Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-Ketamin-Xylazin pada Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia

ABSTRAK
AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI. Efektivitas Anestetikum Kombinasi
Zoletil-Ketamin-Xylazin pada Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia. Dibimbing
oleh GUNANTI dan RIKI SISWANDI.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi kombinasi zoletilketamin-xylazin sebagai anestetikum pada babi lokal Indonesia. Sembilan babi
lokal digunakan dan dibagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok
terdiri dari tiga ekor babi. Kelompok pertama (A) dianestesi menggunakan
kombinasi ketamin-xylazin (ketamin 15 mg/kg BB dan xylazin 2 mg/kg BB).
Kelompok kedua (B) dianestesi menggunakan kombinasi zoletil-ketamin-xylazin
(zoletil 4 mg/kg BB, ketamin 2 mg/kg BB, dan xylazin 2 mg/kg BB). Kelompok
ketiga (C) dianestesi menggunakan kombinasi ketamin-xylazin (ketamin 10
mg/kg BB dan xylazin 1 mg/kg BB). Variabel yang diamati adalah gejala pada
saat induksi, onset dan durasi anestesi, temperatur tubuh, frekuensi denyut
jantung, dan frekuensi respirasi. Prosedur pada kelompok C ternyata tidak dapat
menganestesi babi lokal Indonesia. Kombinasi ketamin-xylazin dosis rendah pada
kelompok C hanya menyebabkan sedasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok A dan B.
Kata kunci: anestesi, kombinasi zoletil-ketamin-xylazin, kombinasi ketaminxylazin, babi lokal Indonesia

ABSTRACT
AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI. Effectiveness of Zoletil-KetamineXylazine Combination as Anesthesia in Indonesian Local Pig (Sus domestica).

Supervised by GUNANTI and RIKI SISWANDI.
The purpose of this research was to evaluate the potential of zoletilketamine-xylazine combination as anesthetic in Indonesian local pig. Nine local
pigs were subjected to three groups of treatment. Each group consisted of three
pigs. The first groups (A) anesthetized with ketamine-xylazine combination
(ketamine 15 mg/kg BB and xylazine 2 mg/kg BB). The second group (B)
anesthetized with zoletil-ketamine-xylazine combination (zoletil 4 mg/kg BB,
ketamine 2 mg/kg BB, and xylazine 2 mg/kg BB). The third group (C)
anesthetized with ketamine-xylazine (ketamine 10 mg/kg BB and xylazine 1
mg/kg BB). The measured variables were symptoms during the induction
symptoms, onset and duration anesthesia, body temperature, heart rate, and
respiration frequency. However anesthesia protocol of group C were unable to
anesthetized the Indonesian local pigs. The combination of lower dose ketaminexylazine in group C only resulted in sedated condition. The results showed that
were no significant difference between the treatment groups A and B.
Keywords: anesthesia, zoletil-ketamine-xylazine combination, ketamine-xylazine
combination, Indonesian local pig

EFEKTIVITAS ANESTETIKUM KOMBINASI ZOLETILKETAMIN-XYLAZIN PADA BABI LOKAL (Sus domestica) INDONESIA

AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas
Anestetikum Kombinasi Zoletil-Ketamin-Xylazin pada Babi Lokal (Sus
domestica) Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2013
Ambar Hanum Melati Ramadhani
NIM B04080131


ABSTRAK
AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI. Efektivitas Anestetikum Kombinasi
Zoletil-Ketamin-Xylazin pada Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia. Dibimbing
oleh GUNANTI dan RIKI SISWANDI.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi kombinasi zoletilketamin-xylazin sebagai anestetikum pada babi lokal Indonesia. Sembilan babi
lokal digunakan dan dibagi menjadi tiga kelompok. Masing-masing kelompok
terdiri dari tiga ekor babi. Kelompok pertama (A) dianestesi menggunakan
kombinasi ketamin-xylazin (ketamin 15 mg/kg BB dan xylazin 2 mg/kg BB).
Kelompok kedua (B) dianestesi menggunakan kombinasi zoletil-ketamin-xylazin
(zoletil 4 mg/kg BB, ketamin 2 mg/kg BB, dan xylazin 2 mg/kg BB). Kelompok
ketiga (C) dianestesi menggunakan kombinasi ketamin-xylazin (ketamin 10
mg/kg BB dan xylazin 1 mg/kg BB). Variabel yang diamati adalah gejala pada
saat induksi, onset dan durasi anestesi, temperatur tubuh, frekuensi denyut
jantung, dan frekuensi respirasi. Prosedur pada kelompok C ternyata tidak dapat
menganestesi babi lokal Indonesia. Kombinasi ketamin-xylazin dosis rendah pada
kelompok C hanya menyebabkan sedasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok A dan B.
Kata kunci: anestesi, kombinasi zoletil-ketamin-xylazin, kombinasi ketaminxylazin, babi lokal Indonesia

ABSTRACT

AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI. Effectiveness of Zoletil-KetamineXylazine Combination as Anesthesia in Indonesian Local Pig (Sus domestica).
Supervised by GUNANTI and RIKI SISWANDI.
The purpose of this research was to evaluate the potential of zoletilketamine-xylazine combination as anesthetic in Indonesian local pig. Nine local
pigs were subjected to three groups of treatment. Each group consisted of three
pigs. The first groups (A) anesthetized with ketamine-xylazine combination
(ketamine 15 mg/kg BB and xylazine 2 mg/kg BB). The second group (B)
anesthetized with zoletil-ketamine-xylazine combination (zoletil 4 mg/kg BB,
ketamine 2 mg/kg BB, and xylazine 2 mg/kg BB). The third group (C)
anesthetized with ketamine-xylazine (ketamine 10 mg/kg BB and xylazine 1
mg/kg BB). The measured variables were symptoms during the induction
symptoms, onset and duration anesthesia, body temperature, heart rate, and
respiration frequency. However anesthesia protocol of group C were unable to
anesthetized the Indonesian local pigs. The combination of lower dose ketaminexylazine in group C only resulted in sedated condition. The results showed that
were no significant difference between the treatment groups A and B.
Keywords: anesthesia, zoletil-ketamine-xylazine combination, ketamine-xylazine
combination, Indonesian local pig

EFEKTIVITAS ANESTETIKUM KOMBINASI ZOLETILKETAMIN-XYLAZIN PADA BABI LOKAL (Sus domestica)
INDONESIA


AMBAR HANUM MELATI RAMADHANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-Ketamin-Xylazin
pada Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia
: Ambar Hanum Melati Ramadhani
: B04080131


Disetujui oleh

Dr. drh. Hj. Gunanti, MS
Pembimbing I

drh. Riki Siswandi
Pembimbing II

Diketahui oleh

drh. H. Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet
Wakil Dekan

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan dengan sebaik - baiknya. Penelitian
berjudul “Efektivitas Anestetikum Kombinasi Zoletil-Ketamin-xylazin pada Babi
Lokal (Sus domestica) Indonesia” ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan

Juli 2011, sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Program Sarjana
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada ayahanda Prayitno, S.Pd., ibunda
Endah Purwatiningsih, S.Pd. dan saudara Alfan Yahya AG atas segala bentuk
kasih sayang dan dukungan yang selalu diberikan kepada penulis. Ibu Dr. drh.
Gunanti, MS dan Bapak drh. Riki Siswandi selaku pembimbing yang telah
meluangkan waktu dan kesabaran untuk membimbing penulis dalam melakukan
penelitian dan menyelesaikan skripsi. Bapak Dr. drh. Akhmad Arif Amin dan Ibu
Siti Sadiah, SSi. Apt. Msi. selaku dosen penguji. Di samping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Bapak Kosasih, Bapak Katim dan staf penunjang di
Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi FKH IPB atas bantuan yang telah
diberikan selama penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
Fajar Sakti NH atas doa dan motivasi yang diberikan kepada penulis. Serta
terimakasih atas kerja sama dan kekompakan selama penelitian kepada Anita,
Khansaa, Yayuk, Made dan Titus. Tak lupa kepada keluarga besar Bateng 23 dan
Avenzoar FKH 45 IPB atas kebersamaan dan segala dukungan yang diberikan
kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna sehingga
penulis terbuka untuk saran yang diberikan. Semoga skripsi ini bermanfaat.


Bogor, Januari 2013
Ambar Hanum Melati Ramadhani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1

TINJAUAN PUSTAKA

2

Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia
Ketamin Hydrochloride (HCL)
Xylazin Hydrochloride (HCl)
Zoletil (Kombinasi Tiletamin-Zolazepam)

Onset dan Durasi
Focal Animal Sampling
BAHAN DAN METODE

2
3
4
5
6
8
8

Waktu dan Tempat Penelitian

8

Alat dan Bahan

8


Metode Penelitian

9

Tahap Persiapan
Tahap Pengambilan Data
Variabel yang Diamati

9
9
10

Prosedur Anallisis Data

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Onset dan Durasi Anestesi

10

Temperatur Tubuh

12

Frekuensi Denyut Jantung

13

Frekuensi Respirasi

14

Gejala Saat Periode Induksi Anestesi

16

SIMPULAN DAN SARAN

17

Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

20

RIWAYAT HIDUP

25

DAFTAR TABEL
Data fisiologis babi
Withdrawal Time (hari) ketamin, xylazin, zolazepam dan tiletamin
Nilai rataan onset dan durasi anestesi pada kelompok babi (menit)
Nilai rataan temperatur tubuh pada kelompok babi
Nilai rataan frekuensi denyut jantung pada kelompok babi (per menit)
Nilai rataan frekuensi respirasi pada kelompok babi (per menit)
Gejala pada babi sebelum teranestesi

2
4
11
12
13
15
16

DAFTAR GAMBAR
Anatomi babi
Struktur kimia ketamin HCL
Struktur kimia xylazin C12H16N2S
Struktur kimia zoletil
Alur penelitian terhadap babi A, B, dan C

2
3
4
5
10

DAFTAR LAMPIRAN
Hasil uji statistik onset anestesi
Hasil uji statistik durasi anestesi
Hasil uji statistik temperatur tubuh
Hasil uji statistik frekuensi denyut jantung
Hasil uji statistik frekuensi respirasi
Tabel pengamatan

20
20
21
22
23
24

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberhasilan suatu tindakan bedah sangat dipengaruhi oleh pemilihan
anestesi yang digunakan (Hall dan Kathy 1991). Anestesi merupakan hilangnya
sensasi nyeri (rasa sakit) disertai maupun tidak disertai hilangnya kesadaran. Zat
yang digunakan dalam menimbulkan anestesi disebut sebagai anestetikum, yang
dibedakan menjadi anestetikum lokal dan anestetikum umum (Gunawan et al.
2009). Pemilihan anestetikum yang ideal perlu dilakukan untuk menghindari efek
negatif yang mungkin terjadi. Anestetikum yang ideal memiliki karakteristik yaitu
mudah cara pemberiannya, tidak menimbulkan rasa sakit, cepat menghilangkan
kesadaran, tidak banyak menyebabkan perubahan fisiologis, relaksasi otot cukup
baik, tidak toksik, waktu pemulihan yang cepat, harganya murah, serta cocok
dengan obat penunjang yang lain (Thurmon et al. 1996).
Babi sering digunakan sebagai hewan model bedah. Namun demikian,
babi merupakan hewan yang sangat sulit untuk dikendalikan, sehingga untuk
melakukan tindakan invasif pada babi diperlukan suatu anestesi (Riebold et al.
1995). Belum banyak studi mengenai anestesi pada babi. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penelitian mengenai tingkat efektivitas anestetikum pada babi.
Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan potensi anestetikum kombinasi
zoletil-ketamin-xylaxin, dan kombinasi ketamin-xylaxin pada babi lokal (Sus
domestica) Indonesia.

Tujuan Penelitian



Penelitian ini bertujuan untuk menguji potensi anestetikum kombinasi
zoletil-ketamin-xylazin dan kombinasi ketamin-xylazin sebagai
anestetikum pada babi lokal (Sus domestica) Indonesia.
Penelitian ini dapat menerangkan pengaruh pemberian anestetikum
kombinasi zoletil-ketamin-xylazin dan kombinasi ketamin-xylazin sebagai
anestetikum pada babi lokal (Sus domestica) Indonesia terhadap frekuensi
denyut jantung per menit, frekuensi respirasi per menit, temperatur tubuh
(oC), dan gejala klinis saat induksi.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang penggunaan
anestetikum yang efektif pada babi lokal (Sus domestica) Indonesia. Selain itu
diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dalam pemilihan anestetikum yang
paling ideal untuk babi lokal (Sus domestica) Indonesia yang akan menjalani
tindakan medis, seperti pembedahan.

2

TINJAUAN PUSTAKA
Babi Lokal (Sus domestica) Indonesia
Babi merupakan hewan monogastrik berasal dari Eurasia yang memiliki
bentuk hidung khas sebagai ciri hewan tersebut, yaitu berhidung lemper. Babi
adalah hewan ungulata yang bermoncong panjang. Sebagai hewan omnivora, babi
memakan daging maupun tumbuh-tumbuhan. Selain itu babi merupakan mamalia
yang cerdas dan mudah untuk diternakan (Anonim 2012).
Babi diklasifikasikan kedalam (Swindle dan Alison 2007):
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Mammalia
Ordo
: Artiodactyla
Famili
: Suidae
Genus
: Sus
Spesies
: scrofa
Subspecies
: domestica.

Gambar 1 Anatomi babi (www.onelessthing.net) [24 Juli 2012]
Babi merupakan hewan yang cukup sulit untuk dikendalikan. Insidensi
terhadap malignant hipertermia sangat tinggi pada babi, akses pada vena
superfisialisnya sangat sedikit, serta injeksi secara IM lebih sulit dilakukan pada
babi yang gemuk dan besar. Injeksi secara IM dilakukan di leher dan tidak di kaki
belakang. Jarum yang digunakan kurang lebih berukuran 14-18 gauge dengan
panjang 1.5-2 inch (Riebold et al. 1995).
Tabel 1 Data fisiologis babi
Temperatur tubuh
(˚C)
Babi

Frekuensi denyut
jantung (x/menit)

Frekuensi
respirasi
(x/menit)

Sumber

38.3-39.5

60-90

10-40

McCurnin dan Joanna (2006)

Babi

-

80-130

10-25

Riebold et al. (1995)

Babi

37.8-38.9

60-90

8-18

Kelly (1984)

3
Babi digunakan sebagai hewan model penelitian karena memiliki berbagai
kesamaan anatomi dan fisiologi dengan manusia (Tunggle et al. 2003). Saat babi
diisolasi di tempat yang baru atau asing maka akan mengeluarkan aungan pendek
yang diikuti dengan teriakan serta adanya peningkatan defekasi. Babi dewasa
yang sedang marah akan mengeluarkan aungan lebih keras tetapi hal tersebut
tidak diikuti dengan peningkatan frekuensi denyut jantung. Apabila babi
mengalami kesakitan kronis maka akan menggesek-gesekkan giginya (Houpt
1998).

Ketamin Hydrochloride (HCl)
Ketamin HCl merupakan golongan phencyclidine dengan rumus 2-(0chlorophenil)-2-(methylamino)-cyclohexanone hydrochloride (Adams 2001).
Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar, dan relatif
aman (batas keamanan lebar). Ketamin merupakan disosiatif anestetikum yang
mempunyai sifat analgesik, anestetik, dan kataleptik dengan kerja singkat
(Gunawan et al. 2009).

Gambar 2 Strutur kimia ketamin HCl C13H16ClNO.HCl
med.nlm.nih.gov 2012)

(daily

Efek anestesi dari ketamin terjadi oleh adanya penghambatan efek
membran dan neurotransmitter eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-Daspartat (NMDA). Tahapan anestesinya diawali dengan terjadinya disosiasi
mental pada 15 detik pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal
sebagai anestesi disosiatif. Disosiasi ini sering disertai keadaan ketaleptik berupa
dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi, gerakan-gerakan tungkai spontan dan
peningkatan tonus otot. Sifat analgesik ketamin sangat kuat untuk sistem somatik,
tetapi lemah untuk sistem visceral. Ketamin tidak menyebabkan relaksasi otot
lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi (Gunawan et al. 2009).
Ketamin sangat larut di dalam lemak dan memiliki onset yang cepat.
Sebagian besar ketamin mengalami dealkilasi dan hidrolisis dalam hati, kemudian
dieksresikan terutama dalam bentuk metabolit dan sedikit dalam bentuk utuh
(Gunawan et al. 2009). Ketamin tidak menimbulkan terjadinya relaksasi otot
sehingga dapat menimbulkan kekejangan dan depresi ringan pada saluran respirasi.
Reflek faring dan laring tetap normal atau sedikit meninggi pada anestesi dengan
ketamin. Pada dosis anestesi, ketamin bersifat merangsang, sedangkan pada dosis
yang tinggi akan menekan respirasi (Gunawan et al. 2009). Untuk mengurangi
efek samping ketamin, pada penggunaannya sering dikombinasikan dengan obat
premedikasi seperti diazepam, midazolam, medetomidin atau xylazin. Kombinasi

4
ketamin dengan xylazin pada babi dapat menyebabkan analgesia jangka pendek
yaitu 5 menit, tetapi depresi jantung yang ditimbulkan panjang (Swindle dan
Alison 2007).
Ketamin sebagai agen induksi pada babi dapat menimbulkan gerakan
reflek tidak sadar pada beberapa babi dan kedalaman anestesi yang bervariasi,
terutama jika diberikan IM. Jika dipakai tunggal, ada kekhawatiran bahwa
ketamin sendiri tidak memberikan efek analgesia yang memadai pada babi, maka
penggunaannya harus dikombinasikan dengan agen lain. Penggunaan suatu
kombinasi ketamin dengan senyawa sedatif dapat meningkatkan relaksasi otot dan
konsistensi respon (Riebold et al 1995). Withdrawal time ketamin dapat dilihat
pada tabel 2.
Tabel 2 Withdrawal time (hari) ketamin, xylazin, zolazepam dan tiletamin
Withdrawal time (hari) Injeksi IM
Obat

Satwa liar

Rusa merah

Hewan ternak

Ketamin

3

2

3

Xylazin

30

3

3

Zolazepam dan
tiletamin (1:1)
( Cattet 2003)

14

2

365

Xylazin Hydrochloride (HCl)
Xylazin HCl merupakan senyawa sedatif golongan α2 adrenergik agonis
yang bekerja dengan cara mengaktifkan central α2–adrenoreceptor (Thurmon et al.
1996). Xylazin memiliki rumus kimia 2-(2,6-xylodino)5,6-dihydro-4H-1,3thiazin hydrochloride (Booth 1995). Xylazin menyebabkan penekanan SSP yang
diawali dengan sedasi kemudian pada dosis yang lebih tinggi digunakan untuk
hipnotis, sehingga akhirnya hewan menjadi tidak sadar dan teranestesi (Hall dan
Kathy dalam Zulfadli 2005).

Gambar 3 Struktur kimia xylazin C12H16N2S (www.new drug info.com,
2012)
α2 adrenoreceptor agonis mengerahkan efek penghambatan pada fungsi
sistem saraf pusat melalui penghambatan pelepasan NE dari saraf simpatis. Hal ini
menyebabkan aktivitas saraf simpatis menurun sehingga menurunkan tingkat
kewaspadaan, menurunkan frekuensi denyut jantung dan tekanan darah. α2
adrenoreceptor ditemukan di otot polos pembuluh darah arteri organ dan vena

5
abdomen. Ketika α2 adrenoreceptor diaktifkan dapat menyebabkan terjadinya
vasokonstriksi, selain itu α2 adrenoceptor dijumpai juga pada sistem
kardiovaskular, sistem respirasi, gastrointestinal, SSP, ginjal, sistem endokrin dan
trombosit (Adams 2001).
Pemberian xylazin sebagai preanestesi dapat memperpanjang durasi
analgesi, mengurangi dosis anestesi dan memperpendek masa pemulihan. Pada
kucing penggunaan bersama xylazin-ketamin menyebabkan perlambatan absorpsi
ketamin sehingga eliminasi ketamin lebih lama, hal ini menyebabkan durasi
anestesi lebih panjang (Waterman 1983). Xylazin dapat menyebabkan gejala
bradikardi, arythmia, peningkatan tekanan SSP, pengurangan sistem sistolik,
depresi respirasi (pengurangan frekuensi respirasi dan volum respirasi per menit)
serta hipertensi yang diikuti dengan hipotensi (Luna et al. dalam Zulfadli 2005).
Efek xylazin pada fungsi respirasi biasanya tidak berarti secara klinis,
tetapi pada dosis yang tinggi dapat mendepres respirasi sehingga terjadi
penurunan volum tidal dan respirasi rata-rata (Plumb 1991). Perubahan yang
cukup jelas terlihat pada fungsi kardiovaskular. Awalnya segera setelah injeksi,
tekanan darah akan meningkat, kemudian diikuti dengan konstriksi pembuluh
darah kapiler. Sebagai reflek normal terhadap peningkatan tekanan darah dan
pemblokiran saraf simpatis, frekuensi denyut jantung akan menurun sehingga
menimbulkan bradikardi dan tekanan darah menurun mencapai level normal atau
subnormal. Pada babi, xylazin tidak memberikan hasil yang baik kecuali
digunakan dengan dosis yang tinggi (Riebold et al 1995).

Zoletil (Kombinasi Tiletamin-Zolazepam)
Zoletil merupakan kombinasi antara tiletamin dan zolazepam dengan
perbandingan 1:1. Tiletamin merupakan disosiatif anestetikum yang berasal dari
golongan pensiklidin, sedangkan zolazepam merupakan kelompok benzodiazepin
yang dapat menyebabkan relaksasi otot (Gwendolyn 2008).

Gambar 4 Struktur kimia zoletil (www.chemdrug.com, 2012)
Zoletil secara umum dapat menyebabkan stabilitas hemodinamik pada
dosis yang rendah. Selain itu zoletil dapat memperbaiki reflek respirasi dan
hipersalivasi seperti pada ketamin. Untuk memperbaiki kualitas induksi,
melancarkan anestesi dan menurunkan dosis yang dibutuhkan untuk induksi,
maka zoletil dapat dikombinasikan dengan premedikasi, seperti acepromazin atau

6
opioid (Gwendolyn 2008). Menurut Riebold et al. (1995) zoletil tidak boleh
diberikan pada hewan dengan gangguan jantung dan respirasi.
Zoletil dapat menyebabkan analgesia, tetapi visceral analgesia yang
ditimbulkan tidak cukup untuk bedah abdomen mayor, kecuali jika ditambah
dengan agen lain. Takikardia dan aritmia jantung dapat terjadi pada anestesi
ringan, dan apabila digunakan pada dosis yang tinggi maka cardiac output akan
berkurang secara signifikan. Kombinasi tiletamin-zolazepam ini akan
dimetabolisme oleh hati dan dieksresikan melalui ginjal (McKelvey dan Wayne
2003).
Tiletamin memiliki efek kardiorespiratori serupa dengan ketamin, selain
itu efek yang ditimbulkan pada susunan saraf pusat sangat spesifik pada setiap
spesies (Thurmon et al. 1996). Tiletamin memiliki durasi yang lebih panjang dari
ketamin, begitu juga dengan analgesianya (Gwendolyn 2008). Tiletamin dapat
menghasilkan efek kataleptik yang cepat, menghilangkan respon terhadap
rangsangan, depresi respirasi, dan memiliki periode pemulihan panjang (Hall dan
Kathy 1991). Tiletamin dimetabolisme dalam hati dan dieliminasi melalui urin
dalam bentuk yang tidak aktif.
Zolazepam merupakan turunan benzodiazepin yang bebas dari aktivitas
hambatan α adrenergik (Thurmon et al. 1996). Kombinasi dengan tiletamin dapat
menyebabkan peningkatan penekanan pada SSP, selain itu juga dapat mencegah
kekejangan dan memperbaiki relaksasi otot akibat tiletamin (McKelvey dan
Wayne 2003). Zolazepam dapat menimbulkan efek kelemahan pada periode
pemulihan pada babi dewasa. Untuk meminimalkan hal tersebut maka
penggunaan zoletil harus dikombinasikan dengan ketamin. Xylazin juga
ditambahkan untuk meningkatkan efek sedasi dan analgesi pada kombinasi
tersebut. Untuk melakukan sedasi dan anestesi ringan pada babi digunakan dosis
yang kecil, karena dosis yang terlalu tinggi akan menimbulkan efek kejang
(Lumb dan Jones 2007).

Onset dan Durasi
Proses dimana hewan mulai kehilangan kesadaran normal dan memasuki
keadaan tidak sadar disebut sebagai induksi. Agen induksi dapat diberikan secara
injeksi atau inhalasi. Awalnya akan terlihat gejala inkoordinasi diikuti dengan
relaksasi dan ketidaksadaran. Idealnya, sikap yang berlebihan dan meronta-ronta
harus dihindari selama induksi, karena hal ini sangat tidak menyenangkan untuk
hewan dan merupakan predisposisi aritmia jantung. Kecepatan induksi bergantung
pada kecepatan dicapainya kadar efektif zat anestetik di otak, begitu pula masa
pemulihan setelah pemberian dihentikan. Onset anestesi umum juga ditandai
dengan hilangnya beberapa reflek, termasuk kemampuan menelan dan batuk
(McKelvey dan Wayne 2003).
Onset atau mulai kerja anestetikum dipengaruhi oleh banyak faktor
termasuk kelarutan anestetikum dalam lemak. Faktor lain yang mempengaruhi
adalah seperti kemudahan untuk berdifusi melalui jaringan ikat. Pemberian
anestetikum secara IM atau subcutan (SC) langsung masuk interstitium jaringan
otot atau kulit ke pembuluh darah kapiler kemudian memasuki peredaran darah
sistemik. Anestetikum larut lemak masuk ke dalam darah kapiler dengan melintasi

7
membran sel endotel secara difusi pasif. Hanya anestetikum yang larut air masuk
darah melalui celah antar sel endotel bersama air, dengan kecepatan yang
berbanding terbalik dengan besar molekulnya (Gunawan et al. 2009). Durasi
merupakan masa kerja suatu anestetikum, masa kerja harus cukup lama sehingga
cukup waktu untuk malakukan tindakan operasi. Secara umum durasi kerja
berkaitan dengan kelarutan anestetikum dalam lemak. Anestesi lokal dengan
kelarutan lemak tinggi mempunyai durasi yang lebih panjang, karena lebih lama
diekresikan dari dalam darah.
Setelah periode induksi, hewan memasuki periode maintenance, selama
periode ini ketersediaan anestetikum disuplai untuk menjaga hewan tetap dalam
kondisi anestesi yang dalam. Pada periode maintenance terjadi relaksasi otot
skelet, sedikit terjadinya reflek palpebrae, sedikit terjadinya depresi respirasi dan
kardiovaskular. Jika kedalaman anestesi meningkat maka hewan akan
menunjukkan depresi respirasi dan kardiovaskular yang lebih, dan pada kondisi
over dosis anestesi, kegagalan respirasi dan kardiovaskular dapat terjadi.
Monitoring beberapa parameter fisiologis yang intensif seperti temperatur tubuh,
frekuensi denyut jantung, dan frekuensi respirasi sangat dibutuhkan pada periode
ini (McKelvey dan Wayne 2003).
Periode maintenance berakhir dan mulai memasuki periode recovery atau
disebut sebagai masa pemulihan, konsentrasi anestetikum di otak berkurang
(McKelvey dan Wayne 2003). Selama masa pemulihan, dilakukan pemeriksaan
pada hewan sampai hewan dapat mempertahankan posisi tubuhnya sternal
recumbency, mempunyai frekuensi denyut jantung dan frekuensi respirasi stabil,
dan memiliki temperatur tubuh nomal, atau satu sampai dua derajat dari
temperatur tubuh normal (McCurnin dan Joanna 2006). Proses pemulihan dari
anestesi merupakan suatu hal yang bertentangan pada proses induksi. Pada proses
pemulihan ini aktivitas reflek dan kepekaan terhadap rasa sakit telah kembali
(McKelvey dan Wayne 2003).
Periode pemulihan didefinisikan sebagai periode antara penghentian
anestesi dan waktu hewan tersebut mampu berdiri dan berjalan tanpa bantuan.
Periode pemulihan ini tergantung pada banyak faktor, seperti:
1. Panjang anestesi. Semakin lama periode pemberian anestesi, semakin
lama periode pemulihannya.
2. Kondisi hewan. Pemulihan yang panjang terlihat pada hewan yang
memiliki penyakit (terutama penyakit hati dan ginjal).
3. Jenis anestetikum yang diberikan dan rute pemberiannya. Hewan
yang diberikan anestetikum inhalasi mempunyai periode pemulihan yang
lebih pendek dari pada hewan yang diberikan anestetikum secara injeksi.
Periode pemulihan yang lebih panjang terlihat pada pemberian IM dari
pada IV.
4. Temperatur tubuh hewan. Hewan yang mengalami hypothermia
memiliki metabolisme yang lambat dan lambat dalam mengeskresi
anestetikum dari tubuh.
5. Jenis hewan (McKelvey dan Wayne 2003).

8
Focal Animal Sampling
Focal animal sampling merupakan suatu metode pengamatan langsung
yang digunakan untuk mengamati semua penampakan aksi spesifik dari satu
individu atau kelompok individu tertentu berdasarkan waktu periode pengamatan
yang telah ditentukan (Altman 1973). Menurut kuncoro (2004), Focal time
sampling merupakan suatu metode pengambilan data pengamatan perilaku yang
menggunakan satu individu hewan sebagai objek pengamatan dan menggunakan
teknik pencatatan perilaku satwa tersebut pada interval waktu tertentu. Metode ini
merupakan penggabungan dari dua metode, yaitu focal animal sampling dan scan
sampling.
Focal animal sampling dilakukan dengan cara mengamati satu invidu atau
kelompok (saat beberapa kelompok tampak) secara berkesinambungan selama
satu peride waktu, dan semua perilaku yang teramati dilakukan secara naluri tanpa
ada gangguan. Individu yang diamati dipilih secara acak. Tantangan yang
dihadapi dalam metode ini adalah individu yang terpilih dapat bergerak dari
pandangan atau meninggalkan tempat mereka sebelum periode waktu pengamatan
berakhir. Focal animal sampling dapat memberikan informasi mengenai
rangkaian peristiwa yang teramati, interaksi antar individu dan durasi perilaku
yang teramati.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei sampai dengan Juli 2011.
Pengujian anestetikum dilakukan di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi,
Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut
Pertanian Bogor serta kandang hewan percobaan Fakultas Kedokteran Institut
Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan
Penelitian ini menggunakan hewan coba babi lokal (Sus domestica)
Indonesia. Anestetikum yang digunakan yaitu ketamin 10% (Ilium ketamil®-100,
Troy), xylazin 10% (Ilium xylazil®-100, Troy) dan zoletil 5% (Zoletil®, Virbac).
Alat yang digunakan yaitu timbangan hewan besar, syringe (3 ml, 10 ml),
jarum 18 gauge, kapas beralkohol, termometer, stetoskop, dan alat bedah mayor.

9
Metode Penelitian

Tahap persiapan
Sembilan ekor babi dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Masing–
masing perlakuan terdiri dari tiga ekor babi dengan berat badan (BB) seragam
antara 13,2-34,5 kg. Perlakuan pertama (A) adalah kelompok anestetikum
kombinasi ketamin-xylazin (K 15 mg/kg BB dan X 2 mg/kg BB), kelompok
perlakuan kedua (B) adalah kelompok anestetikum kombinasi zoletil-ketaminxylazin (Z 4 mg/kg BB, K 2 mg/kg BB, dan X 2 mg/kg BB), dan kelompok
perlakuan ketiga (C) adalah kelompok anestetikum kombinasi ketamin-xylazin (K
10 mg/kg BB dan X 1 mg/kg BB). Adaptasi hewan dilakukan di kandang
berukuran 4x3 meter secara berkelompok.

Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan pada saat induksi dan maintenance.
Pengambilan data induksi anestesi dilakukan sebanyak 3 kali setiap individu,
yaitu pada saat splenektomi, torakotomi, dan panen. Variabel yang diamati yaitu
gejala pada saat periode induksi, onset dan durasi anestesi. Injeksi dilakukan
secara intramuskular (IM) di leher yaitu pada m. trapezius. Pada bagian yang akan
diinjeksi dibersihkan dengan antiseptik beralkohol terlebih dahulu. Sebelum
anestesi dilakukan penimbangan berat badan dan dipastikan babi dalam kondisi
sehat. Babi yang akan digunakan dipuasakan terlebih dahulu kurang lebih selama
6 jam. Pengamatan dilakukan dengan metode focal animal sampling.
Onset anestesi merupakan perhitungan waktu mulai dari pemberian
anestetikum sampai hewan sudah tidak merasakan sakit lagi atau setelah
memasuki stadium anestesi. Sedangkan durasi merupakan perhitungan waktu
mulai dari hewan teranestesi sampai timbul gejala kesadaran seperti rasa sakit dan
reflek rahang, atau merupakan jarak antara waktu mulai dari hewan teranestesi
sampai maintenance pertama.
Pengambilan data maintenance dilakukan hanya satu kali pada setiap
individu yaitu saat splenektomi. Maintenance induksi dilakukan dengan
kombinasi ketamin-xylazin (K 5 mg/kg BB dan X 2 mg/kg BB). Maintenance
dilakukan apabila babi telah menunjukkan tanda-tanda kesadaran, seperti rasa
sakit, vokalisasi, dan tonus rahang. Variabel yang diamati yaitu temperatur tubuh
(oC), frekuensi denyut jantung per menit dan frekuensi respirasi per menit.
Aplikasi obat yang diberikan:

10

Gambar 5 Alur penelitian terhadap babi A, B, dan C
Variabel yang diamati :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Gejala pada saat periode induksi
Onset anestesi
Durasi anestesi
Temperatur tubuh (oC)
Frekuensi denyut jantung per menit
Frekuensi respirasi per menit

Prosedur Analisis Data
Hasil pengukuran dinyatakan dalan rataan dan simpangan baku. Data diolah
menggunakan SAS® 9.1.3. (©SAS Institute Inc.). Perbedaan antar kelompok dan
dalam satu kelompok perlakuan diuji secara statistik melalui analisa ragam
(Analyse of Variant/ANOVA) dan dilanjutkan dengan pengujian Duncan pada
selang kepercayaan 95% (α=0,05).

HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisa terhadap variabel-variabel yang diamati menunjukkan adanya
perbedaan pada kelompok perlakuan. Data temperatur tubuh, frekuensi denyut
jantung, frekuensi respirasi dan gejala saat induksi kelompok C tidak dianalisa
karena kombinasi anestetikum yang digunakan tidak dapat mencapai stadium
anestesi.

Onset dan Durasi Anestesi
Anestesi yang ideal yaitu memiliki onset cepat dan durasi panjang
(Gunawan et al. 2009). Data hasil penelitian nilai rataan onset dan durasi anestesi
ditunjukkan pada Tabel 1.

11
Tabel 1 Nilai rataan onset dan durasi anestesi pada kelompok babi (menit)
No

Parameter

Kelompok A

Kelompok B

Kelompok C

1

Onset

5,7±2,39a

6,8±2,38a

-

2

Durasi

42,6±19,60a

52,3±17,74a

-

Keterangan: Huruf superscript (a) pada baris yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p0,05).
Hal ini karena anestetikum yang digunakan memiliki karakteristik dan rute
pemberian yang sama (IM). Ketamin, xylazin, dan zoletil (Tiletamin-zolazepam)
merupakan bahan kimia larut lemak (Gunawan et al. 2009). Bahan kimia larut
lemak akan berdifusi secara langsung melalui membran sel kapiler tanpa harus
melewati pori-pori sehingga dapat merembes ke semua area membran kapiler.
Kecepatan transport zat larut lemak lebih cepat dari pada zat yang tidak larut
lemak (Guyton dan John 2007).
Anestetikum yang diberikan secara IM akan langsung masuk ke
interstitium jaringan otot atau lemak, melewati pembuluh darah kapiler menuju
darah sistemik. Bahan kimia yang larut lemak lebih lama dieksresikan dari dalam
darah, karena harus diubah menjadi polar (larut air) terlebih dahulu agar dapat
diekresikan melalui ginjal atau empedu. Bahan kimia yang akan dibawa oleh
darah ke seluruh tubuh merupakan bahan kimia yang terikat pada protein plasma
yaitu albumin. Tempat ikatan pada protein plasma tersebut terbatas, sehingga
bahan kimia pada dosis terapi akan menggeser obat lain yang terikat pada tempat
ikatan yang sama. Bahan kimia yang tergeser ini akan lebih banyak yang bebas,
sehingga akan keluar dari pembuluh darah dan menimbulkan efek farmakologik
atau dieliminasi dari dalam tubuh (Gunawan et al. 2009).
Hasil penelitian menunjukkan nilai onset dan durasi anestesi lebih lama
dibandingkan temuan Ko et al. dalam Gunanti et al. (2011) yang membuktikan
bahwa kombinasi zoletil-ketamin-xylazin memiliki induksi yang cepat dan babi
akan tertidur dengan posisi lateral rekumbensi dengan selang waktu 2,27±0,6
menit setelah injeksi secara IM. Pada kombinasi zoletil 4,4 mg/kg BB, ketamin
2,2 mg/kg BB dan xylazin 2,2 mg/kg BB ini durasi analgesia yaitu 36,0±12,2
menit. Perbedaan yang terjadi pada jenis hewan yang digunakan perlu mendapat
perhatian dalam pemilihan anestetikum yang digunakan. Studi lebih lanjut
diperlukan untuk menilai keefektifan dosis kombinasi zoletil-ketamin-xylazin
yang digunakan terhadap babi lokal Indonesia.
Berdasarkan temuan Gunanti et al. (2011), onset anestesi pada babi lokal
menggunakan anestetikum kombinasi zoletil-ketamin-xylazin adalah 3-5 menit
dan durasi anestesinya adalah 20-30 menit. Hasil tersebut lebih cepat dari pada
hasil yang didapat pada penelitian, hal ini karena dosis kombinasi anestetikum
yang digunakan Gunanti et al. (2011) lebih besar dari pada dosis yang digunakan
dalam penelitian.
Pada kelompok C tidak tercapai stadium anestesi, babi hanya tersedasi,
masih memiliki reflek rahang, reflek mata dan masih bisa merasakan sakit.
Pemberian kombinasi anestetikum ini harus segera ditambahkan dengan
maintenance, bahkan pada beberapa babi harus ditambahkan anestetikum lain

12
seperti kombinasi zoletil-ketamin-xylazin agar babi dapat teranestesi. Hal ini
karena dosis yang digunakan belum cukup sehingga kadar anestetikum yang
berikatan dengan reseptornya belum mampu untuk menimbulkan anestesi pada
babi. Mekanisme kerja suatu anestetikum merupakan ikatan antara
neurotransmiter dengan reseptornya sehingga akan mempengaruhi kanal ion.
Temperatur Tubuh
Rentang normal temperatur tubuh babi menurut McCurnin dan Joanna
(2006) adalah 38,3-39,5 oC. Nilai rataan temperatur tubuh pada kedua perlakuan
ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2 Nilai rataan temperatur tubuh pada kelompok babi (oC)
Waktu

Kelompok A

Kelompok B

0

37,33±1,12

a,x

37,97±1,04a,x

15

35,83±0,46b,x

36,57±0,70ab,x

30

35,27±0,64b,x

36,00±1,00ab,x

45

34,97±0,81b,x

35,97±1,20ab,x

60

b,x

35,63±1,38b,x

34,77±0,72

Keterangan: Huruf superscript (a, ab, b) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata
(p0,05).
Tabel 3 Nilai rataan frekuensi denyut jantung pada kelompok babi (per menit)
Waktu

Kelompok A

Kelompok B

0

77,33±31,07

a,x

76,00±22,27a,x

15

72,00±24.33a,x

72,00±10,58a,x

30

76,00±10,58a,x

65,33±10,07a,x

45

61,33±19,73a,x

64,00±8,00a,x

60

74,67±19,73a,x

60,00±16,00a,x

75

72,00±24,98a,x

64,00±4,00a,x

Keterangan: Huruf superscript (a) pada kolom yang sama menyatakan tidak adanya perbedaan nyata (p