Evaluasi Efek Kombinasi Medetomidin- Acepromazin Sebagai Agen Anestesi General Pada Kucing Lokal Indonesia
EVALUASI EFEK KOMBINASI MEDETOMIDINACEPROMAZIN SEBAGAI AGEN ANESTESI GENERAL
PADA KUCING LOKAL
PRAMESTI NUGRAHENI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Efek
Kombinasi Medetomidin-Acepromazin sebagai Agen Anestesi General pada
Kucing Lokal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Pramesti Nugraheni
NIM B04110132
ABSTRAK
PRAMESTI NUGRAHENI. Evaluasi Efek Kombinasi MedetomidinAcepromazin sebagai Agen Anestesi General pada Kucing Lokal Indonesia.
Dibimbing oleh Drh ANDRIYANTO, MSi dan Drh ABADI SOETISNA, MSi
Kucing lokal merupakan salah satu hewan kesayangan yang banyak
dipelihara masyarakat Indonesia. Berbagai penyakit sering muncul pada
pemeliharaan kucing lokal dan tidak jarang membutuhkan tindakan bedah. Pada
kasus yang memerlukan tindakan pembedahan, anestesi mutlak diperlukan
sebagai sediaan penghilang rasa sakit. Penelitian ini dilakukan untuk
mengevaluasi efek kombinasi sediaan anestesi acepromazin dan medetomidin
terhadap onset, durasi, dan kondisi fisologis pada kucing lokal. Dua puluh empat
kucing lokal jantan, berumur sekitar 1,5 sampai dengan 2,5 tahun, dengan bobot
badan berkisar antara 3 kg sampai dengan 5 kg dibagi menjadi empat perlakuan
dan enam ulangan. Perlakuan tersebut ialah kucing percobaan yang tidak
diberikan anestesi (kontrol), kucing percobaan yang disuntik acepromazin 0.75
mg/kg BB (perlakuan I), kucing percobaan yang disuntik medetomidin 0.05
mg/kg BB (perlakuan II), dan kucing percobaan yang disuntik acepromazin 0.75
mg/kg BB dan sesaat setelahnya disuntik dengan medetomidin 0.05 mg/kg BB
(perlakuan III). Sediaan tersebut diberikan secara intramuskuler pada perlakuan I,
II, dan III. Parameter yang diamati terdiri atas onset (rasa nyeri, tonus otot, sedasi,
kesadaran, emetik, refleks pedal dan pupil), durasi (rasa nyeri, tonus otot, sedasi,
kesadaran, refleks pedal, dan pupil), dan kondisi fisiologis (frekuensi napas,
frekuensi jantung, dan suhu rektal). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kucing percobaan yang disuntik kombinasi acepromazin-medetomidin memiliki
onset yang lebih cepat dibandingkan medetomidin dan mempunyai durasi yang
sama dengan sediaan tunggal (acepromazin dan medetomidin). Kombinasi
medetomidin acepromazin dapat mengurangi penurunan frekuensi jantung yang
disebabkan oleh medetomidin. Pemberian acepromazin dan medetomidin secara
tunggal maupun dikombinasi secara signifikan menurunkan frekuensi pernapasan
dan suhu retal. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini ialah kombinasi
acepromazin dan medetomidin efektif digunakan sebagai alternatif sediaan sedatif
pada kucing lokal Indonesia.
Kata kunci: acepromazin, anestesi, kombinasi, kucing local, medetomidin.
ABSTRACT
PRAMESTI NUGRAHENI. Evaluation of medetomidine-acepromazine
combination effect as a general anesthetics agent in Indonesia domestic cat.
Supervised by Drh ANDRIYANTO, MSi and Drh ABADI SOETISNA, MSi
Domestic cat are very popular cat in today’s society. Many diseases often
appear and require surgical actions that need anesthesia as sedation and pain
relief. The onset (pain, muscle tone, sedation, consciousness, emetic, reflexes
pedals and pupil), duration (pain, sedation, muscle tone, consciousness, reflexes
pedals, and pupil), and physiological conditions (frequency of breath, heart rate,
and rectal temperature) of domestic cat were evaluate to see the effects of the
combination of acepromazine and medetomidine. This research used 24 male
cats, about 1.5-2.5 years old and 3 kg up to 5 kg. divided into four groups and six
repititions. The groups are experimental cats were not given anesthesia (control),
experimental cats that injected acepromazine 0.75 mg/kg (group I), experimental
cats that injected medetomidine 0.05 mg/kg (group II), and experimental cats that
injected acepromazine 0.75 mg/kg and shortly afterwards injected by 0.05 mg/kg
medetomidine (group III). The dosage given via intramuscular. This study shows
combination of acepromazine-medetomidine has a faster onset than medetomidine
and has equal duration as acepromazine and medetomidin in single dose. The
combination can reduce the decrease of heart rate caused by medetomidine.
Acepromazine, medetomidine, dan the combination of acepromazine and
medetomidine significanly decrase frequency of breath and rectal temperature.
The conclusions is combination of acepromazine and medetomidine can be use
effetively as an altenative sedative agent in Indonesian domestic cat.
Key words: acepromazine, anesthesia, combination, local cat, medetomidine
EVALUASI EFEK KOMBINASI MEDETOMIDINACEPROMAZIN SEBAGAI AGEN ANESTESI GENERAL
PADA KUCING LOKAL INDONESIA
PRAMESTI NUGRAHENI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Segala puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan berkah berlimpah bagi penulis sehingga dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini dengan tepat waktu. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Januari sampai dengan Maret 2015 di Unit Pengelola Hewan
Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Sembah sujud dan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Minggir
Junaidi dan Ibu Sri Murtining atas segala kasih sayang, pengorbanan, perjuangan,
dan motivasi yang diberikan sehingga penulis dapat menuntut ilmu hingga
memperoleh gelar sarjana. Rasa terima kasih tidak lupa penulis ucapkan kepada
Drh Andriyanto, MSi dan Drh Abadi Soetisna, MSi selaku pembimbing karya
ilmiah yang dengan teliti dan sabar mau membimbing penulis dari awal pencarian
judul proposal hingga akhir penulisan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Drh Mokh. Fakhrudin, Ph.D selaku pembimbing akademik yang selalu
mendukung dan menyokong penulis dalam 4 tahun ini,
Terima kasih kepada Drh Aulia Andi Mustika, MSi, Drh Ridi, Drh Krido,
Pak Dikdik, Mas Angga, seluruh staf Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium serta
rekan-rekan satu tim penelitian (Gusti dan Dedi) yang telah membantu serta
mendukung dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tugas akhir. Tak lupa
rasa terima kasih kepada keluarga besar Ganglion 48 yang bersama-sama berjuang
dalam menempuh pendidikan di FKH IPB. Selanjutnya rasa terimakasih penulis
ucapkan kepada sahabat-sahabat seperjuangan Ristia, Erdina, Reinilda, Raguel
dan penghuni Cempaka 13 yang selalu memberikan dukungan dan semangat, serta
semua individu dan pribadi di IPB yang telah berkontribusi atas terbentuknya diri
penulis sekarang ini. Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari
kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini dan mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk penelitian selanjutnya. Terlepas dari kekurangan yang
ada, penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Pramesti Nugraheni
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
METODE
4
Waktu dan Tempat Penelitian
4
Alat dan Bahan
4
Prosedur Penelitian
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Onset anestesi
6
Durasi anestesi
7
Denyut jantung
8
Frekuensi pernapasan
9
Suhu Rektal
SIMPULAN DAN SARAN
10
11
Simpulan
11
Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
11
RIWAYAT HIDUP
14
DAFTAR TABEL
1
2
Rataan onset hilangnya rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal,
refleks pupil, timbulnya sedasi, emetik, dan onset sempurna (menit ke-)
Rataan durasi rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, refleks
pupil, sedasi dan durasi umum)
6
7
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Struktur kimia medetomidine
Hubungan antara frekuensi jantung per menit pada kucing perlakuan
pada berbagai waktu pengamatan
Hubungan antara frekuensi jantung per menit pada kucing perlakuan
pada berbagai waktu pengamatan
4
8
9
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kucing lokal (Felis domestica) merupakan salah satu dari sekian banyak
hewan yang dapat dijadikan hewan kesayangan oleh masyarakat Indonesia.
Berbagai masalah sering mucul pada pemeliharaan kucing lokal, di antaranya
adalah timbulnya penyakit-penyakit yang dalam penangannya memerlukan
tindakan bedah sehingga sediaan anestesi mutlak diperlukan. Anestesi dapat
didefinisikan sebagai hilangnya sensasi rasa nyeri dari sebagian tubuh (anestesi
lokal) dan seluruh tubuh (anestesi umum) sebagai akibat dari kerja obat yang
mendepres aktivitas sebagian atau seluruh sistem saraf (Cornick 1994). Banyak
sediaan telah diketahui memiliki efek anestesi, namun hanya beberapa yang aman
digunakan dalam tindakan operasi.
Salah satu sediaan yang banyak digunakan sebagai agen sedatif dan
analgesik adalah medetomidin. Medetomidin merupakan sediaan agonis α2adrenoreceptor yang banyak digunakan pada kucing (Granholm et al. 2006).
Sediaan ini telah dipasarkan secara luas beberapa tahun belakangan sebagai
sedatifa dan analgesia pada hewan kecil di Eropa (Cullen 1996). Medetomidin
dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, bradikardi, dan cardiac arrest
(Vaisanen et al. 2002). Selain itu, medetomidin memiliki efek samping muntah.
Sampai saat ini sediaan medetomidin belum banyak digunakan di Indonesia.
Medetomidin menjadi pilihan utama sebagai sediaan anestesi sebab sediaan ini
memiliki antidota atipamezol. Atipamezol merupakan antagonis α2adrenoreceptor yang dapat dengan cepat mengembalikan kondisi fisiologis normal
kembali pasca penyuntikan medetomidin (Hall 1996).
Sediaan lain yang banyak digunakan sebagai agen sedatif pada hewan kecil
adalah acepromazin. Acepromazin merupakan derivat dari phenothiazine, yang
dapat menginduksi ketenangan ringan hingga sedang, relaksasi otot, dan
mengurangi aktivitas spontan terutama diakibatkan oleh antagonis pusat
dopaminergik (Lemke 2007). Acepromazin banyak digunakan untuk restrain
hewan kecil, namun tidak cocok digunakan pada hewan agresif karena hanya
menghasilkan sedatif ringan, yaitu dengan durasi yang relatif cepat dan onset yang
relatif lama (Vaisanen et al. 2002; Vesal et al. 2011). Acepromazin memiliki efek
antiaritmia (Dyson dan Petiffer 1997) dan antiemetik (Valverde et al. 2004).
Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas anestesi
medetomidin dan acepromazin dengan mengkombinasikan sediaan tersebut.
Penyuntikan kombinasi medetomidin dan acepromazin diharapkan dapat
memperbaiki onset, durasi, dan kondisi fisiologis.
Perumusan Masalah
Sediaan anestesi mutlak diperlukan dalam tindakan pembedahan. Aman
merupakan syarat utama dari sediaan anestesi, aman bagi hewan, manusia,
maupun lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai keamanan
sediaan anestesi. Medetomidin dan acepromazin merupakan sediaan yang banyak
2
digunakan sebagai sediaan sedasi. Kombinasi medetomidin dan acepromazin
memiliki potensi sebagai sediaan sedasi yang lebih baik dibandingkan dengan
sediaan tersebut digunakan tunggal apabila digunakan pada kucing lokal
Indonesia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas penyuntikam
sediaan acepromazin dan medetomidin dalam memperbaiki onset, durasi, dan
kondisi fisologis dengan menggunakan hewan percobaan kucing lokal Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil melalui penelitian ini adalah menambah data
mengenai efek anestesi kombinasi acepromazin dan medetomidin pada kucing
lokal Indonesia. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat berguna bagi dokter
hewan dan pendidikan kedokteran hewan dalam menggunakan sediaan
acepromazin dan medetomidin serta menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut.
TINJAUAN PUSTAKA
Kucing Lokal
Kucing lokal adalah satu dari sekian banyak hewan yang dijadikan sebagai
hewan kesayangan untuk pemenuhan kesenangan ataupun hobi. Selain karena
mudah ditemukan di lingkungan sekitar kita, kepemilikan kucing lokal yang
banyak di Indonesia dipengaruhi oleh perawatannya yang tidak telalu mahal dan
jinak, daya adaptasi serta kemampuan reproduksi dan mempertahankan diri yang
baik dalam lingkungan hidupnya (Noviana et al. 2009).
Kucing digolongkan ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Karnivora, Superfamili
Feloidea, dan Famili Felidae. Seluruh Ordo Karnivora hampir semuanya
merupakan pemakan daging (Aditya 2006). Kucing yang dipelihara sekarang
merupakan kucing domestik dengan nama Felis catus atau Felis dometicus.
Kucing memiliki panjang tubuh 76 cm, berat tubuh pada betina 2 – 3 kg, yang
jantan 3 – 4 kg dan lama hidup berkisar 13 – 17 tahun. Gen yang berperan dalam
penampakan bulu panjang ditentukan oleh gen resesif (ll), sedangkan kucing
berbulu pendek memiliki sepasang gen dominan (LL) (Noor 1996).
Anestesi
Anestesi adalah hilangnya seluruh rasa nyeri dari bagian tubuh (anestesi
lokal) atau seluruh tubuh (anestesi umum) sebagai akibat dari kerja obat yang
mendepres aktivitas sebagian atau seluruh sistem saraf (Cornick 1994). Anestesi
3
general terdiri dari beberapa tahapan atau periode, yaitu tahap preanestesi,
induksi, pemeliharaan, dan pemulihan (recovery) (McKelvey & Hollingshead
2003). Anestesi general dapat meliputi ketidaksadaran, hilangnya rasa nyeri, dan
relaksasi otot. Indikasi dari penggunaan sediaan anestesi yaitu pada operasi atau
prosedur diagnostik yang menyakitkan, untuk mengurangi rasa sakit pasien dan
risiko operator, juga pada prosedur melumpuhkan pasien (Pawson & Forsyth
2008).
Acepromazin
Acepromazin merupakan derivat dari phenothiazine, sediaan ini merupakan
agen neuroleptik yang poten dan toksisitasnya rendah. Acepromazin menginduksi
ketenangan ringan hingga sedang, relaksasi otot, dan mengurangi aktivitas
spontan terutama diakibatkan oleh antagonis pusat dopaminergik. Acepromazin
juga memiliki efek antiemetik, antikonvulsan, antispasmodik, hipotensi, dan
hipotermik (Lemke 2007). Menurut Gross (2001), phenothiazine dapat mencegah
terjadinya muntah yang disebabkan oleh obat lain meskipun dalam jumlah yang
sangat kecil. Pada hewan kecil acepromazin banyak digunakan untuk restrain
(Vaisanen et al. 2002). Namun, sediaan ini tidak cocok digunakan pada hewan
yang agresif karena phenotiazine hanya menghasilkan sedatif ringan, semakin
tinggi dosis acepromazin tidak meningkatkan efek sedasinya, namun
memperpanjang efek sampingnya (Vesal et al. 2011).
Medetomidin
Medetomidin [±4-(1-(2,3-dimethylphenyl)ethyl)-1H-imidazole] merupakan
sediaan yang poten dan spesifik agonis α2-adrenoreceptor dan telah dipasarkan
secara luas beberapa tahun belakangan sebagai sedatifa dan analgesia pada hewan
kecil (Cullen 1996). Gambar 1 menunjukkan struktur kimia dari medetomidin.
Sediaan ini memiliki efek analgesik, sedatif, hipnosis, dan muscle relaxan
tergantung dosis yang diberikan, efek yang dihasilkan mirip dengan xylazin dan
detomidin (Mpanduji et al. 2001; Murell dan Hellbekers 2005). Reseptor α1/ α2
yang selektif untuk medetomindin adalah 1620 sedangkan untuk xylazin adalah
160, detomidin 260, dan clonidin 220 (Virtanen 1989). Medetomidin juga
dilaporkan lebih lipofilik dibandingkan dengan xylazin, detomidin atau clonidin
(Savola et al 1986). Mekanisme kerjanya adalah stimulasi dari α2 presinaptik tipe
A adrenoreceptor yang menyebabkan terhambatnya pelepasan norepinefrin
(Scheinin et al. 1989). Mekanisme ini, di tingkat “locus coeruleus, menghasilkan
efek sedasi. Pada saraf perifer, medetomidin menstimulasi post dan extrasinaptik
α2-adrenoreceptor tipe B yang berlokasi di otot halus dari arteriol, yang
menyebabkan vasokonstriksi serta peningkatan tekanan darah (Dugdale 2010).
Medetomidin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, bradikardi dan
cardiac arrest (Vaisanen 2002). Selain itu, medetomidin menyebabkan muntah
sebagai efek sampingnya. Medetomidin menjadi populer digunakan karena
ketersediaan atipamezol yang merupakan antagonis α2-adrenoreceptor, atipamezol
dapat dengan cepat mengembalikan kondisi fisiologis normal (Hall 1996).
4
Gambar 1 Struktur kimia medetomidine (Vainio et al. 1989)
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret
2015. Penelitian dilakukan di kandang Unit Pengelola Hewan Laboratorium
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian adalah kandang kucing, tempat pakan
kucing, litter box, kantong plastik, dysposable syring, kapas, stetoskop,
termometer digital elastik, pinset syrurgis, penlight, sarung tangan, dan masker.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kucing jantan sebanyak 24
ekor; pakan kucing kering (Whiskas®, Mars Inc., US) dengan komposisi nutrisi
protein kasar (min. 31.5%), lemak kasar (min 9.5%, max 11.5%), serat kasar (max
6%), kelembaban (max 12%), asam linoleat (min 1.4%), magnesium (min. 0.1%),
zinc (min. 150 mg/kg), vitamin A (min. 11,000 IU/kg), vitamin E (min. 150
IU/kg), dan taurin (min 0.1%); air minum (Aqua®, Danone, FR) diberikan ad
libitum; litter kucing; obat cacing pirantel pamoat (Combantrin®, Pfizer, CA);
disinfektan; sediaan anestesi per-injeksi acepromazin meleate (Castran®,
Interchemie, NL) dan sediaan medetomidin (Medetin®, Dong Bang, KR); dan
alkohol 70%.
Prosedur Penelitian
Tahap Persiapan
Dua puluh empat kucing lokal berjenis kelamin jantan, berumur sekitar 1,5
sampai dengan 2,5 tahun, dengan bobot badan berkisar antara 3 kg sampai
dengan 5 kg disiapkan dan diaklimatisasi selama dua minggu. Selama
5
aklimatisasi, kucing ditempatkan di kandang baterai yang telah didesinfeksi.
Kucing percobaan diberi pakan kering dan air minum disediakan ad libitum.
Kucing juga diberi obat cacing dengan dosis 25mg/kg BB peroral pada masa ini
untuk mengeliminasi parasit cacing dari tubuh kucing.
Tahap perlakukan
Dua puluh empat kucing pada pada penelitian ini dibagi menjadi empat
perlakuan dan setiap perlakuan tersebut diulang sebanyak enam kali. Perlakuan
tersebut ialah kucing percobaan yang tidak diberikan anestesi (kontrol), kucing
percobaan yang disuntik acepromazin dosis 0.75 mg/kg BB secara IM (perlakuan
I), kucing percobaan yang disuntik medetomidin dosis 0.05 mg/kg BB secara IM
(perlakuan II), dan kucing percobaan yang disuntik acepromazin dosis 0.75 mg/kg
BB secara IM dan sesaat setelahnya disuntik dengan medetomidin dosis 0.05
mg/kg BB secara IM (perlakuan III). Sebelum diberikan perlakuan, kucing
percobaan dipuasakan selama 12 jam.
Pengambilan data
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui pengamatan terhadap rasa nyeri,
tonus otot, efek sedatif, kesadaran, refleks pedal, refleks pupil, frekuensi jantung,
frekuensi napas, dan suhu rektal. Pengamatan terhadap rasa nyeri, tonus otot, efek
sedatif, kesadaran, refleks pedal, refleks pupil dilakukan setiap 3 menit yang
dimulai pada saat sebelum pemberian perlakuan sampai dengan kucing sadar
(recovery kembali). Sementara itu, pengamatan terhadap frekuensi jantung,
frekuensi napas, dan suhu rektal dilakukan setiap 10 menit yang dimulai sebelum
perlakuan sampai dengan kucing sadar (recovery kembali).
Pengamatan rasa nyeri dilakukan dengan mencubit telinga kucing
menggunakan pinset syrurgis dan tonus otot diamati dengan melihat kemampuan
otot kucing dalam menopang tubuhnya. Sementar itu, efek sedatif dan hilangnya
kesadaran diamati dengan melihat perilaku dan kesadaran kucing dalam merespon
rangsangan dari luar. Pengamatan refleks pedal dilakukan dengan mencubit ujung
jari kucing dengan pinset kemudian diamati reaksinya dan pengamatan refleks
pupil mata dilakukan dengan melihat reaksi pupil mata terhadap rangsangan
cahaya.
Pengukuran frekuensi napas dilakukan dengan menghitung jumlah napas
selama satu menit. Pengukuran frekuensi jantung dilakukan secara auskultasi
dengan menggunakan stetoskop, bunyi sistol dan diastol yang terdengar dihitung
sebagai satu detak jantung dan diukur jumlahnya selama satu menit. Suhu rektal
diukur dengan termometer digital yang dimasukkan ujungnya ke dalam rektum
kucing. Suhu rektal dinyatakan stabil ketika termometer mengeluarkan bunyi.
Parameter percobaan
Parameter yang diamati terdiri atas onset (rasa nyeri, tonus otot, efek
sedatif, kesadaran, refleks pedal, dan refleks pupil), durasi (rasa nyeri, tonus otot,
efek sedatif, kesadaran, refleks pedal, dan refleks pupil), dan kondisi fisiologis
hewan (frekuensi napas per menit, frekuensi jantung per menit, dan suhu rektal).
6
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan one way ANOVA kemudian
dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbedaan pada setiap perlakuan.
Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan IBM
SPSS Statistics 19.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Onset anestesi
Onset anestesi dapat diartikan sebagai waktu yang diperlukan sejak
penyuntikan obat sampai dengan hewan kehilangan kesadarannya (Mckelvey dan
Hollingshead 2003). Selanjutnya, data onset dalam penelitian ini disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Rataan onset hilangnya rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal,
refleks pupil, timbulnya sedasi, emetik, dan onset sempurna (menit ke-)
Kontrol
Medetomidin
Acepromazin
AcepromazinMedetomidin
75.5±15.8a
9.0±3.8a
9.0±3.8 a
9.0±3.8a
75.5±15.8a
9.0±3.8 a
3.2±1.5 a
9.0±2.79a
P
PADA KUCING LOKAL
PRAMESTI NUGRAHENI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Efek
Kombinasi Medetomidin-Acepromazin sebagai Agen Anestesi General pada
Kucing Lokal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Pramesti Nugraheni
NIM B04110132
ABSTRAK
PRAMESTI NUGRAHENI. Evaluasi Efek Kombinasi MedetomidinAcepromazin sebagai Agen Anestesi General pada Kucing Lokal Indonesia.
Dibimbing oleh Drh ANDRIYANTO, MSi dan Drh ABADI SOETISNA, MSi
Kucing lokal merupakan salah satu hewan kesayangan yang banyak
dipelihara masyarakat Indonesia. Berbagai penyakit sering muncul pada
pemeliharaan kucing lokal dan tidak jarang membutuhkan tindakan bedah. Pada
kasus yang memerlukan tindakan pembedahan, anestesi mutlak diperlukan
sebagai sediaan penghilang rasa sakit. Penelitian ini dilakukan untuk
mengevaluasi efek kombinasi sediaan anestesi acepromazin dan medetomidin
terhadap onset, durasi, dan kondisi fisologis pada kucing lokal. Dua puluh empat
kucing lokal jantan, berumur sekitar 1,5 sampai dengan 2,5 tahun, dengan bobot
badan berkisar antara 3 kg sampai dengan 5 kg dibagi menjadi empat perlakuan
dan enam ulangan. Perlakuan tersebut ialah kucing percobaan yang tidak
diberikan anestesi (kontrol), kucing percobaan yang disuntik acepromazin 0.75
mg/kg BB (perlakuan I), kucing percobaan yang disuntik medetomidin 0.05
mg/kg BB (perlakuan II), dan kucing percobaan yang disuntik acepromazin 0.75
mg/kg BB dan sesaat setelahnya disuntik dengan medetomidin 0.05 mg/kg BB
(perlakuan III). Sediaan tersebut diberikan secara intramuskuler pada perlakuan I,
II, dan III. Parameter yang diamati terdiri atas onset (rasa nyeri, tonus otot, sedasi,
kesadaran, emetik, refleks pedal dan pupil), durasi (rasa nyeri, tonus otot, sedasi,
kesadaran, refleks pedal, dan pupil), dan kondisi fisiologis (frekuensi napas,
frekuensi jantung, dan suhu rektal). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kucing percobaan yang disuntik kombinasi acepromazin-medetomidin memiliki
onset yang lebih cepat dibandingkan medetomidin dan mempunyai durasi yang
sama dengan sediaan tunggal (acepromazin dan medetomidin). Kombinasi
medetomidin acepromazin dapat mengurangi penurunan frekuensi jantung yang
disebabkan oleh medetomidin. Pemberian acepromazin dan medetomidin secara
tunggal maupun dikombinasi secara signifikan menurunkan frekuensi pernapasan
dan suhu retal. Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini ialah kombinasi
acepromazin dan medetomidin efektif digunakan sebagai alternatif sediaan sedatif
pada kucing lokal Indonesia.
Kata kunci: acepromazin, anestesi, kombinasi, kucing local, medetomidin.
ABSTRACT
PRAMESTI NUGRAHENI. Evaluation of medetomidine-acepromazine
combination effect as a general anesthetics agent in Indonesia domestic cat.
Supervised by Drh ANDRIYANTO, MSi and Drh ABADI SOETISNA, MSi
Domestic cat are very popular cat in today’s society. Many diseases often
appear and require surgical actions that need anesthesia as sedation and pain
relief. The onset (pain, muscle tone, sedation, consciousness, emetic, reflexes
pedals and pupil), duration (pain, sedation, muscle tone, consciousness, reflexes
pedals, and pupil), and physiological conditions (frequency of breath, heart rate,
and rectal temperature) of domestic cat were evaluate to see the effects of the
combination of acepromazine and medetomidine. This research used 24 male
cats, about 1.5-2.5 years old and 3 kg up to 5 kg. divided into four groups and six
repititions. The groups are experimental cats were not given anesthesia (control),
experimental cats that injected acepromazine 0.75 mg/kg (group I), experimental
cats that injected medetomidine 0.05 mg/kg (group II), and experimental cats that
injected acepromazine 0.75 mg/kg and shortly afterwards injected by 0.05 mg/kg
medetomidine (group III). The dosage given via intramuscular. This study shows
combination of acepromazine-medetomidine has a faster onset than medetomidine
and has equal duration as acepromazine and medetomidin in single dose. The
combination can reduce the decrease of heart rate caused by medetomidine.
Acepromazine, medetomidine, dan the combination of acepromazine and
medetomidine significanly decrase frequency of breath and rectal temperature.
The conclusions is combination of acepromazine and medetomidine can be use
effetively as an altenative sedative agent in Indonesian domestic cat.
Key words: acepromazine, anesthesia, combination, local cat, medetomidine
EVALUASI EFEK KOMBINASI MEDETOMIDINACEPROMAZIN SEBAGAI AGEN ANESTESI GENERAL
PADA KUCING LOKAL INDONESIA
PRAMESTI NUGRAHENI
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Segala puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan berkah berlimpah bagi penulis sehingga dapat
menyelesaikan karya ilmiah ini dengan tepat waktu. Penelitian ini dilaksanakan
pada bulan Januari sampai dengan Maret 2015 di Unit Pengelola Hewan
Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Sembah sujud dan terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Minggir
Junaidi dan Ibu Sri Murtining atas segala kasih sayang, pengorbanan, perjuangan,
dan motivasi yang diberikan sehingga penulis dapat menuntut ilmu hingga
memperoleh gelar sarjana. Rasa terima kasih tidak lupa penulis ucapkan kepada
Drh Andriyanto, MSi dan Drh Abadi Soetisna, MSi selaku pembimbing karya
ilmiah yang dengan teliti dan sabar mau membimbing penulis dari awal pencarian
judul proposal hingga akhir penulisan skripsi. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Drh Mokh. Fakhrudin, Ph.D selaku pembimbing akademik yang selalu
mendukung dan menyokong penulis dalam 4 tahun ini,
Terima kasih kepada Drh Aulia Andi Mustika, MSi, Drh Ridi, Drh Krido,
Pak Dikdik, Mas Angga, seluruh staf Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium serta
rekan-rekan satu tim penelitian (Gusti dan Dedi) yang telah membantu serta
mendukung dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan tugas akhir. Tak lupa
rasa terima kasih kepada keluarga besar Ganglion 48 yang bersama-sama berjuang
dalam menempuh pendidikan di FKH IPB. Selanjutnya rasa terimakasih penulis
ucapkan kepada sahabat-sahabat seperjuangan Ristia, Erdina, Reinilda, Raguel
dan penghuni Cempaka 13 yang selalu memberikan dukungan dan semangat, serta
semua individu dan pribadi di IPB yang telah berkontribusi atas terbentuknya diri
penulis sekarang ini. Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari
kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini dan mengharapkan kritik dan saran
yang membangun untuk penelitian selanjutnya. Terlepas dari kekurangan yang
ada, penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Pramesti Nugraheni
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
METODE
4
Waktu dan Tempat Penelitian
4
Alat dan Bahan
4
Prosedur Penelitian
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
6
Onset anestesi
6
Durasi anestesi
7
Denyut jantung
8
Frekuensi pernapasan
9
Suhu Rektal
SIMPULAN DAN SARAN
10
11
Simpulan
11
Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
11
RIWAYAT HIDUP
14
DAFTAR TABEL
1
2
Rataan onset hilangnya rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal,
refleks pupil, timbulnya sedasi, emetik, dan onset sempurna (menit ke-)
Rataan durasi rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal, refleks
pupil, sedasi dan durasi umum)
6
7
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
Struktur kimia medetomidine
Hubungan antara frekuensi jantung per menit pada kucing perlakuan
pada berbagai waktu pengamatan
Hubungan antara frekuensi jantung per menit pada kucing perlakuan
pada berbagai waktu pengamatan
4
8
9
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kucing lokal (Felis domestica) merupakan salah satu dari sekian banyak
hewan yang dapat dijadikan hewan kesayangan oleh masyarakat Indonesia.
Berbagai masalah sering mucul pada pemeliharaan kucing lokal, di antaranya
adalah timbulnya penyakit-penyakit yang dalam penangannya memerlukan
tindakan bedah sehingga sediaan anestesi mutlak diperlukan. Anestesi dapat
didefinisikan sebagai hilangnya sensasi rasa nyeri dari sebagian tubuh (anestesi
lokal) dan seluruh tubuh (anestesi umum) sebagai akibat dari kerja obat yang
mendepres aktivitas sebagian atau seluruh sistem saraf (Cornick 1994). Banyak
sediaan telah diketahui memiliki efek anestesi, namun hanya beberapa yang aman
digunakan dalam tindakan operasi.
Salah satu sediaan yang banyak digunakan sebagai agen sedatif dan
analgesik adalah medetomidin. Medetomidin merupakan sediaan agonis α2adrenoreceptor yang banyak digunakan pada kucing (Granholm et al. 2006).
Sediaan ini telah dipasarkan secara luas beberapa tahun belakangan sebagai
sedatifa dan analgesia pada hewan kecil di Eropa (Cullen 1996). Medetomidin
dapat menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, bradikardi, dan cardiac arrest
(Vaisanen et al. 2002). Selain itu, medetomidin memiliki efek samping muntah.
Sampai saat ini sediaan medetomidin belum banyak digunakan di Indonesia.
Medetomidin menjadi pilihan utama sebagai sediaan anestesi sebab sediaan ini
memiliki antidota atipamezol. Atipamezol merupakan antagonis α2adrenoreceptor yang dapat dengan cepat mengembalikan kondisi fisiologis normal
kembali pasca penyuntikan medetomidin (Hall 1996).
Sediaan lain yang banyak digunakan sebagai agen sedatif pada hewan kecil
adalah acepromazin. Acepromazin merupakan derivat dari phenothiazine, yang
dapat menginduksi ketenangan ringan hingga sedang, relaksasi otot, dan
mengurangi aktivitas spontan terutama diakibatkan oleh antagonis pusat
dopaminergik (Lemke 2007). Acepromazin banyak digunakan untuk restrain
hewan kecil, namun tidak cocok digunakan pada hewan agresif karena hanya
menghasilkan sedatif ringan, yaitu dengan durasi yang relatif cepat dan onset yang
relatif lama (Vaisanen et al. 2002; Vesal et al. 2011). Acepromazin memiliki efek
antiaritmia (Dyson dan Petiffer 1997) dan antiemetik (Valverde et al. 2004).
Penelitian ini dilakukan untuk meningkatkan efektivitas anestesi
medetomidin dan acepromazin dengan mengkombinasikan sediaan tersebut.
Penyuntikan kombinasi medetomidin dan acepromazin diharapkan dapat
memperbaiki onset, durasi, dan kondisi fisiologis.
Perumusan Masalah
Sediaan anestesi mutlak diperlukan dalam tindakan pembedahan. Aman
merupakan syarat utama dari sediaan anestesi, aman bagi hewan, manusia,
maupun lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai keamanan
sediaan anestesi. Medetomidin dan acepromazin merupakan sediaan yang banyak
2
digunakan sebagai sediaan sedasi. Kombinasi medetomidin dan acepromazin
memiliki potensi sebagai sediaan sedasi yang lebih baik dibandingkan dengan
sediaan tersebut digunakan tunggal apabila digunakan pada kucing lokal
Indonesia.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas penyuntikam
sediaan acepromazin dan medetomidin dalam memperbaiki onset, durasi, dan
kondisi fisologis dengan menggunakan hewan percobaan kucing lokal Indonesia.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diambil melalui penelitian ini adalah menambah data
mengenai efek anestesi kombinasi acepromazin dan medetomidin pada kucing
lokal Indonesia. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat berguna bagi dokter
hewan dan pendidikan kedokteran hewan dalam menggunakan sediaan
acepromazin dan medetomidin serta menjadi dasar untuk penelitian lebih lanjut.
TINJAUAN PUSTAKA
Kucing Lokal
Kucing lokal adalah satu dari sekian banyak hewan yang dijadikan sebagai
hewan kesayangan untuk pemenuhan kesenangan ataupun hobi. Selain karena
mudah ditemukan di lingkungan sekitar kita, kepemilikan kucing lokal yang
banyak di Indonesia dipengaruhi oleh perawatannya yang tidak telalu mahal dan
jinak, daya adaptasi serta kemampuan reproduksi dan mempertahankan diri yang
baik dalam lingkungan hidupnya (Noviana et al. 2009).
Kucing digolongkan ke dalam Kelas Mamalia, Ordo Karnivora, Superfamili
Feloidea, dan Famili Felidae. Seluruh Ordo Karnivora hampir semuanya
merupakan pemakan daging (Aditya 2006). Kucing yang dipelihara sekarang
merupakan kucing domestik dengan nama Felis catus atau Felis dometicus.
Kucing memiliki panjang tubuh 76 cm, berat tubuh pada betina 2 – 3 kg, yang
jantan 3 – 4 kg dan lama hidup berkisar 13 – 17 tahun. Gen yang berperan dalam
penampakan bulu panjang ditentukan oleh gen resesif (ll), sedangkan kucing
berbulu pendek memiliki sepasang gen dominan (LL) (Noor 1996).
Anestesi
Anestesi adalah hilangnya seluruh rasa nyeri dari bagian tubuh (anestesi
lokal) atau seluruh tubuh (anestesi umum) sebagai akibat dari kerja obat yang
mendepres aktivitas sebagian atau seluruh sistem saraf (Cornick 1994). Anestesi
3
general terdiri dari beberapa tahapan atau periode, yaitu tahap preanestesi,
induksi, pemeliharaan, dan pemulihan (recovery) (McKelvey & Hollingshead
2003). Anestesi general dapat meliputi ketidaksadaran, hilangnya rasa nyeri, dan
relaksasi otot. Indikasi dari penggunaan sediaan anestesi yaitu pada operasi atau
prosedur diagnostik yang menyakitkan, untuk mengurangi rasa sakit pasien dan
risiko operator, juga pada prosedur melumpuhkan pasien (Pawson & Forsyth
2008).
Acepromazin
Acepromazin merupakan derivat dari phenothiazine, sediaan ini merupakan
agen neuroleptik yang poten dan toksisitasnya rendah. Acepromazin menginduksi
ketenangan ringan hingga sedang, relaksasi otot, dan mengurangi aktivitas
spontan terutama diakibatkan oleh antagonis pusat dopaminergik. Acepromazin
juga memiliki efek antiemetik, antikonvulsan, antispasmodik, hipotensi, dan
hipotermik (Lemke 2007). Menurut Gross (2001), phenothiazine dapat mencegah
terjadinya muntah yang disebabkan oleh obat lain meskipun dalam jumlah yang
sangat kecil. Pada hewan kecil acepromazin banyak digunakan untuk restrain
(Vaisanen et al. 2002). Namun, sediaan ini tidak cocok digunakan pada hewan
yang agresif karena phenotiazine hanya menghasilkan sedatif ringan, semakin
tinggi dosis acepromazin tidak meningkatkan efek sedasinya, namun
memperpanjang efek sampingnya (Vesal et al. 2011).
Medetomidin
Medetomidin [±4-(1-(2,3-dimethylphenyl)ethyl)-1H-imidazole] merupakan
sediaan yang poten dan spesifik agonis α2-adrenoreceptor dan telah dipasarkan
secara luas beberapa tahun belakangan sebagai sedatifa dan analgesia pada hewan
kecil (Cullen 1996). Gambar 1 menunjukkan struktur kimia dari medetomidin.
Sediaan ini memiliki efek analgesik, sedatif, hipnosis, dan muscle relaxan
tergantung dosis yang diberikan, efek yang dihasilkan mirip dengan xylazin dan
detomidin (Mpanduji et al. 2001; Murell dan Hellbekers 2005). Reseptor α1/ α2
yang selektif untuk medetomindin adalah 1620 sedangkan untuk xylazin adalah
160, detomidin 260, dan clonidin 220 (Virtanen 1989). Medetomidin juga
dilaporkan lebih lipofilik dibandingkan dengan xylazin, detomidin atau clonidin
(Savola et al 1986). Mekanisme kerjanya adalah stimulasi dari α2 presinaptik tipe
A adrenoreceptor yang menyebabkan terhambatnya pelepasan norepinefrin
(Scheinin et al. 1989). Mekanisme ini, di tingkat “locus coeruleus, menghasilkan
efek sedasi. Pada saraf perifer, medetomidin menstimulasi post dan extrasinaptik
α2-adrenoreceptor tipe B yang berlokasi di otot halus dari arteriol, yang
menyebabkan vasokonstriksi serta peningkatan tekanan darah (Dugdale 2010).
Medetomidin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah, bradikardi dan
cardiac arrest (Vaisanen 2002). Selain itu, medetomidin menyebabkan muntah
sebagai efek sampingnya. Medetomidin menjadi populer digunakan karena
ketersediaan atipamezol yang merupakan antagonis α2-adrenoreceptor, atipamezol
dapat dengan cepat mengembalikan kondisi fisiologis normal (Hall 1996).
4
Gambar 1 Struktur kimia medetomidine (Vainio et al. 1989)
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret
2015. Penelitian dilakukan di kandang Unit Pengelola Hewan Laboratorium
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada penelitian adalah kandang kucing, tempat pakan
kucing, litter box, kantong plastik, dysposable syring, kapas, stetoskop,
termometer digital elastik, pinset syrurgis, penlight, sarung tangan, dan masker.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kucing jantan sebanyak 24
ekor; pakan kucing kering (Whiskas®, Mars Inc., US) dengan komposisi nutrisi
protein kasar (min. 31.5%), lemak kasar (min 9.5%, max 11.5%), serat kasar (max
6%), kelembaban (max 12%), asam linoleat (min 1.4%), magnesium (min. 0.1%),
zinc (min. 150 mg/kg), vitamin A (min. 11,000 IU/kg), vitamin E (min. 150
IU/kg), dan taurin (min 0.1%); air minum (Aqua®, Danone, FR) diberikan ad
libitum; litter kucing; obat cacing pirantel pamoat (Combantrin®, Pfizer, CA);
disinfektan; sediaan anestesi per-injeksi acepromazin meleate (Castran®,
Interchemie, NL) dan sediaan medetomidin (Medetin®, Dong Bang, KR); dan
alkohol 70%.
Prosedur Penelitian
Tahap Persiapan
Dua puluh empat kucing lokal berjenis kelamin jantan, berumur sekitar 1,5
sampai dengan 2,5 tahun, dengan bobot badan berkisar antara 3 kg sampai
dengan 5 kg disiapkan dan diaklimatisasi selama dua minggu. Selama
5
aklimatisasi, kucing ditempatkan di kandang baterai yang telah didesinfeksi.
Kucing percobaan diberi pakan kering dan air minum disediakan ad libitum.
Kucing juga diberi obat cacing dengan dosis 25mg/kg BB peroral pada masa ini
untuk mengeliminasi parasit cacing dari tubuh kucing.
Tahap perlakukan
Dua puluh empat kucing pada pada penelitian ini dibagi menjadi empat
perlakuan dan setiap perlakuan tersebut diulang sebanyak enam kali. Perlakuan
tersebut ialah kucing percobaan yang tidak diberikan anestesi (kontrol), kucing
percobaan yang disuntik acepromazin dosis 0.75 mg/kg BB secara IM (perlakuan
I), kucing percobaan yang disuntik medetomidin dosis 0.05 mg/kg BB secara IM
(perlakuan II), dan kucing percobaan yang disuntik acepromazin dosis 0.75 mg/kg
BB secara IM dan sesaat setelahnya disuntik dengan medetomidin dosis 0.05
mg/kg BB secara IM (perlakuan III). Sebelum diberikan perlakuan, kucing
percobaan dipuasakan selama 12 jam.
Pengambilan data
Data dalam penelitian ini diperoleh melalui pengamatan terhadap rasa nyeri,
tonus otot, efek sedatif, kesadaran, refleks pedal, refleks pupil, frekuensi jantung,
frekuensi napas, dan suhu rektal. Pengamatan terhadap rasa nyeri, tonus otot, efek
sedatif, kesadaran, refleks pedal, refleks pupil dilakukan setiap 3 menit yang
dimulai pada saat sebelum pemberian perlakuan sampai dengan kucing sadar
(recovery kembali). Sementara itu, pengamatan terhadap frekuensi jantung,
frekuensi napas, dan suhu rektal dilakukan setiap 10 menit yang dimulai sebelum
perlakuan sampai dengan kucing sadar (recovery kembali).
Pengamatan rasa nyeri dilakukan dengan mencubit telinga kucing
menggunakan pinset syrurgis dan tonus otot diamati dengan melihat kemampuan
otot kucing dalam menopang tubuhnya. Sementar itu, efek sedatif dan hilangnya
kesadaran diamati dengan melihat perilaku dan kesadaran kucing dalam merespon
rangsangan dari luar. Pengamatan refleks pedal dilakukan dengan mencubit ujung
jari kucing dengan pinset kemudian diamati reaksinya dan pengamatan refleks
pupil mata dilakukan dengan melihat reaksi pupil mata terhadap rangsangan
cahaya.
Pengukuran frekuensi napas dilakukan dengan menghitung jumlah napas
selama satu menit. Pengukuran frekuensi jantung dilakukan secara auskultasi
dengan menggunakan stetoskop, bunyi sistol dan diastol yang terdengar dihitung
sebagai satu detak jantung dan diukur jumlahnya selama satu menit. Suhu rektal
diukur dengan termometer digital yang dimasukkan ujungnya ke dalam rektum
kucing. Suhu rektal dinyatakan stabil ketika termometer mengeluarkan bunyi.
Parameter percobaan
Parameter yang diamati terdiri atas onset (rasa nyeri, tonus otot, efek
sedatif, kesadaran, refleks pedal, dan refleks pupil), durasi (rasa nyeri, tonus otot,
efek sedatif, kesadaran, refleks pedal, dan refleks pupil), dan kondisi fisiologis
hewan (frekuensi napas per menit, frekuensi jantung per menit, dan suhu rektal).
6
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan one way ANOVA kemudian
dilanjutkan dengan uji Duncan untuk melihat perbedaan pada setiap perlakuan.
Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2010 dan IBM
SPSS Statistics 19.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Onset anestesi
Onset anestesi dapat diartikan sebagai waktu yang diperlukan sejak
penyuntikan obat sampai dengan hewan kehilangan kesadarannya (Mckelvey dan
Hollingshead 2003). Selanjutnya, data onset dalam penelitian ini disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Rataan onset hilangnya rasa nyeri, tonus otot, kesadaran, refleks pedal,
refleks pupil, timbulnya sedasi, emetik, dan onset sempurna (menit ke-)
Kontrol
Medetomidin
Acepromazin
AcepromazinMedetomidin
75.5±15.8a
9.0±3.8a
9.0±3.8 a
9.0±3.8a
75.5±15.8a
9.0±3.8 a
3.2±1.5 a
9.0±2.79a
P