DILEMA PNS DALAM PILKADA

F. DILEMA PNS DALAM PILKADA

Setelah 15 tahun reformasi politik ketatanegaraan berlangsung, termasuk di dalamnya upaya besar mereformasi birokrasi, ternyata harapan tentang netralitas ini masih jauh panggang dari api. Tujuan reformasi birokrasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 yaitu menciptakan birokrasi pemerintah yang profesional dengan karakteristik antara lain netral, masih jauh dari harapan. Buktinya dalam berbagai perhelatan demokrasi, baik pileg, pilpres maupun pilkada, banyak laporan yang masuk tentang keterlibatan dirinya dalam mendukung salah satu peserta pemilu atau pilkada.

Di daerah yang sedang berlangsung pilkada dan kepala daerah atau wakilnya menjadi ketua parpol, tak pelak lagi membuat posisinya sangat dilematis. Ketika sang bos sama-sama maju dalam pilkada dengan posisi berseberangan, yaitu diusung oleh parpol atau gabungan parpol yang berbeda, tak ayal lagi terjadi polarisasi PNS yang luar biasa. Dengan berbagai cara, masing-masing mengupayakan agar mesin birokrasi pemerintah dapat mendulang suara bagi kemenangannya. Bahkan mobilisasi aparatur beserta jaringannya terjadi dengan kasat mata. Dalam pilkada saat ini, sebagaimana dikemukakan anggota Bawaslu, Nasrullah, terdapat lima sekretaris daerah dan dua kepala dinas di tujuh daerah terindikasi melibatkan massa, yang sebagian besar ASN untuk mendukung calon kepala daerah tertentu (Kompas, 4 November 2015). Kalau sudah begitu, efektivitas pemerintahan daerah dalam pelayanan publik dan tugas-tugas pembangunan tentu saja terganggu.

Fenomena “pecah kongsi” bukan saja telah menghambat jalannya pemerintahan pada level top management pemerintahan daerah, tetapi juga terbelahnya birokrasi. Untuk mendapatkan simpati publik, di daerah yang kepala daerah dan wakil kepala daerahnya sama-sama maju dalam kompetisi pilkada tapi tidak dalam perahu yang sama acapkali terjadi rebutan hal-hal kecil, misalnya sekedar untuk menghadiri acara di tingkat desa atau kelurahan. Hal ini berlangsung jauh sebelum perhelatan demokrasi dimulai,

yaitu ketika keduanya sudah merasa tidak cocok lagi berpasangan untuk masa jabatan lima tahun berikutnya. Orientasi PNS sebagai abdi negara dan masyarakat telah bergeser menjadi abdi penguasa daerah. Pelayanan publik sebagai salah satu fungsi pemerintah yang terganggu sangat jelas berkonsekuensi kepada kian jauhnya kesejahteraan rakyat terwujud.

Bukan rahasia lagi bahwa perhelatan demokrasi langsung oleh rakyat berupa pilkada yang digelar se-Indonesia mulai tahun 2005 telah menegaskan politisasi birokrasi ini. Politisasi birokrasi menurut Umar Ibnu Alkhatab, Kepala Ombudsman Provinsi Bali, bisa terjadi bilamana tidak ada pengawasan yang intensif. Pembelahan politik pada tubuh birokrasi akan berdampak pada kurang maksimalnya pelayananan publik (Media Indonesia, 24 Agustus 2015). Kalau sudah begini, tentu saja PNS akan selalu berada pada posisi sulit. Ini terutama dirasakan oleh mereka yang menduduki jabatan teritorial seperti camat dan lurah, atau jabatan yang gemuk aparatur seperti kepala dinas pendidikan dan kepala dinas kesehatan. Ada semacam target yang dibebankan kepada mereka agar sang bos menjadi pemenang pilkada di daerah tempatnya bertugas. Tentu saja “instruksi” ini membawa konsekuensi yang akan menentukan nasibnya selaku bawahan. Bagi mereka, bila tidak mengikuti instruksi sang pimpinan sama saja dengan siap untuk mengakhiri karier sebagai pejabat. Sebaliknya patuh pada perintah, sangat beresiko tinggi karena akan terkena kartu merah panwas. Ibarat makan buah simalakama, bila maju akan kena, mundurpun bakal kena.

Kepala Daerah yang notabene ketua parpol, dengan berbagai kiat memobilisasi sumber- sumber daya organisasi bagi kepentingannya. Kampanye terselubung berkedok agenda pemerintah rutin acapkali digunakan. Aneka ragam kegiatan digelar untuk menyiasati ketentuan larangan kampanye. Terjadi kucing- kucingan antara aparatur pemerintah dengan perangkat panwas. Fenomena ini lebih banyak menjelaskan betapa merananya keseharian PNS di masa pemilu atau pilkada. Sangat mungkin terjadi kamuflase berbagai program kegiatan yang didanai APBD berkedok kepentingan publik, padahal hanya untuk memuluskan ambisi kekuasaan sang patron.

Watak netral yang diharapkan muncul dalam setiap gerak langkah aparatur birokrasi Watak netral yang diharapkan muncul dalam setiap gerak langkah aparatur birokrasi

daerah pada pilkada serentak ini, PNS akan petinggi negara. Dirinya selalu berada pada

lebih banyak berposisi dependen. Dirinya akan posisi tidak berdaya ketika harus berhadap-

sangat merasa aman apabila mengambil posisi hadapan dengan berbagai kekuatan politik

“asal bapak senang” atau merasa tak peduli terutama jelang perhelatan demokrasi yang

atau tak berdaya, terutama ketika pimpinan namanya pemilu atau pilkada. Secara sosiologis

daerahnya menjabat ketua parpol. dapat dipahami, bila PNS diperalat oleh pejabat

Sebagai bagian dari pegawai ASN, PNS publik pemerintahan daerah sebagai instrumen

mustahil akan terbebas dari pengaruh dan dalam pemenangan pemilu atau pilkada. Karena

intervensi semua golongan dan parpol, bila pada sebagian warga masyarakat ia masih

tidak ada konsistensi berbagai pihak di luar dipandang sebagai “panutan”, sehingga akan

dirinya untuk menaati ketentuan tentang selalu menjadi referensi tentang pilihan politik

netralitas birokrasi. Dirinya sebagai pelaksana warga masyarakat sekitarnya.

kebijakan publik, pelayan publik serta perekat Fakta ini memang sungguh ironis, karena

dan pemersatu bangsa sebagaimana disebut pada sisi yang lain dirinya tetap dituntut untuk

dalam Pasal 10 UU Nomor 5 Tahun 2014, hanya bisa tampil sebagai aparatur pemerintah yang

akan menjadi harapan utopis belaka. melayani publik, sehingga tak ubahnya ibarat

Oleh karena itu, perhatian seksama mesti sapi perahan. Netralitas birokrasi kita, menurut

diarahkan kepada berbagai pihak untuk dapat Mulyadi, masih terasa “jauh api dari panggang”.

memastikan agar pilkada serentak tahun Birokrasi masih terlalu kuat diintervensi oleh

ini benar-benar mampu menempatkan PNS elit politik yang memerintah, sehingga birokrat

sebagai aparatur birokrasi pemerintahan yang dan birokrasinya lebih cenderung bekerja

netral. Hal ini berarti penyelenggaraan pilkada melayani kekuasaan dari pada pelayanan,

serentak akan berkontribusi terhadap kualitas bahkan menempatkan dirinya sebagai penguasa

demokrasi di tingkat lokal yang lebih baik. dan memperlakukan para pengguna jasanya

Berbagai pihak yang diharapkan berperan sebagai objek pelayanan yang membutuhkan

dalam hal ini diantaranya adalah: bantuannya (2010: 95).

Dalam pelaksanaan tugas-tugas a. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)

pemerintahan, pembangunan dan pelayanan Tumpuan besar terletak pada KASN yang publik, tentu saja politisasi birokrasi ini

diantaranya menurut ketentuan Pasal 31 Ayat sangat merugikan. Publik sebagai pemilik

(1) Undang-Undang ASN bertugas menjaga sah kedaulatan di republik ini tidak terlayani

netralitas pegawai ASN. Sebagai lembaga hak-haknya karena PNS sebagai pelayan telah

nonstruktural yang mandiri dan bebas dari terkontaminasi kepentingan politik. Pada

intervensi politik, ia menjadi darah segar bagi titik inilah netralitas PNS menemukan makna

reformasi birokrasi. Salah satu kewenangannya pentingnya. Ini menjadi perhatian serius,

sebagaimana diatur dalam Pasal 32 Ayat terbukti diantaranya dengan disebutnya tidak

(1) adalah mengawasi dan mengevaluasi kurang dari lima kali istilah netral dan netralitas

penerapan asas, nilai dasar, serta kode etik dan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014

kode perilaku pegawai ASN. Harapan besar sebagai sesuatu yang harus melekat pada diri

publik tertuju kepada pundak lembaga yang PNS.

belum genap berusia setahun ini untuk dengan konsisten menegakkan berbagai peraturan

G. DuKuNGAN uNTuK NETRALITAS

perundang-undangan untuk terwujudnya

PNS

netralitas PNS sebagai salah satu unsur pegawai ASN. Jangan sampai lembaga yang lahir dari

Kosa kata “netral”, “netralitas”, dan “bebas dari intervensi politik” sebagai titah

spirit reformasi birokrasi ini ibaratnya macan ompong yang tidak bisa mengurai benang kusut

Undang-Undang ASN yang melekat pada PNS sebagai pegawai ASN tentu saja akan efektif bila

keaparaturnegaraan di republik ini. Unjuk kerja dan berbagai terobosan mesti dilakukan untuk

didukung oleh berbagai pihak. Sangat mungkin, efektivitas ini justru sangat besar tergantung

membereskan berbagai karut marut birokrasi selama ini, yang salah satu biang masalahnya

pada konsistensi pihak lain di luar dirinya. Untuk adalah ketidaknetralan aparatur.

Jurnal

Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Biarkanlah PNS bisa tenang dan fokus bekerja,

Pejabat publik yang pada hakekatnya merupakan pemimpin puncak birokrasi di

tidak dibebani oleh berbagai macam intervensi. Kesadaran dan konsistensi ini semakin penting

daerah (gubernur, bupati, walikota) termasuk wakilnya wajib mendukung langkah besar ini.

mengingat bahwa dari waktu ke waktu publik semakin cerdas dalam menentukan pilihan

Sudah saatnya politisasi birokrasi dihentikan karena bukan saja merusak citra sebagai aparatur

ketika pilkada berlangsung. Sebagai contoh, tidak sedikit berbagai bentuk aktivitas yang

negara tetapi juga merugikan kepentingan publik. PNS jangan lagi terus menerus dijadikan

dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap larangan kampanye berupa menjanjikan dan

sapi perahan untuk mengais keuntungan politik. Meskipun peraturan perundangan-undangan

atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, kenyataannya

saat ini memberikan hak kepada pejabat publik tertentu untuk terlibat sebagai tim kampanye,

tidak mampu mempengaruhi keputusan politik rakyat di tempat pemungutan suara.

tetap saja ada rambu-rambu lain yang mesti dipatuhi.

Dengan demikian, elit partai yang secara kebetulan menjadi kepala daerah atau wakil

Demikian pula Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 mengatur bahwa gubernur, bupati,

kepala daerah petahana yang maju kembali sebagai calon dalam pilkada mesti sadar betul

dan walikota yang menjadi peserta pilkada dalam melaksanakan kampanye tidak boleh

untuk tidak sekali-kali memobilisasi aparatur birokrasi, baik secara eksplisit maupun implisit,

menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. Pejabat negara dilarang membuat

untuk kepentingan politiknya. Tidak sedikit fakta di beberapa daerah menunjukkan dalam

keputusan dan/tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon

10 tahun masa pilkada selama ini, beberapa pejabat petahana ternyata tidak berhasil

selama masa kampanye. Keteladanan pemimpin dengan tidak memobilisasi aparatur pemerintah

menjadi calon terpilih padahal dirinya sudah all out menghadapinya.

dalam kontestasi pilkada mesti menjadi bagian integral dalam mendukung reformasi birokrasi.

Sebagai aktivis parpol dirinya mesti sadar dan mafhum bahwa sesuai ketentuan Pasal

Keberhasilan pembenahan birokrasi menurut Mariana akan sangat ditentukan oleh peran

13 huruf d Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, bahwa salah satu

pemimpin atau pejabat tinggi birokrasi (2010: 3). Sebagai pejabat publik, mereka seharusnya

kewajiban partai politik adalah menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi dan hak

sadar dan mafhum benar terhadap ketentuan Pasal 67 huruf c Undang-Undang 23 Tahun 2014

asasi manusia. Dengan demikian di daerah yang bersangkutan tidak terjadi upaya untuk

tentang Pemerintahan Daerah bahwa kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah

menjunjung tinggi demokrasi ketika dirinya sebagai elit parpol yang sekaligus juga sebagai

mengembangkan kehidupan demokrasi. Bukan demokrasi yang berkembang namanya bila di

kepala daerah atau wakil kepala daerah petahana merekayasa berbagai aktivitas pemerintahan

daerahnya justru terjadi praktik-praktik politik yang menodai kehidupan berdemokrasi dengan

yang menggiring PNS sebagai aparatur birokrasi untuk mendukung kemenangannya

cara memobilisasi aparatur birokrasi untuk kemenangannya sebagai peserta pilkada.

sebagai peserta pilkada. Demokrasi bukan dijunjung tinggi malahan yang terjadi ialah

c. Elit Parpol

pembusukan nilai-nilai demokrasi. Salah satu tahapan pilkada yang sangat

d. Inspektorat Daerah

menguras energi dan menyita perhatian, bukan Sebagai salah satu unsur perangkat daerah saja peserta pilkada tapi juga penyelenggara yang bertugas membantu kepala daerah dalam dan aparat keamanan adalah masa kampanye. membina dan mengawasi pelaksanaan berbagai Dalam konteks ini sangat penting adanya urusan pemerintahan sebagaimana diatur kesadaran dan konsistensi elit pengurus parpol dalam ketentuan Pasal 216 Undang-Undang untuk tidak mengikutsertakan PNS dalam Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan kegiatan kampanye. Karena sudah sangat jelas Daerah, Inspektorat Daerah punya peran hal itu diatur dalam ketentuan Pasal 70 Ayat yang sangat penting dalam turut mendukung

Jurnal

Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015

serentak pada tahun ini tentu saja akan merupakan subordinat dari pimpinan daerah

menguras energi bagi jajaran pengawas di yang secara kebetulan sedang menjadi peserta

setiap tingkatan, yang berbeda dengan ketika pilkada, jangan sedikitpun ragu apalagi takut

pilkada tidak dilakukan secara serentak dalam untuk melakukan langkah-langkah represif

kurun waktu 10 tahun terakhir. sesuai ketentuan kepegawaian negara demi

Dalam konteks ini, strategi pengawasan upaya besar ini.

yang bersifat preventif tentu seyogyanya Tentu saja sangat penting dilakukan

menjadi prioritas garapan sehingga berbagai berbagai upaya preventif supaya PNS sebagai

peluang dan potensi pelanggaran pilkada dapat pegawai ASN ini terhindar dari berbagai

diidentifikasi secara lebih dini. Komunikasi, pelanggaran khususnya pada masa kampanye.

koordinasi, dan konsultasi mesti dilakukan Berbagai inovasi dan langkah terobosan mesti

secara intensif untuk meyakinkan semua dilakukan oleh Inspektorat Daerah untuk

pihak khususnya peserta pilkada untuk tidak memastikan bahwa PNS tidak tergiring atau

menggiring PNS demi kepentingan politiknya. digiring untuk kepentingan politik pasangan

Langkah-langkah supervisi kepada seluruh calon manapun dalam pilkada, terlebih-lebih

jajaran pengawas yang menjadi subordinatnya kepentingan calon yang sedang menjabat kepala

mesti dilakukan secara konsisten untuk daerah.

memastikan bahwa mereka tetap melaksanakan tugas sesuai garis kebijakan organisasi.

e. KPu dan KPu di Daerah

Tidak dapat dipungkiri bahwa Sebagai penyelenggara pemilu dan pilkada,

pelanggaran terhadap berbagai tahapan KPU dan KPU di daerah (KPU Provinsi, KPU

penyelenggaraan pilkada selama ini, secara Kota dan Kabupaten) punya peran penting dalam

terbuka atau terselubung, langsung ataupun turut mendorong terciptanya suasana kondusif

tidak langsung, sering terjadi di berbagai daerah. bagi terwujudnya netralitas PNS sebagai

Berbagai langkah represif sebagai tindak lanjut aparatur birokrasi. Meskipun Undang-Undang

adanya temuan dan laporan adanya dugaan Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara

pelanggaran harus dengan sigap dan segera Pemilu tidak secara khusus mengatur tentang

ditangani oleh jajaran pengawas pilkada sesuai tugas, wewenang, dan kewajibannya dalam

tingkatannya.

mewujudkan netralitas ini, tetapi secara moral Dalam konteks ini, integritas para ada yang dapat dilakukan untuk itu.

pengawas sangat dipertaruhkan, karena dapat Sebagai langkah preventif, misalnya

saja muncul sikap dan perilaku “ewuh pakewuh” mereka bisa mengingatkan kepada Ketua

terhadap para terduga pelaku pelanggaran yang Korp Pegawai RI (KORPRI) di masing-masing

secara kebetulan sedang menjadi kepala daerah tingkatan daerah untuk konsisten dalam

atau wakil kepala daerah petahana. Kerisauan memelihara netralitas ini. Pasal 6 huruf h Pasal

terhadap integritas pengawas pilkada ini, makin

8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 bertambah ketika belum lama ini mahkamah tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik

konstitusi mengabulkan uji materi terhadap PNS, serta Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor

ketentuan larangan adanya apa yang oleh

53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS sudah banyak kalangan disebut sebagai politik dinasti. secara tegas mengatur hal ini.

Dengan kata lain pengawas pilkada di masing- masing tingkatan akan menjadi salah satu pilar

f. Bawaslu dan Pengawas Pilkada di Daerah

sangat penting bagi kualitas demokrasi saat ini dan di masa depan.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Bawaslu Provinsi serta Panwaslu Kabupaten/

g. Masyarakat Sipil (Civil Society)

Kota sampai dengan jajaran pengawas terbawah, sesuai ketentuan Pasal 73 s.d. Pasal 82

Dalam penyelenggaraan pilkada ini tak pelak lagi keberadaan unsur-unsur masyarakat

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, secara jelas mempunyai

sipil atau masyarakat madani sangat strategis dan menentukan dalam turut mengawal agar

tugas untuk mengawasi penyelenggaraan pemilu, termasuk pilkada sesuai tingkatannya.

berjalan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi. Dalam kaitan ini, unsur perguruan tinggi, LSM,

Jurnal

Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi

h. Penutup

adat dan agama serta elemen masyarakat Masa depan demokrasi dalam

strategis lainnya dituntut sikap proaktif untuk pemerintahan daerah melalui penyelenggaraan memastikan bahwa PNS sebagai unsur pegawai

pilkada serentak saat ini benar-benar dalam ASN benar-benar netral selama pilkada

pertaruhan. Pilkada serentak tahap pertama berlangsung. Banyak ragam kegiatan yang

yang diselenggarakan tahun 2015 ini boleh dapat dilakukan oleh unsur-unsur masyarakat

jadi dapat dipandang sebagai uji coba bagi sipil ini tanpa ada tendensi untuk merecoki

kematangan berdemokrasi di tingkat lokal. penyelenggaraan pilkada. Dengan kata lain

Bila ditelusuri kepada awal terbitnya undang- tanggungjawab untuk lahirnya pilkada serentak

undang tentang pilkada ini, disadari bahwa di berbagai daerah saat ini juga berada pada

banyak sekali onak dan duri, baik yang bersifat pundak kalangan masyarakat sipil.

politik maupun teknis untuk terwujudnya pilkada secara serentak ini. Sebagai contoh pada

h. Warga Masyarakat

tiga bulan pertama pilkada dimulai ada upaya Pada era transparansi, demokratisasi, dan

untuk menunda atau mengundurkan jadwal akuntabilitas saat ini warga masyarakat baik

pelaksanaannya. Hal yang lain adalah masih dalam kapasitas sebagai individu maupun

adanya panwas pilkada di berbagai daerah sebagai kelompok independen juga mempunyai

yang masih belum mendapat anggaran dari peran penting untuk terwujudnya pilkada

pemerintah daerahnya padahal tahapan pilkada berkualitas. Mereka, misalnya dapat secara

sudah berlangsung lebih dari satu bulan. proaktif melaporkan kepada panwas pilkada

Menuju sistem politik demokratis perlu di masing-masing tingkatan untuk melaporkan

dukungan banyak pihak, dan PNS yang dengan disertai data yang lengkap tentang

netral menjadi salah satu pilarnya. Tatanan dugaan terjadinya pelanggaran.

kehidupan politik yang demokratis di daerah Berdasarkan pengamatan selama 10 tahun

saat ini akan diuji melalui penyelenggaraan penyelenggaraan pilkada, tidak sedikit warga

pilkada, yang salah satu indikatornya adalah masyarakat yang cenderung apatis atau tidak

netralitas aparatur birokrasi pemerintah. Hanya peduli ketika dihadapannya secara terang

dengan sosok aparatur negara yang netral benderang terjadi pelanggaran, misalnya

inilah bangunan demokrasi akan terwujud penggiringan PNS untuk mendukung salah satu

dengan kokoh. Karena PNS yang melayani pasangan calon peserta pilkada tertentu. Dalam

publik dengan fokus dan sepenuh hati, akan konteks ini tentu saja KPU dan pengawas pemilu

mempercepat tercapainya kesejahteraan. di masing-masing daerah punya peran penting

Dalam pandangan Dwiyanto, sosok untuk melakukan diseminasi tentang arti

birokrasi dan pegawai ASN yang diinginkan penting keterlibatan warga masyarakat secara

salah satunya adalah sebagai agen democratic proaktif menyukseskan pilkada, khususnya

governance. Birokrasi dan aparaturnya harus ketika menemukan dugaan pelanggaran.

mampu berperan aktif mewujudkan nilai- Akhirnya, reformasi birokrasi yang antara

nilai democratic governance seperti partisipasi, lain bertumpu kepada upaya terwujudnya

transparansi, dan akuntabilitas pada publik. netralitas aparatur birokrasi ini tidak akan

Peran dan sosok birokrasi sebagai penguasa bermakna apabila PNS sendiri tidak ada

dan alat kekuasaan harus segera digusur dan komitmen dan kesadaran tinggi untuk

diganti peran-peran lainnya yang relevan mewujudkannya. Netralitas yang dimaksud

dengan tantangan yang dihadapi oleh bangsa tidak berarti akan memasung hak-hak

Indonesia dalam mewujudkan negara yang politiknya sebagai warganegara. Datang ke TPS

demokratis dan mampu berperan aktif secara untuk menentukan pilihan menjadi hak yang

politik dan ekonomi dalam skala global (2015: melekat pada dirinya sebagai warga negara.

Bahkan sebagai tokoh masyarakat, dirinya bisa Bukankah makna government for the ikut menyukseskan pilkada dengan mengajak

people , sebagai salah satu dimensi demokrasi, warga masyarakat yang lain untuk tidak golput.

meminjam istilah Abraham Lincoln, pada

Jurnal

Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015

Responsif untuk Pembangunan Martabat kepada rakyatnya? Masa depan demokrasi

Manusia, dalam Sofian Effendi, dkk diantaranya akan berada pada kiprah dan

(penyunting). Membangun Manusia, Peranan komitmen PNS dan berbagai fihak di luar

Manusia dalam Pembangunan. Yogyakarta: dirinya dalam mewujudkan reformasi birokrasi

Gadjah Mada University Press. pemerintahan di daerah melalui upaya yang

Mariana, D. 2010. Reformasi Birokrasi dan nyata meneguhkan netralitasnya. Ujian nyata

Pelayanan Publik. Makalah Kuliah Umum ke arah itu adalah pilkada serentak sekarang ini

di STIA Bagasasi Bandung. 1 Juli 2010. dengan segala dinamika dan permasalahannya.

MacLean, I. 1989. Public Choice. An Introduction. Semoga.

New York: Basil Blackwell Inc. Michael, E.J. 2006. Public Policy: The Competitive

Framework. South Melbourne: Oxford Abdullah, S. 1991. Budaya Birokrasi di Indonesia,

REFERENSI

University Press.

dalam Alfian dan Nazaruddin Syamsudin Mulyadi, D. 2010. Membidik Jalan Menuju Public (penyunting). Profil Budaya Politik Indonesia.

Trust. Isu-Isu Aktual Administrasi Publik dan Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung: STIA Albrow, M. 1996. Birokrasi (terjemahan).

LAN Press.

Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. Rasyid, R. 1997. Desentralisasi Dalam Rangka Ball, A. R. 1975. Modern Politics and Government.

Menunjang Pembangunan Daerah. Makalah The Macmillan Press, Ltd.

Seminar Nasional PERSADI, Bandung, 8-9 Maret 1997.

Blau, P. M. dan M. W. Meyer. 2000. Birokrasi dalam Masyarakat Modern (terjemahan).

Rewansyah, A. 2010. Reformasi Birokrasi dalam Jakarta: Prestasi Pustakaraya.

Rangka Good Governance . Jakarta: CV. Yuantianas.

Blondel, J. 1995. Comparative Government: An Introduction. Second Edition . London:

Robbins, S.P. 1990. Organization Theory: Structure, Prentice Hall/Harvester Wheatsheap.

Designs, And Applications. Third Edition . London: Prentice-Hall International, Inc.

Budiardjo, M. 1999. Demokrasi di Indonesia. Demokrasi Parlementer, Dan Demokrasi

Setiawan, A. 1998. Perilaku Birokrasi dalam Pancasila. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Pengaruh Paham Kekuasaan Jawa. Utama.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar ____________. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik.

Siagian, S.P. 1998. Administrasi Pembangunan. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Jakarta: Gunung Agung. Utama.

Sudrajat, T. 2013. Implementasi Kebijakan Dahl, R. A. 1982. Dilema Demokrasi Pluralis.

Institusionalisasi Nilai-Nilai Demokrasi Antara Otonomi dan Kontrol. (terjemahan) .

dan Makna Pemilu Melalui Pendidikan Jakarta: CV. Rajawali.

Kewarganegaraan Kepada Generasi Muda di Perguruan Tinggi . Bandung: Majalah

Darwin, M. 1993. Demokratisasi Birokrasi di Ilmiah Kopertis Wil. IV No. 05 Tahun XXVI Indonesia, dalam Riza Noer Arfani (ed.)

Desember 2013.

Demokrasi Indonesia Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Thoha, M. 1992. Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi. Yogyakarta: Media Widya

Dwiyanto, A. 2015. Reformasi Birokrasi Kontekstual.

Mandala.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. _______. 1994. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Howlett, M. dan M. Ramesh. 1995. Studying Public

Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Policy: Poicy Cycles and Policy Subsystems. Press.

Toronto: Oxford University Press. _______. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Huntington, S.P. 1995. Gelombang Demokratisasi

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Ketiga (terjemahan). Jakarta: Pustaka Utama

Grafiti. Wibawa, S. 2005. Reformasi Administrasi. Bunga Rampai Pemikiran Administrasi Negara/ Publik . Yogyakarta: Penerbit Gava Media.

Jurnal

Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015 Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Ilmu Administrasi

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Undang-

Pemerintahan Daerah

Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Presiden dan Wakil Presiden.

Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemilihan

Pemerintahan Daerah. Gubernur, Bupati, dan Walikota. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005-

Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2014 tentang 2025.

Pemilihan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Penyelenggara Pemilu

Undang-Undang.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

tentang PNS yang Menjadi Anggota Parpol. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang

PNS.

Penyelenggara Pemilu Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

tentang Disiplin PNS.

Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang

tentang Grand Design Reformasi Birokrasi Aparatur Sipil Negara.

2010-2015.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Media Indonesia, 24 Agustus 2015 Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Kompas, 4 November 2015

370

Jurnal

Ilmu Administrasi Media Pengembangan dan Praktik Administrasi Volume XII | Nomor 3 | Desember 2015