Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Fraksi N-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.)

(1)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN SKRINING FITOKIMIA

SERTA ISOLASI SENYAWA STEROID/TRITERPENOID

DARI FRAKSI

n

-HEKSANA DAUN GAHARU

(

Aquilaria malaccensis

Lam.

)

SKRIPSI

OLEH:

INTAN PURNAMASARI

NIM 121524091

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN SKRINING FITOKIMIA

SERTA ISOLASI SENYAWA STEROID/TRITERPENOID

DARI FRAKSI

n

-HEKSANA DAUN GAHARU

(

Aquilaria malaccensis

Lam.

)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

INTAN PURNAMASARI

NIM 121524091

*

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN SKRINING FITOKIMIA

SERTA ISOLASI SENYAWA STEROID/TRITERPENOID

DARI FRAKSI

n

-HEKSANA DAUN GAHARU

(

Aquilaria malaccensis

Lam.)

OLEH:

INTAN PURNAMASARI NIM 121524091

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Pada Tanggal: 21 November 2014 Disetujui Oleh:

Pembimbing I, Panitia Penguji,

Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt. Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt. NIP 195112231980032002 NIP 195709091985112001

Dra. Herawaty Ginting, M.Si., Apt.

Pembimbing II, NIP 195112231980032002

Dr. M. Pandapotan Nasution, M.P.S., Apt. Dr NIP 194908111976031001 NIP 195107231982032001

Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt.

NIP 195304031983032001 Medan, Desember 2014

Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt.


(4)

KARAKTERISASI SIMPLISIA DAN SKRINING FITOKIMIA SERTA ISOLASI SENYAWA STEROID/TRITERPENOID

DARI FRAKSI n-HEKSANA DAUN GAHARU (Aquilaria malaccensis Lam.)

ABSTRAK

Gaharu (Aquilaria malaccensis Lam.) merupakan salah satu tanaman aromatik dari suku Thymelaeaceae. Daun gaharu dimanfaatkan sebagai minuman herbal yang berkhasiat mengobati berbagai macam penyakit, seperti diabetes, asma, reumatik dan meredakan stress. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik simplisia, dan skrining fitokimia untuk mengetahui golongan senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam daun gaharu serta mengisolasi senyawa steroid/triterpenoid. Isolat yang diperoleh dikarakterisasi secara spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri inframerah (IR). Penelitian ini meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, dan ekstraksi yang dilakukan secara perkolasi dengan pelarut etanol 96%, kemudian ekstrak yang diperoleh di fraksinasi dengan pelarut n-heksana. Fraksi n-heksana diisolasi dengan kromatografi kolom (KK) dan kristal yang diperoleh dicuci dengan metanol dingin, isolasi steroid/triterpenoid dilakukan secara kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif. Kemurnian isolat ditentukan dengan kromatografi lapis tipis (KLT) satu arah dengan 3 pelarut yang berbeda dan KLT 2 arah, isolat yang diperoleh dikarakterisasi menggunakan spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri inframerah (IR).

Hasil karakterisasi simplisia daun gaharu meliputi kadar air 4,32%, kadar sari yang larut air 12,09% kadar sari yang larut etanol 9,56% kadar abu total 7,78% dan kadar abu yang tidak larut asam 0,62% Hasil skrining fitokimia simplisia daun gaharu memberikan hasil positif terhadap flavonoid, tanin, steroid/triterpenoid, glikosida dan saponin. Tiga isolat murni yang diperoleh mempunyai harga Rf isolat 1 = 0,53 berwarna merah ungu, isolat 2 = 0,42 dan isolat 3 = 0,34 berwarna hijau biru. Hasil isolat yang diperoleh dianalisis secara spektrofotometri ultraviolet memberikan absorbansi maksimum pada panjang gelombang untuk isolat 1 λmax= 205 nm, isolat 2 λmax= 207,5 nm dan isolat 3 λmax = 210 nm, hal ini menunjukkan adanya gugus kromofor dan hasil spektrofotometri inframerah menunjukkan adanya gugus C-O,-CH3,-CH2, C=C, C-H alifatis, –OH pada masing–masing isolat. Ketiga isolat yang diperoleh termasuk golongan senyawa steroid/triterpenoid.

Kata kunci: gaharu, Aquilaria malaccensis, karakterisasi, skrining fitokimia, isolasi, steroid/triterpenoid.


(5)

SIMPLEX CHARACTERIZATION AND PHYTOCHEMICAL SCREENING AND ISOLATION OF STEROID/TRITERPENOID

COMPOUNDS FROM n-HEXANE FRACTION OF AGARWOOD LEAVES (Aquilaria malaccensis Lam.)

ABSTRACT

Agarwood (Aquilaria malaccencis Lam.) is an aromatic plant of the family Thymelaeaceae. The leaves are used as herbal tea that can cure a variety of diseases, such as diabetes, asthma, rheumatic and to relieve stress. The purpose of this research was to determine the simplex characteristics, and to determine the group of compounds contained in agarwood leaves and the isolation of steroid/triterpenoid compounds. The isolates were characterized by ultraviolet and infrared spectrophotometries.

This research included simplex characterization, phytochemical screening, extraction of steroid/triterpenoid by percolation with 96% ethanol, then extract was fractionated with n-hexane solvent. n-Hexane fraction of agarwood leaves was subjected to column chromatography and the resulting crystals were washed with cold methanol, isolation of steroid/triterpenoid was accomplished using preparative thin layer chromatography. The purity of isolates were confirmed by one-way thin layer chromatography with 3 different solvents and two-dimensional Thin Layer Chromatography, the pure isolate was characterized by ultraviolet and infrared spectrophotometries.

The result of simplex characterization gave the water content 4.32%, water-soluble extract 12.09%, ethanol-soluble extract 9.56%, total ash 7.78%, acid-insoluble ash 0.62%. The result of phytochemical screening of agarwood leaves gave positive results for the presence of flavonoid, steroid/triterpenoid, tanin, glycosides and saponin. Three pure isolates were obtained with Rf = 0.53 with red purple colour for the isolate 1, Rf = 0.42 for the isolate 2 and Rf = 0.34 for the isolate 3 with green blue colour. The measurement of UV spectrum gave maximum absorption at wavelength of 205 nm for the isolate 1, λmax = 207.5 nm for the isolate 2 and λmax = 210 nm for the isolate 3, indicating the presence of chromophore and the results of infrared spectrrum indicated the presence of C-O,-CH3,-CH2, C=C, C-H aliphatic and –OH functional groups. All isolates were inferred to be steroid/triterpenoid compounds.

Key words: agarwood, Aquilaria malaccensis, characterization, phytochemical screening, isolation, steroid/triterpenoid


(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah Swt. atas segala limpahan berkat, rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Karakterisasi dan Skrining Fitokimia serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid dari Fraksi n-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria malaccensis Lam.)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat mencapai gelar sarjana farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., selaku Dekan Fakultas Farmasi USU Medan, yang telah memberikan fasilitas sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan. Ibu Dra. yang telah membimbing dan memberikan petunjuk serta saran-saran selama penelitian hingga selesainya skripsi ini. Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU Medan yang telah mendidik selama perkuliahan. Bapak dan Ibu Kepala Laboratorium Penelitian dan Farmakognosi yang telah memberikan fasilitas, petunjuk dan membantu selama penelitian. Ibu Dr. Marline Nainggolan, M.S., Apt., Ibu Dra. Suwarti Aris, M.Si., Apt., dan Ibu Dra. Aswita Hafni Lubis, M.Si., Apt., selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik, saran dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang tiada terhingga kepada Ayahanda H. Supriyadi, S.H., dan Ibunda Hj. Armawati, S.H., S.Mn., M.H., yang telah memberikan semangat, doa yang tulus dan pengorbanan


(7)

baik moril maupun materi, juga kepada adik-adikku tersayang Widya Kumalasari, Amelia Hapsari dan Choirunnisa Alqholiasari yang selalu memberi doa, dorongan dan semangat.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.

Medan, Desember 2014 Penulis

Intan Purnamasari NIM 121524091


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tumbuhan ... 6

2.1.1 Daerah tumbuh ... 6

2.1.2 Nama daerah dan nama asing ... 7

2.1.3 Sistematika tumbuhan ... 7


(9)

2.1.5 Kandungan kimia ... 9

2.1.6 Kegunaan ... 9

2.2 Uraian Kandungan Kimia Tumbuhan ... 10

2.2.1 Alkaloid ... 10

2.2.2 Flavonoid ... 11

2.2.3 Saponin ... 12

2.2.4 Tanin ... 12

2.2.5 Glikosida ... 13

2.2.6 Glikosida antrakuinon ... 15

2.2.7 Steroid/ triterpenoid ... 15

2.3 Ekstraksi ... 18

2.4 Fraksinasi ... 20

2.5 Kromatografi ... 20

2.5.1 Kromatografi lapis tipis ... 21

2.5.2 Kromatografi kolom ... 24

2.5.3 Kromatografi lapis tipis preparatif ... 25

2.5.4 Kromatografi lapis tipis dua arah ... 26

2.6 Spektrofotometri ... 27

2.6.1 Spektrofotometri ultraviolet ... 27

2.6.2 Spektrofotometri inframerah ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1 Alat-alat ... 29

3.2 Bahan-bahan ... 29


(10)

3.3.1 Pereaksi Bouchardat ... 30

3.3.2 Pereaksi Meyer ... 30

3.3.3 Pereaksi Dragendorff ... 30

3.3.4 Pereaksi Molisch ... 30

3.3.5 Pereaksi asam klorida 2N ... 30

3.3.6 Larutan asam sulfat 2N ... 31

3.3.7 Larutan asam nitrat 0,5 N ... 31

3.3.8 Larutan timbal (II) asetat 0,4 M ... 31

3.3.9 Larutan besi (III) klorida 1% b/v ... 31

3.3.10 Larutan pereaksi kloralhidrat 70% b/b ... 31

3.3.11 Larutan Pereaksi Liebermann-Burchard ... 31

3.4 Penyiapan Bahan Tumbuhan ... 31

3.4.1 Pengumpulan tumbuhan ... 31

3.4.2 Identifikasi tumbuhan ... 32

3.4.3 Pengolahan tumbuhan ... 32

3.5 Pemeriksaan Mikroskopik Daun Gaharu Segar ... 32

3.6 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 32

3.6.1 Pemeriksaan makroskopik ... 33

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik simplisia ... 33

3.6.3 Penetapan kadar air ... 33

3.6.4 Penetapan kadar sari yang larut air ... 34

3.6.5 Penetapan kadar sari yang larut etanol ... 34

3.6.6 Penetapan kadar abu total ... 35


(11)

3.7 Skrining Fitokimia ... 35

3.7.1 Pemeriksaan alkaloid ... 35

3.7.2 Pemeriksaan flavonoid ... 36

3.7.3 Pemeriksaan tanin ... 36

3.7.4 Pemeriksaan glikosida ... 36

3.7.5 Pemeriksaan saponin ... 37

3.7.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ... 37

3.7.7 Pemeriksaan glikosida antrakinon ... 37

3.8 Pembuatan Ekstrak Etanol dan Fraksinasi ... 38

3.8.1 Pembuatan ekstrak etanol daun gaharu ... 38

3.8.2 Fraksinasi ekstrak etanol ... 38

3.9 Analisis Fraksi n-heksana secara KLT ... 39

3.10 Pemisahan Fraksi n-heksana dengan Kromatografi Kolom . 40

3.11 Pencucian Kristal Isolat ... 41

3.12 Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid secara KLT Preparatif 41

3.13 Uji Kemurnian terhadap Isolat ... 42

3.13.1 Uji KLT satu arah ... 42

3.13.2 Uji KLT dua arah ... 42

3.14 Karakterisasi Isolat ... 43

3.14.1 Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri UV ... 43

3.14.2 Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri IR ... 43

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

4.1 Hasil Identifikasi Sampel ... 45


(12)

4.3 Hasil Skrinning Fitokimia ... 47

4.4 Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi ... 49

4.5 Hasil Analisis Fraksi n-heksana dengan cara Kromatografi Lapis Tipis ... 49

4.6 Hasil Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid dari Fraksi n-heksana Daun Gaharu dengan Kromatografi Kolom ... 50

4.7 Hasil Uji Kemurnian dengan KLT satu arah ... 51

4.8 Hasil Uji Kemurnian dengan KLT dua arah ... 51

4.9 Hasil Karakterisasi Isolat dengan Spektrofotometri Sinar Ultra Violet ... 52

a. Isolat 1 ... 52

b. Isolat 2 ... 52

c. Isolat 3 ... 53

4.9 Hasil Karakterisasi Isolat dengan Spektrofotometri Sinar Inframerah ... 55

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1 Kesimpulan ... 56

5.2 Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 4.1 Tabel hasil karakteristik simplisia daun gaharu ... 45 Tabel 4.2 Tabel hasil skrining fitokimia dari simplisia daun gaharu .... 47 Tabel 4.3 Tabel hasil Rf hasil analisis fraksi n-heksana dengan cara

kromatografi lapis tipis ... 48 Tabel 4.4 Tabel hasil analisis spektrum inframerah ... 53


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Gambar struktur nikotin ... 11

Gambar 2.2 Gambar struktur kuersetin ... 11

Gambar 2.3 Gambar struktur ikatan karbon-oksigen antara gula dan cincin aromatik ... 14

Gambar 2.4 Gambar struktur ikatan karbon-karbon antara gula dan cincin aromatik ... 14

Gambar 2.5 Gambar struktur sinigrin ... 14

Gambar 2.6 Gambar struktur nikleosidin ... 15

Gambar 2.7 Gambar struktur antrakuinon ... 15

Gambar 2.8 Gambar struktur asam glisiretat ... 16

Gambar 2.9 Gambar struktur β-sitosterol ... 16

Gambar 2.10 Gambar struktur diosgenin ... 16

Gambar 2.11 Gambar struktur digitogenin ... 16

Gambar 2.12 Gambar struktur dasar steroida dan sistem penomorannya 17

Gambar 2.13 Gambar struktur kolesterol ... 18

Gambar 2.14 Gambar struktur β-sitosterol dan stigmasterol ... 18

Gambar 2.15 Rumus bangun ergosterol ... 18

Gambar 2.16 Rumus bangun spongesterol ... 18

Gambar 4.1 Spektrum inframerah isolat pertama ... 53

Gambar 4.2 Spektrum inframerah isolat kedua ... 54


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Identifikasi tumbuhan ... 59

Lampiran 2 Bagan kerja penelitian ... 60

Lampiran 3 Bagan pembuatan ekstrak etanol daun gaharu ... 61

Lampiran 4 Gambar makroskopik tumbuhan gaharu ... 62

Lampiran 5 Gambar mikroskopik dari daun gaharu ... 64

Lampiran 6 Perhitungan hasil penetapan kadar ... 66

Lampiran 7 Bagan isolasi senyawa steroid dari daun gaharu ... 71

Lampiran 8 Gambar kromatogram dari fraksi n-heksana daun gaharu 72

Lampiran 9 Kromatogram KLT dari hasil fraksinasi kolom ... 73

Lampiran 10 Kromatogram hasil KLT Preparatif dari F7 ... 78

Lampiran 11 Kromatogram hasil KLT satu arah isolat pertama ... 79

Lampiran 12 Kromatogram hasil KLT satu arah isolat kedua ... 80

Lampiran 13 Kromatogram hasil KLT satu arah isolat ketiga ... 81

Lampiran 14 Kromatogram hasil KLT dua arah isolat pertama ... 82

Lampiran 15 Kromatogram hasil KLT dua arah isolat kedua ... 83


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang mempunyai hutan tropis terluas kedua di dunia setelah Brazil dan menduduki peringkat pertama di Asia Pasifik. Khusus dari hasil hutannya, hutan tropis Indonesia mempunyai kurang lebih 27 spesies pohon gaharu yang dikelompokkan ke dalam delapan marga dan tiga suku yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan Irian (Sumarna, 2005).

Pohon gaharu merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan yang telah dibudidayakan dengan teknik kultur jaringan. Gaharu dikenal sebagai pohon termahal di dunia. Nilai ekonomis gaharu terletak pada gubal gaharu yang muncul setelah pohon gaharu terinfeksi dan mati. Gubal gaharu mengandung resin atau damar yang berbau harum apabila dibakar. Aroma khas gaharu inilah yang terkenal dan disukai oleh masyarakat Asia, Timur Tengah, daratan Cina, Jepang, Uni Emirat sampai ke Eropa (Sumarna, 2002).

Dilihat dari segi pemanfaatan, semula tanaman gaharu memiliki nilai guna terbatas hanya untuk mengharumkan tubuh dan ruangan serta kelengkapan upacara ritual keagamaan masyarakat Hindu, Buddha dalam bentuk dupa dan tasbih. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta didukung dengan tren back to nature yang berkembang pada masyarakat, saat ini pemanfaatan tanaman gaharu telah berkembang demikian meluas antara lain untuk bahan baku industri kosmetik, parfum, aroma terapi, sabun, body lotion dan obat-obatan tradisional (Susetya, 2014).


(17)

yaitu pada daun yang telah dikeringkan, gubal gaharu, serbuk kayu, akar gaharu, dan kandungan minyak atsirinya. Di Cina dan Jepang gaharu dikenal sebagai obat reumatik, obat untuk meredakan stress, liver, radang lambung dan kanker. Di Indonesia, secara tradisional masyarakat Papua telah menggunakan daun, kulit dan akar gaharu sebagai obat malaria dan perawatan kulit. Kini sudah dikembangkan daun gaharu dari jenis Aquilaria dan Gyrinops yang diolah menjadi bahan baku pembuatan produk minuman herbal (teh dan sirup) karena kandungan zat antioksidan dalam daun yang cukup tinggi (Sumarna, 2002). Menurut penelitian Pranakhon (2011), seorang penderita diabetes di Thailand yang mengkonsumsi teh daun gaharu dalam jangka waktu tertentu diketahui mengalami penurunan kadar gula darah kembali normal.

Sejumlah kandungan metabolit sekunder pada daun gaharu yang telah diketahui dari penelitian sebelumnya adalah flavonoid, glikosida, tanin dan steroid/triterpenoid (Silaban, 2014). Steroid/triterpenoid merupakan senyawa aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penanganan penyakit termasuk diabetes mellitus, gangguan menstruasi, kontrasepsi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati dan malaria. Salah satu fungsi penting triterpenoid tipe steroid pada manusia dan mamalia terutama sebagai peningkatan ataupun pengendalian hormon seks, misalnya estradiol, progesteron dan testosteron. Tipe sterol dan triterpen pentasiklik digunakan sebagai obat anti radang dan anti lebam serta pengobatan ulser lambung (Heinrich, et al., 2005; Robinson, 1995).

Diketahui bahwa struktur senyawa steroid/triterpenoid sangat beragam, maka jelas tidak akan ada metode isolasi umum yang dapat dipakai untuk semuanya. Strategi isolasi untuk mendapatkan senyawa murni terdiri dari


(18)

beberapa langkah meliputi ekstraksi, partisi dan beberapa langkah kromatografi. Sesudah dilakukan ekstraksi simplisia, dihasilkan larutan yang mengandung fraksi yang terlarut. Tahap selanjutnya bertujuan mendapatkan komponen tertentu, lazimnya dilakukan proses partisi menggunakan dua pelarut yang tak bercampur. Ekstrak tersebut dipartisi menggunakan pelarut terpilih untuk isolasi komponen tertentu, dalam penelitian ini pelarut yang dipakai adalah n-heksana untuk mengisolasi senyawa steroid/triterpenoid (Robinson, 1995; Agoes, 2007).

Sejumlah besar steroid/triterpenoid bebas merupakan senyawa non polar sehingga dapat dipisahkan dengan mengekstraksi menggunakan pelarut non polar, namun sebagian kecil senyawa glikosida steroid seperti saponin dan glikosida jantung tidak larut dalam pelarut non polar. Tujuan menggunakan pelarut etanol (bersifat polar) pada ekstraksi daun gaharu pada tahap pertama adalah untuk menyari steroid bebas maupun glikosida steroid, selanjutnya difraksinasi dengan n-heksana (bersifat non polar) untuk menyari bagian steroid bebasnya (Robinson, 1995; Dinan, et al., 2001).

Penelitian tentang identifikasi senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman gaharu berbagai jenis sudah banyak dilakukan, namun karakterisasi simplisia dan isolasi senyawa metabolit sekunder dari ekstrak daun gaharu belum banyak dilakukan (Silaban, 2014). Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang karakterisasi simplisia dan skrining fitokimia serta isolasi senyawa steroid/triterpenoid dari fraksi n-heksana daun gaharu (Aquilaria malaccensis Lam.).


(19)

1.2 Perumusan Masalah

a. apakah karakterisasi simplisia daun gaharu dapat ditentukan.

b. apakah golongan senyawa kimia yang terkandung di dalam simplisia daun gaharu dapat ditentukan.

c. apakah senyawa steroid/triterpenoid dapat diisolasi dari fraksi n-heksana daun gaharu dan isolatnya dapat dikarakterisasi secara spektrofotometri UV dan spektrofotometri IR.

1.3Hipotesis

a. karakterisasi simplisia daun gaharu dapat ditentukan dengan menggunakan prosedur karakterisasi simplisia pada Materia Medika Indonesia dan World Health Organization (WHO).

b. golongan senyawa kimia dari daun gaharu dapat ditentukan dengan menggunakan prosedur skrining fitokimia pada Materia Medika Indonesia dan Farnsworth.

c. senyawa steroid/triterpenoid dapat diisolasi dari fraksi n-heksana daun gaharu dan isolat yang diperoleh dapat dikarakterisasi dengan spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri infrared (IR).

1.4Tujuan Penelitian

a. untuk mengetahui karakteristik simplisia daun gaharu.

b. untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat pada daun gaharu.

c. untuk mengisolasi senyawa steroid/triterpenoid fraksi n-heksana daun gaharu dan karakterisasi isolat dengan spektrofotometri ultraviolet (UV) dan spektrofotometri infrared (IR).


(20)

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk menambah informasi tentang steroid/triterpenoid alam yang diperoleh dari daun gaharu dan pengembangan steroid/triterpenoid dalam bidang farmasi.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi daerah tumbuh, nama daerah, nama asing, morfologi tumbuhan, sistematika tumbuhan, kandungan kimia dan kegunaan dari tumbuhan.

2.1.1 Daerah Tumbuh

Aquilaria malaccensis Lam. adalah salah satu dari 27 spesies pohon penghasil gaharu di dunia. Gaharu tersebar luas di Asia Selatan dan Asia Tenggara. Menurut Oldfield, et al., (1998), Aquilaria malaccensis tumbuh di 10 negara yaitu Bangladesh, Bhutan, India, Thailand, Iran, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura dan Indonesia. Di lndonesia hingga saat ini diperkirakan terdapat 27 jenis tumbuhan penghasil gaharu yang dikelompokkan ke dalam 8 marga yaitu Aquilaria, Aetoxylon, Dalbergia, Enkleia, Excoccaria, Gonystylus, Gyrinops dan Wiekstroemia, serta memiliki 3 famili yaitu Thymelaeaceae, Euphorbiaceae, Leguminoceae (Sumarna, 2005).

Jenis Aquilaria yang dapat ditemukan di Indonesia antara lain A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana A. filarial, A. agalloccha, A. secundana, A. mozkowskii dan A. tomentosa. Jenis A. malaccensis Lam. merupakan jenis pohon gaharu yang paling banyak ditemukan di Sumatera Utara (Susetya, 2014). Marga Aquilaria dan Gyrinops sejak tahun 2004 telah masuk ke dalam Appendix II CITES karena sumber dayanya yang berkurang di alam (Soehartono dan Mardiastuti, 2002).


(22)

di Pulau Kalimantan (12 jenis) dan Pulau Sumatera (10 jenis), kemudian dalam jumlah terbatas tumbuh di Kepulauan Nusa Tenggara (3 jenis), Pulau Papua (2 jenis), Pulau Sulawesi (2 jenis), Pulau Jawa (2 jenis), dan Kepulauan Maluku (1 jenis). Di Indonesia, daerah sebaran pohon penghasil gaharu dapat dijumpai pada berbagai ekosistem, baik di hutan dataran rendah, pegunungan dan hutan rawa gambut. Secara ekologis Aquilaria malaccensis Lam. berada pada ketinggian hingga 750 m di atas permukaan laut pada hutan dataran rendah dan pegunungan, pada daerah yang beriklim panas dengan suhu rata-rata 32oC dan kelembaban sekitar 70% dengan curah hujan kurang dari 2000 mm/tahun (Sumarna, 2005).

2.1.2Nama Daerah dan Nama Asing

Pohon gaharu di Indonesia dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti calabac, karas, kekaras, mengkaras (Dayak), galoop (Melayu), kareh (Minang), age (Sorong), bokuin (Morotai), lason (Seram), ketimunan (Lombok), ruhuwama (Sumba), seke (Flores), halim (Lampung) dan alim (Batak) (Sumarna, 2002). Pohon gaharu juga dikenal di negara lain misalnya Inggris dengan sebutan agarwood, aloeswood, heartwood, di Amerika disebut eaglewood, di Jepang disebut jinkoh sedangkan di Arab disebut oudh (Susetya, 2014).

2.1.3 Sistematika Tumbuhan

Sistematika tumbuhan gaharu menurut Sumarna (2002) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae


(23)

Sub Kelas : Dialypetalae Ordo : Myrtales

Famili : Thymelaeaceae Genus : Aquilaria

Spesies : Aquilaria malaccensis Lam.

2.1.3Morfologi Tumbuhan

Aquilaria malaccensis Lam. memiliki batang pohon yang keras dengan ketinggian pohon dapat mencapai 40 meter dengan diameter batang mencapai 60 cm. Pohon ini memiliki permukaan batang licin, warna keputih-putihan, kadang beralur dan kayunya agak keras. Bentuk daun lonjong sampai memanjang, ujung daun meruncing panjang helai daun 6 - 8 cm, lebar 3 - 4 cm, susunan tulang daun menyirip, tulang daun 12 - 16 pasang, berwarna hijau mengkilat, berbau khas dan rasanya pahit diikuti rasa manis. Bunga terdapat di ujung ranting, kadang-kadang di ketiak daun. Berbentuk lancip, panjang sampai 5 mm. Buah berada dalam polongan berbentuk bulat telur atau lonjong berukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar 3 cm. Biji berbentuk bulat atau bulat telur yang tertutup oleh rambut-rambut halus berwarna kemerahan (Sumarna, 2005).

Pohon gaharu dikenal memiliki gubal dengan substansi aromatik yang tumbuh di tengah batang ataupun di antara sel-sel kayu akibat proses patologis tumbuhan yang diinfeksi oleh jamur secara alami atau buatan. Gubal gaharu ini merupakan sumber daya alam yang sangat mahal harganya. Kini pohon gaharu telah banyak dibudidayakan dengan teknik kultur jaringan lalu diinokulasi dengan suatu jamur untuk mendapatkan kualitas gubal gaharu yang baik (Susetya, 2014). Salah satu tempat budidaya gaharu di Sumatera Utara ada di Kabupaten Langkat.


(24)

2.1.4 Kandungan kimia

Resin yang terkandung dalam gubal gaharu termasuk golongan sesquiterpena yang mudah menguap. Terdapat beberapa zat penting yang terkandung dalam gubal gaharu yaitu -agarofuran, nor-ketoaga-rofuran, (-)-10-epi-y-eudesmol, agarospirol, jinkohol, jinkohon-eremol, kusunol, dihydrokaranone, jinkohol II serta oxo-agarospirol. Lebih lanjut Siran (2010) mengatakan bahwa terdapat 17 macam senyawa yang terdapat pada gaharu, antara lain: noroxoagarofuran, agarospirol, 3,4-dihydroxy-dihydro-agarufuran, p-methoxy-benzylaceton, dan aquillochin. Selanjutnya dalam Suhartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan terdapat 31 zat kimia yang terkandung di dalam gaharu dan bahan kimia penyusun utamanya adalah 2-(2-(4 methoxyphenyl)ethil)chromone (27%) dan 2-(2-phenylethyl)chromone (15%).

2.1.5 Kegunaan

Gubal gaharu yang beraroma harum diperdagangkan sebagai komoditi elit dan menjadi komoditas pertanian paling mahal di dunia. Aromanya sangat terkenal dan disukai. Masyarakat Timur Tengah, India, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Yaman, Oman, daratan Cina, Korea dan Jepang menggunakan gaharu untuk keperluan bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetika, membakar jenazah bagi umat Hindu, pengawet berbagai jenis aksesoris, kelengkapan upacara ritual keagamaan masyarakat Hindu, Buddha dalam bentuk tasbih, hio, dan dupa (Susetya, 2014).

Di samping itu dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, kini bagian-bagian dari pohon gaharu banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri obat herbal alami. Contohnya daun gaharu dari jenis Aquilaria dan


(25)

Gyrinops diolah menjadi bahan baku pembuatan produk minuman herbal (teh dan sirup) karena kandungan zat antioksidan dalam daun yang cukup tinggi.

Di Indonesia, secara tradisional masyarakat Papua telah menggunakan daun, kulit dan akar gaharu sebagai obat malaria dan perawatan kulit (Sumarna, 2002). Gaharu diketahui berkhasiat sebagai obat penahan rasa sakit, dan obat gangguan pencernaan di Asia Timur (Yagura, et al., 2005). Gaharu juga dipercaya sebagai obat anti inflamasi (Trupti, et al., 2007), mengatasi sakit gigi, sakit ginjal, rematik, asma, diare, tumor, diuretik, anti racun, anti serangga, anti mikroba, anti oksidan, anti hiperglikemia, stimulan kerja syaraf dan pencernaan, liver, hepatitis, kanker, cacar, obat kuat pada masa kehamilan dan bersalin (Heyne, 1987; Barden, et al., 2000; Soehartono dan Mardiastuti, 2002; Mega dan Swastini, 2010, Pranakhon, et al., 2011).

2.2 Uraian Kandungan Kimia Tumbuhan 2.2.1 Alkaloid

Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang terbesar. Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya sebagai bagian dari sistem siklik. Alkaloid mempunyai aktivitas fisiologi yang menonjol sehingga banyak diantaranya digunakan dalam bidang pengobatan (Harborne, 1987). Selain unsur nitrogen yang biasanya terasa pahit, alkaloid juga mengandung oksigen dan sulfur (Hanafi, 2012).

Salah satu contoh alkaloid golongan piridin adalah nikotin. Suatu alkaloid yang terkandung dalam tembakau (Nicotiana tabacum), bersifat stimulan bertanggungjawab terhadap sikap adiktif rokok dan bentuk tembakau lainnya. Nikotin digunakan sebagai model untuk adiksi terhadap obat-obatan lain seperti


(26)

heroin. Senyawa ini memiliki cincin pirol yang melekat pada cincin piridin (Heinrich, et al., 2005).

Gambar 2.1 Nikotin

2.2.2.Flavonoid

Golongan flavonoid adalah suatu senyawa C6-C3-C6, yang berarti kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 (cincin benzen tersubstitusi) disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (Robinson, 1995). .

Senyawa-senyawa golongan flavonoid mencakup berbagai senyawa pigmen yang paling umum dan terdapat pada seluruh dunia tumbuhan mulai dari fungi sampai angiospermae. Pigmen bunga flavonoid berperan jelas dalam menarik burung dan serangga penyerbuk bunga. Beberapa fungsi flavonoid bagi tumbuhan adalah sebagai pengatur tumbuh, pengatur fotosintesis, antimikroba dan antivirus (Robinson, 1995). Senyawa flavonoida sangat bermanfaat dalam makanan karena merupakan antioksidan kuat. Makanan yang kaya flavonoid dianggap penting untuk mengobati penyakit-penyakit seperti kanker dan penyakit jantung. Salah satu contoh senyawa golongan flavonoida yang terkandung pada kulit apel (Malus domestica Borkh) adalah kuersetin (Heinrich, et al., 2005).


(27)

2.2.3. Saponin

Saponin tersebar luas diantara tanaman tingkat tinggi. Saponin merupakan senyawa berasa pahit, menusuk, menyebabkan bersin dan mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir. Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah. Saponin dalam larutan yang sangat encer sangat beracun untuk ikan, dan tumbuhan yang mengandung saponin telah digunakan oleh penduduk sebagai racun ikan selama beratus-ratus tahun. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba (Robinson, 1995).

Molekul saponin terdiri dari dua bagian yaitu, aglikon dan glikon. Bagian aglikon atau non-sakarida dari molekul molekul saponin disebut genin atau sapogenin. Berdasarkan aglikonnya, Hostettman dan Marston (1995) membagi saponin menjadi 3 kelas utama yaitu:

1. Saponin triterpenoid 2. Saponin steroid

3. Saponin steroid alkaloid

2.2.4 Tanin

Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Tanin merupakan senyawa alami dengan bobot molekul antara 500 dan 3000, memiliki sejumlah gugus hidroksi fenol dan dapat membentuk ikatan silang yang stabil dengan gugus protein dan biopolymer lain, seperti selulosa dan pektin (Mannito, 1992). Tanin merupakan salah satu


(28)

senyawa yang termasuk ke dalam golongan polifenol yang terdapat dalam tumbuhan, mempunyai rasa sepat dan memiliki kemampuan menyamak kulit (Harborne, 1987). Pada kenyataannya, sebagian besar tumbuhan yang banyak tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang sepat. Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin (Harborne, 1987) yaitu:

1. Tanin terkondensasi

Tanin terkondensasi terbentuk dengan cara kondensasi katekin tunggal (galokatekin) yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon-karbon menghubungkan satu satuan flavon dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4 - 8 atau 6 - 8. Kebanyakan flavolan mempunyai 2 - 20 satuan flavon. Tanin terkondensasi disebut juga dengan proantosianidin karena bila direaksikan dengan asam panas, beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan terputus dan dibebaskanlah monomer antosianidin.

2. Tanin terhidrolisis

Sesuai dengan namanya, tanin terhidrolisis dapat dihidrolisis oleh basa untuk membentuk asam sederhana dan gula. Sifat utama tanin ini adalah kemampuannya berikatan dengan protein. Senyawa ini digunakan untuk menyamak kulit, dan sebagai astringen dalam sediaan farmasi (Heinrich, et al., 2005).

2.2.5 Glikosida

Glikosida adalah suatu golongan senyawa bila dihidrolisis akan terurai menjadi gula (glikon) dan senyawa lain (aglikon). Umumnya glikosida mudah terhidrolisis oleh asam mineral atau enzim. Hidrolisis oleh asam memerlukan panas, sedangkan hidrolisis oleh enzim tidak memerlukan panas (Sirait, 2007).


(29)

Berdasarkan ikatan antara glikon dan aglikon, glikosida dapat dibedakan menjadi

a. Tipe O-glikosida, yaitu ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan O. Mayoritas glikosida termasuk ke dalam kelompok ini.

Gambar 2.3 Ikatan karbon-oksigen antara gula dan cincin aromatik

b. Tipe C-glikosida, yaitu ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan C, yakni gula melekat pada aglikon melalui ikatan karbon-karbon.

Gambar 2.4 Ikatan karbon-karbon antara gula dan cincin aromatik

c. Tipe S-glikosida, yaitu ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui jembatan S. Contoh: sinigrin yang termasuk ke dalam glikosida glukosinolat dari tumbuhan dari tumbuhan Brassicaceae.


(30)

d. Tipe N-glikosida, yaitu ikatan antara bagian dari glikon dengan aglikon melalui jembatan N. Contoh: nikleosidin, kronotosidin.

Gambar 2.6 Nikleosidin

2.2.6 Glikosida antrakuinon

Golongan kuinon alam terbesar terdiri dari antrakuinon. Beberapa antrakuinon merupakan zat warna penting dan yang lainnya sebagai pencahar. Keluarga tumbuhan yang kaya akan senyawa jenis ini ialah Rubiaceae, Rhamnaceae, Polygonaceae, Caesalpiniaceae, dan Liliaceae (Robinson, 1995).

Antrakuinon biasanya berupa senyawa kristal bertitik leleh tinggi, larut dalam pelarut organik biasa, senyawa ini biasanya berwarna merah, tetapi yang lainnya berwarna kuning sampai coklat, larut dalam larutan basa dengan membentuk warna violet merah (Robinson, 1995).

R = H, Barbaloin

R = Glukosa, Kasakrosida

Gambar 2.7 Antrakuinon

2.2.7 Steroid/triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis masuk jalur asam mevalonat yang


(31)

diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Uji yang banyak digunakan ialah reaksi Liebermann-Burchard yang dengan kebanyakan triterpena dan sterol memberikan warna hijau-biru (Harborne, 1987).

Triterpenoid dapat dibagi atas 4 kelompok senyawa yaitu: 1. Triterpen pentasiklik

Gambar 2.8 Asam glisiretat 2. Steroid

Gambar 2.9β-Sitosterol 3. Saponin

Gambar 2.10 Diosgenin 4. Glikosida jantung


(32)

Senyawa triterpenoid merupakan komponen aktif dalam tumbuhan obat yang telah digunakan untuk penyakit termasuk diabetes, gangguan menstruasi, patukan ular, gangguan kulit, kerusakan hati, dan malaria (Harborne, 1987; Robinson, 1995). Pada umumnya steroid tumbuhan berupa alkohol dengan gugus hidroksil pada C3 sehingga steroida sering juga disebut sterol (Robinson, 1995).

Sterol adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin siklopentana perhidrofenantren. Fungsi penting triterpenoid tipe steroid pada manusia dan mamalia terutama sebagai peningkatan ataupun pengendalian hormon seks, misalnya estradiol, progesteron dan testosteron. Tipe sterol dan triterpen pentasiklik digunakan sebagai obat anti radang dan anti lebam serta pengobatan ulser lambung (Heinrich, et al., 2005). Dahulu steroid dianggap sebagai senyawa satwa (digunakan sebagai hormon kelamin, asam empedu) tetapi pada tahun-tahun terakhir ini makin banyak senyawa steroid yang ditemukan dalam jaringan tumbuhan (Harborne, 1987; Robinson, 1995).

Gambar 2.12 Struktur dasar steroida dan sistem penomorannya Menurut asalnya senyawa steroid dibagi atas:

a. Zoosterol, yaitu steroid yang berasal dari hewan, misalnya kolesterol.


(33)

b. Fitosterol, yaitu steroid yang berasal dari tumbuhan, misalnya β-sitosterol dan stigmasterol.

β-Sitosterol

Stigmasterol (∆22-23)

Gambar 2.14 β-sitosterol dan Stigmasterol

c. Mycosterol, yaitu steroid yang berasal dari fungi, misalnya ergosterol.

Gambar 2.15 Ergosterol

d. Marinesterol, yaitu steroid yang berasal dari organisme laut, misalnya spongesterol.

Gambar 2.16 Spongesterol

2.3 Ekstraksi

Ekstraksi adalah penyarian komponen aktif dari suatu jaringan tumbuhan atau hewan dengan menggunakan pelarut yang cocok (Handa, 2008). Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut yaitu:

A. Cara dingin

1. Maserasi


(34)

pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan penyaringan berulang, dan seterusnya (Depkes, 2000).

2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1 - 5 kali bahan (Depkes, 2000).

B. Cara panas

1. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Digesti

Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) pada temperatur lebih tinggi dari temperatur ruangan (kamar), yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40 - 50oC.

3. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan alat soklet dengan pelarutyang selalu baru sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.


(35)

4. Infus

Infundasi adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperatur penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas mendidih, temperatur terukur 96 - 98oC) selama waktu tertentu (15 - 20 menit).

5. Dekok

Dekoktasi adalah infus pada waktu yang lebih lama (≥ 30 menit) dan temperatur sampai titik didih air (Depkes, 2000).

2.4 Fraksinasi

Setelah ekstrak dibuat dengan cara metode ekstraksi yang sesuai dan aktivitasnya telah terbukti dalam uji hayati (misalnya uji antibakteri), langkah selanjutnya adalah melakukan fraksinasi terhadap ekstrak dengan menggunakan metode pemisahan sehingga komponen bioaktif yang dimurnikan dapat diisolasi.

Metode pemisahan yang mungkin paling sederhana adalah partisi, yang banyak digunakan sebagai tahap awal pemurnian ekstrak. Partisi menggunakan dua pelarut tak bercampur yang ditambahkan ke dalam ekstrak tersebut, hal ini dapat dilakukan secara terus–menerus dengan menggunakan dua pelarut tak bercampur yang kepolarannya meningkat. Partisi biasanya melalui dua tahap: (1) air/petroleum eter ringan (n-heksana) untuk menghasilkan fraksi non polar di lapisan organik; (2) air/diklorometan atau air/kloroform atau air/etilasetat untuk membuat fraksi agak polar di lapisan organik (Heinrich, et al., 2005).

2.5 Kromatografi

Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan proses migrasi dari komponen-komponen senyawa di antara dua fase yaitu fase diam (dapat


(36)

berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat cair). Fase gerak membawa zat terlarut melalui media sehingga terpisah dari zat terlarut lainnya yang terelusi lebih awal atau lebih akhir. Umumnya zat terlarut dibawa melewati media pemisah oleh aliran suatu pelarut berbentuk cairan atau gas yang disebut eluen. Fase diam dapat bertindak melarutkan zat terlarut sehingga terjadi partisi antara fase diam dan fase gerak. Dalam proses ini suatu lapisan cairan pada penyangga yang inert berfungsi sebagai fase diam (Depkes, 1995).

Cara-cara kromatografi dapat digolongkan sesuai dengan sifat-sifat dari fase diam, yang dapat berupa zat padat atau zat cair. Jika fase diam berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan, jika berupa zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi (Depkes, 1995; Sastrohamidjojo, 1985).

Pemisahan dan pemurnian kandungan kimia tumbuhan terutama dilakukan dengan menggunakan salah satu dari lima teknik kromatografi atau gabungan teknik tersebut. Kelima teknik kromatografi itu adalah: kromatografi kolom (KK), kromatografi kertas (KKt), kromatografi lapis tipis (KLT), kromatografi gas cair (KGC), dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT). Pemilihan teknik kromatografi sebagian bergantung pada sifat kelarutan dan keatsirian senyawa yang akan dipisah (Harborne, 1987).

2.5.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan campuran analit dengan mengembangkan analit melalui suatu lempeng kromatografi lalu melihat komponen/analit yang terpisah dengan penyemprotan atau pewarnaan (Gandjar dan Rohman, 2012).


(37)

penyangga berupa plat, gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah, berupa larutan ditotolkan berupa bercak ataupun pita, setelah itu plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama pengembangan, selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985).

Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm). Jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985).

Kromatografi lapis tipis dapat dipakai untuk dua tujuan (Gritter, et al., 1991) yaitu:

1. sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif (analitik) dan kuantitatif (preparatif).

2. untuk mencari sistem pelarut yang akan dipakai dalam kromatografi kolom.

a. Fase diam (lapisan penyerap)

Fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, plastik atau logam. Lapisan fase diam melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum (Gritter, et al., 1991).


(38)

Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya. Penyerap yang paling sering digunakan adalah silika gel dan serbuk selulosa (Gandjar dan Rohman, 2012).

Pada kromatografi lapis tipis lapisan fase diam harus sesedikit mungkin mengandung air, karena air akan menempati semua titik penyerapan sehingga tidak aka nada senyawa yang melekat. Oleh karena itu, sebelum digunakan plat kromatografi lapis tipis perlu diaktifkan dengan pemanasan pada 110oC selama 30 menit (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985)

b. Fase gerak (pelarut pengembang)

Fase gerak adalah medium angkut yang terdiri atas satu atau campuran beberapa pelarut, jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985).

Pemisahan pada KLT dikendalikan oleh rasio distribusi komponen dalam sistem fase diam/penyerap dan fase gerak tertentu. Profil pemisahan pada KLT dapat dimodifikasi dengan mengubah rasio distribusi dengan mengubah komposisi fase gerak dengan memperhatikan polaritas (Gandjar dan Rohman, 2012).

c. Harga Rf

Jarak pengembangan senyawa pada kromatogram biasanya dinyatakan dengan harga Rf (Retardation Factor) (Stahl, 1985).

Rf= Jarak titik pusat bercak dari titik awal Jarak garis depan pelarut dari titik awal


(39)

Jarak yang ditempuh oleh tiap bercak dari titik penotolan diukur dari pusat bercak. Harga Rf berada antara 0,00 - 1,00. Harga Rf ini sangat berguna untuk mengidentifikasi suatu senyawa (Eaton, 1989).

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf adalah sebagai berikut (Sastrohamidjojo, 1985):

a. struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan b. sifat penyerap

c. tebal dan kerataan lapisan penyerap d. jenis pelarut dan derajat kemurniannya

e. derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana f. teknik percobaan

g. jumlah cuplikan yang digunakan h. suhu

i. kesetimbangan

2.5.2 Kromatografi kolom

Kromatografi cair yang dilakukan didalam kolom besar merupakan metode kromatografi terbaik untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar (lebih dari 1 g). Kromatografi kolom berupa pipa gelas yang dilengkapi dengan kran dan gelas penyaring di dalamnya. Ukuran kolom tergantung pada banyaknya zat yang akan dipisahkan. Menahan penyerap yang diletakkan di dalam kolom dapat digunakan gelas wool atau kapas (Sastrohamidjojo, 1985).

Kromatografi kolom biasanya dikembangkan dengan campuran pelarut yang terus-menerus berubah dengan cara landaian. Eluat yang keluar dari dasar kolom harus dipantau untuk mengetahui dimana linarut itu berada. Ini dapat


(40)

dilakukan secara terus-menerus dengan memakai detektor yang cocok atau dengan membagi eluat dalam tabung reaksi atau vial-vial yang berurutan dan menganalisisnya dengan KLT (Gritter, et al., 1991).

2.5.3 Kromatografi lapis tipis preparatif

Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan metode pemisahan yang menggunakan peralatan sederhana. Ketebalan penyerap yang sering dipakai adalah 0,5 - 2 mm, ukuran plat kromatografi biasanya 20 x 20 cm atau 20 x 40 cm. Ketebalan lapisan yang terbatas dan ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLT preparatif. KLT preparatif dapat memisahkan bahan alam dalam jumlah gram, sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah milligram. Penjerap yang paling umum digunakan adalah silika gel dan dipakai untuk pemisahan senyawa lipofil maupun campuran senyawa hidrofil (Hostettmann, et al., 1995).

Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan dalam sedikit pelarut. Cuplikan ditotolkan berupa pita dengan lebar pita sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan pipet tetapi lebih baik dengan penotol otomatis. Pengembangan plat KLT preparatif dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan kertas saring yang tercelup ke dalam pengembang (Hostettmann, et al., 1995).

Kebanyakan penyerap KLT preparatif mengandung indikator fluorosensi yang membantu mendeteksi letak pita yang terpisah pada senyawa yang menyerap sinar ultraviolet. Mendeteksi senyawa yang tidak menyerap sinar ultraviolet ada beberapa pilihan (Hostettmann, et al., 1995):


(41)

a. menambahkan senyawa pembanding

b. menutup plat dengan sepotong kaca lalu menyemprot salah satu sisi dengan pereaksi semprot

2.5.4 Kromatografi lapis tipis dua arah (two-dimensional TLC)

KLT dua arah atau KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama. Selain itu, dua sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama. Dengan demikian maka KLT dua dimensi dapat dipakai untuk memeriksa kemurnian isolat (Rohman, 2009).

KLT dua dimensi dilakukan dengan melakukan penotolan sampel disalah satu sudut lapisan lempeng tipis dan mengembangkannya sebagaimana biasa dengan fase gerak pertama. Lempeng kromatografi selanjutnya dipindahkan dari chamber pengembang dan fase gerak dibiarkan menguap dari lempeng. Lempeng dimasukkan ke dalam chamber yang menggunakan fase gerak kedua sehingga pengembangan dapat terjadi pada arah kedua yang tegak lurus dengan arah pengembangan yang pertama. Suksesnya pemisahan tergantung pada kemampuan untuk memodifikasi selektifitas fase gerak kedua dibandingkan dengan selektifitas eluen pertama (Rohman, 2009).

2.6 Spektrofotometri

2.6.1 Spektrofotometri sinar ultraviolet

Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi sinar UV terhadap intensitas serapan


(42)

(adsorbansi). Sinar ultraviolet mempunyai panjang gelombang antara 200 - 400 nm. Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultra violet tergantung pada struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan (Sastrohamidjojo, 1985).

Ketika suatu atom atau molekul menyerap sinar UV maka energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung panjang gelombang cahaya yang diserap. Gugus yang dapat mengabsorpsi cahaya disebut dengan gugus kromofor (Dachriyanus, 2004).

Pelarut yang banyak digunakan untuk spektrofotometri sinar UV adalah etanol 95% karena kebanyakan golongan senyawa larut dalam pelarut tersebut dan etanol tidak menyerap sinar UV. Alkohol mutlak niaga harus dihindari karena mengandung benzena yang dapat menyerap di daerah sinar UV pendek. Pelarut yang sering digunakan adalah air, etanol, metanol, n-heksana, eter minyak bumi dan eter. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer (Gandjar dan Rohman, 2007; Harborne, 1987).

2.6.2 Spektrofotometri sinar inframerah

Spektrofotometri inframerah pada umumnya digunakan untuk: 1. menentukan gugus fungsi suatu senyawa organik

2. mengetahui informasi struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.

Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2.5 - 50 �m atau bilangan gelombang 4000 - 200 cm-1. Energi yang dihasilkan oleh radiasi ini akan


(43)

menyebabkan vibrasi atau getaran pada molekul. Pita absorpsi sinar inframerah sangat khas dan spesifik untuk setiap tipe ikatan kimia atau gugus fungsi

(Dachriyanus, 2004). Jenis absorpsi energi yang lain, molekul-molekul dieksitasikan ke tingkat

energi yang lebih tinggi ketika molekul-molekul ini menyerap radiasi inframerah. Hanya frekuensi (energi) tertentu dari radiasi inframerah yang dapat diserap oleh suatu molekul. Agar molekul dapat menyerap radiasi inframerah, maka molekul tersebut harus mempunyai gambaran spesifik, yakni momen dipol molekul harus berubah selama vibrasi (Gandjar dan Rohman, 2012).


(44)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan adalah metode deskriptif meliputi pengumpulan bahan tumbuhan, identifikasi tumbuhan, pembuatan simplisia, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia simplisia, pembuatan ekstrak etanol, fraksinasi, kromatografi lapis tipis, kromatografi kolom, KLT preparatif, uji kemurnian isolat dan karakterisasi isolat secara spektrofotometri UV dan spektrofotometri IR.

3.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat-alat gelas laboratorium, cawan penguap, spatula, blender (Panasonic), eksikator, seperangkat alat destilasi, seperangkat alat kromatografi kolom, chamber, plat KLT dan plat kaca KLT preparatif, pipet kapiler, spray kromatografi, oven listrik (Stork), tanur, elektromantel (EM 2000), hair dryer (Maspion), neraca analitik (Vibra AJ), neraca kasar (Saherand), penangas air (Yenaco), rotary evaporator (Boeci 461), lemari pengering, mikroskop (Olympus), objek glass, deck glass, lampu spiritus, spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu) dan spektrofometer IR (IR-Prestige 21).

3.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: sebagai sampel digunakan daun gaharu (Aquilaria malaccensis Lam.). Semua bahan yang digunakan kecuali dinyatakan lain adalah berkualitas proanalisa yaitu n-heksana, etilasetat, etanol, amil alkohol, benzen, toluen, metanol, kloroform, α-naftol, besi (III) klorida, iodium, raksa (II) klorida, timbal (II) asetat, kalium iodida, asam


(45)

sulfat pekat, asam klorida pekat, asam asetat anhidrida, serbuk magnesium, bismuth (III) nitrat, kalium bromida, plat pra lapis silika gel F254, silika gel 60H, kloralhidrat, floroglusin, n-heksana hasil destilasi dan air suling.

3.3 Pembuatan Pereaksi

Prosedur pembuatan pereaksi berdasarkan referensi dari Materia Medika Indonesia Jilid VI (1995).

3.3.1 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida P dilarutkan dalam air secukupnya, lalu ditambahkan 2 g iodium P kemudian ditambahkan air hingga 100 ml.

3.3.2 Pereaksi Mayer

Larutan raksa (II) klorida P 2,266% b/v sebanyak 60 ml dicampur dengan 10 ml larutan kalium iodida P 50% b/v, kemudian ditambahkan air secukupnya hingga 100 ml.

3.3.3 Pereaksi Dragendorff

Larutan bismut nitrat P 40% b/v dalam asam nitrat P sebanyak 20 ml dicampur dengan 50 ml kalium iodida P 54,4% b/v, didiamkan sampai memisah sempurna. Lalu diambil lapisan jernih dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml.

3.3.4 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol P, dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml.

3.3.5 Larutan asam klorida 2N

Larutan asam klorida pekat sebanyak 17 ml ditambahkan air suling sampai 100 ml.


(46)

3.3.6 Larutan asam sulfat 2N

Larutan asam sulfat pekat sebanyak 9,8 ml ditambahkan air suling sampai 100 ml.

3.3.7 Larutan asam nitrat 0,5N

Sebanyak 3,4 ml asam nitrat pekat diencerkan dengan air suling hingga volume 100 ml.

3.3.8 Larutan timbal (II) asetat 0,4M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat P dilarutkan dalam air bebas karbon dioksida hingga 100 ml.

3.3.9 Larutan besi (III) klorida 1% b/v

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air secukupnya hingga 100 ml.

3.3.10 Larutan pereaksi kloralhidrat 70% b/b

Sebanyak 70 g kristal kloralhidrat ditimbang lalu dilarutkan dalam 30 ml air suling.

3.3.11 Larutan penyemprot Liebermann-Burchard

Asam sulfat pekat sebanyak 5 ml dicampurkan dalam 50 ml etanol 96%, lalu ditambahkan 5 ml asam asetat anhidrida ke dalam campuran tersebut.

3.4 Penyiapan Bahan Tumbuhan 3.4.1 Pengumpulan bahan tumbuhan

Metode pengumpulan bahan tumbuhan dilakukan secara purposif yaitu tanpa membandingkan dengan bahan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Sampel yang digunakan adalah daun gaharu yang diambil dari Desa Buah Nabar, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara.


(47)

3.4.2 Identifikasi tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor. Hasil identifikasi tumbuhan dapat dilihat pada Lampiran 1 halaman 59.

3.4.3 Pengolahan tumbuhan

Pengolahan daun gaharu dilakukan terhadap tumbuhan segar, yaitu daun dibersihkan dari pengotor dengan cara dicuci di bawah air mengalir hingga bersih, ditiriskan, ditimbang (5 kg), lalu dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu 40 - 50oC selama 5 hari. Sampel dianggap sudah kering apabila teksturnya menjadi lebih keras dan bila diremas akan hancur, selanjutnya sampel dihaluskan atau diserbuk menggunakan blender dan ditimbang (1,2 kg).

3.5 Pemeriksaan Mikroskopik Daun Gaharu Segar

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap penampang melintang dari daun gaharu yang segar untuk melihat anatomi dari daun.

Caranya:

Sebanyak 2 - 3 tetes larutan kloralhidrat diteteskan di atas kaca objek, lalu sayatan daun gaharu diletakkan di atasnya, dipanaskan, kemudian sebanyak 2 - 3 tetes larutan floroglusin diteteskan di atas kaca objek, dan ditutup kembali dengan kaca penutup, diamati di bawah mikroskop. Hasil pemeriksaan mikroskopik daun gaharu segar dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 64.

3.6 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia

Pemeriksaan karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik, pemeriksaan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar sari yang larut


(48)

air, penetapan kadar sari yang larut etanol, penetapan kadar abu total dan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam (Depkes RI, 1995).

3.6.1 Pemeriksaan makroskopik simplisia

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan mengamati bentuk, ukuran, warna, karakteristik permukaan dan tekstur dari simplisia. Hasil pemeriksaan makroskopik dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 62 dan 63.

3.6.2 Pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia

Pemeriksaan mikroskopik dilakukan terhadap serbuk simplisia daun gaharu.

Caranya:

Sedikit serbuk simplisia ditaburkan di atas kaca objek yang telah ditetesi dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup, kemudian diamati di bawah mikroskop. Hasil pemeriksaan mikroskopik dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 65.

3.6.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode Azeotropi (destilasi toluen). Prosedur kerja:

1. Penjenuhan toluen

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat, didestilasi selama 2 jam, kemudiaan toluen didinginkan selama 30 menit dan volume air pada tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml (WHO, 2011).

2. Penetapan kadar air simplisia


(49)

kedalam labu alas bulat berisi toluen tersebut, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit, setelah toluen mendidih kecepatan tetesan diatur lebih kurang 2 tetes perdetik sampai bagian air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit kemudian tabung penerima dibiarkan dingin sampai suhu kamar, setelah air dan toluen memisah sempurna volume air dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 2011).

3.6.4 Penetapan kadar sari yang larut air

Sebanyak 5 g simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml air-kloroform dalam air sampai 1 L) dalam labu bersumbat sambil dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Disaring, sejumlah 20 ml filtrat pertama diuapkan sampai kering dalam cawan penguap berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105℃ sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).

3.6.5 Penetapan kadar sari yang larut etanol

Sebanyak 5 g simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu tersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105℃ sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 95% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Depkes RI, 1995).


(50)

3.6.6 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g simplisia yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan dan dipijarkan pada suhu 600℃ sampai arang habis, kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.6.7 Penetapan kadar abu yang tidak larut asam

Abu yang telah diperoleh dalam penetapan kadar abu total, dididihkan dalam 25 ml asam klorida 2N selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, kemudian dicuci dengan air panas. Residu dan kertas saring dipijarkan pada suhu 600℃ sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang dikeringkan (Depkes RI, 1995).

3.7 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia daun gaharu meliputi: pemeriksaan senyawa alkaloid, glikosida, saponin, flavonoid, antrakinon, tanin dan steroid/triterpenoid.

3.7.1 Pemeriksaan alkaloid

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 g kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk tes alkaloid.

Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalam masing-masing tabung reaksi dimasukkan 0,5 ml filtrat.


(51)

b. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Bouchardat c. Ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff

Alkaloid dianggap positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada paling sedikit dua tabung reaksi dari percobaan di atas (Depkes RI, 1995).

3.7.2 Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 10 g serbuk simplisia kemudian ditambahkan 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas. Filtrat yang diperoleh kemudian diambil 5 ml lalu ditambahkan 0,1 g serbuk Mg dan 1 ml HCl pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna merah, kuning, jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966).

3.7.3 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g sampel disari dengan 10 ml air suling, disaring lalu filtratnya diencerkan dengan air suling sampai tidak berwarna. Dua ml larutan lalu ditambahkan 1 sampai 2 tetes pereaksi besi (III) klorida. Terjadi warna biru atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.7.4 Pemeriksaan glikosida

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 3 g kemudian disari dengan 30 ml campuran 7 bagian volume etanol 96% dan 3 bagian volume air suling (7:3), direfluk selama 10 menit didinginkan dan disaring, pada 20 ml filtrat tambahkan 25 ml air dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, diamkan selama 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran 3 bagian kloroform dan 2 bagian isopropanolol dilakukan berulang sebanyak tiga kali. Kumpulan sari diuapkan pada suhu tidak lebih dari 50oC. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol.


(52)

Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut, yaitu 0,1 ml larutan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, diuapkan di atas penangas air. Sisa dilarutkan dalam 2 ml air suling dan 5 tetes pereaksi Molish. Secara hati-hati dan perlahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat. Glikosida positif jika terbentuk cincin berwarna ungu (Depkes RI, 1995).

3.7.5 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g sampel dimasukan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 10 ml air suling panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, terbentuk buih atau busa tidak kurang dari 10 menit setinggi 1 -10 cm, pada penambahan 1 tetes larutan asam klorida 2 N apabila buih tidak hilang menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1995).

3.7.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan 20 ml n-heksana selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap, pada sisa ditambahkan 2 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat, apabila timbul warna ungu atau merah kemudian berubah menjadi hijau biru menunjukkan adanya steroid/triterpenoid (Harborne, 1987).

3.7.7 Pemeriksaan glikosida antrakinon

Sebanyak 0,2 g serbuk simplisia ditambahkan 5 ml asam sulfat 2N, dipanaskan sebentar, dinginkan. Tambahkan 10 ml benzena, kocok, diamkan. Pisahkan lapisan benzen, saring; filtrat berwarna kuning, menunjukkan adanya antrakinon. Kocok lapisan benzena dengan 1 - 2 ml natrium hidroksida 2N, diamkan; lapisan air berwarna merah dan lapisan benzena tidak berwarna menunjukkan adanya antrakinon (Ditjen POM, 1979).


(53)

3.8 Pembuatan Ekstrak Etanol dan Fraksinasi 3.8.1 Pembuatan ekstrak etanol daun gaharu

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode perkolasi dengan pelarut etanol 96%.

Cara kerja:

Sebanyak 550 g serbuk simplisia daun gaharu dibasahi dengan penyari, ditutup dan dibiarkan selama 3 jam, kemudian dimasukkan ke dalam alat perkolator. Larutan penyari etanol 96% dituang secukupnya sampai semua simplisia terendam dan terdapat selapis cairan penyari di atasnya, mulut tabung perkolator ditutup dengan aluminium foil dan dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dan dibiarkan tetesan ekstrak mengalir dengan kecepatan 20 tetes per menit, perkolasi dihentikan pada saat beberapa tetes perkolat tidak bereaksi ketika ditambahkan pereaksi Liebermann-Burchard. Pelarut yang digunakan sebanyak 15 liter. Perkolat yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan alat penguap vakum putar (rotary evaporator) pada temperatur yang tidak lebih dari 50oC sampai diperoleh ekstrak kental. Bagan pembuatan ekstrak etanol dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 61.

3.8.2 Fraksinasi ekstrak etanol

Fraksinasi ekstrak etanol dilakukan dengan cara partisi, yaitu mengocok ekstrak dengan dua pelarut yang tidak bercampur. Pelarut yang digunakan adalah air dan n-heksana.

Cara kerja:

Sebanyak 10 gram ekstrak etanol daun gaharu ditambahkan 40 ml etanol 96%, lalu dilarutkan dengan air panas sebanyak 100 ml, lalu dimasukkan ke


(54)

dalam corong pisah, ditambahkan 100 ml n-heksana dikocok dan didiamkan sampai terbentuk 2 lapisan yang terpisah, lapisan n-heksana (lapisan atas) diambil dengan cara dialirkan dan ditampung, prosedur ini dilakukan sampai lapisan n-heksana memberikan hasil negatif dengan pereaksi Liebermann-Burchard, semua fraksi yang diperoleh diuapkan dengan penguap vakum putar (rotary evaporator) pada suhu tidak lebih dari 50oC. Bagan fraksinasi ekstrak etanol daun gaharu dapat dilihat pada Lampiran 3 halaman 61.

3.9 Analisis Fraksi n-heksana secara KLT

Kromatografi lapis tipis (KLT) digunakan untuk mendapatkan fase gerak yang terbaik untuk dipakai pada KLT hasil kromatografi kolom. Terhadap fraksi n-heksana daun gaharu dilakukan analisis secara KLT menggunakan fase diam silika gel F254 dan fase gerak campuran n-heksana-etilasetat dengan perbandingan (100:0), (90:10), (80:20), (70:30) dan (60:40), dengan penampak bercak Liebermann-Burchard.

Cara kerja:

Ekstrak dilarutkan dalam n-heksana, ditotolkan pada plat lapis tipis, kemudian dimasukan ke dalam chamber yang telah jenuh dengan uap fase gerak. Setelah pengembangan selesai plat dikeluarkan dan dikeringkan, plat disemprot dengan penampak bercak Liebermann-Burchard dan dipanaskan di oven pada suhu 110℃ selama beberapa menit (Gritter, et al., 1991). Warna yang terbentuk diamati dan dihitung harga Rf semua bercak. Fase gerak yang menghasilkan noda (bercak) paling banyak jumlahnya adalah fase gerak yang terbaik. Hasil analisis fraksi n-heksana secara KLT dapat dilihat pada Lampiran 8 halaman 72.


(55)

3.10 Pemisahan Fraksi n-heksana denganKromatografi Kolom

Kandungan kimia yang terdapat dalam fraksi n-heksana dipisahkan secara kromatografi kolom menggunakan pelarut landaian n-heksana-etilasetat dengan perbandingan (100:0), (90:10), (80:20), (70:30), (60:40), (50:50), (40:60), (30:70), (20:80), (10:90), (0:100) dan metanol.

Cara kerja:

Seperangkat alat kromatografi kolom dipasang dan pada dasar kolom dimasukkan kapas yang telah bebas dari lemak, kemudian dimasukkan larutan fase gerak. Silika gel 60H dibuat bubur dengan fase gerak sampai bebas gelembung udara, kran dibuka kemudian bubur silika dimasukkan ke dalam kolom secara perlahan-lahan sambil dinding kolom diketuk-ketuk dan fase gerak tetap dialiri sampai silika gel turun, lalu didiamkan sampai kolom kompak, selanjutnya fase gerak turun sampai setinggi lebih kurang 1 cm di atas fase diam, lalu kran ditutup. Kemudian fraksi n-heksana yang sebelumnya telah dicampur dengan silika gel 60H dimasukkan ke dalam kromatografi kolom sambil fase gerak ditambah sedikit demi sedikit, setelah sampel turun kran dibuka perlahan- lahan sambil fase gerak terus ditambah. Eluat yang keluar ditampung dalam vial, masing-masing sebanyak 5 ml. Hal ini dilakukan sampai eluat memberikan hasil negatif terhadap pereaksi Liebermann-Burchard. Hasil dipantau dengan kromatografi lapis tipis menggunakan fase gerak n-heksana-etilasetat (80:20), sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard. Eluat yang mempunyai pola kromatogram yang sama digabung menjadi satu fraksi (Sastrohamidjojo, 1985). Hasil kromatografi kolom dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 73 sampai 77.


(56)

3.11 Pencucian Kristal Isolat

Terhadap vial-vial yang berisi kristal isolat hasil pemisahan fraksi n-heksana dengan kromatografi kolom dilakukan pencucian menggunakan pelarut metanol dingin tetes demi tetes hingga didapatkan isolat berbentuk kristal jarum, berwarna putih yang merupakan senyawa golongan steroid/triterpenoid.

3.12 Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Hasil Kromatografi Kolom dengan KLT Preparatif

Terhadap fraksi hasil kromatografi kolom yang memberikan noda (bercak) sama dilakukan isolasi secara KLT preparatif, sebagai fase gerak digunakan n-heksana-etilasetat (20:80) dan fase diam silika gel F254, dan sebagai penampak

bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard. Cara kerja:

Fraksi ditotolkan berupa pita pada jarak 2 cm dari tepi bawah plat KLT berukuran 20 x 10 cm yang telah diaktifkan, setelah kering plat KLT dimasukkan ke dalam bejana yang telah jenuh dengan uap fase gerak, pengembang dibiarkan naik membawa komponen yang ada, setelah mencapai batas pengembangan plat dikeluarkan dari bejana lalu dikeringkan. Bagian tengah plat ditutup dengan kaca yang bersih sedangkan pada sisi kanan dan kiri plat disemprot dengan penampak bercak Liebermann-Burchard. Bagian tengah plat yang sejajar dengan bercak berwarna hijau biru dikerok dan dikumpulkan, direndam dengan metanol satu malam lalu disaring kemudian pelarutnya diuapkan, kemudian dilakukan uji kemurnian dengan KLT terhadap isolat yang diperoleh (Hostettmann, et al., 1995). Hasil KLT Preparatif dapat dilihat pada Lampiran 11 halaman 78.


(57)

3.13 Uji Kemurnian terhadap Isolat 3.13.1 Uji KLT satu arah

Uji kemurnian terhadap isolat pertama hasil isolasi dilakukan dengan KLT satu arah menggunakan beberapa fase gerak yang berbeda yaitu n-heksana-etilasetat (80:20), kloroform-metanol (40:60), n-heksana-kloroform (50:50), kloroform-etilasetat (60:40), sedangkan terhadap isolat kedua dan ketiga hasil isolasi menggunakan fase gerak n-heksana-etilasetat (20:80), toluen-etilasetat (10:90), benzen-etilasetat (40:60), kloroform-metanol (60:40), sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard.

Cara kerja:

Isolat ditotolkan pada plat lapis tipis, lalu dimasukan ke dalam chamber yang telah jenuh dengan uap fase gerak. Setelah pengembangan selesai plat dikeluarkan dan dikeringkan, plat disemprot dengan penampak bercak Liebermann-Burchard dan dipanaskan di oven pada suhu 110℃ selama 10 menit (Gritter, et al., 1991). Hasil uji kemurnian ketiga isolat dapat dilihat pada Lampiran 11 sampai 13 halaman 79 sampai 81.

3.13.2 Uji KLT 2 arah

Terhadap isolat pertama hasil isolasi dilakukan KLT 2 arah menggunakan fase gerak I n-heksana-etilasetat (80:20) dan fase gerak II klorofrom-etilasetat (60:40), sedangkan terhadap isolat kedua dan ketiga hasil isolasi menggunakan fase gerak I n-heksana-etilasetat (20:80) dan fase gerak II benzen-etilasetat (40:60), dan sebagai penampak bercak digunakan pereaksi Liebermann-Burchard.

Cara kerja:


(58)

dikembangkan memakai fase gerak I hingga mencapai batas pengembangan, kemudian plat dikeluarkan dari dalam bejana dan dikeringkan, setelah plat kering dikembangkan kembali dengan arah diputar 90o memakai fase gerak II, plat dikeluarkan dari dalam bejana lalu disemprot dengan memakai penampak bercak Liebermann-Burchard, setelah itu plat dipanaskan pada suhu 110oC selama beberapa menit lalu bercak yang terbentuk ditandai (Sastrohamidjojo, 1985). Hasil uji kemurnian ketiga isolat dapat dilihat pada Lampiran 14 sampai 16 halaman 82 sampai 84.

3.14 Karakterisasi Isolat

Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri ultraviolet dan spektrofotometri inframerah dilakukan di Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi USU Medan.

3.14.1 Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri UV

Cara kerja:

Isolat hasil isolasi dilarutkan dalam pelarut metanol, kemudian dimasukkan kedalam kuvet yang telah dibilas dengan metanol, selanjutnya absorbansi larutan sampel diukur pada panjang gelombang 200 - 400 nm.

3.14.2 Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri IR

Cara kerja:

Karakterisasi isolat dengan spektrofotometri IR dilakukan dengan cara mencampurkan 1 mg isolat dengan 100 mg kalium bromida menggunakan alat mixture vibrator kemudian dicetak menjadi pelet pada tekanan 11,5 ton dan dimasukkan ke dalam spektrofotometer inframerah serta diukur pada bilangan gelombang 4000 - 400 cm-1 (Dachriyanus, 2004).


(59)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Identifikasi Sampel

Hasil identifikasi tumbuhan yang dilakukan di Herbarium Bogoriense Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor menunjukkan bahwa tumbuhan yang diteliti termasuk spesies Aquilaria malaccensis Lam. dari suku Thymelaeaceae.

4.2 Hasil Karakteristik Bahan Tumbuhan dan Serbuk Simplisia

Pemeriksaan makroskopik bertujuan untuk mengetahui ciri-ciri fisik simplisia suatu tumbuhan, seperti bentuk, bau dan rasa, sedangkan pemeriksaan mikroskopik bertujuan untuk mengetahui struktur anatomi suatu simplisia tumbuhan. Hasil pemeriksaan makroskopik daun gaharu segar memiliki bentuk lonjong memanjang, ujung daun meruncing, panjang 5 - 8 cm dan lebar 3 - 4 cm susunan tulang daun menyirip, tulang daun 12 - 16 pasang, berwarna hijau mengkilat, berbau khas dan rasanya pahit diikuti rasa manis.

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun gaharu dicirikan dengan daun kering berwarna abu-abu kehijaun, agak bergelombang, panjang 4 - 6 cm dan lebar 3 - 4 cm dan menggulung tidak beraturan. Serbuk simplisia, berwarna hijau kekuningan, tidak berbau, bentuk serbuk kasar dan berbulu. Hasil pemeriksaan mikroskopik dari penampang melintang daun segar gaharu memperlihatkan ada kutikula, stomata, jaringan epidermis tersusun dari sel-sel yang rapat dan berbentuk persegi panjang terdiri dari 1 lapis epidermis atas dan 1 lapis epidermis bawah. Jaringan mesofil terdiri dari jaringan palisade dan jaringan


(60)

bunga karang. Jaringan pengangkut yaitu xilem dan floem. Hasil pemeriksaan mikroskopik serbuk simplisia daun gaharu terlihat fragmen mesofil, stomata tipe anomositik, jaringan palisade, kristal oksalat berbentuk prisma, xilem dengan penebalan spiral, dan rambut penutup uniseluler.

Hasil pemeriksaan kadar air, kadar sari larut air, kadar sari larut etanol, kadar abu total, dan kadar abu yang tidak larut asam pada serbuk simplisia dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Hasil karakteristik simplisia daun gaharu

No Karakterisasi Simplisia Hasil

(%)

1. Penetapan kadar air 4,32

2. Penetapan kadar sari yang larut air 12,09 3. Penetapan kadar sari yang larut etanol 9,56

4. Penetapan kadar abu total 7,78

5. Penetapan kadar abu yang tidak larut asam 0,62

Hasil penetapan kadar air yang diperoleh lebih kecil dari 5% yaitu 4,32%. Persyaratan kadar air simplisia daun gaharu memenuhi persyaratan dari literatur yaitu tidak melebihi 5%. Kadar air yang melebihi 5% dapat menjadi media yang baik untuk pertumbuhan mikroba, keberadaan jamur atau serangga, serta mendorong kerusakan karena terjadi proses hidrolisis (Ditjen POM, 1999).

Penetapan kadar sari yang larut air untuk mengetahui kadar senyawa kimia bersifat polar yang terkandung di dalam simplisia daun gaharu yang hasilnya diperoleh 12,09%, sedangkan kadar sari yang larut etanol dilakukan untuk mengetahui kadar senyawa yang larut dalam etanol, baik senyawa polar maupun non polar hasilnya adalah 9,56%. Kandungan sari larut air lebih tinggi daripada kadar sari larut etanol, karena senyawa yang bersifat polar lebih banyak larut di dalam pelarut air daripada etanol dan senyawa yang tidak larut dalam air akan


(61)

larut dalam pelarut etanol. Air dapat melarutkan zat lain yang tidak diperlukan seperti gom, pati, protein, lendir dan lain-lain, hal ini yang menyebabkan tingginya kadar sari yang larut air dari tanaman yang dilarutkan (Depkes RI, 1986).

Penetapan kadar abu total dilakukan untuk mengetahui kandungan mineral internal (abu fisiologis) yang berasal dari jaringan tanaman itu sendiri dan eksternal (abu non-fisiologis) yang merupakan residu dari luar seperti pasir dan tanah yang terdapat dalam sampel (Depkes RI 2000; WHO 2011). Kadar abu tidak larut asam untuk menunjukkan jumlah silikat, khususnya pasir yang ada pada simplisia dengan cara melarutkan abu total dalam asam klorida (WHO, 2011). Penetapan kadar abu pada simplisia daun gaharu menunujukkan kadar abu total sebesar 7,78% dan kadar abu tidak larut asam 0,62%. Kadar abu total pada umumnya untuk masing-masing simplisia tidak sama. Umumnya syarat kadar abu tidak larut asam < 1% dan simplisia daun gaharu memenuhi persyaratan.

Monografi simplisia daun gaharu tidak terdaftar di buku Materia Medika Indonesia (MMI), sehingga perlu pembakuan secara nasional mengenai parameter karakterisasi simplisia daun gaharu.

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Penentuan golongan senyawa kimia simplisia daun gaharu dilakukan untuk mendapatkan informasi golongan senyawa metabolit sekunder yang terdapat didalamnya. Adapun pemeriksaan yang dilakukan terhadap simplisia adalah pemeriksaan golongan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, saponin, glikosida dan steroid/triterpenoid. Hasil pemeriksaan penentuan golongan senyawa kimia daun gaharu dapat dilihat pada Tabel 4.2.


(62)

Tabel 4.2. Hasil skrining fitokimia dari simplisia daun gaharu

No Nama Senyawa Hasil

1. Alkaloid -

2. Flavonoid +

3. Steroid/Triterpenoid +

4. Tanin +

5. Glikosida +

6. Saponin +

7. Glikosida antrakuinon -

Keterangan : (+) positif : mengandung golongan senyawa (-) negatif : tidak mengandung golongan senyawa

Diketahui dari penelitian sebelumnya, simplisia daun gaharu positif mengandung flavonoid, tanin, glikosida dan steroid/triterpenoid (Silaban, 2014). Hasil ini dibandingkan dengan hasil skrining fitokimia yang dilakukan oleh peneliti sendiri terdapat perbedaan yaitu pemeriksaan saponin juga memberikan hasil yang positif.

Serbuk simplisia daun gaharu yang ditambah dengan pereaksi Dragendorff tidak memberikan endapan warna jingga kecoklatan, dengan pereaksi Bouchardat tidak memberikan endapan warna kuning kecoklatan dan dengan pereaksi Mayer tidak terbentuk endapan putih dan kekeruhan, hal ini menunjukkan simplisia tidak mengandung alkaloid. Alkaloid dianggap positif jika terjadi endapan atau paling sedikit dua atau tiga dari pereaksi yang ditambahkan (Ditjen POM, 1995). Skrining fitokimia terhadap flavonoid yakni dengan penambahan serbuk Mg, HCl pekat dan amil alkohol memberikan warna kuning pada lapisan amil alkohol. Ini dianggap bahwa flavonoid positif pada simplisia daun gaharu (Farnsworth, 1966). Penambahan pereaksi Liebermann-Burchard memberikan warna merah keunguan dan hijau biru menunjukkan adanya senyawa steroid/triterpenoid (Harborne, 1987), sedangkan skrining pada tanin dengan penambahan FeCl3


(63)

memberikan warna biru kehitaman yang menunjukan adanya tanin (Farnsworth, 1966). Skrining glikosida ditunjukkan dengan penambahan pereaksi Molish dan asam sulfat pekat dimana terbentuk cincin ungu. Pereaksi Molish merupakan pereaksi umum yang digunakan untuk identifikasi karbohidrat, dalam hal ini adalah gula (Ditjen POM, 1995).

Skrining saponin menghasilkan busa yang stabil dengan tinggi busa 3 cm dan tidak hilang dengan penambahan HCl 2N (Ditjen POM, 1995).

4.4 Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi

Ekstraksi dilakukan dengan cara perkolasi menggunakan pelarut etanol, dari hasil perkolasi 550 g serbuk simplisia diperoleh ekstrak kental sebanyak 79,26 g ekstrak etanol, kemudian dilanjutkan dengan fraksinasi menggunakan pelarut n-heksana, dan diperoleh fraksi n-heksana sebanyak 3,308 g.

4.5 Hasil Analisis Fraksi n-heksana dengan cara Kromatografi Lapis Tipis

Hasil analisis KLT fraksi n-heksana menggunakan fase diam silika gel F254 dan penampak bercak Liebermann-Burchard, diperoleh fase gerak terbaik n-heksana-etilasetat dengan perbandingan (80:20) karena menghasilkan pemisahan noda yang paling baik.

Tabel 4.3 Harga Rf hasil analisis fraksi n-heksan dengan cara kromatografi lapis tipis

Fase gerak n-heksan:etilasetat

Harga Rf Penampak

noda LB

1 2 3 4 5

(100:0) 0,62 - - - - Merah ungu

(90:10) 0,16 0,30 0,94 - - Merah ungu

(80:20) 0,21 0,36 0,52 0,56 0,96 Hijau biru dan Merah ungu

(70:30) 0,53 0,96 - - - Merah ungu

(60:40) 0,50 0,75 0,81 0,84 - Hijau biru dan Merah ungu


(1)

tp bp

Lampiran 11.Gambar kromatogram fraksi n-heksana daun gaharu dengan KLT satu arah dari isolat pertama menggunakan fase gerak berbeda

1 2 3 4

Keterangan: Fase diam: silika gel F254, penampak bercak: Liebermann-Burchard, tp: titik awal penotolan, bp: batas pengembangan.

Harga Rf KLT satu arah isolat 1 :

No. Fase Gerak Harga Rf

1 kloroform-metanol (40:60) 0,82 2 n-heksana-kloroform (50:50) 0,28 3 kloroform-etilasetat (60:40) 0,84 4 n-heksana-etilasetat (80:20) 0,53


(2)

bp

tp

Lampiran 12. Gambar kromatogram fraksi n-heksana daun gaharu dengan KLT satu arah dari isolat kedua menggunakan fase gerak yang berbeda

1 2 3 4

Keterangan: Fase diam: silika gel F254, penampak bercak: Liebermann-Burchard, tp: titik awal penotolan, bp: batas pengembangan.

Harga Rf KLT satu arah isolat 2 :

No. Fase Gerak Harga Rf

1 n-heksana-etilasetat (20:80) 0,42 2 toluen-etilasetat (10:90) 0,67 3 benzen-etilasetat (40:60) 0,53 4 kloroform-metanol (60:40) 0,82


(3)

tp bp

Lampiran 13. Gambar kromatogram fraksi n-heksana daun gaharu dengan KLT satu arah dari isolat ketiga menggunakan fase gerak yang berbeda

1 2 3 4

Keterangan: Fase diam: silika gel F254, penampak bercak: Liebermann-Burchard, tp: titik awal penotolan, bp: batas pengembangan.

Harga Rf KLT satu arah isolat 3 :

No. Fase Gerak Harga Rf

1 n-heksana-etilasetat (20:80) 0,34 2 toluen-etilasetat (10:90) 0,53 3 benzen-etilasetat (40:60) 0,6 4 kloroform-metanol (60:40) 0,54


(4)

tp

Lampiran 14. Gambar kromatogram KLT dua arah dari isolat 1 dengan fase gerak yang berbeda.

A2

A1

Keterangan: Fase diam: silika gel F254, penampak bercak: Liebermann–Burchard, tp: titik pentotolan, A1: arah pengembangan pertama, A2: arah pengembangan kedua.

Harga Rf KLT dua arah isolat 1:

No. Fase Gerak Harga Rf

1. n-heksana-etilasetat (80:20) 0,60 2. kloroforom-etilasetat (60:40) 0,46


(5)

tp

Lampiran 15. Gambar kromatogram KLT dua arah dari isolat 2 dengan fase gerak yang berbeda.

A2

A1

Keterangan: Fase diam: silika gel F254, penampak bercak: Liebermann–Burchard, tp: titik pentotolan, A1: arah pengembangan pertama, A2: arah pengembangan kedua.

Harga Rf KLT dua arah isolat 2:

No. Fase Gerak Harga Rf

1. n-heksana-etilasetat (20:80) 0,45 2. benzen-etilasetat (40:60) 0,56


(6)

tp

A2

Lampiran 16. Gambar kromatogram KLT dua arah dari isolat 3 dengan fase gerak yang berbeda.

A1

Keterangan: Fase diam: silika gel F254, penampak bercak: Liebermann–Burchard, tp: titik pentotolan, A1: arah pengembangan pertama, A2: arah pengembangan kedua.

Harga Rf KLT dua arah isolat 3:

No. Fase Gerak Harga Rf

1. n-heksana-etilasetat (20:80) 0,34 2. benzen-etilasetat (40:60) 0,49


Dokumen yang terkait

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Fraksi N-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.)

5 73 99

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Ekstrak N-Heksan Rumput Laut Turbinaria Ornata (Turner) J. Agardh

11 91 78

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Alkaloida Dari Ekstrak Metanol Daun Kitolod (Hippobroma Longiflora (L.) G. Don)

16 137 87

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Steroid/Triterpenoid Dari Ekstrak Etanol Pucuk Labu Siam (Sechium edule (Jacq.) Sw.)

8 68 94

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Alkaloida Dari Biji Tumbuhan Tephrosia vogelii Hook.f.

26 186 83

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Fraksi N-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.)

0 0 26

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Fraksi N-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.)

0 1 23

KATA PENGANTAR - Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Fraksi N-Heksana Daun Gaharu (Aquilaria Malaccensis Lam.)

0 0 15

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Ekstrak N-Heksan Rumput Laut Turbinaria Ornata (Turner) J. Agardh

0 1 22

Karakterisasi Simplisia Dan Skrining Fitokimia Serta Isolasi Senyawa Steroid/Triterpenoid Dari Ekstrak N-Heksan Rumput Laut Turbinaria Ornata (Turner) J. Agardh

1 1 14