PAJAK DAN KETIMPANGAN PAJAK DAN KETIMPANGAN

LAMPIRAN III: PAJAK DAN KETIMPANGAN PAJAK DAN KETIMPANGAN

Yustinus Prastowo Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA)

Pajak memiliki dua fungsi utama, yaitu mengisi kas negara dan menjadi instrumen kebijakan publik. Kedua fungsi tersebut bertalian erat karena tingkat penerimaan pajak yang tinggi memungkinkan belanja publik yang optimal. Sebaliknya, optimalisasi fungsi kebijakan publik memungkinkan redistribusi pendapatan yang baik melalui peningkatan alokasi belanja publik untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan.

Para ahli sepakat abad ke-21 ditandai menguatnya peran pemerintah melalui belanja publik dari penerimaan pajak yang relatif tinggi (Tanzi, 2011). Berbagai penelitian juga menunjukkan, penerimaan pajak yang tinggi berbanding lurus dengan sistem ekonomi yang terbuka, tingginya kualitas demokrasi, rendahnya tingkat korupsi, tingginya kontribusi orang pribadi. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Timpang dan tidak adil Kondisi perpajakan Indonesia masih jauh dari memuaskan. Secara umum

negara berkembang menghadapi beberapa persoalan pokok: 1) tingkat rasio pajak yang rendah; 2) struktur penerimaan pajak yang timpang; 3) rendahnya kepatuhan karena besarnya porsi hard-to-tax sector; dan 4) tingginya penghindaran pajak.

Lima tahun terakhir pemerintah tidak pernah mencapai target penerimaan pajak di APBN. Nisbah penerimaan pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) masih berkisar 12-13% atau hanya naik 0,1% dalam rentang 2004- 2014. Capaian ini masih di bawah Filipina (14%), Malaysia (16%), Thailand (17%), Korea Selatan (25%), Afrika Selatan (27%), dan Brasil (34%). Jika diukur dengan nisbah buoyancy (elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan Lima tahun terakhir pemerintah tidak pernah mencapai target penerimaan pajak di APBN. Nisbah penerimaan pajak terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) masih berkisar 12-13% atau hanya naik 0,1% dalam rentang 2004- 2014. Capaian ini masih di bawah Filipina (14%), Malaysia (16%), Thailand (17%), Korea Selatan (25%), Afrika Selatan (27%), dan Brasil (34%). Jika diukur dengan nisbah buoyancy (elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan

Stagnasi pemungutan pajak juga ditunjukkan kemampuan memungut potensi yang ada (tax coverage ratio) masih berkutat di kisaran 53,8%. Kondisi di atas diperparah oleh rendahnya tingkat kepatuhan pajak. Alih-alih meningkat, pada tahun 2014 hanya 9 juta wajib pajak yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dari seharusnya 18,4 juta wajib pajak, dan tak lebih dari 900.000 wajib pajak dengan status SPT kurang bayar.

Kurun 2004-2014 ternyata juga ditandai naiknya koefisien gini yang menunjukkan melebarnya kesenjangan; dari 0,32 menjadi 0,41. Pada saat yang bersamaan Palma Index mencatat pangsa pendapatan 10% penduduk terkaya sebesar 2,08 kali pendapatan 40% penduduk termiskin (Anshory Yusu, 2014).

Ketimpangan yang menganga ini terjelaskan oleh struktur penerimaan pajak yang tidak adil. Proporsi penerimaan 2014 per jenis pajak berturut-turut adalah PPh Rp 536,9 triliun (47,6%), PPN Rp 408,8 triliun (35,7%), cukai Rp 118 triliun (10,3%). Artinya, pajak tidak langsung yang cenderung regresif masih cukup dominan. Bahkan PPh Pasal 21 yang dipotong dari gaji karyawan mencapai Rp 105,6 triliun, hanya kalah dari PPh badan Rp 144,2 triliun, dan jauh di atas PPh orang pribadi non-karyawan yang hanya Rp 4,7 triliun.

Kelompok orang pribadi nonkaryawan merupakan hard-to-tax sector karena lemahnya administrasi perpajakan, maraknya praktik beking, dan praktik penghindaran pajak yang agresif. Global Financial Integrity (2014) mencatat, Indonesia di peringkat ke-8 negara dengan aliran uang haram sebesar 18 miliar dollar AS dan peringkat ke-9 negara dengan aset di tax haven yang mencapai 331 miliar dollar AS (Tax Justice Network, 2010).

Paradigma baru Data di atas secara terang dan lugas menunjukkan bahwa kondisi perpajakan

Indonesia jauh dari keadilan substansial. Kelompok kaya yang seharusnya membayar pajak lebih besar, sesuai prinsip ability to pay, kemampuan membayar, justru menjadi kelompok yang paling kecil membayar pajak. Jika hal ini dibiarkan, bukan saja ketimpangan akan semakin lebar, juga melawan raison d'etre bangsa Indonesia karena gagal menghadirkan keadilan sosial dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Untuk itu, perlu segera dilakukan upaya perubahan paradigma dan ideologi kebijakan pajak. Pertama, peneguhan kembali pajak sebagai sarana menuju kemandirian pembiayaan pembangunan berbasis kegotongroyongan.

Kedua, penegasan prinsip ability to paysehingga kelompok yang lebih mampu menanggung beban pajak lebih besar. Hal ini harus tecermin dalam progresivitas tarif PPh orang pribadi dengan menaikkan tarif tertinggi dari 30% jadi 35% untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar dan memperlebar tax bracket(lapis penghasilan) yang melindungi kelompok penghasilan menengah-bawah.

Ketiga, pemenuhan prasyarat administrasi pajak yang baik, yaitu single identification number (SIN) untuk menjaring wajib pajak baru, perluasan akses fiskus terhadap transaksi keuangan dan perbankan, serta sistem teknologi informasi yang terpadu dan komprehensif.

Keempat, optimalisasi fungsi tax allowance untuk kelompok berpenghasilan menengah-bawah, kelas pekerja, wanita bekerja, pekerja usia nonproduktif, dan pengecualian obyek PPN terhadap barang yang dikonsumsi kelompok berpenghasilan rendah.

Kelima, peningkatan strategi anti penghindaran pajak yang efektif menangkal praktik manipulasi pajak lintas negara yang amat merugikan, antara lain melalui kerja sama regional.

Dengan demikian kita layak berharap, melalui kebijakan pajak yang baik, problem ketimpangan dan kemiskinan dapat diatasi. Perubahan paradigma dan ideologi pemungutan pajak mutlak dibutuhkan agar pajak menjadi sarana perubahan sosial yang efektif. Dalam cuaca demokrasi yang cukup baik, partisipasi dan keterlibatan publik yang lebih luas bukanlah sesuatu yang mahal. Persoalan mendasar bangsa ini adalah kemalasan untuk masuk ke dalam detail dan keengganan menguliti bungkus ideologi yang kadang menghegemoni cara berpikir, sehingga kita menganggap bangsa ini dalam keadaan baik-baik saja. Setidaknya melalui pajak kita masih menaruh harap bahwa Indonesia yang lebih baik bukanlah utopia.