Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor

(1)

KEJADIAN BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH

DI KACAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR

YAMIN YADDI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

ABSTRAK

YAMIN YADDI. Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. (di Bawah Bimbingan Drh. Rahmat Hidayat, MSi).

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan penyakit Brucellosis pada sapi perah di Kecamatan Cisarua. Deteksi kejadian Brucellosis dilakukan dengan metode screening test yaitu dengan uji Milk Ring Test, sampel yang berupa susu direaksikan dengan antigen Brucella. sp untuk melihat antibodi dalam susu tersebut. Prinsip kerja dari uji Milk Ring Test yaitu melihat adanya cincin ungu pada tabung reaksi, hasil positif ditunjukan oleh adanya cincin ungu tersebut. Selanjutnya, sampel susu yang menunjukan hasil positif dibiakan pada media agar, lalu hasil biakan diwarnai dengan pewarnaan Gram.

Hasil pengamatan secara serolosis menunjukan sebagian besar sapi perah di wilayah Kecamatan Cisarua terinfeksi oleh bakteri Brucella .sp, dan hanya 2 dari 35 sampel dari peternak yang menunjukan hasil negatif dengan uji Milk Ring Test (MRT), serta 4 sampel yang dubius. Sampel dari peternak yang dubius diuji kembali dan menunjukan 2 hasil positif dan 2 hasil negatif. Biakan bakteri dari sampel susu pada media agar yang telah diinkubasi selama 48 jam hanya sedikit yang tumbuh, lalu diwarnai dengan pewarnaan Gram untuk melihat bakteri tersebut.


(3)

ABSTRACT

YAMIN YADDI. Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. (di Bawah Bimbingan Drh. Rahmat Hidayat, MSi).

This research propose to detect brucellosis presentence of calf at Cisarua district. It was done by screening test method namely “Milk Ring Test”, milk sample was raacted by antigen of “Brucella sp” to look antibody in the milk. Main priciple of “Milk Ring Test” was present purple ring, it signed positive. Then it took to agar media and stained it Gram.

The end of this research showed almost of calf in Cisarua was infected by “Burcella abortus”, just 2 of 35 samples of breeders signed negative. It was done by “Milk Ring Test (MRT)”. There were 4 dubius samples. It was tested once more, showed two were positive and so were negative. The growth of bacteri of milk sample in agar media was only few. It had been incubated for 48 hours. Then stained it Gram to see Bacteri.


(4)

KEJADIAN BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH

DI KACAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR

YAMIN YADDI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(5)

Judul Skripsi : Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor Nama mahasiswa : Yamin Yaddi

NRP : B04104001

Menyetujui, Pembimbing

Drh. Rahmat Hidayat, MSi. NIP : 123 313 045

Mengetahui,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Nastiti Kusumorini NIP : 130 699 942


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Muna, Sulawesi Tenggara pada tanggal 10 Desember 1986. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara dari Bapak Yaddi. S (Alm) dan Ibu Wa Ode Ibu Sitti Ratna Hudo.

Tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan SDN selama enam tahun pertama di SDN 08 Raha Kecamatan Katobu. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan SLTP di SLTP Negeri 2 Raha. Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Raha pada tahun 2004.

Tahun 2004 penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.

Pada tahun 2005 penulis tergabung di Organisasi Eksternal HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Komisariat FKH-IPB selama satu tahun menjabat sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan dan Pengembangan Anggota dan pada tahun 2008 tergabung di Organisasi HMI cabang Bogor sebagai Wasekum Bidang Pemberdayaan Anggota. Selain itu penulis juga ikut serta dalam organisasi internal kampus yaitu di Badan Eksekutif Mahasiswa 2005 di Bidang Olahraga dan Seni dan pada Himpro Ornithologi dan Unggas sebagai Ketua Divisi Kubah.

Karya ilmiah yang dihasilkan penulis untuk meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan diperoleh melalui penelitian selama satu tahun di Bogor yang berjudul “Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor” di bawah bimbingan Drh. Rahmat Hidayat, MSi.


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor” dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu terlaksananya tugas akhir ini, dan secara khusus kepada:

1. Drh. Rahmat Hidayat, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan skripsi ini. 2. Drh. Tutik Wresdiyati Astawan, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik

penulis selama menjalani perkuliahan.

3. Drh. Usamah Affif, MSc selaku dosen penilai penulis pada saat seminar. 4. Prof. Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan Dr. Drh. Rochman Naim atas

bimbingan dan motivasi selama penulisan skripsi ini.

5. Koperasi penghasil susu dan KUD Giri Tani beserta peternak-peternak yang tergabung di dalamnya atas penerimaan, kerjasama, dan informasi yang sangat membantu.

6. Bapak (Alm), Mama, kakak-kakak dan adik-adik saya tercinta atas doa dan dukungan, kasih sayang dan motivasi yang diberikan kepada penulis.


(8)

7. Teman-teman FKH 41 Arios, Dhani, ivan, Rico, Arie, Yuzar, Kukuh, Bama, Nanang, Budi, Uwie, Eki, Reni, Ronaldo, Agus, Jefri, Fikri, Yus, Ana, Mungki RC dan yang lain yang tidak disebut namanya untuk persahabatannya selama 4 tahun terakhir.

8. Kakak kelasku Pak Lutfi, isa Mani, isa Mail, isa Jamal , isa Wana, isa Toni, isa Subhan, isa Odang, mba Rike, isa Wati, la Nunung, la Jery, la Juma, la Oby, la Icang dan keluarga besar mahasiswa Sulawesi Tenggara yang tidak disebutkan yang sudah memberi dukungan dan motifasi selama penyusunan skripsi ini “kabarakatino witeno Wuna”.

9. Teman-teman Asteroidea, dan HMI tercinta.

10.Teman-teman Novi RS, Fatma, Sinta, Dinar, Epong, Isah, Iwan kude, Imas, Nur, Rini, Salman, Sakti, Jek, Job, Memie, Ninik, Eman, Uda, Arlan, Tiang, dll yang sudan mencurahkan cinta dan kasih sayang serta motifasi yang tak henti-hentinya selama penulis menyusun skripsi ini. Dan kepada semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan penelitian, semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dan manfaat yang berharga bagi para pembaca dan semoga Allah SWT rahmat dan karunia-Nya bagi kita semua. Amin.

Bogor, 2008


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat penelitiaan ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penularan dan Penyebaran Penyakit ... 5

Gejala Klinis ... 7

Periode Inkubasi ... 8

Diagnosa Klinis ... 8

Pengendalian dan Pembarantasan ... 9

Pengobatan ... 10

BAB III BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

Metode Penelitian ... 13

Alat dan Bahan ... 14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Profil KUD Giri Tani ... 16

Profil Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua ... 19

Pengetahuan dan Presepsi Peternak tentang Brucellosis ... 24

Hasil Pengambilan Spesimen dan Pemeriksaan Serologis Brucellosis 25 Hasil Pemeriksaan Bakteriologik Susu ... 31

Hasil Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram.. ... ...34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37


(10)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Karakteristik peternak... 20

2. Presepsi peternak tentang brucellosis... 25

3. Hasil Uji Milk Ring Test I,... 27

4. Hasil Uji Milk Ring Test II... 28


(11)

KEJADIAN BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH

DI KACAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR

YAMIN YADDI

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(12)

ABSTRAK

YAMIN YADDI. Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. (di Bawah Bimbingan Drh. Rahmat Hidayat, MSi).

Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan penyakit Brucellosis pada sapi perah di Kecamatan Cisarua. Deteksi kejadian Brucellosis dilakukan dengan metode screening test yaitu dengan uji Milk Ring Test, sampel yang berupa susu direaksikan dengan antigen Brucella. sp untuk melihat antibodi dalam susu tersebut. Prinsip kerja dari uji Milk Ring Test yaitu melihat adanya cincin ungu pada tabung reaksi, hasil positif ditunjukan oleh adanya cincin ungu tersebut. Selanjutnya, sampel susu yang menunjukan hasil positif dibiakan pada media agar, lalu hasil biakan diwarnai dengan pewarnaan Gram.

Hasil pengamatan secara serolosis menunjukan sebagian besar sapi perah di wilayah Kecamatan Cisarua terinfeksi oleh bakteri Brucella .sp, dan hanya 2 dari 35 sampel dari peternak yang menunjukan hasil negatif dengan uji Milk Ring Test (MRT), serta 4 sampel yang dubius. Sampel dari peternak yang dubius diuji kembali dan menunjukan 2 hasil positif dan 2 hasil negatif. Biakan bakteri dari sampel susu pada media agar yang telah diinkubasi selama 48 jam hanya sedikit yang tumbuh, lalu diwarnai dengan pewarnaan Gram untuk melihat bakteri tersebut.


(13)

ABSTRACT

YAMIN YADDI. Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. (di Bawah Bimbingan Drh. Rahmat Hidayat, MSi).

This research propose to detect brucellosis presentence of calf at Cisarua district. It was done by screening test method namely “Milk Ring Test”, milk sample was raacted by antigen of “Brucella sp” to look antibody in the milk. Main priciple of “Milk Ring Test” was present purple ring, it signed positive. Then it took to agar media and stained it Gram.

The end of this research showed almost of calf in Cisarua was infected by “Burcella abortus”, just 2 of 35 samples of breeders signed negative. It was done by “Milk Ring Test (MRT)”. There were 4 dubius samples. It was tested once more, showed two were positive and so were negative. The growth of bacteri of milk sample in agar media was only few. It had been incubated for 48 hours. Then stained it Gram to see Bacteri.


(14)

KEJADIAN BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH

DI KACAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR

YAMIN YADDI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN

KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(15)

Judul Skripsi : Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor Nama mahasiswa : Yamin Yaddi

NRP : B04104001

Menyetujui, Pembimbing

Drh. Rahmat Hidayat, MSi. NIP : 123 313 045

Mengetahui,

Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

Dr. Nastiti Kusumorini NIP : 130 699 942


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Muna, Sulawesi Tenggara pada tanggal 10 Desember 1986. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara dari Bapak Yaddi. S (Alm) dan Ibu Wa Ode Ibu Sitti Ratna Hudo.

Tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan SDN selama enam tahun pertama di SDN 08 Raha Kecamatan Katobu. Pada tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan SLTP di SLTP Negeri 2 Raha. Penulis lulus dari SMU Negeri 1 Raha pada tahun 2004.

Tahun 2004 penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan.

Pada tahun 2005 penulis tergabung di Organisasi Eksternal HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Komisariat FKH-IPB selama satu tahun menjabat sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan dan Pengembangan Anggota dan pada tahun 2008 tergabung di Organisasi HMI cabang Bogor sebagai Wasekum Bidang Pemberdayaan Anggota. Selain itu penulis juga ikut serta dalam organisasi internal kampus yaitu di Badan Eksekutif Mahasiswa 2005 di Bidang Olahraga dan Seni dan pada Himpro Ornithologi dan Unggas sebagai Ketua Divisi Kubah.

Karya ilmiah yang dihasilkan penulis untuk meraih gelar Sarjana Kedokteran Hewan diperoleh melalui penelitian selama satu tahun di Bogor yang berjudul “Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor” di bawah bimbingan Drh. Rahmat Hidayat, MSi.


(17)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor” dapat selesai sesuai dengan yang diharapkan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah turut membantu terlaksananya tugas akhir ini, dan secara khusus kepada:

1. Drh. Rahmat Hidayat, MSi selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan skripsi ini. 2. Drh. Tutik Wresdiyati Astawan, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik

penulis selama menjalani perkuliahan.

3. Drh. Usamah Affif, MSc selaku dosen penilai penulis pada saat seminar. 4. Prof. Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan Dr. Drh. Rochman Naim atas

bimbingan dan motivasi selama penulisan skripsi ini.

5. Koperasi penghasil susu dan KUD Giri Tani beserta peternak-peternak yang tergabung di dalamnya atas penerimaan, kerjasama, dan informasi yang sangat membantu.

6. Bapak (Alm), Mama, kakak-kakak dan adik-adik saya tercinta atas doa dan dukungan, kasih sayang dan motivasi yang diberikan kepada penulis.


(18)

7. Teman-teman FKH 41 Arios, Dhani, ivan, Rico, Arie, Yuzar, Kukuh, Bama, Nanang, Budi, Uwie, Eki, Reni, Ronaldo, Agus, Jefri, Fikri, Yus, Ana, Mungki RC dan yang lain yang tidak disebut namanya untuk persahabatannya selama 4 tahun terakhir.

8. Kakak kelasku Pak Lutfi, isa Mani, isa Mail, isa Jamal , isa Wana, isa Toni, isa Subhan, isa Odang, mba Rike, isa Wati, la Nunung, la Jery, la Juma, la Oby, la Icang dan keluarga besar mahasiswa Sulawesi Tenggara yang tidak disebutkan yang sudah memberi dukungan dan motifasi selama penyusunan skripsi ini “kabarakatino witeno Wuna”.

9. Teman-teman Asteroidea, dan HMI tercinta.

10.Teman-teman Novi RS, Fatma, Sinta, Dinar, Epong, Isah, Iwan kude, Imas, Nur, Rini, Salman, Sakti, Jek, Job, Memie, Ninik, Eman, Uda, Arlan, Tiang, dll yang sudan mencurahkan cinta dan kasih sayang serta motifasi yang tak henti-hentinya selama penulis menyusun skripsi ini. Dan kepada semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan penelitian, semoga skripsi ini dapat memberikan informasi dan manfaat yang berharga bagi para pembaca dan semoga Allah SWT rahmat dan karunia-Nya bagi kita semua. Amin.

Bogor, 2008


(19)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

RIWAYAT HIDUP ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Manfaat penelitiaan ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penularan dan Penyebaran Penyakit ... 5

Gejala Klinis ... 7

Periode Inkubasi ... 8

Diagnosa Klinis ... 8

Pengendalian dan Pembarantasan ... 9

Pengobatan ... 10

BAB III BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ... 13

Metode Penelitian ... 13

Alat dan Bahan ... 14

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Profil KUD Giri Tani ... 16

Profil Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua ... 19

Pengetahuan dan Presepsi Peternak tentang Brucellosis ... 24

Hasil Pengambilan Spesimen dan Pemeriksaan Serologis Brucellosis 25 Hasil Pemeriksaan Bakteriologik Susu ... 31

Hasil Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram.. ... ...34

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 36

Saran ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37


(20)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Karakteristik peternak... 20

2. Presepsi peternak tentang brucellosis... 25

3. Hasil Uji Milk Ring Test I,... 27

4. Hasil Uji Milk Ring Test II... 28


(21)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Kondisi Kandang di Lokasi yang Berdampingan dengan WC... 22

2. Kondisi Tempat Penampungan Pakan... 22

3. Kandang dengan Sanitasi yang Buruk... 23

4. Kondisi di KUD Giri Tani Saat Penampungan Susu ... 23

5. Ternak Sapi yang Mengalami Kelainan Fisik... 24

6. Kondisi Pengumpulan Susu oleh Pihak KUD... ... 26

7. Spesimen yang Telah Dikumpulkan ... ... 30

8. Hasil Pengujian I dengan MRT... 30

9. Hasil Pengujian II dengan MRT ... ... 31

10. Cara Pemerahan oleh Peternak... 33

11. Biakan Bakteri pada Media Agar ... ... 33


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Peningkatan nilai gizi masyarakat memerlukan serangkaian rencana sebagai pendukungnya. Untuk meningkatkan gizi masyarakat, pemenuhan kebutuhan pangan merupakan langkah utama. Indonesia merupakan salah satu negara agraris dengan jumlah penduduk yang besar. Hal ini tentunya harus membutuhkan perhatian khusus dalam pemenuhan gizi terutama dalam pemenuhan kebutuhan protein. Pemenuhan protein dapat dilakukan dengan mengkonsumsi protein nabati dan hewani.

Konsumsi protein hewani di Indonesia adalah 3,09 g/Kap/hari dan susu menyumbang sebanyak 0,76 g/Kap/hari atau sekitar 11,65% (Anonimons 2004). Indonesia menjadi net importer untuk hasil ternak khususnya susu karena tidak seluruhnya hasil ternak ini dapat dimanfaatkan, baik untuk konsumsi pribadi ataupun olahannya. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh pertambahan tingkat pendapatan dan kesadaran penduduk dalam mengkonsumsi susu.

Permasalahan yang ada adalah rendahnya mutu susu yang diperoleh dari peternakan yang ada, dan lambatnya peremajaan sapi perah. Permasalahan yang dihadapi adalah rendahnya tingkat kelahiran (17,56%) dan tingginya tingkat kematian (2,9%) serta adanya gangguan reproduksi yang mempengaruhi ratio ternak dan hasil produksinya. Idealnya, tingkat kelahiran sapi perah harus mencapai 48% dengan tingkat kematian hanya 1,5% (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2002).

Penyakit zoonosis kian banyak terungkap keberadaannya seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi veteriner di dunia. Penyakit zoonosis juga banyak mendapat perhatian oleh masyarakat di dunia sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak terlepas dari pengaruh globalisasi untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi veteriner di dunia. Beberapa penyakit zoonosis yang terjadi di dunia telah dilaporkan keberadaannya di tanah air, dan baru beberapa


(23)

penyakit yang dapat diteliti di Balai Penelitian Veteriner (Balitvet), yaitu Rabies, Antrax, Leptospirosis, Toxoplasmosis, Brucellosis, Skabiesis, Nipah, dan Avian Influenza (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2002).

Salah satu daerah di Indonesia yang masih perlu mendapatkan perhatian tentang bahaya penyakit zoonosis adalah Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat khususnya Kecamatan Cisarua yang telah lama ikut berperan dalam mensubsidi kebutuhan protein di Indonesia yaitu melalui peternakan sapi perah. Usaha peternakan sapi perah di wilayah Cisarua masih mengalami banyak kendala antara lain sulitnya mendapatkan bibit sapih perah dari varietas unggul, masih rendahnya jumlah rata-rata kepemilikan ternak, dan rendahnya daya tawar peternak dalam memasarkan hasil produksi ternaknya. Disamping itu manajemen kesehatan sapi perah juga masih merupakan faktor yang sangat perlu mendapatkan perhatian dan pembinaan. Salah satu penyakit yang masih merupakan kendala utama dalam pengembangan sapi perah adalah Brucellosis.

Bovine Brucellosis atau disebut juga penyakit keluron menular pada sapi disebabkan oleh Brucella abortus yang merupakan bakteri Gram negatif. Brucellla abortus bersifat fakultatif intraseluler yang mempunyai daya tahan yang baik terhadap temperatur, pH, dan kelembaban. Brucellosis pada sapi dapat juga disebabkan oleh Brucella militensis, walaupun kejadiannya masih kurang sering. Secara serologi penyakit Brucellosis dikenal di Indonesia sejak tahun 1953. Kuman ini menyerang semua hewan mamalia (menyusui) termasuk manusia. Di dalam tubuh hewan penderita, kuman hidup dalam inti sel dan umumnya dapat diisolasi dari kelenjar pertahanan tubuh (kelenjar limfe) dan beberapa organ dalam tubuh seta saluran kelamin hewan jantan. Sekali hewan bunting, kuman Brucella abortus mutasi ke uterus (kandungan) dan memperbanyak diri karena ada cairan cryhritol sejenis karbohidrat yang diproduksi organ ini selama kebuntingan dan merupakan media ideal bagi pertumbuhan kuman ini. Kegagalan kebuntingan atau kemajiran umumnya terjadi sebagai konsekuensi terjadinya infeksi pada uterus dan placenta (kantong janin). Kuman akan menyebar ke luar tubuh pada saat keguguran atau lahir normal bersama cairan janin dan bertahan (hidup) lama di luar tubuh hewan pada kondisi basah dan lembab di bawah naungan tanpa sinar matahari langsung.


(24)

Brucellosis kurang disadari oleh peternak karena tidak menunjukan tanda yang nyata sakit apabila dibandingkan dengan penyakit lain. Karakteristik ini menjadikan Brucellosis dapat menyebar dengan mudah. Kerugian yang terjadi akibat Brucellosis secara individu adalah abortus, kematian dini pada pedet yang lahir karena kondisi lemah dan rentan terhadap penyakit, gangguan reproduksi berupa infertilitas dan sterilitas pada hewan betina dan jantan, penurunan produksi susu dan nilai jual serta penurunan nilai jual sapi reaktor positif. Selain itu penyakit Brucellosis juga memberi kerugian ekonomi mencapai 130 milyar pertahunnya.

Selama ini kejadian penularan penyakit berkaitan dengan rendahnya penerapan higiene dan sanitasi pada ternak dimulai dari pemeliharaan ternak, proses pemerahan air susu, pengangkutan hingga pengolahan susu.

Kabupaten Bogor khususnya Kecamatan Cisarua memiliki potensi pengembangan sapi perah yang cukup baik, namun kondisi ini juga diiringi oleh tingginya tingkat kejadian Brucellosis. Terutama pada peternakan sapi perah yang memiliki produktifitas tinggi. Sejak awal ditemukan kasus hingga saat ini pemberantasan terhadap penyakit ini masih terus dilaksanakan. Hal ini terus dilakukan mengingat populasi hewan rentan Brucellosis di Kabupaten Bogor terutama sapi perah cukup tinggi, mutasi ternak dari satu tempat ke tempat lain dan kelangsungan perkembangan penyakit yang didukung oleh faktor sosial kultur masyarakat Kabupaten Bogor sendiri (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2002).

1.2. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menggali dan mencari solusi tentang permasalahan yang dihadapi peternak tentang kasus Brucellosis secara khusus dan kesehatan sapi perah dan produknya secara umum.

2. Membantu Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor dalam memantau kasus Brucellosis.


(25)

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk

1. Peternak dapat mengetahui masalah yang terjadi pada ternak mereka yang mempengaruhi produksi susu perhari

2. Dinas Peternakan lebih mudah mengatasi kasus Brucellosis ini terutama pada sapi perah di Kecamatan Cisarua.

3. Peternak lebih paham tentang pentingnya sanitasi pada kandang yang mempengaruhi timbulnya infeksi yang menular.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Brucellosis

Brucellosis merupakan penyakit yang sangat infeksius. Leleran dari vagina, ari-ari janin dan air susu penderita merupaka sumber penularan yang sangat potensial bagi hewan dan manusia. Dilaporkan bahwa setiap kali sapi penderita mengalami keguguran atau melahirkan anak, sejumlah kuman yang dihasilkan mampu menginfeksi sekitar 600.000 ekor ternak di sekitarnya (Maria 2005).

Brucellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri genus Brucella. Brucella adalah bakteri yang berbentuk batang halus berukuran panjang 0,5-2,0 µ dan lebar 0,4-0,8 µ. Bakteri ini tidak bergerak, tidak berspora, bersifat aerob dan parasit intraseluler yang dapat hidup dalam sel makrofag serta sel epitel induk semang. Kemampuan ini yang menyebabkan pengobatan memakai antibiotik kurang efisien dan efektif (Blood dan Radostitis 1989) serta pemeriksaan bakteriologis yang sulit karena kuman jarang beredar di darah.

Hingga saat ini terdapat tuju spesies Brucella yang diketahui yaitu B. abortus (sapi), B. melitensis (kambing dan domba), B. suis (babi, hares, rusa kutub, caribou, (binatang pengerat), B. canis (anjing dan sejenisnya), B. ovis (domba), B. neotomae (desert wood rat), B. maris (mamalia laut). Dari berbagai spesies Brucella sebagian besar bersifat patogen bagi manusia hanya B. ovis dan B. neotomae yang tidak patogen pada manusia, sedangkan B. maris belum diketahui (Pasaribu 2007).

2.2. Penularan dan Penyebaran Penyakit

Penularan Brucella terjadi secara oral, nasal atau melalui selaput kelenjar mata. Penularan terjadi karena terkontaminasinya makanan atau minuman oleh kuman Brucella yang berasal dari sisa kelahiran, susu mentah dan produk olahannya atau kontak langsung dengan penderita dan terkena cipratan cairan dari penderita.

Sapi bunting yang teinfeksi merupakan sumber penularan B. abortus yang utama. Plaseta dan cairanya serta fetus yang di absorbsikan mengandung kuman


(27)

sebanyak 1012–1014 (Edelsten et al. 1990). Penularan langsung terjadi bila sapi menjilat/terjilat sisa kelahiran tersebut. Bakteri yang dikeluarkan bersamaan dengan kelahiran tersebut mampu menularkan lagi hingga 600 ekor sapi lain. Umumnya tingkat penularan tertinggi terjadi selama satu bulan sejak induk penderita mengalami keguguran atau melahirkan. Selanjutnya bakteri akan bersembunyi di dalam persendian, kelenjar limfe (khususnya supramaria) dan kelenjar susu (Subronto 1995). Setelah itu infeksi akan mengalami penurunan pada hari ke 48 hingga ke 90. Pada saat ini kuman Brucella tidak dapat diisolasi dari darah atau uterus tidak bunting. Selama proses penyakit berlangsung, hewan secara klinis nampak sepenuhnya sehat dan lesi yang timbul bersifat ringan.

Penularan uterus terjadi melalui jalan darah. Apabila bakteri yang dibawa oleh darah dapat mencapai uterus, maka bakteri akan berkembang biak dengan cepat pada uterus sendiri maupun janin pada hewan bunting. Perkembangan ini menyebabkan hewan yang baru terinfeksi mengalami radang akut dan berakibat aborsi/keluron pada hari ke 33 sampai ke 230 (Subronto 1995).

Hewan bunting terinfeksi menularkan ke janinnya bila infeksi terjadi setelah janin mencapai umur 6 bulan (infeksi kongenital). Infeksi ini cenderung tetap dan bersifat laten (latent cerrier). Brucellosis pada hewan carier laten sangat sulit diditeksi secara serologis (Rompis 2002). Hewan seperti ini pada umumnya akan mengalami abortus pada kebuntingan pertama. Kondisi seperti ini tidak ditemui pada pedet yang berasal dari induk yang terinfeksi pada umur kebuntingan muda. Pedet yang terinfeksi pada bulan-bulan pertama kebuntingan nampaknya kurang rentan terhadap infeksi Brucella abortus.

Penularan Brucella pada manusia dapat melalui saluran pencernaan, kontak langsung dan tidak langsung, saluran pernapasan atau selaput lendir mata (Wilcoks dan Manson Bahr 1984). Daging biasanya bukan merupakan sumber penularan manusia (Jawet et al. 1980), tapi bila terjadi juga biasanya disebabkan oleh daging dan produknya yang setengah matang. Pengolahan daging dengan penambahan nitrat, nitrit dan garam tidak menyebabkan organisme penyebab mati tetapi pengasapan dapat mematikan kuman.

Penularan oleh air susu umumnya terjadi karena kebiasaan meminum susu mentah (tidak dipasteurisasi/dimasak) dan produknya. Namun produk susu yang


(28)

diasamkan (terdapat pembentukan asam laktat) seperti yoghurt dan sejenisnya tidak akan menularkan Brucellosis karena asam dapat membunuh organisme penyebab.

2.3. Gejala Klinis

Penyebab utama Brucellosis pada ternak di tentukan oleh umur hewan ketika terpapar infeksi dan tingkat keparahan infeksi yang ditentukan oleh jumlah organisme serta tingkat virulensinya (Edelsten et al. 1990).

Keluron merupakan satu-satunya gejala klinis yang nyata terlihat pada sapi (Subronto 1995). Keluron atau abortus biasanya terjadi pada umur kebuntingan 5-8 bulan. Keluron pada masa kebuntingan tua lebih sering terjadi dari pada masa bunting muda. Keluron pada masa bunting muda dan kemajiran seperti yang ditemukan pada Vibriosis dan Tricomoniasis tidak ditemukan pada penderita Brucellosis.

Pada infeksi yang kurang akut, ternak dapat melahirkan secara sempurna dengan anak yang lahir lemah atau adanya komplikasi plasenta tertahan. Cairan plasenta akan berwarna keruh kekuningan, walau keadaan ini tak selalu terjadi. Infertilitas dapat muncul sebagai lanjutan dari metritis kronis.

Brucellosis pada sapi jantan dapat terjadi tanpa memperlihatkan gejala klinis walau pembesaran tetes akibat epididimistis dan orchitis terjadi (Ressang 1984). Perubahan degeneratif dapat terjadi dengan adanya semen bercampur nanah. Keadaan ini dapat diketahui melalui pemeriksaan serologi. Higroma dapat terjadi pada ternak jantan dan betina, tetapi gejala ini hanya dapat diamati pada populasi dengan tingkat infeksi yang tinggi.

Brucellosis pada manusia berjalan sangat lambat (Ressang 1984). Penyakit berjalan kronis dalam waktu yang lama dan dapat kambuh kembali pada saat daya tahan tubuh menurun. Gejala umum yang dialami manusia adalah kelemahan atau kelelahan (Wilcocks dan Bahr 1984). Gejala utamanya adalah demam tinggi terutama dimalam hari. Gejala lain yang dapat terjadi adalah anoreksia, kehilangan berat badan dan pusing, sakit di belakang leher dan kadang disertai spondilitis, sakit perut serta pembesaran hati dan limpa. Gejala sakit di legok perut bagian kanan karena pembengkakan kelenjar mesenterika sering dikelirukan


(29)

dengan gejala radang apendiks. Sedangkan sakit pada persendian sering dikelirukan dengan inflamasi.

2.4. Periode Inkubasi

Periode inkubasi pada ternak biasanya satu hingga tiga minggu tetapi kadang dapat setelah beberapa bulan baru gejala awal terlihat. Periode ini bervariasi tergantung pada usia kebuntingan dan dipengaruhi oleh jumlah kuman yang masuk serta keadaan induk semang, apakah hewan sudah pernah divaksinasi atau karena infeksi alam (Setiawan 1992).

Brucellosis pada manusia tidak mempunyai gejala yang khas dengan masa inkubasi 1–15 minggu. Dalam beberapa kasus, gejala terlihat hanya 72 jam setelah terinfeksi. Tetapi gejala juga dapat muncul beberapa bulan setelah masa infeksi. Semua ini tergantung dari jalur masuk (route of infection) dan virulensi organisme penyebab (Ressang 1984).

2.5. Diagnosa Klinis

Kuluron pada sapi tidak hanya disebabkan oleh bakteri. Kejadian ini juga disebabkan oleh virus, jamur atau protozoa. Oleh karena itu diagnosis penyebabnya tidak hanya dapat didasarkan pada pengamatan sepintas atau riwayat kejadian. Namun keluron yang umum terjadi pada bulan ke enam masa kebuntingan dapat dicurigai sebagai akibat adanya Brucellosis. Diagnosa Brucellosis membutuhkan beberapa uji labolatoris (Alton et al. 1988) yang meliputi antara lain :

1. Isolasi organisme di paru-paru, lambung atau plasenta fetus. Pada hewan dewasa organisme ini dapat diperoleh dari air susu atau semen atau dari kelenjar limpa sesudah hewan dipotong. B. abortus umumnya diisolasi di dalam media kultur atau pada marmut.

2. Uji serologik terhadap aglutinin di dalam darah, yang biasanya terdapat pada waktu abortus dan sering menunggu sesudah waktu tersebut. Dalam bentuk uji tabung aglutinasi, uji piringan aglutinasi, uji inaktifasi, uji piringan antigen yang diasamkan, uji pengendapan senyawa akridin (Rivanol), dan uji fiksasi komplemen. Efisiensi pengujian-pengujian dalam menentukan infeksi B. abortus pada sekelompok ternak sapi yang


(30)

terserang masing-masing adalah 52-61, 66, 93, 96, dan 98% (Nicoletti 1969).

3. Uji aglutinasi terhadap susu termasuk uji cincin susu (Milk Ring Test) atau uji cepat diagnosa Brucellosis dilakukan dengan menggunakan antigen yang diwarnai dengan Rose Bengal (Rose Bengal Test) pada sapi yang terserang, kepekaan uji ini mencapai 92%. Pengujian semua kelompok ternak sapi perah disuatu daerah dua kali atau lebih dalam waktu satu tahun dengan Milk Ring Test (MRT) dapat mendiagnosa secara efektif dan mengeliminer sapi-sapi yang terserang (Janney et al. 1958 ). Pada uji Rose Bengal Test umumnya dapat mengenali hewan yang tertular lebih dini. Reaksi positif juga dihasilkan walau tingkat kejadian penyakit rendah dan vaksinasi pada pedet dengan strain 19 banyak dilakukan (Subronto 1995). 4. Uji aglutinasi dapat pula dilakukan pada plasma semen sapi-sapi jantan

tersangka (Kerr 1955).

Sejarah kelompok ternak sangat bermanfaat dalam mendiagnosa penyebab abortus, diagnosa perbandingan antara penyebab abortus cukup sulit dan sering tidak mungkin tanpa bantuan laboratorium yang baik. Lesio plasental pada Brucellosis, vibronosis dan penularan jamur pada sapi nampak sama.

2.6. Pengendalian dan Pemberantasan

Brucellosis pada manusia dapat dicegah dengan pengawasan atau eliminasi penyakit pada populasi ternak dan menghindari konsumsi susu mentah serta produksinya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat bahwa manusia adalah titik akhir dari perjalanan Brucellosis, dalam arti manusia tidak menularkan pada manusia lain. Oleh karena itu upaya utama yang dapat dilakukan adalah mengendalikan dan mencegah penyakit berpindah dari ternak ke manusia.

Pengawasan Brucellosis dapat dimulai pada tingkat peternakan berdasarkan kombinasi antar higiene yang baik dan vaksinasi. Vaksinasi merupakan cara yang paling tepat untuk mengurangi resiko infeksi. Dimana, usaha ini secara ekonomis dipandang sudah memenuhi standar program pemberantasan penyakit. Vaksin dapat mengurangi jumlah hewan terinfeksi jika dilakukan dalam waktu 7 tahun (Rompis 2000). Vaksin ternak pada masa pedet akan menurunkan reaktor sekitar 2–4% (Subronto1995).


(31)

2.7. Pengobatan

Pengobatan terhadap ternak penderita Brucellosis dengan berbagai antibiotik telah dicoba namun hasil yang diperoleh kurang maksimal. Tindakan-tindakan higienis sangat penting dalam program pencegahan Brucellosis pada suatu kelompok ternak.

Sapi yang tertular sebaiknya dijual kejagal atau dipisahkan dari kelompoknya beberapa minggu sebelumnya, dimana penyebaran tertinggi organisme Brucella dapat terjadi. Foetus dan plasenta yang digugurkan harus dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus didisinfeksi dengan larutan kresol 4% atau disinfektan sejenis.

Semua ternak yang didatangkan ke peternakan itu harus diuji kembali sebelum ditempatkan bersama kelompok ternak yang ada kecuali apabila didatangkan dari kelompok yang bebas Brucella. Prosedur pengujian awal ini sangat penting bahkan pada kelompok ternak yang sudah divaksinasi.

Program vaksinasi dilakukan pada anak sapi betina yang berumur 3-7 bulan dengan vaksin Brucella stain 19 yang merupakan vaksin referens bagi Brucellosis. Selain itu, vaksisn strain 19 juga menyebabkan terjadinya titer antibodi persisten pada sapi yang divaksisn sehingga sulit untuk dibedakan dengan infeksi alam (hasil uji positif palsu). Vaksin strain 19 dapat menyebabkan keguguran dan vaksin ini juga dapat diekskresikan melalui susu. Selain vaksin strain 19 vaksin lain yang biasa digunakan adalah vaksin strain 51 (RB 51). Vaksin ini tidak menyebabkan terbentuknya antibodi persisten pada sapi yang divaksin. Vaksin yang dikembangkan merupakan bakteri hidup sehingga dapat menginfeksi manusia bila penggunaannya yang kurang benar.

Pelaksanaan vaksinasi dilakukan pada pedet betina dengan dosis vaksin 5 ml subkutan. Reaksi vaksinasi akan terjadi setelah pubertas, karena terjadi peningkatan titer antibodi serum dengan cepat dan akan menghilang lebih dari 90% pada ternak tersebut sesudah mencapai umur 30 bulan.


(32)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian ini sebelumya telah dilakukan pada awal tahun 2007, dan dilanjutkan pada tanggal 10-15 Februari tahun 2008. Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan pengambilan sampel susu di daerah Kecamatan Cisarua tanggal 10 Februari 2008. Penelitian mikroskopis dimulai pada tanggal 11–15 Februari 2008 yang dilakukan di Laboratorium Bakteriologi, Bagian Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK) Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

3.2. Metode

Penelitian ini dilaksanakan melalui kegiatan pemantauan dengan beberapa metode antara lain :

1. Mendatangi koperasi yang ada di daerah Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor dengan melakukan wawancara langsung dengan pengurus koperasi tentang kesehatan sapi perah dan produksinya secara umum dan tentang Brucellosis secara khusus.

2. Mendatangi pemilik ternak atau perawat ternak yang ada di daerah Kecamatan Cisarua dengan melakukan wawancara langsung dengan panduan kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya.

3. Mengambil spesimen untuk pemeriksaan serologis kasus Brucellosis. Adapun spesimen yang direncanakan akan diambil adalah susu dan darah. 4. Melihat dan memperhatikan sanitasi kandang dan lingkungan tempat

pemeliharaan sapi perah yang ada di lokasi tersebut.

5. Melihat dan memperhatikan sanitasi lingkungan tempat penampungan susu di koperasi dan cara peternak dalam membawa hasil perahan susu sapinya.


(33)

3.3. Alat dan Bahan

Bahan dan alat yang digunakan dalam pengambilan sampel di Kecamatan Cisarua adalah ice box sebagai tempat penyimpanan sampel agar tetap dingin dan menghindari kontaminasi saat pembawaan, batu es (katalisator agar suhu susu tetap stabil), kantung plastik penampung, kertas label yang dilekatkan pada kantung sampel agar sampel tidak bercampur satu dan lainnya.

Bahan yang digunakan dalam percobaan di Laboratorium Bakteriologi adalah sampel susu, antigen brucella, plate count agar (PCA), bakteri Brucella abortus pada media agar, aquadestillata steril, dan NaCl fisiologis untuk penghitungan jumlah bakteri. Kristal violet, safranin, aceton alkohol, aquadestillata steril, lugol uji KOH dan uji pewarnaan Gram. Susu real good, milk kuat dan susu UHT produk lokal Bogor (susu UHT) sebagai pembanding dalam pembacaan hasil (kontrol negatif).

Alat yang digunakan dalam percobaan di Laboratorium Bakteriologi adalah cawan petri, pipet, pinset, tabung reaksi, rak tabung reaksi, cotton swab steril, aluminium foil, mikropipet 1 mililiter dan 0,3 mikroliter, ose, korek api, kapas, kertas label, object glass, cover glass, bunsen, inkubator, stomacher dan mikroskop.


(34)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Brucellosis telah dikenal di Indonesia sejak lama dan telah dilaporkan di bebagai daerah tetapi untuk pengujian belum seluruhnya terealisasi. Brucellosis pada sapi di Indonesia telah menyebar di 26 propinsi dengan kerugian ekonomi mencapai Rp 138,5 milyar/tahun, akibat keguguran, kematian pedet, sterilitas dan infertilitas, serta penurunan produksi susu. Keguguran pada umur kebuntingan tua merupakan gejala klinis bagi sapi yang mengidap penyakit Brucellosis dan memberikan kecenderungan diagnosa ke arah tersebut. Namun demikian adanya kasus keguguran bagi kebanyakan petani–peternak masih kurang perhatiannya terhadap kemungkinan penyakit dan penyebabnya. Pada umumnya peternak baru tergugah hatinya manakala terjadi infeksi yang mengancam kelangsungan hidup ternak yang sudah lahir, atau yang sudah berkembang menjadi dewasa. Disamping itu penyakit ini akan mudah dilupakan terutama dengan adanya kenyataan bahwa pada kebanyakan kejadian penyakit Brucellosis, peristiwa keguguran hanya akan terjadi satu kali dan pada kebuntingan berikutnya akan lahir normal. Dengan kenyataan ini, ditambah keterbatasan kesadaran tentang dampak dari penyakit yang mungkin timbul dan kesadaran bahwa sapi–sapi akan tetap tinggal sebagai reaktor yang mampu bertindak sebagai sumber penularan untuk sapi yang lain, disamping itu hewan juga akan menjadi majir atau berkurang fertilitasnya.

5.1. Profil Koperasi Unit Desa Giri Tani

Koperasi awalnya muncul dari inviltrasi maupun gerakan yang mula-mula timbul karena merupakan suatu gerakan otomatis untuk merubah diri (devenisive reflex) dari suatu kelompok masyarakat terhadap tekanan hidup yang dilakukan oleh kelompok lain dalam masyarakat, baik yang merupakan dominasi sosial maupun yang berupa ekspoloitasi ekonomi, sehingga menimbulkan rasa tidak aman bagi kehidupan mereka.

Pada perkembangannya dalam rangka usaha untuk lebih meningkatkan peran dari KUD dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan, dikeluarkan serangkaian ketentuan–ketentuan dari Pemerintah baik yang berupa Instruksi Presiden maupun Instruksi/Kebijaksanaan Menteri,


(35)

diantaranya Inpres No. 4 Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa, yang kemudian diikuti oleh beberapa Keputusan/Instruksi Menteri Koperasi yaitu tentang Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan KUD dan Intruksi tentang Pedoman Pembinaan dan KUD Mandiri (Instruksi Menteri Koperasi No. 04/INST/M/VI/1998). Dalam Instruksi Menteri ini dikatakan bahwa tujuan dari pembinaan dan pengembangan KUD yang memiliki kemampuan manajemen yang terbuka dan rasional dalam pengembangan ekonomi, para anggotanya atas kebutuhan dan keputusan para anggota KUD (Departemen Koperasi RI 1988).

KUD Giri Tani merupakan salah satu instansi yang bergerak dalam bidang kesejahteraan masyarakat dengan menjadi media perantara dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Unit usaha ini pertama kali berdiri pada tahun 1973. Pada awalnya begerak sebagai koperasi sekolah yang bergerak dalam bidang simpan pinjam. Kemudian KUD Giri Tani mendapat badan hukum dari pemerintah. Pada tahun 1982 KUD Giri Tani mulai bergerak dalam usaha sapi perah dimana para petani mendapat bantuan dari Presiden yang berupa kredit selama lima tahun. Sapi bantuan tersebut berasal dari New Zeland dan Australia. Akan tetapi, pada saat awal pengelolaan sapi perah para petani tidak mendapat sosialisasi dalam sistem manajemen beternak yang baik.

Pada tahun 1989 kredit dari pemerintah ke peternak mengalami penghentian dan hanya tersisa sepuluh orang anggota peternak yang aktif. Hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan peternak tentang manajemen pemeliharaan yang benar sehingga banyak kasus penyakit yang terjadi pada ternak meraka.

KUD Giri Tani sebagai koperasi pengelola dan penampung susu dari petani sebelum dilanjutkan pengiriman ke industri-industri olahan susu, mencakup di dua wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung. Jumlah anggota dari KUD Giri Tani adalah 867 orang yang terdiri dari 180 peternak dengan jumlah populasi 1100 ekor ternak, yang terbagi dalam lima kelompok, yaitu kelompok Baru Tegal, kelompok Tirta Kencana, kelompok Baru Sirem, kelompok Bina Warga dan kelompok Mekar Jaya. Sampai saat ini, KUD Giri Tani bergerak di bidang :


(36)

a. Susu

b. Kredit (simpan pinjam) c. Pakan ternak

d. Kesehatan hewan

e. Produksi susu olahan (UHT)

Produksi susu yang diterima KUD dari peternak rata-rata pertahun dapat berkisar 1.500.000 liter dan kemudian didistribusikan ke industri-industri pengolahan susu. Distribusi susu oleh KUD antara lain ke PT. Diamond Cold Storage sebesar 1.265.438 liter dan PT. Cimory sebesar 203.093 liter (tahun 2006). Di KUD Giri Tani member beberapa perlakuan pada susu yang diterima dari peternak yang berupa penyaringan dan pendinginan sampai suhu 2˚C. Untuk menghindari pemalsuan oleh peternak dilakukan beberapa uji untuk melihat kelayakan dari susu tersebut. Adapun uji yang dilakukan oleh KUD adalah uji kadar lemak, uji rasa, uji berat jenis, uji pH, uji alkohol dengan konsentrasi 70%. Pemalsuan susu yang sering terjadi oleh peternak antara lain pemberian santan kelapa, kanji, pati dan air. Pada susu yang terbukti dipalsukan langsung ditolak oleh KUD. Pada sintim pengambilan susu oleh KUD dari peternak dilakukan dengan dua cara yaitu, dijemput dan para peternak sendiri yang mengantar ke KUD.

KUD Giri Tani berbadan hukum 5765/BH/PAD/KWK.10/V/1997, dengan jumlah karyawan sebanyak 23 orang yang terbagi dalam bidang masing-masing. KUD Giri Tani selalu mengadakan rapat umum anggota setiap tahun secara berkesinambungan. Rapat anggota tersebut bertujuan untuk menyampaikan laporan pertanggung jawaban pengurus dan badan pengawas KUD Giri Tani terhadap anggota tentang hasil pelaksanaan kerja. Selain itu pada rapat tahunan juga membahas tentang rencana kerja dan rencana angggaran pendapatan dan belanja koperasi (RAPBK) untuk tahun berikutnya. Kemudian, hasilnya akan di jadikan acuan untuk pelaksanaan kerja pengurus ditahun berikutnya.

Pada KUD Giri Tani juga terdapat bidang keswan yang bertujuan untuk mengontrol kesehatan ternak dan memberi penyuluhan-penyuluhan tentang manajemen kesehatan hewan pada masyarakat khususnya anggota peternak yang baru bergabung. Selain itu, bidang keswan juga melaporkan tentang kasus-kasus


(37)

pada ternak di wilayah yang termasuk hirarki dari KUD Giri Tani pada dinas peternakan setempat. Petugas keswan dalam memberi penyuluhan tentang pemerahan dan pengiriman pasca panen oleh anggota KUD, juga melakukan program vaksinasi pada ternak secara berkesinambungan setiap tahun yaitu pada bulan Juni atau Juli. Vaksin yang biasa diberikan oleh petugas keswan pada ternak di wilayah tersebut adalah vaksin Antraks dan Brucellosis.

Pada ternak di wilayah Cisarua pernah terjadi kasus Brucellosis (keguguran pada trimester ke 3) yaitu pada awal tahun 2000. Gejala umum yang terlihat pada kasus keguguran antara lain abortus pada bulan ke 6 dan ke 7 disertai cairan dari plasenta yang berwarna keruh serta bau yang busuk. Pada kasus kelahiran prematur sapi perah lahir dalam keadaan lemah dan tubuh yang sangat kurus serta mengalami kematian setelah satu atau dua minggu setelah kelahiran. Pada tahun 2000 pernah dilakukan test and slaughter oleh pemerintah melalui Dinas Peternakan. Para petani yang ternaknya positif terinfeksi Brucella sp. mendapat kompensasi dari pemerintah berupa ganti rugi. Selain Dinas Peternakan, pengujian tentang kasus Brucellosis juga dilakukan oleh Balai Penelitian Veteriner kota Bogor dan Wates Yogyakarta.

Selain Brucellosis kasus yang sering muncul pada ternak di wilayah Cisarua adalah cacingan, E.coli, dan Salmonella. Hal ini berdampak pada produksi susu oleh ternak yang kurang baik. Selain itu di duga dari kasus infeksi tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas susu terutama pada prodak olahannya.

Pada produk susu dari KUD Giri Tani mendapat toleransi terhadap jumlah mikroba dalam susu dari para industri-industri pengolahan susu sebesar kurang dari 1.000.000. Pihak KUD menghargai susu dari peternak sebesar Rp 2.800 per liter. Susu dari peternak sementara akan ditampung oleh KUD yang kemudian di saring dan didinginkan sampai suhu 2˚C. Susu sampai pada industri-industri pengolahan susu biasanya pada suhu 5-7 ˚C dan sanggup bertahan sampai 12 jam. 5.2. Profil Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua

Profil peternak yang diamati meliputi tingkat pendidikan, tujuan beternak, pengalaman beternak, pengetahuan peternak tentang kesehatan ternak secara


(38)

umum. Informasi tersebut diperoleh melalui wawancara langsung dengan peternak menggunakan panduan kuesioner dan dengan pengurus koperasi setempat.

Tabel 1. Karakteristik Peternak

No Peternak Pendidika n terakhir Pengalama n beternak Tujuan beternak Pemahaman tentang kesehatan ternak 1. Deden SD 5-10 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 2. Eman SD 1-5 tahun Usaha sambilan Turun temurun 3. Nafis SD 5-10 tahun Usaha pokok Belajar sendiri 4. Tuti SMA > 10 tahun Usaha pokok Pendidikan formal 5. Nunung SD 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 6. Djamaluddin SMP 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 7. Apip SD 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 8. Hasan SMA 5-10 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 9. Adang SD 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 10. Heru PT 5-10 tahun Usaha sambilan Pendidikan formal 11. Apit munawih SMP 1-5 tahun Usaha pokok Turun temurun 12. H. Enjen SMA 5-10 tahun Usaha sambilan Dinas Peternakan 13. Jeri SD 1-5 tahun Usaha pokok Belajar sendiri 14. Gugun SD 1-5 tahun Usaha pokok Turun temurun 15. H. Jaji SMP 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 16. Samin Solihat SMA 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 17. Pepen Munawih SD 1-5 tahun Usaha sambilan Belajar sendidri

Sistem pemeliharaan sapi perah di wilayah Kecamatan Cisarua umumnya dilakukan secara intensif dalam kandang dengan alas kandang terbuat dari semen. Namun, kondisi alas tersebut bervariasi, ada yang kondisi baik yaitu rata dan kuat dan ada yang kurang baik. Sumber bibit ternak diperoleh dari daerah setempat atau dari luar. Luar daerah setempat bibit diperoleh dari Sukabumi, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sumber pakan ternak terutama hijauan diperoleh dari lahan disekitar daerah setempat dan konsentrat berasal dari koperasi atau toko pakan setempat. Sedangkan pakan yang berupa ampas tahu diperoleh dari produsen tahu di Kabupaten Bogor. Status dan kepemilikan ternak bervariasi yaitu milik pribadi ataupun sebagai pemelihara dengan populasi 1 ekor sampai 100 ekor dengan rata-rata 10-15 ekor/peternak.

Tingkat pendidikan peternak bervariasi mulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Kondisi pendidikan ini sangat berpengaruh terhadap


(39)

kemampuan peternak dalam menerima dan memahami informasi yang berhubungan dengan usaha peternaknya, khususnya yang berkaitan dengan kesehatan hewan dan produksinya.

Tujuan peternak melakukan usaha beternak sapi perah ada dua, yaitu sebagai usaha pokok dan usaha sambilan. Pengalaman beternak sapi umumnya lebih dari dua tahun dan yang secara turun temurun. Tingkat pengetahuan dan pemahaman peternak tentang kesehatan hewan dan produksinya bervariasi dari tidak tahu sampai tingkat yang tergolong baik. Tingkat pengetahuan berhubungan erat dengan tingkat pendidikan, pengalaman beternak, tujuan berusaha, dan aspek pembinaan yang dilakukan oleh koperasi dan Dinas Peternak setempat, yang mereka peroleh. Pengetahuan beternak diperoleh oleh peternak melalui Dinas Peternakan, paramedik, turun temurun, belajar sendiri, dan dari peternak lain. Bila mereka tidak mengetahui tentang kesehatan ternak mereka umumnya berdiam diri, dan ada yang mencari tahu kepeternak lain atau ke Dinas Peternakan.

Peternak belum menempatkan pakan hewan pada tempat yang khusus, baik itu pakan hijauan seperti rumput, ampas tahu, dan konsentrat. Untuk rumput beberapa peternak menempatkannya begitu saja di tempat yang dikehendaki. Begitupun juga pada ampas tahu, sebagian peternak bahkan meletakkannya begitu saja atau di jalan masuk dan keluar area kandang. Rumput bahkan ada yang diletakkan berdampingan dengan tumpukan feses sapi.

Kualitas air dibeberapa peternak kurang baik serta pakan rumput tercecer di lantai kandang yang kemungkinan besar bercampur dengan feses. Semua kondisi tersebut dapat menularkan agen penyakit yang terdapat dilingkungan dan kotoran sapi dan manusia ke sapi melalui pakan atau air yang diberikan. Peternak mungkin beranggapan bahwa sapi tidak perlu diberikan pakan dan air minum yang bersih seperti manusia. Anggapan ini harus diubah sehingga sapi yang dipelihara oleh peternak akan bebas dari ancaman atau resiko terkena penyakit dan dapat ditularkan melalui pakan dan air minum.


(40)

Gambar 1 Kondisi kandang pemeliharaan sapi disalah satu lokasi yang berdampingan dengan tempat pembuangan feses manusia/WC (kiri atas) dan kualitas air yang digunakan terlihat di dalam bak (kanan bawah) di samping WC (kanan atas). Kondisi tersebut memungkinkan resiko sapi tertular agen penyakit asal manusia dan dapat menularkan ke sapi lain.

Gambar 2 Tempat meletakkan pakan sapi di beberapa lokasi peternakan di

Kecamatan Cisarua. Pakan diletakkan belum pada tempatnya terutama pakan asal limbah tahu dan rumput (hijauan), sedangkan untuk konsentrat sudah diletakkan dalam ruang tertutup tetapi kebersihan tempat masih belum diperhatikan karena masih terdapat feses di sekitar tempat penampungan tersebut.


(41)

Gambar 3 Kondisi kandang yang sanitasinya tidak baik. Sapi terlihat memakan rumput yang berserakan di lantai kandang yang berlantai tanah dan kemungkinan terkontaminasi oleh feses dan urin (kanan bawah). Pada gambar kiri atas menujukan sapi pedet yang pakan bercampur dengan pakan yang kemungkinan terlah terkontaminasi oleh mikroba. Pada kanan atas merupakan salah satu kondisi kandang yang baik dimana kandang beralaskan bahan yang terbuat dari bahan karet.

Gambar 4 Kondisi di lokasi KUD Giri Tani pada saat penampungan susu.

Panampung susu dan pendingin di KUD (kiri bawah) dan alat pengelolaan susu di KUD (kiri atas). Kanan bawah merupakan alat untuk membawah susu ke industri pengelola susu. Kiri atas merupakan alat penyaring dari peternak sebelum didinginkan.


(42)

5.3. Pengetahuan dan Persepsi Peternak tentang Brucellosis

Persepsi peternak dan pengurus koperasi tentang Brucellosis dan pengujiannya secara umum tergolong kurang baik. Hal ini berkaitan dengan tindakan yang akan dilakukan seandainya pengujian serologik terhadap Brucellosis ditemukan positif. Sebagian besar peternak telah mengetahui tentang nama Brucellosis pada sapi perah. Namun, bagaimana menanganinya merupakan hal yang masih perlu dilakukan pembinaan. Penanganan tidak hanya sekedar vaksinasi dan penggantian hewan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari peternak, pengurus koperasi, dan paramedik, kegiatan yang berhubungan dengan Brucellosis merupakan hal yang sensitif dikalangan peternak. Kegiatan pengendalian Brucellosis sebelumnya pernah dilakukan yaitu test and slaughter yang dilakukan pemerintah yang dalam hal ini adalah Dinas Peternakan. Hewan yang positif dalam pengujian diperintahkan untuk dipotong, namun penggantian yang diperoleh peternak tidak memadai. Hal ini membuat peternak dan pengurus koperasi kecewa.

Gambar 5 Sapi yang mengalami kelainan fisik pada salah satu lokasi peternakan yang terlihat saat pemantauan. Pemahaman peternak tentang kesehatan sapi yang tidak memadai menyebabkan sapi yang mengalami kelainan fisik tersebut tetap dipelihara. Sapi terlihat seperti bunting namun, pada kenyataan sapi tidak bunting. Sapi tetap dipelihara karena masih menghasilkan susu, keadaan ini sudah berlangsung beberapa bulan.


(43)

Tabel 2. Persepsi Peternak tentang Brucellosis No Peternak Pengetahuan

Brucellosis

Program

vaksisasi Waktu vaksin

Jumlah ternak

1. Deden Ya Ya Juni-Juli 10 ekor

2. Eman Ya Ya Juni-Juli 3 ekor

3. Nafis Ya Ya Juni-Juli 9 ekor

4. Tuti Ya Ya Juni-Juli 50 ekor

5. Nunung Tidak Ya Juni-Juli 4 ekor

6. Djamaluddin Ya Ya Juni-Juli 15 ekor

7. Apip Tidak Ya Juni-Juli 12 ekor

8. Hasan Ya Ya Juni-Juli 10 ekor

9. Adang Tidak Ya Juni-Juli 3 ekor

10. Heru Ya Ya Juni-Juli 20 ekor

11. Apit munawih Ya Ya Juni-Juli 3 ekor

12. H. Enjen Ya Ya Juni-Juli 2 ekor

13. Jeri Tidak Ya Juni-Juli 6 ekor

14. Gugun Ya Ya Juni-Juli 9 ekor

15. H. Jaji Ya Ya Juni-Juli 2 ekor

16. Samin Solihat Ya Ya Juni-Juli 7 ekor

17. Pepen M Tidak Ya Juni-Juli 6 ekor

5.4. Hasil Pengambilan Spesimen dan Pemeriksaan Serologik Brucellosis Pada awalnya, spesimen yang direncanakan untuk diambil guna pemeriksaan serologik Brucellosis adalah darah dan susu sapi. Namun, setelah kunjungan ke lapangan ada perubahan sehingga spesimen yang diambil hanyalah susu. Pengambilan spesimen darah kurang disetujui oleh pengurus koperasi dengan alasan bahwa peternak ”trauma”`dengan kasus di masa lalu bahwa hewan mereka ”terpaksa ” dipotong karena positif Brucellosis. Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa pengujian Brucellosis tidak begitu besar manfaatnya bila tidak ada tindakan lanjutannya, yaitu bagaimana penanggulangan bagi sapi perah yang positif Brucellosis. Kalau sapi positif Brucellosis harus dipotong, dana penggantian harus memadai sehingga dapat digunakan untuk membeli sapi kembali atau langsung diganti dengan sapi. Berdasarkan hal tersebut, spesimen yang diambil adalah susu sapi. Susu yang diambil adalah kriteria susu kandang dan susu individu yang dikumpulkan di koperasi, yaitu susu yang dikumpulkan dari kandang seorang peternak dari beberapa ekor sapi yang akan yang akan


(44)

disetorkan ke koperasi. Pengambilan spesimen susu dilakukan pada penyetoran sore hari.

Gambar 6. Kondisi pengumpulan susu oleh pihak KUD Giri Tani. Susu dikumpulkan dengan menjemput langsung pada peternak dengan mobil (kiri atas dan kiri bawah) dibeberapa pos-pos yang telah disepakati sebelumnya. Selain itu, beberapa peternak yang lokasinya tidak jauh mengantarkan langsung ke KUD (kanan bawah). Pihak KUD juga menjaga higine susu untuk menekan kontaminasi dari mikroba dengan membersihkan tempat-tempat penampungan susu dari peternak (kanan atas).

Spesimen susu yang diambil kemudian diperiksa secara serologik dengan metode Milk Ring Test (MRT). Hasil dapat dilihat pada Tabel 3. hasil screening dengan MRT menunjukkan bahwa sebagian besar kandang yang susu sapinya diserahkan pada hari pengambilan spesimen menunjukan positif Brucellosis. Hal ini mengindikasikan bahwa hampir semua kandang sapi yang susunya diperiksa ada sapi perah yang positif Brucellosis. Mengenai berapa jumlah hewan yang positif perlu dilakukan uji selanjutnya yang bersifat konfirmatif.


(45)

Tabel 3. Hasil pengujian sampel dengan milk ring test (Volume susu : 10 ml)

No Pemilik Jenis susu Hasil uji MRT

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 Jajang Yani Hamdan Junaidi harun Abdulah safei Ading H. Dama Mintarsih Adang H. Enjen Tatang ujang Apit munawih Hasan Hasan apandi H. Jaji Pepen munawih Munawar Nunung Samin solihat Bambang Mamduh Didin Deden

Firman. H. Mahdi H. Oleh H. Rebo Sunarto Nyai Anah Yayan Esih Anda Maman Eko Hariyanto H. Makim Djamaluddin Tuti hasanah Individu Individu

Kelompok (3 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (6 ekor) Individu

Kelompok (5 ekor) Kelompok (3 ekor) Individu

Kelompok (2 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (3 ekor) Kelompok (10 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (4 ekor) Individu

Kelompok (3 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (3 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (5 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (9 ekor) Kelompok (3 ekor) Kelompok (3 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (11 ekor) Individu + Dubius + + Dubius + + + Dubius + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - + Dubius + + + -

Keterangan : Perlakuan yang dilakukan dengan mereaksikan antara antigen Brucella

dengan sampel susu setelah diinkubasi selama 2 jam. Hasil positif (+) ditunjukan dengan terbentuknya cincin ungu pada permukaan tabung reaksi dan hasil negatif sampel cenderung homogen.

Pada uji Milk Ring Test diperoleh dua sampel yang menujukkan reaksi negatif dan empat sampel menunjukan reaksi dubius, sedangkan sampel yang lain menunjukan reaksi positif. Pada proses pembacaan hasil ada beberapa faktor yang


(46)

dapat mempengaruhi pembacaan hasil seperi guncangan yang berlebihan sehingga gelembung krim yang akan bereaksi dengan antigen Brucella tidak terbentuk pada permukaan tabung berupa cincin biru/ungu. Untuk penegasan uji pertama dilakukan uji Milk Ring Tets kedua terutama pada hasil yang dubius dengan pembanding menggunakan sampel posif pada uji pertama (kontrol positif) dan susu komersil (kontrol negatif). Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel dua. Pada uji MRT kedua diperoleh dua hasil negatif (Pak Maman dan Pak Abdul) dan dua hasil positif (Pak Adang dan Bu Yani). Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil pengujian kedua dengan Milk Ring Test

No Sampel Hasil Uji MRT

1. Hasil dubius • Pak Maman • Pak Abdulah • Pak Adang • Bu Yani

- - + + 2. Positif Uji MRT

• Pak Junaedi • Pak Eko • Pak Apit • Pak Dedeh

+ + + + 3. Kontrol negatif (susu komersil)

• Real good • Milk kuat • Susu Bogor

- - -

Keterangan : Pada pengujian pertama ditemukan ada beberapa sampel yang

menunjukan hasil dubius yang kemudian dilakukan pengujian kembali dengan pembanding hasil positif pada uji MRT pertama dan kontrol negatif berupa susu komersil.

Kesulitan yang dihadapi untuk menganalisis hasil uji adalah tidak adanya catatan yang jelas tentang sapi mana saja yang telah divaksinasi (recording) dan kapan tanggal divakasinasi. Hasil positif menunjukan bahwa di kandang tempat asal susu yang diperiksa ada sapi yang diduga positif terinfeksi Brucellosis. Untuk menentukan sapi mana yang terinfeksi perlu diperiksa lebih lanjut dengan uji konfirmatif dari setiap sapi laktasi maupun tidak laktasi. Sapi tidak laktasi diperiksa untuk mengetahui apakah sudah terjadi penularan apabila memang ditempatkan pada satu kandang dengan sapi laktasi.


(47)

Uji MRT yang dilakukan pada spesimen susu kandang (bulk milk) merupakan uji yang efektif untuk screening dan pemantauan Brucellosis pada sapi perah, tetapi bila kelompok sapi dalam satu kandang terlalu besar kurang bisa diandalkan. Penting diingat tidak ada uji serologik tunggal yang sesuai untuk kondisi lapangan. Oleh karena itu, spesimen yang bereaksi positif dalam uji sreening, harus dikonfirmasi dengan uji konfirmatif.

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus koperasi dan beberapa peternak, kasus aborsi pada sapi yang bunting ada yang terjadi di lapangan. Namun, jumlah tepatnya tidak ada catatan yang memadai, begitu juga dengan umur kebuntingan ketika terjadi aborsi. Sapi yang juga mengalami inseminasi ulang juga tidak sedikit.

Brucellosis umumnya bersifat asimtomatik pada hewan betina yang bunting. Setelah infeksi oleh Brucella abortus dan Brucella militensis, sapi betina bunting akan mengalami placentitis yang biasanya mengalami aborsi antara bulan kelima dan bulan kesembilan kebuntingan. Dalam ketiadaan aborsi, ekskresi bakteri terjadi dalam placenta, cairan placenta dan vaginal discharges (cairan vagina). Kelenjar ambing dan limfonodi yang berhubungan mungkin juga terinfeksi dan bakteri mungkin diekskresikan dalam susu. Susu yang berasal dari sapi yang terinfeksi dan mengandung bakteri akan berpotensi menjadi sumber infeksi bila diberikan ke pedet atau sapi lain, bahkan mungkin untuk infeksi manusia (Naim dan Hidayat 2007).

Seleksi bibit sapi perah seharusnya selalu dilakukan untuk mengurangi jumlah kasus Brucellosis. Bibit atau sapi yang baru dibeli sebaiknya di uji terlebih dahulu, atau ada sertifikat yang menyatakan negatif Brucellosis. Hewan yang baru didatangkan dari luar kandang atau area setempat harus ditempatkan pada kandang khusus yang terpisah atau ”kandang/area karantina” sebelum disatukan dengan hewan yang ada. Kemudian dilakukan pemeriksaan untuk memastikan hewan tersebut tidak positif Brucellosis atau penyakit lain. Perpindahan hewan dari satu kandang ke kandang lain seharusnya dilakukan dengan pengawasan tenaga kesehatan hewan. Hal ini untuk mencegah terjadinya penularan penyakit akibat perpindahan hewan tersebut.


(48)

Gambar 7. Sampel susu yang telah diambil dari daerah peternakan yang disimpan dalam kantung palasik, kemudian disimpan dalam lemari es yang kemudian di uji dengan Milk Ring Test (MRT)

Gambar 8. Pemariksaan serologik spesimen susu kandang terhadap Brucellosis dengan Milk Ring Test (MRT). Hasil uji terlihat pada tiga tabung pertama. Tabung sebelah kiri menunjukan reaksi dubius, negatif dan positif (terlihat ring berwarna biru di bagian atas)dari spesimen susu yang diperoleh dilapangan. Gambar berikutnya meruopakan hasil pemeriksaan.


(49)

Gambar 9. Hasil pemeriksaan kedua dengan uji Milk Ring Test /MRT (kiri atas) dengan dua hasil positif dan dua hasil negatif (kanan atas) dengan mengunakan pembanding (kontrol negati) susu komersil (gambar bawah).

5.5. Hasil Pemeriksaan Bakteriologik Susu

Selain pemeriksaan serologik untuk kasus Brucellosis, spesimen susu yang diperoleh juga dilakukan pemeriksaan terhadap keberadaan bakteri Brucella sp. dan kemungkinan adanya bakteri patogen yang ada di dalamnya. Pemeriksaan ini dilakukan berdasarkan kunjungan ke lapangan dan hasil wawancara dengan pengurus koperasi dan beberapa peternak. Mereka menyatakan bahwa kualitas mikrobiologik susu mereka masih rendah, terutama dalam hal jumlah mikroba yang terkandung didalamnya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya bakteri Gram negatif patogen dalam susu. Hasil pemeriksaan memperlihatkan bahwa sampling susu selain telihat adanya bakteri Brucella sp. dalam susu juga mengandung E. coli.

Keberadaan E. coli dalam susu dapat mengakibatkan dua hal. Pertama, menggambarkan pemahaman peternak tentang kesehatan lingkungan sapi yang kurang baik, cara pemerahan yang tidak higienis, dan cara membawa susu ke koperasi. Kedua, menunjukkan adanya resiko kemungkinan untuk menderita penyakit diare yang diakibatkan oleh E. coli, baik untuk manusianya yang akan mengkonsumsi susu bila tidak dimasak sempurna maupun terhadap pedet yang


(50)

diberikan susu terkontaminasi tersebut. Pedet yang mengalami diare akibat E. coli dapat mengalami kematian dan hal ini akan menyebabkan kerugian bagi peternak (Naim dan Hidayat 2007).

Kualitas susu sangat dipengaruhi oleh kondisi sanitasi lingkungan kandang sapi, cara perawatan sapi, kondisi sapi, cara pemerahan dan cara pengelolaan susu mulai dari diperah sampai dibawa ke koperasi. Kualitas meliputi cita rasa dan aroma susu, kandungan bakteri, sifat fisik dan kimiawi. Sapi perah yang sehat dengan ambing yang sehat akan memproduksi susu dengan kandungan mikroba sedikit. Sapi perah atau ambing yang sakit akan mengakibatkan susu mengandung mikroba dalam jumlah yang banyak.

Pemahaman peternak tentang produk yang higenis belum memadai. Faktor yang sangat berpengaruh terhadap jumlah mikroba yang teramati ketika pengambilan spesimen susu untuk pemeriksaan adalah cara membawa susu ke koperasi yang tidak tepat. Hal ini bisa dilihat pada gambar 6, berbagai cara dan alat pembawa yang digunakan, terlihat beberapa peternak membawa susunya dengan tempat seadanya, tidak pada tempat yang sesuai seperti milk can. Peternakan membawanya dengan ember bahkan tidak tertutup, adanya yang membawanya seperti bekas tempat cat, ada yang membawa dengan milk can, tetapi tidak tertutup, bahkan adanya yang menutupnya dengan plastik bekas, ada yang sudah berkarat. Kondisi yang tidak tertutup ini teramati ketika turun hujan maupun tidak turun hujan.

Cara pemerahan yang tidak higienis dapat dilihat pada gambar 10, terlihat peternak memerah terkadang sambil memegang sapu untuk memukul lalat atau serangga. Tangan peternak yang memerah tersebut akan terkontaminasi dengan gagang sapu yang kotor, karena diletakan di lantai yang terlihat basah dengan air bercampur kotoran sapi. Kemudian ia memerah kembali, tangan yang kotor tersebut akan mengkontaminasi ambing dan susu sapi yang diperoleh setelah pemerahan. Sehingga merugikan karena mengkontaminasi semua susu sapi yang diperoleh dari kandang tersebut.


(51)

Gambar 10. Cara pemerahan yang kurang higienis oleh peternak dan persiapan sapi sebelum diperah.

Gambar 11. Biakan bakteri pada media agar Brucella sp. warna putih menujukkan bakteri yang diduga Brucella sp. (bawah) dan warna kuning merupakan bakeri kotaminan yang juga berasal dari Gram negatif.

Berdasarkan hasil positif uji MRT dilakukan uji kembali untuk mempertegas yaitu dengan pembiakan pada media agar. Bakteri Brucella sp. yang ada pada spesimen sering dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga membutuhkan teknik pemupukan tertentu yaitu dengan menambah jumlah media pupukan agar peluang mengisolasi Brucella sp. lebih besar, misalnya, dengan menggunakan selective bi-phasic medium, satu atau lebih selective media agar plate (media padat) dan broth (media cair). Biasanya separuh dari spesimen cukup untuk awal pemupukan, separuhnya lagi disimpan dalam tempat beku < -20˚C sebagai cadangan bila terjadi kontamonsi yang berlebihan. Daya hidup sel


(52)

Brucella dapat dijaga dalam jaringan yang belum diproses pada temperature beku (Anonimus 2004).

5.6. Hasil Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram

Bakteri ini sulit untuk diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya sebab tidak bisa mengabsorbsi cahaya sehingga dibutuhkan zat warna untuk mengabsorbsinya. Pemakaian zat warna dapat mempermudah pengamatan tubuh, susunan sel, sifat Gram dan stuktur sel lainnya. Pewarnaan yang digunakan untuk membedakan organisme disebut dengan pewarnaan deferensial

Salah satu contoh dari pewarnaan deferensial yaitu pewarnaan Ziehl– Nellsen yang membedakan bakteri menjadi kelompok tahan asam dan tidak tahan asam. Selain itu, ada pewarnaan deferensial lain yaitu pewarnaan Gram yang membedakan bakteri Gram positf dan bakteri Gram negatif. Zat warna yang digunakan pada pewarnaan ini bersifat asam atau basa, jika bermuatan negatif maka zat warna bersifat asam sedangkan bermuatan positif maka zat warna bersifat basa. Pada kegiatan penelitian ini, pewarnaan yang digunakan adalah pewarnaan Gram yang sebelumnya dilakukan pembuatan preparat ulas dari media padat.

Table 5 . Tahapan pewarnaan Gram (Anonimons, 2004)

Jenis larutan Gram positif Gram negatif Kristal violet

Larutan lugol Larutan pemucat Safranin (karbol fuksin)

Ungu Ungu Ungu Ungu

Ungu Ungu

Tidak berwarna Merah

Berdasarkan hasil pengamatan bakteri dengan melakukan pewarnaan Gram diperoleh hasil bahwa Brucella sp. merupakan bakteri Gram negatif yang menyerap warna merah dari safranin (bersifat asam) dan berbentuk batang, tidak bergerak, dan tidak berspora.


(53)

Gambar 12. Hasil biakan bakter yang diwarnai dengan pewarnaan Gram, bakteri yang ditemukan dalm jumlah yang tidak banyak yang berbentuk barang, bergerombol dan berwarna merah (bawah). Gambar atas merupakan kontrol

Pada preparat ulas spesimen yang diwarnai dengan modifikasi acid-fast, bakteri Brucella sp. akan terlihat berwarna merah dengan latar belakang biru, sedangkan bila diwarnai dengan modifikasi Koster΄s akan berwarna orange kemerahan dengan latar belakang biru tua. Dari hasil pemeriksaan secara bakteriologik sebelum melakukan/dikirim ke referensi laboratorium untuk typing biasanya dilakukan prosedur sebagai berikut (Alton et al. 1988) :

1. Bentuk koloni : kecil dan halus dengan tepi rata, bulat, jernih dengan warna agak kehijau-hijauan atau seperti warna madu.

2. Dengan pewarnaan Gram : Gram negatif, berpasangan atau bergerombol.

3. Agar darah : bila ada hemolisis berarti bukan dari genus Brucella. 4. Mac Conceýs agar : jarang tumbuh, mungkin ada beberapa strain

yang tumbuh dan terjadi fermentasi laktosa dinyatakan bukan genus Brucella.

5. Uji biokimia dan sifat lainnya : non-motil, indol negatif, oxidase positif, catalase positif, urea positif (umumnya B. abortus positif dalam 1-2 jam), mereduksi nitrat, citrate negatif. Tidak tumbuh atau kurang tumbuh bila disubkultur pada inkubasi biasa tanpa CO2 (beberapa strain mungkin bersifat aerotolerant, seperti S19)


(54)

Hewan yang terinfeksi cenderung tinggal sebagai carier yang menahun dan sebagian besar hidupnya dengan ekskresi melalui air susu dan cairan vagina, walaupun mungkin anaknya keluar normal. Infeksi pada manusia umumnya terjadi melalui air susu yang diminum mentah atau bahan makanan berasal dari air susu atau karena menangani ternak yang terinfeksi, terutama selama masa melahirkan dan sewaktu membersihkan bahan yang keluar sewaktu melahirkan.


(55)

Bab V

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian, pengamatan lapangan dan wawancara dari kegiatan ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:

1. Brucellosis masih menjadi masalah dalam peternakan sapi perah di wilayah Kecamatan Cisarua–Bogor.

2. Pemahaman peternak tentang kesehatan sapi perah dan produksinya masih rendah.

3. Sistem manajemen kesehatan hewan belum memadai

4. Peternak dan pengurus koperasi berharap adanya pembinaan dalam manajemen kesehatan sapi perah dan produksinya.

Saran

Berdasarkan hasil dari pemeriksaan spesimen terhadap kasus Brucellosis dan kualitas mikrobiologik susu serta hasil kunjungan dan wawancara di wilayah tersebut, maka perlu adanya tindak lanjut tentang hasil screening kasus

Brucellosis. Kegiatan yang sangat dibutuhkan oleh pihak peternak dan pengurus koperasi sapi perah meliputi:

1. Melakukan uji konfirmatif untuk menentukan individu sapi yang positif Brucellosis.

2. Melakukan pembinaan pada peternak untuk :

• Mencegah dan menanggulangi kasus Brucellosis secara nyata • Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan peternak untuk

menyeleksi bibit sapi perah, dan

• Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang manajemen kesehatan sapi perah dan produksinya.

• Adanya suatu pihak yang mengontrol jalur transportasi hewan baik masuk maupun keluar dari lokasi peternakan sebagai usaha pencegahan awal.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso BT. 2002. Zoonosis Strategis Antrax dan Brucellosis, Dampak dan

Polemik yang Timbul di Masyarakat. Makalah Seminar. Diskusi Nasional Langkah – langkah Preventif dalam Mengatasi Peluang Kemunculan Penyakit Zoonosis Strategis. Bogor, 31 Oktober 2002.

Alton, G.G, Jones, L.M, Angus, R.D, and Verger, J.M. 1988. Technique in the Brucellosis Laboratori. Institute National de la Recherche Agronomique. Paris.

Anonimons. 2004. Bakteriologi-Isolasi dan Identifikasi Primer. BALITVET. Bogor.

Anonimons. 1998. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Hewan di Indonesia Tahun 1998. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.

Blood DC, OM Radostitis. 1989. Veterinari Medicine hlm 677-690. Bailliere Tindall, London. England.

Direktorat Jendral Peternakan. 1983. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.

Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2002. Pedoman Gerakan Penanggulangan Brucellosis pada Sapi Perah di Kabupaten Bogor Tahun 2002. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Bogor.

Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2002. Laporan Pelaksanaan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Bogor Tahun 2002. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Bogor.

Departemen Koperasi RI. 1998. Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) Mandiri, Jakarta.

Edelsten RM. 1990. Diseases Caused by Bacteria. didalam: Sewell MMH dan Brocklesby DW, editor. Handbook on Animal Disease in The Tropics. Ed ke-4. London: Baillere – Tindall. hlm 41 – 44.

Edilius SE dan Sudarsono. 1993. Koperasi Dalam Teori Dan Praktik. PT Rineka Cipta, Jakarta.

Hendrojogi. 2002. Koperasi Azas-Azas, Teori dan Praktek. Rajawali Pers, Jakarta. Jawetz E, Melnick JL dan Adelberg EA. 1980. Review of Medical Microbiology.


(57)

Maria G. 2005. Technical Report. Australian Veterinari Journal, Vol. 53. p. 394-400.

Morgan, B. 1978. Brucellosis Diagnosis Standard Laboratory Techniques. C.V.L. New. Mon. Weybridge. Snareey.

Naim, R dan R, Hidayat. 2007. Pemantauan Kesehatan Sapi Perah dan Produknya di Kabupaten Bogor dan Sukabumi: Pemeriksaan Serologik Brucellosis. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pasaribu FH. 2007. Diktat Kuliah Penyakit Infeksius. Fakultas Kebokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rompis ALT. 2002. Epidemiologi Brucellosis Sapi di Indonesia. Jurnal Veteriner

3 (4) : 155 – 163.

Setiawan, E. 1992. Studi Tentang Beberapa Sifat Biologik Brucella abortus Isolat Lapang (Disertasi). IPB, Bogor.

Subronto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sudrajat S. 2000. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional Bidang

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Didalam: Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 16 - 17 September 2000. Jakarta: Pusat Penerangan dan Pembangunan Ternak.

Wilcocks dan Manson – Bahr. 1984. Manson΄s Topical Diseases. Bailliere – Tindal, London.


(1)

Brucella dapat dijaga dalam jaringan yang belum diproses pada temperature beku (Anonimus 2004).

5.6. Hasil Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram

Bakteri ini sulit untuk diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya sebab tidak bisa mengabsorbsi cahaya sehingga dibutuhkan zat warna untuk mengabsorbsinya. Pemakaian zat warna dapat mempermudah pengamatan tubuh, susunan sel, sifat Gram dan stuktur sel lainnya. Pewarnaan yang digunakan untuk membedakan organisme disebut dengan pewarnaan deferensial

Salah satu contoh dari pewarnaan deferensial yaitu pewarnaan Ziehl– Nellsen yang membedakan bakteri menjadi kelompok tahan asam dan tidak tahan asam. Selain itu, ada pewarnaan deferensial lain yaitu pewarnaan Gram yang membedakan bakteri Gram positf dan bakteri Gram negatif. Zat warna yang digunakan pada pewarnaan ini bersifat asam atau basa, jika bermuatan negatif maka zat warna bersifat asam sedangkan bermuatan positif maka zat warna bersifat basa. Pada kegiatan penelitian ini, pewarnaan yang digunakan adalah pewarnaan Gram yang sebelumnya dilakukan pembuatan preparat ulas dari media padat.

Table 5 . Tahapan pewarnaan Gram (Anonimons, 2004)

Jenis larutan Gram positif Gram negatif Kristal violet

Larutan lugol Larutan pemucat Safranin (karbol fuksin)

Ungu Ungu Ungu Ungu

Ungu Ungu

Tidak berwarna Merah

Berdasarkan hasil pengamatan bakteri dengan melakukan pewarnaan Gram diperoleh hasil bahwa Brucella sp. merupakan bakteri Gram negatif yang menyerap warna merah dari safranin (bersifat asam) dan berbentuk batang, tidak bergerak, dan tidak berspora.


(2)

Gambar 12. Hasil biakan bakter yang diwarnai dengan pewarnaan Gram, bakteri yang ditemukan dalm jumlah yang tidak banyak yang berbentuk barang, bergerombol dan berwarna merah (bawah). Gambar atas merupakan kontrol

Pada preparat ulas spesimen yang diwarnai dengan modifikasi acid-fast, bakteri Brucella sp. akan terlihat berwarna merah dengan latar belakang biru, sedangkan bila diwarnai dengan modifikasi Koster΄s akan berwarna orange kemerahan dengan latar belakang biru tua. Dari hasil pemeriksaan secara bakteriologik sebelum melakukan/dikirim ke referensi laboratorium untuk typing biasanya dilakukan prosedur sebagai berikut (Alton et al. 1988) :

1. Bentuk koloni : kecil dan halus dengan tepi rata, bulat, jernih dengan warna agak kehijau-hijauan atau seperti warna madu.

2. Dengan pewarnaan Gram : Gram negatif, berpasangan atau bergerombol.

3. Agar darah : bila ada hemolisis berarti bukan dari genus Brucella. 4. Mac Conceýs agar : jarang tumbuh, mungkin ada beberapa strain

yang tumbuh dan terjadi fermentasi laktosa dinyatakan bukan genus Brucella.

5. Uji biokimia dan sifat lainnya : non-motil, indol negatif, oxidase positif, catalase positif, urea positif (umumnya B. abortus positif dalam 1-2 jam), mereduksi nitrat, citrate negatif. Tidak tumbuh atau kurang tumbuh bila disubkultur pada inkubasi biasa tanpa CO2


(3)

Hewan yang terinfeksi cenderung tinggal sebagai carier yang menahun dan sebagian besar hidupnya dengan ekskresi melalui air susu dan cairan vagina, walaupun mungkin anaknya keluar normal. Infeksi pada manusia umumnya terjadi melalui air susu yang diminum mentah atau bahan makanan berasal dari air susu atau karena menangani ternak yang terinfeksi, terutama selama masa melahirkan dan sewaktu membersihkan bahan yang keluar sewaktu melahirkan.


(4)

Bab V

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengujian, pengamatan lapangan dan wawancara dari kegiatan ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu:

1. Brucellosis masih menjadi masalah dalam peternakan sapi perah di wilayah Kecamatan Cisarua–Bogor.

2. Pemahaman peternak tentang kesehatan sapi perah dan produksinya masih rendah.

3. Sistem manajemen kesehatan hewan belum memadai

4. Peternak dan pengurus koperasi berharap adanya pembinaan dalam manajemen kesehatan sapi perah dan produksinya.

Saran

Berdasarkan hasil dari pemeriksaan spesimen terhadap kasus Brucellosis dan kualitas mikrobiologik susu serta hasil kunjungan dan wawancara di wilayah tersebut, maka perlu adanya tindak lanjut tentang hasil screening kasus

Brucellosis. Kegiatan yang sangat dibutuhkan oleh pihak peternak dan pengurus koperasi sapi perah meliputi:

1. Melakukan uji konfirmatif untuk menentukan individu sapi yang positif Brucellosis.

2. Melakukan pembinaan pada peternak untuk :

• Mencegah dan menanggulangi kasus Brucellosis secara nyata • Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan peternak untuk

menyeleksi bibit sapi perah, dan

• Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang manajemen kesehatan sapi perah dan produksinya.

• Adanya suatu pihak yang mengontrol jalur transportasi hewan baik masuk maupun keluar dari lokasi peternakan sebagai usaha pencegahan awal.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Akoso BT. 2002. Zoonosis Strategis Antrax dan Brucellosis, Dampak dan

Polemik yang Timbul di Masyarakat. Makalah Seminar. Diskusi Nasional Langkah – langkah Preventif dalam Mengatasi Peluang Kemunculan Penyakit Zoonosis Strategis. Bogor, 31 Oktober 2002.

Alton, G.G, Jones, L.M, Angus, R.D, and Verger, J.M. 1988. Technique in the Brucellosis Laboratori. Institute National de la Recherche Agronomique. Paris.

Anonimons. 2004. Bakteriologi-Isolasi dan Identifikasi Primer. BALITVET. Bogor.

Anonimons. 1998. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Hewan di Indonesia Tahun 1998. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.

Blood DC, OM Radostitis. 1989. Veterinari Medicine hlm 677-690. Bailliere Tindall, London. England.

Direktorat Jendral Peternakan. 1983. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit Hewan di Indonesia. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.

Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2002. Pedoman Gerakan Penanggulangan Brucellosis pada Sapi Perah di Kabupaten Bogor Tahun 2002. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Bogor.

Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2002. Laporan Pelaksanaan Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Bogor Tahun 2002. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Bogor.

Departemen Koperasi RI. 1998. Pedoman Pembinaan dan Pengembangan Koperasi Unit Desa (KUD) Mandiri, Jakarta.

Edelsten RM. 1990. Diseases Caused by Bacteria. didalam: Sewell MMH dan Brocklesby DW, editor. Handbook on Animal Disease in The Tropics. Ed ke-4. London: Baillere – Tindall. hlm 41 – 44.

Edilius SE dan Sudarsono. 1993. Koperasi Dalam Teori Dan Praktik. PT Rineka Cipta, Jakarta.

Hendrojogi. 2002. Koperasi Azas-Azas, Teori dan Praktek. Rajawali Pers, Jakarta. Jawetz E, Melnick JL dan Adelberg EA. 1980. Review of Medical Microbiology.


(6)

Maria G. 2005. Technical Report. Australian Veterinari Journal, Vol. 53. p. 394-400.

Morgan, B. 1978. Brucellosis Diagnosis Standard Laboratory Techniques. C.V.L. New. Mon. Weybridge. Snareey.

Naim, R dan R, Hidayat. 2007. Pemantauan Kesehatan Sapi Perah dan Produknya di Kabupaten Bogor dan Sukabumi: Pemeriksaan Serologik Brucellosis. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Pasaribu FH. 2007. Diktat Kuliah Penyakit Infeksius. Fakultas Kebokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rompis ALT. 2002. Epidemiologi Brucellosis Sapi di Indonesia. Jurnal Veteriner

3 (4) : 155 – 163.

Setiawan, E. 1992. Studi Tentang Beberapa Sifat Biologik Brucella abortus Isolat Lapang (Disertasi). IPB, Bogor.

Subronto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sudrajat S. 2000. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional Bidang

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Didalam: Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 16 - 17 September 2000. Jakarta: Pusat Penerangan dan Pembangunan Ternak.

Wilcocks dan Manson – Bahr. 1984. Manson΄s Topical Diseases. Bailliere – Tindal, London.