HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Parameterisasi Adduct MQ-Sistein
Parameterisasi adduct MQ-Sistein dilakukan untuk memperoleh template adduct yang akan digunakan dalam penghitungan minimisasi, penyeimbangan (equilibrasi), dan simulasi. Struktur adduct MQ-Sistein diperoleh dari modifikasi struktur adduct MQ-NAC teroptimasi (Nurmalitasari, 2012) yang telah dilakukan penggantian gugus asetil pada NAC dengan atom hidrogen, kemudian dilakukan
eliminasi H 2 O yaitu satu atom H pada gugus amino dan hidroksi (OH) pada gugus karboksilat. Eliminasi H 2 O dilakukan karena sistein yang digunakan dikondisikan
seperti residu sistein target yang berada diantara residu-residu lain dalam makromolekul. Modifikasi sistein tidak dilakukan pada N-terminal maupun C- terminal protein untuk mempertahankan kondisi sistein target sehingga penggantian hanya dilakukan pada atom H gugus tiol sistein dengan MQ (Methylene Quinuclidinone). Tahapan pembentukan adduct MQ-Sistein dari adduct MQ-NAC dengan program molden disajikan pada gambar 5.
Gambar 5. Tahapan pembentukan struktur adduct MQ-Sistein dari adduct MQ- NAC.
Populasi dan distribusi elektron MQ yang menggantikan atom H pada sistein diperoleh dengan metode Mulliken. Arsip log data ESP (Electrostatic Potensial ) yang dihasilkan kemudian dikonversi menjadi format RESP (Restrain Electrostatic Potensial ) menggunakan program Antechamber melalui 2 step. Step yang pertama yaitu membuat file input dengan penyesuaian muatan pada sistein target yang menghasilkan file chg. Step kedua yaitu pengolahan arsip log data ESP menjadi file prep dengan penyesuaian nama atom, tipe atom, dan muatan
commit to user
pada sistein. Tipe atom yang digunakan untuk parameter asam amino maupun protein adalah AMBER atom type sehingga penyesuaian tipe atom tersebut penting dilakukan untuk perhitungan parameter lainnya seperti ikatan dan torsi dengan
program parmchk dalam AMBER10. Hasil parameterisasi struktur adduct MQ- Sistein disajikan pada gambar 6.
Kode
atom
Tipe atom
Tipe atom
Muatan atom
H3 HC 0.020
H8 H1 0.330
H4 HC 0.034
H5 H1 0.105
H15
H1 0.275
H6 H1 0.063
H9 H1 0.070
H1 HC 0.051
H H 0.271
H2 HC 0.059
HA H1 0.252
C4 CT
C C 0.597
H7 HC 0.001
C7 C 0.310
O1
Gambar 6. Struktur adduct MQ-Sistein teroptimasi dengan keterangan kode atom, tipe atom, dan muatan adduct MQ-Sistein yang diperoleh dengan RESP.
commit to user
B. Pemilihan Posisi Sistein Target pada Makromolekul
Makromolekul diperoleh dari struktur wild type-p53 yang dimutasi pada arginin-175 menjadi histidin menghasilkan mutan R175H-p53. Mutan R175H-p53 disimulasi selama 100 ns dan dilakukan clustering. Dalam penelitian ini struktur representatif makromolekul yang diambil berdasarkan accessibilitas solvent analysis . Analisis reaktivitas relatif residu sistein pada p53 dengan spektrometri massa menemukan bahwa residu sistein (Cys) yang memiliki reaktivitas tertinggi dalam pembentukan adduct secara berurutan diantaranya terletak pada posisi Cys- 124, Cys-141, Cys-135, Cys-182, dan Cys-277, sedangkan sistein yang memiliki reaktivitas rendah terletak pada posisi Cys-176 dan Cys-275 (Joerger et al., 2010). Pemilihan sistein target juga dilakukan berdasarkan lokasi residu sistein pada makromolekul menggunakan surface analysis dengan program Chimera. Residu sistein yang berada pada cavity (lekukan) yang cukup dalam dan lebar memungkinkan adduct dapat masuk dan stabil pada posisi tersebut. Hasil pemilihan lokasi sistein target pada mutan R175H-p53 disajikan pada gambar 7.
Gambar 7. Hasil pemilihan lokasi sistein target pada mutan R175H-p53
digambarkan dengan surface berwarna kuning. Posisi sistein target yang digambarkan dalam bentuk pita pada Cys-124 (A) dan Cys-275 (B). Lokasi Cys-124 yang berada pada cavity (C) dan lokasi Cys-275 yang berada pada permukaan mutan R175H (D).
commit to user
Hasil pemilihan residu sistein yaitu Cys-124 yang memiliki reaktifitas tercepat dengan posisi residu sistein berada pada cavity yang cukup dalam dan Cys-275 yang memiliki reaktifitas paling lambat dengan posisi residu sistein berada pada permukaan mutan R175H-p53. Masing-masing posisi Cys-124 dan Cys-275 digantikan dengan adduct MQ-Sistein sebagai template yang akan digunakan untuk proses simulasi.
Sistein pada nomor residu 124, 141, 135, dan 275 terletak pada -sheet yang cenderung lebih rigid dibandingkan sistein pada nomor residu 182 dan 277 yang terletak pada loop makromolekul. Berdasarkan surface analysis menggunakan Chimera, sistein pada nomor residu 141 dan 135 berada jauh dari permukaan makromolekul, sehingga sulit dilakukan modifikasi pada posisi tersebut dan menimbulkan banyaknya benturan dengan residu-residu lain disekitarnya. Modifikasi pada Cys-124 yang berada pada cavity memungkinkan mengubah struktur lokal yang dapat memberikan perubahan konformasi mutan, sedangkan modifikasi pada Cys-275 yang berada pada daerah DNA-binding juga dimungkinkan memberikan perubahan konformasi makromolekul mutan R175H- p53.
Dua protein mutan R175H-p53 dengan masing-masing lokasi sistein target (Cys-124 dan Cys-275) yang telah dimodifikasi oleh adduct MQ-Sistein terparameterisasi, selanjutnya dilakukan proses minimisasi, penyeimbangan (equilibrasi) dan simulasi.
C. Reaktivasi R175H-p53 oleh Adduct MQ-Sistein
Hasil minimisasi dan penyeimbangan dari dua protein mutan R175H-p53 yang telah dimodifikasi pada masing-masing sistein target dengan adduct MQ- Sistein kemudian disimulasikan selama 100 ns. Dua sistem tersebut adalah sistem
1 yaitu mutan R175H-p53 dengan penggantian residu sistein (Cys-124) oleh adduct MQ-Sistein dan sistem 2 yaitu mutan R175H-p53 dengan penggantian residu sistein (Cys-275) oleh adduct MQ-Sistein. Dua sistem pembanding adalah sistem 3 yaitu wild type-p53 dan sistem 4 yaitu mutan p53 (R175H) yang telah disimulasikan selama 100 ns. Hasil simulasi berupa suatu trajectory yang
commit to user
menspesifikkan bagaimana posisi dan kecepatan partikel di dalam sistem bervariasi sesuai waktu. Hasil simulasi kemudian diolah dengan program analisis yaitu ptraj.
1. Stabilisasi R175H-p53 oleh Adduct MQ-Sistein Analisis yang dapat menunjukkan karakter umum dari sistem yang disimulasikan yaitu analisis RMSD (root mean square deviation). Posisi sistem tiap waktu dibandingkan posisi awal sistem dalam rentang waktu tertentu menunjukkan kestabilan sistem secara umum dengan perubahan jarak yang terjadi pada masing-masing sistem selama simulasi. Grafik RMSD keempat sistem ditampilkan pada gambar 8.
Gambar 8. Grafik perbedaan RMSD sebagai fungsi waktu. Sistem 1, 2, 3 dan 4
berturut-turut ditunjukkan dengan warna hijau, biru, hitam dan merah. Grafik RMSD diatas memperlihatkan bahwa keempat sistem bergeser dari
posisi awal dan mengalami penyeimbangan sistem setelah simulasi berjalan 12,5 ns. Keempat sistem sama-sama bergeser sejauh ± 1 Å dari posisi awalnya dan terus bergeser naik menjauhi posisi awal dan stabil pada jarak ± 3 Å saat simulasi berjalan 12,5 ns. Sistem 3 terlihat mengalami perubahan posisi dari awal simulasi
commit to user
hingga simulasi berakhir. Perubahan tersebut mengindikasikan bahwa sistem 3 berada pada konformasi yang berbeda selama simulasi 100 ns. Sistem 4 yang merupakan mutan R175H-p53 meskipun terlihat lebih stabil dibandingkan dengan sistem 3, namun sistem 4 diketahui kehilangan fungsi supresi tumor akibat perubahan konformasi yang dapat berpengaruh pada keseluruhan sistem protein. Hasil cukup mengejutkan terlihat pada grafik RMSD yang menunjukkan selama simulasi berlangsung sistem 1 dan 2 relatif stabil dibandingkan sistem 3. Sistem 1 yang merupakan mutan R175H-p53 dengan penggantian residu sistein (Cys-124) oleh adduct MQ-Sistein relatif stabil sampai simulasi berakhir. Sistem 2 yang merupakan mutan R175H-p53 dengan penggantian residu sistein (Cys-275) oleh adduct MQ-Sistein memiliki kestabilan yang paling tinggi dibandingkan tiga sistem lainnya. Adanya penggantian residu sistein pada mutan oleh adduct ternyata memberikan perubahan dinamika selama simulasi berlangsung.
Pergeseran posisi yang telah ditunjukkan pada grafik RMSD berkaitan dengan fluktuasi atomik rata-rata sistem. Analisis B-factor dapat menggambarkan fluktuasi atomik rata-rata sistem yang disimulasikan. Harga B-factor sebagai fungsi nomor residu dapat menunjukkan residu-residu mana saja yang mengalami fluktuasi, sehingga terhadap residu-residu tersebut akan dapat dilihat perubahan posisi konformasinya selama simulasi berlangsung. Harga B-factor untuk semua atom dari keempat sistem ditampilkan pada gambar 9A dan harga B-factor untuk atom backbone keempat sistem ditampilkan pada gambar 9B.
Grafik B-factor untuk semua atom keempat sistem memperlihatkan pada awal dan akhir residu yang merupakan ujung-ujung protein memiliki harga B- factor yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan residu pada ujung-ujung protein sangat fleksibel sehingga sangat fluktuatif. Perbedaan fluktuasi keempat sistem terlihat cukup jelas pada beberapa bagian residu, diantaranya pada range residu 113-123, 173-193, dan 233-253.
Adduct MQ-Sistein yang ada pada sistem 1 dan 2 menunjukkan sebagian fluktuasi atomik rata-rata berkurang terhadap sistem 3 dan 4. Untuk memperjelas perubahan yang terjadi pada B-factor total keempat sistem maka dilakukan analisis B-factor untuk atom backbone. Analisis B-factor atom backnone
commit to user
menunjukkan lebih jelas residu mana saja yang mengalami perubahan kestabilan konformasi protein selama simulasi berlangsung. Pada gambar 9B, fluktuasi untuk atom backbone tiap residu menunjukkan perubahan cukup signifikan pada beberapa residu sama seperti fluktuasi yang terjadi pada grafik B-factor atom total.
Gambar 9. Grafik perbedaan B-factor semua atom sebagai fungsi nomor residu
(A) dan grafik perbedaan B-factor atom backbone sebagai fungsi nomor residu (B). Sistem 1, 2, 3 dan 4 berturut-turut ditunjukkan dengan warna hijau, biru, hitam dan merah.
commit to user
Fluktuasi B-factor semua atom terlihat overlapping dan lebih tinggi dibandingkan dengan fluktuasi yang terjadi pada B-factor atom backbone. Hal ini dimungkinkan karena fluktuasi yang terjadi pada B-factor semua atom dipengaruhi oleh fluktuasi sudut dihedral (yaitu sudut yang terbentuk oleh 4 atom) yang melibatkan keseluruhan atom, sehingga menyulitkan untuk melihat perbedaan kestabilan pada masing-masing sistem. Fluktuasi B-factor atom backbone dapat menunjukkan perbedaan kestabilan lebih jelas yang ditunjukkan dengan besarnya delta fluktuasi antara keempat sistem. Secara kualitatif, fluktuasi B-factor atom backbone menunjukkan bahwa konformasi keempat sistem mengalami perbedaan konformasi parsial karena perbedaan dinamika backbone masing-masing sistem.
Gambar 10 menunjukkan fluktuasi ketiga range residu pada B-factor atom backbone . Gambar 10A menunjukkan perbedaan fluktuasi keempat sistem yang terjadi pada residu 113 sampai 123. Residu 113-123 merupakan residu-residu yang berperan penting dalam DNA-binding. Fluktuasi sistem 3 (wild type-p53) terlihat paling tinggi dibandingkan tiga sistem lainnya, hal ini dimungkinkan pada range residu tersebut sistem 3 berada pada konformasi dominan yang berbeda. Fluktuasi sistem 1 terlihat paling rendah sedangkan sistem 2 menunjukkan fluktuasi yang mendekati sistem 3. Hal ini menunjukkan bahwa sistem 2 yang merupakan kompleks mutan R175H-p53 dengan penggantian residu sistein (Cys- 275) oleh adduct MQ-Sistein mampu memberikan perubahan konformasi parsial mendekati konformasi wild type-p53 pada daerah tersebut.
Gambar 10B menunjukkan perbedaan fluktuasi keempat sistem yang terjadi pada residu 173-188. Residu yang berada pada range 173-188 merupakan residu-residu yang berperan penting dalam stabilitas permukaan p53 DNA-binding namun tidak secara langsung kontak dengan DNA. Fluktuasi tertinggi terjadi pada sistem 3 mencapai harga ± 600 Å, sementara sistem 4 fluktuasi tertinggi ± 300 Å. Tingginya fluktuasi sistem 3 menunjukkan bahwa pada range tersebut sistem 3 lebih fleksibel, hal ini dimungkinkan terdapat lebih dari satu konformasi dominan yang terjadi selama simulasi berlangsung. Sistem 1 dan 2 terlihat memiliki harga B-factor yang lebih rendah dibandingkan sistem 4, hal ini menunjukkan bahwa
commit to user
dengan adanya penggantian residu sistein oleh adduct MQ-Sistein pada sistem 1 dan 2 mampu menstabilkan residu-residu pada kisaran nomor residu 173-188.
Gambar 10. Grafik fluktuasi residu 113-123 (A), 173-188 (B), dan 237-250 (C).
Gambar 10C menunjukkan perbedaan fluktuasi keempat sistem yang terjadi pada residu 237-250. Residu yang berada pada range tersebut merupakan residu-residu yang berperan penting dalam DNA-binding. Sistem 2 pada residu 237-250 dan sistem 1 pada residu 243-250 terlihat lebih stabil dibandingkan sistem 3 dan 4 karena memiliki harga B-factor paling rendah. Sistem 1 mengalami sedikit fluktuasi yang terjadi pada residu 237-242, namun fluktuasi ini tidak menunjukkan perubahan konformasi parsial yang mendekati konformasi wild type -p53.
Adduct MQ-Sistein yang ada pada sistem 1 mempengaruhi sebagian fluktuasi R175H-p53 yang terlihat berkurang cukup signifikan. Keberadaan adduct MQ-Sistein pada sistem 2 juga menunjukkan perubahan fluktuasi terhadap R175H-p53 pada residu nomor 173-188 dan 237-250. Menariknya, residu-residu yang mengalami perubahan fluktuasi pada B-factor merupakan residu-residu yang
commit to user
berperan dalam DNA-binding maupun stabilisasi permukaan p53 DNA-binding meskipun tidak secara langsung kontak dengan DNA.
Perubahan signifikan yang ditunjukkan pada analisis B-factor ternyata bukan hanya karena pengaruh rantai samping akan tetapi lebih pada pengaruh backbone yang dapat menunjukkan perubahan konformasi makromolekul seperti dalam bentuk loop, helix, maupun -sheet. Perbandingan harga B-factor untuk atom backbone keempat sistem cukup menunjukkan adanya perubahan pada kestabilan protein terutama pada ketiga range residu tersebut. Adduct MQ-Sistein yang ada pada sistem 1 dan 2 mempengaruhi terjadinya perubahan konformasi dan kestabilan pada residu-residu lain protein p53 termasuk residu-residu yang berperan dalam DNA-binding.
Pendekatan lain yang dilakukan untuk mengetahui perubahan konformasi dan kestabilan mutan R175H-p53 oleh adanya adduct MQ-Sistein yaitu dengan
backbone vektor NH. Atom N
pada vektor NH yang berikatan dengan atom C karbonil asam amino yang lain merupakan ikatan peptida yang memiliki ciri unik yakni bersifat rigid dan planar. Sifat rigid dan planar ikatan peptida merupakan konsekuensi dari interaksi resonansi dari amina atau kemampuan amida nitrogen untuk delokalisasi pasangan elektron bebas (lone pair electron) ke karbonil (C=O). Hal ini mengindikasikan bahwa atom backbone vektor NH lebih stabil karena adanya resonansi elektronik dibandingkan atom backbone. Resonansi elektronik yang terjadi pada ikatan peptida ditunjukkan pada gambar 11.
NH
H Gambar 11. Resonansi elektronik ikatan peptida.
Vektor NH digunakan untuk menunjukkan order parameter yang dapat digunakan untuk estimasi entropi atom backbone. Entropi backbone vektor NH
yang ditunjukkan melalui harga order parameter (S 2 ) dapat memberikan kontribusi
commit to user
untuk variasi stabilitas domain mutan dan dampaknya tidak hanya terlokasikan pada tempat mutasi maupun pada posisi adduct saja, melainkan menyebar ke lingkungan sekitar terjadinya mutasi. Dampak tersebut dapat dijelaskan secara umum dengan kecenderungan struktur -sheet, dimana residu-residu -sheet umumnya lebih rigid dibandingkan yang lain pada daerah inti p53. Besarnya order
parameter (S 2 ) atom backbone vektor NH tiap residu dari keempat sistem disajikan pada gambar 12.
Gambar 12. Grafik perbedaan order parameter vektor NH sebagai fungsi nomor
residu. Sistem 1, 2, 3 dan 4 berturut-turut ditunjukkan dengan warna hijau, biru, hitam dan merah.
Perubahan harga order parameter terjadi pada beberapa residu, antara lain residu nomor 113-124, 154, 165, 172-190, 200, dan 234-250. Residu Gln-165 sistem 1 memiliki harga order parameter paling rendah yang berarti bahwa sistem
1 pada residu tersebut lebih fleksibel dibandingkan tiga sistem lainnya. Harga order parameter residu nomor Gly-154 dan Asp-200 sistem 2 terlihat lebih kecil dibandingkan sistem 4 dan cenderung mendekati harga order parameter sistem 3. Hal ini menunjukkan bahwa sistem 2 pada residu tersebut memiliki fleksibilitas
commit to user
yang hampir sama dengan wild type-p53 dan dimungkinkan memiliki konformasi yang sama dengan wild type-p53. Perubahan harga order parameter yang terjadi pada residu Gln-165, Gly-154, dan Asp-200 tidak cukup memberikan pengaruh pada perbaikan mutan p53 oleh penambahan adduct mengingat pada ketiga residu tersebut tidak berperan untuk binding dengan DNA maupun stabilitas residu- residu yang berperan dalam DNA-binding.
Perubahan harga order parameter lainnya terjadi pada beberapa range residu, yaitu 113-124, 172-190, dan 234-250. Perbedaan fleksibilitas residu-residu yang terjadi pada analisis entropi ketiga range residu tersebut disajikan pada gambar 13.
Gambar 13. Grafik order parameter sebagai fungsi nomor residu. Residu 113-124 (A), 172-190 (B), dan 234-250 (C).
Gambar 13A memperlihatkan bahwa sistem 2 pada residu 113-124 memiliki harga order parameter mendekati sistem 3. Sedangkan sistem 1 memiliki order parameter yang lebih besar dibandingkan ketiga sistem yang lain. Secara kualitatif ini menunjukkan bahwa sistem 2 pada range residu tersebut merupakan sistem yang lebih stabil dengan fleksibilitas backbone (entropi) lebih besar
commit to user
dibandingkan sistem 1 yang memiliki backbone paling rigid. Analisi atom backbone vektor NH pada residu 113-124 memperkuat dugaan bahwa sistem 2 mampu mengembalikan konformasi R175H-p53 mendekati wild type-p53 dibandingkan sistem 1 mengingat pentingnya residu 113-123 merupakan residu- residu yang berperan penting dalam DNA-binding.
Gambar 13B menunjukkan sistem 1 dan 2 memliki order parameter yang lebih besar dibandingkan sistem 3 dan 4. Beberapa residu yang diketahui berperan penting dalam stabilitas permukaan p53 DNA-binding berada pada range residu 172-190. Adanya modifikasi mutan oleh adduct MQ-Sistein pada sistem 1 dan 2 menjadikan dua sistem tersebut pada range residu 172-190 lebih rigid dibandingkan R175H-p53 maupun wild type-p53. Hal ini dikarenakan terjadinya perubahan entropi mutan yang ditunjukkan dengan perubahan harga order parameternya.
Gambar 13C juga menunjukkan perubahan fleksibilitas backbone vektor NH pada range residu 234-250. Sistem 1 pada range residu 244-249 dan sistem 2 pada range residu 238-250 cenderung lebih rigid dibandingkan sistem 4. Residu Arg-248 yang merupakan salah satu residu yang dapat kontak dengan DNA, terlihat lebih tidak teratur pada sistem 4 dibandingkan sistem 3 yang ditunjukkan dengan harga order parameternya yang lebih kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebolehjadian residu Arg-248 pada sistem 4 untuk berikatan dengan DNA semakin kecil. Penambahan adduct pada sistem 1 dan 2 ternyata menunjukkan residu Arg-248 kembali lebih teratur seperti sistem 3 selama simulasi 100 ns.
Secara kualitatif, perubahan nilai ini menunjukkan hanya sebagian konformasi pada residu-residu sistem 1 dan 2 yang dapat mendekati konformasi wild type -p53 dan hanya sebagian konformasi R175H-p53 yang mampu distabilkan dengan adanya adduct MQ-Sistein pada kedua sistem tersebut. Perubahan harga order parameter mengindikasikan adanya perubahan dari backbone yang fleksibel menjadi backbone yang lebih rigid maupun perubahan dari backbone yang rigid menjadi backbone yang lebih fleksibel. Adduct MQ- Sistein yang terdapat pada sistem 1 dan 2 mampu memberikan pengaruh
commit to user
perubahan konformasi parsial dari R175H-p53 sehingga dapat mendekati konformasi wild type-p53.
Stabilisasi mutan R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein juga ditunjukkan dengan penurunan total entropinya. Total entropi wild type-p53 (sistem 3) sebesar 2089,8 kal mol -1 K -1 sedangkan total entropi mutan R175H-p53 (sistem 4) sebesar 2138,3 kal mol -1 K -1 . Modifikasi residu sistein mutan R175H-p53 oleh adduct mampu menunjukkan penurunan total entropinya menjadi 1956,9 kal mol -1 K -1 (sistem 1) dan 2030,6 kal mol -1 K -1 (sistem 2).
Perubahan fluktuasi B-factor dan fleksibilitas entropi pada sistem 1 dan 2 pada beberapa residu maupun besarnya total entropi mampu menunjukkan perubahan kestabilan R175H-p53 dengan adanya adduct MQ-Sistein. Perubahan kestabilan yang terjadi memberikan pengaruh pada beberapa daerah penting domain inti p53. Perubahan ini dapat dilihat melalui konformasi-konformasi parsial keempat sistem, terutama pada ketiga daerah residu yang mengalami perubahan kestabilan.
2. Perubahan Konformasi Parsial R175H-p53 oleh Adduct MQ-Sistein Perbedaan kestabilan pada R175H-p53 yang mengandung adduct MQ- Sistein pada posisi yang berbeda menunjukkan adanya perubahan konformasi parsial yang terjadi pada R175H-p53 karena pengaruh penambahan adduct tersebut. Dalam penelitian ini, trajectory hasil simulasi selama 100 ns menghasilkan 2000 frame/ns. Keseluruhan frame tersebut dievaluasi sehingga diperoleh 1000 konformasi struktur untuk dikelompokkan (clustering).
Pengelompokan berbagai konfigurasi molekuler dari trajectory hasil simulasi DM dilakukan berdasarkan struktur-struktur yang memiliki kemiripan secara konformasinya. Struktur representatif dapat menampilkan struktur yang dapat mewakili seluruh konformasi yang terdapat dalam trajectory. Teknik pengelompokan trajectory dilakukan berdasarkan algoritma yang digunakan. Salah satu algoritma pengelompokan trajectory yaitu algoritma complete-linkage. Kelebihan algoritma ini adalah struktur yang memiliki jarak kurang dari jarak antara dua klaster akan tergabung menjadi satu klaster, sehingga setiap klaster
commit to user
yang dihasilkan dapat mewakili sejumlah data yang tersimpan. Hasil klaster dari 1000 konformasi struktur diperoleh 10 kelompok pada masing- masing sistem.
Konformasi representatif yang dipakai untuk menunjukkan perubahan konformasi R175H-p53 karena penambahan adduct pada penelitian ini adalah konformasi representatif yang dominan dari hasil clustering. Struktur representatif yang digunakan pada sistem 1 merupakan konformasi struktur dengan populasi paling dominan sebesar 33% terhadap keseluruhan konformasi struktur sistem tersebut. Konformasi struktur paling dominan pada sistem 2 yang digunakan untuk menunjukkan perubahan konformasi parsial R175H karena penambahan adduct memiliki prosentase sebesar 20%. Konformasi struktur sistem 3 hasil clustering memiliki dua kelompok konformasi struktur dengan populasi dominan yang berdekatan yaitu sebesar 27,2% pada kelompok 3 dan 21,7% pada kelompok
2. Dua kelompok konformasi struktur tersebut menunjukkan struktur pada dua konformasi tersebut relatif banyak ditemukan selama simulasi berlangsung. Menariknya, dua kelompok tersebut menunjukkan beberapa perbedaan konformasi parsial pada wild type-p53. Sedangkan konformasi struktur yang digunakan pada sistem 4 memiliki populasi paling dominan sebesar 24,1% terhadap keseluruhan konformasi struktur sistem 4. Konformasi representatif dominan yang digunakan diharapkan dapat mewakili seluruh konformasi yang terdapat dalam trajectory pada masing-masing sistem.
a) Perbedaan Konformasi Wild type-p53 dengan R175H-p53 Protein p53 yang termutasi pada bagian hot spots 175, dimana residu arginin berubah menjadi histidin berada diantara dua loop (L2 dan L3) yang mengakibatkan rusaknya ikatan hidrogen antara L2 dan L3, sehingga menyebabkan ketidakstabilan ikatan antara p53 dengan DNA. Ketidakstabilan tersebut dimungkinkan karena berubahnya konformasi parsial pada daerah loop tersebut. Beberapa daerah residu dari konformasi wild type-p53 diketahui dapat berinteraksi dengan DNA. Mutasi R175H mengakibatkan terjadinya perubahan kestabilan residu-residu permukaan p53 yang berinteraksi dengan DNA. Perubahan kestabilan tersebut berdampak pada perubahan struktural p53 sehingga
commit to user
terjadi perbedaan konformasi antara wild type-p53 dengan R175H-p53. Perbedaan konformasi antara wild type-p53 (pada dua populasi dominan yang berdekatan) dengan R175H-p53 disajikan pada gambar 14.
Gambar 14. Perbedaan konformasi p53 antara wild type-p53 (pada dua populasi
dominan yang berdekatan) dengan R175H-p53. Overlay konformasi protein digambarkan dalam bentuk pita, sedangkan residu yang mengalami mutasi (Arg-175 menjadi His-175) digambarkan dalam bentuk stick. Wild type-p53 (sistem 3) dengan
populasi sebesar 27,2% dan 21,7% ditunjukkan berturut dengan warna abu-abu dan orange, sedangkan mutan R175H-p53 (sistem
4) ditunjukkan dengan warna merah muda. Garis oval pada loop 2 ditampilkan untuk mendukung kejelasan gambar.
Perbedaan cukup jelas antara konformasi parsial wild type-p53 pada populasi konformasi struktur sebesar 27,2% dengan 21,7% diantaranya terlihat pada bagian loop 2 (residu 179-181 dan 195-198) dan strand S7 (residu 235-236). Daerah L2 (nomor 179-181 dan 195-198) sistem 3 pada populasi dominan pertama menunjukkan konformasi kedua range residu tersebut dalam bentuk loop, sedangkan pada populasi dominan ke-2 menunjukkan konformasi dalam bentuk -
commit to user
sheet (residu 179-181) dan bentuk helix (residu 195-198). Perbedaan konformasi parsial sistem 3 pada populasi dominan yang berbeda juga ditunjukkan pada daerah strand S7 (residu 235-236). Populasi dominan pertama residu 235-236 berada pada bentuk loop sedangkan pada populasi dominan ke-2 berbentuk - sheet. Meskipun terdapat perbedaan konformasi parsial pada sistem 3, namun besarnya populasi yang tidak jauh berbeda pada dua kelompok tersebut menunjukkan bahwa struktur pada konformasi tersebut banyak terjadi selama simulasi berlangsung. Hal ini menunjukkan bahwa sistem 3 yang merupakan wild type- p53 memiliki probabilitas berada pada dua konformasi tersebut.
Akibat mutasi yang terjadi pada nomor residu 175 ternyata memberikan perubahan konformasi parsial pada protein p53. Perbedaan konformasi antara sistem 3 dengan sistem 4 diantaranya ditunjukkan pada daerah loop (L1, L2, dan L3), -sheet (strand S5), dan loop (turn S3-S4 dan S6-S7). Daerah loop (L1 dan L3) merupakan daerah residu yang berperan penting dalam DNA-binding, sedangkan L2 merupakan daerah residu yang berperan dalam stabilisasi permukaan p53 DNA-binding. Perbedaan daerah L1 antara sistem 3 dengan sistem 4 ditunjukkan dengan perbedaan lengkungan loop seperti terlihat pada gambar 14. Daerah L2 sistem 4 pada residu 179-181 berada dalam bentuk loop seperti yang terjadi pada sistem 3 dominasi populasi pertama, namun pada residu 195-198 sistem 4 berada dalam bentuk -sheet mengikuti sistem 3 dominasi populasi ke-2. Perbedaan lainnya ditunjukkan pada daerah strand S5 (residu nomor 204-207) sistem 3 yang berbentuk -sheet sedangkan pada sistem 4 berbentuk loop. Residu-residu pada daerah strand S5 diketahui tidak berinterkasi secara langsung dengan DNA dikarenakan lokasinya yang cukup jauh dengan DNA. Perbedaan konformasi parsial antara wild type-p53 dengan R175H-p53 juga ditunjukkan dengan perbedaan lengkungan loop (turn S3-S4 dan S6-S7). Namun, residu-residu yang berada pada daerah loop (turn S3-S4 dan S6-S7) tidak memiliki peranan penting dalam berinteraksi dengan DNA karena posisinya yang jauh dengan DNA sehingga tidak memungkinkan untuk berinteraksi secara langsung dengan DNA.
commit to user
Perbedaan konformasi antara sistem 3 dengan sistem 4 terjadi akibat mutasi Arg-175 yang memiliki rantai samping cukup panjang menjadi histidin dengan rantai samping lebih pendek dan tertekuk, sehingga mengakibatkan lingkungan disekitar tempat mutasi mengalami perubahan interaksi dengan residu nomor 175. Perubahan tersebut dapat dilihat dari berubahnya jarak interaksi residu-residu disekitar tempat mutasi yang mengindikasikan menjadi penyebab berubahnya konformasi parsial makromolekul terutama daerah loop (L1, L2, dan L3) yang cenderung fleksibel.
Residu nomor 114-124 berada pada daerah L1 yang berperan penting dalam DNA-binding. Akibat mutasi R175H, daerah L1 mengalami perubahan konformasi yang ditunjukkan dengan perubahan jarak interaksi yang terjadi pada lingkungan L1. Daerah L1 pada gambar 15 terlihat bahwa lengkungan L1 sistem 4 jauh berbeda dengan lengkungan L1 sistem 3 pada populasi dominan pertama, namun jika dibandingkan dengan lengkungan L1 sistem 3 pada populasi dominan ke-2 perubahan yang tampak tidak jauh berbeda. Perbedaan lengkungan L1 dan perbedaan jarak antar residu-residu daerah L1 disajikan pada gambar 15.
Gambar 15. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L1 wild type-p53 dengan
R175H-p53. Wild type-p53 (sistem 3) pada populasi dominan pertama, sistem 3 pada populasi dominan ke-2 dan mutan R175H- p53 (sistem 4) ditunjukkan berturut-turut dengan warna abu-abu, orange dan merah muda.
Pengukuran jarak antar residu daerah L1 dilakukan antara atom C (CB) yang terikat pada backbone satu residu dengan residu yang lain. Hal tersebut
commit to user
dilakukan karena apabila backbone mengalami perubahan posisi (lengkungan loop ) maka atom C (CB) juga akan mengalami perubahan posisi. Jarak antara residu Leu-114 dengan Thr-123 pada sistem 3 adalah 9,7 Å (populasi dominan pertama) dan 10,0 Å (populasi dominan ke-2), sedangkan pada sistem 4 sejauh 10,7 Å. Perbedaan jarak terjadi antara residu Hie-115 dengan Val-122. Jarak antara residu Hie-115 dengan Val-122 pada sistem 3 sejauh 11,4 Å (populasi dominan pertama) dan 12,2 Å (populasi dominan ke-2) kemudian berubah menjadi 10,1 Å pada sistem 4. Jarak residu Ser-116 dengan Val-122 juga mengalami perubahan signifikan, dimana pada sistem 3 sejauh 11,8 Å (populasi dominan pertama) dan 8,6 Å (populasi dominan ke-2) kemudian berubah pada sistem 4 menjadi 4,8 Å. Residu Val-122 merupakan salah satu residu yang dapat berinteraksi (kontak) secara langsung dengan DNA. Perubahan jarak yang terjadi pada residu Val-122 dengan beberapa residu dilingkungannya dari posisi yang renggang menjadi cenderung rapat mengindikasikan hilangnya kontak residu tersebut dengan DNA. Perbedaan jarak juga terjadi antara residu Thr-118 dengan Ser-121. Pada sistem 3 sejauh 10,1 Å (populasi dominan ke-2) kemudian berubah menjadi 9,7 Å pada sistem 4, namun tidak mengalami perubahan jika dibandingkan dengan sistem 3 pada populasi dominan pertama.
Perbedaan konformasi antara sistem 3 dengan sistem 4 juga terjadi pada residu nomor 174-192 yang berada pada daerah L2. Perbedaan konformasi parsial sistem 3 akibat mutasi ditunjukkan dengan perbedaan jarak antar residu yang terjadi di lingkungan L2. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L2 disajikan pada gambar 16.
Gambar 16. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L2 wild type-p53 dengan
commit to user
R175H-p53. Perbedaan jarak antar residu pada daerah L2 yang disajikan gambar 16
dapat menunjukkan terjadinya perubahan konformasi sistem 3 akibat mutasi yang terjadi pada daerah L2 memberikan pengaruh pada lingkungan disekitar tempat mutasi. Jarak backbone antara residu Arg-175 dengan Hie-178 sistem 3 sejauh 9,1 Å (populasi dominan pertama) dan 9,4 Å (populasi dominan ke-2). Setelah terjadi mutasi pada residu Arg-175 menjadi His-175, jarak backbone antara residu His- 175 dengan Hie-178 mendekat menjadi 8,7 Å. Perbedaan lainnya terjadi pada residu Hin-179 dan Glu-180, dimana jarak antara residu Hin-179 terhadap Arg- 175 pada sistem 3 sejauh 4,8 Å (populasi dominan pertama) dan 5,2 Å (populasi dominan ke-2), sedangkan terhadap His-175 pada sistem 4 sejauh 4,2 Å. Jarak antara residu Glu-180 dengan Arg-175 pada sistem 3 adalah 4,0 Å (populasi dominan pertama) dan 4,6 Å (populasi dominan ke-2) kemudian menjadi 4,5 Å pada sistem 4. Perbedaan jarak juga terjadi antara residu Arg-175 dengan Leu-188 sistem 3 sejauh 17,0 Å (populasi dominan pertama) dan 16,2 Å (populasi dominan ke-2), sedangkan sistem 4 sejauh 18,1 Å.
Perbedaan jarak antar residu-residu tersebut dimungkinkan karena perubahan residu Arg-175 yang memiliki rantai samping cukup panjang sehingga membutuhkan space (ruang) gerak yang cukup luas menjadi histidin dengan rantai samping yang lebih pendek. Akibat mutasi residu Arg-175 menjadi His-175 yang memiliki rantai samping cenderung lebih pendek dan tertekuk sehingga dimungkinkan mengubah kondisi ruang gerak rantai samping His-175 menjadi lebih rapat agar dapat berinteraksi dengan residu-residu disekitarnya. Perubahan jarak interaksi residu mutasi dengan residu disekitarnya mengakibatkan L2 cenderung lebih merapat. Hal ini ditunjukkan dengan perubahan jarak yang cukup signifikan antara residu Ser-183 terhadap Arg-175 sistem 3 sejauh 12,5 Å (populasi dominan pertama) dan 12,7 Å (populasi dominan ke-2) kemudian berubah terhadap His-175 sistem 4 menjadi 9,8 Å. Perubahan jarak residu mutasi terhadap residu-residu daerah L2 juga terjadi antara Arg-175 dengan Gln-192 sistem 3 sejauh 7,5 Å (populasi dominan pertama) dan 8,0 Å (populasi dominan ke-2) kemudian menjadi 8,4 Å pada His-175 dengan Gln-192 sistem 4. Residu
commit to user
Arg-174 pada sistem 3 memiliki jarak dengan Hie-178 sejauh 12,0 Å (populasi dominan pertama) dan 11,1 Å (populasi dominan ke-2) kemudian menjadi 12,3 Å pada sistem 4.
Residu protein pada nomor 174-192 merupakan residu-residu yang berperan penting dalam menjaga stabilitas residu-residu permukaan p53 yang berikatan dengan DNA. Akibat mutasi yang terjadi pada daerah residu tersebut mengakibatkan perubahan konformasi protein tidak hanya pada daerah terjadinya mutasi namun juga menyebar ke daerah lain seperti L1 dan L2. Perubahan konformasi inilah yang menjadikan sistem 4 kehilangan fungsi supresi tumor.
Perbedaan konformasi parsial antara sistem 3 dengan sistem 4 akibat mutasi R175H juga terjadi pada daerah L3, dimana residu pada nomor 236-246 berlokasi di daerah tersebut. Residu pada range tersebut merupakan loop yang diketahui mempunyai kontribusi dalam DNA-binding. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L3 disajikan pada gambar 17.
Gambar 17. Perbedaan jarak antar residu-residu daerah L3 wild type-p53 dengan R175H-p53.
Jarak antara residu Tyr-236 dengan Met-246 pada sistem 3 adalah 12,0 Å (populasi dominan pertama) dan 11,9 Å (populasi dominan ke-2), sedangkan pada sistem 4 sejauh 10,4 Å. Perbedaan jarak juga terjadi antara residu Met-237 dengan Met-246, dimana jarak dua residu tersebut pada sistem 3 sejauh 10,8 Å (populasi dominan pertama) dan 11,8 Å (populasi dominan ke-2), sedangkan pada sistem 4 sejauh 11,7 Å. Perbedaan jarak lainnya terjadi pada residu Ser-241 dengan Met- 246 yaitu sejauh 10,1 Å (populasi dominan pertama) dan sejauh 7,9 Å (populasi dominan ke-2), sedangkan sistem 4 sejauh 6,9 Å. Perubahan cukup signifikan terjadi antara residu Ser-241 dengan Gly-245, pada sistem 3 berjarak 11,5 Å
commit to user
(populasi dominan pertama) dan 10,5 Å (populasi dominan ke-2) menjadi 8,0 Å pada sistem 4. Pengukuran jarak antar residu Ser-241 dengan Gly-245 dilakukan pada atom C (CA), hal ini disebabkan rantai samping glisin hanya terdiri dari sebuah atom hidrogen. Perubahan-perubahan jarak antar residu tersebut diharapkan mampu menunjukkan perbedaan konformasi parsial daerah L3 antara sistem 3 dengan sistem 4.
Mutasi residu Arg-175 menjadi His-175 yang berada pada daerah L2 p53 ternyata mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan struktur p53 dalam berinteraksi dengan DNA. Ketidakstabilan tersebut terjadi dikarenakan struktur pada daerah mutasi ini berubah. Perubahan konformasi parsial telah ditunjukkan oleh perubahan-perubahan jarak interaksi antar residu di daerah sekitar mutasi maupun daerah lain (L1 dan L3). Perubahan konformasi parsial inilah yang mengakibatkan hilangnya kontak protein dengan DNA, sehingga mutan R175H kehilangan fungsi supresi tumor.
b) Perubahan Konformasi R175H-p53 oleh Adduct pada Residu Sistein-124
Penggantian residu sistein-124 pada konformasi R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein mampu memberikan perubahan konformasi parsial mutan tersebut. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 dimungkinkan karena penggantian residu sistein-124 dengan rantai samping yang pendek menjadi adduct MQ- Sistein dengan rantai samping yang lebih panjang. Adduct MQ-Sistein dimungkinkan mendesak lingkungan disekitarnya (daerah L1) yang secara tidak langsung mengubah posisi rantai samping residu histidin pada tempat mutasi. Perubahan posisi rantai samping residu histidin mengakibatkan terjadinya perubahan konformasi parsial makromolekul terutama pada daerah loop yang cenderung fleksibel. Perubahan konformasi parsial yang cukup menarik yaitu lingkungan disekitar daerah mutasi, dimana pada daerah L2 terjadi perubahan konformasi dari loop pada sistem 4 menjadi helix setelah penambahan adduct. Perubahan konformasi R175H-p53 oleh adduct pada residu sistein-124 disajikan pada gambar 18.
commit to user
Gambar 18. Perbedaan konformasi p53 antara wild type-p53 (sistem 3) pada
populasi dominan pertama (kiri) dan populasi dominan ke-2 (kanan) dengan sistem 1 dan sistem 4. Overlay konformasi p53 digambarkan dalam bentuk pita, sedangkan residu yang mengalami mutasi (arginin menjadi histidin) digambarkan dalam bentuk stick. Wild type- p53 (sistem 3) dengan populasi dominan pertama, sistem 3 dengan populasi dominan ke-2, sistem 1, dan sistem 4 ditunjukkan berturut-turut dengan warna abu-abu, orange, hijau, dan merah muda.
Perubahan konformasi yang terjadi pada daerah loop tersebut sesuai dengan analisis sebelumnya yang ditunjukkan oleh perubahan harga order parameter sistem 4 yang fleksibel menjadi rigid dengan penambahan adduct. Daerah L2 yang mengalami perubahan konformasi menjadi helix terjadi pada range residu nomor 180-182. Terbentuknya konformasi helix juga terjadi pada sistem 3 dengan populasi dominan ke-2. Hal ini menunjukkan bahwa konformasi parsial pada daerah tersebut dapat mendekati konformasi dari wild type-p53. Terbentukknya konformasi helix pada sistem 1 dimungkinkan akibat dari perubahan interaksi yang terjadi pada daerah L2 dengan residu histidin yang
commit to user
mengalami perubahan posisi rantai samping dan perubahan konformasi backbone L2 karena adanya penambahan adduct.
Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein pada daerah L1 ditunjukkan dengan perubahan jarak antar residu di daerah tersebut. Gambar 19 menunjukkan perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein pada daerah L1 yang ditunjukkan dengan perubahan jarak antar residu di daerah tersebut. Jarak antar residu-residu daerah L1 sistem 1 diantaranya pada residu Leu-114 dengan Thr-123 sejauh 12,3 Å, residu Hie-115 dengan Val-122 sejauh 10,1 Å, residu Ser-116 dengan Val-122 sejauh 4,6 Å, dan residu Thr-118 dengan Ser-121 sejauh 9,8 Å. Dari keempat perubahan jarak yang terjadi pada daerah L1 sistem 1 hanya residu antara Thr-118 dengan Ser-121 yang memiliki jarak antar residu paling mendekati wild type-p53, mengingat jarak antara residu Thr-118 dengan Ser-121 wild type-p53 sejauh 9,7 Å. Hal ini cukup penting karena residu Thr-118 dan Ser-121 merupakan residu-residu yang dapat berinteraksi (kontak) secara langsung dengan DNA.
Gambar 19. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein sistem 1 pada daerah L1. Konformasi parsial L1 digambarkan dalam bentuk pita, sedangkan rantai samping residu-residu daerah L1 digambarkan dalam bentuk stick. Konformasi parsial R175H- p53 (sistem 4) dan R175H-p53 yang mengandung adduct MQ- Sistein (sistem 1) ditunjukkan berturut-turut dengan warna merah muda dan hijau.
commit to user
Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein juga terjadi pada daerah L2. Perubahan konformasi parsial tersebut terlihat dari berubahnya jarak antar residu-residu daerah L2. Penambahan adduct MQ-Sistein ternyata mampu memberikan pengaruh perubahan di lingkungan sekitar tempat mutasi. Menariknya, backbone residu Glu-180, Arg-181, dan Cys-182 pada R175H-p53 yang berbentuk loop berubah menjadi helix dengan penambahan adduct MQ-Sistein. Konformasi helix ini juga terjadi pada sistem 3 dengan dominasi populasi ke-2 hasil clustering. Hal ini menunjukkan bahwa adanya penambahan adduct pada R175H-p53 mampu memberikan perubahan konformasi parsial mendekati konformasi wild type-p53. Perubahan konformasi pada R175H- p53 karena penambahan adduct juga ditunjukkan dengan perubahan jarak antar residu yang terjadi di daerah L2. Perubahan jarak antar residu-residu daerah L2 ditunjukkan pada gambar 20.
Gambar 20. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 1 pada daerah L2. Konformasi parsial L2 digambarkan dalam bentuk pita, sedangkan rantai samping residu-residu daerah L2 digambarkan dalam bentuk stick. Konformasi parsial R175H-p53 dan R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein ditunjukkan berturut-turut dengan warna merah muda dan hijau.
Perubahan jarak backbone residu-residu dilingkungan tempat mutasi R175H-p53 karena adanya adduct diantaranya terjadi pada residu His-175 dengan Hie-178 sejauh 8,7 Å menjadi 9,0 Å, residu His-175 dengan Hin-179 dari 4,2 Å
commit to user
menjadi 6,3 Å, residu His-175 dengan Glu-180 dari 4,5 Å menjadi 5,2 Å, residu His-175 dengan Ser-183 dari 9,8 Å menjadi 5,4 Å, residu His-175 dengan Leu- 188 dari 18,0 Å menjadi 16,6 Å, dan residu Arg-174 dengan Hie-178 dari 12,3 Å menjadi 12,6 Å. Dari beberapa perubahan tersebut terdapat dua jarak antar residu daerah L2 yang mampu mendekati jarak antar residu yang terjadi pada wild type- p53, yaitu jarak backbone antara residu His-175 dengan Hie-178 pada sistem 1 sejauh 9,0 Å sedang pada sistem 3 sejauh 9,0 Å dan jarak backbone antara residu His-175 dengan Leu-188 pada sistem 1 sejauh 16,6 Å sedang pada sistem 3 sejauh 17,0 Å.
Perubahan konformasi backbone histidin dimungkinkan mempengaruhi residu-residu yang berada disekitarnya. Konformasi backbone seperti spiral yang terbentuk pada sistem 1 mungkin disebabkan karena terjadinya ikatan hidrogen antara atom H pada gugus NH residu Ser-183 dengan atom O pada gugus CO residu Glu-180. Jarak ikatan hidrogen yang terjadi pada dua residu tersebut adalah 2,3 Å. Ikatan ini memungkinkan terjadinya tarikan atom backbone antara dua residu tersebut sehingga dapat mengubah konformasinya menjadi helix. Interaksi antara residu Ser-183 dengan Glu-180 sistem 1 disajikan pada gambar 21.
Gambar 21. Interaksi ikatan hidrogen antara Ser-183 dengan Glu-180 pada sistem
1. Rantai samping tiap residu ditampilkan dengan stick. Atom C, H, O, N, S ditunjukkan berturut-turut dengan warna hijau, putih, merah, biru, dan kuning.
Perubahan karena adanya penambahan adduct pada sistem 1 juga terjadi pada daerah L3. Perubahan tersebut juga ditunjukkan oleh berubahnya jarak antar residu yang berada di lengkungan L3. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein pada daerah L3 juga ditunjukkan dengan perubahan jarak
commit to user
antar residu di daerah tersebut. Perubahan jarak tersebut disajikan pada gambar
Gambar 22. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 1 pada daerah L3. Konformasi parsial R175H-p53 dan R175H- p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein ditunjukkan berturut-turut dengan warna merah muda dan hijau.
Perubahan jarak antar residu-residu daerah L3 dari R175H-p53 menjadi R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein diantaranya pada residu Tyr- 236 dengan Met-246 dari 10,4 Å menjadi 8,9 Å, residu Met-237 dengan Met-246 dari 11,7 Å menjadi 10,9 Å, dan residu Ser-241 dengan Met-246 dari 6,9 Å menjadi 9,8 Å. Residu Ser-241 dengan Gly-245 dari 8,0 Å menjadi 10,0 Å. Dari perubahan-perubahan jarak tersebut, residu antara Met-237 dengan Met-246 memiliki jarak yang tidak jauh berbeda dengan sistem 3, mengingat jarak antara residu tersebut pada sistem 3 sejauh 10,8 Å. Jarak antar residu yang mampu mendekati sistem 3 juga terjadi pada residu Ser-241 dengan Met-246, hal ini disebabkan jarak pada residu Ser-241 dengan Met-246 sistem 3 sejauh 10,1 Å. Jarak antara residu Ser-241 dengan Gly-245 juga mampu mendekati jarak yang terjadi pada sistem 3.
Beberapa perubahan konformasi mutan R175H-p53 yang mengandung adduct ternyata mampu mendekati konformasi wild type-p53. Perubahan tersebut ditunjukkan oleh berubahnya sebagian konformasi backbone maupun berubahnya jarak antar residu yang terjadi pada mutan R175H-p53 yang mengandung adduct. Hal ini memperkuat dugaan bahwa penggantian oleh adduct MQ-Sistein pada
commit to user
posisi Cys-124 dapat memberikan pengaruh perubahan konformasi parsial mendekati wild type-p53.
c) Perubahan Konformasi R175H-p53 oleh Adduct pada Residu Sistein-275
Perubahan konformasi R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein pada residu nomor 275 mampu memberikan perubahan konformasi parsial dari makromolekul seperti yang terjadi pada sistem 1. Adanya adduct MQ-Sistein secara tidak langsung memberikan pengaruh pada posisi backbone residu mutasi (histidin) maupun residu-residu lain terutama pada daerah loop yang cenderung lebih fleksibel dibandingkan bagian lain pada makromolekul. Pengaruh perubahan posisi backbone residu mutasi (histidin) terhadap lingkungan disekitarnya diperkirakan karena terjadi perubahan interaksi di daerah sekitar residu mutasi, terlebih pada daerah L2, akibatnya terjadi perubahan konformasi L2 pada sistem 4 dari loop menjadi helix setelah penambahan adduct. Perubahan konformasi mutan oleh adduct pada residu sistein-275 disajikan pada gambar 23.
Gambar 23 memperlihatkan terjadinya perubahan konformasi parsial akibat adanya adduct pada residu nomor 275. Sama halnya yang terjadi pada sistem 1, sistem 2 yang merupakan R175H-p53 dengan penambahan adduct pada residu 275 juga memberikan perubahan konformasi parsial pada beberapa daerah terutama daerah loop. Penambahan adduct diperkirakan juga mengakibatkan perubahan posisi backbone residu mutasi (histidin) yang terletak diantara L2 dan L3. Akibat perubahan posisi rantai samping residu histidin, residu-residu yang berada di lingkungan residu histidin juga berubah.
Menariknya, residu-residu yang berada disekitar lingkungan residu histidin terutama pada daerah L2 mengalami perubahan cukup signifikan sama seperti yang terjadi pada kompleks mutan R175H yang mengandung adduct MQ-Sistein pada residu nomor 124. Perubahan konformasi parsial terjadi pada range residu 177-183 dari konformasi loop berubah menjadi helix karena adanya pengaruh secara tidak langsung oleh penambahan adduct. Helix yang ada pada daerah L2 juga terjadi pada sistem 3 dengan populasi dominan ke-2. Probabilitas terbentuknya helix ternyata dapat mengalami peningkatan ketika ditambahkan
commit to user
adduct pada residu 275. Perubahan konformasi ini sesuai dengan analisis kestabilan yang ditunjukkan sebelumnya dengan harga B-factor atom backbone maupun analisis entropi atom backbone vektor NH yang menunjukkan bahwa daerah L2 mutan R175H cenderung fleksibel kemudian berubah menjadi lebih rigid karena perubahan konformasinya menjadi helix yang disebabkan adanya pengaruh adduct.
Gambar 23. Perbedaan konformasi p53 antara wild type-p53 (sistem 3) pada
populasi dominan pertama (kiri) dan populasi dominan ke-2 (kanan) dengan sistem 2 dan sistem 4. Overlay konformasi p53 digambarkan dalam bentuk pita, sedangkan residu yang mengalami mutasi (arginin menjadi histidin) digambarkan dalam bentuk stick. Wild type- p53 (sistem 3) dengan populasi dominan pertama, sistem
3 dengan populasi dominan ke-2, sistem 2, dan sistem 4 ditunjukkan berturut-turut dengan warna abu-abu, orange, biru, dan merah muda.
Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein pada residu nomor 275 terjadi pada daerah L1 yang ditunjukkan dengan perubahan jarak antar residu di daerah tersebut. Jarak antar residu-residu daerah L1 R175H- p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein diantaranya pada residu Leu-114 dengan Thr-123 sejauh 10,0 Å, residu Hie-115 dengan Val-122 sejauh 9,8 Å,
commit to user
residu Ser-116 dengan Val-122 sejauh 5,1 Å, dan residu Thr-118 dengan Ser-121 sejauh 10,0 Å. Beberapa perubahan jarak tersebut hanya residu antara Leu-114 dengan Thr-123 yang memiliki jarak paling mendekati wild type-p53, mengingat jarak antara residu tersebut pada wild type-p53 sejauh 9,7 Å. Hal ini cukup penting karena residu Thr-118 dan Ser-121 merupakan residu-residu yang dapat berinteraksi (kontak) secara langsung dengan DNA. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein pada daerah L1 yang ditunjukkan dengan perubahan jarak antar residu di daerah tersebut disajikan pada gambar 24.
Gambar 24. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein sistem 2 pada daerah L1. Konformasi parsial L1 digambarkan dalam bentuk pita, sedangkan rantai samping residu-residu daerah L1 digambarkan dalam bentuk stick. Konformasi parsial R175H- p53 dan R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein ditunjukkan berturut-turut dengan warna merah muda dan biru.
Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein juga terjadi pada daerah L2. Adduct MQ-Sistein yang berada pada residu Cys-275 ternyata mampu memberikan pengaruh perubahan di lingkungan sekitar tempat mutasi. Backbone residu Glu-180, Arg-181, dan Cys-182 pada R175H-p53 yang berbentuk loop berubah menjadi helix dengan penambahan adduct MQ-Sistein. Konformasi helix ini juga terjadi pada sistem 3 dominasi populasi kedua hasil clustering . Hal ini menunjukkan bahwa adanya penambahan adduct pada R175H- p53 mampu meningkatkan probabilitas terbentuknya helix. Perubahan konformasi lainnya pada R175H-p53 karena penambahan adduct juga ditunjukkan dengan
commit to user
perubahan jarak antar residu yang terjadi di daerah L2. Perubahan jarak antar residu-residu daerah L2 ditunjukkan pada gambar 25.
Gambar 25. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 2 pada daerah L2. Konformasi parsial R175H-p53 dan R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein ditunjukkan berturut-turut dengan warna merah muda dan biru.
Perubahan jarak backbone residu-residu dilingkungan tempat mutasi yang berada pada daerah L2 R175H-p53 karena adanya adduct MQ-Sistein diantaranya terjadi pada residu His-175 dengan Hie-178 sejauh 8,7 Å menjadi 9,2 Å, residu His-175 dengan Hin-179 dari 4,2 Å menjadi 6,4 Å, residu His-175 dengan Glu- 180 dari 4,5 Å menjadi 4,1 Å, residu His-175 dengan Ser-183 dari 9,8 Å menjadi 6,8 Å, residu His-175 dengan Leu-188 dari 18,0 Å menjadi 17,2 Å, dan residu Arg-174 dengan Hie-178 dari 12,3 Å menjadi 12,1 Å. Dari perubahan-perubahan jarak antar residu daerah L2 tersebut terdapat tiga perubahan jarak antar residu daerah L2 pada sistem 2 yang mampu mendekati jarak antar residu yang terjadi pada wild type-p53. Jarak backbone antara residu His-175 dengan Hie-178 pada sistem 2 sejauh 9, 2 Å mampu mendekati jarak backbone antara residu His-175 dengan Hie-178 pada wild type-p53 yang memilik jarak sejauh 9,0 Å. Jarak backbone antara residu His-175 dengan Glu-180 pada sistem 2 sejauh 4,1 Å mampu mendekati jarak backbone antara wild type-p53 yang memilik jarak sejauh 4,0 Å. Hal serupa juga terjadi pada jarak backbone antara residu His-175 dengan Leu-188 pada sistem 2 sejauh 17,2 Å sedang pada sistem 3 sejauh 17,0 Å. Jarak
commit to user
backbone antara residu residu Arg-174 dengan Hie-178 pada sistem 2 sejauh 12,1 Å mampu mendekati jarak backbone residu tersebut pada wild type-p53 yang memilik jarak sejauh 12,0 Å.
Perubahan konformasi L2 menjadi helix dimungkinkan juga terjadi akibat adanya ikatan hidrogen yang terbentuk antara atom O pada gugus CO residu Hie- 178 dengan atom H pada gugus NH residu Arg-181 dengan panjang ikatan 2,6 Å. Ikatan hidogen lainnya dimungkinkan terjadi antara atom O gugus CO residu Hin- 179 dengan aton N gugus NH residu Ser-183. Jarak ikatan hidrogen yang terjadi pada dua residu tersebut adalah 2,6 Å. Struktur helix terbentuk oleh backbone ikatan peptida yang membentuk spiral. Bentuk spiral tersebut dimungkinkan akibat tarikan ikatan hidrogen yang terjadi antara backbone residu Hie-178 dengan residu Arg-181 dan residu Hin-179 dengan Ser-183. Interaksi ikatan hidrogen pada backbone helix yang berada di daerah L2 sistem 2 disajikan pada gambar 26.
Gambar 26. Interaksi ikatan hidrogen antara residu Hie-178 dengan Arg-181 (A)
dan Hin-179 dengan Ser-183 (B) pada sistem 2. Konformasi backbone helix digambarkan dalam bentuk flat, sedangkan rantai
samping tiap residu ditampilkan dalam bentuk stick. Atom C, H, O ditunjukkan berturut dengan warna biru, putih, dan merah.
Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein juga terjadi pada daerah L3 yang ditunjukkan dengan perubahan jarak antar residu di daerah tersebut. Perubahan jarak antar residu-residu daerah L3 dari R175H-p53 menjadi R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein diantaranya pada residu Tyr-236 dengan Met-246 dari 10,4 Å menjadi 11,7 Å, residu Met-237 dengan Met-246 dari 11,7 Å menjadi 10,8 Å, residu Ser-241 dengan Met-246 dari
commit to user
6,9 Å menjadi 10,0 Å, dan residu Ser-241 dengan Gly-245 dari 8,0 Å menjadi 10,0 Å. Perubahan jarak antar residu-residu daerah L3 dari R175H-p53 menjadi R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein pada residu nomor 275 disajikan pada gambar 27.
Gambar 27. Perubahan konformasi parsial R175H-p53 oleh adduct MQ-Sistein
sistem 2 pada daerah L3. Konformasi parsial L3 digambarkan dalam bentuk pita, sedangkan rantai samping residu-residu daerah L3 digambarkan dalam bentuk stick. Konformasi parsial R175H- p53 dan R175H-p53 yang mengandung adduct MQ-Sistein ditunjukkan berturut-turut dengan warna merah muda dan biru.
Dari keempat perubahan jarak tersebut menunjukkan bahwa seluruh jarak antar residu daerah L3 mampu mendekati jarak antar residu backbone yang terjadi pada residu-residu milik wild type-p53. Jarak antar residu pada backbone antara residu Tyr-236 dengan Met-246 sejauh 11,7 Å, sedang pada wild type-p53 sejauh 12,0 Å (populasi dominan pertama) dan 11,9 Å (populasi dominan kedua). Jarak antar residu pada backbone antara residu Met-237 dengan Met-246 pada sistem 2 sama dengan sistem 3 yaitu sejauh 10,8 Å. Jarak antar residu yang mampu mendekati wild type-p53 juga terjadi pada residu Ser-241 dengan Met-246, mengingat jarak residu Ser-241 dengan Met-246 pada wild type-p53 sejauh 10,1 Å. Jarak antara residu Ser-241 dengan Gly-245 juga mampu mendekati jarak yang terjadi pada sistem 3, mengingat jarak antar residu tersebut pada sistem 3 sejauh 10,5 Å.
commit to user
Penambahan adduct MQ-Sistein yang terdapat pada sistem 1 dan 2 ternyata mampu meningkatkan kestabilan R175H-p53 selama simulasi berlangsung. Adduct MQ-Sistein yang terdapat pada sistem 1 dan 2 ternyata juga memberikan perubahan konformasi parsial dari R175H-p53 yang dapat mendekati konformasi wild type-p53, terutama daerah L1, L2, dan L3 yang merupakan daerah penting untuk DNA-binding maupun stabilisasi residu-residu permukaan p53 yang binding dengan DNA. R175H-p53 dengan modifikasi pada sistein-124 (sistem 1) yang diketahui memiliki reaksi pembentukan adduct paling cepat terlihat memberikan perbaikan konformasi parsial mendekati wild type-p53 pada daerah L2 dan L3. Daerah L2 sistem 1 terdapat konformasi parsial berupa helix seperti yang ditemukan dalam wild type-p53 pada populasi dominan ke-2, sedangkan pada daerah L3 terdapat beberapa residu yang memiliki jarak interaksi yang mendekati wild type-p53. Penambahan adduct pada sistein-275 (sistem 2) yang diketahui memiliki reaksi pembentukan adduct paling lambat secara mengejutkan memperlihatkan perbaikan konformasi parsial yang dapat mendekati wild type -p53 pada daerah L1, L2 dan L3. Beberapa residu daerah L1 dan L3 sistem 2 yang berperan penting dalam DNA-binding menunjukkan jarak antar residu yang mendekati jarak antar residu pada wild type-p53. Daerah L2 diketahui merupakan daerah stabilisasi residu-residu permukaan p53 yang berperan dalam DNA-binding . Adanya adduct pada sistem 2 ternyata mampu meningkatkan probabilitas terbentuknya helix. Hal ini cukup menarik karena dengan terbentuknya helix menunjukkan peningkatan kestabilan daerah tersebut.
Modifikasi oleh adduct MQ-Sistein yang dilakukan pada residu sitein R175H-p53 dengan perbedaan kecepatan reaksi pembentukan adduct dan perbedaan lokasi memberikan pengaruh yang berbeda terhadap konformasi mutan p53. Pengaruh penambahan adduct ternyata mampu menginduksi modifikasi lokal sehingga sebagian konformasinya dapat menyerupai wild type-p53. Perubahan konformasi parsial yang terjadi pada L1, L2, dan L3 menunjukkan bahwa sebagian konformasi mutan p53 mampu distabilkan dan mampu mendekati konformasi wild type-p53 dengan penambahan adduct MQ-Sistein.
commit to user
58