Interaksi Antara Biak Suspensi Sel Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.) Dan Fusarium Sp. Dalam Menghasilkan Senyawa Seskuiterpena

INTERAKSI ANTARA BIAK SUSPENSI SEL GAHARU
(Aquilaria malaccensis Lam.) DAN Fusarium sp. DALAM
MENGHASILKAN SENYAWA SESKUITERPENA

ARYANI LEKSONOWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Interaksi antara Biak
Suspensi Sel Gaharu (Aquilaria malaccensis Lam.) dan Fusarium sp. dalam
Menghasilkan Senyawa Seskuiterpena” adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, September 2016
Aryani Leksonowati
NIM G353120271

RINGKASAN
ARYANI LEKSONOWATI. Interaksi antara Biak Suspensi Sel Gaharu
(Aquilaria malaccensis Lam.) dan Fusarium sp. dalam Menghasilkan Senyawa
Seskuiterpena. Dibimbing oleh DIAH RATNADEWI, WITJAKSONO dan
ANDRIA AGUSTA.
Aquilaria malaccensis Lam. merupakan tumbuhan penghasil resin wangi
atau gubal gaharu yang dimanfaatkan secara luas untuk industri parfum, dan obatobatan. Resin wangi tersebut mengandung metabolit sekunder berupa
seskuiterpena dan kromona. Gubal gaharu terbentuk sebagai respon dari
masuknya patogen ke dalam jaringan yang terluka baik secara alami maupun
disengaja. Tingginya permintaan pasar dan perburuan liar menyebabkan masalah
serius dalam penurunan populasi spesies Aquilaria di alam, sehingga pada tahun
1995, CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild
Fauna and Flora) menetapkan A. malaccensis masuk ke dalam Appendix II.
Untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan budi daya dan inokulasi buatan.
Tetapi cara ini memiliki kelemahan karena memerlukan tanaman dalam jumlah

besar, waktu yang lama dan konsistensi keberhasilan yang rendah. Kultur suspensi
sel gaharu telah dipikirkan untuk menjadi salah satu solusi untuk memproduksi
resin gaharu. Apabila berhasil, maka dapat menghemat lahan tanam, lebih cepat
dan efisien. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metode inisiasi dan
perbanyakan kalus remah serta mempelajari interaksi sel gaharu A. malaccensis
dengan Fusarium sp. sebagai elisitor pada pembentukan senyawa seskuiterpena
dalam sistem suspensi sel, khususnya interaksinya dengan Fusarium sp. strain
372.3 dan w1fus.sp.2.
Tunas in vitro berumur 2 bulan dari spesies gaharu A. malaccensis serta
Fusarium sp. strain 372.3 dan strain w1fus.sp.2. digunakan sebagai bahan dalam
penelitian ini. Tahapan penelitian meliputi inisiasi biak kalus gaharu, inisiasi dan
pemeliharaan suspensi sel gaharu, perlakuan interaksi suspensi gaharu dan
Fusarium sp. untuk menginduksi senyawa seskuiterpena.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa kalus dapat diinduksi dari semua
perlakuan auksin-sitokinin pada inokulum potongan daun dan ruas batang A.
malaccensis. Kombinasi 1–2 mg/L 2,4-D dan BA dalam selang konsentrasi
rendah (0.1–0.3 mg/L) dapat menginduksi pembentukan kalus yang tinggi (>80%)
dan remah. Subkultur kalus ke medium dengan 0.5–1.0 mg/L 2,4-D mampu
menghasilkan suspensi sel dengan struktur yang remah. Terbentuknya senyawa
seskuiterpena pada sistem suspensi gaharu dipengaruhi faktor bentuk elisitor

cendawan, strain cendawan, umur suspensi dan lamanya waktu co-culture.
Interaksi 10% filtrat strain Fusarium sp. strain 372.3 dan suspensi gaharu umur 1
minggu dengan lama co-culture 1 bulan menginduksi terbentuknya senyawa
seskuiterpena terbanyak dan spesifik pada gaharu di antaranya -eudesmol,
elemol, dan -eudesmol. Perlakuan 10 dan 20% filtrat Fusarium sp. strain 372.3
dan w1fus.sp.2 dapat menghambat pertumbuhan sel, namun mampu menginduksi
terbentuknya seskuiterpena lainnya yang spesifik terdapat pada gaharu yaitu
dihidro--agarofuran, dan kariofilena oksida.
Kata kunci: Aquilaria malaccensis, kultur suspensi sel, Fusarium sp.,
seskuiterpena

SUMMARY
ARYANI LEKSONOWATI. Interaction Between Cell Suspension Culture of
Aquilaria malaccensis Lam. and Fusarium sp. in Producing Sesquiterpenoid
Compounds. Supervised by DIAH RATNADEWI, WITJAKSONO dan ANDRIA
AGUSTA.
Aquilaria malaccensis Lam. is a plant species producing fragrant woody
material called “agarwood” commonly used as medicine and perfume. The
fragrant compounds such as sesquiterpenoids and chromone derivatives are the
major chemical components of agarwood. Agarwood is formed in response to

pathogen infection through wounding occurred on stem, both naturally and
artificially. High demand leading to illeggal logging has seriously affected in the
decrease of Aquilaria species population in its natural habitat. A. malaccensis has
been listed in Appendix II of the Convention on International Trade in
Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) since 1995. Under these
circumstances, conventional cultivation of agarwood trees and attempts to
artificially induce agarwood on those trees are perfomed. But this method has
some weakness since it requires cultivation on a large scale, long time and low
consistency of success. Cell suspension culture may become an alternative method
to produce the desired substances. Cell suspension culture is expected to be more
effective because it can minimize the space, be more quickly and be more
efficient. The aims of this research were to find a method of initiation and
proliferation of friable calli; and to study interaction between A. malaccensis cells
and Fusarium sp. as elicitors that influence sesquiterpenoids production in cell
suspension culture, especially Fusarium sp. strain 372 and w1 fus. sp.2
Two-month old A. malaccensis planlet and Fusarium sp. strain 372 and w1
fus. sp.2 were used as materials in this research. This study was conducted in
several steps, e.g. initiation of callus, initiation and maintenance of cell suspension
culture, and treatment of A. malaccensis cell suspension culture with Fusarium sp.
to induce sesquiterpenoid compounds.

The results showed that calli were established in almost all treatments of
auxin-cytokinin on both leaf and internode explants. The combined treatment of
1–2 mg/L 2,4-D and 0.2–0.3 mg/L BA induced friable callus formation in more
than 80% of cultures. Subculture of calli in medium with 0.5–1 mg/L 2,4-D
induced friable calli. In the suspension cell system of A. malaccensis, some factors
could affected sesquiterpenoid formation, such as types of elicitor, clones of
fungi, the age of the suspension culture and the time course of co-culture. Most
sesquiterpenoids were detected from one-week cell suspension culture which
contained 10% filtrate of Fusarium sp. strain 372.3 and were harvested after one
month of co-culture, such as -eudesmol, elemol, and -eudesmol. The treatments
of 10 and 20% filtrate of Fusarium sp. strain 372.3 and w1fus.sp.2 inhibited the
cell growth, but induced several specific agarwood compounds of sesquiterpenoid
including dihydro--agarofuran, and caryophyllene oxide.
Keywords: Aquilaria malaccensis, cell suspension culture, Fusarium sp.,
sesquiterpenoid

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

INTERAKSI ANTARA BIAK SUSPENSI SEL GAHARU
(Aquilaria malaccensis Lam.) DAN Fusarium sp. DALAM
MENGHASILKAN SENYAWA SESKUITERPENA

ARYANI LEKSONOWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Gayuh Rahayu

Judul Tesis : Interaksi antara Biak Suspensi Sel Gaharu (Aquilaria malaccensis
Lam.) dan Fusarium sp. dalam Menghasilkan Senyawa
Seskuiterpena
Nama
: Aryani Leksonowati
NIM
: G353120271

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir YM Diah Ratnadewi, DEA
Ketua

Dr Ir Witjaksono, MSc

Anggota

Dr Andria Agusta, MSc
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Miftahudin, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Agustus 2016

Tanggal Lulus:


PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia
dan rahmatNya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Interaksi antara Biak
Suspensi Sel Gaharu (Aquilaria malaccensis Lam.) dan Fusarium sp. dalam
Menghasilkan Senyawa Seskuiterpena” ini berhasil diselesaikan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir YM Diah Ratnadewi,
DEA, Dr Ir Witjaksono, MSc dan Dr Andria Agusta, MSc selaku pembimbing,
serta Dr Ir Gayuh Rahayu selaku penguji luar komisi. Di samping itu, penulis
ucapkan terima kasih kepada teman-teman di Laboratorium Biak Sel dan Jaringan
Tumbuhan, Laboratorium Kimia Bahan Alam, Bidang Botani serta Laboratorium
Kimia Analitik, InaCC, Pusat Penelitian Biologi LIPI, yang telah banyak
membantu terlaksananya penelitian ini. Terima kasih kepada Kemenristek yang
telah mendanai studi melalui program beasiswa Kemenristek tahun 2012-2014.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada adik, saudara dan kerabat atas
segala doa, serta seluruh pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu
persatu.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2016
Aryani Leksonowati


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN

1

Latar Belakang


1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan Gaharu
Pembentukan Senyawa Aromatik pada Gaharu
Produksi Metabolit Sekunder pada Gaharu Secara In Vitro
Jalur Biosintesis Senyawa Seskuiterpena

2
2
3
4
4

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian

7
7

Bahan Penelitian

7

Prosedur Penelitian

8

Inisiasi Biak Kalus Gaharu

8

Inisiasi dan Pemeliharaan Biak Suspensi Sel Gaharu

10

Perlakuan Interaksi Suspensi Sel Gaharu dan Cendawan Fusarium sp.
untuk Induksi Pembentukan Seskuiterpena

10

Pemanenan dan Ekstraksi Seskuiterpena dari Suspensi Sel

11

Analisis Seskuiterpena dengan GC-MS

12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

12
12
26
31
31
31

DAFTAR PUSTAKA

32

LAMPIRAN

37

RIWAYAT HIDUP

62

DAFTAR TABEL
1 Perlakuan ZPT tunggal auksin serta kombinasi auksin-auksin dan
auksin-sitokinin untuk induksi kalus A. malaccensis
2 Perlakuan interaksi suspensi sel gaharu dan cendawan Fusarium sp.
untuk induksi pembentukan seskuiterpena
3 Perbandingan jumlah senyawa seskuiterpena pada perlakuan interaksi,
kontrol suspensi sel gaharu dan kayu A. malaccensis terinfeksi
4 Rata-rata jumlah ekstrak yang diperoleh dan jumlah seskuiterpena
terdeteksi pada perlakuan 10% dan 20% filtrat Fusarium sp. strain
372.3 dan w1fus.sp.2

9
20
22

24

DAFTAR GAMBAR
1 Jalur biosintesis senyawa seskuiterpena
2 Bagan alur penelitian dari induksi kalus remah gaharu hingga induksi

6
8

seskuiterpena

3 Perbedaan morfologi kalus dari eksplan potongan daun dan ruas batang
A. malaccensis
4 Pengaruh jenis dan konsentrasi auksin terhadap induksi kalus dari
eksplan potongan daun A. malaccensis.
5 Pengaruh konsentrasi auksin 2,4-D terhadap induksi kalus dari eksplan
ruas batang A. malaccensis.
6 Pengaruh kombinasi jenis dan konsentrasi auksin-auksin dan auksinsitokinin terhadap kalus dari eksplan potongan daun A. malaccensis
7 Pengaruh kombinasi konsentrasi 2,4-D dan BA terhadap induksi kalus
dari eksplan ruas batang A. malaccensis
8 Morfologi kalus gaharu dalam medium cair
9 Kurva pertumbuhan sel gaharu
10 Kenampakan fisik kultur hasil interaksi suspensi sel gaharu umur 1
minggu dengan filtrat Fusarium sp. strain 372.3.
11 Kromatogram GC-MS dan struktur molekul
12 Pengaruh konsentrasi filtrat cendawan Fusarium sp. strain 372.3 dan
w1fus.sp.2 pada umur suspensi sel A. malaccensis 1 minggu terhadap
pertumbuhan suspensi sel selama masa co-culture 4 minggu
13 Konsentrasi relatif beberapa seskuiterpena terdeteksi per 25 mL
suspensi terhadap senyawa standar -eudesmol pada interaksi filtrat
cendawan Fusarium sp. strain 372.3 dan w1fus.sp.2 dan suspensi sel A.
malaccensis

13
14
14
16
17
17
18
19
21

23

25

DAFTAR LAMPIRAN
1 Komposisi medium MS (Murashige & Skoog 1962)
2 Komposisi medium PDA (Potato Dextrose Agar)
3 Morfologi kalus yang terbentuk dari potongan daun dan ruas batang
pada perlakuan berbagai jenis dan konsentrasi auksin tunggal

38
39
40

4 Morfologi kalus yang terbentuk dari potongan daun dan ruas batang
pada perlakuan kombinasi berbagai jenis dan konsentrasi auksin-auksin
dan auksin-sitokinin
5 Senyawa seskuiterpena yang terdeteksi GC-MS pada interaksi suspensi
sel A. malaccensis dan cendawan Fusarium sp. strain 372.3 dan
w1fus.sp.2 dengan variasi umur suspensi sel, lama co-culture dan jenis
elisitor
6 Kurva kalibrasi senyawa standar -eudesmol pada beberapa konsentrasi
7 Perhitungan kuantitatif beberapa senyawa seskuiterpena terdeteksi pada
perlakuan 10% filtrat Fusarium sp. strain 372.3, kontrol suspensi sel
dan kayu A. malaccensis terinfeksi
8 Kromatogram GC-MS pada perlakuan 10% dan 20% filtrat Fusarium
sp. strain 372.3 dan w1fus.sp.2
9 Senyawa seskuiterpena terdeteksi hasil analisis GC-MS pada perlakuan
10% dan 20% filtrat Fusarium sp. strain 372.3 dan w1fus.sp.2

41

42
46

47
48
53

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tumbuhan gaharu Aquilaria malaccensis Lam. merupakan salah satu
penghasil gubal gaharu yang dimanfaatkan secara luas untuk keperluan industri
parfum, kosmetik, dan obat-obatan (Akter et al. 2013; Subasinghe et al. 2012).
Masalah yang saat ini dihadapi adalah populasi tanaman gaharu yang semakin
berkurang di alam. Hal ini disebabkan para pemburu gaharu tidak dapat
mengenali dengan tepat mana tanaman yang sudah mengandung gubal gaharu dan
tidak, sehingga mereka sering menebang pohon yang salah (Suhartono & Newton
2001). Sejak tahun 1995, tanaman gaharu A. malaccensis dimasukkan dalam
daftar Appendix II CITES (Convention on International Trade in Endangered
Species of Wild Fauna and Flora) sehingga perdagangannya dibatasi dengan
kuota tertentu agar kepunahan spesies tanaman ini dapat dicegah (Barden et al.
2000). Kuota perdagangan direkomendasikan oleh Scientific Authority (LIPI),
disahkan oleh Management Authority (Kementerian Lingkungan Hidup
Kehutanan).
Gubal gaharu dihasilkan tanaman sebagai respon dari masuknya patogen ke
dalam jaringan yang terluka. Luka pada tanaman berkayu dapat disebabkan secara
alami, maupun secara sengaja (Ng et al. 1997). Gubal gaharu mengandung
senyawa berupa resin berwarna coklat dan beraroma harum (Ng et al. 1997).
Senyawa utama yang diketahui menyebabkan aroma wangi gaharu adalah
seskuiterpena (golongan terpenoid) dan turunan feniletil kromona. Cendawan
merupakan salah satu faktor penginduksi gubal gaharu, dan kelompok Fusarium
merupakan jenis yang relatif sering ditemukan pada batang Aquilaria spp. (Isnaini
et al. 2009; Budi et al. 2010; Nurbaya et al. 2014). Beberapa senyawa kimia juga
dilaporkan dapat menjadi sinyal sekunder untuk menginduksi senyawa wangi
gaharu seperti metil jasmonat dan asam salisilat (Nobuchi & Siripatanadilok 1991;
Ito 2005; Okudera & Ito 2009).
Alternatif solusi untuk mengatasi masalah populasi gaharu di alam,
masyarakat melakukan budi daya gaharu secara konvensional dan inokulasi
buatan dengan cara mengebor batang tanaman penghasil gaharu untuk
memasukkan inokulum patogenik ke dalamnya. Dari infeksi tersebut, akan
terbentuk gubal yang mengandung resin wangi dan terakumulasi pada jaringan
kayu. Senyawa wangi yang dihasilkan tersebut dapat diperoleh dengan
mengekstraksi gubal gaharu secara langsung (Azah et al. 2008). Tetapi cara ini
memerlukan budi daya tanaman dalam skala besar dan waktu yang lama serta
konsistensi keberhasilan yang rendah. Cara lain yang dapat dipikirkan untuk
diupayakan menjadi penghasil resin gaharu melalui metode kultur jaringan,
seperti kultur kalus atau suspensi sel. Cara ini lebih efisien karena dapat
menghemat luasan lahan tanam dan lebih cepat.
Beberapa alasan di atas mendasari perlunya dilakukan induksi resin gaharu
secara in vitro melalui co-culture dengan elisitor dari cendawan Fusarium sp.
pada kultur suspensi sel. Faktor biosafety atau biosecurity juga menjadi alasan
penting, karena selain dapat menginduksi terbentuknya gubal gaharu, Fusarium sp.
merupakan cendawan patogen tumbuhan yang sering menyebabkan berbagai

2

penyakit pada tumbuhan seperti busuk pangkal batang, tumor akar (root crown),
penyakit pembuluh xilem, dan penyakit pasca panen (Wang & Jeffer 2000; Ploetz
2005). Melalui kultur suspensi sel, penggunaan Fusarium sp. sebagai elisitor
diharapkan bisa lebih terkendali dan aman bagi lingkungan.

Tujuan Penelitian

1.
2.

Penelitian ini bertujuan untuk :
Mempelajari komposisi zat pengatur tumbuh untuk menginisiasi dan
memelihara kalus remah A. malaccensis,
Mempelajari interaksi sel gaharu A. malaccensis dengan Fusarium sp.,
khususnya strain 372.3 dan strain w1fus.sp.2. sebagai elisitor pada
pembentukan senyawa seskuiterpena dalam sistem suspensi sel.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah dengan mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh dalam interaksi sel gaharu A. malaccensis dengan Fusarium sp.
diharapkan manipulasi faktor tersebut dapat diterapkan untuk produksi resin
gaharu di laboratorium. Diharapkan pula di masa yang akan datang dapat
diperoleh teknologi ramah lingkungan terkait interaksi antara sel tumbuhan dan
patogen dalam produksi senyawa seskuiterpena yang menjadi komponen resin
gaharu, dan keberhasilan produksi resin in vitro diharapkan akan bermanfaat
untuk mengatasi masalah penurunan populasi gaharu di alam akibat perburuan
dan penebangan liar gaharu di hutan yang menggiring spesies tanaman ini menuju
kepunahan.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan Gaharu
Gaharu merupakan kayu yang mengandung resin berwarna gelap dan
terbentuk sebagai akibat adanya infeksi patogen. Penghasil utama resin gaharu
berasal dari genus Aquilaria dan Gyrinops, famili Thymelaeaceae. Gaharu
memiliki beberapa nama umum/daerah seperti agarwood (Eropa), Malayan eagle
wood, Malayan aloe wood (Inggris); calambac, calambour (Perancis); gaharu
(Indonesia dan Malaysia); karas (Sunda); kekeras; kepang (Malaysia); oud (arab);
agar (India); agaru (Tibet); dan jinkoh (Jepang) (PROSEA 1999).
Salah satu pohon penghasil kayu gaharu yang paling penting adalah
Aquilaria malaccensis. Spesies ini telah dikategorikan sebagai terancam punah
dan termasuk dalam Appendix II CITES karena dieksploitasi secara berlebihan di
habitat alaminya (Sitepu et al. 2011). Tumbuhan A. malaccensis ditemukan di
India, Burma, Malaysia, Filipina dan Indonesia. Di Indonesia, umumnya

3

ditemukan di Sumatera (Sibolangit, Bangka, Jambi, Riau, Sumatera Selatan),
Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua. Pohon ini ditemukan di hutan primer
dan sekunder terutama pada dataran rendah dan lereng bukit pada ketinggian
200–750 m dpl (Sitepu et al. 2011). Tumbuhan ini telah teradaptasi dengan baik
pada tanah berpasir atau berkapur, dengan drainase yang baik pada temperatur
14–32 oC dan curah hujan 2000–4000 per tahun (Barden et al. 2000; Sitepu et al.
2011). Pohon ini mulai memproduksi bunga dan biji sejak empat tahun (Akter et
al. 2013).
Tumbuhan A. malaccensis termasuk pohon yang tumbuh cepat, dengan
tinggi mencapai 20–40 m dan diameter 0,6–2,5 m. Tipe daunnya tunggal,
berseling, elips oblong hingga lanset oblong, ukuran 7.5–12 cm x 2.5–5.5 cm,
tangkai daun sepanjang 4–6 mm. Bunga tumbuh di ketiak daun, berbentuk payung,
bercabang, bunga berkelopak tabung dengan ukuran 5–6 mm, dan berwarna hijau
atau kuning tua (Suhartono & Newton 2001). Buah bulat telur dengan bagian
basal lebih lonjong, ukuran 23 cm, daging buah tebal, jumlah biji 1–2 buah
(PROSEA 1999).
Gaharu mengandung essens yang disebut sebagai minyak essens (essential
oil) yang dibuat dengan ekstraksi atau penyulingan dari gubal gaharu. Minyak
gaharu digunakan sebagai bahan pembuatan parfum, sedangkan serbuk atau abu
gaharu digunakan sebagai bahan pembuatan dupa, aromaterapi, serta untuk
keperluan upacara adat dan agama di India dan kawasan Asia Tenggara. Gaharu
telah digunakan untuk tujuan medis hampir selama ribuan tahun di Ayuverda,
Tibet, dan Asia Timur. Pengobatan tradisional Asia Timur menggunakannya
sebagai obat rematik, obat gosok, obat perangsang, dan juga digunakan dalam
produksi obat-obatan asma (Barden et al. 2000).
Gaharu termasuk salah satu komoditas hutan bukan kayu (HHBK) yang bernilai
tinggi dan banyak diburu untuk diambil gubalnya. Kayu yang belum terisi resin
bersifat lunak, ringan, pucat, mudah rusak, sedangkan kayu yang sudah berisi
resin berwarna gelap, berat dan keras. Badan Standardisasi Nasional atau BSN
(2011) membedakan kualitas gaharu menjadi tiga tingkatan yaitu gubal,
kamedangan dan serbuk gaharu berdasarkan warna, bobot dan aromanya. Gubal
gaharu dibagi menjadi double super, super A, super B, super tanggung A, dan
super tanggung B. Kemedangan dibagi menjadi sabah, kemedangan A,
kemedangan B, tanggung C, kemedangan hijau, dan kemedangan putih.
Pembentukan Senyawa Aromatik pada Gaharu
Pembentukan gaharu pertama kali dipelajari pada tahun 1926 oleh Bose
tetapi masih belum dipastikan apakah kayu yang berbau harum tersebut
disebabkan oleh infeksi jamur yang menyebabkan perubahan kondisi patologis,
kimia atau faktor lingkungan tertentu di dalam pohon. Interaksi ekologi antara
tumbuhan inang, perlukaannya dan/atau jamur untuk memproduksi gubal gaharu
masih belum banyak dipahami. Faktor-faktor lainnya seperti umur, perbedaan
tumbuhan karena variasi musim, lingkungan dan genetik juga diyakini
memainkan peranan penting dalam pembentukan gubal gaharu. Penelitian yang
dilakukan sejauh itu difokuskan terutama pada kondisi patologis dan nonpatologis (Ng et al. 1997).

4

Mekanisme terbentuknya gubal gaharu secara fisiologis dimulai dari
masuknya mikroorganisme patogenik ke dalam jaringan kayu. Kemudian
cendawan menyerang dan masuk sampai ke pembuluh batang. Infeksi cendawan
ke dalam jaringan tanaman dianggap sebagai benda asing sehingga sel tumbuhan
akan menghasilkan senyawa fitoaleksin yang berfungsi sebagai pertahanan
terhadap infeksi patogen (Isa 2008). Awalnya, dampak infeksi dapat terlihat
dengan adanya lapisan berwarna kecoklatan pada jaringan kayu. Infeksi cendawan
ini kemudian perlahan menyebar dan membentuk lapisan-lapisan pada batang
yang disebut gubal. Gubal yang terbentuk juga semakin banyak dengan
menyebarnya infeksi. Gubal ini mengandung resin yang wangi dan terakumulasi
pada jaringan kayu. Akibat akumulasi resin, serat-serat kayu lebih padat dan
warna serat berubah dari putih menjadi kecoklatan, kemudian kehitaman seiring
dengan meningkatnya konsentrasi resin tersebut (Rahayu & Situmorang 2006).
Ada banyak sekali jenis cendawan yang menginfeksi gaharu. Ng et al.
(1997) melaporkan cendawan yang mungkin menginfeksi dalam pembentukan
gaharu adalah Epicoccum granulatum atau Cytosphaera mangiferae. Sementara
itu, Budi et al. (2010) telah mengumpulkan sejumlah isolat yang memiliki potensi
untuk menginduksi gaharu pada sampel kayu gaharu dari berbagai daerah seperti
Bangka, Bogor, Bohorok, Gorontalo, Kalimantan Timur, Lampung, Mentawai,
Papua, dan Sukabumi. Hasil identifikasi koleksi isolat tersebut didapat spesies
antara lain Fusarium solani (Mart.), Appell dan Walenw, F. tricinctum (corda)
Sacc, F. sambucinum Fuckel, dan F. moniliformae. Mohamed et al. (2010)
melaporkan bahwa isolat cendawan yang dikumpulkan dari pohon gaharu yang
berasal dari hutan alami di Malaysia Barat termasuk ke dalam kelompok
Cunninghamella, Curvularia, Fusarium dan Trichoderma. Nagajothi et al. (2016)
juga mengumpulkan 17 kultur cendawan dari pohon gaharu yang berasal dari
berbagai tempat di India dan setelah diidentifikasi cendawan tersebut termasuk ke
dalam kelompok Aspergillus, Penicillium, Fusarium, Lasiodiploidia dan
Chaetomium.
Dari populasi spesies gaharu di alam, hanya 10% yang kemungkinan dapat
terinfeksi jamur dan menghasilkan gubal gaharu secara alami (umur pohon di atas
20 tahun, dan diameter kayu 40 cm). Secara tradisional, masyarakat hanya
memanen pohon-pohon terinfeksi tanpa menanamnya kembali. Namun
banyaknya permintaan telah menyebabkan kelangkaan spesies akibat pemanenan
pohon baik yang sakit maupun sehat secara berlebihan (Isa 2008). Oleh karena itu,
masyarakat mulai membudidayakan gaharu dan melakukan inokulasi buatan
untuk memperoleh gubal yang berisi resin wangi.

Produksi Metabolit Sekunder Pada Gaharu secara In Vitro
Produksi resin wangi gaharu secara in vitro diharapkan akan menjadi solusi
alternatif untuk mengatasi kekurangan budi daya gaharu dan produksi gubal
gaharu secara konvensional. Aroma wangi pada kayu gaharu berasal dari senyawa
metabolit sekunder berupa seskuiterpena dan kromona. Dalam kondisi in vitro,
senyawa tersebut dapat diinduksi melalui kultur tunas atau kalus/suspensi dengan
perlakuan hifa/filtrat cendawan atau senyawa kimia tertentu. Beberapa strain

5

Aquilaria malaccensis (Ama 7, Ama 13), dan A. microcarpa (Ami 2064)
menunjukkan adanya interaksi dengan cendawan Acremonium dalam hal
pembentukan senyawa wangi gaharu pada media miskin nutrisi dan pH berbeda
(Isnaini et al. 2009). Kultur kalus gaharu yang ditumbuhkan pada media
semipadat diduga juga menghasilkan senyawa metabolit sekunder jika diinduksi
cendawan patogen penginduksi resin, seperti Fusarium sp.
Kultur suspensi sel tanaman sangat berguna untuk mempelajari biosintesis
dari metabolit sekunder. Menurut Ito et al. (2005), penambahan senyawa metil
jasmonat (MeJA) pada kultur suspensi Aquilaria sinensis dapat menginduksi
terbentuknya senyawa wangi setelah 7 hari inkubasi. Berdasarkan analisis GC-MS,
teridentifikasi beberapa senyawa seskuiterpena seperti -guaiena, -guaiena dan
-humulena. Komposisi senyawa seskuiterpena dapat berubah berdasarkan
lamanya waktu inkubasi. Suspensi sel yang dipanen setelah 36 jam dan 7 hari
pemberian MeJA, kemudian diekstrak selnya dan dianalisis dengan GC-MS
menunjukkan rasio -guaiena, -guaiena dan -humulena yang berbeda, dimana
senyawa -humulena lebih dominan pada masa inkubasi 36 jam.
Qi et al. (2005) mempelajari bahwa 2-(2-feniletil) kromona merupakan
komponen utama yang bertanggung jawab pada kualitas gaharu. Percobaan
dilakukan menggunakan ekstrak kasar Melanotus flavolivens dengan pelarut yang
berbeda untuk memperoleh produksi 2-(2-feniletil) kromona dalam kultur
suspensi sel A. sinensis. Dari analisis LC-MS dapat dideteksi empat macam 2-(2feniletil) kromona yaitu 6,7-dimetoksi-2-(2-feniletil) kromona (1), 6,7-dimetoksi2-[2-(4′-metoksifenil)etil] kromona (2), 6-metoksi-2-[2-(4′-metoksifenil)etil]
kromona (3) dan 6-metoksi -2-(2-feniletil) kromona (4).
Seskuiterpena juga merupakan salah satu komponen gaharu yang bersifat
volatil dan menentukan mutu gaharu. Naef (2011) melaporkan komponen
seskuiterpena yang menjadi penciri gaharu yaitu α-agarofuran, (-)-10- epi-δeudesmol, agarospirol, jinkohol, jinkoh-eremol, kusunol, jinkohol II, dan oksoagarospiral. Resin gaharu telah berhasil diperoleh melalui kultur kalus dan
suspensi sel dari spesies Aquilaria (Ito et al. 2005; Qi et al. 2005; Okudera & Ito
2009). Menurut Okudera & Ito (2009), kalus dari galur Aquilaria crassna asal
Vietnam (n6) dan Thailand (ti, tr) serta Aquilaria sinensis (sr) terdeteksi dapat
menghasilkan senyawa harum seperti seskuiterpena yaitu -guaiena, -humulena
dan -guaiena dan turunan kromona yaitu feniletilkromona (AH3, AH4, AH5,
AH6) yang merupakan komponen utama dari gaharu masing-masing dengan
jumlah produksi yang berbeda-beda. Menurut Rijal (2011), seskuiterpena yang
dihasilkan akibat interaksi kalus A. malaccensis dengan cendawan Fusarium
strain A Gaharu adalah cis--bisabolena dan -elemena; interaksi dengan
cendawan Fusarium strain B Gaharu menghasilkan cis--bisabolena; sedangkan
interaksi dengan cendawan F. solani strain LIPI MC 744 menghasilkan guaiena.Jayaraman (2013) mengungkapkan bahwa aroma mirip wangi gaharu
terdeteksi pada kultur suspensi sel A. malaccensis yang diberi 8 mg/L ekstrak
Trichoderma dengan masa inkubasi 20 hari. Peningkatan inokulum menjadi 16%
(bobot basah kalus) dan 8 mg/L ekstrak Trichoderma dengan masa inkubasi yang
sama menimbulkan aroma wangi gaharu yang lebih kuat, dan setelah dianalisis
dengan GC-MS terdeteksi beberapa senyawa penting pada gaharu seperti 8-epigama-eudesmol, -guaiena, aloaromadendrena oksida-1 dan kromona,5-hidroksi6,7,8-trimetoksi-2,3-dimetil.

6

Hingga saat ini, berbagai strategi terus dikembangkan untuk meningkatkan
produksi metabolit sekunder pada kultur sel tanaman. Metabolit sekunder
biasanya terakumulasi dalam jaringan tanaman dalam kondisi tertentu. Untuk
memaksimalkan produksi dan akumulasi metabolit sekunder dalam sel atau
jaringan, dapat dilakukan dengan cara antara lain memanipulasi parameter
lingkungan dan medium, memilih strain yang unggul, memberikan suplai
prekursor, serta elisitasi (Mulabagal & Tsay 2004).

Jalur Biosintesis Senyawa Seskuiterpena

Senyawa seskuiterpena merupakan salah satu bagian dari terpenoid. Pada
tumbuhan tingkat tinggi (Gambar 1), dua jalur sintesis terpenoid terlokalisasi di
kompartemen intraseluler yang berbeda, melibatkan biosintesis isopentenyl
diphosphate (IPP) dan isomernya dimethylallyl diphosphate (DMAPP). Dalam
sitosol, IPP berasal dari jalur asam mevalonat (MVA) yang dimulai dengan
kondensasi asetil-CoA, sedangkan di plastida, IPP dihasilkan dari piruvat dan
gliseraldehida 3-fosfat (GA3P) melalui jalur methylerythritol phosphate (MEP).

Gambar 1. Jalur biosintesis terpenoid (Yu & Utsumi 2009)
Terpenoid merupakan bentuk senyawa dengan struktur yang diturunkan dari
unit isoprena (C5) yang bergandengan secara kepala dengan ekor (head to tail),
sedangkan unit isoprena diturunkan dari metabolisme asam asetat oleh jalur asam
mevalonat (MVA) di sitosol. Asam asetat setelah diaktifkan oleh coenzim A
melakukan kondensasi jenis Claisen menghasilkan asam asetoasetat. Senyawa
yang dihasilkan ini dengan asetil coenzim A melakukan kondensasi jenis aldol

7

menghasilkan rantai karbon bercabang sebagaimana ditemukan pada asam
mevanolat. Reaksi-reaksi berikutnya ialah fosforilasi, eliminasi asam fosfat dan
dekarboksilasi menghasilkan IPP yang selanjutnya berisomerisasi menjadi
DMAPP oleh enzim isomerase. IPP sebagai unit isoprena aktif bergabung pada
bagian kepala ke ekor dengan DMAPP. Untuk jalur sintesis plastida, prekursornya
adalah piruvat dan GA3P.
Seskuiterpena merupakan golongan terbesar dari terpenoid. Tersusun dari 3
macam unit isoprena dengan 15 atom karbon. Seskuiterpena merupakan
komponen utama minyak atsiri dan berperan penting dalam memberi aroma pada
buah dan bunga. Seskuiterpena dipilih berdasarkan kerangka karbon dasarnya,
yang umum adalah asiklik, monosiklik dan bisiklik. Beberapa jenis seskuiterpena
antara lain kariofilena, farnesena, kurkumena, bisabolol.

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2014 sampai April 2016,
bertempat di Laboratorium Biak Sel dan Jaringan Tumbuhan dan Laboratorium
Kimia Bahan Alam, Pusat Penelitian Biologi, LIPI Cibinong, Bogor. Analisis
senyawa seskuiterpena dengan GC-MS dilakukan di Indonesian Culture
Collection (InaCC), Pusat Penelitian Biologi, LIPI Cibinong, Bogor.

Bahan Penelitian

Bahan tanaman yang digunakan adalah tunas dari spesies gaharu A.
malaccensis dipelihara secara in vitro (koleksi Laboratorium Biak Sel dan
Jaringan, Puslit Biologi LIPI). Cendawan yang dipakai untuk percobaan ini yaitu
Fusarium sp. strain 372.3 dan w1 fus.sp.2 koleksi Departemen Biologi-IPB.

8

Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dari inisiasi biak kalus remah gaharu hingga tahap
interaksi suspensi sel gaharu dengan Fusarium sp. dapat dilihat pada Gambar 2.
A. Inisiasi biak kalus gaharu

Inisiasi dan
pemeliharaan biak
suspensi sel gaharu

B. Persiapan inokulum cendawan

Pengukuran
pertumbuhan
sel gaharu

Peremajaan Fusarium sp.
dan pembuatan elisitor

Tahap I : Penapisan/screening
interaksi suspensi sel gaharu
dan Fusarium sp. untuk
mengetahui perlakuan yang
menginduksi seskuiterpena

Pengukuran
pertumbuhan
suspensi sel
gaharu akibat
elisitor

Tahap II : Interaksi
suspensi sel gaharu dan
Fusarium sp. pada
perlakuan terbaik

Pemanenan dan
ekstraksi
seskuiterpena dari
suspensi sel gaharu

Analisis seskuiterpena
dengan GC-MS
(kualitatif-kuantitatif)

Gambar 2 Bagan alur penelitian dari induksi kalus remah gaharu hingga induksi
seskuiterpena

Inisiasi Biak Kalus Gaharu
Medium dasar yang dipakai adalah formulasi MS (Murashige & Skoog
1962) dengan penambahan sukrosa 30 g/L, (Lampiran 1) dan zat pengatur
tumbuh sesuai perlakuan. Medium padat menggunakan bahan pemadat Gelrite 2
g/L, sedangkan untuk medium cair tanpa menggunakan bahan pemadat. Sebelum
ditambahkan Gelrite, medium tumbuh diatur pHnya menjadi 5.7–5.8 dengan
menambahkan larutan penyangga 0,1 N HCl atau KOH. Setelah itu diautoklaf
pada suhu 121 oC dan tekanan 15 Psi selama 20 menit. Medium kemudian dibawa
ke Laminair Air Flow Cabinet (LAFC) dan dituang secara aseptik ke Petri dish
steril berukuran 90 mm × 20 mm, masing-masing sebanyak 25 mL. Medium

9

tumbuh disimpan dalam lemari medium minimal sehari sebelum dipakai pada
ruangan bersuhu 25 °C.
Sumber eksplan yang digunakan dalam percobaan ini adalah planlet gaharu
A. malaccensis yang dipelihara secara in vitro (koleksi Laboratorium Biak Sel dan
Jaringan, Pusat Penelitian Biologi, LIPI) berumur 2 bulan pada subkultur terakhir.
Helai daun pada posisi kedua sampai dengan keempat dari pucuk dipotong pada
kedua sisinya, dengan ukuran sekitar 0.5 x 0.8 cm2. Potongan daun ini ditanam
pada medium perlakuan dan tiap perlakuan terdiri dari 3–4 ulangan (Petri dish),
dan masing-masing Petri dish diisi 14 eksplan. Untuk mendapatkan potongan
eksplan ruas batang, tunas gaharu ditumbuhkan terlebih dahulu pada medium MS
ditambah 0.5 mg/L Giberelin (GA) untuk menginduksi pemanjangan ruasnya.
Ruas batang yang dipakai untuk bahan percobaan berukuran panjang sekitar 0.5–
0.8 cm, setiap perlakuannya terdiri dari 3–5 ulangan (Petri dish), dan masingmasing Petri dish diisi 5 eksplan.
Induksi kalus A. malaccensis dipelajari dengan menggunakan zat pengatur
tumbuh (ZPT) auksin 4-amino-3,5,6-trichloropyridine-2-carboxylic acid
(Picloram), 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D), indole-3-acetic acid (IAA),
indole-3-butyric acid (IBA), 1-naphthaleneacetic acid (NAA) serta sitokinin
benzyl adenine (BA) baik tunggal maupun kombinasi pada eksplan potongan daun
dan ruas batang. Perlakuan ZPT yang diberikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Perlakuan ZPT tunggal auksin serta kombinasi auksin-auksin dan auksinsitokinin untuk induksi kalus A. malaccensis
Kombinasi

Eksplan

Jenis dan konsentrasi ZPT

Auksin tunggal

Potongan daun

Picloram (0, 0.1, 0,5, 1, dan 5 mg/L)
2,4-D (0, 0.1, 0.5, 1, dan 5 mg/L)
IBA (0, 5, 10, dan 15 mg/L)
IAA (0, 5, dan 15 mg/L)

Ruas batang

2,4-D (0, 0.1, 0.5, 1, dan 5 mg/L)

Auksin-auksin

Potongan daun

2,4-D (1 dan 2 mg/L) + NAA (0, 0.1, 0.5, dan 1 mg/L)

Auksin-sitokinin

Potongan daun

2,4-D (1 dan 2 mg/L) + BA (0, 0.1, 0.2, dan 0.3 mg/L)
NAA (0, 0.1, 0.5, dan 1 mg/L) + BA (0.1 dan 0.2 mg/L)
IBA (0.5, 1, 5, 10, dan 15 mg/L) + BA (0, 0.1, 0.2, 0.3
mg/L)

Ruas batang

2,4-D (1 dan 2 mg/L) + BA (0, 0.1; 0.2, dan 0.3 mg/L)

Parameter persentase hidup, pembentukan kalus, penutupan kalus, serta
morfologi kalus diamati pada umur 1 bulan setelah inisiasi. Persentase hidup
dihitung dari jumlah eksplan yang hidup dibandingkan total eksplan yang ditanam.
Persentase kalus dihitung dari jumlah eksplan yang membentuk kalus
dibandingkan dengan total eksplan yang ditanam, sedangkan persentase
penutupan kalus dihitung dari luas kalus
yang telah menutup eksplan
dibandingkan luas eksplan daun atau ruas batang. Data ditampilkan dalam bentuk
rata-rata dan standar error (SE). Salah satu kombinasi formulasi medium dan ZPT
yang menghasilkan pertumbuhan kalus remah dan tumbuh cepat dengan tingkat

10

induksi kalus yang tinggi dipakai sebagai bahan untuk perlakuan suspensi sel
gaharu. Inisiasi dan proliferasi kalus dilakukan di ruang gelap dengan suhu sekitar
25 oC.
Inisiasi dan Pemeliharaan Biak Suspensi Sel Gaharu
Sekitar 0,3 g (0,20–0,38 mL) kalus remah yang terbentuk dari eksplan yang
tumbuh pada medium padat ditransfer ke medium cair untuk membuat kultur
suspensi sel. Perlakuan yang digunakan adalah auksin 2,4-D (4 ulangan) dan
Picloram (3 ulangan) secara tunggal, dengan konsentrasi masing-masing 0.1, 0.5,
1, 2, dan 5 mg/L. Agregat kalus dicacah sampai ukuran kecil (sekitar 1 mm) lalu
dimasukkan ke dalam 25 mL medium pada labu Erlenmeyer 100 mL kemudian
digoyang di atas shaker dengan kecepatan 120 rpm agar menghasilkan suspensi
yang homogen. Ruang kultur diatur suhunya sekitar 22–25 oC. Pertumbuhan biak
suspensi sel diukur tiap minggu dari minggu ke-1 sampai minggu terakhir (fase
stationary) dengan cara memindahkan secara aseptik seluruh sel suspensi ke
tabung sentrifugasi steril berukuran 50 mL, kemudian diukur volume sel yang
mengendap. Data ditampilkan dalam bentuk rata-rata dan standar error (SE).
Pemisahan sel-sel dari agregat besar dan kecil dilakukan dengan menyaring
suspensi sel dengan stainless steel filter berukuran pori 1.5 mm pada saat
subkultur. Sel-sel yang lolos pada saringan tersebut yang digunakan sebagai
inokulum untuk disubkultur berikutnya. Subkultur dilakukan setiap 2 minggu
dengan menggunakan medium terbaik.

Perlakuan Interaksi Suspensi Sel Gaharu dan Cendawan Fusarium sp.
untuk Induksi Pembentukan Seskuiterpena
Tahap I : Penapisan/screening
Cendawan yang dipakai untuk percobaan ini berfungsi sebagai elisitor.
Perlakuan terdiri dari :
1) Cendawan Fusarium sp. strain 372.3 dan strain w1 fus. sp.2 dan bentuk
elisitornya yaitu : a) filtrat dari suspensi cendawan hidup (filtrat segar), b)
filtrat dari biak suspensi cendawan diautoklaf, c) campuran filtrat segar
dan filtrat diautoklaf, d) hifa diautoklaf, dan e) hifa hidup.
2) Umur suspensi sel gaharu saat co-culture yaitu 1, 2, 3 dan 4 minggu.
3) Lama waktu co-culture yaitu mulai dari 0–1, 1–2, dan 2–3 bulan.
Kontrol yang digunakan yaitu kultur suspensi gaharu tanpa perlakuan
sebagai kontrol negatif, kultur suspensi gaharu ditambah 100 M asam salisilat
dengan lama co-culture 1–2 bulan sebagai kontrol positif, serta kontrol elisitor
hifa/filtrat Fusarium sp. strain 372.3 dan strain w1 fus. sp.2 tanpa suspensi gaharu.
Kontrol gubal A. malaccensis yang diketahui mengandung resin wangi dipakai
sebagai pembanding.
Sebelum eksperimen, biak cendawan diperbaharui dengan menumbuhkan
hifa pada medium padat PDA (Potato Dextrose Agar) selama 7 hari (Lampiran 2).
Kemudian, sebanyak 3 potong medium dengan cendawan, masing-masing 0.5 cm2,
dari biak tersebut dipindahkan ke 50 mL medium cair PDB (Potato Dextrose

11

Brooth). Biak yang berumur 10 hari di medium PDB tersebut akan dipakai
sebagai sumber filtrat maupun hifa yang dicampurkan dalam medium perlakuan
suspensi sel gaharu. Filtrat segar dibuat dengan cara memisahkan hifa hidup dari
medium suspensinya. Setelah itu medium disentrifusi dengan kecepatan 3000 rpm
selama 20 menit untuk mengendapkan potongan sisa hifa, spora dan lain-lain.
Selanjutnya supernatan disaring dengan filter milipore berukuran 0.2 m. Filtrat
ini dipakai sebagai perlakuan filtrat segar yang dicampurkan ke medium yang
telah diautoklaf dengan konsentrasi 10%. Filtrat diautoklaf diperoleh dari biak
suspensi cendawan yang sudah diautoklaf, selanjutnya tahapannya sama dengan
penyaringan filtrat segar. Filtrat campuran terdiri dari 5% filtrat segar dan 5%
filtrat diautoklaf. Hifa diautoklaf berasal dari sisa hifa yang dipisahkan dari
mediumnya pada pembuatan filtrat segar, lalu diautoklaf dan dicampurkan pada
medium sebagai perlakuan sebanyak 0.5–1 g per 25 mL medium di labu
Erlenmeyer. Untuk perlakuan hifa hidup, yang dipakai adalah potongan medium
dengan hifa cendawan berukuran 0.5 cm2 dari kultur berumur 7 hari di medium
PDA, lalu dicampurkan ke medium yang berisi suspensi gaharu.
Semua perlakuan menggunakan medium dasar MS dengan penambahan
ZPT terbaik pada pembuatan suspensi sel, dengan sel sebanyak 0.3–0.5 g setiap
volume 25 mL/labu Erlenmeyer 100 ml kemudian digoyang di atas shaker dengan
kecepatan 120 rpm. Ruang kultur diatur suhunya sekitar 22–25 oC. Dari semua
perlakuan interaksi ini, suspensi sel dipanen pada berbagai lama waktu co-culture
untuk dianalisis kandungan senyawa seskuiterpenanya secara kualitatif dengan
GC-MS. Dari hasil analisis perlakuan kualitatif sebelumnya, dipilih beberapa
senyawa seskuiterpena pada perlakuan terbaik untuk dihitung secara kuantitatif
dengan menggunakan senyawa standar.
Tahap II. Interaksi suspensi sel gaharu dan Fusarium sp. pada perlakuan terbaik
Perlakuan kualitatif terbaik tersebut juga akan diulang untuk diuji
kandungan seskuiterpenanya secara kuantitatif. Masing-masing perlakuan dibuat
sebanyak 6 ulangan, yaitu 3 ulangan untuk dianalisis kandungan seskuiterpena
dan 3 ulangan lainnya untuk diukur pertumbuhan selnya. Pertumbuhan biak sel
gaharu pada perlakuan diamati setiap minggu hingga panen. Setelah itu ditimbang
bobot basah kalusnya. Data ditampilkan dalam bentuk rata-rata dan standar error
(SE). Pengukuran kandungan seskuiterpena secara kualitatif dan kuantitatif
dilakukan dengan gas chromatography-mass spectrometry (GC-MS).
Pemanenan dan Ekstraksi Seskuiterpena dari Suspensi Sel
Suspensi sel yang diberi perlakuan cendawan dipanen selnya beserta
mediumnya pada waktu co-culture berakhir, lalu dihancurkan dengan cara
diblender. Setelah itu ditambahkan pelarut dietil eter sampai semua bahan
terendam, dibiarkan selama kurang lebih satu jam. Hasil ekstraksi disaring dengan
kertas saring whatman no. 41 berdiameter pori 90 m kemudian dipartisi dengan
corong pisah untuk diambil fase dietil eternya. Residu diekstraksi lagi dengan
dietil eter dan diambil fase dietil eternya. Hal ini dilakukan sampai tiga kali.
Ekstrak dietil eter yang telah digabung kemudian dihilangkan pelarutnya sampai
kering dengan rotary evaporator tanpa dipanaskan. Ekstrak yang diperoleh
kemudian dimasukkan ke dalam tabung kecil lalu ditimbang bobotnya dan

12

disimpan di freezer -20 oC sebelum dianalisis dengan GC-MS. Hal yang sama
juga dilakukan untuk mengekstraksi suspensi sel kontrol dan semua perlakuan.

Analisis Seskuiterpena dengan GC-MS

Ekstrak yang diperoleh kemudian dianalisis senyawa seskuiterpenanya
dengan metode GC-MS merek Shimadzu tipe QP2010 Ultra berdasarkan metode
yang pernah dilakukan Okudera & Ito (2009). Kondisi GC-MS: kolom kapiler
Rtx-5MS (30 m x 0.25 mm); gas pembawa helium; laju alir gas 2.72 mL/menit.
Kolom diprogram dengan suhu awal 50 °C dan suhu akhir 250 °C. Kenaikan suhu
dua tahap, pada tahap awal suhu kolom dibuat konstan 50 °C selama 3 menit dan
kemudian dinaikkan sampai suhu 150 °C dengan kecepatan kenaikan suhu
5 °C/menit, selanjutnya suhu dinaikkan sampai 250 °C dengan kecepatan
kenaikan suhu 3 °C/menit yang dipertahankan selama 4 menit. Suhu injektor
diprogram konstan pada 250 °C, sedangkan volume sampel yang diinjeksikan
adalah 5 µL. Setiap puncak dari kromatogram yang dihasilkan kemudian
diidentifikasi massa dan fragmen-fragmen massanya dengan membandingkan
fragmen massa dari senyawa yang telah diketahui menggunakan bank data dari
National Institute Standard of Technology (NIST Library), Mainlib, dan Wiley.
Beberapa senyawa seskuiterpena yang terbentuk dipilih untuk dilakukan
analisis secara kuantitatif. Senyawa standar dibuat larutan stoknya terlebih dahulu,
lalu dibuat pengencerannya sebanyak 5 seri dari konsentrasi terendah hingga
tertinggi, kemudian dianalisis dengan GC-MS pada kondisi yang sama dengan
sampel. Luas area pada puncak kromatogram yang diperoleh dari masing-masing
konsentrasi digunakan untuk menentukan kurva kalibrasi senyawa standar.
Senyawa seskuiterpena pada sampel yang sama dengan senyawa standar dapat
dihitung konsentrasinya menggunakan kurva kalibrasi tersebut, sedangkan
seskuiterpena lain yang tidak ada standarnya, dapat dibandingkan konsentrasi
relatifnya terhadap senyawa standar yang tersedia.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Inisiasi dan Morfologi Kalus dari Daun dan Ruas Batang
Inisiasi kalus dari inokulum potongan daun dan ruas batang dari tunas in
vitro menunjukkan respon pertumbuhan dan perkembangan yang berbeda
tergantung pada medium perlakuan (Gambar 3A3G). Secara umum, pada tahap
awal inokulum akan membesar secara tidak beraturan sehingga permukaan daun
bergelombang (Gambar 3B) atau ruas batang membengkak (Gambar 3H).
Kemudian ujung/tepian eksplan menunjukkan pertumbuhan sel-sel yang cepat dan
tidak teratur atau tidak terorganisir. Tetapi setelah 3–4 minggu, sel-sel bercampur

13

membentuk kalus kompak berwarna kuning (Gambar 3C), ada pula yang berupa
kalus kapas berwarna putih (Gambar 3D). Sebagian eksplan ada yang mengalami
pencoklatan dan mati (Gambar 3E). Beberapa medium perlakuan menginduksi
kalus yang kecil-kecil, cukup remah berwarna kekuningan (Gambar 3F dan 3I).

Gambar 3 Perbedaan morfologi kalus dari eksplan potongan daun dan ruas batang A.
malaccensis. (A-F) eksplan potongan daun; (B) pembentukan kalus pada
tahap awal; (C) kalus kompak; (D) kalus kapas; (E) kalus mencoklat; (F)
kalus remah; (G-I) eksplan ruas batang; (H) ruas batang mulai membengkak;
(I) kalus dari ruas batang; bar = 5 mm

Pengaruh Pemberian Auksin Tunggal pada berbagai Konsentrasi
Pengaruh auksin terhadap frekuensi pembentukan kalus dan morfologinya
pada eksplan potongan daun dan ruas batang dapat dilihat pada Gambar 3. Semua
eksplan dapat hidup pada medium dengan penambahan auksin maupun tidak
tetapi tanpa penambahan auksin, eksplan tidak dapat membentuk kalus. Perlakuan
Picloram dan IAA, meskipun daya hidupnya tinggi tetapi hanya menginduksi
kalus dengan persentase rendah (70%) dan mampu membentuk kalus pada semua
kombinasi ZPT tumbuh yang diberikan. Pada kombinasi 2,4-D dan NAA (Gambar
6A–6C), pemberian NAA pada konsentrasi 1 mg/L 2,4-D sedikit meningkatkan
persentase eksplan membentuk kalus, tetapi pada konsentrasi 2 mg/L 2,4-D rataratanya menurun hingga kurang dari 50%. Sementara itu, untuk parameter
persentase penutupan kalus pada kombinasi ini hanya mencapai 12%.
Pada kombinasi 2,4-D dan BA (Gambar 6D–6F), pemberian BA sangat baik
untuk meningkatkan daya hidup potongan daun hingga lebih dari 80%.
Penambahan konsentrasi 0.1 dan 0.2 mg/L BA pada 1 mg/L 2,4-D serta 0.1 mg/L
BA pada 1 mg/L 2,4-D dapat menginduksi kalus hingga hampir 100%, sedangkan
untuk persentase penutupan kalusnya tidak berbeda antarperlakuan dalam
kombinasi 2,4-D dan BA (25–32%).
Kombinasi BA dan NAA menyebabkan tingginya daya hidup dan induksi
kalus yang terbentuk pada eksplan (89–100%), dengan penutupan kalus sekitar
19–36% (Gambar 6G–6I). Potongan daun yang diberi perlakuan NAA tanpa BA
dapat hidup 100%, tetapi tingkat induksi kalusnya rendah (