.41 yang bertajuk
‘taking forward multilateral nuclear disarmament negotiations’, menempatkan mayoritas
negara memiliki kesempatan untuk menentukan sendiri masa depan perlucutan senjata nuklir
tanpa ada negara yang mampu memblokir hasil negosiasi nantinya [CITATION Ach16 \p 8 \l
1057 ]. Hal ini dibuktikan dengan keberhasilan mereka melaksanakan Konferensi PBB untuk
menegosiasikan perlucutan senjata nuklir pada 27 hingga 31 Maret dan 15 Juni hingga 7 Juli
2017 [ CITATION Uni17 \l 1057 ] dan mengadopsi Traktat Pelarangan Senjata Nuklir untuk
kemudian diratifikasi [ CITATION Nuc17 \l 1057 ] meski tanpa persetujuan negara-negara
yang mendukung penggunaan senjata nuklir [ CITATION Int16 \l 1057 ].
Negara-negara yang menolak resolusi L.41 dari awal adalah mayoritas negara pemilik senjata
nuklir. Mereka bersikukuh bahwa senjata nuklir memegang peranan penting untuk menjaga
keamanan mereka, sehingga tidak dapat dihilangkan begitu saja. Bagi mereka, pengadopsian
resolusi ini mengabaikan aspek keamanan [CITATION Ach161 \p 5 \l 1057 ]. Mengadopsi
resolusi berarti menyegerakan penghapusan senjata nuklir yang mana bagi mereka masih
penting keberadaannya di dalam sistem internasional yang anarkis sebagai alat untuk
deterrence. Kepemilikan senjata nuklir mampu meningkatkan kemampuan suatu negara
untuk menghalangi musuh potensial untuk berseteru dengannya. Second-strike capability
yang dimiliki oleh NWS mampu menunjukkan kepada musuh bahwa jika mereka berani
menyerang negaranya, maka mereka akan menanggung biaya (cost) dan risiko yang besar
[CITATION Lam88 \p 63 \l 1057 ].
Argumen tersebut disampaikan oleh beberapa NWS, salah satunya AS yang bahkan
menyerukan kepada negara-negara di seluruh dunia untuk melakukan hal yang sama
sepertinya—menolak resolusi yang diajukan OEWG. Seruan tersebut berhasil mempengaruhi
posisi negara-negara pemilik nuklir dan NNWS aliansi AS untuk vote ‘No’ pada resolusi
tersebut, seperti Inggris, Perancis, Israel, Jepang, Australia, Jerman, dan puluhan lainnya
[ CITATION Int164 \l 1057 ]. Bahkan ketika Konferensi PBB untuk merundingkan
perlucutan senjata nuklir berhasil dilaksanakan dua periode pada Maret dan Juni-Juli lalu, AS
berhasil mengajak kesembilan NWS beserta aliansinya untuk memboikot perundingan yang
berlangsung [ CITATION Nuc17 \l 1057 ].
Selain itu, argumen bahwa resolusi L.41 tidak benar-benar inklusif karena menganggap
konferensi yang dilaksanakan pada 27 hingga 31 Maret dan 15 Juni hingga 7 Juli lalu tidak
9

dapat mengakomodasi semua kepentingan. Estonia, Turki, Maroko adalah tiga dari beberapa
negara yang mempermasalahkan tidak diterapkannya mekanisme konsensus [CITATION
Ach161 \p 4-5 \l 1057 ]. Sedangkan Norwegia, Belanda, serta Kanada memiliki pertanyaan
apakah implementasi dari resolusi ini mampu mengarah pada penghapusan senjata nuklir
secara total ke depannya [CITATION Ach162 \p 7 \l 1057 ]. Menurut mereka, lebih baik
melanjutkan proses yang sudah ada saja yakni melalui NPT dengan review conference tiap
lima tahunnya.
Namun, ketidakhadiran mayoritas NWS serta AS sebagai hegemon di dalam negosiasi
lanjutan 2017 tersebut tidak menghalangi upaya pembentukan rezim antinuklir ini. Pasalnya,
di antara 135 yang mengikuti perundingan tersebut tidak ada NWS beserta aliansinya yang
turut hadir. Hanya Belanda yang merupakan negara aliansi NWS yang mengikuti
perundingan tersebut dan memilih untuk menolak pengadopsian Traktat Pelarangan Senjata
Nuklir [ CITATION Rea17 \l 1057 ].

Signifikansi Keberadaan Hegemonic Power dalam Negosiasi Lanjutan Perlucutan
Senjata Nuklir 2017
Dokumen asli dari resolusi L.41 yang telah diadopsi oleh PBB pada Oktober 2016 lalu berisi
pemaparan mengenai tujuan yang ingin dicapai oleh OEWG beserta negara-negara anggota
yang menyetujui resolusi ini. Resolusi L.41 mengundang secara terbuka seluruh negara serta
organisasi internasional untuk sadar akan bahaya dari senjata nuklir dan mau menghadiri
konferensi di tahun 2017 untuk merundingkan pembuatan instrumen hukum yang mengikat
demi tercapainya perlucutan total senjata nuklir. Konferensi tersebut merupakan bentuk
komitmen lanjutan dari apa yang telah dicapai negara-negara melalui NPT.
Publikasi resmi atas dokumen resolusi tersebut yang dikeluarkan oleh PBB pada tanggal 14
Oktober 2016 [ CITATION Uni161 \l 1057 ] memang telah mencantumkan tujuan umum,
penetapan tanggal, serta menunjukkan bahwa negosiasi 2017 akan dilaksanakan secara
inklusif. Namun tidak ditemukan seruan khusus yang mengundang NWS agar hadir dan turut
berkontribusi dalam tindak lanjut pembentukan rezim antinuklir ini. Semua negara yang
disebut dalam resolusi tersebut dianggap setara, dimana tidak membedakan antara NWS dan
NNWS, maupun anggota Dewan Keamanan PBB, atau bahkan penyebutan khusus AS
sebagai negara yang memiliki power besar yang cukup untuk menularkan pengaruhnya
kepada negara-negara lain dalam forum internasional.
10

Oleh karena resolusi L.41 tidak mencantumkan secara tegas keharusan keikutsertaan NWS
dalam pembentukan instrumen hukum perlucutan senjata nuklir ini, maka NWS maupun
aliansinya memilih untuk tidak menyetujui proses ini. Termasuk AS yang merupakan negara
yang berpengaruh di dunia internasional. Di dalam konferensi perlucutan senjata nuklir
periode kedua, AS bahkan berhasil memimpin NWS lainnya untuk memboikot upaya
pengadopsian traktat pelarangan senjata nuklir. Hal ini berimplikasi pada ketidakterikatan
NWS yang seharusnya menjadi objek utama Traktat tersebut, karena Traktat tersebut hanya
mengatur dan mengikat negara-negara yang menyetujui isinya [ CITATION Int17 \l 1057 ].
Sehingga rezim antinuklir menjadi kurang efektif. Tujuan penghapusan total senjata nuklir
sulit untuk dicapai karena kemungkinan besar NWS yang tidak menjadi bagian dari Traktat
tetap menyimpan senjata mereka.
AS dapat dikatakan sebagai sebuah hegemon karena negara tersebut kuat secara politik,
kondisi perekonomian yang tidak terlalu buruk—dengan tingkat pertumbuhan PDB terakhir
di angka 3,2 [ CITATION Tra161 \l 1057 ], keamanan negara tersebut juga dapat
dibanggakan dan menjadi bargaining leverage tersendiri dengan statusnya sebagai NWS
dengan persenjataan nuklir di darat, air, dan udara yang siap diluncurkan kapan saja
[ CITATION Bus16 \l 1057 ], serta relasi dengan aliansinya di seluruh dunia. Ia mampu
menjalankan perannya dengan menggunakan resources yang ia miliki untuk mengarahkan
perilaku dan keputusan yang diambil oleh negara-negara lain di dunia [CITATION Lyt97 \p
42 \l 1057 ]. Keputusan AS serta himbauannya untuk negara-negara lain agar tidak
mendukung adopsi resolusi L.41 dan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir berhasil membuat
negara sekutunya dan beberapa negara lain mengambil keputusan yang sama dengannya. Hal
ini menunjukkan kemampuannya sebagai hegemonic power untuk mempengaruhi keputusan
aktor lain.
Sayangnya kemampuan hegemonic tersebut tidak diterapkan AS di dalam rezim antinuklir.
Sehingga setelah Traktat Pelarangan Senjata Nuklir diadopsi, tidak ada suatu aktor yang
memimpin yang mampu menciptakan kestabilan di dalam rezim tersebut dengan power yang
dimilikinya. Tidak ada yang dapat cukup kuat dan cukup berpengaruh untuk menyampaikan
seruan kepada negara anggota lainnya untuk patuh (comply) dengan aturan rezim yang ada.
Padahal kemampuan tersebut penting untuk menunjang keberhasilan pencapaian tujuan
rezim. Keberadaan hegemonic power signifikan di dalam pembentukan rezim antinuklir ini,
sebagaimana argumen-argumen yang telah disebutkan sebelumnya. Namun ternyata di dalam
dokumen asli resolusi L.41 maupun draf Traktat Pelarangan Senjata Nuklir tidak ada
11

penegasan khusus mengenai pentingnya kehadiran hegemonic power, atau secara khusus
disebut dengan NWS.

Stabilitas Rezim Antinuklir Internasional tanpa Kehadiran Hegemonic Power
Ketika berbicara mengenai pembentukan rezim antinuklir internasional yang didasarkan oleh
power, maka aktor yang menjadi hegemonic power itu sendiri harus ditentukan. Penyebutan
AS sebagai kekuatan hegemon bukanlah suatu hal yang salah. Selain karena AS merupakan
negara yang memiliki senjata nuklir, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, ia memiliki
kondisi perekonomian yang kuat. Meskipun beberapa tahun terakhir ini Cina muncul sebagai
kekuatan perekonomian baru yang dapat mengalahkan kekuatan AS [ CITATION Che15 \l
1057 ], namun hal itu tidak akan banyak berpengaruh pada status AS sebagai kekuatan
dominan.
Terlepas dari tingkat pertumbuhan ekonomi serta pendapatan per kapita maupun jumlah
persenjataan maupun awak tentara, AS memiliki power dominan di dunia internasional dari
kemampuannya untuk mempengaruhi keputusan serta memperoleh kepercayaan dari aktor
lain. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya aliansi yang dimiliki oleh AS yang menjadikannya
berkuasa atas air, udara, jaringan pesawat telekomunikasi, serta cyberspace di dunia
[ CITATION Bab15 \l 1057 ]. AS juga memiliki kemampuan untuk memimpin, dimana
seringkali ia menjadi inisiator hukum internasional dan membuat negara-negara lain
mematuhi hukum tersebut, namun ia juga bisa dengan sendirinya ingkar terhadap hukum
yang telah ia prakarsai [ CITATION Whi14 \l 1057 ]. Hal ini menunjukkan kelebihan AS dan
yang membuatnya pantas disebut sebagai aktor hegemon, yakni memiliki legitimasi.
Kemampuan AS sebagai kekuatan hegemon tersebut tentu menjadi penting demi kesuksesan
pembentukan rezim internasional. Meskipun faktanya perundingan inklusif pembentukan
rezim antinuklir internasional 2017 tidak ada dukungan dari negara hegemon. Padahal untuk
memastikan agar rezim yang terbentuk dapat berlangsung atau bertahan lama, diperlukan
adanya satu aktor yang kuat yang mampu untuk menjaga stabilitas di dalam rezim tersebut.
Stabilitas dalam suatu rezim dapat diukur dengan tingginya tingkat compliance yang
ditunjukkan oleh negara-negara anggotanya.
Suatu rezim dapat bertahan lama keberadaannya apabila didukung dengan kepatuhan negaranegara anggotanya terhadap hukum yang telah disepakati bersama sehingga tercipta suatu
kondisi yang stabil. Di dalam pembentukan rezim internasional power-based, kestabilan
12

merupakan hasil dari ketersediaan public goods oleh aktor hegemon demi menangani
transaction cost yang dikeluarkan demi membentuk suatu kooperasi [CITATION Has04 \p 37
\l 1057 ]. Dalam kasus ini, transaction cost yang dimaksud adalah keharusan dimana NWS
untuk melucuti semua senjata nuklir yang mereka miliki. Sementara public goods yang
disediakan oleh hegemon untuk menanggulangi konsekuensi dari transaction cost tersebut
adalah jaminan bahwa negara-negara lain juga patuh terhadap peraturan yang telah dibentuk
bersama untuk tidak lagi memiliki senjata nuklir.
Public goods dapat diwujudkan berupa mekanisme transparansi, dimana semua negara
anggota melaporkan kepemilikan senjata nuklirnya. Sedangkan jika ada negara yang ingkar,
akan diberikan sanksi. Seruan untuk transparansi akan efektif ketika suatu hegemon yang
menyampaikannya, mengingat hegemon memiliki pengaruh yang besar. Dengan demikian,
negara-negara anggota tidak lagi mempermasalahkan mengenai security dilemma akibat
adanya kemungkinan anggota yang mengingkari kesepakatan. Sementara di dalam Traktat
Perlucutan Senjata Nuklir 2017 yang diadopsi oleh PBB tersebut tidak memiliki mekanisme
verifikasi [ CITATION Uni17 \l 1057 ] yang membantu menjaga kepatuhan anggota dan
menciptakan kestabilan rezim.
Dari penjelasan mengenai peran hegemon yang penting sebagai stabilisator dengan
menyediakan public goods, dapat dilihat dengan jelas bahwa keberadaan hegemon di dalam
rezim antinuklir internasional ini penting. Salah satu peran mendasar yang diperlukan dari
kehadiran AS sebagai hegemon adalah kemampuannya untuk menggiring dukungan negaranegara anggota terhadap penegakan hukum bersama. Kepatuhan dapat dibentuk dengan
membangun rasa saling percaya di antara anggota tersebut. Sementara untuk memastikan
kepatuhan tersebut ada, harus ada penjamin yang kuat baik itu berupa suatu aturan legal
maupun keberadaan hegemon sendiri yang bisa mempengaruhi perilaku dan pilihan negara
anggota lainnya dengan menetapkan standar perilaku. Suatu hegemon yang memiliki
pengaruh yang besar di dunia internasional dan memiliki banyak aliansi akan mudah untuk
menyerukan kepada negara-negara anggota lainnya untuk patuh dan cenderung mudah untuk
mendapatkan kepercayaan mereka karena legitimasi yang ia miliki.
Konsep hegemonic stability, yang menjelaskan bagaimana suatu rezim dapat bertahan lama
dan cenderung lebih mudah mencapai tujuan jika terdapat hegemonic power di dalamnya
yang menjadi stabilisator, memang benar adanya. Namun, untuk mencapai pembentukan
rezim yang efektif sebagaimana dituliskan dalam konsep tersebut, selain kehadiran, juga
13

dibutuhkan kemauan dari aktor hegemon itu sendiri untuk mendukung rezim yang akan
dibentuk. Karena meskipun hegemon telah hadir di dalam suatu rezim internasional namun
jika posisinya tidak memihak pada keberhasilan yang diimpikan oleh mayoritas negara, maka
rezim tidak dapat menjadi stabil. Sebagaimana dicontohkan dalam NPT dimana telah terlihat
keterlibatan AS sebagai hegemon di dalamnya namun selalu menemui deadlocks karena
posisi hegemon yang tidak mendukung tujuan rezim tersebut. Sementara pada dokumen awal
resolusi L.41 yang diadopsi oleh PBB tidak dicantumkan secara khusus pentingnya kehadiran
AS sebagai hegemon dan NWS lainnya, demi keberlangsungan rezim ini.
Kesimpulan
Pengadopsian resolusi L.41 dan Traktat Pelarangan Senjata Nuklir 2017 merupakan suatu
inisiatif baru yang berhasil dilaksanakan oleh mayoritas negara untuk membebaskan dunia
dari kepentingan-kepentingan politik yang menginginkan untuk tetap mempertahankan
keberadaan senjata nuklir. Pemaparan yang telah dituliskan dalam makalah ini menunjukkan
suatu kesimpulan bahwa peran aktor yang hegemon di dalam suatu rezim untuk mendukung
pencapaian tujuan rezim tersebut memang penting. Dibutuhkan adanya aktor yang mampu
secara kuantitatif maupun kualitatif untuk mempengaruhi perilaku aktor lain agar sejalan
dengan apa yang ia inginkan untuk membuat suatu rezim berjalan dengan efektif. Sehingga
anggota rezim akan tetap patuh pada aturan yang berlangsung dan kestabilan terjaga.
Inisiatif pendekatan baru untuk membentuk rezim antinuklir tersebut memang telah
membebaskan negara-negara dari jalan buntu dan ketidakpastian dari perundinganperundingan antinuklir selama ini. Mayoritas negara telah menyatakan dukungannya untuk
mengukuhkan traktat tersebut sebagai suatu instrumen hukum yang mengikat. Namun apabila
upaya ini tetap akan dijalankan tanpa mempedulikan keberadaan aktor hegemon yang terlibat
maupun tidak, maka tidak ada jaminan bahwa rezim ini akan berhasil mencapai tujuan
utamanya, yakni penghapusan senjata nuklir secara total, secara efektif. Rezim antinuklir
yang terbentuk cenderung tidak berkelanjutan.

Daftar Pustaka
14

Acheson, R. (2016). First Committee Briefing Booklet. New York: Reaching Critical Will.
Acheson, R. (2016). First Committee Monitor 2016 No. 3. New York: Reaching Critical Will.
Acheson, R. (2016). First Committee Monitor 2016 No. 4. New York: Reaching Critical Will.
Babones, S. (2015, June 11). American Hegemony is Here to Stay. Retrieved December 6, 2016, from
National Interest: http://nationalinterest.org/feature/american-hegemony-here-stay-13089
Business Insider. (2016, September 28). How the US's Nuclear Weapons Compare to Russia's.
Retrieved December 5, 2016, from http://www.businessinsider.co.id/us-vs-russia-nuclearweapons-2016-9/?r=US&IR=T#f6AWVwoVkjzpyCZb.97
Chen, D. (2015, January 14). Relax, China Won't Challenge US Hegemony. Retrieved December 6,
2016, from http://thediplomat.com/2015/01/relax-china-wont-challenge-us-hegemony/
Hasenclever, A., Mayer, P., & Rittberger, V. (2004). Theories of International Relations. New York:
Cambridge University Press.
Hasenclever, A., Mayer, P., & Rittberger, V. (n.d.). Interest, Power, Knowledge: The Study of
International Regimes. Marshon International Studies, 40(2), 177-228.
International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (2016, October 18). Australia's Opposition to a
Nuclear

Weapon

Ban.

Retrieved

November

2016,

2016,

from

http://www.icanw.org/campaign-news/australias-opposition-to-a-nuclear-weapon-ban/
International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (2016, October 27). Full Voting Result on UN
Resolution L.41. Retrieved December 4, 2016, from http://www.icanw.org/campaignnews/results/
International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (2016, February 15). New UN Working Group
on

Nuclear

Disarmament.

Retrieved

December

5,

2016,

from

http://www.icanw.org/campaign-news/new-un-working-group-to-discuss-elements-for-atreaty-banning-nuclear-weapons/
International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (2016, October 25). Updates from the First
Committee of the UNGA. Retrieved December 4, 2016, from http://www.icanw.org/campaignnews/live-updates-from-the-first-committee-of-the-un-general-assembly/
International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (2017, July 7). About the Treaty to Prohibit
Nuclear Weapons. Retrieved July 23, 2017, from http://www.icanw.org/campaignnews/about-the-treaty-to-prohibit-nuclear-weapons/
15

International Campaign to Abolish Nuclear Weapons. (n.d.). ICAN at the OEWG. Retrieved December
5, 2016, from http://www.icanw.org/oewg-2016/
Jaramillo, C. (2015, June 3). NPT Review Conference: No Outcome Document Better than a Weak
One.

Retrieved

December

4,

2016,

from

Bulletin

of

the

Atomic

Scientist:

http://thebulletin.org/npt-review-conference-no-outcome-document-better-weak-one8366
Kimball, D. (2012, August). The Nuclear Nonproliferation Treaty (NPT) at a Glance. Retrieved
December

4,

2016,

from

Arms

Control

Association:

https://www.armscontrol.org/factsheets/nptfact
Kindleberger, C. P. (1973). The World in Depression 1929-1939. Los Angeles: University of
California Press.
Lamb, C. J. (1988). How to Think About Arms Control, Disarmament, and Defense. New Jersey:
Prentice-Hall Inc.
Lytle, C. G. (1997). A Hegemonic Interpretation of Extraterritorial Jurisdiction in Antitrust: From
American Banana to Hartford Fire. International Law and Commerce, 24(41), 41-75.
Nuclear Threat Initiatives. (2017, July 13). Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons. Retrieved
July 23, 2017, from http://www.nti.org/learn/treaties-and-regimes/treaty-on-the-prohibitionof-nuclear-weapons/
Reaching Critical Will. (n.d.). Open-ended Working Group on Nuclear Weapons. Retrieved November
3, 2016, from http://www.reachingcriticalwill.org/disarmament-fora/oewg
Reaching Critical Will. (n.d.). UN Adopts Treaty Banning Nuclear Weapons! Retrieved July 23, 2017,
from

http://www.reachingcriticalwill.org/news/latest-news/11788-un-adopts-treaty-banning-

nuclear-weapons
Trading Economics. (n.d.). United States GDP Annual Growth Rate. Retrieved December 5, 2016,
from http://www.tradingeconomics.com/united-states/gdp-growth-annual/forecast
UKEssays. (2015, March 23). The Hegemonic Stability Theory Politics Essay. Retrieved November 3,
2016, from https://www.ukessays.com/essays/politics/the-hegemonic-stability-theory-politicsessay.php
United Nations. (2017, July 7). Conference to Negotiate Legally Binding Instrument Banning Nuclear
Weapons Adobts Treaty by 122 Votes in Favour, 1 Against, 1 Abstention. Retrieved July 23,
2017,

from

United

Nations

Meeting

Coverage

and

Press

Release:

https://www.un.org/press/en/2017/dc3723.doc.htm
16

United Nations General Assembly. (2016). General and Complete Disarmament: Taking Forward
Multilateral Nuclear Disarmament Negotiations. New York: United Nations.
United Nations. (n.d.). Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons. Retrieved December 4,
2016,

from

United

Nations

Office

for

Disarmament

Affairs:

https://www.un.org/disarmament/wmd/nuclear/npt/
Webb, M. C., & Krasner, S. D. (1989). Hegemonic Stability Theory: An Empirical Assessment.
Review of International Studies, 15(2), 183-198.
White, T. (2014, January 23). Why U.S. Hegemony is Here to Stay. Retrieved December 6, 2016, from
The Huffington Post: http://www.huffingtonpost.com/thomas-white/why-us-hegemony-ishere-t_b_4258264.html

17