Karakteristik Nanoemulsi Temulawak
KARAKTERISTIK NANOEMULSI TEMULAWAK
MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Nanoemulsi
Temulawak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Muhammad Fachrizal
NIM F34100130
ABSTRAK
MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO. Karakteristik Nanoemulsi
Temulawak. Dibimbing oleh ERLIZA NOOR.
Kurkumin merupakan senyawa aktif yang memiliki banyak khasiat bagi
kesehatan sehingga berpotensi untuk dikembangkan dalam bidang farmasi. Namun,
potensi pengembangan tersebut dibatasi oleh karakteristik alami kurkumin. Kurkumin
diketahui memiliki kelarutan yang rendah pada saluran pencernaan sehingga relatif
sulit masuk ke plasma darah. Selain itu, kurkumin juga mudah terdegradasi oleh agen
radikal bebas sehingga diperlukan penambahan antioksidan lain. Salah satu upaya
untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pembuatan partikel nanokurkumin
dalam bentuk emulsi (nanoemulsi). Nanoemulsi temulawak dibuat dengan metode
homogenisasi berkecepatan tinggi pada 24 000 rpm selama 40 menit, sehingga
diperoleh diameter butiran 32.62 ± 1.84 nm dengan PDI 0.255 ± 0.013. Nanoemulsi
memiliki karakteristik meliputi bioavailabilitas, kelarutan, dan stabilitas ukuran
butiran. Uji bioavailabilitas nanoemulsi dilakukan dengan metode difusi Franz.
Pelarut yang digunakan untuk uji kelarutan yaitu heksan, air, etanol, metanol, dan
aseton. Stabilitas ukuran butiran nanoemulsi diuji dengan metode penyimpanan pada
suhu 40C, suhu ruang dan suhu 500C dengan periode penyimpanan selama 90 hari.
Kurkumin dalam sediaan nanoemulsi menunjukkan kenaikkan penyerapan
(bioavailabilitas) sebesar 45.97 % dibanding emulsi temulawak. Pada uji kelarutan
terjadi perubahan kelarutan antara sediaan nanoemulsi dibanding sediaan emulsi pada
berbagai pelarut. Nanoemulsi memiliki kelarutan terbaik pada pelarut etanol dengan
persen terlarut sebesar 96.74 %. Nanoemulsi diinvestigasi memiliki stabilitas yang
lebih baik daripada sediaan emulsi pada berbagai suhu penyimpanan. Nanoemulsi
temulawak memiliki stabilitas ukuran yang lebih baik pada penyimpanan suhu 40C
dengan lama penyimpanan 60 hari. Penambahan asam sitrat sebagai antioksidan pada
nanoemulsi dapat menghambat penurunan kadar kurkumin.
Kata kunci: Temulawak, kurkumin, nanoemulsi, bioavailabilitas, stabilitas.
ABSTRACT
MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO. Characteristic Nanoemulsion
of Temulawak . Supervised by ERLIZA NOOR.
Curcumin is the active compound that has many benefits for health, so the
potential for development in the pharmaceutical. However, the development potential
is limited by the natural characteristics of curcumin. Curcumin is known to have a
low solubility in the gastrointestinal tract so it is relatively difficult to get into the
blood plasma. In addition, curcumin also degraded easily by free radicals agent
necessitating the addition of other antioxidants. One effort to overcome these
problems is the manufacture nanokurkumin particles in the form of an emulsion
(nanoemulsion). Nanoemulsion is made with high-speed homogenization method at
24 000 rpm for 40 minutes, in order to obtain a grain diameter of 32.62 ± 1.84 nm
with a polydispersity index of 0255 ± 0013. Curcumin in preparation nanoemulsi
have characteristics include bioavailability, solubility, and stability of droplet size.
Nanoemulsion bioavailability test conducted by Franz diffusion method. Solvents
used for the solubility test is hexane, water, ethanol, methanol, and acetone.
Nanoemulsi droplet size stability tested by storage at 40C, room temperature and a
temperature of 500C with a 90th day storage period. Curcumin in preparation
nanoemulsi showed an increase absorption (bioavailability) of 45.97 % compared to
the emulsion. In the solubility test changes the solubility of the preparations
nanoemulsi than emulsion preparations in various solvents, suggesting a change in
solubility characteristics. Nanoemulsi has the best solubility in ethanol with the
percent dissolved at 96.74%. Nanoemulsi investigated have better stability than the
emulsion preparation at various storage temperatures. Nanoemulsi ginger has better
dimensional stability at 40C temperature storage with storage time of 60 days. The
addition of citric acid (antioxidant) on nanoemulsi can inhibit decreased levels of
curcumin.
Keywords: Temulawak, curcumin, nanoemulsion, bioavailability, stability.
KARAKTERISTIK NANOEMULSI TEMULAWAK
MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Judul Skripsi : Karakteristik Nanoemulsi Temulawak
Nama
: Muhammad Fachrizal Pria Budi Utomo
NIM
: F34100130
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Erliza Noor
Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi dengan judul
Karakteristik Nanoemulsi Temulawak berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan
pada bulan Maret 2014 sampai November 2014 di Laboratorium Teknologi Industri
Pertanian.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas doa dan
dukungannya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor selaku pembimbing yang selalu memberi arahan,
masukan, dan bimbingannya kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.
2. Bapak dan Mama, serta kakak dan adik tercinta atas doa, kasih sayang, dan
dukungannya.
3. Egnawati Sari, Sri Mulyasih, Gunawan, Dyah Purnamasari, dan Dicky Zazuli
selaku laboran yang banyak membantu selama penelitian.
4. Teman-teman sebimbingan Fleni Ayu, dan Nina Jusnita atas bantuan dan
dukungannya selama penelitian.
5. Keluarga besar Mitrasiswa terima kasih atas kekeluargaan dan kebahagiaan yang
diberikan selama ini.
6. Keluarga besar TIN 47 dan Mitrasiswa terima kasih atas bantuan dan
kebersamaan yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi acuan para pembaca untuk
melakukan pengembangan penelitian selanjutnya.
Bogor, Maret 2015
Muhammad Fachrizal
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Perumusahn Masalah
2
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
METODE
3
Waktu dan Tempat Penelitian
3
Bahan
4
Alat
4
Prosedur Penelitian
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Ekstrak Temulawak
7
Nanoemulsi Temulawak
8
SIMPULAN DAN SARAN
17
Simpulan
14
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
17
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Formulasi bahan nanoemulsi temulawak
Karakteristik serbuk temulawak
Kadar proksimat serbuk temulawak
Karakteristik ekstrak temulawak
Karakteristik nanoemulsi temulawak
Kelarutan kurkumin nanoemulsi dan emulsi pada berbagai pelarut
6
7
8
8
9
15
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Struktur kimia kurkumin dan demetoksikurkumin
Gambar 2 Diagram alir pembuatan nanoemulsi temulawak dengan
penambahan antioksidan
Gambar 3 Ukuran butiran emulsi pada suhu 40C , suhu ruang, dan suhu 500C
Gambar 4 Ukuran nanoemulsi temulawak suhu 40C
Gambar 5 Ukuran nanoemulsi temulawak suhu ruang
Gambar 6 Ukuran nanoemulsi temulawak suhu 500C
Gambar 7 Penurunan kadar kurkumin nanoemulsi dengan penambahan asam
sitrat dan tanpa penambahan asam sitrat selama penyimpanan
Gambar 8 Jumlah kurkumin yang terpenetrasi tiap waktu
1
5
11
12
12
13
13
15
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Karakterisasi sifat ekstrak temulawak dan nanoemulsi
temulawak serta pengujiannya
Lampiran 2 Kurva standar kurkumin
Lampiran 3 Proses pembuatan nanoemulsi temulawak dengan High
Speed Homogenizer merk Virtis
Lampiran 4 Metode pembuatan larutan buffer fosfat pH 7
Lampiran 5 Distribusi ukuran nanoemulsi temulawak
Lampiran 6 Alat difusi Franz
Lampiran 7 Perubahan diameter butiran nanoemulsi temulawak
Lampiran 8 Hasil uji bioavailabilitas nanoemulsi dan emulsi temulawak
Lampiran 9 Data analisis penurunan kadar kurkumin nanoemulsi temulawak
Lampiran 10 Kerusakan-kerusakan pada nanoemulsi temulawak
Lampiran 11 Kelarutan Nanoemulsi pada berbagai pelarut heksan, aseton,
etanol, metanol, dan air
19
22
22
23
23
24
24
25
26
27
28
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi obat berbahan dasar herbal telah berkembang secara luas di negaranegara maju dan berkembang. Perkembangan teknologi pembuatan sediaan obat
herbal juga menunjukkan perkembangan yang pesat sehingga menarik perhatian para
peneliti untuk menyelaraskan teknologi dan bahan herbal dalam pengolahan bahanbahan pertanian yang lebih baik. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
merupakan salah satu bahan herbal yang memiliki banyak khasiat dan berpotensi
untuk dikembangkan di Indonesia. Produksi temulawak Indonesia tahun 2014
mencapai lebih dari 36 000 ton (BPS 2014) dan semakin berkembang penggunaan
dalam industri pangan, obat-obatan, dan komestik. Pemanfaatan tersebut terdapat
pada ekstrak temulawak. Ekstrak temulawak mengandung komponen kimia utama
yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid pada temulawak terdiri atas dua
kandungan senyawa yaitu kurkumin dan demetoksikurkumin (Sidik et al. 2005).
Struktur kimia kurkuminoid disajikan pada Gambar 1.
a
b
Gambar 1 Struktur kimia kurkumin (a) dan demetoksikurkumin (b)
Kurkumin memiliki banyak khasiat bagi kesehatan yaitu dapat mengatasi
gangguan aliran getah empedu, gangguan saluran pencernaan, sembelit, radang
rahim, kencing nanah, kurang nafsu makan, kelebihan berat badan, radang lambung,
cacar air, eksema, jerawat, reumatik arthritis dan antikanker. Namun, potensi tersebut
dibatasi oleh sifat bioavailabilitas kurkumin yang buruk (Anand et al. 2008). Hal ini
disebabkan karena kurkumin memiliki kelarutan rendah dalam saluran pencernaan
sehingga sulit masuk ke plasma darah. Selain itu, jumlah relatif kurkumin yang
mencapai sirkulasi tubuh (sistem peredaran darah) rendah (Rachmawati et al. 2014).
Kurkumin juga mudah terdegradasi oleh agen radikal bebas sehingga diperlukan
penambahan antioksidan lain (Sidik et al. 2005).
Nanoteknologi sebagai penghantar obat mulai muncul sebagai solusi untuk
mengatasi bioavailabilitas kurkumin yang buruk. Dalam ukuran nano (1-100 nm),
partikel bahan aktif dapat lebih mudah diserap sehingga dapat meningkatkan
2
bioavailabilitas (Prasetyorini 2011). Salah satu aplikasi nanoteknologi pada kurkumin
adalah pembuatan nanoemulsi. Menurut Faunn (2010); Bhatt & S. Madhav (2011);
Donsi, Wang, dan Huang (2011) dalam Arifianti (2012) nanoemulsi memiliki
kelebihan diantaranya :
1. mengakibatkan penurunan gaya gravitasi dan gerak brown sehingga dapat
mencegah sendimentasi dan creaming;
2. mencegah terjadinya flokulasi selama penyimpanan;
3. memiliki luas permukaan yang besar dari sistem emulsi memungkinkan
penetrasi yang cepat dari bahan aktif;
4. tidak merusak sel normal dari manusia dan hewan sehingga baik untuk tujuan
terapeutik pada manusia dan hewan;
5. merupakan cara yang paling efektif untuk meningkatkan bioavailabilitas dan
kelarutan dari nutrasetika.
Penelitian terhadap karakterisitik nanoemulsi temulawak dilakukan untuk
mengetahui perubahan karakteristik nanoemulsi. Pada penelitian ini dilakukan
pembuatan nanoemulsi temulawak dengan metode homogenisasi kecepatan 24 000
rpm selama 40 menit. Nanoemulsi yang terbentuk diukur stabilitas ukuran butiran
terhadap penyimpanan. Selain itu diamati kadar kurkumin terhadap penambahan
antioksidan selama penyimpanan. Nanoemulsi dengan ukuran 5%
a
Sumber: MMI (1979).
Kadar air merupakan salah satu parameter yang ditetapkan Materia Medika
Indonesia. Penentuan kadar air ini penting untuk mengetahui masa simpan serbuk
kering sampel dan sebagai salah satu syarat bahan baku herbal. Kadar air kurang dari
12 % memungkinkan serbuk temulawak dapat disimpan dalam jangka waktu yang
lama. Kadar yang sedikit memungkinkan serbuk temulawak untuk disimpan dalam
jangka waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena pada kadar air tersebut sampel
dapat terhindar dari pertumbuhan kapang yang cepat (Harjadi 1986). Kadar air serbuk
temulawak disajikan pada Tabel 3.
8
Tabel 3 Kadar proksimat serbuk temulawak
Karakteristik
Hasil
Standar Mutua
Kadar air
10.503 ± 0.155 %
< 12 %
Kadar abu
3.820 ± 0.036 %
3-7 %
Kadar protein
4.244 ± 0.092 %
Kadar lemak
11.682 ± 0.702 %
b
Kadar karbohidrat
69.751 ± 0.536 %
a
Sumber: MMI (1979); bby difference.
Ekstraksi serbuk temulawak dilakukan menggunakan pelarut etanol. Menurut
Aan (2004), saat proses ekstraksi temulawak terjadi difusi zat aktif dari dalam
rimpang temulawak ke fase pelarut sehingga tercapai keadaan keseimbangan. Pada
keadaan ini ekstrak temulawak tidak dapat berpindah lagi ke pelarut. Etanol termasuk
ke dalam pelarut yang baik untuk mengekstrak kurkumin (Aini 2013).
Rendemen ekstrak temulawak yang didapat sebesar 20.4-23.9 % dari serbuk
temulawak. Menurut Bagem et al. (2006), proses ekstraksi serbuk temulawak selama
4 jam menghasilkan ekstrak dengan rendemen sebesar 16.65 % dengan kadar
kurkumin 2.88 %. Perbedaan rendemen dapat terjadi karena konsentrasi pelarut
etanol yang digunakan adalah etanol 95 % sehingga senyawa yang larut dalam pelarut
lebih besar. Selain itu kadar kurkumin juga dapat berbeda karena perbedaan rimpang
temulawak. Umur rimpang yang mengandung senyawa kurkumin terbesar adalah 12
bulan sehingga rendemen dan kadar kurkumin dapat berbeda. Karakteristik ekstrak
temulawak disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Karakteristik ekstrak temulawak
Karakteristik
Hasil
Warna
Coklat Tua
Bentuk
Cairan Kental
Aroma
Khas Temulawak
Berat jenis
0.979 ± 0.029 g ml-1
Index bias
1.603 ± 0.033
Rendemen
18.833 ± 1.861 %
Viskositas
13.337 ± 0.119 cP
Kadar kurkumin
5301 ppm (2.5 %)
pH
5.21
9
Nanoemulsi Temulawak
Pembuatan nanoemulsi temulawak dengan kecepatan 24 000 rpm selama 40
menit diinvestigasi memiliki diameter butiran nanoemulsi temulawak sebesar 32.62 ±
1.84 nm dengan indeks polidispersitas 0.255 ± 0.013 (Tabel 5). Pengecilan ukuran ini
akibat adanya gaya pengguntingan (shear force) terhadap fasa terdispersi. Ukuran
nano diperoleh juga akibat adanya tumbukan antarmolekul. Semakin cepat dan lama
putaran akan memperbesar intensitas bersentuhan antar molekul, sehingga
menghasilkan ukuran nanoemulsi yang kecil. Menurut Harimurti et al. (2012),
nanoemulsi kurkumin menggunakan homogenisasi tekanan tinggi menghasilkan
nanoemulsi dengan ukuran butiran 74.7 nm dengan indeks polidispersitas 0.272.
Sedangkan Solanki (2012) memperoleh nanoemulsi kurkumin dengan homogenisasi
menghasilkan ukuran diameter butiran 20.8 ± 5.3 nm dengan indeks polidispersitas
0.224 ± 0.012. Indeks polidispersitas antara 0.2-0.6 akan memberikan nanoemulsi
yang lebih stabil dari agregasi partikel serta pemisahan gravitasi yang rendah (Ahmed
et al. 2012).
Tabel 5 Karakteristik nanoemulsi temulawak
Karakteristik
Hasil
Warna
Cokelat-kuning
Bentuk
Cairan
Aroma
Khas Temulawak
Bobot jenis
1.013 ± 0.021 g ml-1
pH
7.13
Viskositas
3.9 ± 0.1 cP
Kadar kurkumin
139.8 ± 12.1 ppm
Diameter butiran
32.62 ± 1.84 nm
Indeks polidispersitas
0.255 ± 0.013
Nilai pH nanoemulsi mengalami kenaikan dari pH awal ekstrak temulawak
yaitu dari 5.21 menjadi 7.13, sehingga nanoemulsi temulawak aman digunakan dalam
produk produk krim dan lotion. Berdasarkan syarat SNI 16-4954-1998, pH krim yang
aman untuk kulit berada pada rentang 3.5-8. Nilai pH yang tidak sesuai akan
merusakan lapisan mantel kulit sehingga terjadi iritasi. Nilai pH nanoemulsi
temulawak yang dihasilkan aman digunakan sebagai bahan dasar obat karena sesuai
dengan pH usus halus (7-7.4), dimana usus halus merupakan organ utama penyerapan
obat (Utami 2010). Selain itu, buffer fosfat dengan pH 7 sebagai fase air dapat
menjaga pH nanoemulsi yang dihasilkan (Jusnita 2014).
Stabilitas Nanoemulsi Temulawak
Stabilitas nanoemulsi yang baik disebabkan oleh pembentukan ukuran butiran
yang kecil. Ukuran kecil akan memperbesar luas permukaan butiran-butiran
10
nanoemulsi sehingga memperbesar tegangan antarmuka antara fase internal dan fase
eksternal. Hal ini diklarifikasi dengan pengamatan stabilitas nanoemulsi secara
visual. Pada suhu ruang, nanoemulsi temulawak mampu stabil selama 30 hari
sedangkan emulsi temulawak hanya mampu stabil selama 9 hari penyimpanan.
Ketidakstabilan nanoemulsi maupun emulsi temulawak ditandai dengan terjadi
pemisahan fase. Menurut Solanki (2012), nanoemulsi mampu stabil pada suhu ruang
lebih dari 5 hari penyimpanan.
Stabilitas nanoemulsi temulawak juga dapat dipengaruhi oleh suhu
penyimpanan. Pengamatan stabilitas nanoemulsi dilakukan pada suhu berbeda untuk
menentukan waktu terjadinya kerusakan pada nanoemulsi. Selama proses
penyimpanan dengan suhu berbeda, terjadi perubahan fisik pada nanoemulsi
temulawak. Pada suhu 40C, nanoemulsi mengalami kerusakan pada hari ke-60.
Kerusakan tersebut ditandai dengan pembentukkan flokulan-flokulan pada
nanoemulsi. Pembentukkan flokulan akan menyebabkan nanoemulsi terlihat lebih
keruh (Lampiran 10 A). Ukuran nanoemulsi pada hari ke-60 mengalami perubahan
karakteristik nano yang disebabkan oleh kenaikkan ukuran sebesar 125.03 nm dan
terus meningkat sampai hari ke-90. Kenaikkan ukuran nanoemulsi temulawak
disebabkan oleh agregasi butiran karena sifat alami minyak yang cenderung
membentuk butiran berukuran besar di dalam fase air (Fingas 2008). Agregasi
tersebut menyebabkan deformasi bentuk dari nanoemulsi menjadi emulsi dengan
ukuran >100 nm.
Kenaikkan suhu penyimpanan dapat mempercepat kerusakan pada
nanoemulsi temulawak. Gambar 3 mengkonfirmasi adanya pengaruh kenaikkan suhu
simpan terhadap perubahan ukuran nanoemulsi. Pada suhu ruang, nanoemulsi
mengalami ketidakstabilan pada hari ke-30. Ketidakstabilan nanoemulsi temulawak
dapat dilihat dengan terbentuknya koalesen (Lampiran 10 B). Pembentukkan
koaelsen dapat dilihat dengan terjadinya agregasi pada bagian permukaan sediaan.
Ukuran nanoemulsi pada saat terbentuk koalesen diinvestigasi mencapai 212.3 nm.
Pembentukkan koalesen mengkonfirmasi berpengaruh terhadap kenaikkan ukuran
butiran hingga melebihi 100 nm pada hari ke-10 dengan ukuran 105.67 nm sehingga
terjadi kehilangan karakteristik nanoemulsi.
Pengaruh suhu penyimpanan terhadap stabillitas nanoemulsi juga diamati
pada suhu 500C. Pada suhu tersebut, nanoemulsi mengalami kerusakkan nanoemulsi
yang lebih cepat. Kerusakkan nanoemulsi ditandai dengan proses kriming yang
terjadi pada hari ke-15 (Lampiran 10 C). Kenaikkan ukuran cepat karena suhu
disebabkan oleh penurunan kemampuan Tween 80 dalam menjaga kestabilan
tegangan antarmuka emulsi. Tween 80 dilaporkan memiliki daya pengemulsi yang
baik pada suhu 200 nm. Kemudian ukuran nanoemulsi
pada jam selanjutnya mengalami fluktuasi. Hal ini disebabkan oleh sampel
nanoemulsi sudah mengalami proses kriming sehingga sampel diaplikasikan pada
PSA tidak mewakili dispersitas butiran secara keseluruhan.
13
Gambar 6 Ukuran nanoemulsi temulawak pada suhu 500C
Pengaruh Penambahan Asam Sitrat
Penambahan asam sitrat 3% pada fase minyak hanya dapat menghambat
penurunan kadar kurkumin. Asam sitrat merupakan merupakan antioksidan sekunder
yang sifatnya menurunkan inisiasi melalui mekanisme penangkapan oksigen menjadi
produk-produk non radikal, bersifat asidulan, tidak berwarna, dan tidak berbau
(Youssef 2012; Winarno 1997; Frazier 1979). Kemampuan asam sitrat dalam
mengurangi degradasi kurkumin telah dibuktikan oleh Kusumawardhani (2006).
Untuk mengklarifikasi hal tersebut dilakukan analisis perubahan kadar kurkumin
nanoemulsi temulawak selama penyimpanan. Gambar 7 menunjukan penurunan
kadar kurkumin selama penyimpanan nanoemulsi temulawak.
Gambar 7 Penurunan kadar kurkumin nanoemulsi dengan penambahan asam sitrat
(
) dan tanpa penambahan asam sitrat (
) selama penyimpanan
14
Kadar kurkumin nanoemulsi mengalami penurunan yang lebih besar pada
periode awal penyimpanan. Hal ini dapat disebabkan karena kadar kurkumin lebih
tinggi akan memperbesar interaksi antara kurkumin dengan agen radikal bebas.
Penurunan kadar kurkumin pada hari ke-10 sampai hari ke-90 lebih lambat daripada
periode penyimpanan awal. Hal ini dikarenakan penurunan kadar kurkumin.
Penurunan kadar kurkumin akan memperkecil intensitas terjadinya reaksi dengan
agen radikal bebas.
Biovailabilitas Nanoemulsi Temulawak
Uji bioavailabilitas dilakukan untuk mengukur kecepatan dan jumlah
komponen senyawa aktif yang melewati membran. Larutan buffer digunakan untuk
menyamai pH cairan di usus halus manusia yaitu sekitar 7-7.4 (Kuntarti 2010).
Sebelum digunakan, pH larutan buffer tersebut harus dipastikan terlebih dahulu agar
tidak mempengaruhi pembacaan kadar kurkumin.
Pengadukan pada kompartemen reseptor dilakukan dengan magnetic stirrer
dengan kecepatan 200 rpm. Pembentukan gelembung udara harus dihindari karena di
permukaan membran yang tersentuh cairan reseptor. Gelembung udara yang
terbentuk dapat mengakibatkan pembentukan celah antara membran dengan cairan
reseptor sehingga dapat menghalangi penetrasi.
Pada Gambar 8 terlihat bahwa nanoemulsi temulawak memiliki kemampuan
bioavailabilitas yang lebih besar daripada emulsi temulawak. Pada jam ke-8 hasil
analisis cairan reseptor pada sediaan nanoemulsi mampu terpenetrasi 30.189 µg cm-2,
sedangkan pada sediaan emulsi hanya mampu terpenetrasi 20.430 µg cm-2. Persentase
kurkumin terpenetrasi pada jam ke-8 pada sediaan nanoemulsi dan emulsi berturutturut sebesar 20.13 % dan 13.79 % (Lampiran 8). Dari hasil investigasi tersebut
terlihat bahwa nanoemulsi terpenetrasi 45.97 % lebih banyak daripada emulsi
temulawak. Perbedaan kemampuan terpenetrasi berkaitan oleh ukuran diameter
butiran. Ukuran butiran nanoemulsi yang kecil membuat kecepatan penetrasi lebih
besar daripada emulsi dengan ukuran 444.1 nm. Ukuran kecil ini menyebakan luas
permukaan yang bersinggungan dengan cairan reseptor semakin besar, sehingga
kecepatan melarut senyawa aktif makin besar (Syukri 2002). Teori ini dibuktikan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Lanimarta (2012) yang membandingkan
bioavailabilitas sediaan nanogel dan gel. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan
penetrasi nanogel lebih besar karena memiliki ukuran butiran lebih kecil
dibandingkan dengan gel. Kemampuan penetrasi nanoemulsi yang baik akan
menghemat penggunaan ekstrak temulawak.
Selain ukuran yang kecil, viskositas sediaan juga berpengaruh terhadap
pelepasan bahan aktif dari nanoemulsi menuju permukaan membran. Viskositas
nanoemulsi yang lebih rendah akan menaikan kecepatan penetrasi, sehingga
meningkatkan mobilitas bahan aktif menuju permukaan membran. Berdasarkan hasil
pengukuran viskositas, emulsi memiliki viskositas lebih besar (7.1 ± 0.2 cP)
dibandingkan nanoemulsi (3.9 ± 0.1 cP), sehingga kurkumin akan lebih sulit berdifusi
ke dalam membran. Hal ini senada dengan Sukmawati et al. (2010) yang menyatakan
bahwa viskositas yang tinggi dapat menghambat aliran zat untuk berdifusi .
15
Gambar 8 Jumlah kumulatif kurkumin terpenetrasi selama 8 jam
Kelarutan Nanoemulsi Temulawak
Aplikasi kelarutan dalam bidang farmasi antara lain digunakan untuk
membantu dalam menentukan pelarut yang tepat untuk sediaan obat. Nanoemulsi
temulawak dapat larut dalam pelarut non polar yaitu heksan dan aseton. Nanoemulsi
ekstrak temulawak juga larut dalam pelarut semi polar yaitu etanol dan metanol. Air
juga dapat melarutkan nanoemulsi temulawak (Lampiran 11). Meningkatnya luas
permukaan memungkinkan interaksi antara solut dan pelarut lebih besar. Ukuran
partikel kurang dari 100 nm membuat nanoemulsi lebih mudah dilarutkan. Menurut
Shargel et al. (1999) ukuran partikel dapat mempengaruhi sifat kelarutan. Semakin
kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat,
sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat. Nanoemulsi memiliki kelarutan yang
tinggi pada pelarut etanol sebesar 96.74 % (Tabel 6). Kelarutan nanoemulsi
temulawak yang tinggi pada etanol disebabkan karena sifat kurkumin yang larut
sempurna dalam etanol.
Viskositas zat terlarut dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat. Viskositas
yang rendah menyebabkan zat terlarut mengalir lebih cepat ke pelarut. Nanoemulsi
mempunyai viskositas lebih rendah dibandingkan dengan emulsi sehingga
nanoemulsi lebih mudah terlarut.
Pada uji kelarutan ini dapat disimpulkan bahwa nanoemulsi dapat mengubah sifat
kelarutan kurkumin. Kemampuan air melarutkan nanoemulsi temulawak membuat
nanoemulsi aman digunakan sebagai bahan obat karena dapat larut dalam air yang
aman bagi tubuh.
16
Tabel 6 Kelarutan kurkumin nanoemulsi dan emulsi pada berbagai pelarut
Jenis Pelarut
Kelarutan Nanoemulsi (%) Kelarutan Emulsi (%)
Air
90.00
0
Heksan
90.17
0
Etanol
96.74
96.34
Aseton
95.70
90.96
Metanol
91.40
0
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suhu penyimpanan nanoemulsi
dapat mempengaruhi stabilitas ukuran dari nanoemulsi. Semakin tinggi suhu
penyimpanan, maka nanoemulsi semakin tidak stabil dan cepat rusak. Kondisi
penyimpanan terbaik dilakukan pada suhu penyimpanan 40C dengan lama waktu
penyimpanan 60 hari. Penambahan asam sitrat pada nanoemulsi temulawak
berpengaruh dalam mengurangi degradasi kurkumin. Pembuatan anoemulsi dapat
mengubah karakteristik kelarutan kurkumin. Nanoemulsi temulawak memiliki
kelarutan terbaik pada etanol dengan kelarutan sebesar 96.74 %. Nanoemulsi
temulawak mampu terpenetrasi sebanyak 20.80 % atau 45.97 % lebih banyak
daripada emulsi temulawak.
Saran
Perlu dilakukan penelitian dengan konsentrasi dan jenis antioksidan lain agar
dapat menentukan antioksidan yang lebih baik dalam mencegah proses degradasi
kurkumin pada nanoemulsi temuawak.
DAFTAR PUSTAKA
Aan. 2004. Pengaruh waktu, suhu, dan nisbah bahan baku-pelarut pada ekstraksi
kurkumin dari temulawak dengan pelarut aseton [skripsi]. Bogor (ID) :
Institut Pertanian Bogor.
17
Ahmed K, Li Y, McClement DJ, Xiao H. 2012. Nanoemulsion and Emulsion based
Delivery Systems for Curcumin: Encapsulation and Release Properties. Food
Chemistry 132(2): 799-807.
Aini S. 2013. Ekstraksi Senyawa Kurkumin dari Rimpang Temulawak dengan
Metode Maserasi [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Anand P, Sundaram C. 2008. Curcumin and Cancer: An “old-age” disease with an
“age-old” solution." Cancer Letters 267(1): 133-164.
AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical
Chemist. Virginia (USA): AOAC.
Arifianti AE. 2012. Stabilitas Fisik dan Aktivitas Antioksidan Nanoemulsi Minyak
Jinten Hitam (Nigella sativa Linn. Seed oil) sebagai Sediaan Nutrasetika
[skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
[BPS] Badan Pusat Statistik (ID). 2014., 1997-2013. Produksi Temulawak Indonesia.
[Internet] Produksi Tanaman Obat-Obatan di Indonesia. [diunduh 2014 Des
14]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel
=1&daftar=&id_subyek=55¬ab=25..
Bagem S, Ma’mun, Imanuel E. 2006. Pengaruh Kehalusan dan Lama Ekstraksi
terhadap Mutu Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.). Balitro,
Vol XVII No.2. p 53-58.
Chou DK, Krishnamurthy R, Randolph TW, Carpenter JF, Manning MC. 2005.
Effects of Tween 20 and Tween 80 on the stability of Albutropin during
agitation. J Pharm Sci 94 (6): 1368–81.
Fingas M. 2008. Oil spil dispersion stability and oil re-surfacing [Internet]. [diunduh
2015 Jan 15]. Tersedia pada: http://www.iosc.org/papers/2008%
20111.pdf.
Hadiwiyoto S. 2011. Produk Meat Emulsion [Internet]. diunduh 2015 Jan 13.
Tersedia pada: httpfoodreview.co.idindex1.phpview2&id=56552#.VKx
VEMmfabc
Jusnita N. 2014. Produksi Nanoemulsi Ekstrak Temulawak dengan Metode
Homogenisasi [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Kikuzaki H, Hisamoto M, Hirose K, Akiyama K, Taniguchi H. 2002. Antioxidants
properties of Ferulic Acid and Its Related Compounds. J Agricult and Food
Chem. 50: 2161-2168.
Kuntarti. 2013. Kesetimbangan Cairan, Elektrolit, Asam, dan Basa. [Internet].
[diunduh 2014 Agu 20]. Tersedia pada: http://staff.ui.ac.id/system/files/users
/kuntarti/publication/fluidbalance.pdf.
Kusumawardhani AN. 2006. Kajian Penambahan Antioksidan terhadap Mutu
Simplisia Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
18
Lanimarta Y. 2012. Pembuatan dan Uji Penetrasi Nanopartikel Kurkumin-Dendrimer
Poliamidoamin (Pamam) Generasi 4 dalam Sediaan Gel dengna
Menggunakan Sel Difusi Franz [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Materia Medika Indonesia. 1979. Jilid V. Jakarta (ID): Depkes Republik Indonesia.
Harimurti N, Iceu A, Hoerudin. 2012. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak dan Surfaktan
(Tween 20 dan Tween 80) terhadap Karaketristik Nanoemulsi Ekstrak
Temulawak dalam Pendispersi Minyak Sawit Merah. Seminar Bulanan. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian RI.
Rachmawati H, Budiputra DK, Mauludin R. 2014. Curcumin Nanoemulsion for
Transdermal Application: Formulation and Evaluation. Department of
Pharmacy, Bandung Institute of Technology.
Shargel L, Yu ABC. 1999. Applied Biopharmaceutics. Edisi ke-4. Stanford. hlm 325352.
Shinoda K, Saito H. 1969. The Stability of O/W Type Emulsions as Functions of
Temperature and the HLB of Emulsifiers: The Emulsification by PITmethod. J Colloid and Interf Sci, Vol. 30, N° 2, June 1969, 258-263.
Department of Chemistry, Yokohama National University, Japan.
Sidik, Moelyono MW, Ahmad M. 1995. Temulawak (Curcuma xanthoriza). Yayasan
Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica.
Simanjuntak MT. 2010. Ketergantungan Temperatur dan pH terhadap Transpor
Sefaleksin ke dalam Eritrosit Manusia secara In vitro. Jurnal Sains Kimia Vol
7, No.2, 2003: 44-50.
Solanki KH. 2012. Incorporation Of Curcumin In Lipid Based Delivery Systems And
Assessment Of Its Bioaccessibility [tesis]. New Jersey (US) : The State
University of New Jersey.
Sukmawati A, Suprapto. 2010. Efek Berbagai Peningkat Penetrasi terhadap Penetrasi
Perkutan Gel Natrium Diklofenak Secara In Vitro. J Penelitian Sains Teknol,
Vol. 11, No. 2, 2010: 117 – 125. Fakultas Farmasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Syukri Y. (2002). Biofarmasetika. Yogyakarta: UII-Pr. hlm 12-15.
Utami SS. 2012. Formulasi dan Uji Penetrasi In Vitro Nanoemulsi, Nanoemulsi Gel
dan Gel Kurkumin [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia.
Wijayakusuma H. 2007. Penyembuhan dengan Temulawak I. Jakarta (ID) : Sarana
Pustaka Prima.
Youssef S. 2012. Evaluation of Antioxidants Stability by Thermal Analysis and Its
Protective Effect in Heated Edible Vegetable Oil. Ciência e Tecnologia de
Alimentos ISSN 0101-2061.
19
Lampiran 1 Karakterisasi sifat ekstrak temulawak dan nanoemulsi temulawak serta
pengujiannya
a. Kadar KurkuminTemulawak (AOAC 2005)
Analisis kuantitatif kurkumin menggunakan spektrofotometer. Analisis ini
dilakukan dengan terlebih dahulu dengan pembuatan kurva standar kurkumin ke
dalam asam asetat dengan konsentrasi 100 ppm kemudian dilakukan pengenceran
sampai didapatkan konsentrasi 0, 1, 2, 3, dan 4 ppm. Analisis kurkumin dilakukan
dengan memasukkan sampel sebanyak 5-10 gram ke dalam labu takar 50 ml. Setelah
itu ditambahkan asam asetat sepertiga volume labu takar dan dipanaskan selama 60
menit. Setelah didinginkan, sampel ditambahkan asam oksalat serbuk dan dipanaskan
selama 30 menit dan didinginkan. Kemudian ditambahkan asam borat dan diukur
nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 530
nm.
b. Perhitungan rendemen
Rendemen ekstrak temulawak dihitung berdasarkan perbandingan ekstrak
temulawak dan nanoemulsi yang diperoleh dengan bobot kering bahan dikalikan
100%.
Rendemen
Berat ekstrak (g) x100 %
Berat bahan (g)
c. Kadar Air (SNI 01-3181-1992 yang dimodifikasi)
Labu didih dan tabung Bidwell-Sterling dikeringkan dalam oven bersuhu
105°C sebelum digunakan dan didinginkan dalam desikator. Bubuk temulawak
ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam labu didih yang telah
dikeringkan dan ditambakan 60-80 ml toluena. Setelah alat dirangkai, refluks pada
suhu rendah selama 45 menit kemudian suhunya dinaikkan dan dipanaskan selama
60-90 menit. Volume yang terdestilasi dibaca. Penetapan faktor destilasi diperoleh
dengan mengganti sampel ekstrak temulawak dengan air (4 gram). Kadar air bahan
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan:
Ws = massa contoh (g)
Vs = volume air yang didestilasi dari contoh (ml)
FD = faktor destilasi (g/ml)
Faktor destilasi dihitung dengan rumus sebagai berikut:
FD= W/V
Keterangan:
W = massa air yang akan didestilasi (g)
V = volume air yang terdestilasi (ml)
20
d. Kadar Abu (SNI 01-3187-1992 yang dimodifikasi)
Cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C sebelum digunakan dan
didinginkan dalam desikator. Bubuk temulawak ditimbang sebanyak 1.5 gram.
Sebanyak 2 ml etanol dituang ke dalam cawan dan dibakar sampai etanol habis
terbakar. Cawan dipanaskan menggunakan nyala api kecil lalu dipijarkan dalam tanur
pada suhu 600°C selama 2 jam. Abu didinginkan dan dibasahi dengan beberapa tetes
air, dikisatkan dan dipanaskan kembali dalam tanur selama satu jam pada suhu
600°C. Bila pada pembasahan ternyata abu telah bebas karbon, cawan dipindahkan ke
dalam desikator dan dibiarkan dingin dan ditimbang.
Bila pada pembasahan masih terlihat adanya karbon, pembasahan dan
pemanasan diulangi sampai tidak terlihat lagi bintik-bintik karbon, lalu cawan
dipijarkan kembali dalam tanur selama satu jam.Bila masih terlihat adanya karbon,
abu diaduk dengan air panas, disaring dengan kertas saring. Kertas saring dicuci
dengan sempurna lalu kertas saring serta isinya dipindahkan ke dalam cawan untuk
pengabuan. Cawan dikeringkan dan dipijarkan pada tanur dengan suhu 600°C selama
satu jam sampai abu menjadi putih.
Cawan didinginkan, ditambah filtrat, dikisatkan sampai kering pada penangas
air. Cawan dipanaskan lagi selama satu jam dalam tanur dengan suhu 600°C,
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu contoh dihitung dengan
rumus sebagai berikut
Keterangan: M0 = massa cawan kosong (g)
M1 = massa cawan dan contoh (g)
M2 = massa cawan dan abu (g)
H = kadar air contoh (%)
e.
Kadar Protein (AOAC 2005)
Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode mikro-kjeldahl. Sampel
dihomogenkan, kemudian sampel seberat 0.1 gram dimasukkan ke dalam labu
kjeldahl 100 ml lalu ditambahkan katalis (CuSO4 dan Na2SO4) dan 2.5 ml H2SO4
pekat 98%. Selanjutnya sampel didekstruksi selama 30-40 menit sampai berwarna
hijau bening. Setelah didinginkan, sampel ditambahkan dengan air suling hingga
tanda tera. Sebanyak 5 ml larutan hasil pengenceran ditambahkan dengan 10 ml
NaOH 40%, disuling selama 5 menit. Hasil penyulingan ditampung dalam
erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat (2%) dan 0.1 ml campuran indikator hijau
bromkresol 0.1% dengan merah metal 0.1% (5:1), kemudian dititrasi dengan larutan
HCl 0.1 N sampai berwarna merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus
sebagai berikut
21
Keterangan:
A = selisih volume HCl yang digunakan untuk menitrasi
blanko dan contoh (ml)
N = normalitas larutan HCl
Ws = berat contoh (mg)
f. Kadar Lemak (AOAC 2005)
Sebanyak 2 gram contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik heksana
dalam alat soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara
diangin-anginkan dalam over bersuhu 105°C. Contoh didinginkan dalam desikator
dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.
g. Kadar Karbohidrat (by difference)
Pada analisis bahan baku, kadar karbohidrat dihitung dengan cara by different,
yaitu pengurangan jumlah komponen bahan total dengan jumlah kadar air, kadar abu,
kadar lemak, kadar protein dan kadar serat. Kadar karbohidrat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
h. Bobot Jenis
Piknometer kosong dikeringkan di dalam oven kemudian ditimbang bobotnya.
Piknometer diisi dengan aquades atau sampel nanoemulsi pada suhu 200C kemudian
simpan di dalam Water Bath pada suhu 250C selama 30 menit. Piknometer kemudian
diangkat, dikeringkan, dan ditimbang. Piknometer yang berisi sampel atau aquades
ditimbang bobotnya
i. Indeks Bias (SNI 01-4472-1998)
Index bias diukur dengan Refractometer. Kaca penutup refraktometer dibuka
terlebih dahulu dan permukaan prisma kaca penutup dibersihkan dengan tissue
sampai kering. Sampel nanoemulsi/ekstrak temulawak diteteskan dua-tiga tetes diatas
permukaan prisma. Kaca penutup ditutup secara perlahan agar sampel tersebar secara
merata pada permukaan prisma. Nilai brix yang terukur dilihat. Pengatur halus/kasar
diputar bila pembacaan kabur atau tidak fokus. Setelah selesai, kaca prisma dibuka
dan dibersihkan.
j. Viskositas
Sampel diukur dengan rotary viscosimeter pada suhu ruang (27 ± 0.20C)
22
Lampiran 2 Kurva standar kurkumin
Lampiran 3 Proses pembuatan nanoemulsi temulawak dengan High Speed
Homogenizer merk Virtis
Proses pembuatan nanoemulsi temulawak dengan kecepata
MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Nanoemulsi
Temulawak adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2015
Muhammad Fachrizal
NIM F34100130
ABSTRAK
MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO. Karakteristik Nanoemulsi
Temulawak. Dibimbing oleh ERLIZA NOOR.
Kurkumin merupakan senyawa aktif yang memiliki banyak khasiat bagi
kesehatan sehingga berpotensi untuk dikembangkan dalam bidang farmasi. Namun,
potensi pengembangan tersebut dibatasi oleh karakteristik alami kurkumin. Kurkumin
diketahui memiliki kelarutan yang rendah pada saluran pencernaan sehingga relatif
sulit masuk ke plasma darah. Selain itu, kurkumin juga mudah terdegradasi oleh agen
radikal bebas sehingga diperlukan penambahan antioksidan lain. Salah satu upaya
untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah pembuatan partikel nanokurkumin
dalam bentuk emulsi (nanoemulsi). Nanoemulsi temulawak dibuat dengan metode
homogenisasi berkecepatan tinggi pada 24 000 rpm selama 40 menit, sehingga
diperoleh diameter butiran 32.62 ± 1.84 nm dengan PDI 0.255 ± 0.013. Nanoemulsi
memiliki karakteristik meliputi bioavailabilitas, kelarutan, dan stabilitas ukuran
butiran. Uji bioavailabilitas nanoemulsi dilakukan dengan metode difusi Franz.
Pelarut yang digunakan untuk uji kelarutan yaitu heksan, air, etanol, metanol, dan
aseton. Stabilitas ukuran butiran nanoemulsi diuji dengan metode penyimpanan pada
suhu 40C, suhu ruang dan suhu 500C dengan periode penyimpanan selama 90 hari.
Kurkumin dalam sediaan nanoemulsi menunjukkan kenaikkan penyerapan
(bioavailabilitas) sebesar 45.97 % dibanding emulsi temulawak. Pada uji kelarutan
terjadi perubahan kelarutan antara sediaan nanoemulsi dibanding sediaan emulsi pada
berbagai pelarut. Nanoemulsi memiliki kelarutan terbaik pada pelarut etanol dengan
persen terlarut sebesar 96.74 %. Nanoemulsi diinvestigasi memiliki stabilitas yang
lebih baik daripada sediaan emulsi pada berbagai suhu penyimpanan. Nanoemulsi
temulawak memiliki stabilitas ukuran yang lebih baik pada penyimpanan suhu 40C
dengan lama penyimpanan 60 hari. Penambahan asam sitrat sebagai antioksidan pada
nanoemulsi dapat menghambat penurunan kadar kurkumin.
Kata kunci: Temulawak, kurkumin, nanoemulsi, bioavailabilitas, stabilitas.
ABSTRACT
MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO. Characteristic Nanoemulsion
of Temulawak . Supervised by ERLIZA NOOR.
Curcumin is the active compound that has many benefits for health, so the
potential for development in the pharmaceutical. However, the development potential
is limited by the natural characteristics of curcumin. Curcumin is known to have a
low solubility in the gastrointestinal tract so it is relatively difficult to get into the
blood plasma. In addition, curcumin also degraded easily by free radicals agent
necessitating the addition of other antioxidants. One effort to overcome these
problems is the manufacture nanokurkumin particles in the form of an emulsion
(nanoemulsion). Nanoemulsion is made with high-speed homogenization method at
24 000 rpm for 40 minutes, in order to obtain a grain diameter of 32.62 ± 1.84 nm
with a polydispersity index of 0255 ± 0013. Curcumin in preparation nanoemulsi
have characteristics include bioavailability, solubility, and stability of droplet size.
Nanoemulsion bioavailability test conducted by Franz diffusion method. Solvents
used for the solubility test is hexane, water, ethanol, methanol, and acetone.
Nanoemulsi droplet size stability tested by storage at 40C, room temperature and a
temperature of 500C with a 90th day storage period. Curcumin in preparation
nanoemulsi showed an increase absorption (bioavailability) of 45.97 % compared to
the emulsion. In the solubility test changes the solubility of the preparations
nanoemulsi than emulsion preparations in various solvents, suggesting a change in
solubility characteristics. Nanoemulsi has the best solubility in ethanol with the
percent dissolved at 96.74%. Nanoemulsi investigated have better stability than the
emulsion preparation at various storage temperatures. Nanoemulsi ginger has better
dimensional stability at 40C temperature storage with storage time of 60 days. The
addition of citric acid (antioxidant) on nanoemulsi can inhibit decreased levels of
curcumin.
Keywords: Temulawak, curcumin, nanoemulsion, bioavailability, stability.
KARAKTERISTIK NANOEMULSI TEMULAWAK
MUHAMMAD FACHRIZAL PRIA BUDI UTOMO
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Teknologi Industri Pertanian
DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Judul Skripsi : Karakteristik Nanoemulsi Temulawak
Nama
: Muhammad Fachrizal Pria Budi Utomo
NIM
: F34100130
Disetujui oleh
Prof Dr Ir Erliza Noor
Pembimbing
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa
ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan skripsi dengan judul
Karakteristik Nanoemulsi Temulawak berhasil diselesaikan. Penelitian dilaksanakan
pada bulan Maret 2014 sampai November 2014 di Laboratorium Teknologi Industri
Pertanian.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih atas doa dan
dukungannya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Erliza Noor selaku pembimbing yang selalu memberi arahan,
masukan, dan bimbingannya kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.
2. Bapak dan Mama, serta kakak dan adik tercinta atas doa, kasih sayang, dan
dukungannya.
3. Egnawati Sari, Sri Mulyasih, Gunawan, Dyah Purnamasari, dan Dicky Zazuli
selaku laboran yang banyak membantu selama penelitian.
4. Teman-teman sebimbingan Fleni Ayu, dan Nina Jusnita atas bantuan dan
dukungannya selama penelitian.
5. Keluarga besar Mitrasiswa terima kasih atas kekeluargaan dan kebahagiaan yang
diberikan selama ini.
6. Keluarga besar TIN 47 dan Mitrasiswa terima kasih atas bantuan dan
kebersamaan yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menjadi acuan para pembaca untuk
melakukan pengembangan penelitian selanjutnya.
Bogor, Maret 2015
Muhammad Fachrizal
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vii
DAFTAR GAMBAR
vii
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Tujuan Penelitian
2
Perumusahn Masalah
2
Manfaat Penelitian
3
Ruang Lingkup Penelitian
3
METODE
3
Waktu dan Tempat Penelitian
3
Bahan
4
Alat
4
Prosedur Penelitian
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
7
Ekstrak Temulawak
7
Nanoemulsi Temulawak
8
SIMPULAN DAN SARAN
17
Simpulan
14
Saran
15
DAFTAR PUSTAKA
18
LAMPIRAN
17
RIWAYAT HIDUP
28
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Formulasi bahan nanoemulsi temulawak
Karakteristik serbuk temulawak
Kadar proksimat serbuk temulawak
Karakteristik ekstrak temulawak
Karakteristik nanoemulsi temulawak
Kelarutan kurkumin nanoemulsi dan emulsi pada berbagai pelarut
6
7
8
8
9
15
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Struktur kimia kurkumin dan demetoksikurkumin
Gambar 2 Diagram alir pembuatan nanoemulsi temulawak dengan
penambahan antioksidan
Gambar 3 Ukuran butiran emulsi pada suhu 40C , suhu ruang, dan suhu 500C
Gambar 4 Ukuran nanoemulsi temulawak suhu 40C
Gambar 5 Ukuran nanoemulsi temulawak suhu ruang
Gambar 6 Ukuran nanoemulsi temulawak suhu 500C
Gambar 7 Penurunan kadar kurkumin nanoemulsi dengan penambahan asam
sitrat dan tanpa penambahan asam sitrat selama penyimpanan
Gambar 8 Jumlah kurkumin yang terpenetrasi tiap waktu
1
5
11
12
12
13
13
15
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Karakterisasi sifat ekstrak temulawak dan nanoemulsi
temulawak serta pengujiannya
Lampiran 2 Kurva standar kurkumin
Lampiran 3 Proses pembuatan nanoemulsi temulawak dengan High
Speed Homogenizer merk Virtis
Lampiran 4 Metode pembuatan larutan buffer fosfat pH 7
Lampiran 5 Distribusi ukuran nanoemulsi temulawak
Lampiran 6 Alat difusi Franz
Lampiran 7 Perubahan diameter butiran nanoemulsi temulawak
Lampiran 8 Hasil uji bioavailabilitas nanoemulsi dan emulsi temulawak
Lampiran 9 Data analisis penurunan kadar kurkumin nanoemulsi temulawak
Lampiran 10 Kerusakan-kerusakan pada nanoemulsi temulawak
Lampiran 11 Kelarutan Nanoemulsi pada berbagai pelarut heksan, aseton,
etanol, metanol, dan air
19
22
22
23
23
24
24
25
26
27
28
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi obat berbahan dasar herbal telah berkembang secara luas di negaranegara maju dan berkembang. Perkembangan teknologi pembuatan sediaan obat
herbal juga menunjukkan perkembangan yang pesat sehingga menarik perhatian para
peneliti untuk menyelaraskan teknologi dan bahan herbal dalam pengolahan bahanbahan pertanian yang lebih baik. Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.)
merupakan salah satu bahan herbal yang memiliki banyak khasiat dan berpotensi
untuk dikembangkan di Indonesia. Produksi temulawak Indonesia tahun 2014
mencapai lebih dari 36 000 ton (BPS 2014) dan semakin berkembang penggunaan
dalam industri pangan, obat-obatan, dan komestik. Pemanfaatan tersebut terdapat
pada ekstrak temulawak. Ekstrak temulawak mengandung komponen kimia utama
yaitu kurkuminoid dan minyak atsiri. Kurkuminoid pada temulawak terdiri atas dua
kandungan senyawa yaitu kurkumin dan demetoksikurkumin (Sidik et al. 2005).
Struktur kimia kurkuminoid disajikan pada Gambar 1.
a
b
Gambar 1 Struktur kimia kurkumin (a) dan demetoksikurkumin (b)
Kurkumin memiliki banyak khasiat bagi kesehatan yaitu dapat mengatasi
gangguan aliran getah empedu, gangguan saluran pencernaan, sembelit, radang
rahim, kencing nanah, kurang nafsu makan, kelebihan berat badan, radang lambung,
cacar air, eksema, jerawat, reumatik arthritis dan antikanker. Namun, potensi tersebut
dibatasi oleh sifat bioavailabilitas kurkumin yang buruk (Anand et al. 2008). Hal ini
disebabkan karena kurkumin memiliki kelarutan rendah dalam saluran pencernaan
sehingga sulit masuk ke plasma darah. Selain itu, jumlah relatif kurkumin yang
mencapai sirkulasi tubuh (sistem peredaran darah) rendah (Rachmawati et al. 2014).
Kurkumin juga mudah terdegradasi oleh agen radikal bebas sehingga diperlukan
penambahan antioksidan lain (Sidik et al. 2005).
Nanoteknologi sebagai penghantar obat mulai muncul sebagai solusi untuk
mengatasi bioavailabilitas kurkumin yang buruk. Dalam ukuran nano (1-100 nm),
partikel bahan aktif dapat lebih mudah diserap sehingga dapat meningkatkan
2
bioavailabilitas (Prasetyorini 2011). Salah satu aplikasi nanoteknologi pada kurkumin
adalah pembuatan nanoemulsi. Menurut Faunn (2010); Bhatt & S. Madhav (2011);
Donsi, Wang, dan Huang (2011) dalam Arifianti (2012) nanoemulsi memiliki
kelebihan diantaranya :
1. mengakibatkan penurunan gaya gravitasi dan gerak brown sehingga dapat
mencegah sendimentasi dan creaming;
2. mencegah terjadinya flokulasi selama penyimpanan;
3. memiliki luas permukaan yang besar dari sistem emulsi memungkinkan
penetrasi yang cepat dari bahan aktif;
4. tidak merusak sel normal dari manusia dan hewan sehingga baik untuk tujuan
terapeutik pada manusia dan hewan;
5. merupakan cara yang paling efektif untuk meningkatkan bioavailabilitas dan
kelarutan dari nutrasetika.
Penelitian terhadap karakterisitik nanoemulsi temulawak dilakukan untuk
mengetahui perubahan karakteristik nanoemulsi. Pada penelitian ini dilakukan
pembuatan nanoemulsi temulawak dengan metode homogenisasi kecepatan 24 000
rpm selama 40 menit. Nanoemulsi yang terbentuk diukur stabilitas ukuran butiran
terhadap penyimpanan. Selain itu diamati kadar kurkumin terhadap penambahan
antioksidan selama penyimpanan. Nanoemulsi dengan ukuran 5%
a
Sumber: MMI (1979).
Kadar air merupakan salah satu parameter yang ditetapkan Materia Medika
Indonesia. Penentuan kadar air ini penting untuk mengetahui masa simpan serbuk
kering sampel dan sebagai salah satu syarat bahan baku herbal. Kadar air kurang dari
12 % memungkinkan serbuk temulawak dapat disimpan dalam jangka waktu yang
lama. Kadar yang sedikit memungkinkan serbuk temulawak untuk disimpan dalam
jangka waktu yang lama. Hal ini disebabkan karena pada kadar air tersebut sampel
dapat terhindar dari pertumbuhan kapang yang cepat (Harjadi 1986). Kadar air serbuk
temulawak disajikan pada Tabel 3.
8
Tabel 3 Kadar proksimat serbuk temulawak
Karakteristik
Hasil
Standar Mutua
Kadar air
10.503 ± 0.155 %
< 12 %
Kadar abu
3.820 ± 0.036 %
3-7 %
Kadar protein
4.244 ± 0.092 %
Kadar lemak
11.682 ± 0.702 %
b
Kadar karbohidrat
69.751 ± 0.536 %
a
Sumber: MMI (1979); bby difference.
Ekstraksi serbuk temulawak dilakukan menggunakan pelarut etanol. Menurut
Aan (2004), saat proses ekstraksi temulawak terjadi difusi zat aktif dari dalam
rimpang temulawak ke fase pelarut sehingga tercapai keadaan keseimbangan. Pada
keadaan ini ekstrak temulawak tidak dapat berpindah lagi ke pelarut. Etanol termasuk
ke dalam pelarut yang baik untuk mengekstrak kurkumin (Aini 2013).
Rendemen ekstrak temulawak yang didapat sebesar 20.4-23.9 % dari serbuk
temulawak. Menurut Bagem et al. (2006), proses ekstraksi serbuk temulawak selama
4 jam menghasilkan ekstrak dengan rendemen sebesar 16.65 % dengan kadar
kurkumin 2.88 %. Perbedaan rendemen dapat terjadi karena konsentrasi pelarut
etanol yang digunakan adalah etanol 95 % sehingga senyawa yang larut dalam pelarut
lebih besar. Selain itu kadar kurkumin juga dapat berbeda karena perbedaan rimpang
temulawak. Umur rimpang yang mengandung senyawa kurkumin terbesar adalah 12
bulan sehingga rendemen dan kadar kurkumin dapat berbeda. Karakteristik ekstrak
temulawak disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Karakteristik ekstrak temulawak
Karakteristik
Hasil
Warna
Coklat Tua
Bentuk
Cairan Kental
Aroma
Khas Temulawak
Berat jenis
0.979 ± 0.029 g ml-1
Index bias
1.603 ± 0.033
Rendemen
18.833 ± 1.861 %
Viskositas
13.337 ± 0.119 cP
Kadar kurkumin
5301 ppm (2.5 %)
pH
5.21
9
Nanoemulsi Temulawak
Pembuatan nanoemulsi temulawak dengan kecepatan 24 000 rpm selama 40
menit diinvestigasi memiliki diameter butiran nanoemulsi temulawak sebesar 32.62 ±
1.84 nm dengan indeks polidispersitas 0.255 ± 0.013 (Tabel 5). Pengecilan ukuran ini
akibat adanya gaya pengguntingan (shear force) terhadap fasa terdispersi. Ukuran
nano diperoleh juga akibat adanya tumbukan antarmolekul. Semakin cepat dan lama
putaran akan memperbesar intensitas bersentuhan antar molekul, sehingga
menghasilkan ukuran nanoemulsi yang kecil. Menurut Harimurti et al. (2012),
nanoemulsi kurkumin menggunakan homogenisasi tekanan tinggi menghasilkan
nanoemulsi dengan ukuran butiran 74.7 nm dengan indeks polidispersitas 0.272.
Sedangkan Solanki (2012) memperoleh nanoemulsi kurkumin dengan homogenisasi
menghasilkan ukuran diameter butiran 20.8 ± 5.3 nm dengan indeks polidispersitas
0.224 ± 0.012. Indeks polidispersitas antara 0.2-0.6 akan memberikan nanoemulsi
yang lebih stabil dari agregasi partikel serta pemisahan gravitasi yang rendah (Ahmed
et al. 2012).
Tabel 5 Karakteristik nanoemulsi temulawak
Karakteristik
Hasil
Warna
Cokelat-kuning
Bentuk
Cairan
Aroma
Khas Temulawak
Bobot jenis
1.013 ± 0.021 g ml-1
pH
7.13
Viskositas
3.9 ± 0.1 cP
Kadar kurkumin
139.8 ± 12.1 ppm
Diameter butiran
32.62 ± 1.84 nm
Indeks polidispersitas
0.255 ± 0.013
Nilai pH nanoemulsi mengalami kenaikan dari pH awal ekstrak temulawak
yaitu dari 5.21 menjadi 7.13, sehingga nanoemulsi temulawak aman digunakan dalam
produk produk krim dan lotion. Berdasarkan syarat SNI 16-4954-1998, pH krim yang
aman untuk kulit berada pada rentang 3.5-8. Nilai pH yang tidak sesuai akan
merusakan lapisan mantel kulit sehingga terjadi iritasi. Nilai pH nanoemulsi
temulawak yang dihasilkan aman digunakan sebagai bahan dasar obat karena sesuai
dengan pH usus halus (7-7.4), dimana usus halus merupakan organ utama penyerapan
obat (Utami 2010). Selain itu, buffer fosfat dengan pH 7 sebagai fase air dapat
menjaga pH nanoemulsi yang dihasilkan (Jusnita 2014).
Stabilitas Nanoemulsi Temulawak
Stabilitas nanoemulsi yang baik disebabkan oleh pembentukan ukuran butiran
yang kecil. Ukuran kecil akan memperbesar luas permukaan butiran-butiran
10
nanoemulsi sehingga memperbesar tegangan antarmuka antara fase internal dan fase
eksternal. Hal ini diklarifikasi dengan pengamatan stabilitas nanoemulsi secara
visual. Pada suhu ruang, nanoemulsi temulawak mampu stabil selama 30 hari
sedangkan emulsi temulawak hanya mampu stabil selama 9 hari penyimpanan.
Ketidakstabilan nanoemulsi maupun emulsi temulawak ditandai dengan terjadi
pemisahan fase. Menurut Solanki (2012), nanoemulsi mampu stabil pada suhu ruang
lebih dari 5 hari penyimpanan.
Stabilitas nanoemulsi temulawak juga dapat dipengaruhi oleh suhu
penyimpanan. Pengamatan stabilitas nanoemulsi dilakukan pada suhu berbeda untuk
menentukan waktu terjadinya kerusakan pada nanoemulsi. Selama proses
penyimpanan dengan suhu berbeda, terjadi perubahan fisik pada nanoemulsi
temulawak. Pada suhu 40C, nanoemulsi mengalami kerusakan pada hari ke-60.
Kerusakan tersebut ditandai dengan pembentukkan flokulan-flokulan pada
nanoemulsi. Pembentukkan flokulan akan menyebabkan nanoemulsi terlihat lebih
keruh (Lampiran 10 A). Ukuran nanoemulsi pada hari ke-60 mengalami perubahan
karakteristik nano yang disebabkan oleh kenaikkan ukuran sebesar 125.03 nm dan
terus meningkat sampai hari ke-90. Kenaikkan ukuran nanoemulsi temulawak
disebabkan oleh agregasi butiran karena sifat alami minyak yang cenderung
membentuk butiran berukuran besar di dalam fase air (Fingas 2008). Agregasi
tersebut menyebabkan deformasi bentuk dari nanoemulsi menjadi emulsi dengan
ukuran >100 nm.
Kenaikkan suhu penyimpanan dapat mempercepat kerusakan pada
nanoemulsi temulawak. Gambar 3 mengkonfirmasi adanya pengaruh kenaikkan suhu
simpan terhadap perubahan ukuran nanoemulsi. Pada suhu ruang, nanoemulsi
mengalami ketidakstabilan pada hari ke-30. Ketidakstabilan nanoemulsi temulawak
dapat dilihat dengan terbentuknya koalesen (Lampiran 10 B). Pembentukkan
koaelsen dapat dilihat dengan terjadinya agregasi pada bagian permukaan sediaan.
Ukuran nanoemulsi pada saat terbentuk koalesen diinvestigasi mencapai 212.3 nm.
Pembentukkan koalesen mengkonfirmasi berpengaruh terhadap kenaikkan ukuran
butiran hingga melebihi 100 nm pada hari ke-10 dengan ukuran 105.67 nm sehingga
terjadi kehilangan karakteristik nanoemulsi.
Pengaruh suhu penyimpanan terhadap stabillitas nanoemulsi juga diamati
pada suhu 500C. Pada suhu tersebut, nanoemulsi mengalami kerusakkan nanoemulsi
yang lebih cepat. Kerusakkan nanoemulsi ditandai dengan proses kriming yang
terjadi pada hari ke-15 (Lampiran 10 C). Kenaikkan ukuran cepat karena suhu
disebabkan oleh penurunan kemampuan Tween 80 dalam menjaga kestabilan
tegangan antarmuka emulsi. Tween 80 dilaporkan memiliki daya pengemulsi yang
baik pada suhu 200 nm. Kemudian ukuran nanoemulsi
pada jam selanjutnya mengalami fluktuasi. Hal ini disebabkan oleh sampel
nanoemulsi sudah mengalami proses kriming sehingga sampel diaplikasikan pada
PSA tidak mewakili dispersitas butiran secara keseluruhan.
13
Gambar 6 Ukuran nanoemulsi temulawak pada suhu 500C
Pengaruh Penambahan Asam Sitrat
Penambahan asam sitrat 3% pada fase minyak hanya dapat menghambat
penurunan kadar kurkumin. Asam sitrat merupakan merupakan antioksidan sekunder
yang sifatnya menurunkan inisiasi melalui mekanisme penangkapan oksigen menjadi
produk-produk non radikal, bersifat asidulan, tidak berwarna, dan tidak berbau
(Youssef 2012; Winarno 1997; Frazier 1979). Kemampuan asam sitrat dalam
mengurangi degradasi kurkumin telah dibuktikan oleh Kusumawardhani (2006).
Untuk mengklarifikasi hal tersebut dilakukan analisis perubahan kadar kurkumin
nanoemulsi temulawak selama penyimpanan. Gambar 7 menunjukan penurunan
kadar kurkumin selama penyimpanan nanoemulsi temulawak.
Gambar 7 Penurunan kadar kurkumin nanoemulsi dengan penambahan asam sitrat
(
) dan tanpa penambahan asam sitrat (
) selama penyimpanan
14
Kadar kurkumin nanoemulsi mengalami penurunan yang lebih besar pada
periode awal penyimpanan. Hal ini dapat disebabkan karena kadar kurkumin lebih
tinggi akan memperbesar interaksi antara kurkumin dengan agen radikal bebas.
Penurunan kadar kurkumin pada hari ke-10 sampai hari ke-90 lebih lambat daripada
periode penyimpanan awal. Hal ini dikarenakan penurunan kadar kurkumin.
Penurunan kadar kurkumin akan memperkecil intensitas terjadinya reaksi dengan
agen radikal bebas.
Biovailabilitas Nanoemulsi Temulawak
Uji bioavailabilitas dilakukan untuk mengukur kecepatan dan jumlah
komponen senyawa aktif yang melewati membran. Larutan buffer digunakan untuk
menyamai pH cairan di usus halus manusia yaitu sekitar 7-7.4 (Kuntarti 2010).
Sebelum digunakan, pH larutan buffer tersebut harus dipastikan terlebih dahulu agar
tidak mempengaruhi pembacaan kadar kurkumin.
Pengadukan pada kompartemen reseptor dilakukan dengan magnetic stirrer
dengan kecepatan 200 rpm. Pembentukan gelembung udara harus dihindari karena di
permukaan membran yang tersentuh cairan reseptor. Gelembung udara yang
terbentuk dapat mengakibatkan pembentukan celah antara membran dengan cairan
reseptor sehingga dapat menghalangi penetrasi.
Pada Gambar 8 terlihat bahwa nanoemulsi temulawak memiliki kemampuan
bioavailabilitas yang lebih besar daripada emulsi temulawak. Pada jam ke-8 hasil
analisis cairan reseptor pada sediaan nanoemulsi mampu terpenetrasi 30.189 µg cm-2,
sedangkan pada sediaan emulsi hanya mampu terpenetrasi 20.430 µg cm-2. Persentase
kurkumin terpenetrasi pada jam ke-8 pada sediaan nanoemulsi dan emulsi berturutturut sebesar 20.13 % dan 13.79 % (Lampiran 8). Dari hasil investigasi tersebut
terlihat bahwa nanoemulsi terpenetrasi 45.97 % lebih banyak daripada emulsi
temulawak. Perbedaan kemampuan terpenetrasi berkaitan oleh ukuran diameter
butiran. Ukuran butiran nanoemulsi yang kecil membuat kecepatan penetrasi lebih
besar daripada emulsi dengan ukuran 444.1 nm. Ukuran kecil ini menyebakan luas
permukaan yang bersinggungan dengan cairan reseptor semakin besar, sehingga
kecepatan melarut senyawa aktif makin besar (Syukri 2002). Teori ini dibuktikan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Lanimarta (2012) yang membandingkan
bioavailabilitas sediaan nanogel dan gel. Hasilnya menunjukkan bahwa kemampuan
penetrasi nanogel lebih besar karena memiliki ukuran butiran lebih kecil
dibandingkan dengan gel. Kemampuan penetrasi nanoemulsi yang baik akan
menghemat penggunaan ekstrak temulawak.
Selain ukuran yang kecil, viskositas sediaan juga berpengaruh terhadap
pelepasan bahan aktif dari nanoemulsi menuju permukaan membran. Viskositas
nanoemulsi yang lebih rendah akan menaikan kecepatan penetrasi, sehingga
meningkatkan mobilitas bahan aktif menuju permukaan membran. Berdasarkan hasil
pengukuran viskositas, emulsi memiliki viskositas lebih besar (7.1 ± 0.2 cP)
dibandingkan nanoemulsi (3.9 ± 0.1 cP), sehingga kurkumin akan lebih sulit berdifusi
ke dalam membran. Hal ini senada dengan Sukmawati et al. (2010) yang menyatakan
bahwa viskositas yang tinggi dapat menghambat aliran zat untuk berdifusi .
15
Gambar 8 Jumlah kumulatif kurkumin terpenetrasi selama 8 jam
Kelarutan Nanoemulsi Temulawak
Aplikasi kelarutan dalam bidang farmasi antara lain digunakan untuk
membantu dalam menentukan pelarut yang tepat untuk sediaan obat. Nanoemulsi
temulawak dapat larut dalam pelarut non polar yaitu heksan dan aseton. Nanoemulsi
ekstrak temulawak juga larut dalam pelarut semi polar yaitu etanol dan metanol. Air
juga dapat melarutkan nanoemulsi temulawak (Lampiran 11). Meningkatnya luas
permukaan memungkinkan interaksi antara solut dan pelarut lebih besar. Ukuran
partikel kurang dari 100 nm membuat nanoemulsi lebih mudah dilarutkan. Menurut
Shargel et al. (1999) ukuran partikel dapat mempengaruhi sifat kelarutan. Semakin
kecil ukuran partikel, maka luas permukaan zat tersebut akan semakin meningkat,
sehingga akan mempercepat kelarutan suatu zat. Nanoemulsi memiliki kelarutan yang
tinggi pada pelarut etanol sebesar 96.74 % (Tabel 6). Kelarutan nanoemulsi
temulawak yang tinggi pada etanol disebabkan karena sifat kurkumin yang larut
sempurna dalam etanol.
Viskositas zat terlarut dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat. Viskositas
yang rendah menyebabkan zat terlarut mengalir lebih cepat ke pelarut. Nanoemulsi
mempunyai viskositas lebih rendah dibandingkan dengan emulsi sehingga
nanoemulsi lebih mudah terlarut.
Pada uji kelarutan ini dapat disimpulkan bahwa nanoemulsi dapat mengubah sifat
kelarutan kurkumin. Kemampuan air melarutkan nanoemulsi temulawak membuat
nanoemulsi aman digunakan sebagai bahan obat karena dapat larut dalam air yang
aman bagi tubuh.
16
Tabel 6 Kelarutan kurkumin nanoemulsi dan emulsi pada berbagai pelarut
Jenis Pelarut
Kelarutan Nanoemulsi (%) Kelarutan Emulsi (%)
Air
90.00
0
Heksan
90.17
0
Etanol
96.74
96.34
Aseton
95.70
90.96
Metanol
91.40
0
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suhu penyimpanan nanoemulsi
dapat mempengaruhi stabilitas ukuran dari nanoemulsi. Semakin tinggi suhu
penyimpanan, maka nanoemulsi semakin tidak stabil dan cepat rusak. Kondisi
penyimpanan terbaik dilakukan pada suhu penyimpanan 40C dengan lama waktu
penyimpanan 60 hari. Penambahan asam sitrat pada nanoemulsi temulawak
berpengaruh dalam mengurangi degradasi kurkumin. Pembuatan anoemulsi dapat
mengubah karakteristik kelarutan kurkumin. Nanoemulsi temulawak memiliki
kelarutan terbaik pada etanol dengan kelarutan sebesar 96.74 %. Nanoemulsi
temulawak mampu terpenetrasi sebanyak 20.80 % atau 45.97 % lebih banyak
daripada emulsi temulawak.
Saran
Perlu dilakukan penelitian dengan konsentrasi dan jenis antioksidan lain agar
dapat menentukan antioksidan yang lebih baik dalam mencegah proses degradasi
kurkumin pada nanoemulsi temuawak.
DAFTAR PUSTAKA
Aan. 2004. Pengaruh waktu, suhu, dan nisbah bahan baku-pelarut pada ekstraksi
kurkumin dari temulawak dengan pelarut aseton [skripsi]. Bogor (ID) :
Institut Pertanian Bogor.
17
Ahmed K, Li Y, McClement DJ, Xiao H. 2012. Nanoemulsion and Emulsion based
Delivery Systems for Curcumin: Encapsulation and Release Properties. Food
Chemistry 132(2): 799-807.
Aini S. 2013. Ekstraksi Senyawa Kurkumin dari Rimpang Temulawak dengan
Metode Maserasi [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Anand P, Sundaram C. 2008. Curcumin and Cancer: An “old-age” disease with an
“age-old” solution." Cancer Letters 267(1): 133-164.
AOAC. 2005. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical
Chemist. Virginia (USA): AOAC.
Arifianti AE. 2012. Stabilitas Fisik dan Aktivitas Antioksidan Nanoemulsi Minyak
Jinten Hitam (Nigella sativa Linn. Seed oil) sebagai Sediaan Nutrasetika
[skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
[BPS] Badan Pusat Statistik (ID). 2014., 1997-2013. Produksi Temulawak Indonesia.
[Internet] Produksi Tanaman Obat-Obatan di Indonesia. [diunduh 2014 Des
14]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=3&tabel
=1&daftar=&id_subyek=55¬ab=25..
Bagem S, Ma’mun, Imanuel E. 2006. Pengaruh Kehalusan dan Lama Ekstraksi
terhadap Mutu Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.). Balitro,
Vol XVII No.2. p 53-58.
Chou DK, Krishnamurthy R, Randolph TW, Carpenter JF, Manning MC. 2005.
Effects of Tween 20 and Tween 80 on the stability of Albutropin during
agitation. J Pharm Sci 94 (6): 1368–81.
Fingas M. 2008. Oil spil dispersion stability and oil re-surfacing [Internet]. [diunduh
2015 Jan 15]. Tersedia pada: http://www.iosc.org/papers/2008%
20111.pdf.
Hadiwiyoto S. 2011. Produk Meat Emulsion [Internet]. diunduh 2015 Jan 13.
Tersedia pada: httpfoodreview.co.idindex1.phpview2&id=56552#.VKx
VEMmfabc
Jusnita N. 2014. Produksi Nanoemulsi Ekstrak Temulawak dengan Metode
Homogenisasi [tesis]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.
Kikuzaki H, Hisamoto M, Hirose K, Akiyama K, Taniguchi H. 2002. Antioxidants
properties of Ferulic Acid and Its Related Compounds. J Agricult and Food
Chem. 50: 2161-2168.
Kuntarti. 2013. Kesetimbangan Cairan, Elektrolit, Asam, dan Basa. [Internet].
[diunduh 2014 Agu 20]. Tersedia pada: http://staff.ui.ac.id/system/files/users
/kuntarti/publication/fluidbalance.pdf.
Kusumawardhani AN. 2006. Kajian Penambahan Antioksidan terhadap Mutu
Simplisia Temulawak (Curcuma xanthorriza Roxb.) [skripsi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
18
Lanimarta Y. 2012. Pembuatan dan Uji Penetrasi Nanopartikel Kurkumin-Dendrimer
Poliamidoamin (Pamam) Generasi 4 dalam Sediaan Gel dengna
Menggunakan Sel Difusi Franz [skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia.
Materia Medika Indonesia. 1979. Jilid V. Jakarta (ID): Depkes Republik Indonesia.
Harimurti N, Iceu A, Hoerudin. 2012. Pengaruh Konsentrasi Ekstrak dan Surfaktan
(Tween 20 dan Tween 80) terhadap Karaketristik Nanoemulsi Ekstrak
Temulawak dalam Pendispersi Minyak Sawit Merah. Seminar Bulanan. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian RI.
Rachmawati H, Budiputra DK, Mauludin R. 2014. Curcumin Nanoemulsion for
Transdermal Application: Formulation and Evaluation. Department of
Pharmacy, Bandung Institute of Technology.
Shargel L, Yu ABC. 1999. Applied Biopharmaceutics. Edisi ke-4. Stanford. hlm 325352.
Shinoda K, Saito H. 1969. The Stability of O/W Type Emulsions as Functions of
Temperature and the HLB of Emulsifiers: The Emulsification by PITmethod. J Colloid and Interf Sci, Vol. 30, N° 2, June 1969, 258-263.
Department of Chemistry, Yokohama National University, Japan.
Sidik, Moelyono MW, Ahmad M. 1995. Temulawak (Curcuma xanthoriza). Yayasan
Pengembangan Obat Bahan Alam Phyto Medica.
Simanjuntak MT. 2010. Ketergantungan Temperatur dan pH terhadap Transpor
Sefaleksin ke dalam Eritrosit Manusia secara In vitro. Jurnal Sains Kimia Vol
7, No.2, 2003: 44-50.
Solanki KH. 2012. Incorporation Of Curcumin In Lipid Based Delivery Systems And
Assessment Of Its Bioaccessibility [tesis]. New Jersey (US) : The State
University of New Jersey.
Sukmawati A, Suprapto. 2010. Efek Berbagai Peningkat Penetrasi terhadap Penetrasi
Perkutan Gel Natrium Diklofenak Secara In Vitro. J Penelitian Sains Teknol,
Vol. 11, No. 2, 2010: 117 – 125. Fakultas Farmasi, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Syukri Y. (2002). Biofarmasetika. Yogyakarta: UII-Pr. hlm 12-15.
Utami SS. 2012. Formulasi dan Uji Penetrasi In Vitro Nanoemulsi, Nanoemulsi Gel
dan Gel Kurkumin [skripsi]. Depok: Universitas Indonesia.
Wijayakusuma H. 2007. Penyembuhan dengan Temulawak I. Jakarta (ID) : Sarana
Pustaka Prima.
Youssef S. 2012. Evaluation of Antioxidants Stability by Thermal Analysis and Its
Protective Effect in Heated Edible Vegetable Oil. Ciência e Tecnologia de
Alimentos ISSN 0101-2061.
19
Lampiran 1 Karakterisasi sifat ekstrak temulawak dan nanoemulsi temulawak serta
pengujiannya
a. Kadar KurkuminTemulawak (AOAC 2005)
Analisis kuantitatif kurkumin menggunakan spektrofotometer. Analisis ini
dilakukan dengan terlebih dahulu dengan pembuatan kurva standar kurkumin ke
dalam asam asetat dengan konsentrasi 100 ppm kemudian dilakukan pengenceran
sampai didapatkan konsentrasi 0, 1, 2, 3, dan 4 ppm. Analisis kurkumin dilakukan
dengan memasukkan sampel sebanyak 5-10 gram ke dalam labu takar 50 ml. Setelah
itu ditambahkan asam asetat sepertiga volume labu takar dan dipanaskan selama 60
menit. Setelah didinginkan, sampel ditambahkan asam oksalat serbuk dan dipanaskan
selama 30 menit dan didinginkan. Kemudian ditambahkan asam borat dan diukur
nilai absorbansinya menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 530
nm.
b. Perhitungan rendemen
Rendemen ekstrak temulawak dihitung berdasarkan perbandingan ekstrak
temulawak dan nanoemulsi yang diperoleh dengan bobot kering bahan dikalikan
100%.
Rendemen
Berat ekstrak (g) x100 %
Berat bahan (g)
c. Kadar Air (SNI 01-3181-1992 yang dimodifikasi)
Labu didih dan tabung Bidwell-Sterling dikeringkan dalam oven bersuhu
105°C sebelum digunakan dan didinginkan dalam desikator. Bubuk temulawak
ditimbang sebanyak 5 gram dan dimasukkan ke dalam labu didih yang telah
dikeringkan dan ditambakan 60-80 ml toluena. Setelah alat dirangkai, refluks pada
suhu rendah selama 45 menit kemudian suhunya dinaikkan dan dipanaskan selama
60-90 menit. Volume yang terdestilasi dibaca. Penetapan faktor destilasi diperoleh
dengan mengganti sampel ekstrak temulawak dengan air (4 gram). Kadar air bahan
dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Keterangan:
Ws = massa contoh (g)
Vs = volume air yang didestilasi dari contoh (ml)
FD = faktor destilasi (g/ml)
Faktor destilasi dihitung dengan rumus sebagai berikut:
FD= W/V
Keterangan:
W = massa air yang akan didestilasi (g)
V = volume air yang terdestilasi (ml)
20
d. Kadar Abu (SNI 01-3187-1992 yang dimodifikasi)
Cawan dikeringkan dalam oven bersuhu 105°C sebelum digunakan dan
didinginkan dalam desikator. Bubuk temulawak ditimbang sebanyak 1.5 gram.
Sebanyak 2 ml etanol dituang ke dalam cawan dan dibakar sampai etanol habis
terbakar. Cawan dipanaskan menggunakan nyala api kecil lalu dipijarkan dalam tanur
pada suhu 600°C selama 2 jam. Abu didinginkan dan dibasahi dengan beberapa tetes
air, dikisatkan dan dipanaskan kembali dalam tanur selama satu jam pada suhu
600°C. Bila pada pembasahan ternyata abu telah bebas karbon, cawan dipindahkan ke
dalam desikator dan dibiarkan dingin dan ditimbang.
Bila pada pembasahan masih terlihat adanya karbon, pembasahan dan
pemanasan diulangi sampai tidak terlihat lagi bintik-bintik karbon, lalu cawan
dipijarkan kembali dalam tanur selama satu jam.Bila masih terlihat adanya karbon,
abu diaduk dengan air panas, disaring dengan kertas saring. Kertas saring dicuci
dengan sempurna lalu kertas saring serta isinya dipindahkan ke dalam cawan untuk
pengabuan. Cawan dikeringkan dan dipijarkan pada tanur dengan suhu 600°C selama
satu jam sampai abu menjadi putih.
Cawan didinginkan, ditambah filtrat, dikisatkan sampai kering pada penangas
air. Cawan dipanaskan lagi selama satu jam dalam tanur dengan suhu 600°C,
didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu contoh dihitung dengan
rumus sebagai berikut
Keterangan: M0 = massa cawan kosong (g)
M1 = massa cawan dan contoh (g)
M2 = massa cawan dan abu (g)
H = kadar air contoh (%)
e.
Kadar Protein (AOAC 2005)
Penentuan kadar protein dilakukan dengan metode mikro-kjeldahl. Sampel
dihomogenkan, kemudian sampel seberat 0.1 gram dimasukkan ke dalam labu
kjeldahl 100 ml lalu ditambahkan katalis (CuSO4 dan Na2SO4) dan 2.5 ml H2SO4
pekat 98%. Selanjutnya sampel didekstruksi selama 30-40 menit sampai berwarna
hijau bening. Setelah didinginkan, sampel ditambahkan dengan air suling hingga
tanda tera. Sebanyak 5 ml larutan hasil pengenceran ditambahkan dengan 10 ml
NaOH 40%, disuling selama 5 menit. Hasil penyulingan ditampung dalam
erlenmeyer yang berisi 10 ml asam borat (2%) dan 0.1 ml campuran indikator hijau
bromkresol 0.1% dengan merah metal 0.1% (5:1), kemudian dititrasi dengan larutan
HCl 0.1 N sampai berwarna merah muda. Kadar protein dihitung dengan rumus
sebagai berikut
21
Keterangan:
A = selisih volume HCl yang digunakan untuk menitrasi
blanko dan contoh (ml)
N = normalitas larutan HCl
Ws = berat contoh (mg)
f. Kadar Lemak (AOAC 2005)
Sebanyak 2 gram contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik heksana
dalam alat soxhlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara
diangin-anginkan dalam over bersuhu 105°C. Contoh didinginkan dalam desikator
dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap.
g. Kadar Karbohidrat (by difference)
Pada analisis bahan baku, kadar karbohidrat dihitung dengan cara by different,
yaitu pengurangan jumlah komponen bahan total dengan jumlah kadar air, kadar abu,
kadar lemak, kadar protein dan kadar serat. Kadar karbohidrat dihitung dengan rumus
sebagai berikut :
h. Bobot Jenis
Piknometer kosong dikeringkan di dalam oven kemudian ditimbang bobotnya.
Piknometer diisi dengan aquades atau sampel nanoemulsi pada suhu 200C kemudian
simpan di dalam Water Bath pada suhu 250C selama 30 menit. Piknometer kemudian
diangkat, dikeringkan, dan ditimbang. Piknometer yang berisi sampel atau aquades
ditimbang bobotnya
i. Indeks Bias (SNI 01-4472-1998)
Index bias diukur dengan Refractometer. Kaca penutup refraktometer dibuka
terlebih dahulu dan permukaan prisma kaca penutup dibersihkan dengan tissue
sampai kering. Sampel nanoemulsi/ekstrak temulawak diteteskan dua-tiga tetes diatas
permukaan prisma. Kaca penutup ditutup secara perlahan agar sampel tersebar secara
merata pada permukaan prisma. Nilai brix yang terukur dilihat. Pengatur halus/kasar
diputar bila pembacaan kabur atau tidak fokus. Setelah selesai, kaca prisma dibuka
dan dibersihkan.
j. Viskositas
Sampel diukur dengan rotary viscosimeter pada suhu ruang (27 ± 0.20C)
22
Lampiran 2 Kurva standar kurkumin
Lampiran 3 Proses pembuatan nanoemulsi temulawak dengan High Speed
Homogenizer merk Virtis
Proses pembuatan nanoemulsi temulawak dengan kecepata