Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)

TINJAUAN PUSTAKA Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.)

  Pohon gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan yang telah dikembangkan dengan teknik kultur jaringan. Jenis

  

A. malaccensis Lamk merupakan jenis pohon gaharu yang paling banyak

ditemukan di Sumatera Utara (Yusnita, 2003).

  Taksonomi tumbuhan gaharu (A. malaccensis Lamk.) menurut Tarigan (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dikotil Sub Kelas : Dialypetale Ordo : Myrtales Famili : Thymeleaceae Genus : Aquilaria Species : A. malaccensis Lamk.

  Gaharu (A. malaccensis Lamk.) memiliki morfologi atau ciri-ciri morfologi, tinggi pohon ini dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 60 cm. Pohon ini memiliki permukaan batang licin, warna keputih- putihan, kadang beralur dan kayunya agak keras. Bentuk daun lonjong agak memanjang, panjang 6-8 cm, lebar 3-4 cm, bagian ujung meruncing. Daun yang kering berwarna abu-abu kehijaun, agak bergelombang, melengkung, permukaan daun atas-bawah licin dan mengkilap, tulang daun 12-16 pasang.

  Bunga terdapat diujung ranting, ketiak daun, kadang-kadang di bawah ketiak daun. Berbentuk lancip, panjang sampai 5 mm. Buahnya berbentuk bulat telur, tertutup rapat oleh rambut-rambut yang berwarna merah. Biasanya memiliki panjang hingga 4 cm lebar 2,5 cm. Buah gaharu (A. malaccensis Lamk.) berbentuk kapsul, dengan panjang 3.5 cm hingga 5 cm, ovoid dan berwarna coklat. Kulitnya agak keras dan berbaldu. Mengandung 3 hingga 4 biji benih bagi setiap buah.

  Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia Syarat untuk tumbuh dengan baik, gaharu tidak memilih lokasi khusus.

  Umumnya gaharu masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dengan struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrem. Gaharu pun dapat dijumpai pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir. Gaharu (A. malaccensis Lamk.) sesuai ditanam di antara kawasan dataran rendah hingga ke pegunungan pada ketinggian 0 – 750 meter dari permukaan laut dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/thn. Suhu yang sesuai adalah antara 27°C hingga 32°C dengan kadar cahaya matahari sebanyak 70%. Kesesuaian tanah adalah jenis lembut dan liat berpasir dengan pH tanah antara 4.0 hingga 6.0 (Sumarna, 2009).

  Dari beberapa hasil uji coba serta informasi dan pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa gaharu tidak memerlukan persyaratan khusus untuk membatasi suatu upaya pengembangannya. Oleh karena itu, secara teknis pengembangan gaharu dapat dilakukan pada berbagai lahan dengan variasi kondisi lingkungan dan iklim. Namun, pertumbuhan optimal akan diperoleh pada kondisi lahan yang struktur tanahnya lempung, dan liat berpasir, serta solum yang dalam (Sumarna, 2007).

  Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia mulai dari India, Pakistan, Myanmar, Lao PDR, Thailand, Kamboja, China Selatan, Malaysia, Philipina dan Indonesia. Enam diantaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana

  

dan A. filarial ). Keenam jenis tersebut terdapat hampir di seluruh kepulauan

  Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Pohon gaharu di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti calabac, karas, kekaras, mengkaras (Dayak), galoop (Melayu), kareh (Minang), age (Sorong), bokuin (Morotai), lason (Seram), Ketimunan (Lombok), ruhuwama (Sumba), seke (Flores), halim (Lampung) dan alim (Batak) (Sumarna, 2002).

  Semakin tingginya tingkat permintaan akan gaharu menyebabkan terjadinya eksploitasi A. malaccensis Lamk secara besar-besaran di hutan alam.

  Saat ini tanaman gaharu berada diambang kepunahan hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari CITES (Convention On International Trade Endangered Species

  

Of Wuild Flora And Fauna ) yang memasukkan tanaman A. malaccensis ke dalam

  jenis tanaman terancam punah (Apendix II) (Sumarna, 2009). Pohon gaharu dapat dimanfaatkan bukan hanya gubalnya saja akan tetapi bagian batang, kulit batang, akar dan daun juga sudah dimanfaatkan sebagai bahan untuk merawat wajah dan menghaluskan kulit (Tarigan, 2004).

  Pemanfaatan daun gaharu akan menjadi sangat penting mengingat masa panen gaharu setelah terinfeksi jamur (tampak sakit) adalah 3–4 tahun. Selama daur panen yang terbilang cukup lama, daun gaharu dapat dimanfaatkan sebagai obat. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan manfaat daun gaharu menyebabkan pemanfaatan bagian-bagian gaharu seperti daun belum populer di kalangan masyarakat khususnya petani gaharu itu sendiri.

  Ekstraksi

  Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan pelarut cair. Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain-lain (Ditjen POM, 2000).

  Beberapa metode ekstraksi yang sering digunakan dalam berbagai penelitian menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Ditjen POM) (2000) antara lain yaitu:

  A. Cara dingin

  1. Maserasi Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Maserasi kinetik dilakukan dengan pengadukan yang kontinu. Remaserasi dilakukan dengan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyarian maserat pertama dan seterusnya. Prinsip metode ini adalah pencapaian konsentrasi pada keseimbangan,cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif.

  2. Perkolasi Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada suhu kamar.

  Proses perkolasi terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan perkolat) yang terus- menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. Hasil akhir perkolasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan zat aktif secara kualitatif pada perkolat terakhir.

  B. Cara panas

  1. Sokletasi Sokletasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut yang selalu baru, yang umumnya dilakukan dengan alat khusus (menggunakan alat Sokhlet) sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  2. Refluks Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

  3. Digesti Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukan secara terus-menerus pada temperatur yang lebih tinggi dari suhu kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

  4. Dekoktasi Dekoktasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.

  5. Infundasi Infundasi adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan pelarut air pada temperatur 90°C selama waktu 15 menit.

  Skrining Fitokimia

  Skrining fitokimia adalah pemeriksaan kimia secara kualitatif terhadap senyawa-senyawa aktif biologis yang terdapat dalam simplisia tumbuhan.

  Senyawa-senyawa tersebut adalah senyawa organik. Oleh karena itu skrining terutama ditujukan terhadap golongan senyawa organik seperti alkaloid, glikosida, flavanoid, terpenoid, tanin dan lain-lain. Pada penelitian tumbuhan, untuk aktivitas biologi atau senyawa yang bermanfaat dalam pengobatan perlu diisolasi.

  Oleh Karena itu pemeriksaan fitokimia, teknik skrining dapat membantu langkah- langkah fitofarmakologi yaitu seleksi awal dari pemeriksaan tumbuhan tersebut untuk membuktikan adanya senyawa kimia tertentu dalam tumbuhan tersebut dan dapat dikaitkan dengan aktivitas biologinya (Farnsworth, 1996).

  Golongan senyawa-senyawa organik yang perlu diskrining pada penelitian ini adalah:

  Alkaloida sering diartikan dengan senyawa yang mengandung nitrogen bersifat basa dan mempunyai aktivitas farmakologis. Alkaloida merupakan senyawa yang mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol dan digunakan secara luas dalam bidang pengobatan (Harbone, 1987). Pada umumnya alkaloid merupakan senyawa padat berbentuk kristal atau amorf, tidak berwarna dan mempunyai rasa pahit. Dalam bentuk bebas alkaloid merupakan basa lemah yang sukar larut dalam air tetapi mudah larut dalam pelarut organik (Rusdi, 1998).

  2. Glikosida

  Glikosida adalah komponen yang menghasilkan satu atau lebih gula jika dihidrolisis. Komponen gula disebut glikon dan bukan gula disebut aglikon.

  Berdasarkan atom penghubung bagian gula (glikon) dan bukan gula (aglikon), maka glikosida dapat dibedakan menjadi: a.

  C-glikosida, jika atom C menghubungkan bagian glikon dan aglikon.

  b.

  N-glikosida, jika atom N menghubungkan bagian glikon dan aglikon.

  c.

  O-glikosida, jika atom O menghubungkan bagian glikon dan aglikon.

  d.

  S-glikosida, jika atom S menghubungkan bagian glikon dan aglikon. Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida adalah glukosa (Tyler et al., 1976; Robinson, 1995)

  3. Flavanoid

  Flavanoida merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar, mengandung 15 atom karbon dalam inti dasarnya. Flavanoida mencakup banyak pigmen dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungus hingga angiospermae. Flavanoida dalam tubuh bertindak menghambat enzim lipooksigenase yang berperan dalam biosintesis prostaglandim. Hal ini disebabkan karena flavanoida merupakan senyawa pereduksi yang baik sehingga akan menghambat reaksi oksidasi (Robinson, 1995).

  4. Steroida/triterpenoida

  Inti steroida sama dengan inti triterpenoida tetrasiklik. Steroida alkohol biasanya dinamakan dengan “sterol”, tetapi karena praktis semua steroida tumbuhan berupa alkohol seringkali disebut “sterol”. Sterol adalah triterpen yang kerangka dasarnya cincin siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol dianggap sebagai senyawa hormone kelamin, tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut ditemukan dalam jaringan tumbuhan (Harbone, 1987; Robinson, 1995).

  5. Saponin

  Saponin berasal dari bahasa Latin yaitu “Sapo” yang berarti sabun dan sifatnya menyerupai sabun. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa, jika dikocok dengan air. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba. Dikenal dua jenis saponin, yaitu glikosida triterpenoida dan glikosida struktur tertentu yang mempunyai rantai samping spiroketal. Kedua jenis saponin ini larut dalam air dan etanol tetapi tidak larut dalam eter (Robinson, 1995).

  6. Tanin

  Tanin merupakan yang terdapat dalam tumbuhan dan tersebar luas, memiliki gugus fenol, memiliki rasa sepat dan mempunyai kemampuan menyamak kulit. Tanin dikelompokkan menjadi dua secara kimia yaitu tanin kondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi atau flavolan secara biosintesis dapat dianggap terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal. Tanin terhidrolisis mengandung ikatan ester yang dapat terhidrolisis jika didihkan dalam asam klorida encer (Robinson, 1995).

  Pelarut Etanol

  Etanol adalah cairan tak berwarna yang mudah menguap dengan aroma yang khas. Ia terbakar tanpa asap dengan lidah api berwarna biru yang kadang- kadang tidak dapat terlihat pada cahaya biasa. Sifat-sifat fisika etanol utamanya dipengaruhi oleh keberadaan gugus hidroksil dan pendeknya rantai karbon etanol.

  Gugus hidroksil dapat berpartisipasi ke dalam ikatan hidrogen, sehingga membuatnya cair dan lebih sulit menguap dari pada senyawa organik lainnya dengan massa molekul yang sama. Etanol merupakan pelarut yang serbaguna, larut dalam air dan pelarut organik lainnya, meliputi asam asetat, aseton, benzena, karbon tetraklorida, kloroform, dietil eter, etilena glikol, gliserol, nitrometana, piridina, dan toluena. Ia juga larut dalam hidrokarbon alifatik yang ringan, seperti pentana dan heksana, dan juga larut dalam senyawa klorida alifatik seperti trikloroetana dan tetrakloroetilena. Pada ekstraksi bahan pangan tidak boleh ada residu etanol pada bahan pangan yang diekstraksi (Federal Food, Drug and

  

Cosmetic Regulation ). Dalam pemilihan jenis pelarut faktor yang perlu

  diperhatikan antara lain adalah daya melarutkan bahan (berdasarkan kepolaritasan), titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan pengaruh terhadap peralatan ekstraksi (Gamse, 2002).

  Secara umum pelarut yang sering digunakan adalah etanol karena etanol mempunyai polaritas yang tinggi sehingga dapat mengekstraksi bahan lebih banyak dibandingkan jenis pelarut organik yang lain. Pelarut yang mempunyai gugus karboksil (alkohol) dan karbonil (keton) termasuk dalam pelarut polar.

  Etanol mempunyai titik didih yang rendah dan cenderung aman. Etanol juga tidak beracun dan berbahaya. Kelemahan penggunaan pelarut etanol adalah etanol larut dalam air, dan juga melarutkan komponen lain seperti karbohidrat, resin dan gum. Larutnya komponen ini mengakibatkan berkurangnya tingkat kemurniannya. Keuntungan menggunakan pelarut etanol dibandingkan dengan aseton yaitu etanol mempunyai kepolaran lebih tinggi sehingga mudah untuk melarutkan senyawa resin, lemak, minyak, asam lemak, karbohidrat, dan senyawa organik lainnya. penggolongan mutu etanol dibagi menjadi 4 golonganyaitu: (1) etanol industri, (2) spiritus, (3) etanol murni, dan (4) etanol absolute (Paturau, 1982).

  Radikal Bebas

  Radikal bebas adalah setiap molekul yang mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas sangat reaktif dan dengan mudah menjurus ke reaksi yang tidak terkontrol menghasilkan ikatan silang dengan DNA, protein, lipida, atau kerusakan oksidatif pada gugus fungsional yang penting pada biomolekul. Perubahan ini akan menyebabkan proses penuaan.

  Radikal bebas juga terlibat dan berperan dalam patologi dari berbagai penyakit degeneratif, yakni kanker, aterosklerosis, jantung koroner, katarak dan penyakit degeneratif lainnya (Silalahi, 2006). Radikal bebas dapat terbentuk dalam tubuh atau masuk melalui pernafasan, kondisi lingkungan yang tidak sehat dan makanan berlemak (Kumalaningsih, 2006).

  Secara teoritis radikal bebas dapat terbentuk bila terjadi pemisahan ikatan kovalen. Radikal bebas dianggap berbahaya karena menjadi sangat reaktif dalam upaya mendapatkan pasangan elektronnya, dapat pula terbentuk radikal bebas baru dari atom atau molekul yang elektronnya terambil untuk berpasangan dengan radikal bebas sebelumnya. Oleh karena sifatnya yang sangat reaktif dan gerakannya yang tidak beraturan, maka apabila terjadi di dalam tubuh makhluk hidup akan menimbulkan kerusakan di berbagai bagian sel (Muhilal, 1991; Auroma, 1994).

  Pembentukan radikal bebas dan reaksi oksidasi pada biomolekul akan berlangsung sepanjang hidup. Radikal bebas yang sangat berbahaya dalam

  makhluk hidup antara lain adalah golongan hidroksil (OH ), superoksida (O

  2 ),

  nitrogen monooksida (NO), peroksidal (RO

  2 ), peroksinitrit (ONOO ), asam hipoklorit (HOCl) dan hidrogen peroksida (H O ) (Silalahi, 2006).

  2

  2 Antioksidan

  Antioksidan adalah zat yang dalam kadar rendah mampu menghambat laju oksidasi molekul target atau senyawa yang mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutuskan reaksi berantai dari radikal bebas (Kumalaningsih, 2006).

  Antioksidan juga dapat didefenisikan sebagai senyawa yang dapat mencegah terjadinya reaksi oksidasi makromolekul, seperti lipid, protein, karbohidrat atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen dan atau elektron (Silalahi, 2006). Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menetralkan radikal bebas dengan cara mendonorkan satu atom protonnya sehingga membuat radikal bebas stabil dan tidak reaktif (Lusiana, 2010).

  Berdasarkan sumbernya, secara umum antioksidan digolongkan dalam dua jenis, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Contoh antioksidan sintetik yang sering digunakan masyarakat antara lain butylated hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tert-butylhydroquinone (TBHQ) dan α-tocopherol (Irianti, 2008). Keuntungan menggunakan antioksidan sintetik adalah aktivitas anti radikalnya yang sangat kuat, namun antioksidan sintetik BHA dan BHT berpotensi karsinogenik. Untuk itu pencarian sumber antioksidan alami sangat dibutuhkan untuk menggantikan peran antioksidan sintetik.

  Antioksidan alami adalah antioksidan yang merupakan hasil ekstraksi dari bahan alami. Sayur-sayuran dan buah-buahan kaya akan zat gizi (vitamin, mineral, serat pangan) serta berbagai kelompok zat bioaktif lain yang disebut zat fitokimia (Silalahi, 2006).

  Irianti (2008) juga menyatakan bahwa antioksidan alami sebenarnya sudah sejak dahulu digunakan secara turun temurun, namun belum banyak diteliti aktivitas dan kandungan bioaktifnya. Misalnya saja daun gaharu (A. malaccensis Lamk.) yang sudah dimanfaatkan tetapi belum begitu populer karena kurangnya informasi tentang kandungan senyawa-senyawa kimia dan kandungan biokaktifnya.

  Berdasarkan penelitian Mega dan Swastini (2010), ekstrak daun gaharu dari jenis Gyrinops versteegii mengandung senyawa metabolit sekunder flavonoid, terpenoid dan senyawa fenol. Hasil uji fitokimia daun gaharu (Gyrinops versteegii) dapat dilihat pada Tabel 1:

  Tabel 1. Hasil Uji Fitokimia daun Gaharu (Gyrinops versteegii) Hasil Pengamatan No Pereaksi

  Keterangan Perubahan warna larutan setelah + pereaksi (+) Mengandung

  1 Willstater Coklat muda menjadi kuning muda Flavonoid (+) Mengandung

  2 NaOH 10% Coklat muda menjadi kuning Flavonoid

  

3 Meyer Tak terjadi perubahan/tak timbul endapan (-) Mengandung Alkaloid

Leiberman- (+) Mengandung

  4 Coklat muda menjadi merah muda Burchard Terpenoid

  • Air lalu

  

5 Tidak Timbul Buih yang stabil selama 5 menit (+) Mengandung Saponin

dikocok (+) Mengandung 6 +FeCl Coklat muda menjadi coklat keunguan 3 senyawa Fenol

  Hasil uji fitokimia yang dilakukan Mega dan Swastini (2010), diketahui bahwa senyawa-senyawa metabolit sekunder tersebut yang diperkirakan mempunyai aktivitas sebagai antiradikal bebas.

  Antioksidan Alami

  Antioksidan alami adalah antioksidan yang merupakan hasil ekstraksi dari bahan alami. Sayur-sayuran dan buah-buahan kaya akan zat gizi (vitamin, mineral, serat pangan) serta berbagai kelompok zat bioaktif lain yang disebut zat fitokimia. Zat bioaktif ini bekerja secara sinergistik, meliputi mekanisme enzim detoksifikasi, peningkatan sistem kekebalan, pengurangan agregasi platelet, pengaturan sintesis kolesterol dan metabolisme hormon, penurunan tekanan darah, antioksidan, antibakteri serta efek antivirus (Prabantini, 2010; Silalahi, 2006).

  Senyawa antioksidan alami tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin dan tokoferol. Golongan flavonoid yang memiliki aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, katekin, flavanon dan kalkon. Senyawa antioksidan alami polifenolik dapat bereaksi sebagai pereduksi, penangkap radikal bebas, pengkelat logam dan peredam terbentuknya singlet oksigen (Kumalaningsih, 2006). Antioksidan atau reduktor berfungsi untuk mencegah terjadinya oksidasi atau menetralkan senyawa yang telah teroksidasi dengan cara menyumbangkan hidrogen dan atau elektron (Silalahi, 2006).

  Tanaman yang berkhasiat sebagai antioksidan menurut Hernani dan Rahardjo (2002), dikelompokkan atas 4 golongan yaitu:

  1. Kelompok tanaman sayuran Brokoli, kubis, lobak, wortel, tomat, bayam, cabai, buncis, pare dan mentimun.

  2. Kelompok tanaman buah Anggur, alpukat, jeruk, semangka, markisa, apel, belimbing, pepaya dan kelapa.

  3. Kelompok tanaman rempah Jahe, temulawak, kunyit, lengkuas, temu putih, kencur, kapulaga, temu ireng, lada, cengkeh, pala dan asam jawa.

  4. Kelompok tanaman lain Teh, ubi jalar, kedelai, kentang, labu kuning dan petai cina.

  Dari segi kimia, komponen yang dikandung oleh sumber-sumber antibiotik tersebut di atas adalah: a.

Sejenis polifenol

  Polifenol merupakan senyawa turunan fenol yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan. Antioksidan fenolik biasanya digunakan untuk mencegah kerusakan akibat reaksi oksidasi pada makanan, kosmetik, farmasi, dan plastik. Fungsi polifenol sebagai penangkap dan pengikat radikal bebas dari rusaknya ion- ion logam. Senyawa polifenol banyak ditemukan pada buah, sayuran, kacang- kacangan, teh dan anggur (Hernani dan Rahardjo, 2002).

  b.

Bioflavanoid (flavon, flavonol, flavanon, katekin, antosianidan, isoflavon)

  Kelompok ini terdiri dari kumpulan senyawa polifenol dengan aktivitas antioksidan cukup tinggi. Senyawa flavanoid mempunyai ikatan gula yang disebut sebagai glikosida. Senyawa induk atau senyawa utamanya disebut aglikon yang berikatan dengan berbagai gula dan sangat mudah terhidrolisis atau mudah terlepas dari gugus gulanya. Di samping itu senyawa ini mempunyai sifat antibakteri dan antiviral (Hernani dan Rahardjo, 2002).

  c.

Vitamin C Vitamin C mempunyai efek multifungsi, tergantung pada kondisinya

  Vitamin C ini dapat berfungsi sebagai antioksidan, proantioksidan, pengikat logam, pereduksi dan penangkap oksigen. Vitamin C sangat efektif sebagai antioksidan pada konsentrasi tinggi. Tubuh sangat memerlukan vitamin C, karena kekurangan vitamin C dalam darah dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti: asma, kanker, diabetes, dan penyakit hati. Selain daripada itu vitamin C dapat memperkecil terbentuknya penyakit katarak dan penyakit mata (Hernani dan Rahardjo, 2002).

  d.

Vitamin E

  Vitamin E merupakan antioksidan yang cukup kuat dan memproteksi sel- sel membran serta LDL (Low Density Lipoprotein) kolesterol dari kerusakan radikal bebas. Vitamin E dapat juga membantu memperlambat proses penuaan pada arteri dan melindungi tubuh dari kerusakan sel-sel yang akan menyebabkan penyakit kanker, penyakit hati dan katarak. Vitamin E dapat bekerja sama dengan antioksidan lain seperti vitamin C untuk mencegah penyakit-penyakit kronik lainnya, namun dalam mengkonsumsi vitamin ini dianjurkan jangan terlalu berlebihan karena akan menekan vitamin A yang masuk ke dalam tubuh (Hernani dan Rahardjo, 2002).

  e.

  Karotenoid Beta karotein adalah salah satu dari kelompok senyawa yang disebut karotenoid. Dalam tubuh senyawa ini akan dikonversi menjadi vitamin A. Kekurangan beta-karotein dapat menyebabkan tubuh terserang kanker servik. Kanker ini banyak menyerang kaum wanita yang mempunyai kadar beta-karotein, vitamin E dan vitamin C rendah dalam darah. Untuk kaum laki-laki vitamin E sangat efektif mencegah penyakit kanker prostat. Golongan senyawa karotenoid antara lain: alfa-karotein, lutin dan likopen (Hernani dan Rahardjo, 2002).

  f.

Katekin

  Katekin termasuk dalam senyawa golongan polifenol dari gugusan flavanoid yang banyak terdapat pada teh hijau. Dalam ekstrak teh terkandung 30- 40% katekin. Epigallokatekin merupakan katekin yang sangat penting dari teh hijau karena mempunyai daya antioksidan yang cukup tinggi, serta berperan dalam pencegahan penyakit jantung dan kanker. Dalam daun kering, teh hijau terdapat sekitar 30-50 mg flavanoid (Hernani dan Rahardjo, 2002).

  Menurut keterangan di atas maka dapat dinyatakan bahwa kelompok antioksidan dari bioflavanoid (flavon, flavonol, flavanon, katekin, antosianidan, isoflavon) merupakan senyawa dengan aktivitas antioksidan yang cukup tinggi. Senyawa flavanoid diduga dimiliki daun gaharu (A. malaccensis Lamk.) sehingga dapat dimanfaatkan sebagai obat karena diduga memiliki antioksidan yang berperan dalam menekan radikal bebas dalam tubuh manusia.

  Pengujian Aktivitas Antioksidan

  Aktivitas antioksidan suatu senyawa dapat diukur dari kemampuannya dalam menangkap radikal bebas. Metode untuk menentukan aktivitas antioksidan ada beberapa cara, akan tetapi metode pengukuran antioksidan yang sederhana, cepat dan tidak membutuhkan uji lainnya (santin, oksidase, metode tiosianat, antioksidan total) adalah metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil). Goldschmidt dan Renn pada tahun 1922 menemukan senyawa berwarna ungu radikal bebas stabil DPPH, yang sekarang digunakan sebagai reagen kolorimetri untuk proses redoks. Metode DPPH merupakan suatu metode yang cepat, sederhana, dan murah yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan antioksidan yang terkandung dalam makanan. Metode DPPH dapat digunakan untuk sampel yang padat dan juga dalam bentuk larutan dan berlaku untuk keseluruhan kapasitas antioksidan sampel (Ionita, 2005).

  DPPH merupakan singkatan untuk senyawa kimia 1,1-diphenyl-2-

  

picrylhydrazil . DPPH berupa serbuk berwarna ungu gelap yang terdiri dari

  molekul radikal bebas yang stabil. DPPH mempunyai berat molekul 394.32 dengan rumus bangun C

  18 H

  12 N

  5 O 6 . Penyimpanannya dalam wadah tertutup baik

  pada suhu -20°C (Molyneux, 2004). Prinsipnya adalah elektron ganjil pada molekul DPPH memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang tertentu, berwarna ungu. Warna akan berubah dari ungu menjadi kuning lemah apabila elektron ganjil tersebut berpasangan dengan atom hidrogen yang disumbangkan senyawa antioksidan. Perubahan warna ini berdasarkan reaksi kesetimbangan kimia (Prakash, 2001).

  DPPH merupakan radikal bebas yang stabil pada suhu kamar dan sering digunakan untuk mengevaluasi aktivitas antioksidan beberapa senyawa atau ekstrak bahan alam. Interaksi antioksidan dengan DPPH baik secara transfer elektron atau radikal hidrogen pada DPPH, akan menetralkan radikal bebas dari DPPH dan membentuk DPPH tereduksi. Jika semua elektron pada radikal bebas DPPH menjadi berpasangan, maka warna larutan berubah dari ungu tua menjadi kuning terang. Perubahan ini dapat diukur sesuai dengan jumlah elektron atau atom hidrogen yang ditangkap oleh molekul DPPH akibat adanya zat reduktor (Molyneux, 2004).

  Parameter yang dipakai untuk menunjukan aktivitas antioksidan adalah harga Inhibition Concentration (IC

  50 ) yaitu konsentrasi suatu zat antioksidan yang

  dapat menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal atau konsentrasi suatu zat antioksidan yang memberikan % penghambatan sebesar 50%. Zat yang mempunyai sifat antioksidan bila nilai IC kurang dari 200 ppm. Bila nilai IC

  

50

  50

  yang diperoleh berkisar antara 200-1000 ppm, maka zat tersebut kurang aktif namun masih berpotensi sebagai zat antioksidan. Dikatakan mempunyai aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai harga IC 50 yang rendah (Molyneux, 2004).

  Pengukuran Absorbansi – Panjang Gelombang maks ) yang digunakan dalam pengukuran

Panjang gelombang maksimum (λ sampel uji sangat bervariasi. Menurut beberapa literatur panjang gelombang

  maksimum untuk DPPH antara lain 515 nm, 516 nm, 517 nm, 518 nm, 519 nm dan 520 nm. Pada praktiknya hasil pengukuran yang memberikan peak maksimum itulah panjang gelombangnya yaitu sekitar panjang gelombang yang disebutkan diatas (Molyneux, 2004).