Prevalensi Koksidiosis Pada Sapi Perah Di Kelompok Ternak Tirta Kencana Dan Baru Sireum, Cisarua, Kabupaten Bogor.

PREVALENSI KOKSIDIOSIS PADA SAPI PERAH DI
KELOMPOK TERNAK TIRTA KENCANA DAN BARU
SIREUM, CISARUA, KABUPATEN BOGOR

DORY SYLVIANISAH POHAN

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESMAVET
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Prevalensi Koksidiosis pada
Sapi Perah di Kelompok Ternak Tirta Kencana dan Baru Sireum, Cisarua,
Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2015
Dory Sylvianisah Pohan
NIM B04110049

ABSTRAK
DORY SYLVIANISAH POHAN. Prevalensi Koksidiosis pada Sapi Perah di
Kelompok Ternak Tirta Kencana dan Baru Sireum, Cisarua, Kabupaten Bogor.
Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA.
Koksidiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa Eimeria sp.
Terdapat dua tipe Eimeria patogen, Eimeria bovis and Eimeria zuernii. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menghitung besarnya prevalensi koksidiosis dan
identifikasi jenis Eimeria sp. pada sapi perah (Tirta Kencana and Baru sireum).
Salah satu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode McMaster.
Seratus sampel feses secara acak diambil dari kelompok ternak KUD Giri Tani
(Tirta Kencana dan Baru Sireum). Sampel terdiri dari tiga jenis yaitu sampel dari
sapi yang berumur kurang dari 6 bulan, berumur 6 sampai 12 bulan dan
berumur lebih dari 12 bulan. Hasil menunjukkan prevalensi koksidiosis (Tirta
Kencana dan Baru sireum) sebesar 47% (Selang Kepercayaan (SK) 95%; 37.2%56.7%) sedangkan prevalensi di tiap wilayah sebesar 58.3% (SK 95%; 49%68.3%) di Tirta Kencana dan 27% (SK 95%; 18.3%-35.7%) di Baru Sireum.

Prevalensi tertinggi pada penelitian ini terdapat pada ternak berumur 6 sampai 12
bulan sebesar 92% (SK 95%; 87.0%-97.5%). Sebanyak tujuh spesies teridentifikasi
dalam penelitian ini, yaitu E. bukidnonensis, E.wyomingensis, E. auburnensis, E.
brasiliensis, E. canadensis, E. bovis dan E.zuernii.

ABSTRACT
DORY SYLVIANISAH POHAN. Prevalensi Koksidiosis pada Sapi Perah di
Kelompok Ternak Tirta Kencana dan Baru Sireum, Cisarua, Kabupaten Bogor.
Dibimbing oleh UMI CAHYANINGSIH dan ARIFIN BUDIMAN NUGRAHA.
Coccidiosis is a disease caused by protozoa Eimeria sp. There are two
types of pathogenic Eimeria, Eimeria bovis and Eimeria zuernii. The aims of this
study were to determined the prevalence of coccidiosis and identify species of
Eimeria oocysts in dairy farm groups (Tirta Kencana and Baru sireum). One of the
variety methods used in this study was McMaster method. One hundred fecal
samples were randomly collected from dairy farms of KUD Giri Tani ( Tirta
Kencana dan Baru Sireum). Samples were consisted of three types, aged less than
6 months, aged 6 to 12 months and aged more than 12 months. The result
showed that the prevalence of coccidiosis (Tirta Kencana dan Baru sireum) was
47% (Confidence Interval (CI) 95%; 37.2%-56.7%), mean while the prevalence
of each regions were 58.3% (CI 95%; 49%-68.3%) in Tirta Kencana and 27%

(CI 95%; 18.3%-35.7%) in Baru Sireum. The highest prevalence in this study was
found in cattle aged 6 to 12 months 92% (CI 95%; 87.0%-97.5%). Seven species
were identified in this study, there were E. bukidnonensis, E.wyomingensis, E.
auburnensis, E. brasiliensis, E. canadensis, E. bovis dan E.zuernii.
Key words : coccidiosis, dairy cattle, Eimeria, OPG, prevalence

PREVALENSI KOKSIDIOSIS PADA SAPI PERAH DI
KELOMPOK TERNAK TIRTA KENCANA DAN BARU
SIREUM, CISARUA, KABUPATEN BOGOR

DORY SYLVIANISAH POHAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESMAVET
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Januari 2013 sampai
dengan Agustus 2014 ini ialah Prevalensi Koksidiosis pada Sapi Perah di
Kelompok Ternak Tirta Kencana dan Baru Sireum, Cisarua, Kabupaten Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Hj Umi Cahyaningsih dan Drh
Arifin Budiman Nugraha MSi selaku pembimbing, tim laboratorium
protozoologi ibu Nani dan ibu Mae. Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada ayah Gozali Rahmat Nur Pohan, ibu Maimunah Siregar, adik Auliyah
Lumonggasari Pohan serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih
sayangnya. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada teman
penelitian Elma Nefia dan Zikra Doviansyah atas bantuan serta motivasinya,
teman-teman Ganglion 48, Himpunan Minat dan Profesi Hewan Kesayangan dan
Hewan Akuatik Eksotik (Himpro HKSA), Omda Imatapsel 48 dan Malea Bawah
atas dukungan yang telah diberikan selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015
Dory Sylvianisah Pohan

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
METODE
Lokasi dan Waktu penelitian
Metode Penarikan Contoh
Koleksi Sampel
Penghitungan Jumlah Ookista dengan Metode McMaster
Identifikasi Ookista Eimeria Secara Morfologi
Analisis Data

HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi Koksidiosis (wilayah)
Prevalensi koksidiosis berdasarkan Umur
Derajat Infeksi pada Kelompok Umur dan Jenis Kelamin
yang Berbeda
Prevalensi koksidiosis berdasarkan jenis kelamin
Hasil identifikasi spesies Eimeria sp.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
1
1
1
2
2
4

4
5
5
5
6
6
6
6
8
8
9
10
11
11
11
12
15

DAFTAR TABEL
1

2
3
3
4
5

Prevalensi koksidiosis berdasarkan umur yang berbeda
Derajat infeksi berdasarkan OTGT, berdasarkan umur dan jenis
kelamin koksidiosis berdasarkan jenis kelamin
Prevalensi
Hasil Identifikasi jenis Eimeria sp. Berdasarkan Levine dan Soulsby

6
8
9
9
10

Hasil jumlah sampel yang terinfeksi satu spesies dan infeksi campuran


11

Prevalensi koksidiosis berdasarkan wilayah di Cisarua

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peternakan sapi perah di Indonesia terus berkembang seiring dengan
peningkatan permintaan susu segar. Peningkatan konsumsi susu segar terlihat
pada tahun 2009 sampai 2012 yakni sebesar 0.002 liter/kapita/tahun, sedangkan
pada tahun 2012 meningkat menjadi 0.003 liter/kapita/tahun (Ditjennak 2013)
Sementara itu, populasi sapi perah secara nasional pada tahun 2012
mengalami peningkatan sebesar 2.47% dibandingkan tahun 2011. Peningkatan
populasi berbanding lurus dengan peningkatan produksi susu segar secara
nasional. Produksi tertinggi terjadi pada tahun 2012 mencapai 959.73 ton. Salah
satu provinsi yang terus mengembangkan peternakan sapi perah adalah Jawa
Barat. Populasi sapi perah di Jawa Barat pada tahun 2012 mencapai 136.054 ekor.
Sementara itu, produksi susu segar Jawa Barat tertinggi terjadi pada tahun 2011
yaitu sebesar 302.6 ton (Ditjennak 2013).

Salah satu peternakan sapi perah di Jawa Barat berada di Cisarua,
Kabupaten Bogor. Cisarua merupakan daerah sentra peternakan sapi perah yang
terus berkembang di Kabupaten Bogor. Perkembangan ini didukung oleh
keberadaan koperasi susu yang menaungi peternak yaitu Koperasi Unit Desa
(KUD) Giri Tani. Peternakan sapi perah di Cisarua dapat dikategorikan dalam
skala peternakan rakyat. Manajemen peternakan yang dijalankan masih
konvensional dan berskala peternakan rumah tangga. Hal ini menyebabkan hewan
ternak pada kelompok tersebut berpeluang besar terkena penyakit, salah satunya
adalah koksidiosis.
Koksidiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh protozoa dari genus
Eimeria. Eimeria adalah parasit yang termasuk ke dalam Filum Apicomplexa dan
bersifat obligat intraseluler, selain itu beberapa diantaranya bersifat patogen. Pada
sapi terdapat 13 spesies Eimeria spp yang bersifat parasitik yaitu E. alabamensis,
E. auburnensis, E. bovis, E. brasiliensis, E. bukidnonensis, E. canadensis, E.
cylindrica, E.ellipsoidalis, E. illinoisensis, E. pellita, E. supspherica, E.
wyomingensis, E. zuernii. Dua spesies yang menyebabkan gejala klinis paling
parah ialah E. bovis dan E. zuernii. Koksidiosis dapat meyebabkan hewan
mengalami diare, anemia dan penurunan berat badan (Fitriastuti et al. 2011).
Menurut Yu et al. (2011) ternak yang terinfeksi koksidiosis akan menunjukkan
gejala klinis berupa malnutrisi, anemia dan diare berdarah, sehingga dapat

menimbulkan kerugian ekonomi. Beberapa kerugian ekonomi diantaranya ternak
mengalami penurunan konsumsi pakan dan berat badan, serta kematian pada sapi.
Menurut Pandit (2009) tingginya tingkat morbiditas dan mortalitas hewan dapat
menghambat keberlangsungan peternakan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menduga prevalensi koksidiosis pada sapi
perah di kelompok tani Cisarua, Kabupaten Bogor, menduga prevalensi

2

koksidiosis pada kelompok umur yang berbeda, serta mengidentifikasi jenis
Eimeria sp. pada sapi perah.
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan dan
informasi tentang penyakit koksidiosis kepada peternak sapi perah, pemerintah,
dan masyarakat.

TINJAUAN PUSTAKA
Eimeria spp.
Koksidiosis merupakan penyakit dengan gejala klinis yang khas pada sapi.
Koksidiosis disebabkan oleh protozoa Eimeria sp. (Ernest dan Benz 1981).
Penyakit tersebut disebabkan oleh Eimeria yang termasuk dalam filum
apicomplexa (Juliet et al. 2013). Klasifikasi Eimeria sp. menurut Levine (1985)
sebagai berikut :
Phylum
: Protozoa
Subphylum
: Apicomplexa
Kelas
: Sporozoasida
Subkelas
: Coccidiasina
Ordo
: Eucoccidiorida
Subordo
: Eimeriorina
Famili
: Eimeriidae
Genus
: Eimeria
Terdapat dua spesies Eimeria yang patogen dalam koksidiosis pada sapi
yaitu Eimeria bovis dan Eimeria zuernii. Kedua spesies tersebut tersebar sebagai
coccidia dengan prevalensi tertinggi (Khan et al. 2013). Beberapa spesies lain
yang dapat menginfeksi diantaranya E. alabamensis, E. auburnensis dan E.
ellipsoidalis. Spesies Eimeria tersebut dapat menginfeksi jika ookista yang
termakan telah bersporulasi (Ernest dan Benz 1981).
Siklus Hidup
Coccidia memiliki dua fase dalam siklus hidupnya yaitu fase endogenus
dan fase eksogenus. Fase endogenus dimulai ketika ookista yang infektif termakan
oleh inang definitif. Ookista akan melepaskan sporokista, di dalam sporokista
terdapat sporozoit. Satu ookista memiliki empat sporokista dan satu sporokista
memiliki dua sporozoit. Ada delapan buah sporozoit dalam satu ookista. Sporozoit
di dalam usus akan berkembang menjadi tropozoit yang selanjutnya berkembang
menjadi skizon. Skizon generasi pertama yang sudah matang akan pecah sehingga
merozoit akan keluar dari skizon dan akan menginfeksi ke sel epitel lainnya. Hal
ini bertujuan membentuk generasi kedua skizon. Skizon generasi kedua akan
pecah dan merozoit akan keluar kembali. Jumlah merozoit dari skizon generasi

3
pertama mencapai 900 merozoit, sedangkan jumlah merozoit dari skizon generasi
kedua mencapai 200-350 merozoit. (Ernest dan benz 1981). Selanjutnya, merozoit
akan berkembang menjadi sel gamet (gametogomi) yakni mikrogamet dan
makrogamet. Makrogamet akan dibuahi oleh mikrogamet dan menghasilkan zigot,
selanjutnya akan berkembang menjadi ookista. Ookista akan dilepaskan ke
lingkungan bersama feses. Fase eksogenus (sporogoni) terjadi di luar tubuh inang
dimulai dengan ditemukannya ookista di dalam feses. Ookista mengalami proses
sporulasi untuk menjadi infektif. Beberapa faktor yang mempengaruhi sporulasi
yaitu suhu, kelembapan serta oksigen.
Ada beberapa faktor yang dapat menentukan tingkat patogenitas
koksidiosis yaitu jumlah ookista yang menginfeksi, jumlah generasi dan produksi
merozoit selama siklus skizogoni, lokasi parasit di dalam jaringan (Soulsby 1982).

Gambar 1 Siklus hidup Eimeria
(Lassen 2012)
Gejala Klinis
Gejala klinis pada hewan yang terinfeksi umumnya adalah diare berulang
sehingga menyebabkan hewan dehidrasi. Sementara itu pertumbuhan rambut pada
kulit hewan menjadi kasar, serta terjadi penurunan pertumbuhan dan berat badan
hewan. Semua gejala klinis tersebut dapat terjadi pada tahap akut, subakut dan
kronis (Khan et al. 2013). Sapi yang mengalami koksidiosis ringan menunjukkan
gejala klinis berupa diare, lemah serta anorexia. Bercak-bercak darah akan keluar
bersamaan dengan feses. Selanjutnya fase akut ditandai dengan diare yang
berulang selama tiga sampai lima hari (Ernest dan Benz 1981)
Diagnosa Koksidiosis
Cara mendiagnosa koksidiosis tidak cukup dengan melihat gejala klinis
saja. Hal ini dapat terjadi kekeliruan dengan gejala klinis dari penyakit intestinal

4
lainnya. Diagnosa koksidiosis umumnya berdasarkan pada karakteristik morfologi
ookista, parasitik biologi dan gejala klinis pada hewan (Mirani et al. 2012)
Prevalensi Koksidosis pada Sapi Perah
Prevalensi koksidiosis tertinggi terjadi pada sapi pedet atau anak sapi
(Khan et al. 2013). Menurut Priti et al. (2008) hewan muda umumnya lebih
rentan terhadap infeksi oleh Eimeria sp. Hal ini dikarenakan kekebalan tubuh
hewan belum terbentuk secara sempurna. Selain itu menurut Mc Keller (2008)
prevalensi koksidiosis akan meningkat pada kondisi sanitasi kandang dan
lingkungan yang buruk, kurangnya asupan nutrisi serta kepadatan populasi.
Padatnya populasi sapi di peternakan skala besar menyebabkan pedet berpeluang
tertelan ookista bersporulasi dalam jumlah banyak. Umumnya secara alami infeksi
Eimeria sp. dengan kombinasi lebih dari satu spesies.
Pengendalian Koksidiosis
Usaha pengendalian yang efektif yaitu dengan perbaikan manajemen
peternakan. Perbaikam manajemen peternakan berupa perbaikan sanitasi kandang
dan lingkungan sekitar serta penempatan pakan dan minum sapi di dalam kandang
diusahakan cukup tinggi dari alas kandang. Hal ini untuk mencegah kontaminasi
dari feses yang berada di alas kandang (Soulsby 1982)
Pengobatan koksidiosis dapat menggunakan obat kelompok sulfonamid,
diantaranya sulphamezathine dan sulfaguanidin. Selain itu aprolium dan monensin
juga dapat digunakan pada koksidiosis. Monensin merupakan antikoksidia
berspektrum luas dan efektif pada anak atau pedet sapi perah (Langston et al.
1985).

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2013 sampai dengan Agustus
2014. Sampel feses berasal dari dua kelompok peternak (Tirta Kencana dan Baru
Sireum) di KUD Giri Tani Cisarua, Kabupaten Bogor. Pemeriksaan sampel feses
dilakukan di Laboratorium Protozoologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan
Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB.
Daerah Cisarua berada pada ketinggian 900-1800 m dpl dan memiliki curah
hujan rata-rata mencapai 3.005 mm per tahun. Suhu di daerah Cisarua berkisar
antara 16-24 °C (BPS 2014). Oleh karena itu, daerah Cisarua menjadi daerah
pengembangan peternakan sapi perah.
Beberapa kelompok peternak sapi perah di Cisarua bergabung dalam
Koperasi Unit Desa (KUD) Giri Tani. Terdapat lima kelompok peternak KUD
Giri Tani, diantaranya adalah Baru Tegal, Baru sireum, Bina Warga, Tirta
Kencana dan Mekarjaya. Kelompok peternak daerah Tirta Kencana dan Baru
Sireum merupakan lokasi pengambilan sampel dalam penelitian ini

5

Metode Penarikan Contoh
Sampel feses diambil dari sapi di kelompok peternak Tirta Kencana dan Baru
Sireum Cisarua, Kabupaten Bogor. Satuan penarikan contoh dari penelitian ini
ialah sapi perah. Jumlah populasi sapi perah di peternakan tersebut sebesar 500
ekor. Besaran sampel yang didapat menggunakan tingkat kepercayaan sebesar
95%, prevalensi dugaan 50%, dan tingkat kesalahan sebesar 10%, sehingga
jumlah ukuran sampel sebanyak 100 sampel. Adapun rumus ukuran contoh untuk
menduga prevalensi penyakit (Thrushfield 2005) :
n=
Keterangan :
n : ukuran contoh
p : prevalensi dugaan
q : (1 - p)
L : tingkat kesalahan
Koleksi Sampel
Sampel feses sebanyak lebih kurang 20 gram diambil secara perektal
kemudian dimasukan ke dalam plastik. Selanjutnya, setiap sampel feses
diidentifikasi berdasarkan nama peternak, umur ternak, jenis kelamin, dan nomor
ternak. Sampel feses yang diperoleh disimpan dalam cooler box selama perjalanan,
kemudian disimpan ke dalam lemari pendingin (4-6°C) sampai sampel dilakukan
pemeriksaan.
Penghitungan Jumlah Ookista dengan Metode McMaster
Sebanyak empat gram feses dimasukkan ke dalam wadah plastik lalu
ditambahkan larutan garam jenuh sebanyak 56 mL dan diaduk homogen. Larutan
disaring menggunakan saringan untuk menghilangkan serat rumput serta pengotor
lainnya. Hasil saringan diambil menggunakan pipet dan dimasukkan ke dalam
kamar hitung McMaster kemudian didiamkan terlebih dahulu selama lima sampai
sepuluh menit. Setelah itu, diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100
kali. Adapun Rumus yang digunakan untuk menghitung Ookista Tiap gram Tinja
(Lucas et al. 2006) :
OTGT =
Keterangan :
n
: Jumlah ookista terhitung
Vt
: Volume tinja (gram)
Vp
: Volume larutan pengapung (mL)
Vkh : Volume kamar hitung (McMaster)

6

Identifikasi Ookista Eimeria Secara Morfologi
Identifikasi ookista Eimeria dilakukan berdasarkan morfologi dengan
mengukur panjang dan lebar ookista. Pengukuran menggunakan mikrometer
okuler pada perbesaran 100 kali. Ukuran panjang dan lebar ookista dikalikan
dengan faktor pengali sebesar 7.5. Nilai faktor pengali tersebut merupakan nilai
konversi dari kalibrasi mikrokskop. Indeks ookista didapatkan dengan cara
membagi panjang dan lebar ookista. Hasil yang didapatkan dibandingkan dengan
referensi. Referensi yang digunakan yaitu Soulsby (1982) serta Levine (1985)
Analisis Data
Data yang diperoleh dari pemeriksaan laboratorium diolah menggunakan
perangkat lunak SPSS 20. dengan metode Kruskal Wallis dilanjutkan dengan
Dunn Test.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Prevalensi Koksidiosis berdasarkan Wilayah
Sebanyak 100 sampel dalam penelitian ini didapat dari Tirta Kencana dan
Baru Sireum. Sampel tersebut terdiri atas 63 sampel dari Tirta Kencana dan 37
sampel dari Baru Sireum. Prevalensi koksidiosis secara keseluruhan di kedua
kelompok ternak sebesar 47% (Selang Kepercayaan (SK) 95%; 37.2%-56.7%)
dengan masing-masing prevalensi pada setiap kelompok ternak adalah 58.3% (SK
95%; 49%-68.3%) di Tirta Kencana dan 27% (SK 95%; 18.3%-35.7%) di Baru
Sireum. Data prevalensi koksidiosis pada kedua wilayah tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Prevalensi koksidiosis berdasarkan wilayah di Cisarua

Wilayah

Jumlah
Sampel

Jumlah
sampel
positif

Prevalensi
(%)

Selang
Kepercayaan
SK (95%)

Alas kandang

Tirta Kencana

63

37

58.3

49,0-68,3

Karet

Baru Sireum

37

10

27.0

18.3-35.7

Semen

Total

100

47

47.0

37.2-56.7

Prevalensi di Tirta Kencana lebih besar daripada Baru Sireum. Salah satu
penyebabnya adalah perbedaan penerapan manajemen peternakan di setiap
kelompok ternak. Perbedaan manajemen peternakan terlihat pada alas kandang
yang digunakan di kedua kelompok ternak. Kelompok Tirta Kencana
menggunakan alas karet sedangkan Baru Sireum menggunakan alas semen.

7
Peternak dengan alas karet hanya melakukan pembersihan pada bagian alas saja,
sedangkan bagian lantai yang tertutup karet tidak dibersihkan sehingga ookista
diduga dapat bertahan disana. Prevalensi koksidiosis ternak dengan menggunakan
alas karet lebih besar daripada semen. Hal tersebut sesuai dengan Abebe at al.
(2008) dimana prevelansi koksidiosis lebih tinggi pada alas kandang tanpa semen
(karet) dibandingkan alas semen. Hal ini dikarenakan pembersihan alas kandang
semen lebih mudah dibandingkan dengan alas karet, sehingga peluang ternak
terinfeksi berkurang. Pembersihan pada lantai yang tertutup alas karet dapat
mengurangi peluang ternak terinfeksi koksidiosis. Pembersihan dapat dilakukan
dengan cara menyikat lantai tersebut.
Menurut David et al. (2012) prevalensi koksidiosis dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor selain alas kandang diantaranya adalah sumber air, frekuensi
pembersihan kandang serta penyimpanan pakan. Sumber air di Tirta Kencana dan
Baru Sireum berasal dari mata air. Sumber air digunakan untuk praktek higiene
dan sanitasi kandang, salah satunya membersihkan kandang. Adapun frekuensi
pembersihan kandang di kedua kelompok dilakukan dua kali sehari. Penyimpanan
pakan pada kedua kelompok diletakkan langsung di atas alas kandang tanpa ada
tempat khusus. Hal ini diduga dapat membuat ternak mudah terinfeksi oleh pakan
yang terkontaminasi ookista yang terdapat pada alas kandang.
Selain itu berdasarkan hasil pengamatan, banyak peternak yang
mencampurkan ternaknya dalam satu kandang. Sapi dewasa yang berumur lebih
dari 12 bulan dicampurkan dengan sapi pedet berumur kurang dari enam bulan.
Menurut Abebe at al. (2008) pencampuran ternak dalam satu kandang
menyebabkan terjadinya kontak fisik antara sapi dewasa dan sapi pedet, sehingga
sapi pedet mudah terinfeksi koksidiosis.
Total prevalensi kedua wilayah umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan
tingkat prevalensi koksidiosis pada sapi yang telah dilaporkan di Indonesia. Hasil
ini lebih tinggi dari prevalensi koksidiosis di Kabupaten Karang anyar dengan
prevalensi sebesar 38.7% (Istiyani 2013), Kabupaten Wonogiri sebesar 43.2%
(Ardianto 2013) dan Kabupaten Sragen sebesar 38.7% (Nanditya 2014).
Sementara itu, hasil penelitian di daerah Boyolali didapat prevalensi sebesar
48.2% (Wicaksana 2013). Lain halnya, prevalensi di sembilan provinsi (Gorontalo,
Sulawesi selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
Sulawesi tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Maluku) prevalensinya
berkisar 70% sampai 100% (Fitrriastuti et al. 2011). Hasil penelitian tersebut
lebih tinggi dibandingkan dengan prevalensi di Tirta Kencana dan Baru Sireum.
Prevalensi koksidiosis pada sapi telah dilaporkan di berbagai negara
diantaranya adalah di Eastonia sebesar 37% (Lassen dan Ostergaard 2012),
Ethiopia sebesar 68.1% (Abebe et al. 2008) dan Shanghai, Cina sebesar 47,1%
(Hui et al. 2012)
Perbedaan prevalensi di setiap wilayah di sebabkan oleh beberapa faktor
seperti iklim, manajemen peternakan, jenis ras sapi dan agroekologi suatu daerah
(Yu et al. 2011). Sementara itu, menurut Khan et al. (2013) hasil prevalensi yang
bervariasi berkaitan dengan perbedaan dalam penerapan agroekologi, manajemen
peternakan dan cara beternak di setiap negara. Manajemen peternakan yang
diterapkan diduga sebagai faktor risiko kejadian koksidiosis.
Pengambilan sampel dilakukan pada bulan Januari, pada bulan tersebut
intensitas hujan tinggi di Cisarua. Peningkatan prevalensi koksidiosis pada musim

8
hujan menyebabkan ookista berkembang secara progresif karena intensitas hujan
tinggi dan temperatur yang rendah (Soulsby 1982). Beberapa faktor predisposisi
seperti nutrisi dan sanitasi yang rendah serta kepadatan kandang yang tinggi
berpengaruh terhadap infeksi Eimeria. Kondisi stres salah satunya dapat
ditimbulkan oleh kepadatan kandang yang tinggi, sehingga secara tidak langsung
menyebabkan penurunan sistim imun. Menurut Somayeh dan Alborzi (2013)
bahwa penurunan sistim imun menyebabkan sapi mudah terinfeksi Eimeria.
Prevalensi koksidiosis berdasarkan Umur
Berdasarkan tabel 2, sapi berumur kurang dari 6 bulan memiliki prevalensi
sebesar 76.1% (SK 95%; 67.8%-84.5%). Prevalensi berdasarkan umur tertinggi
terjadi pada sapi umur 6 sampai 12 bulan sebesar 92.3% (SK 95%; 87.0%-97.5%),
sedangkan prevalensi terendah terjadi pada sapi dewasa berumur lebih dari 12
bulan sebesar 28.7% (SK 95%; 19.9%-37.6%). Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian di Ethiopia dengan prevalensi sebesar 81% pada sapi berumur 6 sampai
12 bulan. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Lucas et al. (2014) di MidAtlantic Amerika Serikat, prevalensi tertinggi terjadi pada sapi muda berumur 5
sampai 6 bulan (Lucas et al. 2014).
Tabel 2 Prevalensi koksidiosis berdasarkan umur yang berbeda
Jumlah
Jumlah
sampel
Umur
Prevalensi (%)
Selang Kepercayaan
sampel
positif
SK (95%)
12 bulan

66

19

28.7

19.9-37.6

Total

100

47

47.0

37.2-56.7

Prevalensi koksidiosis pada sapi berumur kurang dari 6 bulan dan 6
sampai 12 bulan lebih tinggi dibandingkan sapi dewasa. Salah satunya
diakibatkan sistem kekebalan yang belum terbentuk dengan baik (immature).
Selain itu, berdasarkan hasil pengamatan sebagian peternak masih mencampurkan
sapi dengan umur yang berbeda dalam satu kandang. Faktor imunitas yang rendah
ditambah dengan pencampuran ternak serta sanitasi buruk menyebabkan sapi
muda mudah terinfeksi oleh sapi dewasa.
Beberapa faktor lain seperti stress, sering terjadi pada sapi muda yang
menyebabkan respon imun menurun sehingga sapi menjadi rentan terhadap
koksidiosis. Faktor risiko lain yang memengaruhi seperti penyapihan dan
pemberian kolostrum tidak dilakukan setelah sapi melahirkan (Sanchez et al.
2007).
Derajat Infeksi pada Kelompok Umur dan Jenis Kelamin yang Berbeda
Derajat infeksi (OTGT) tertinggi pada sapi berumur lebih dari 12 bulan
dibandingkan dengan kelompok umur yang lain. Menurut Somayeh dan Alborzi
(2013) jumlah OTGT dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok yaitu rendah

9
2500 OTGT ; sedang 2500-5000 OTGT dan tinggi 5000 OTGT. Berdasarkan hasil
OTGT dapat disimpulkan sapi di kelompok ternak Tirta Kencana dan Baru
Sireum menderita koksidiosis ringan karena jumlah OTGT dibawah 2500.
Tabel 3 Derajat infeksi berdasarkan OTGT, berdasarkan umur dan jenis kelamin
Kriteria Sampel

Umur/Jenis kelamin

Rata-rata
OTGT

SK 95%

6 bln

154.5

147.2-161.8

12 bln

554.5

540.6-568.4

Jantan

227.2

206.6-236.0

betina

586.3

572.1-600.5

Umur

Jenis kelamin

p
0.328

0.459

Berdasarkan hasil analisa statistik dengan uji Kruskal-Wallis tidak ada
perbedaan yang nyata pada kelompok umur terhadap nilai OTGT (p>0.05). Hasil
ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Alemayheu et al. (2013) yang
menunjukkan perbedaan yang nyata pada kelompok umur (p0.05). Hasil ini sesuai penelitian yang dilakukan di Ethiopia
yang menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada jenis kelamin (p>0.05)
(Alemayehu et al. 2013).
Prevalensi koksidiosis berdasarkan jenis kelamin
Prevalensi koksidiosis pada sapi jantan (75%; SK 95%; 66.5%-83.4%)
lebih tinggi dibandingkan pada sapi betina (32%; 32% (SK 95%; 30.4%-49.6%).
Tabel 4 Prevalensi koksidiosis berdasarkan jenis kelamin

Jantan

20

Jumlah
sampel
positif
15

Betina

80

32

40.0

30.4-49.6

Total

100

47

47.0

37.2-56.7

Jenis Kelamin

Jumlah
sampel

Prevalensi (%)
75.0

Selang Kepercayaan
SK (95%)
66.5-83.4

Berdasarkan hasil penelitian ini sapi jantan terinfeksi koksidiosis lebih
tinggi dibandingkan sapi betina. Hal tersebut dikarenakan sistem pemeliharaan
pada sapi jantan lebih buruk dibandingkan pada sapi betina. Seperti halnya sapi
jantan dibersihkan sehari sekali sedangkan sapi betina kebersihannya dilakukan
dua kali sehari seusai jadwal pemerahan. Menurut David (2012) sanitasi
peternakan serta sistem pemeliharan berpengaruh terhadap prevalensi koksidiosis.
Sanitasi dan sistem pemeliharaan yang buruk akan meningkatkan prevalensi
koksidiosis.

10
Menurut David et al. (2012) tidak ada hubungan signifikan antara infeksi
Eimeria dengan jenis kelamin. Jantan maupun betina memiliki peluang yang sama
untuk terinfeksi Eimeria. Jumlah betina positif terinfeksi Eimeria lebih banyak
dari jumlah jantan, kejadian ini diduga disebabkan oleh stres fisiologis pada betina
saat kehamilan dan melahirkan
Hasil identifikasi spesies Eimeria sp.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tujuh jenis Eimeria yang
teridentifikasi diantaranya adalah E. bukidnonensis, E.wyomingensis, E.
auburnensis, E. brasiliensis, E. canadensis, E. bovis dan E.zuernii. Hasil tersebut
berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Ethiopia, sebanyak sembilan jenis
Eimeria teridentifikasi. Sembilan jenis tersebut yaitu E. bukidnonensis,
E.wyomingensis, E. auburnensis, E. canadensis, E.zuernii, E. ellipsoidalis, E.
subspherica, E. cylindrica, E. alabamensis (Abebe et al. 2008). Hasil identifikasi
spesies Eimeria sp. dalam penelitian ini tersaji pada tabel 4.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat dua spesies Eimeria patogen.
Menurut Daugshcies dan Najdrowski (2005) sapi yang terinfeksi E. bovis dan
E.zuernii akan menunjukkan gejala klinis berupa diare, bulu kusam dan kaheksia.
Namun berdasarkan hasil pengamatan di lapang tidak banyak sapi yang
menunjukkan gejala klinis tersebut. Kemungkinan sapi terinfeksi koksidiosis
secara subklinis, sehingga tidak banyak sapi yang terlihat gejala klinisnya.
Tabel 5 Hasil identifikasi jenis Eimeria sp. berdasarkan Levine (1985) dan
Soulsby (1982)
Hasil Identifikasi
Ukuran
p x l (µm)

Indeks

Soulsby (1982)
Ukuran
p xl (µm)

Indeks

Levine (1985)
Ukuran p
xl (µm)

Indeks

Jenis Eimeria
sp.

37.5-52.5 x
37.5 52.5
45 x45*

1

44 x 31,1

1.41

34-64 x
26-41

1.46

Eimeria
bukidnonensis

45 x 30
45 x 30*

1,5

37-44.9 x
26.4-30.8

1.43

36-46x
26-32

1.41

Eimeria
wyomingenssis

37.5 x 22.5
37.5 x 22.5*

1,67

32-46 x
20-25

1.65

32-46 x
19-30

1.59

Eimeria
aurbunensis

37.5 x 30
37.5 x 30*

1,25

34.2-42.7 x
24.2-29.9

1.38

31-49 x
21-33

1.48

Eimeria
brasiliensis

30 x 30
30 x 30*

1

28-37 x
20-27

1.39

28-39 x
20-29

1.37

Eimeria
canadensis

22.5-30 x 22.5 1.17
26.25 x 22.5*

23-34 x
17-23

1.36

23-34 x
17-23

1.17

Eimeria
bovis

22.5 x 15
22.5 x 15*

15-22 x
13-18

1.14

12-29 x
10-21

1.32

Eimeria
zuernii

1.5

11

Berdasarkan hasil yang disajikan pada Tabel 5 sebanyak 25 sampel
terinfeksi oleh satu jenis Eimeria (53.2%) dari total sampel. Selebihnya 44
sampel terinfeksi lebih dari satu jenis Eimeria atau sebesar 46.8% dari total
sampel. Oleh karena itu perlu dilakukan pengendalian dan pencegahan terhadap
ookista yang ada di lingkungan.
Tabel 6 Hasil jumlah sampel yang terinfeksi satu spesies dan infeksi campuran
Spesies Eimeria
Jumlah
Prevalensi (%)
sampel
positif
1 spesies
25
53.2
E. brasiliensis
7
14.9
E. canadensis
5
10.6
E. bovis
5
10.6
E. bukidnonensis
3
6.4
E. wyomingensis
3
6.4
E. aurbunensis
1
2.1
E. zuernii
1
2.1
Infeksi campuran
22
46.8
Total
47
100

SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan prevalensi total
koksidiosis di kelompok ternak Kencana dan Baru Sireum sebesar 47%.
Sedangkan prevalensi koksidiosis berdasarkan kelompok umur tertinggi terdapat
pada umur 6 bulan sampai 12 bulan sebesar 92.3% (SK 95%; 87.0-97.5). Derajat
infeksi koksidiosis berdasarkan OTGT terdapat pada sapi berumur lebih dari 12 bulan
(OTGT; 554.5). Prevalensi koksidiosis berdasarkan jenis kelamin terdapat pada sapi
jantan (75%; SK 95%; 66.5%-83.4%)
Sebanyak 7 spesies Eimeria teridentifikasi dalam penelitian ini, yaitu E.

bukidnonensis, E.wyomingensis, E. auburnensis, E. brasiliensis, E. canadensis, E.
bovis dan E.zuernii. Sampel yang terinfeksi 1 spesies Eimeria spp. memiliki
prevalensi sebesar 53.2% dan 46.8% untuk prevalensi infeksi campuran. Spesies
yang tertinggi adalah E. brasiliensis (14.9%).

SARAN
Saran perlu dilakukan sosialisasi bahaya koksidiosis kepada peternak
untuk menghindari tingkat kejadian koksidiosis.

12

DAFTAR PUSTAKA
Abebe R, Wossene A, Kumsa B. 2008. Epidemiology of Eimeria infections in
calves in Addis Ababa and debre zeit dairy farms, Ethiopia. Intern J Appl
Res Vet Med. [internet] [diunduh 2015 januari 21]; 6(1):24-30. Tersedia
pada: http://www.jarvm.com/articles/Vol6Iss1/Kumsa%2024-30.pdf
Alemayehu A, Nuru M, Belina T. 2013. Prevalence of bovine coccidia in
Kombolcha district of South Wollo, Ethiopia. J. Vet. Med. Anim. Health,
5(2):41-45.doi: 10.5897/JVMAH12.049.
Ardianto. 2013. Prevalensi koksidiosis pada pedet di kabupaten Wonogiri[skripsi].
Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada.
Bruhn FRP, Lopes MA, Demeu FA, Perazza CA, Pedrosa MF, Guimaraes AM.
2011. Frequency of species of Eimeria in females of the holstein-fresian
breed at the post-weaning stage during autumn and winter. Rev Bras
Parasitol Vet [Internet] [diunduh 2015 April 8]; 20(4):303-307. Tersedia
pada: http://www.scielo.br/pdf/rbpv/v21n2/v21n2a19
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Statistik Indonesia 2014. Jakarta [ID]: BPS
Daugschies A, Najdrowski M. 2005. Eimeriosis in cattle: current understanding. J.
Vet. Med. [internet] [diunduh 2015 mei 22]; 52(10): 417-427. Tersedia
pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16364016
David F, Amede Y, Bekele M. 2012. Calf coccidiosis in selected dairy farms of
dire dawa, Eastern Ethiopia. Global Vet. [Internet] [diunduh 2015 April 8];
9(4): 460-464. Tersedia pada: http://vri.cz/docs/vetmed/59-6-271.pdf.
[DITJEN PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2013.
Statistik peternakan dan kesehatan hewan. Jakarta [ID]: DITJEN PKH
Ernest, John V. Benz Gerald W. 1981. Diseases of cattle in the tropics :
economic and zoonotic. Curr Trop in Vet Med and Anim Sci. [internet]
[diunduh
2015
januari
7];
6:
377-392.
Tersedia
pada:
http://link.springer.com/chapter/10.1007%2F978-94-015-6895-1_31
Fitriastuti ER, Atikah N, Isriyanthi NMR. 2011. Studi Penyakit Koksidiosis
pada Sapi Betina di 9 Propinsi di Indonesia Tahun 2011. Bogor (ID):
Balai pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat Hewan.
Hui D, Zhao Q, Hongyu H, Jiang L, Zhu S, Li T, Kong C, Huang B. 2012.
Prevalence of coccidial infection in dairy cattle in Shanghai,Cina. J Vet
Parasitol, 98(5): 963-966.doi: http://dx.doi.org/10.1645/GE-2966.1
Istiyani ZD. 2013. Prevalensi koksidiosis pada pedet di kabupaten Karanganyar
[skripsi]. Yogyakarta(ID): Universitas Gadjah Mada
Juliet ON, Oliver ON, Oliver OO, Cosmas UA. 2013. Comparative study of
intestinal helminths and protozoa of cattle and goats in Abakaliki
metropolis of Ebonyi State, Nigeria. Adv. Appl. Sci. Res. [Internet]
[diunduh
2015
April
23]
4(2):223-227.
Tersedia
pada:
http://pelagiaresearchlibrary.com
Khan MN, Sajid MS, Abbas RZ, Sikandar MA, Riaz M. 2013. Determinants
influencing prevalence of coccidiosis in Pakistani buffaloes. Pak Vet J
[Internet] [diunduh 2015 mei 21]; 33(3): 287-290. Tersedia pada:
http://www.pvj.com.pk/pdf-files/33_3/287-290.pdf

13
Langston VC, Galey F, Lovell R, Buck WB.1985. Toxicity and therapeutic of
monensin: A review. Vet med. [internet] [diunduh 2015 Mei 22] 75-83.
Tersedia pada: http://www.government.se/
Lassen B, Ostergaard S. 2012. Estimation of the economical effect of Eimeria
infections in eastonian dairy herds using a stochastic model. Prev Vet Med,
[Internet] [diunduh 2015 April 8]; 106: 258-265. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22608299.
Levine ND. 1985. Veterinary Protozoology. Ames (USA): Iowa State University
Pr.
Lucas AS, Swecker JWS, Lindsay DS, Scaglia G, Neel JPS, Elvinger FC, Zajac
AM. 2014. A study of the level and dynamic of eimeria
populations in
naturally infected, grazing beef cattle at various stages
of prosudtion
in the mid-atlantic USA. Vet Parasitol. [Internet] [diunduh 2015
April
8];202: 201-206. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed
/24680603.
McKellar, A.Q. 2008. Gastrointestinal Parasites of Ruminants. USA: Whitehouse
Station . In: Kahn CM, Line S, Aiello S.E. (eds)
Mirani AH, Shah MGU, Mirbahar KB, Khan MS, Lochi GM, Khan IU, Alam F,
Hasan SM, Tariq M. 2012. Prevalence of coccidiosis and other
gastointestinal nematode species in buffalo calves at Hyderabad, Sindh,
Pakistan. Afr. J. Microbiol. Res. [internet] [diunduh 2015 Februari 14];
6(33) 6291-6294.doi: 10.5897/AJMR12.1030
Nanditya WK. 2014. Prevalensi koksidiosis pada sapi dan prevalensi kematian
pedet di Sragen, Jawa Tengah, Indonesia: Studi Kasus [skripsi]. Yogyakarta
(ID): Universitas Gadjah mada.
Pandit BA. 2009. Prevalence of coccidiosis in cattle in Kashmir.Valley.VetScan
[Internet]
[diunduh
2015
Mei
1];
4(1):16-20.
Tersedia
pada:http://www.vetscan.co.in/v4n1/prevalence_of_coccidiosis_in_cattle
_in_kashmir_valley.htm
Priti M, Sinha SRP, Sucheta S, Verma SB, Sharma SK, Mandal KG, 2008.
Prevalence of bovine coccidiosis at Patna. J Vet Parasitol. [internet]
[diunduh
2015
maret
13]
22:
5-12.
Tersedia
pada:
http://www.indianjournals.com
Sanchez RO, Romero JR, Founroge RD. 2007. Dynamics of Eimeria oocyst
excretion in dairy calves in the province of Buenos Aires (Argentina),
during their first 2 months of age. Vet Parasitol. [Internet] [diunduh 2015
April];
151:
133-138.
Tersedia
pada:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0304401707005961.
Somayeh B, Alborzi AR. 2013. Prevalence of subclinical coccidiosis in river
buffalo calves of southwest of Iran. Acta Parasitol. [Internet] [diunduh
2015
April
10];
58(4):
527-530.
Tersedia
pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/24338314.
Soulsby EJL. 1982. Helminths, Arthropods, and Protozoa of Domisticated
Animals. 7th ed. London: Balliere Tindall
Thrusfield M (2005). Veterinary Epidemiology. 3rd Ed. Oxford (UK): Blackwell
Science Ltd. hlm 233-261.

14
Wicaksana TR. 2013. Prevalensi dan faktor risiko koksidiosis (Eimeria sp.) pada
Pedet di Kabupaten Boyolali [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas
Gadjah Mada.
Yu SK, Gao M, Huang N, Jia YQ, Lin Q. 2011. Prevalence of coccidial infection
in cattle in Shaanxi province, Northwestern China. J An Vet Adv. 10 (20):
2716-2719. doi:10.3923/javaa.2011.2716.2719
.

15

RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di jakarta pada tanggal 21 Oktober 1993, putri pertama dari
bapak Gojali Rahmat Nur Pohan dan ibu Maimunah Siregar. Penulis menempuh
studi di Taman Kanak-kanak Bani Saleh 2 1997-1999. Kemudian penulis
melanjutkan ke Sekolah Dasar Islam Terpadu Thariq Bin Ziyad Kota Bekasi
1999-2005, SMPIT Thariq Bin Ziyad Kota Bekasi 2005-2008 dan SMA Negeri 1
Kota Bekasi 2008-2011. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan Strata
1 pada perguruan tinggi Institut Pertanian Bogor. Penulis diterima di IPB melalui
jalur SNMPTN Undangan (USMI) pada Fakultas Kedokteran Hewan.
Selama di IPB, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Anatomi
Veteriner 1 dan Embriologi dan Genetika Perkembangan pada tahun 2013.
Beberapa organisasi yang diikuti penulis selama masa perkuliahan yaitu Himpro
Hewan Kesayangan dan Satwa Aquatik (HKSA), Ikatan Mahasiswa Kedokteran
Hewan Indonesia (IMAKAHI) dan OMDA IMATAPSEL (Ikatan Mahasiswa
Tapanuli Selatan) serta menjadi panitia dalam beberapa kegiatan yang
diselenggarakan fakultas. Pada bulan bulan Januari 2013 sampai dengan Agustus
2014 penulis melakukan riset prevalensi koksidiosi pada sapi perah di kelompok
ternak Tirta Kencana dan Baru Sireum, Cisarua, Kabupaten Bogor sebagai karya
tulis untuk meraih gelar sarjana kedokteran hewan.