PERAN SATRESKRIM POLRESTA BANDAR LAMPUNG DALAM PENANGGULANGAN PENCURIAN DENGAN KEKERASAN TERHADAP PENGENDARA KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA (Studi di Polresta Bandar Lampung)

I.

PEND
DAHULUAN
AN

A. Latarr Belakang Masalah
M

Perkemban
bangan hukum
um difokuska
kan pada hub
ubungan timb
mbal balik an
antara diferen
rensiasi
hukum dengan
de
difere
rensiasi sosia

sial yang dim
imungkinkan
an untuk men
enggarap kem
embali
peraturan--peraturan,, kemampua
uan memben
entuk hukum
um, keadila
ilan dan insstitusi
penegak hhukum. Diferensiasi
Di
i iitu sendiri
ri merupakan
an ciri yang
ng melekatt pada
masyaraka
kat yang teng
ngah mengala
alami perkem

embangan . M
Melalui difer
ferensiasi inii suatu
masyaraka
kat terurai ke
k dalam bbidang spes
pesialisasi ya
yang masing
ng-masing sedikit
se
banyak me
mendapatkann kedudukan
an yang otono
nom.

Hukum pa
pada dasarny
nya bersifatt dinamis
d
ses

esuai dengan
an perkemban
angan sosial
al yang
terjadi dal
dalam kehidu
dupan masya
yarakat. Hal
al ini sesuai
ai dengan pe
pendapat Satjipto
Sa
Rahardjo:

Untuk meelihat hubun
ungan antara
ra hukum dan
da perubaha
han sosial pe
perlu sebuah

ah alat
dalam ben
entuk konsep
ep yang men
enjelaskan secara
se
fungsi
gsional tempa
pat hukum dalam
d
masyaraka
kat. Alat ters
ersebut menu
nunjukkan aktivitas
ak
huku
kum yaitu:: ((1) Merumu
muskan
hubungann antara angg
ggota masyar

arakat denga
gan menentuk
ukan perbuata
tan yang dila
ilarang
dan yangg bboleh dilaku
kukan; (2) Mengalokasi
M
sikan dan me
menegaskann ssiapa yang
g boleh
b
mengguna
nakan keku
kuasaan, ata
atas siapa dan baga
gaimana pr
prosedurnya;
a; (3)
Memperta

rtahankan kem
emampuan ad
adaptasi mas
asyarakat den
engan cara m
mengatur kem
embali
1
hubungan--hubungann ddalam masy
syarakat man
anakala terjad
jadi perubaha
han

1

Rahardjo
jo, Satjipto. Hukum dala
lam Perspekti
ktif Sejarah dan

d
Perubah
ahan Sosial dalam
Pembanguna
nan Hukum dal
alam Perspekti
ktif Politik Huku
kum Nasional. Rajawali. Jak
akarta. 1996. hlm.
hlm 22

2
Penyesuai
aian hukum terhadap perubahan
p
sosial
s
sudah
ah dianggapp suatu hak
k yang

tidak perl
erlu diraguka
kan lagi, namun
na
apabi
bila dihadap
apkan padaa peranan hukum
hu
melakukan
an kontrol ssosial, masi
asih dipertan
anyakan men
engenai kem
mampuan hukum
hu
untuk men
enjalankan pperannya yang
ya demiki
ikian itu; kar
arena hukum

m sebagai sarana
sa
kontrol so
sosial dihada
adapkan pada
da persoalan
lan bagaiman
ana mencipta
ptakan perub
ubahan
dalam mas
asyarakat seh
ehinga mamp
mpu mengiku
kuti perubaha
han yang seda
dang terjadi 2

Hukum m
memiliki fungsi

fun
pentin
ting dalam kehidupan
k
bbermasyarak
rakat sebagai
ai alat
untuk men
enciptakan kkeadilan, ket
keteraturan,, ketentraman
k
an dan ketert
rtiban, tetapi
pi juga
untuk meenjamin ada
danya kepas
astian hukum
um. Pada ta
tataran selan
lanjutnya, hukum

hu
diarahkann sebagai sar
sarana kemaju
ajuan dan kesejahteraan
ke
an masyaraka
kat yang dibe
ibentuk
atas keing
nginan dan kkesadaran tiap-tiap
t
individu
in
dii ddalam mas
asyarakat, dengan
de
maksud ag
agar hukum
m dapat berja
rjalan sebaga
gaimana dici
icita-citakann ooleh masya
yarakat
melalui mekanisme
me
ppenegakan hukum
h
pidan
ana.

Penegakan
an hukum pidana
p
mem
miliki perana
anan yang besar
be
dalam
m penyelenga
garaan
kehidupan
an berbangsa
sa dan berneg
egara untuk menjamin
m
kepentingan
ke
n masyarakat
at atau
warga neg
egara, terjam
minnya kepa
pastian hukum
um sehingga
ga berbagaii pperilaku krim
riminal
dan tindak
akan sewenan
ang-wenangg yang dilaku
akukan anggo
gota masyara
rakat atas ang
nggota
masyaraka
kat lainnya akan
a
dapatt dihindarkan
d
an. Penegaka
kan hukum se
secara ideal
al akan
mengantis
tisipasi berba
bagai penyel
elewengan pada
p
anggo
gota masyara
rakat dan adanya
ad
pegangann yang pasti
ti bagi
b masyar
arakat dalam
m menaati da
dan melaksan
anakan hukum
um.3

Pentingny
nya masalahh ppenegakann hukum ber
erkaitan deng
ngan semaki
kin meningka
katnya
kecenderu
rungan berba
bagai fenome
mena kejahat
atan baik pelaku,
pe
modu
dus, bentuk,
k, sifat,
maupun kkeadaannya.
a. Kejahatan
an seakan telah
te
menjad
adi bagian ddalam kehid
idupan
2

Barda Naawawi Arief.. Bunga Ramp
mpai Kebijakan
an Hukum Pidana.
Pid
PT Cit
Citra . Adityaa Bakti.
Bandung. 2002.
20 hlm. 16
3
Satjipto Rahardjo.
Ra
Bung
nga Rampai Permasalahan
Per
Dalam
D
Sistem Peradilan Pid
Pidana. Pusat
Pelayanan K
Keadilan dan P
Pengabdian Hu
Hukum Jakarta.
ta. 1998. hlm.. 17
1

3
manusia yang sulit diprediksi kapan dan dimana potensi kejahatan akan terjadi.
Salah satunya adalah tindak pidana pencurian dengan kekerasan, khususnya
terhadap pengendara kendaraan bermotor.

Terkait dengan tindak pidana pencurian dengan Kekerasan terhadap Pengendara
Kendaraan Bermotor maka pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri)
dalam fungsinya institusi penegakan hukum memiliki tugas menciptakan
memelihara keamanan dalam negeri dengan menyelenggaraan berbagai fungsi
kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dilakukan oleh Polri selaku alat negara yang dibantu oleh masyarakat dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Pencurian dengan kekerasan yang sedang marak terjadi di wilayah hukum adalah
pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor atau begal.
Polresta Bandar Lampung dan jajaran Polsek selama Februari 2015 mengungkap
kasus tindak pidana curat, curas dan curanmor dari Satuan Reserse Kriminal
Polresta Bandar Lampung di Joglo Mapolresta Bandar Lampung, Senin (9/3/15).4

Tabel 1. Tindak Pidana Pencurian dengan Kekerasan Kendaraan Bermotor di
Wilayah Hukum Polresta Bandar Lampung
No

Tahun

1
2

2013
2014

Curat
213
226

Tindak Pidana
Curas
Curanmor
224
74
254
92

Jumlah
511
572

Sumber: Data Polresta Bandar Lampung Tahun 2015

4

http://lampung.tribunnews.com/2015/03/25/antisipasi-aksi-kriminalitas-polresta-bentuk-tim-antibandit. Diakses Rabu 2 April 2015.

4
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa tindak pidana pencurian di wilayah
hukum Polresta Bandar Lampung mengalami peningkatan. Pada tahun 2013
terjadi 511 kasus pencurian, terdiri dari curat sebanyak 213, curas sebanyak 224
dan curanmor sebanyak 74. Pada tahun 2014 terjadi 572 kasus pencurian, terdiri
dari curat sebanyak 226, curas sebanyak 254 dan curanmor sebanyak 92.
Sehubungan dengan data tersebut, maka Satreskrim Polresta Bandar Lampung
melaksanakan perannya dalam penanggulangan tindak pidana tersebut.

Dasar Hukum Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) adalah Pasal 1 Angka 16
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resor dan
Kepolisian Sektor, yang menyatakan Satreskrim adalah unsur pelaksana tugas
pokok fungsi reserse kriminal pada tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres.

Tugas pokok Satreskrim sebagaimana diatur Pasal 43 Ayat (2) Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 adalah
melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan pengawasan penyidikan tindak
pidana, termasuk fungsi identifikasi dan laboratorium forensik lapangan serta
pembinaan, koordinasi dan pengawasan PPNS.

Fungsi Satreskrim sebagaimana diatur Pasal 43 Ayat (3) Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 adalah:
a. Pembinaan teknis terhadap administrasi penyelidikan dan penyidikan,
serta identifikasi dan laboratorium forensik lapangan;
b. Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan wanita baik
sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan umum;

5
d. Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mengkaji efektivitas
pelaksanaan tugas Satreskrim;
e. Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh
penyidik pada unit reskrim Polsek dan Satreskrim Polres;
f. Pembinaan, koordinasi dan pengawasan PPNS baik di bidang operasional
maupun administrasi penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
g. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum dan khusus, antara lain
tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di daerah
hukum Polres.
Organisasi polisi secara keseluruhan mulai dari tingkat Mabes Polri hingga ke
Pospol merupakan organisasi yang sangat besar, menganut bentuk organisasi
garis, staf dan fungsional. Dalam hal pengorganisasian Polri, pejabat satuan
pelaksana memiliki kewenangan dan dapat melaksanakan semua tugas kepolisian,
sedangkan pada pejabat fungsi memiliki kewenangan terbatas dalam bidang
pekerjaan tertentu. Secara labih rinci, pada tingkat Polres, bentuk organisasinya
adalah garis dan fungsional yang ditunjukkan dari adanya pejabat-pejabat
Kapolsek yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan seluruh tugas
kepolisian di wilayah hukum Polsek masing-masing.

Kinerja polisi dalam menekan kejadian kriminalitas antara lain dapat diukur dari
keberhasilan dalam menurunkan angka kejahatan. Kinerja memberi perlindungan
kepada masyarakat dapat dilihat dari berbagai bentuk tindakan, seperti reaksi
cepat polisi ketika menerima laporan dari masyarakat; patroli yang dijalankan
secara kontinue, kehadiran polisi tepat waktu di tempat-tempat yang dianggap
rawan. Bentuk kepercayaan masyarakat pada polisi yaitu kesediaan untuk
menyerahkan penanganan setiap masalah kepada polisi dan tidak main hakim
sendiri, yang cenderung tidak mengindahkan prosedur hukum yang semestinya
berlaku. Semakin tinggi kepercayaan masyarakat terhadap polisi maka akan

6
semakin terjaga pelaksanaan hukum dan ketertiban di masyarakat tersebut.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kepercayaan masyarakat
terhadap polisi maka semakin tinggi pula kinerja polisi.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis melaksanakan penelitian
dengan judul: Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan
pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua
(Studi di Polresta Bandar Lampung).

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah

Peran

Satreskrim

Polresta

Bandar

Lampung

dalam

penanggulangan pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan
bermotor roda dua?
b. Apakah faktor-faktor yang menghambat Peran Satreskrim Polresta Bandar
Lampung dalam penanggulangan pencurian dengan kekerasan terhadap
pengendara kendaraan bermotor roda dua?

2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup penelitian ini adalah kajian ilmu hukum pidana, yang berkaitan
dengan Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan
pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua
dan faktor-faktor yang menghambat peran Satreskrim tersebut. Ruang lingkup
lokasi penelitian adalah wilayah hukum Kota Bandar Lampung dan ruang lingkup
waktu penelitian adalah pada Tahun 2015.

7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung dalam
penanggulangan pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara kendaraan
bermotor roda dua
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat Peran Satreskrim Polresta
Bandar Lampung dalam penanggulangan pencurian dengan kekerasan
terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua

2. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini terdiri dari kegunaan teoritis dan kegunaan praktis:
a. Kegunaan Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan kajian
hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan peran Kepolisian dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsi sebagai aparat penegak hukum.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna secara positif bagi pihak
kepolisian dalam melaksanakan perannya sebagai aparat penegak hukum
menghadapi perkembangan kehidupan masyarakat dan terjadinya tindak
pidana yang semakin kompleks dewasa ini.

8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah abstraksi hasil pemikiran atau kerangka acuan atau dasar
yang relevan untuk pelaksanaan suatu penelitian ilmiah, khususnya penelitian
hukum5. Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
a. Teori Peran
Peran diartikan sebagai seperangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh
orang yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dalam hal ini diharapkan
sebagai posisi tertentu di dalam masyarakat yang mungkin tinggi, sedangsedang saja atau rendah. Kedudukan adalah suatu wadah yang isinya adalah
hak dan kewajiban tertentu, sedangkan hak dan kewajiban tersebut dapat
dikatakan sebagai peran. Oleh karena itu, maka seseorang yang mempunyai
kedudukan tertentu dapat dikatakan sebagai pemegang peran (role accupant).
Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat,
sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. 6

Secara sosiologis peran adalah aspek dinamis yang berupa tindakan atau
perilaku yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati atau memangku
suatu posisi dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban sesuai dengan
kedudukannya. Jika seseorang menjalankan peran tersebut dengan baik,
dengan sendirinya akan berharap bahwa apa yang dijalankan sesuai dengan
keinginan dari lingkungannya. Peran secara umum adalah kehadiran di dalam
menentukan suatu proses keberlangsungan.7
Peran dimaknai sebagai tugas atau pemberian tugas kepada seseorang atau
sekumpulan orang. Peran memiliki aspek-aspek sebagai berikut:
1) Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat.
2) Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.

5

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Rineka Cipta. Jakarta. 1986. hlm.103
Kamus Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. 2002. hlm. 348.
7
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta. 2002. hlm.242

6

9
3) Peran juga dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.8

Jenis-jenis peran adalah sebagai berikut:
1) Peran normatif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga
yang didasarkan pada seperangkat norma atau hukum yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat
2) Peran ideal adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga
yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan
sesuai dengan kedudukannya di dalam suatu sistem.
3) Peran faktual adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga
yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau
kehidupan sosial yang terjadi secara nyata.9

Teori lain yang berkaitan dengan peran Polri tersebut adalah Teori
Penanggulangan Kejahatan, yang dikenal dengan berbagai istilah, antara lain
penal policy atau criminal policy adalah suatu usaha untuk menanggulagi
kejahatan melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi
rasa keadilan dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan
terhadap berbagai sarana sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku
kejahatan, berupa sarana pidana maupun non hukum pidana, yang dapat
diintegrasikan satu dengan yang lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil
untuk menanggulangi kejahatan, berarti akan dilaksanakan politik hukum
pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundangundangan pidana yang sesuai dengan berbagai keadaan dan situasi pada suatu
waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
kejahatan (politik kriminal) menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu:
8
9

Ibid. hlm.243.
Ibid. hlm.244.

10
1. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya
meliputi penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi-kondisi
sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempengaruhi upaya
pencegahan terjadinya kejahatan
2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal
Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
hukum pidana yang di dalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan kejahatan.
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar10
Menurut G Peter Hoefnagels, upaya penanggulangan kejahatan atau kebijakan
kriminal adalah reaksi social terhadap kejahatan dalam bentuk didirikannya
sebuah institusi. Dalam lingkup kebijakan kriminal ini, Hoefnagels
memasukkan di dalamnya berupa: (a) penerapan sarana hukum pidana; (b)
pencegahan tanpa pemidanaan; (c) upaya mempengaruhi pandangan
masyarakat tentang suatu kejahatan. 11

b. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,
namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan
konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak
sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan
secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak
sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan
sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.
2) Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah
mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka
penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan
kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.
3) Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang
10
11

Barda Nawawi Arif, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2004, hlm.12.
Ibid. hlm.15.

11
memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan
penegak hukum tidak mungkin menjalankan peran semestinya.
4) Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan
penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting
dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat.
Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin
memungkinkan penegakan hukum yang baik.
5) Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.
Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan
nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum,
semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan
dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam
menegakkannya.12

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan berbagai konsep yang menjadi fokus pengamatan
dalam melaksanakan penelitian13. Berdasarkan definisi tersebut, maka batasan
pengertian dari istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Peran adalah aspek dinamis kedudukan (status). Apabila seseorang
melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia
menjalankan suatu peran14
b. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 Ayat 1 UndangUndang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia). Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di

12

Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rineka Cipta.
Jakarta. 1983. hlm.8-10
13
Soerjono Soekanto. 1986. Op. Cit. hlm.103
14
Soerjono Soekanto. 2002. Op. Cit. hlm.243

12
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2).
c. Penanggulangan tindak pidana adalah berbagai tindakan atau langkah yang
ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mencegah dan mengatasi
suatu tindak pidana dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan melindungi
masyarakat dari kejahatan15
d. Pencurian dengan kekerasan menurut Pasal 365 Ayat (1) KUHP adalah tindak
pidana yang diancam dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun
dipidana pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan pada orang, dengan maksud untuk menyediakan atau
memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan, supaya ada
kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi yang turut serta melakukan
kejahatan itu untuk melarikan diri atau supaya barang yang dicurinya tetap
tinggal di tempatnya.
e. Satreskrim adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi reserse kriminal pada
tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres16.

15

Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.
PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23
16
Pasal 1 Angka 16 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian
Sektor

13
E. Sistematika Penulisan

I

PENDAHULUAN
Berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar Belakang,
Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,
Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.

II

TINJAUAN PUSTAKA
Berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang berhubungan
dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi atau bahan
pustaka terdiri dari Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia,

Pengertian

Satuan

Reserse

dan

Kriminal,

Pengertian

Penanggulangan Kejahatan, Kejahatan pencurian dengan kekerasan dan
Pengertian Kendaraan Bermotor.
III

METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan
Masalah, Sumber Data, Penentuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan
dan Pengolahan Data serta Analisis Data.

IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai Peran Satreskrim
Polresta Bandar Lampung dalam penanggulangan pencurian dengan
kekerasan terhadap pengendara kendaraan bermotor roda dua dan faktorfaktor yang menghambat Peran Satreskrim Polresta Bandar Lampung
dalam penanggulangan pencurian dengan kekerasan terhadap pengendara
kendaraan bermotor roda dua.

14
V

PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan
pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan
yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Peran

Peran diartikan sebagai seperangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang
yang berkedudukan di masyarakat. Kedudukan dalam hal ini diharapkan sebagai
posisi tertentu di dalam masyarakat yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau
rendah. Kedudukan adalah suatu wadah yang isinya adalah hak dan kewajiban
tertentu, sedangkan hak dan kewajiban tersebut dapat dikatakan sebagai peran.
Oleh karena itu, maka seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu dapat
dikatakan sebagai pemegang peran (role accupant). Suatu hak sebenarnya
merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban
adalah beban atau tugas. 17

Secara sosiologis peran adalah aspek dinamis yang berupa tindakan atau perilaku
yang dilaksanakan oleh seseorang yang menempati atau memangku suatu posisi
dan melaksanakan hak-hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya. Jika
seseorang menjalankan peran tersebut dengan baik, dengan sendirinya akan
berharap bahwa apa yang dijalankan sesuai dengan keinginan dari lingkungannya.
Peran secara umum adalah kehadiran di dalam menentukan suatu proses
keberlangsungan.18

17
18

Kamus Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta. 2002. hlm. 348.
Soerjono Soekanto. hlm.242

16
Peran merupakan dinamisasi dari statis ataupun penggunaan dari pihak dan
kewajiban atau disebut subyektif. Peran dimaknai sebagai tugas atau pemberian
tugas kepada seseorang atau sekumpulan orang. Peran memiliki aspek-aspek
sebagai berikut:
1)

2)
3)

Peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat
seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian
peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan masyarakat
Peran adalah suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu
dalam masyarakat sebagai organisasi.
Peran juga dapat diartikan sebagai perilaku individu yang penting bagi
struktur sosial masyarakat.19

Jenis-jenis peran adalah sebagai berikut:
1) Peran normatif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga
yang didasarkan pada seperangkat norma atau hukum yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat
2) Peran ideal adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang
didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai
dengan kedudukannya di dalam suatu sistem.
3) Peran faktual adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang
didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial
yang terjadi secara nyata.20

B. Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Kepolisian menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah segala hal-ihwal yang
berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundangundangan. Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di
bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

19
20

Ibid. hlm.243.
Ibid. hlm.244.

17
Pengorganisasian Polri dirancang bersifat sentralistik setelah diberlakukannya UU
Nomor 2 Tahun 2002, hal ini dimaksudkan agar koordinasi antara kesatuan atas
dengan kesatuan bawah berlangsung efektif, karena ada kesatuan yang dapat
menjebatani antar dua kesatuan. Namun hal ini juga tidak lepas dari kelemahan,
yaitu timbul birokrasi yang panjang dan berbelit-belit dalam alur administrasi,
kurang responsive terhadap tuntutan warga masyarakat lokal, rentan akan
politisasi penguasa nasional sehingga lembaga kepolisian kurang berperan untuk
kepentingan rakyat, dan kurang fleksibel menghadapi perubahan di masyarakat. 21

Pengorganisasian dan Tata Cara Kerja Polisi itu diatur berdasarkan Keppres
Nomor 70 Tahun 2002. Dalam hal ini saluran kewenangan di tingkat Mabes Polri
menerapkan tipe staf fungsional dan general, di mana terdapat pejabat fungsional
seperti Kaba Reskrim, Kaba Intelkam yang memiliki wewenang terbatas dalam
bidang pekerjaan tertentu, di samping itu Kapolri juga dibantu oleh staf yang tidak
memiliki

kewenangan

komando,

antara

lain

staf

ahli,

dan

staf

auxiliary/pendukung (pengurusan administrasi personel, logistik, keuangan,
pendidikan dan latihan). Pada tingkat Polda ke bawah berlaku bentuk organisasi
garis dan fungsional yang dicirikan oleh adanya pejabat fungsional di tingkat
Polda yang memiliki kewenangan terbatas di bidang pekerjaan tertentu (misalnya
Direktur Reserse Narkoba, Direktur Intelkan, Kepala Biro Personel dan
sebagainya), serta para Kepala Satuan Pelaksana (Kapolwil, Kapolwiltabes,
Kapolres dan Kapolpos) yang memiliki wewenang melaksanakan semua bidang
pekerjaan kepolisian di wilayah hukum masing-masing.

Organisasi polisi secara keseluruhan mulai dari tingkat Mabes Polri hingga ke
Pospol merupakan organisasi yang sangat besar, menganut bentuk organisasi
garis, staf dan fungsional. Dalam hal pengorganisasian Polri, pejabat satuan

21

Abdussalam, H. R. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum. Restu
Agung, Jakarta. 2009. hlm. 89.

18
pelaksana memiliki kewenangan dan dapat melaksanakan semua tugas kepolisian,
sedangkan pada pejabat fungsi memiliki kewenangan terbatas dalam bidang
pekerjaan tertentu. Secara labih rinci, pada tingkat Polres, bentuk organisasinya
adalah garis dan fungsional. Ini ditunjukkan dari adanya pejabat-pejabat Kapolsek
yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan seluruh tugas kepolisian di
wilayah hukum Polsek masing-masing, di samping itu ada pejabat fungsional baik
di bidang opersional (Kepala Satuan Reserse, Kepala Satuan Intelkam, Kepala
Satuan Lantas, Kepala Bagian Binamitra dan Kepala Bagian Operasi) maupun
Kepala Bagian Administrasi dan Kepala Unit P3D (Pelayanan, Pengaduan, dan
Penegakan Disiplin).

Dihadapkan pada kondisi masyarakat yang berkembang secara dinamis, Polri
yang memiliki organisasi sangat besar tersebut apabila tidak diimbangi
peningkatan profesionalitas dan spesialisasi dalam mengemban tugas maka
penonjolan kekuasaan (power) dalam menjalankan tugas sangat mungkin masih
akan terus berlangsung. Di sisi lain yang tidak kalah pentingnya ialah, mengingat
pada setiap anggota polisi itu melekat kekuasaan deskresi dalam menjalankan
tugas, apabila hal tersebut tidak disertai dengan rumusan aturan perilaku (code of
practice) yang jelas bagi masing-masing petugas polisi pada fungsi kepolisian
(Intel, Reserse, Samapta, Bimas, Lalu Lintas) maka pelanggaran etika yang
dilakukan polisi akan terus terjadi. Dalam kaitan masalah ini perlu didudukkan
pula sistem pemolisian di Indonesia sesuai dengan kondisi sosial budayanya. Juga
dalam hal sistem manajemen kepolisian agar lebih praktis mengingat beban
tugasnya semakin hari terus meningkat.22

Masyarakat bagi Polri, bukan hanya kepada siapa mereka memberikan pelayanan
(jasa kepolisian), tetapi juga kepada siapa mereka harus bertanggungjawab.
Pertanggungjawaban hukum khususnya atas penggunaan kekuatan paksa fisik
oleh individu-individu polisi maupun pertanggungjawaban organik kepolisian
tentunya tidak meniadakan pertanggungjawaban publik. Disini akuntabilitas

22

Sutarto. Menuju Profesionalisme Kinerja Kepolisian. PTIK. Jakarta. 2002. hlm.11

19
publik kepolisian menjadi sangat penting mengingat pekerjaan polisi syarat
dengan kewenangan diskresi dan upaya memaksa, bahkan menyangkut nyawa
seseorang yang

hal itu

cukup

sulit

untuk

dikontrol (low visibility).

Konsekwensinya ialah, dalam kondisi ini akses publik harus dibuka seluasnya
bagi pengawasan kepolisian, baik terhadap tindakan dari para petugas kepolisian
maupun perumusan kebijakan dan manajemen kepolisian. Kondisi ini dibutuhkan
bukan saja oleh negara, tetapi juga oleh masyarakat dalam kapasitasnya sebagai
obyek tindakan kepolisian.

Eksistensi polisi dalam suatu negara perlu legitimasi yang jelas. Ada dua alasan
untuk hal itu. Pertama, setiap lembaga negara perlu diberi derajat monopoli
kekuasaan untuk menjalankan tugasnya. Hal ini penting bagi polisi karena dalam
menjalankan tugasnya mendapatkan mandat untuk menggunakan kekuatan fisik
yang terorganisir. Kedua, dalam negara demokratis seluruh lembaga negara harus
memiliki akuntabilitas dalam menjalankan tugasnya. Ini berarti bahwa, mandat
yang diperoleh polisi untuk menggunakan kekuatan paksa fisik harus disertai
pertanggungjawaban

dan

bila

terjadi

kegagalan

dalam

mmberikan

pertanggungjawaban harus disertai pula hukuman.

Secara struktural, dalam lembaga kepolisian melekat dua kekuasaan. Pertama,
kekuasaan di bidang hukum, dan kedua kekuasaan di bidang pemerintahan. Kedua
kekuasaan itu melahirkan tiga fungsi utama kepolisian, yaitu sebagai penegak
hukum yang diperoleh dari kekuasaan bidang hukum; sebagai pelayan masyarakat
termasuk penegakan ketertiban umum, dan sebagai pengayom keamanan. Kedua
fungsi terakhir diperoleh dari kekuasaan bidang pemerintahan. Kekuasaan polisi
tersebut diwujudkan dalam bentuk kekuatan paksa fisik yang terorganisir untuk
mengontrol perilaku masyarakat dalam mencapai moral kolektif. Kekuasaan di
sini tentu mengacu pada suatu dasar dari bentuk kesepakatan bersama. Artinya,
kekuasaan polisi itu tidaklah berdiri sendiri untuk mencapai moral kolektif,
banyak lembaga lain yang terlibat di dalamnya, polisi bukanlah satu-satunya
lembaga yang memiliki kekuasaan absolut untuk membangun moral kolektif.

20
Sampai di sini sesungguhnya polisi tidak memiliki masalah yang serius,
persoalannya muncul ketika masyarakat menuntut polisi agar menjadi wasit yang
adil dalam kinerjanya, sedangkan strategi kekuasaan merangkak ke arah titik
orientasi tujuan pihak penguasa. Dalam kondisi demikian apabila polisi tidak
diimbangi dengan kemampuan yang memadai, maka sangat dimungkinkan mudah
mengabaikan tujuan moral kolektif. 23

Pasal 8 Ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 2002 yang menetapkan posisi Polri langsung
di bawah Presiden jelas memberi peluang bagi kemungkinan digunakannya polisi
sebagai alat kepentingan politik Presiden atau menjadi kekuatan yang
memonopoli penggunaan kekerasan secara politis, bukan secara hukum. Selain itu
kewenangan yang diberikan kepada Polri dalam UU Nomor 2 Tahun 20002 (Pasal
15, Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18) terkesan memberi kewenangan yang sangat luas
dalam menjalankan tugas. Apabila hal itu tidak diimbangi kontrol publik yang
kuat, maka kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan sangat besar. Di
berbagai negara demokratis, menjadi prasyarat mutlak adanya suatu external
overside untuk mengoreksi, mengarahkan dan mengembangkan kepolisian agar
menjadi organisasi yang profesional dan mengabdi kepada kepentingan publik.
Dalam hal ini, meskipun UU Nomor 2 Tahun 2002 telah menetapkan adanya
Komisi Kepolisian Nasional (Pasal 37) namun fungsionalisasinya masih terbatas
hanya sebagai penasehat Presiden dan sekedar menerima keluhan masyarakat,
sedangkan wewenang investigasi terhadap anggota polisi yang melakukan
penyimpangan (pelanggaran etika maupun pidana) tidak dimiliki. Apalagi jika
personelnya diisi dari kalangan pejabat pemerintah, maka harapan terwujudnya
independensi lembaga akan sulit tercapai. Hal ini menunjukkan masih lemahnya
sarana kontrol terhadap lembaga kepolisian di Indonesia.

23

Ibid. hlm.13-14.

21
Pengaturan keanggotaan Polri pada Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) membedakan
antara Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Polisi. Pada hal setelah keluar dari
pengorganaisasian TNI, polisi dinyatakan sebagai ”polisi sipil”. Selayaknya
keanggotaan pada lembaga penegak hukum lainnya seperti kejaksaan, pengadilan
dan lembaga pemasyarakatan sebagai lembaga sipil, tidak dibedakan antara PNS
dengan jaksa, hakim maupun aparat pemasyarakat. Yang membedakan adalah
”kewenangan” yang dilekatkan kepada individu-individu yang memiliki tugas
khusus. Seperti penuntut umum, hakim, sipir, dan penyelidik/penyidik jika di
lingkungan Polri tidak menganut diskriminasi.

Menghadapi kenyataan tersebut, pemikiran ke depan terhadap UU Nomor 2
Tahun 2002 perlu diselaraskan secara cermat dengan diarahkannya kelembagaan
polisi menjadi bagian dari demokratisasi lewat fungsi pokok sebagai penegak
hukum dalam rangka melindungi masyarakat. Seperti halnya disetiap negara yang
menganut prinsip demokrasi di mana keberadaan institusi kepolisian terfokus pada
mandat publik yaitu pemberantas kejahatandan pemelihara ketertiban.

Polisi dihadapkan pada kondisi masyarakat yang berkembang secara dinamis,
Polri perlu meningkatkan profesionalitas dan spesialisasi dalam mengemban tugas
untuk mengimbangi beban yang terus meningkat. Di sisi lain yang tidak kalah
penting, mengingat pada setiap anggota polisi melekat kekuasaan deskresi dalam
menjalankan tugas, apabila hal itu tidak disertai dengan rumusan aturan perilaku
(code of practice) yang jelas bagi masing-masing fungsi kepolisian (Intel,
Reserse, Samapta, Bimas, Lalu Lintas) maka pelanggaran etika yang dilakukan
polisi akan terus terjadi. Dalam kaitan masalah tersebut perlu adanya kaji ulang

22
terhadap sistem kepolisian di Indonesia yang sesuai dengan kondisi sosial budaya
bangsa. Juga dalam hal manajemen kepolisian agar lebih praktis mengingat beban
tugas polisi semakin hari terus meningkat.

Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa Kepolisian bertujuan untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman
masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang
merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran:
a. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis
masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan
nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh
terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya
ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan
potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan
menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk
gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat.
b. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan
terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat. Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau
kepentingan bangsa dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri.

Menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, tugas pokok Kepolisian adalah memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum dan memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

23
C. Pengertian Satuan Reserse dan Kriminal

Menurut Pasal 1 Angka 16 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada
Tingkat Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor, pengertian Satuan Reserse dan
Kriminal (Satreskrim) adalah unsur pelaksana tugas pokok fungsi reserse kriminal
pada tingkat Polres yang berada di bawah Kapolres.

Pasal 43 Angka 16 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2010 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja pada Tingkat
Kepolisian Resor dan Kepolisian Sektor:
(1)
(2)

(3)

Satreskrim merupakan unsur pelaksana tugas pokok yang berada di bawah
Kapolres.
Satreskrim bertugas melaksanakan penyelidikan, penyidikan, dan
pengawasan penyidikan tindak pidana, termasuk fungsi identifikasi dan
laboratorium forensik lapangan serta pembinaan, koordinasi dan
pengawasan PPNS.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Satreskrim menyelenggarakan fungsi:
b. Pembinaan teknis terhadap administrasi penyelidikan dan penyidikan,
serta identifikasi dan laboratorium forensik lapangan;
c. Pelayanan dan perlindungan khusus kepada remaja, anak, dan wanita
baik sebagai pelaku maupun korban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan;
d. Pengidentifikasian untuk kepentingan penyidikan dan pelayanan umum;
e. Penganalisisan kasus beserta penanganannya, serta mengkaji efektivitas
pelaksanaan tugas Satreskrim;
f.
Pelaksanaan pengawasan penyidikan tindak pidana yang dilakukan
oleh penyidik pada unit reskrim Polsek dan Satreskrim Polres;
g. Pembinaan, koordinasi dan pengawasan PPNS baik di bidang
operasional maupun administrasi penyidikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
h. Penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum dan khusus, antara
lain tindak pidana ekonomi, korupsi, dan tindak pidana tertentu di
daerah hukum Polres.

Pasal 44 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2010, menyatakan Satreskrim dipimpin oleh Kasatreskrim yang

24
bertanggung jawab kepada Kapolres dan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari di
bawah kendali Wakapolres.

Menurut Pasal 45 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor
23 Tahun 2010, Khusus pada Polres Tipe Metropolitan, Polrestabes, dan Polresta,
Kasatreskrim dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Wakil Kepala Satuan
Reserse Kriminal (Wakasatreskrim).
Pasal 44 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2010, Satreskrim dalam melaksanakan tugas dibantu oleh:
a.

b.
c.

d.

Urusan Pembinaan Operasional (Urbinopsnal), yang bertugas melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap administrasi serta pelaksanaan
penyelidikan dan penyidikan, menganalisis penanganan kasus dan
mengevaluasi efektivitas pelaksanaan tugas Satreskrim;
Urusan Administrasi dan Ketatausahaan (Urmintu), yang bertugas
menyelenggarakan kegiatan administrasi dan ketatausahaan;
Urusan Identifikasi (Urident), yang bertugas melakukan identifikasi dan
laboratorium forensik lapangan, dan pengidentifikasian untuk kepentingan
penyidikan dan pelayanan umum; dan
Unit, terdiri dari paling banyak 6 (enam) Unit, yang bertugas melakukan
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana umum, khusus, dan tertentu di
daerah hukum Polres, serta memberikan pelayanan dan perlindungan khusus
kepada remaja, anak, dan wanita baik sebagai pelaku maupun korban sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

D. Penanggulangan Kejahatan

Upaya penanggulanan kejahatan dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal
policy atau criminal policy adalah suatu usaha untuk menanggulagi kejahatan
melalui penegakan hukum pidana, yang rasional yaitu memenuhi rasa keadilan
dan daya guna. Dalam rangka menanggulangi kejahatan terhadap berbagai sarana
sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan, berupa sarana
pidana maupun non hukum pidana, yang dapat diintegrasikan satu dengan yang

25
lainnya. Apabila sarana pidana dipanggil untuk menanggulangi kejahatan, berarti
akan dilaksanakan politik hukum pidana, yakni mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang sesuai dengan berbagai keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa mendatang.

Usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan
(politik kriminal) menggunakan 2 (dua) sarana, yaitu:
1. Kebijakan Pidana dengan Sarana Non Penal
Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana non penal hanya meliputi
penggunaan sarana sosial untuk memperbaiki kondisi sosial tertentu, namun
secara tidak langsung mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan
2. Kebijakan Pidana dengan Sarana Penal
Sarana penal adalah penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum
pidana yang didalamnya terdapat dua masalah sentral, yaitu perbuatan apa
yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya
digunakan atau dikenakan pada pelanggar24

Upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan kebijakan,
dalam arti ada keterpaduan antara politik kriminal dan politik sosial; ada
keterpaduan (integral) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan
non-penal. Kebijakan sosial diartikan sebagai segala usaha rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat dan mencakup perlindungan masyarakat.

E. Kejahatan Pencurian dengan Kekerasan

Kejahatan pencurian dengan kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 365
KUHP maka bunyinya adalah sebagai berikut:
(1) Diancam dengan pidana penjara selama-lamanya sembilan tahun dipidana
pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan pada orang, dengan maksud untuk menyediakan atau
memudahkan pencurian itu atau jika tertangkap tangan, supaya ada
24

Barda Nawawi Arif, Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2004. hlm.12

26
kesempatan bagi dirinya sendiri atau bagi yang turut serta melakukan
kejahatan itu untuk melarikan diri atau supaya barang yang dicurinya tetap
tinggal di tempatnya.
(2) Dipidana penjara selama-lamanya dua belas tahun dijatuhkan:
a. Jika perbuatan itu dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau
dipekarangan tertutup yang ada rumahnya, atau di jalan umum atau di
dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
b. Jika perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau lebih
c. Jika yang bersalah masuk ke tempat melakukan kejahatan itu dengan
memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.
d. Jika perbuatan itu berakibat ada orang luka berat.
(3) Dijatuhkan pidana penjara selama-lamanya lima tahun jika perbuatan itu
berakibat ada orang mati.
(4) Pidana mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selamalamanya dua puluh tahun dijatuhkan jika perbuatan itu berakibat ada orang
luka atau mati dan perbuatan itu dilakukan bersama-sama oleh dua orang atau
lebih dan lagi pula disertai salah satu hal yang diterangkan dalam Nomor 1
dan Nomor 3.
a. Yang dimaksud dengan kekerasan menurut Pasal 89 KUHP yang berbunyi
”Yang dimaksud dengan melakukan kekerasan”, yaitu membuat orang jadi
pingsan atau tidak berdaya lagi.Sedangkan melakukan kekerasan menurut
Soesila mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara
tidak syah misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala senjata,
menyepak, menendang, dan sebagainya. Masuk pula dalam pengertian
kekerasan adalah mengikat orang yang punya rumah, menutup orang
dalam kamar dan sebagainya dan yang penting kekerasan itu dilakukan
pada orang dan bukan pada barang.
b. Ancaman hukumannya diperberat lagi yaitu selama-lamanya dua belas
tahun jika perbuatan itu dilakukan pada malam hari disebuah rumah
tertutup, atau pekarangan yang di dalamnya ada rumah, atau dilakukan
pertama-tama dengan pelaku yang lain sesuai yang disebutkan dalam Pasal
88 KUHP atau cara masuk ke tempat dengan menggunakan anak kunci
palsu, membongkar dan memanjat dan lain-lain. Kecuali jika itu perbuatan
menjadikan adanya yang luka berat sesuai dengan Pasal 90 KUHP yaitu:
Luka berat berarti:
1) Penyakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan
sempurna atau yang mendatangkan bahaya maut.
2) Senantiasa tidak cukap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan
pencahariaan.
3) Tidak dapat lagi memakai salah satu panca indra.
4) Mendapat cacat besar.
5) Lumpuh (kelumpuhan).
6) Akal (tenaga paham) tidak sempurna lebih lama dari empat minggu.
7) Gugurnya atau matinya kandungan seseorang perempuan.
c. Jika pencurian dengan kekerasan itu berakibat dengan matinya orang maka
ancaman diperberat lagi selama-lamanya lima belas tahun, hanya saja yang
penting adalah kematian orang tersebut tidak dikehendaki oleh pencuri.

27
d. Hukuman mati bisa dijatuhkan jika pencurian itu mengakibatkan matinya
orang luka berat dan perbuatan itu dilakuakan oleh dua orang atau lebih
bersama-sama

F. Pengertian Kendaraan Bermotor

Kendaraan Bermotor menurut Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah setiap Kendaraan yang
digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan
di atas rel.

Sepeda motor menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, adalah kendaraan bermotor beroda dua
dengan atau tanpa rumah-rumah dan dengan atau tanpa kereta samping atau
kendaraan bermotor beroda tiga tanpa rumah-rumah.

Kendaraan bermotor sebagai alat transportasi berperan sebagai penunjang,
pendorong dan penggerak bagi pertumbuhan suatu daerah, sehingga diperlukan
jasa transportasi yang serasi dengan tingkat kebutuhan lalu lintas dan pelayanan
angkutan yang memenuhi nilai-nilai ideal seperti ketertiban, keteraturan,
kelancaran, keselamatan dan keamanan dalam berkendara.

G. Teori Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja,
namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu:
a) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)
Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi
pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan

28

b)

c)

d)

e)

25

konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak
sedangkan kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan
secara normatif. Oleh karena itu suatu tindakan atau kebijakan yang tidak
sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan
sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.
Faktor penegak hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah
mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka
penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan
kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.
Faktor sarana dan fasilitas
Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang
memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang
memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan
penegak hukum tidak mungkin menjalankan peran semestinya.
Faktor masyarakat
Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan
penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Bagian yang terpenting
dalam menentukan penegak hukum adalah kesadaran hukum masyarakat.
Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin
memungkinkan penegakan hukum yang baik.
Faktor Kebudayaan
Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat.
Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan
nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum,
semakin banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan
dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudahlah dalam
menegakkannya.25

Soerjono Soekanto. Op Cit. 1983. hlm.8-10

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yurdis
normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif
dimaksudkan sebagai upaya memahami persoalan dengan tetap berada atau
bersandarkan pada lapangan hukum, sedangkan pendekatan yuridis empiris
dimaksudkan untuk memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan
dalam penelitian berdasarkan realitas yang ada.26

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber dan jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah:
1. Data Primer
Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan
penelitian dengan cara melakukan wawancara dengan pihak Kepolisian Resor
Kota Bandar