Studi interaksi Fusarium sp. dengan pohon gaharu (Aquilaria sp.) menggunakan pendekatan sitologi

(1)

STUDI INTERAKSI Fusarium sp. DENGAN POHON GAHARU

(Aquilaria sp.) MENGGUNAKAN PENDEKATAN SITOLOGI

ADE LIA PUTRI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul ”Studi Interaksi

Fusarium sp. dengan Pohon Gaharu (Aquilaria sp.) menggunakan Pendekatan Sitologi”adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2011

Ade Lia Putri G351080011


(3)

ABSTRACT

ADE LIA PUTRI. Studies on Fusarium sp. and Agarwood Trees (Aquilaria sp.) Interaction by Cytological Approach. Supervised by GAYUH RAHAYU and UTUT WIDYASTUTI.

The research is aiming to study the pathogenesis mechanism of Fusarium sp. IPBCC. 08.569 on Aquilaria sp. seedling in respect to the respons of the host towards Fusarium sp. IPBCC. 08.569 infection. Penetration mechanism was determined by observing the appresorium formation on the bark surface in vitro, the potency to produce lignocellulase and toxin. While colonization was studied by histopathological methods using both staining process and SEM. The respons of the tree towards infection was observed at either cellular by histochemestry or organ level using scoring system. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 showed no appresorium formation but had lignocellulolytic activity. Hypersensitivity reaction of tobacco leaf towards crude extract of extracellular substance indicated that Fusarium sp. IPBCC. 08.569 produce toxin. Direct penetration into the bark was not found, therefore penetration had to be through wounded area. While modification of hyphae was observed in the living cells of the wood tissue (parenchyma rays, included phloem, and pith) these cells might contain terpenoid as conversion of starch. These cellular changes might be observed as discolored wood and the wood became scented. Discolored wood was extended outside the colonization area, indicated that the dark substance might be part of hypersensitive respons to delimit the infection. Using scoring system, after inoculation Fusarium sp. IPBCC. 08.569 can be stated as wound infection fungi with limited colonization in living tissue and induce terpenoid formation in certain tissue.

Key word: Aquilaria sp, colonization, Fusarium sp. IPBCC. 08.569, lignocellulase, living cells, terpenoid, toxin.


(4)

sp.) menggunakan Pendekatan Sitologi. Dibimbing oleh GAYUH RAHAYU dan UTUT WIDYASTUTI.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme patogenesis Fusarium sp. IPBCC. 08.569 terhadap pohon gaharu (Aquilaria sp.) dalam proses pembentukan gaharu ditingkat sel dan organ. Mekanisme penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 dipelajari dengan mengamati kemungkinan cendawan membentuk apresorium di permukaan kulit kayu, menghasilkan enzim lignoselulase (mencakup enzim polifenol oksidase, lakase, tirosinase, dan CMC-ase), serta melihat kemampuan cendawan dalam menghasilkan toksin. Sedangkan pengamatan kolonisasi dipelajari dengan metode histopatologi menggunakan pewarnaan biru tripan dan mikroskop pemindai elektron (SEM). Respon tanaman terhadap infeksi cendawan pada tingkat sel dan jaringan diamati dengan uji histokimia sedangkan pada tingkat organ ditentukan dengan sistem skor terhadap tiga parameter yaitu klorosis daun, perubahan warna kayu, dan terbentuknya aroma wangi. Selain mengamati terjadinya perubahan warna kayu, pengamatan juga dilakukan pada panjang dan dalam zona perubahan warna kayu. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak membentuk apresorium, namun memiliki aktifitas lignoselulolitik. Reaksi hipersensitifitas daun tembakau terhadap ekstrak kasar dari substansi ekstraseluler membuktikan bahwa Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menghasilkan toksin. Penetrasi secara langsung tidak ditemukan, oleh karena itu penetrasi harus melalui pelukaan. Enzim lignoselulolitik yang dihasilkan diduga berperan dalam proses penetrasi. Sedangkan toksin yang dihasilkan diduga berperan dalam membantu proses penetrasi atau perkembangan infeksi. Kolonisasi cendawan terdapat di dalam parenkima jejari dan included phloem pada pengamatan 7 dan 14 hsi, kemudian berlanjut ke daerah empelur pada 21 hsi. Di luar daerah inokulasi, kolonisasi juga ditemukan pada jaringan xilem yang sama. Ketika modifikasi hifa ditemukan di dalam sel hidup pada jaringan kayu (parenkima jejari, included phloem, dan empelur), sel membentuk senyawa terpenoid yang menggantikan akumulasi pati. Perubahan yang terjadi pada tingkat sel ini diduga menyebabkan terjadinya perubahan warna kayu dan terbentuknya aroma wangi. Perubahan warna yang terjadi meluas ke luar daerah infeksi, hal ini mengindikasikan bahwa substansi gelap diduga merupakan respon hipersensitifitas tanaman untuk membatasi infeksi. Setelah menggunakan sistem skor untuk menentukan tingkat pembentukkan gaharu, maka Fusarium sp. IPBCC. 08.569 dapat dinyatakan sebagai cendawan penginfeksi luka dengan kolonisasi terbatas pada jaringan hidup dan menginduksi terbentuknya senyawa terpenoid pada jaringan tertentu.

Kata kunci : Apresorium, Aquilaria sp, CMC-ase, empelur, Fusarium sp. IPBCC. 08.569, included phloem, lakase, lignoselulase, polifenol oksidase, tirosinase, toksin, parenkima jejari, terpenoid.


(5)

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2011 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(6)

ADE LIA PUTRI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Mayor Mikrobiologi

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(7)

(8)

(Aquilaria sp.) menggunakan Pendekatan Sitologi Nama : Ade Lia Putri

NIM : G351080011

Disetujui Komisi Pembimbing

Diketahui

Tanggal Ujian: 1 Juli 2011 Tanggal Lulus: Dr. Ir. Gayuh Rahayu

Ketua

Dr. Ir. Utut Widyastuti, M.Si. Anggota

Ketua Koordinator Mayor Mikrobiologi

Dr. Ir. Gayuh Rahayu

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


(9)

PRAKATA

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa melimpahkan segala karunia-Nya, sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul “Studi Interaksi Fusarium sp. dengan Pohon Gaharu (Aquilaria sp.) menggunakan Pendekatan Sitologi” merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Bagian Mikologi Departemen Biologi FMIPA IPB dan Laboratorium Reproduksi Zoologi LIPI Cibinong sejak April 2010 sampai dengan Maret 2011.

Terima kasih penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang telah membantu penyelesaian karya ilmiah ini terutama kepada Dr. Ir. Gayuh Rahayu sebagai pembimbing serta yang telah menyediakan dana penelitian. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Utut Widyastuti M.Si. selaku pembimbing kedua, serta Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc. Agr selaku penguji yang telah memberikan bimbingan dan saran hingga tersusunnya tesis ini.

Penghargaan juga diberikan pada Staf Laboratorium Bagian Mikologi IPB dan Laboratorium Reproduksi Zoologi LIPI Cibinong yang telah banyak membantu dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan tesis. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada Suami, Ibu, Papa, Da en, Da pi, Abang, Siska dan keluarga besar yang senantiasa memberikan dukungan, kasih sayang, dan doa yang tak ternilai. Kepada Bu dewi, Uni Dezi, Ica, Izul, Lia, Evi, Rina, Riana dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terimakasih atas kebersamaan dan bantuannya. Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2011


(10)

Selatan, pada tanggal 18 April 1984 dari ayah Muhamad Yunis dan ibu Nurlaili. Penulis merupakan anak ke empat dari lima bersaudara. Pada tahun 2002 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Muara Labuh dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB untuk program sarjana. Penulis memasuki Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam pada tahun yang sama. Setelah lulus sarjana pada tahun 2007, penulis bekerja sebagai dosen Biologi di Universitas Bangka Belitung sampai saat ini. Pada tahun 2008 penulis diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pascasarjana IPB, pada Program Studi Mikrobiologi.

Semasa perkuliahan di tingkat sarjana, Penulis pernah aktif di organisasi kemahasiswaan sebagai anggota Himpunan Mahasiswa Biologi 2003/2004, anggota Organisasi Kewirausahaan Mahasiswa Biologi (BIOWORLD) 2003/2004. Semasa perkulihan sarjana penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Biologi pada Tingkat Persiapan Bersama, Fisiologi Tumbuhan, Botani Umum dan Biologi Cendawan. Semasa perkuliahan di tingkat Pasca Sarjana, penulis juga aktif mengikuti berbagai seminar di bidang Biologi, Mikrobiologi dan Molekuler.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 2

1.3 Hipotesis Penelitian ... 2

II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Gaharu ... 3

2.1.1 Definisi dan Manfaat Gaharu ... 3

2.1.2 Gejala Pembentukan Gubal Gaharu ... 3

2.1.3 Cendawan Penginduksi Gaharu ... 4

2.2 Fusarium sp. ... 5

2.3 Patogenesis ... 5

2.3.1 Mekanisme Penetrasi dan Infeksi Patogen ... 5

2.3.2 Mekanisme Pertahanan Tanaman dari Serangan Patogen ... 9

2.4 Studi Sitologi Patogenesis ... 11

III METODE PENELITIAN ... 13

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 13

3.2 Bahan dan Alat ... 13

3.3 Metode Penelitian ... 13

3.3.1 Persiapan Inokulum Cendawan ... 15

3.3.2 Pengamatan Proses Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ... 15

3.3.3 Respon Aquilaria sp. terhadap Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ... 20

3.3.4 Analisis Data ... 22

IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23

4.1 Hasil Penelitian ... 23

4.1.1 Proses Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ... 23

4.1.2 Respon Aquilaria sp. terhadap Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ... 30

4.2 Pembahasan ... 33

V SIMPULAN DAN SARAN ... 38

5.1 Simpulan ... 38

5.2 Saran ... 38

VI DAFTAR PUSTAKA ... 39


(12)

Halaman

1 Cara penilaian aktivitas hipersensitifitas toksin ... 18 2 Sistem skor respon Aquilaria sp. terhadap inokulasi

Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ... 21 3 Kategori tingkat pembentukan gaharu ... 21 4 Pengaruh perlakuan terhadap zona perubahan warna (mm)

kayu Aquilaria sp. ... 32 5 Pengaruh periode inkubasi terhadap zona perubahan warna (mm)

kayu Aquilaria sp. ... 32 6 Pembentukan gaharu akibat inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ... 33


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Bagan alur penelitian ... 14 2 Perkecambahan konidia Fusarium sp. IPBCC. 08.569

di permukaan kulit kayu Aquilaria sp. utuh. ... 23 3 Persentase perkecambahan konidia Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ... 23 4 Perkecambahan konidia dan hifa penetrasi Fusarium sp.

IPBCC. 08.569 di permukaan kayu Aquilaria sp. yang dilukai ... 24 5 Diskolorisasi medium MEAG akibat aktifitas polifenol oksidase ... 25 6 Diskolorisasi medium MEAT dan terbentuknya zona bening

di sekeliling koloni akibat aktifitas polifenol oksidase ... 25 7 Perubahan warna koloni Fusarium sp. IPBCC. 08.569

setelah ditetesi 0,1 M naftol dan 0,1 M p-kresol ... 26 8 Zona jernih yang terbentuk pada medium CMC 1% . ... 26 9 Gejala hipersensitifitas daun tembakau . ... 27 10 Perkembangan hifa dan kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

di dalam sel-sel jaringan xilem Aquilaria sp.. ... 28 11 Struktur hifa berfragmentasi menyerupai konidia ... 29 12 Sayatan membujur kayu Aquilaria sp. yang dilukai,

serta sayatan melintang dan membujur kayu Aquilaria sp. sehat. ... 29 13 Senyawa terpenoid pada sayatan melintang kayu Aquilaria sp. ... 30 14 Akumulasi butir pati pada sayatan melintang Aquilaria sp. sehat ... 31 15 Klorosis daun Aquilaria sp. setelah diinokulasi

Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ... 31 16 Perubahan warna kayu ... 32


(14)

Halaman

1 Komposisi medium dan bahan yang digunakan ... 45 2 Kurva standar glukosa ... 46


(15)

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gaharu adalah sejenis kayu dengan warna yang khas (coklat-kehitaman) dan memiliki kandungan kadar damar wangi (Dewan Standar Nasional 1999). Gaharu terbentuk sebagai reaksi pohon gaharu terhadap adanya gangguan biotik atau abiotik. Gangguan biotik yang paling banyak dilaporkan berperan dalam pembentukan gaharu adalah gangguan oleh cendawan salah satunya adalah Fusarium sp. (Gong & Shun 2008; Siregar 2009; Isnaini et al. 2009; Mohamed et al. 2010).

Penelitian mengenai gaharu telah banyak dilakukan seperti cendawan yang berasosiasi dengan gejala gubal gaharu, cendawan yang berpotensi menginduksi pembentukan gubal gaharu, formulasi cendawan potensial (Rahayu 2009). Penelitian tentang senyawa yang terkandung dalam gaharu serta jaringan pengakumulasi senyawa akibat infeksi cendawan juga telah dipelajari (Putri et al. 2008; Bhuiyan et al. 2009). Namun demikian, sampai saat ini masih banyak aspek biologi cendawan penginduksi gubal gaharu yang belum digali terutama dalam interaksi dengan inangnya yaitu pohon gaharu.

Pada proses interaksi antara cendawan dengan inangnya, patogenesitas cendawan merupakan hal yang terpenting. Keberhasilan cendawan dalam interaksi dengan inangnya bergantung pada strategi cendawan dalam melakukan penetrasi tanaman inangnya (Mendgen & Deising 1993). Interaksi cendawan patogen akan menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada tanaman yang berdampak terhadap terjadinya perubahan visual pada sel, jaringan, atau organ tanaman. Diantara ketiga perubahan visual yang terjadi, perubahan pada tingkat sel memberikan informasi yang lebih akurat tentang terjadinya perubahan fisiologi saat terjadi interaksi cendawan dengan inangnya (Kunoh 1995).

Penggunaan cendawan dalam menginduksi pembentukan gubal gaharu menyebabkan terjadinya perubahan fisiologis pada pohon gaharu. Perubahan fisiologis yang terjadi berupa klorosis daun, perubahan warna kayu di daerah terinfeksi, terbentuknya aroma wangi (Pojanagaroon & Kaewrak 2002; Putri et al.


(16)

2008) dan adanya akumulasi senyawa golongan terpenoid pada daerah yang diinokulasi (Nobuchi & Siripatanadilok 1991; Putri et al. 2008). Namun studi sitologi tentang infeksi cendawan dan responnya belum pernah dilaporkan.

Studi sitologi interaksi patogen dan inangnya dapat dipelajari dengan mengamati terjadinya perubahan-perubahan ultrastruktur dan komposisi di dalam sel tanaman inang secara langsung menggunakan mikroskop cahaya, mikroskop elektron, atau mikroskop konfokal (Kunoh 1995). Studi histopatologi dan histokimia merupakan salah satu pendekatan studi sitologi. Studi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perilaku patogen dalam sel inang, sekaligus dapat memberikan dasar pengetahuan mengenai respon fisiologi untuk penelitian selanjutnya ditingkat molekuler (Kunoh 1995).

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang mekanisme patogenesis Fusarium sp. IPBCC. 08.569 terhadap pohon gaharu (Aquilaria sp.) dalam proses pembentukan gaharu ditingkat sel dan organ.

1.3 Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah Fusarium sp. IPBCC. 08.569 mempenentrasi tanaman Aquilaria sp. secara fisik, enzimatik, atau dengan bantuan toksin. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 mengkolonisasi jaringan tertentu tanaman yang menyebabkan timbulnya respon fisiologis. Respon fisiologis pada tingkat sel dapat diamati berupa deposit senyawa terpenoid. Akumulasi senyawa terpenoid menyebabkan kayu berubah warna dan menghasilkan aroma wangi.


(17)

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gaharu

2.1.1 Definisi dan Manfaat Gaharu

Gaharu dikenal juga dengan nama eaglewood, aloewood, agarwood, dan jinkoh (Barden et al. 2000). Gaharu adalah sejenis kayu dengan warna yang khas (coklat-kehitaman) dan memiliki kandungan kadar damar wangi (Dewan Standar Nasional 1999). Gaharu berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu sebagai akibat dari gangguan dan proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon tersebut, umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Ng et al. 1997). Beberapa jenis pohon Aquilaria yang terbukti bisa menghasilkan gubal gaharu adalah A. agalocha, A. beccariana, A. crassna, A. filaria, A. hirta, A. malaccensis, dan A. microcarpa (Ng et al. 1997; Soehartono & Newton 2001).

Gaharu digunakan untuk berbagai tujuan seperti bahan dasar industri parfum, bahan kosmetik, dan obat-obatan (Barden et al. 2000). Cina telah memanfaatkan gaharu sejak ratusan tahun yang lalu sebagai obat sakit perut, penghilang rasa sakit, kanker, diare, cegukan, ginjal, dan tumor paru-paru. Di Eropa gaharu digunakan sebagai obat kanker dan di India digunakan sebagai obat tumor usus. Selain itu gaharu juga digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti yang dilakukan oleh umat Budha, Hindu, dan Islam (Barden et al. 2000; Compton & Ishihara 2006).

2.1.2 Gejala Pembentukan Gubal Gaharu

Banyak pendapat yang berkembang mengenai proses pembentukan gaharu. Menurut Ng et al. (1997) gaharu terbentuk karena adanya pelukaan atau pelukaan yang diikuti infeksi cendawan. Mohamed et al. (2010) menemukan pembentukan gaharu yang wangi pada bekas luka yang disertai adanya miselium cendawan. Namun secara umum cendawan banyak dilaporkan berpengaruh dalam proses pembentukan gaharu (Qi et al. 2005). Gaharu dihasilkan tanaman sebagai respon tanaman terhadap adanya cendawan yang masuk ke dalam jaringan tanaman yang terluka (Qi et al. 2005; Bhuiyan et al. 2009).

Gejala umum yang ditimbulkan akibat infeksi cendawan diantaranya terjadi perubahan warna pada daerah yang diinfeksi dan klorosis daun (Putri et al. 2008).


(18)

Gejala yang terjadi bisa teramati beberapa hari setelah tanaman diinokulasi cendawan. Namun, pada pohon gaharu alam yang terbentuk secara alami dan terinfeksi selama bertahun-tahun perubahan warna kayu terbentuk hampir pada semua bagian kayu tapi terjadinya klorosis daun tidak terlihat lagi, sehingga ketika dilihat secara visual tanaman terlihat sehat (Barden et al. 2000).

Cendawan yang masuk ke dalam jaringan tanaman gaharu merupakan benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan suatu senyawa, sebagai respon terhadap serangan patogen (Bhuiyan et al. 2009). Senyawa tersebut berupa resin berwarna coklat dan beraroma harum (Ng et al. 1997). Senyawa utama gaharu adalah seskuiterpenoid (golongan terpenoid) dan turunan peniletil kromon. Kedua senyawa tersebut berperan dalam menghasilkan aroma wangi khas gaharu. Berbagai jenis senyawa seskuiterpeoid dan peniletil kromon telah berhasil diisolasi dari berbagai kayu gaharu. Kelompok seskuiterpen tersebut diantaranya turunan guia dienal, selindienone, dan selina dienot, isopronoid, guaiene, a-humulene dan d-guaiene (Ishihara et al. 1991; Qi 1995; Michiho 2005; Bhuiyan et al. 2009; Okudera & Ito 2009). Kelompok peniletil kromon diantaranya 6,7- dimethoxy-2- (2-phenylethyl chromonne, dan 6-methoxy-2- [2-(4-methoxyphenyl) ethyl] chromone (Qi 1995; Konishi et al. 2002; Qi et al. 2005; Fudai et al. 2009; Okudera & Ito 2009). Senyawa–senyawa tersebut akan menumpuk pada jaringan xilem dan membentuk aroma wangi gaharu.

2.1.3 Cendawan Penginduksi Gaharu

Santoso (1996) menyatakan bahwa ada 17 genus cendawan yang telah berhasil diisolasi dari gubal gaharu alami yaitu Botryodiplodia, Curvularia, Cercosporella, Chaetomium, Cladosporium, Cythospaera, Diplodia, Fusarium, Pestalotia, Papularia, Phialogeniculata, Phytomyces, Pythium, Rhinocladiella, Rhizoctonia, Spidostibella, dan Trichoderma. Siregar (2009) mengisolasi 6 jenis cendawan (Cladosporium sp, Fusarium sp, Mucor sp, Rhizopus sp, Trichoderma sp, dan Sopulariopsis sp.) di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Erari & Ruimassa (2009) menemukan 3 jenis cendawan (Cochliobolus sp, Fusarium lateritum dan Trichoderma sp.) yang berasosiasi dalam pembentukan gubal gaharu di Provinsi Papua. Isnaini et al. (2009) menemukan 3 jenis cendawan (Fusarium spp, Rhizoctania, Trichoderma) di Kep. Lombok. Selain itu Mohamed


(19)

5

et al. (2010) berhasil mengisolasi Cunninghamella, Curvularia, Fusarium dan Trichoderma dari bekas patahan tanaman Aquilaria malaccensis. Diantara banyak cendawan yang berhasil diisolasi dari gubal gaharu, Fusarium sp. merupakan cendawan yang paling dominan (Isnaini et al. 2009).

2.2 Fusarium sp.

Fusarium sp. termasuk ke dalam kelompok cendawan bermitospora. Bentuk spora aseksual (konidia) merupakan ciri utama dari cendawan ini. Fusarium sp. memiliki 2 jenis konidia yaitu mikrokonidia memiliki 0-1 septat sederhana yang terdiri atas satu atau dua sel atau makrokonidia yang terdiri atas beberapa sel (2-10 sel) yang berbentuk seperti bulan sabit. Konidia dibentuk di atas monopialid. Selain membentuk makro dan mikro konidia, Fusarium sp. juga membentuk klamidospora ketika kondisi lingkungan dan bahan makan kurang menguntungkan (Groenewald 2005). Selain dapat menginduksi terbentuknya gaharu, Fusarium sp. merupakan cendawan patogen tanaman yang sering menyebabkan berbagai penyakit pada tanaman seperti busuk pangkal batang, tumor akar (root crown), penyakit pembuluh xilem, dan penyakit pasca panen (Wang & Jeffer 2000; Ploetz 2005).

2.3 Patogenesis

Patogenesis merupakan proses perkembangan penyakit mulai infeksi sampai menghasilkan gejala penyakit (Groenewald 2005).

2.3.1 Mekanisme Penetrasi dan Infeksi Patogen

Perkembangan penyakit secara umum diawali dengan tahapan pra infeksi yang mencakup melekatnya spora dan hifa ke permukaan inang, perkecambahan spora, dan pembentukan struktur penetrasi seperti apresorium. Kemudian dilanjutkan dengan tahapan infeksi dan kolonisasi (Prins et al. 2000; Lee & Bostock 2006).

Proses pelekatan inokulan merupakan tahapan awal cendawan melakukan kontak dengan permukaan inang yang akan menentukan keberhasilan proses infeksi (Mendgen & Deising 1993). Proses pelekatan dipengaruhi oleh bahan ekstraseluler dan struktur kimia yang dihasilkan cendawan. Penyusun bahan untuk pelekatan cendawan diperkirakan berupa protein serta glukoprotein yang dapat


(20)

melindungi spora dari metabolit sekunder yang dihasilkan inangnya. Spora yang telah stabil akan berkecambah dengan membentuk tabung kecambah. (Prins et al. 2000; Li et al. 2005; Lee & Bostock 2006). Spora membutuhkan kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembapan yang optimum untuk bisa berkecambah (Prins et al. 2000). Gula dan asam amino yang diekresikan oleh inang dapat mempercepat terjadinya proses perkecambahan (Mendgen & Deising 1993; Prins et al. 2000). Kebanyakan spora bisa langsung berkecambah setelah spora matang dan lepas dari sel pembentukannya, namun beberapa spora lainnya membutuhkan periode dormansi untuk beberapa saat sebelum berkecambah dengan membentuk klamidospora ketika kondisi lingkungan kurang menguntungkan (Groenewald 2005).

Proses penetrasi dapat dibagi dua yaitu penetrasi secara aktif dan penetrasi pasif melalui jaringan yang terluka atau terbuka (Prins et al. 2000). Mekanisme penetrasi yang dilakukan oleh cendawan mencakup aktivitas penetrasi secara fisik, enzimatik, dan toksisitas. Mekanisme patogenesis secara fisik terjadi dengan kemungkinan terbentuknya struktur khusus penetrasi seperti apresorium. Apresorium dibentuk pada ujung tabung kecambah sebagai penyangga hifa penetrasi. Terbentuknya apresorium dan hifa penetrasi tergantung pada faktor lingkungan, struktur fisika (hidropobisitas dan topografi) permukaan kayu, dan bahan kimia yang dihasilkan tanaman seperti monomer kutin, etilen, dan lilin (Mendgen & Deising 1993; Dean et al. 1995; Lee & Bostock 2006). Sebagian cendawan akan membentuk apresorium sebelum menembus jaringan inang, namun pada sebagian cendawan tidak membentuk apresorium. Secara umum Fusarium sp. tidak membentuk apresorium (Kang & Buchenenauer 2002 Lagopodi et al. 2002; Kikot et al. 2009). Fusarium oxysporum tidak membentuk apresorium dan tidak mampu menembus permukaan luar tanaman gandum yang masih utuh (Kang & Buchenauer 2002). Ketika cendawan patogen tidak membentuk apresorium, enzim pendegradasi dinding sel diduga berperan dalam proses patogenesis (Mendgen & Deising 1993).

Enzim oksidatif dan hidrolitik yang dikeluarkan cendawan berfungsi untuk mengurai dinding sel tanaman menjadi sederhana. Enzim oksidatif merupakan enzim non spesifik yang bekerja melalui mediator bukan protein yang berperan


(21)

7

dalam degradasi lignin, sedangkan enzim hidrolitik untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa yang bekerja pada substrat spesifik (Perez et al. 2002).

Enzim perombak lignin tergolong dalam kelompok enzim peroksidase yang mampu mengoksidase gugus non fenolik dalam lignin serta kelompok enzim fenol oksidase yang mampu mengoksidasi gugus δ-dan p-fenol serta gugus aromatik amina menjadi quinon (Hatakka 2001; Lankinen 2004). Contoh enzim peroksidase adalah mangan peroksidase (MnP) mengoksidasi Mn+2 menjadi Mn+3 yang kemudian mengoksidasi unit non fenol menjadi radikal fenoksi. Lignin peroksidase (LiP) yang mengoksidasi unit fenol dan non fenolik lignin melalui pelepasan satu elektron menghasilkan kation dan fenoksi (Hatakka 2001; Lankinen 2004). Sedangkan enzim fenol oksidase dibagi menjadi dua. Kelompok pertama terdiri dari enzim polifenol oksidase, tirosinase, dan katekol oksidase, kelompok kedua adalah enzim lakase (Ogel et al. 2006).

Enzim selulase dibagi dalam tiga kelompok yang pertama endoglukanase atau endo-ß-1,4-glukanase (disebut juga Cx, CMC (Carboxymethyl Cellulose)-ase atau 1,4- ß-D-glukan-4-glukanohidrolase), kedua eksoglukanase atau ekso-ß-1,4-glukanase, dan yang ketiga 1,4-glukosidase (Lymar et al. 1995; Perez et al. 2002). Enzim endoglukanase menghidrolisis molekul selulosa secara acak dan menyerang disembarang lokasi dan menghasilkan oligosakarida dengan fragmen yang berbeda membentuk ujung rantai baru (Lynd et al. 2002). Enzim eksoglukanase bekerja terhadap lokasi khusus dekat ujung yang tidak tereduksi dan menghasilkan fragmen dengan bobot molekul yang rendah, melepaskan unit-unit selobiosa atau glukosa dari ujung selulosa yang tidak tereduksi seperti ß-1,4-glukan selobiohidrolase. Endo dan eksoß-1,4-glukanase berperan dalam perombakan selulosa pertama karena menyukai selulosa dengan bobot tinggi, yang akan menghasilkan molekul selobiosa. Hidrolisis selulosa secara efektif memerlukan enzim 1,4-glukosidase (Perez et al. 2002). Fusarium spp. dapat menghasilkan berbagai jenis enzim lignoselulase. Diantaranya Fusarium oxysporum dapat menghasilkan enzim fenol oksidase, lignin peroksidase dan selulase (Tamuli et al. 2008; Ramanathan et al. 2010).


(22)

Cendawan kadang menghasilkan senyawa toksin yang disekresikan saat penetrasi jaringan inang untuk merubah fisiologi tanaman dan mengganggu permeabilitas dinding sel tanaman (Bushnell 1995). Terganggunya permeabilitas sel tanaman akibat ikatan toksin pada membran sel menyebabkan kerusakan struktur membran (Bushnell 1995). Kebanyakan toksin merupakan senyawa sekunder berbobot molekul rendah yang dikeluarkan secara ekstraseluler oleh cendawan (Prins et al. 2000). Beberapa jenis toksin yang dihasilkan Fusarium spp. diantaranya enniatin, fumonisin, sambutoksin, dan trikotesen (Kim et al. 1995; Hermann et al. 1996; Seo et al. 1996; Kang & Buchenenauer 2002; Langevin et al. 2004).

Cendawan juga bisa menghasilkan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang bisa mengganggu perkembangan tanaman seperti asam absisat (ABA), etilen, dan auksin (Prins et al. 2000; Groenewald 2005). ZPT dalam konsentrasi tinggi bisa menyebabkan pertumbuhan abnormal inang yang menguntungkan pertumbuhan patogen, seperti ABA yang dihasilkan cendawan patogen pada umbi kentang dapat menghambat akumulasi fitoaleksin risitin dan albumin (Prins et al. 2000). Struktur polisakarida dinding sel cendawan juga bisa mengganggu permeabiltas sel tanaman dan menginduksi terbentuknya fitoaleksin pada tanaman inang.

Infeksi merupakan tahapan cendawan yang berada pada kondisi stabil dan menetap di dalam sel atau jaringan inang dan memperoleh nutrisi dari inangnya. Cendawan membentuk hifa infeksi setelah cendawan masuk ke dalam sel inang. Hifa infeksi merupakan perpanjangan hifa penetrasi. Pada beberapa cendawan setelah terbentuk hifa penetrasi terbentuk vesikel dan selanjutnya membentuk hifa infeksi. Terakhir cendawan akan menghasilkan haustorium agar dapat memanfaatkan nutrisi sel inang (Mendgen & Deising 1993). Secara umum Fusarium spp. tidak membentuk struktur seperti haustorium (Kikot et al. 2009). Setelah proses infeksi, cendawan melakukan kolonisasi dengan berkembang atau memperbanyak diri, atau dua-duanya dalam jaringan tanaman (Prins et al. 2000; Lee & Bostock 2006).

Berdasarkan sifat patogenesis dan interaksinya dengan sel inang, cendawan dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu cendawan nekrotof dan biotrof.


(23)

9

Cendawan nekrotrof akan menyebabkan kematian inangnya ketika cendawan mengkolonisasi sel inang. Cendawan biotrof merupakan cendawan yang memanfaatkan nutrisi dari sel tanaman yang masih hidup, sehingga perlu untuk menjaga kelangsungan hidup sel tanaman dalam periode waktu yang lama. Pada cendawan biotrof, jaringan terinfeksi sering menjadi „sink‟ metabolit yang mengubah arah pergerakan fotosintat dari bagian lain ke jaringan terinfeksi. (Mendgen & Deising 1993). Sedangkan cendawan biotrof yang dapat ditumbuhkan pada media sintetik termasuk kedalam kelompok hemibiotrof (Mendgen & Deising 1993; Cooke 1978).

Proses kolonisasi bisa hanya terjadi pada daerah antara kutikula dan epidermis (kolonisasi subkutikula), terdapat pada permukaan tanaman tapi mengirim haustoria ke dalam semua jaringan tanaman yang diinfeksinya, atau berkembang diantara sel tanaman dengan miselium interseluler. Sedangkan pada Fusarium sp. yang menyebabkan vascular wilt, cendawan menyerang jaringan pembuluh xilem secara sistemik menembus pori yang terdapat dalam jaringan xilem, kemudian berkembang ke jaringan parenkima. Mikrokonidia akan terbentuk dalam jaringan tersebut (Groenewald 2005).

2.3.2 Mekanisme Pertahanan Tanaman dari Serangan Patogen

Secara umum tumbuhan akan memberikan respon terhadap serangan patogen dan respon tersebut akan bertanggung jawab terhadap resistensi tanaman terhadap patogen. Tanaman akan mempertahankan diri dengan dua cara, pertama dengan adanya sifat-sifat struktural pada tanaman yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan akan menghambat patogen untuk masuk dan menyebar di dalam sel tanaman. Kedua respon biokimia berupa reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman sehingga patogen dapat mati atau terhambat pertumbuhannya (Groenewald 2005).

Permukaan tanaman merupakan penghalang struktural pertama patogen. Patogen harus bisa menembus penghalang tersebut sebelum menyebabkan infeksi. Struktur-struktur seperti lapisan lilin dan bulu-bulu halus mencegah terbentuknya lapisan air dan mencegah patogen berkecambah dan memperbanyak diri. Kutikula yang menutupi sel epidermis menghalangi terjadinya penetrasi secara langsung. Dinding sel tersusun atas selulosa yang berikatan kuat dengan hemiselulosa dan


(24)

lignin menghambat proses infeksi (Perez et al. 2002). Kematian sel atau jaringan yang terserang oleh patogen dapat melindungi tanaman dari serangan selanjutnya. Kejadian tersebut disebut nekrotik atau reaksi pertahanan hipersensitif (hypersensitive defense reaction).

Sel dan jaringan inang akan bereaksi terhadap kerusakan, baik yang disebabkan oleh patogen atau karena mekanik dan kimia melalui serangkaian reaksi biokimia untuk mengisolasi gangguan dan menyembuhkan luka (Mert-Turk 2002). Ketahanan biokimia dapat disebabkan oleh senyawa penghambat patogen yang memang telah dibentuk dalam metabolisme tanaman walaupun tidak terjadi serangan patogen atau senyawa penghambat patogen yang terbentuk ketika adanya serangan patogen yang disebut fitoaleksin (Mert-Turk 2002). Senyawa fitoaleksin adalah senyawa antimikrob dengan berat molekul rendah yang dihasilkan tanaman setelah terjadi gangguan (Mert-Turk 2002). Setiap tanaman menghasilkan fitoaleksin yang berbeda. Fitoaleksin dihasilkan oleh sel sehat yang berdekatan dengan sel-sel rusak dan nekrotik untuk mencegah patogen berkembang. Fitoaleksin yang terbentuk bisa berupa senyawa fenolik, alkaloid, atau terpenoid (Zwenger & Basu 2008). Akumulasi fitoaleksin dipicu oleh molekul abiotik atau biotik yang disebut elisitor (Mert-Turk 2002). Pada cendawan, elisitor bisa berupa struktur polisakarida dinding sel cendawan. Inokulasi cendawan pada tanaman gaharu dapat menginduksi terbentuknya senyawa pertahanan berupa seskuiterpenoid yang merupakan kelompok terpenoid (Ishihara et al. 1991; Qi 1995; Michiho 2005; Bhuiyan et al. 2009; Okudera & Ito 2009).

Serangan dan infeksi cendawan dapat mengganggu proses fisiologis dan morfologi tanaman (Nieamann & visintini 2005; Lee & Bostock 2006). Berdasar kan perluasan gejala yang terjadi dikenal gejala lokal dan gejala sistimetik (Christiansen et al. 1999). Gejala lokal adalah gejala yang hanya terdapat di daerah inokulasi primer. Sedangkan gejala sistemik adalah gejala yang terjadi jauh dari derah inokulasi.


(25)

11

2.4 Studi Sitologi Patogenesis

Studi sitologi interaksi patogen inang dapat dipelajari menggunakan mikroskop konfokal, mikroskop cahaya, atau mikroskop elektron (Kunoh 1995). Mikroskop konfokal bisa digunakan untuk mengamati terjadinya perubahan-perubahan ultrastruktur dan komposisi di dalam sel tanaman inang secara langsung (Kunoh 1995). Mikroskop konfokal bisa membedakan struktur antar organel sel dengan sangat baik. Namun studi dengan cara ini memiliki kelemahan karena kadang sukar untuk memperoleh gambar sel terinfeksi yang berbeda dengan sel yang sehat. Sel yang terserang patogen atau sel yang tidak diserang patogen kadang memiliki arsitektur sel yang sama (Kunoh 1995).

Studi histopatologi dan histokimia merupakan salah satu pendekatan studi sitologi. Studi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perilaku patogen dalam sel inang sekaligus dapat memberikan dasar pengetahuan mengenai respon fisiologi untuk penelitian selanjutnya ditingkat molekuler (Kunoh 1995). Studi histopatologi dapat digunakan untuk mempelajari perkembangan patogen di dalam jaringan-jaringan inang dan studi histokimia dapat digunakan untuk mempelajari terbentuknya akumulasi senyawa pertahanan sebagai respon terhadap serangan cendawan. Uji histokimia terbentuknya senyawa terpenoid dapat dilakukan dengan menggunakan tembaga asetat yang menyebabkan senyawa terpenoid menjadi bewarna coklat kekuningan (Martin et al. 2002).

Pengamatan struktur cendawan di dalam sel menggunakan mikroskop cahaya atau mikroskop elektron memerlukan proses preparasi terlebih dahulu. Preparasi yang dilakukan bisa dengan mewarnai sel cendawan sehingga dapat dibedakan dengan sel tanaman atau dengan melakukan fiksasi agar sel cendawan tidak berubah. Metode pewarnaan cendawan merupakan metode yang memanfaatkan zat pewarna (staining) untuk mewarnai dinding sel cendawan. Pewarna yang digunakan diantaranya lactofenol blue, biru tripan dan chlorazol black E. Pewarna tersebut akan bereaksi dengan dinding sel cendawan baik cendawan yang masih hidup atau yang sudah mati (Waller 2002). Penggunaan mikroskop elektron seperti mikroskop pemindai elektron (SEM) bisa digunakan


(26)

untuk studi detil arsitektur permukaan sel. SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi. Sebelum dilakukan pengamatan menggunakan SEM dilakukan preparasi terlebih dahulu agar tidak terjadi perubahan arsitektur dari sel tanaman atau cendawan (Flegler et al. 1993).


(27)

III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan dari bulan April 2010-Maret 2011. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikologi Biologi IPB dan Laboratorium Reproduksi Zoologi LIPI Cibinong.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah isolat cendawan Fusarium sp. IPBCC. 08.569 koleksi IPBCC., asam galat, asam tanat, Dinitrosalycylic Acid (DNS), I2KI 1%,

Carboxy Methyl Cellulose (CMC) 1%, media agar dekstrosa kentang, media cair dekstrosa kentang, pewarna merah kongo, media Malt Ekstrak Agar (MEA), tanaman gaharu (Aquilaria sp.), pewarna biru tripan 50%, tembaga asetat 50%, 0.1M 1-naftol, 0.1M p-kresol, 1 M NaCl. Alat yang digunakan mikrotom beku, mikroskop cahaya, mikroskop pemindai elektron (SEM).

3.3 Metode Penelitian

Penelitian yang dilakukan secara garis besar dibagi menjadi 3 bagian (Gambar 1) yaitu :

1. Pengamatan mekanisme penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

2. Analisis kolonisasi cendawan menggunakan metode pewarna biru tripan dan SEM.

3. Pengamatan perubahan fisiologi secara visual pada tingkat sel dan didukung dengan respon lainnya.


(28)

Gambar 1 Bagan alur penelitian Gejala luar

Patogenesis

Fusarium sp. IPBCC 08.569 pada

Aquilaria sp.

Mekanisme penetrasi

Mekanis (pembentukan apresorium)

Pewarna biru tripan

SEM Enzimatik

Hipersensitifitas toksin

Perubahan warna Klorosis

Uji histokimia

Aroma wangi Kolonisasi

Akumulasi terpenoid

Akumulasi pati

Cendawan


(29)

15

3.3.1 Persiapan Inokulum Cendawan

Fusarium sp. IPBCC. 08.569 diperoleh dari bagian batang pohon yang wangi dan dengan lubang gerekan serangga. Pohon gaharu berasal dari desa Pasir Garam, Kabupaten Bangka Tengah. Isolat tersebut diremajakan pada media agar dekstrosa kentang dan diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Isolat akan digunakan sebagai sumber inokulum untuk mempelajari proses patogenesis cendawan meliputi proses kolonisasi dan respon tanaman terhadap kolonisasi cendawan.

3.3.2 Pengamatan Proses Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 3.3.2.1Mekanisme Penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

Mekanisme penetrasi mencakup aktivitas penetrasi secara fisik, enzimatik, dan toksisitas. Mekanisme penetrasi secara fisik diamati dengan kemungkinan terbentuknya struktur khusus penetrasi seperti apresorium, pengamatan enzimatik mencakup uji lignoselulolitik. Sedangkan uji toksisitas berhubungan dengan gejala hipersensitifitas terhadap ekstrak kasar toksin.

Kemampuan Perkecambahan Konidia dan Pembentukan Apresorium

Konidia cendawan diperoleh dari isolat yang berumur 7 hari pada media MEA (Lampiran 1). Sebanyak ±10 ml air steril dituang di atas kultur tersebut. Cawan selanjutnya digoyangkan selama 1 jam. Suspensi yang berisi konidia cendawan dimasukkan ke dalam falkon 15 ml dan divortek selama ±1 menit. Suspensi selanjutnya disentrifugasi pada kecepatan 10.000 xg selama 10 menit pada suhu 4oC. Supernatan dibuang dan pelet konidia diresuspensikan dengan penambahan 5 ml akuades steril. Jumlah konidia diatur sampai konsentrasi konidia berkisar (1-3x105/ml). Perkecambahan konidia dan terbentuknya apresorium diuji mengikuti metode Lee & Bostock (2006) yang dimodifikasi.

Pengamatan terhadap perkecambahan konidia dan pembentukan apresorium dilakukan dengan cara mengoleskan suspensi konidia ke bagian kulit kayu tanaman Aquilaria sp. sehat yang telah disterilisasi permukaannya. Kulit kayu disayat selanjutnya diletakkan di dalam cawan petri steril yang telah berisi kertas tissue basah. Pengamatan terbentuknya apresorium juga diamati dengan cara meletakan sebanyak 3-5 tetes suspensi konidia di atas gelas objek.


(30)

Pengamatan terbentuknya apresorium dilakukan 2, 4, 6, 8, dan 24 jam setelah inkubasi. Sebelum pengamatan, kulit kayu yang diberi perlakuan konidia direndam dengan biru tripan selama 20-30 menit, sedangkan konidia yang di atas gelas objek ditetesi dengan biru tripan. Kemudian diamati menggunakan mikroskop cahaya.

Uji Aktivitas Enzimatik

Aktifitas enzimatik yang diamati meliputi aktifitas lignolitik dan selulolitik. Aktifitas lignolitik diuji secara kualitatif sedangkan aktifitas selolitik dipelajari secara kualitatif dan kuntitatif. Aktivitas lignolitik yang diuji mencakup kemampuan cendawan dalam menghasilkan enzim polifenol oksidase, lakase, dan tirosinase mengikuti metode Gramms et al. (1998). Sedangkan aktivitas selulolitik yang diuji adalah kemampuan cendawan dalam menghasilkan enzim endoglukonase (CMC-ase).

Enzim polifenol oksidase dideteksi dengan cara menumbuhkan Fusarium sp. IPBCC. 08.569 pada media MEA dengan penambahan asam galat 0,05% (MEAG) atau dengan penambahan asam tanat 0,05% (MEAT) selama 7 hari pada suhu ruang. Terbentuknya warna coklat di bawah dan di sekitar koloni menunjukkan bahwa isolat bereaksi Bavedamm positif atau menghasilkan enzim polifenol oksidase. Sedangkan deteksi adanya lakase dan tirosinase dilakukan dengan melihat perubahan warna berturut-turut setelah penetesan 1-2 tetes 0,1 M 1-naftol pada posisi pukul 12 dan 1-2 tetes 0,1 M p-kresol pada posisi pukul 6 pada koloni isolat uji umur 7 hari pada media MEA yang diinkubasi pada suhu ruang. Perubahan warna diamati 1 jam dan 24 jam setelah penetesan. Terjadinya perubahan warna koloni dan medium di sekitar tempat penetesan 1-naftol menjadi biru sampai ungu menandakan terbentuknya lakase. Jika terbentuk merah orange sampai coklat setelah penetesan p-kresol menandakan terbentuknya tirosinase.

Aktivitas selulolitik diuji secara kualitatif mengikuti metode Teather & Petter (1987). Fusarium sp. IPBCC. 08.569 ditumbuhkan pada media agar CMC 1% (Lampiran 1) dalam dua tahapan dan masing-masing dalam tahapan penumbuhan, kultur diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Aktivitas selulolitik ditunjukkan dengan terbentuknya zona jernih pada medium tersebut.


(31)

17

Zona jernih yang terbentuk divisualisasikan dengan cara menuangkan pewarna merah kongo 0,1% selama 15 menit. Kemudian zat warna dibuang dan medium dibanjiri dengan 1M NaCl selama 15 menit. Pada saat ini zona bening akan tampak, sedangkan di luar zona jernih medium akan bewarna merah.

Analisis kuantitatif aktivitas selulolitik dilakukan dengan dua tahap yaitu persiapan ekstrak kasar enzim dan asai enzim. Ekstrak kasar enzim diperoleh dengan menanamkan 3 potongan inokulum (dengan diameter 0.5 cm/potongan) pada 100 ml medium cair CMC 1% dengan pH 7 di dalam erlenmeyer 250 ml. Inokulum berasal dari biakan yang ditumbuhkan dalam medium agar CMC 1% yang berumur 7 hari. Inkubasi dilakukan pada suhu ruang di dalam mesin penggoyang selama 7 hari. Filtrat biakan disaring dengan kertas saring Whatman no 1. Filtrat hasil saringan kemudian disentrifugasi dua kali dengan kecepatan 10.000 xg selama 10 menit, suhu 4oC. Filtrat yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk asai enzim CMC-ase.

Aktivitas CMC-ase diuji mengikuti metode Miller (1959). Sebanyak 0,5 ml filtrat ditempatkan dalam tabung reaksi 21 x 1.5 cm dan dicampur dengan 0,5 ml larutan CMC 1% dalam buffer posfat pH 7.5 (Lampiran 1), diinkubasi selama 60 menit pada suhu 30oC. Selanjutnya reaksi dihentikan dengan menambahkan 1 ml DNS (Lampiran 1) dan diinkubasikan selama 15 menit pada suhu 100oC. Absorbansi kemudian dibaca pada panjang gelombang 540 nm dengan spektrofotometer. Konsentrasi CMC-ase yang dihasilkan diperoleh melalui konversi absorbansi dengan menggunakan kurva standar glukosa (Lampiran 2). Aktivitas CMC-ase dinyatakan dalam unit per ml filtrat. Satu unit setara dengan satu mikromol glukosa yang dihasilkan selama 1 jam.

Uji Hipersensitif Toksin

Uji hipersensitifitas ekstrak kasar toksin dilakukan pada daun tembakau yang telah berumur ±4 bulan. Pertama-tama ekstrak kasar toksin diproduksi dengan cara menumbuhkan sebanyak tiga potong koloni cendawan (dengan diameter 0.5 cm/potongan) di dalam erlenmeyer yang telah berisi 100 ml media cair dekstrosa kentang. Kemudian cendawan diinkubasi pada suhu 28oC, sambil digoyang dengan kecepatan 121 rpm selama 7 hari. Filtrat biakan disaring dengan


(32)

kertas saring Whatman no 1. Filtrat hasil saringan kemudian disentrifugasi dua kali dengan kecepatan 5.000 xg selama 15 menit, suhu 4oC. Filtrat yang terbukti bebas dari konidia cendawan selanjutnya siap digunakan untuk uji aktivitas toksin.

Sebanyak ±1 ml filtrat yang telah bebas konidia cendawan dioleskan ke permukaan daun tembakau steril. Tanaman yang telah diberi perlakuan disungkup menggunakan plastik bening selama 2 hari. Setelah dua hari tutup plastik dibuka dan tanaman dibiarkan kembali tumbuh pada lingkungan biasa. Aktivitas toksin yang dihasilkan diamati secara visual dengan timbulnya gejala nekrosis pada permukaan daun yang diberi perlakuan. Sebagai kontrol digunakan daun yang hanya dioles dengan media cair dekstrosa kentang tanpa biakan isolat dan daun sehat tanpa perlakuan. Toksisitas dinyatakan sebagai rataan skor (Tabel 1).

Tabel 1 Cara penilaian aktivitas hipersensitifitas toksin

Skor Gejala

0 tidak adanya gejala nekrosis

1 kurang dari setengah luas permukaan daun yang mengalami nekrosis 2 lebih dari setengah luas permukaan daun yang mengalami nekrosis.

3.3.2.2Analisis Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

Analisis kolonisasi dilakukan dengan dua cara yaitu dengan menggunakan pewarna biru tripan dan SEM. Analisis kolonisasi cendawan diamati pada daerah kayu yang diinokulasi dan di luar daerah inokulasi (di atas dan di bawah kayu yang diinokulasi) pada 7, 14, dan 21 hari setelah inokulasi (7, 14, dan 21 hsi).

Inokulasi Cendawan ke Batang Aquilariasp.

Sebelum pengamatan kolonisasi, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 diinokulasikan pada batang bibit Aquilaria sp. sehat, umur ±1 tahun dengan diameter ±0,5 cm, dan tinggi ±30 cm. Bagian batang yang akan diinokulasi dilukai sepanjang ±2 cm dengan membuang setengah dari kulit dan kambium batang. Seluruh permukaan batang yang telah dilukai selanjutnya ditempel dengan isolat uji, dilapisi dengan kapas basah, dan terakhir dibalut dengan selotip. Sebagai pembanding digunakan batang tanaman yang hanya dilukai tanpa diberi


(33)

19

perlakuan sebagai kontrol positif dan tanaman yang sehat sebagai kontrol negatif. Inokulasi dilakukan pada 10 tanaman.

Pewarnaan Menggunakan Biru Tripan

Bagian kayu yang telah diinokulasi, kayu yang dilukai, dan kayu tanaman sehat dipotong dengan ukuran ± 0.5x0.5x0.5 cm. Kemudian kayu dicuci dengan akuades. Potongan kayu selanjutnya dibekukan pada suhu -18 oC sebelum disayat secara melintang dan membujur dengan mikrotom beku (Yamato RV-240).

Proses pewarnaan biru tripan dilakukan mengikuti metode Kormanick & McGraw (1982). Sayatan kayu direndam dalam larutan KOH 10% (v/v) pada suhu 90oC selama 30 menit dan direndam kembali pada suhu ruang selama 24 jam. Apabila selama proses tersebut kolonisasi cendawan masih belum bisa diamati, maka perendaman diperpanjang sampai kolonisasi cendawan dapat dibedakan dengan sel tanaman. KOH dibuang dan sisanya dihilangkan dengan membilas sebanyak 3 kali dengan akuades steril. Sayatan kayu direndam dalam larutan HCl 1N selama 2-3 jam. kemudian diwarnai dengan pewarna biru tripan 0.05% (Lampiran 1) selama 20-30 menit dan disimpan dalam larutan gliserin 50% (Kormik & Graw 1982). Sayatan yang telah diwarnai diamati di bawah mikroskop cahaya (Nikon Afx-dx dan Nikon Obtiphot 2). Proses kolonisasi yang terjadi selanjutnya didokumentasikan menggunakan kamera digital.

Pengamatan di bawah Mikroskop Pemindai Elektron (SEM)

Bagian kayu yang telah diinokulasi 7, 14, dan 21 hsi, kayu yang dilukai, dan kayu tanaman sehat dipotong sepanjang ±1 cm. Bagian kayu tersebut selanjutnya siap untuk dipreparasi. Preparasi diawali dengan membersihkan kayu di dalam caccodylate buffer ± 2 jam, kemudian diagitasi dalam ultrasonic cleaner selama 5 menit. Selanjutnya dilakukan proses prefiksasi dengan cara merendam kayu di dalam larutan glutaraldehyde 2.3% selama 2 hari. Sedangkan proses fiksasi dilakukan dengan cara merendam kayu di dalam tannic acid 2 % selama 6 jam, kemudian sampel dicuci 4 kali dengan caccodylate buffer selama 5 menit. Proses selanjutnya adalah proses dehidrasi, kayu secara bertahap direndam 4 kali di dalam alkohol 50% selama 5 menit, 1 kali di dalam alkohol 70% selama 20 menit, 1 kali di dalam alkohol 85% selama 20 menit, 1 kali di dalam alkohol 95% selama


(34)

20 menit, dan 2 kali di dalam alkohol absolut selama 10 menit. Terakhir dilakukan proses pengeringan dengan cara merendam kayu dua kali di dalam tert butanol selama 10 menit, dibekukan di dalam freezer sampai beku, dan terakhir dimasukkan ke dalam freezed drier sampai kering.

Kayu yang sudah kering diletakan di atas batang besi, kemudian bagian permukaan batang yang diinokulasi dan dilukai dilapisi dengan emas dalam technic Hummer V sputter coater. Pengamatan pada bagian dalam kayu yang terinfeksi dilakukan dengan membuang bagian permukaan kayu yang diinokulasi menggunakan mikrotom beku, kemudian dilapisi kembali dengan emas tanpa preparasi kembali. Selanjutnya struktur cendawan yang terdapat pada kayu yang terinfeksi diamati menggunakan mikroskop elektron model JSM 5000 LV yang dioperasikan pada tegangan 20 kv. Pengamatan menggunakan SEM dilakukan di laboratorium mikroskop SEM, Zoologi LIPI Cibinong.

3.3.3 Respon Aquilaria sp. terhadap Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

Respon tanaman terhadap isolat uji diamati dengan melihat gejala yang ditimbulkan setelah inokulasi. Gejala yang terjadi pada tingkat sel/jaringan diamati dengan uji histokimia. Sedangkan gejala yang teramati pada tingkat organ dinyatakan dalam bentuk rataan skor. Pengamatan terhadap gejala yang ditimbulkan diamati 7, 14, dan 21 hsi.

3.3.3.1Uji Histokimia

Uji histokimia yang diamati meliputi uji terpenoid dan pati. Bagian kayu yang telah diinokulasi dan daerah perubahan warna dipotong secara melintang menggunakan mikrotom beku (Yamato RV-240). Sayatan kayu kemudian direndam dalam larutan tembaga asetat 50% selama 30 menit untuk uji terpenoid (Martin et al. 2002). Sayatan selanjutnya diletakkan di atas gelas objek dan ditetesi dengan larutan gliserin 50%. Sedangkan untuk pengamatan pati, sayatan ditetesi dengan larutan I2KI 1% tanpa perendaman dengan larutan tembaga asetat

50%. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop cahaya. Sebagai kontrol digunakan sayatan batang tanaman yang hanya dilukai (kontrol positif) dan batang tanaman sehat (kontrol negatif).


(35)

21

3.3.3.2Gejala Luar

Gejala luar yang diamati pada tingkat organ berupa klorosis daun, perubahan warna kayu pada daerah terinfeksi, dan adanya aroma wangi yang dinyatakan dalam sistem skor 0-10 (Tabel 2). Selanjutnya dinyatakan dalam bentuk rataan skor pada setiap pengamatan.

Tabel 2 Sistem skor respon Aquilaria sp. terhadap inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

Nilai Gejala

Daun Warna Kayu Wangi

0 tidak klorosis/klorosis putih tidak wangi 1 tidak klorosis/klorosis putih kecoklatan tidak wangi 2 tidak klorosis/klorosis coklat tidak wangi 3 klorosis putih kecoklatan agak wangi 4 tidak klorosis putih kecoklatan agak wangi

5 klorosis coklat agak wangi

6 tidak klorosis coklat agak wangi

7 klorosis putih kecoklatan wangi 8 tidak klorosis putih kecoklatan wangi

9 klorosis coklat wangi

10 tidak klorosis coklat wangi

Rumus rataan skor adalah sebagai berikut :

Keterangan : Xn = Tanaman ke–n

Skor yang diperoleh menunjukkan tingkat pembentukan gaharu. Tingkat pembentukan gaharu dinyatakan dalam 3 kategori (Tabel 3).

Tabel 3 Kategori tingkat pembentukan gaharu

Kategori skor Tingkat pembentukan gubal gaharu

1 7-10 gaharu sudah terbentuk 2 3-6 gaharu mulai terbentuk 3 0-2 gaharu tidak terbentuk

Selain melakukan pengamatan terhadap perubahan warna kayu, pengamatan juga dilakukan terhadap pertambahan panjang dan dalam zona perubahan warna. Pertambahan panjang zona perubahan warna adalah panjang kayu yang


(36)

mengalami pertambahan panjang perubahan warna ke arah tajuk (atas) atau ke arah akar (bawah) dari daerah yang diinokulasi atau dilukai. Kulit kayu di sisi atas dan bawah daerah yang diinokulasi dan dilukai dikupas dan panjang perubahan warnanya diukur. Sedangkan kedalaman perubahan warna diamati pada sayatan melintang daerah yang diinokulasi atau dilukai.

3.3.4 Analisis Data

Data hasil pengamatan panjang dan dalam zona perubahan warna dianalisis dengan perangkat lunak SAS versi 9.1 menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dan RAL dengan waktu serta diuji F pada α = 5%. Bila terdapat pengaruh nyata dari perlakuan yang diamati maka setiap taraf perlakuan dibandingkan dengan menggunakan uji lanjut Duncan pada taraf 5%.


(37)

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 Proses Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak membentuk apresorium di permukaan kulit kayu Aquilaria sp utuh. Konidia membentuk tabung kecambah pada jam ke-6 (Gambar 2a) dan terus memanjang membentuk hifa pada jam ke-8 (Gambar 2b). Pengamatan pada jam ke-24 memperlihatkan adanya kumpulan miselium di permukaan kulit kayu (Gambar 2c). Kulit kayu Aquilaria sp. tidak memiliki lentisel dan hifa tidak ditemukan menembus permukaan kulit kayu.

Gambar 2 Perkecambahan konidia Fusarium sp. IPBCC. 08.569 di permukaan kulit kayu Aquilaria sp utuh. Konidia berkecambah (kb). (a) 6 jam, (b) 8 jam, dan (c) 24 jam.

Pada uji perkecambahan konidia secara in vitro di atas gelas objek, konidia belum berkecambah pada jam ke-0. Konidia baru mulai menunjukkan adanya perkecambahan pada jam ke-4, dan tabung kecambah terus memanjang membentuk hifa pada jam ke-6 dan ke-8. Jumlah konidia yang berkecambah sebesar 2.92% pada jam ke-4. Sampai pengamatan jam ke-8 persentase perkecambahan konidia meningkat, namun hanya mencapai 5.42% (Gambar 3). Sama halnya dengan pengamatan perkecambahan konidia pada permukaan kulit kayu, apresorium juga tidak terbentuk di atas gelas objek.

Gambar 3 Persentase perkecambahan konidia Fusarium sp. IPBCC. 08.569

5 µm 5 µm 5 µm

Miselium

kb hifa


(38)

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak memiliki kemampuan menembus kulit kayu sebagai penghalang fisik penetrasi serta persentase perkecambahan yang juga rendah, maka pada studi kolonisasi inokulasi dilakukan pada batang yang telah dilukai. Batang dilukai dengan jalan membuang kulit kayu dan jaringan floem. Inokulan yang diberikan berupa biomasa Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Sama halnya dengan pengamatan pembentukan apresorium di permukaan kulit kayu yang utuh dan di atas gelas objek apresorium juga tidak terbentuk pada permukaan kayu yang dilukai tempat kontak langsung dengan inokulan.

Setelah hifa dan konidia melekat di permukaan kayu yang dilukai (Gambar 4a), konidia berkecambah (Gambar 4b), selanjutnya membentuk hifa penetrasi (Gambar 4c). Hifa penetrasi tersebut masuk ke sel-sel xilem yang terluka (Gambar 4c). Pada jaringan parenkima jejari yang terluka, hifa berkembang ke sel tetangga melalui pori-pori sel (Gambar 4d).

Gambar 4 Perkecambahan konidia dan hifa penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 di permukaan kayu Aquilaria sp. yang dilukai pada 7 hsi. a) hifa dan konidia (k), b) konidia berkecambah (kb), c) hifa penetrasi (hp) masuk melalui jaringan terluka, dan d) hifa penetrasi (hp) di dalam parenkima jejari terluka menembus sel berikutnya melalui pori. Perbesaran 2000x.

hifa konidia

kb

pori hp

hp

a b


(39)

25

Meskipun Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak mampu membentuk apresorium, cendawan ini dapat menghasilkan enzim lignoselulolitik. Uji lignolitik Fusarium sp. IPBCC. 08.569 secara kualitatif di dalam media yang mengandung lignin membuktikan bahwa Fusarium sp. IPBCC. 08.569 mampu merombak atau menggunakan lignin sebagai sumber karbon. Fusarium sp. IPBCC. 08.569 mampu menggunakan beberapa sumber karbon kompleks seperti asam galat, asam tanat, naftol, dan p-kresol. Pada medium MEAG, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menyebabkan terjadinya perubahan warna medium menjadi kuning kecoklatan di permukaan bawah koloni (Gambar 5). Pada medium MEAT, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menyebabkan terjadi perubahan warna medium menjadi kuning kecoklatan di permukaan bawah koloni dan terbentuk zona bening di sekeliling koloni (Gambar 6). Terjadinya diskolorisasi pada media MEAG dan MEAT menunjukkan reaksi Bavedamm positif yang menjadi indikasi terbentuknya enzim polifenol oksidase.

Gambar 5 Diskolorisasi medium MEAG akibat aktifitas polifenol oksidase (kiri) dan kontrol (kanan) setelah 7 hari inkubasi.

Gambar 6 Diskolorisasi medium MEAT dan terbentuknya zona bening di sekeliling koloni akibat aktifitas polifenol oksidase (kiri) dan kontrol (kanan) setelah 7 hari inkubasi.

Fusarium sp. IPBCC. 08.569 juga menghasilkan lakase dan tirosinase. Lakase ditunjukkan oleh perubahan warna medium dan koloni menjadi ungu setelah 1 jam penetesan 0,1M 1-naftol, warna ungu menjadi semakin pekat setelah


(40)

pengamatan pada jam ke-24 (Gambar 7). Sedangkan tirosinase ditunjukkan oleh perubahan warna medium dan koloni menjadi kuning kemerahan setelah pengamatan 1 jam penetesan 0,1M p-kresol dan menjadi merah setelah pengamatan jam ke-24 (Gambar 7).

Gambar 7 Perubahan warna koloni Fusarium sp. IPBCC. 08.569 setelah ditetesi 0,1 M naftol (pk. 12.00) dan 0,1 M p-kresol (pk. 6.00). Sebelum penetesan (kiri) dan setelah penetesan (kanan). a) satu jam setelah penetesan, b) 24 jam setelah penetesan.

Fusarium sp. IPBCC. 08.569 juga memiliki aktivitas enzim selulolitik. Galur ini memiliki indeks selulolitik (Gambar 8) sebesar 0,039 dan aktivitas enzim sebesar 0,01 U/ml filtrat. Berdasarkan kemampuan cendawan dalam menggunakan CMC sebagai sumber karbon membuktikan Fusarium sp. IPBCC. 08.569 membentuk enzim CMC-ase.

Gambar 8 Zona jernih yang terbentuk pada medium CMC 1% sebelum divisualisasikan dengan merah kongo 1% (kiri) dan setelah divisualisasikan dengan merah kongo (kanan) 4 hari inkubasi. Selain menghasilkan enzim lignoselulolitik, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 juga menghasilkan toksin. Uji hipersensitifitas ekstrak kasar filtrat pada daun tembakau menyebabkan timbulnya gejala hipersensitifitas berupa nekrosis. Gejala hipersensitifitas yang ditimbulkan sangat rendah dengan rataan skor sebesar 0,43. Gejala nekrosis muncul pada hari ke-3. Pada pengamatan hari ke-5 dan ke-7 tidak terjadi penambahan gejala nekrosis (Gambar 9a). Berbeda dengan daun yang dioles dengan ekstrak kasar filtrat, pada daun baik yang hanya diolesi dengan


(41)

27

media cair dekstrosa kentang tanpa biakan isolat (Gambar 9b) maupun daun sehat (Gambar 9c) tidak terlihat adanya gejala nekrosis.

Gambar 9 Gejala hipersensitifitas daun tembakau a) setelah dioles dengan ekstrak kasar toksin, b) dioles media cair dekstrosa kentang tanpa biakan isolat, dan c) daun sehat pengamatan hari ke-5. Tanda panah menunjukkan bagian daun yang mengalami nekrosis.

Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 yang teramati sampai akhir pengamatan terbatas pada jaringan hidup. Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 pada 7 hsi ditemukan pada jaringan parenkima jejari dan lapisan pertama included phloem dari permukaan tempat inokulasi. Pada 14 hsi, kolonisasi telah mencapai setengah dari tebal jaringan xilem dan terdapat pada jaringan xilem yang sama dengan 7 hsi. Kolonisasi pada 21 hsi juga ditemukan pada jaringan yang sama dengan pengamatan sebelumnya pada daerah xilem dan berkembang ke bagian empelur. Kolonisasi ke arah luar daerah inokulasi baru teramati 14 hsi, ± 100 um ke arah atas dan bawah dari daerah inokulasi di jaringan xilem yang sama (hanya sebagian kecil dari daerah perubahan warna) dan tidak terjadi penambahan luas daerah kolonisasi pada pengamatan 21 hsi.

Struktur cendawan yang dibentuk di dalam sel tanaman setelah hifa penetrasi adalah vesikel/gelembung (Gambar 10a) dan hifa infeksi (Gambar 10b). Sedangkan struktur seperti haustorium tidak ditemukan. Hifa menembus sel tetangga melalui pori-pori sel (Gambar 10c) dan masuk ke dalam sel-sel di included phloem (Gambar 10d) yang terletak di dekat sel parenkima jejari yang terinfeksi. Infeksi cendawan menyebabkan jaringan included phloem mengalami kerusakan (Gambar 10d). Pada pengamatan 14 hsi, klamidospora ditemukan di permukaan batang yang diinokulasi (Gambar 10e).


(42)

Gambar 10 Perkembangan hifa dan kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 di dalam sel-sel jaringan xilem Aquilaria sp. a) vesikel (v) di dalam parenkima jejari pada 7 hsi, b) hifa infeksi (hi) di dalam parenkima jejari pada 14 hsi, c) hifa menembus sel tetangga melalui pori sel pada 14 hsi, d) hifa di dalam included phloem pada 14 hsi, dan e) struktur mirip klamidospora (k) pada 14 hsi. a,b,d, dan e merupakan hasil foto mikroskop, sedangkan c merupakan hasil foto SEM perbesaran 1500x.

Pada 21 hsi, struktur hifa yang berfragmentasi menyerupai konidia ditemukan pada beberapa sel included phloem (Gambar 11a) dan parenkima jejari (Gambar 11b) ±50 µm di bawah daerah yang diinokulasi. Sebagian dari fragmen tersebut berkecambah (Gambar 11b). Pada 21 hsi hifa sudah mencapai sel-sel di jaringan empelur (Gambar 11c).

hifa

hifa

v

1 µm

a)

hi

1 µm

b)

c)

e) 5 µm

1 µm

k


(43)

29

Gambar 11 Struktur hifa berfragmentasi (hb) menyerupai konidia pada 21 hsi di dalam included phloem (a) dan parenkima jejari (b), serta hifa di dalam sel-sel empelur (c). Gambar a dan b merupakan hasil foto SEM (perbesaran 2000 kali), sedangkan gambar c merupakan hasil foto mikroskop cahaya.

Berbeda dengan tanaman yang diinokulasi, pada tanaman yang dilukai (Gambar 12a & 12b) maupun tanaman yang sehat (Gambar 12c) tidak ditemukan adanya strutur cendawan.

Gambar 12 Sayatan membujur (a) kayu Aquilaria sp. yang dilukai, serta sayatan melintang (b) dan membujur (c) kayu Aquilaria sp. sehat pada 14 hsi. Parenkima jejari (pj), included phloem (ip), dan unsur trakea xilem (utx). Gambar a dan c merupakan hasil foto SEM perbesaran 750x, sedangkan b merupakan hasil foto mikroskop cahaya.

hb

hb

hifa

5 µm

a)

b)

c)

5 µm ip

pj utx pj

a) b) c)


(44)

4.1.2 Respon Aquilaria sp. terhadap Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569

Respon Aquilaria sp. terhadap inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 yang teramati pada tingkat sel dan jaringan berupa akumulasi senyawa terpenoid. Di daerah inokulasi, akumulasi senyawa terpenoid dapat ditemukan pada jaringan xilem di dalam parenkima jejari, included phloem (Gambar 13a), dan unsur trakea xilem (Gambar 13b) pada 7 hsi dan 14 hsi. Kemudian berlanjut ke daerah empelur pada pengamatan 21 hsi (Gambar 13c). Di luar daerah inokulasi, senyawa terpenoid ditemukan pada jaringan xilem yang sama dengan daerah inokulasi di daerah perubahan warna (Tabel 4), begitupun pada tanaman yang dilukai (Gambar 13d).

Pada tanaman sehat akumulasi senyawa terpenoid tidak ditemukan, namun pada jaringan parenkima jejari dan included phloem (Gambar14a), serta empelur (Gambar 14b) ditemukan adanya butir pati. Pada tanaman yang diinokulasi cendawan dan dilukai butir pati ditemukan pada jaringan yang sama di dalam sel yang tidak terdapat akumulasi terpenoid.

Gambar 13 Senyawa terpenoid (kuning kecoklatan) pada sayatan melintang kayu Aquilaria sp. a-c) setelah diinokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 pada 21 hsi dan d) setelah pelukaan pada 21 hsi. Parenkima jejari (pj), included phloem (ip), unsur trakea xilem (utx).

ip

5µm

d utx ip

5µm

a

utx

5µm

b

e

5µm

c

pj pj


(45)

31

Gambar 14 Akumulasi butir pati (biru kehitaman) pada sayatan melintang Aquilaria sp. sehat a) di dalam included phloem (ip) dan parenkima jejari (pj), serta b) di dalam empelur (e).

Respon tanaman akibat inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 yang teramati pada tingkat organ adalah klorosis daun, perubahan warna kayu di daerah inokulasi, dan terdeteksinya aroma wangi gaharu. Klorosis daun dan perubahan warna kayu juga terjadi pada tanaman yang dilukai, sedangkan aroma wangi gaharu tidak terdeteksi akibat pelukaan.

Daun yang mengalami klorosis adalah daun yang berada dekat daerah inokulasi dan juga dilukai (Gambar 15). Daun-daun yang klorosis dapat gugur atau bertahan sampai akhir pengamatan. Perubahan warna terjadi di daerah kayu yang diinokulasi dan dilukai. Perubahan warna yang terjadi berkisar dari putih kecoklatan sampai coklat. Inokulasi cendawan menyebabkan perubahan warna kayu menjadi coklat, sedangkan pelukaan menyebabkan warna menjadi putih kecoklatan sampai akhir pengamatan (Gambar 16). Pada tanaman sehat gejala tersebut tidak terjadi sampai akhir pengamatan.

Gambar 15 Klorosis daun Aquilaria sp. setelah diinokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 pada 7 hsi (kiri) dan tanaman sehat (kanan).

pj

ip

e

5µm

5µm

b a


(46)

Gambar 16 Perubahan warna kayu a) putih, b) putih kecoklatan, dan c) coklat. Inokulasi cendawan dan pelukaan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertambahan panjang dan dalam zona perubahan warna (P<0.01). Tingkat perubahan warna kayu tertinggi terjadi akibat inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 dan berbeda sangat nyata dengan pelukaan (Tabel 4). Periode inkubasi juga berpengaruh terhadap pertambahan panjang dan dalam zona perubahan warna kayu (Tabel 5). Pertambahan panjang zona perubahan warna akibat inokulasi cendawan hanya meningkat sampai pengamatan 14 hsi, kemudian menurun pada pengamatan 21 (Tabel 5).

Tabel 4 Pengaruh perlakuan terhadap zona perubahan warna (mm) kayu Aquilaria sp.

Perlakuan Zona perubahan warna panjang dalam

Fusarium sp. 9,9c 1,0c

Kontrol + 1,4b 0,3b

Kontrol - 0,0a 0,0a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Tabel 5 Pengaruh periode inkubasi terhadap zona perubahan warna (mm) kayu Aquilaria sp.

Periode inkubasi (hari)

Zona perubahan warna

Fusarium sp. Kontrol +

panjang dalam panjang dalam

7 7,9a 0,6a 0,4a 0,1a

14 11,6c 1,0b 2,0b 0,4b

21 10,3b 1,3b 1,8b 0,5b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata berdasarkan uji Duncan pada taraf 5%.

Respon tanaman yang teramati pada tingkat organ berupa klorosis daun, perubahan warna kayu, dan adanya aroma wangi yang dinyatakan dalam bentuk rataan skor. Rataan skor menunjukkan pengaruh inokulasi dan pelukaan terhadap terbentuknya gaharu. Inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 berpotensi

a

c


(47)

33

mengindulsi terbentuknya gaharu. Pengamatan yang dilakukan pada 7 hsi diperoleh rataan skor sebesar 3,73 yang berarti tanaman berpeluang menunjukkan pembentukan gaharu. Pada pengamatan 14 hsi rataan skor meningkat menjadi 7,8 yang berarti semua tanaman telah menunjukkan pembentukan gaharu. Namun pada pengamatan 21 hsi terjadi penurunan terbentuknya gaharu menjadi kategori ke-2 dengan rataan skor sebesar 5,64 (Tabel 6). Berbeda dengan tanaman yang diinokulasi, gejala terbentuknya gaharu tidak ditemukan pada tanaman yang dilukai saja. Pada pengamatan 7 hsi rataan skor sebesar 0, pada pengamatan 14 hsi rataan skor sebesar 1,27, dan pada 21 hsi rataan skor sebesar 1. Tanaman masih dikategorikan ke dalam kelompok ke-3 karena rataan skor masih berada di bawah 2 sampai akhir pengamatan (Tabel 6).

Tabel 6 Pembentukan gaharu akibat inokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08. 569 Perlakuan Rataan skor perubahan fisik dan pembentukan aroma wangi

7 hsi 14 hsi 21 hsi

Fusarium sp. 3,73 7,8 5,56

Kontrol + 0 1,27 1

Kontrol - 0,00 0,00 0,00

4.2 Pembahasan

Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak membentuk apresorium di permukaan kulit kayu Aquilaria sp. utuh maupun pada batang yang dilukai tempat kontak langsung dengan inokulan. Cendawan ini mirip dengan Fusarium oxysporum yang tidak membentuk apresorium di permukaan luar gandum yang masih utuh (Kang & Buchenauer 2002). Tapi berbeda dengan Fusarium moniliforme yang mampu membentuk apresorium pada saat menyerang benih kedelai (Rahman et al. 2010). Namun secara umum Fusarium spp. dilaporkan tidak membentuk apresorium untuk membantu penetrasi (Kikot et al. 2009). Fusarium sp. IPBCC. 08.569 diketahui tidak dapat menembus penghalang fisik penetrasi (kulit kayu), maka cendawan ini membutuhkan pelukaan untuk memulai penetrasi. Proses penetrasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 terjadi secara pasif melalui daerah yang terluka atau pori-pori sel.

Meskipun Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak mampu membentuk apresorium, cendawan ini dapat menghasilkan enzim lignoselulolitik. Enzim


(48)

lignoselulolitik yang dihasilkan diduga berperan dalam membantu penetrasi cendawan. Menurut Mendgen & Deising (1993) ketika cendawan patogen tidak membentuk apresorium, enzim ekstraseluler pendegradasi dinding sel yang dihasilkan diduga berperan dalam proses patogenesis. Tamuli et al. (2008) melaporkan bahwa Fusarium oxysporum juga menghasilkan enzim lignoselulolitik saat menginfeksi batang Aquilaria malaccensis. Aktivitas polifenol oksidase tertinggi dihasilkan pada 40 hari inkubasi (0,083 U/ml), sedangkan aktivitas selulase tertinggi dihasilkan pada 20 hari inkubasi (5,01 U/ml). Terjadinya perubahan aktivitas enzim yang dihasilkan diduga berperan dalam perkembangan infeksi dan gejala penyakit pada batang A. malaccensis (Tamuli et al. 2008).

Selain menghasilkan enzim lignoselulolitik, Fusarium sp. IPBCC. 08.569 juga menghasilkan senyawa toksin ekstraseluler yang menyebabkan sel tanaman menjadi nekrosis. Toksin yang dihasilkan kemungkinan juga berperan dalam proses penetrasi atau mungkin berperan untuk proses infeksi. Kang dan Buchenauer (1999) melaporkan bahwa Fusarium culmorum mengasilkan toksin trikotesen pada saat menginfeksi gandum. Toksin yang dihasilkan ditemukan pada dinding sel, organel sel, jaringan floem, dan xilem. Toksin yang ditemukan pada dinding sel diduga berperan dalam membantu penetrasi (Kang dan Buchenauer 1999), sedangkan toksin yang ditemukan di dalam sel dan jaringan inang berperan dalam perkembangan proses infeksi (Kang dan Buchenauer 2002).

Pengamatan lebih lanjut ke dalam jaringan Aquilaria sp. menunjukkan bahwa kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 terbatas pada jaringan hidup (parenkima jejari, included phloem dan empelur) tempat ditemukannya akumulasi pati. Ketika Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menginfeksi jaringan included phloem, terjadi kerusakan pada jaringan tersebut, karena included phloem memiliki dinding sel yang lebih tipis dibanding jaringan xilem lainnya. Enzim lignoselulolitik atau toksin yang dihasilkan diduga mampu merusak jaringan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Fusarium sp. IPBCC. 08.569 merupakan cendawan patogen dan tergolong kedalam kelompok cendawan hemibiotrof (Cooke 1978).


(49)

35

Kondisi lingkungan kurang menguntungkan untuk perkembangan cendawan, karena telah ditemukan klamidospora dipermukaan kayu yang diinokulasi pada 14 hsi. Diduga metode inokulasi yang digunakan kurang efektif untuk perkembangan cendawan. Menurut Jensen (2010) aerasi yang baik dibutuhkan untuk menjaga dan meningkatkan perkembangan kolonisasi cendawan di dalam tanaman gaharu sehingga dapat menghasilkan gaharu berkualitas. Cendawan ini diduga telah bersporulasi pada pengamatan 21 hsi dengan ditemukannya hifa berfragmentasi yang menyerupai konidia (Groenewald 2005).

Infeksi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 menyebabkan timbulnya respon non spesifik dan spesifik tanaman terhadap infeksi yang terjadi baik pada tingkat sel, jaringan maupun organ. Respon non spesifik yang teramati adalah akumulasi senyawa terpenoid, klorosis daun, dan perubahan warna kayu. Gejala tersebut selain terjadi pada batang yang diinokulasi, juga terjadi pada batang yang hanya dilukai. Sedangkan respon spesifik dicirikan dengan terbentuknya aroma wangi khas gaharu dan hanya terdeteksi pada batang yang diinokulasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Hal yang sama juga pernah dilaporkan oleh Putri et al. (2008) bahwa inokulasi isolat uji dan pelukaan pada Aquilaria crassna menyebabkan terjadinya respon non spesifik dan spesifik tanaman terhadap perlakuan.

Senyawa terpenoid diduga merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan Aquilaria sp. sebagai respon terhadap luka dan infeksi Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Senyawa terpenoid tersebut disintesis di dalam jaringan hidup (parenkima jejari, included phloem, dan empelur) yang akan merusak akumulasi pati ketika proses infeksi dan pelukaan terjadi. Menurut Qi et al. (2005); Okudera & Ito (2009) seskuiterpenoid (golongan terpenoid) dibentuk pada sel hidup. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Nobuchi dan Siripatanadilok (1991) bahwa parenkima merupakan tempat terjadinya biosintesis senyawa gaharu. Kandungan pati dalam parenkima akan menurun setelah pelukaan atau inokulasi cendawan. Sedangkan senyawa terpenoid yang ditemukan pada unsur trakea xilem diduga hanya tempat deposit tapi bukan tempat sintesis senyawa terpenoid.

Respon tanaman yang teramati pada tingkat organ berupa klorosis daun diduga berhubungan dengan terganggunya ketersediaan hara akibat adanya


(50)

pelukaan. Kekurangan hara tersebut menyebabkan daun menjadi kekurangan pigmen klorofil sehingga daun menjadi klorosis (Nieamann & Visintini 2005). Sedangkan perubahan warna kayu diduga terjadi akibat adanya akumulasi senyawa terpenoid dalam jaringan kayu. Terjadinya perluasan perubahan warna di luar daerah infeksi diduga merupakan respon hipersensitif tanaman untuk membatasi infeksi Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Menurut Prins et al. (2000) respon hipersensitifitas tanaman bisa berupa terjadinya nekrosis sel dan adanya akumulasi senyawa pertahananan.

Inokulasi cendawan menyebabkan terjadinya perubahan warna lebih gelap dibanding pelukaan. Selain itu inokulasi cendawan juga menyebabkan panjang dan dalam zona perubahan warna yang sangat berbeda nyata bila dibandingkan akibat pelukaan. Infeksi cendawan diduga menyebabkan peningkatan akumulasi senyawa terpenoid, sehingga warna menjadi lebih gelap dan lebih panjang. Perubahan warna masih digunakan sebagai indikator kayu gaharu akan menghasilkan senyawa gaharu. Semakin gelap warna yang dihasilkan, semakin tinggi tingkat gubal gaharu yang dihasilkan (Ng et al. 1997; Barden et al. 2000).

Aroma wangi hanya terdeteksi pada kayu yang diinokulasi dengan Fusarium sp. IPBCC. 08.569. Diduga senyawa utama aroma wangi gaharu (turunan seskuiterpenoid dan peniletil kromon) tidak terbentuk akibat adanya pelukaan namun karena infeksi cendawan. Inokulasi cendawan pada tanaman gaharu dapat menginduksi terbentuknya seskuiterpenoid yang merupakan kelompok terpenoid (Ishihara et al. 1991; Qi 1995; Michiho 2005; Bhuiyan et al. 2009; Fudai et al. 2009; Okudera & Ito 2009). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Qi (1995); Qi et al. (2005); dan Bhuiyan et al. (2009) bahwa senyawa utama yang berperan dalam menghasilkan aroma wangi gaharu (seskuiterpenoid dan turunan peniletil kromon) tidak ditemukan pada pohon Aquilaria sp. yang sehat maupun tanaman yang hanya dilukai, tapi pada pohon yang sakit dan terinfeksi. Diduga cendawan merangsang sintesis senyawa tersebut.

Fusarium sp. IPBCC. 08.569 berpotensi menginduksi terbentuknya gaharu, sedangkan pelukaan tidak berpotensi dalam menginduksi terbentuknya gaharu. Hal tersebut didukung dengan hasil rataan skor yang diperoleh. Terjadinya


(51)

37

perubahan peningkatan dan penurunan gejala pembentukan gaharu diduga karena metabolit sekunder yang berperan dalam pembentukan senyawa gaharu terus berubah-ubah di dalam pohon gaharu. Perubahan tersebut diduga berhubungan dengan aktivitas infeksi cendawan. Senyawa gaharu yang dihasilkan akan meningkat bersamaan dengan mulai terjadinya proses infeksi dan aroma wangi menurun dan hilang bersamaan dengan berhentinya proses infeksi cendawan. Selain karena proses infeksi berhenti, terjadinya penurunan rataan skor pada akhir pengamatan diduga juga disebabkan karena penguapan senyawa terpenoid (seskuiterpenoid). Senyawa seskuiterpenoid merupakan senyawa yang mudah menguap dan diduga berpengaruh terhadap perubahan warna dan terbentuknya aroma wangi (Okudera & Ito 2009). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Okudera & Ito (2009) bahwa terjadi penurunan jumlah senyawa seskuiterpenoid yang dihasilkan Aquilaria sp. setelah beberapa minggu diberi perlakuan metil jasmonat, asam salisilat, atau ß-glucan, diduga hal tersebut terjadi karena senyawa seskuiterpenoid yang dihasilkan menguap ke udara.


(1)

Ogel et al. 2006. Production, properties and application to biocatalysis of a novel extracellular alkaline phenol oxidase from the thermophilic fungus Scytalidium thermophilum. Microbiol Biotechnol 71: 853–862.

Pojanagaroon S, Kaewrak. 2002. Mechanical methods to stimulate aloewood formation in Aquliaria crassna (Kritsana) trees [Abstract]. Acta Horticul 676: 161-166.

Perez J et al. 2002. Biodegradation and biological treatments of cellulose, hemicellulose and lignin: an overview. Int Microbiol 5: 53-63.

Ploetz RC. 2005. Fusarium induced diseases of tropical, perennial crops. Phytopathol 96: 648-652.

Prins TW et al. 2000. Infection strategy of Botrytis cinera and related necrotrophic pathogens. Di dalam: JW Kronstad, editor. Fungal Pathology. London: Kluwer Academic Publishers. Hlm 33-64.

Putri AL, Gayuh R, Juliarni. 2008. Induksi pembentukan senyawa terpenoid pada pohon gaharu (Aquilaria crassna) dengan Acremonium sp. dan metil jasmonat. Enviagro 2: 23-28.

Qi SY. 1995. Aquilaria spesies: In vitro culture and production of eaglewood (agarwood). Di dalam: Bajaj YPS, editor. Biotechnology in Agriculture and Forestry 33. Volume ke-15. New York: Springer. Hlm 36-46. Qi SY et al. 2005. Production of 2-(2-phenylethyl) chromones in Cell Suspension

cultures of Aquilaria sinensis. Plant Cell Tissue Organ Cult 83: 217–221. Rahayu G. 2009. Status penelitian dan pengembangan gaharu di Indonesia.

Makalah Seminar Menuju Produksi Gaharu Secara Lestari di Indonesia. Bogor: IPB International Convention Center, 12 November. Hlm A1 Rahman ME et al. 2010. Scanning eletron microscopy of invasion process by

Fusarium moniliforme on soybean seed. Plant Protection Res 50: 288-292.

Ramanathan G, S Banupriya, D Abirami. 2010. Production and optimization of cellulase from Fusarium oxysporum by submerged fermentation. Scien Ind Res 69: 454-459.

Santoso E. 1996. Pembentukan gaharu dengan cara inokulasi. Makalah diskusi hasil penelitian dalam menunjang pemanfaatan hutan yang lestari. Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, 11-12 Maret 1996. Hlm 1-3.

Seo JA, Kim JC, Lee YW. 1996. Isolation and characterization of two new type C fumonisins produced by Fusarium oxysporum. Nat Prod 59: 1003-1005. Siregar MEB, 2009. Potensi dan induksi pembentukan gubal gaharu (Aquilaria

malaccensis) di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Makalah Seminar Menuju Produksi Gaharu Secara Lestari di Indonesia. Bogor: IPB International Convention Center, 12 November 2009. Hlm A7.

Soehartono T, Newton AC. 2001. Reproductive ecology of Aquilaria spp. in Indonesia. Forest Ecol Manage 152: 59-71.


(2)

43

Tamuli P, Baruah P, R Samanta. 2008. Enzyme activities of agarwood (Aquilaria malaccensis Lamk.) stem under pathogenesis. Spic Arom Crops 17 : 240–243.

Teather RM, Petter JW. 1987. Use of congo red-polysaccharide interaction in enumeration and characterization of cellulolytic bacteri from the bovine rumen. Appl Environ Microb 43: 777-780.

Waller JM. 2002. Disiase diagnosis and investigation “Microscopy”. Di dalam Waller JM, Lenne JM, & SJ Waller, editor. Plant Pathologist’s 3rd Edition. New York: CABI Publishing. Hlm. 216-220.

Wang B, and Jeffers SN. 2000. Fusarium root and crown rot: A disease of container-grown hosts. Plant Dis. 84:980-988.

Zwenger S, C Basu. 2008. Plant terpenoid: application and future potentials. Biotech Mol Biol 3: 001-007


(3)

(4)

45

Lampiran 1 Komposisi medium dan bahan yang digunakan

Medium Malt Extract Agar

Ekstrak malt 20 gr

Agar 15 gr

Akuades 1 l

Medium agar CMC 1 %

CMC 10 gr

MgSO4.7H2O 0,2 gr

KNO3 0,75 gr

K2HPO4 0,5 gr

FeSO4. 7H2O 0,02 gr

CaCl2.2H2O 0,04 gr

Agar 15 gr

Glukosa 1 gr

Antibiotik 0,25 gr

Akuades 1 l

Larutan CMC 1 %

CMC 1 gr

Air hangat 90 ml

Larutan buffer phospat pH 7.5 10 ml

Pereaksi DNS

NaOH padat 10 gr

KNO tartrat 182 gr

Na2SO3 0,5 gr

DNS 10 gr

Akuades 1 l

Pewarna Biru tripan 0,05%

Biru tripan 50 gr

Asam laktat 33,3 ml

Gliserin 33,3 ml


(5)

Lampiran 2 Kurva standar glukosa

y = 0.5276x + 0.0217 R2 = 0.9973

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

Konsentrasi glukosa (mg/ml)

A

b

s

o

rb

a

n


(6)

Dokumen yang terkait

Pengelompokan Isolat Fusarium oxysporum f.sp.cubense Dari Beberapa Jenis Pisang (Musa spp.) Serta Uji Antagonisme Fusarium oxyspomm Non Patogenik Dan Trichoderma koningii Di Laboratorium

0 30 85

Potensi Cendawan Endofit Dalam Mengendalikan Fusarium Oxysporum F.SP. Cubense Dan Nematoda Radopholus Similis COBB. Pada Tanaman Pisang Barangan (Musa Paradisiaca) Di Rumah Kaca

0 42 58

Teknik PHT Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysforum f. sp capsici Schlecht) Pada Tanaman Cabai Merah (Capsicum armuum L.) di Dataran Rendah.

0 27 138

Uji Antagonis Trichoderma spp. Terhadap Penyakit Layu (Fusarium oxysforum f.sp.capsici) Pada Tanaman Cabai (Capsicum annum L) Di Lapangan

3 52 84

Uji Sinergisme F.oxysporum f.sp cubense Dan Nematoda Parasit Tumbuhan Meioidogyne spp. Terhadap Tingkat Keparahan Penyakit Layu Panama Pada Pisang Barangan (Musa sp.) di Rumah Kassa

0 39 72

Karakterisasi interaksi antara tanaman aquilaria microcarpa baill dengan fusarium solani dalam pembentukan gaharu

3 11 84

Efektivit As Dan Interaksi Ant Ara Acremonium Sp. Dan Fusarium Sp. Dalam Pembentukan Gubal Gaharu P Ada Aquilaria microcarpa Baill

1 7 15

Karakterisasi interaksi antara tanaman aquilaria microcarpa baill dengan fusarium solani dalam pembentukan gaharu

1 7 155

Interaksi Antara Biak Suspensi Sel Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.) Dan Fusarium Sp. Dalam Menghasilkan Senyawa Seskuiterpena

4 13 77

PENGARUH INOKULUM JAMUR (Fusarium sp, Trikoderma sp) DAN STRESSING AGENT TERHADAP PEMBENTUKAN GUBAL GAHARU (Aquilaria malacensis).

0 4 6