Ekspose Hasil-Hasil Penelitian, 2007
102
D. Biologi Pembungaan
Berdasarkan perbedaan dalam strukturnya, pakar botani mengklasifikasikan struktur reproduksi Pinus sebagai strobili dan bukan sebagai bunga. Tapi karena
fungsinya sama yaitu untuk menghasilkan tanaman baru maka banyak pula pakar lainnya menggunakan istilah bunga sebagai strobili Dorman, 1976.
Genus Pinus adalah jenis pohon berumah satu monocious yaitu produksi strobili jantan dan strobili betina terjadi pada satu pohon tetapi letaknya pada
bagian pohon yang terpisah Dorman, 1976. Pada satu dahan dan ranting P. merkusii, strobili jantan terbentuk pada bagian yang lebih rendah daripada strobili
betina, dan pada umumnya terdapat di bagian tengah dan bawah tajuk; sedang- kan strobili betina terbentuk di bagian tajuk yang lebih atas. Pemisahan letak
strobili seperti ini cukup efektif untuk mencegah terjadinya silang dalam in- breeding karena tidak mungkin serbuksari dapat muncul di bagian atas tajuk
penyerbukan untuk mengadakan penyerbukan sendiri selfing. Selfing tidak lain adalah bentuk ekstrim dari inbreeding. Sifat-sifat biologi pembungaan P. merkusii
telah dikaji oleh Suhaendi 1988 b. Menurut Daranto 1983, pada P. merkusii strobili betina terbentuk lebih dahulu daripada strobili jantan.
Penyerbukan P. merkusii dilakukan oleh angin atau anemogamy. Keadaan ini akan membantu terjadinya penyerbukan silang outcrossing di antara pohon-
pohon yang terpisah beberapa ratus meter jauhnya Kingmuangkow, 1974. Pada P. merkusii terdapat adanya dikogami dichogamy, yaitu produksi
strobili jantan dan strobili betina pada waktu yang berbeda dari pohon yang sama, di mana strobili betina diproduksi lebih dahulu daripada strobili jantan. Ini juga ber-
arti adanya gejala ketidaksesuaian diri secara genetik genetic self incompatibility, yang merupakan mekanisme efektif untuk mencegah terjadinya selfinginbreeding
karena terjadinya protogini protogyny yaitu strobili betina telah reseptif matang sebelum strobili jantan siap menumpahkan serbuksarinya.
P. merkusii adalah jenis pohon yang menyerbuk silang outcrossing, sehingga kemungkinan terjadinya penyerbukan sendiri selfing adalah minimum. Ini berati
pohon-pohon P. merkusii bukan merupakan inbreed karena genotipanya hetero- zigot, dan tentunya berasal dari induk-induk yang tidak berkerabat dalam
populasinya.
E. Konservasi dan Keragaman Genetik
Konservasi genetik dapat dilakukan secara in-situ dan ex-situ. Sasrosumarto dan Suhaendi 1985 memberi batasan bahwa konservasi in-situ adalah
pelestarian kelompok plasma nutfah yang terdapat dalam suatu tempat tumbuh alami; sedangkan Sukotjo 1993 memberi batasan sebagai konservasi dari
ekosistem. Konservasi ex-situ diberi batasan sebagai pelestarian plasma nutfah di luar daerah sebaran alamnya Sasrosumarto dan Suhaendi, 1985; sedangkan
Sukotjo 1993 memberi batasan sebagai konservasi dari komponen-komponen keanekaragaman hayati di luar habitat alaminya.
Antara konservasi genetik in-situ dan ex-situ harus saling melengkapi, tapi karena terbatasnya dana dan persepsi yang dimiliki oleh otorita yang menangani
masing-masing jenis konservasi tersebut menyebabkan porsi perhatian dari kedua jenis konservasi tersebut dirasa kurang memadai Sukotjo, 1993.
103
Konservasi genetik in-situ yang paling umum adalah cagar alam dan taman nasional. Berdasarkan pengamatan di hutan pengunungan Cagar Alam Bukit
Tapan, kawasan TNKS, Armizon et al. 1995 menyatakan bahwa eksistensi P. merkusii strain Kerinci di masa yang akan datang terancam karena sedikit sekali
permudaan yang terdapat di kawasan hutan tersebut.
Menurut Munawar 2002, populasi alam strain Kerinci sudah sangat kecil dan terbagi-bagi dalam areal yang sempit. Sebagai akibatnya, angka koefisien
inbreeding menjadi tinggi yang menghasilkan keragaman genetik yang sangat rendah, dan menyebabkan terjadinya erosi genetik yang tinggi pada populasi alam
ini.
Selanjutnya Munawar 2002 menyatakan bahwa populasi alam strain Kerinci sudah dalam keadaan yang berbahaya dan mengalami ancaman kepunahan yang
serius, sebab populasinya telah terpecah-pecah dalam areal yang sempit kurang dari satu hektar dengan jumlah pohon yang hanya sedikit. Tindakan konservasi
in-situ dan ex-situ merupakan kegiatan yang sudah mendesak untuk dilaksana- kan, dan merupakan langkah yang efektif untuk mendukung program pemuliaan
pohon di masa mendatang.
Suatu tinjauan tentang status konservasi ex-situ telah dikaji oleh Suhaendi et al. 1993. Selanjutnya, Suhaendi 1997 menjelaskan jenis-jenis konservasi
genetik ex-situ, yaitu: 1. Konservasi genetik dengan benihbibit.
2. Konservasi genetik melalui metode penyimpanan pada suhu sangat rendah -
80º sampai -196ºC, atau disebut cryopreservasi. 3. Konservasi genetik dengan tepung serbuk sari.
4. Konservasi genetik dengan kultur jaringan, termasuk konservasi DNA. Yang paling banyak dilakukan untuk kepentingan praktis adalah konservasi
genetik ex-situ melalui bibit cabutan yang berasal dari hutan alam, baik di Cagar Alam Bukit Tapan maupun kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat.
III. METODOLOGI A. Deskripsi Obyek Kajian