Analisis Integrasi Pasar Spasial Komoditi Pangan Antar Provinsi di Indonesia
ANALISIS INTEGRASI PASAR SPASIAL
KOMODITI PANGAN ANTAR PROVINSI DI INDONESIA
ARNANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Integrasi Pasar
Spasial Komoditi Pangan Antar Provinsi di Indonesia adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Arnanto
NRP H151120191
RINGKASAN
Arnanto. Analisis Integrasi Pasar Spasial Komoditi Pangan Antar Provinsi
di Indonesia. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan WIWIEK RINDAYATI.
Masalah utama yang dihadapi oleh pemerintah saat ini adalah pemenuhan
kebutuhan pangan bagi masyarakat baik dari segi availability maupun
accessability to food. Produksi pangan dalam negeri yang masih jauh dari
kebutuhan konsumsi membuat Indonesia menjadi importir beberapa komoditas
pangan misal beras, gula, kedelai dan daging sapi. Bahkan kedelai pada tahun
2013 nilai kebutuhan impor mencapai lebih dari 69.59 persen kebutuhan nasional,
proses perdagangan yang tidak efektif akan menyebabkan proses transmisi harga
menjadi tidak efektif pula.
Intervensi pasar yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dalam rangka
perlindungan baik petani sebagai produsen maupun masyarakat sebagai konsumen
bahan pangan merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Permasalahan
efektifitas alur perdagangan dan akses informasi antar daerah merupakan hal yang
sangat penting, pengurangan rintangan perdagangan maupun perbaikan akses
informasi akan membuat proses efektif dan efisien. Alur perdagangan yang baik
tanpa adanya hambatan perdagangan serta peningkatan akses informasi akan
membuat integrasi pasar menjadi lebih efektif.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi pasar yang terjadi
antar wilayah di Indonesia dan menganalisis besaran elastisitas transmisi
perubahan harga didaerah akibat perubahan harga di pasar acuan. Analisis
menggunakan metode integrasi Ravallion untuk melihat tingkat integrasi antar
daerah dan juga transmisi harga. Data yang digunakan adalah harga eceran di 33
provinsi di Indonesia dengan rentang waktu 5 tahun sejak tahun 2009 sampai
dengan 2013.
Hasil analisis menggunakan nilai IMC (Index of Market Connection)
sebagai indikator integrasi jangka pendek dan b2 sebagai indikator integrasi
jangka panjang menunjukan bahwa pasar komoditi pangan memiliki beberapa
daerah yang dijadikan acuan. Pada komoditi beras dapat disimpulkan bahwa
Jakarta dan Sulawesi Selatan merupakan daerah yang menjadi daerah acuan
utama, daerah tersebut terintegrasi dengan sebagian besar wilayah di Indonesia.
Komoditi gula daerah yang menjadi provinsi acuan utama adalah Jakarta. Pada
daging sapi provinsi Jawa Tengah menjadi daerah acuan utama. Pada daging
ayam provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat menjadi provinsi acuan
utama. Sedangkan untuk komoditi kedelai dan jagung daerah tidak terdapat daerah
yang dijadikan daerah acuan utama. Oleh karena itu dalam rangka stabilisasi
harga di Indonesia, provinsi tersebut harus dijaga dengan baik sehingga lebih
efektif dan efisien dalam menahan gejolak harga sehingga tidak meluas ke daerah
lainnya.
Tingkat integrasi spasial dari komoditi beras, gula, daging ayam dan
daging sapi di Indonesia mendekati pasar persaingan sempurna (competitive
market) dibandingkan tingkat integrasi kedelai dan jagung. Besaran nilai b2
sebagai indikator elastisitas transmisi harga menunjukan bahwa perubahan harga
di provinsi acuan dapat dengan baik ditransmisikan ke sebagian besar provinsi
lainnya di Indonesia namun perubahan harga di provinsi acuan tidak
ditransmisikan dengan baik kedaerah Indonesia Bagian Timur.
Analisis integrasi model Ravallion tidak dapat menjelaskan penyebab
terjadinya integrasi, sehingga diperlukan kajian lebih lanjut terhadap Indonesia
Bagian Timur baik dari segi kebijakan seiiring otonomi daerah ataupun adanya
market failure yang terjadi sehingga dapat menemukan solusi kebijakan agar
integrasi dapat terjadi dengan lebih baik. Perlunya intervensi pemerintah dalam
mengawasi tataniaga kedelai dan jagung sebagai komoditi yang diperlukan oleh
seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Pemerintah diharapkan dapat
membangun akses informasi maupun perbaikan infrastruktur dalam rangka
menurunkan jarak ekonomi di Indonesia Bagian Timur, sehingga nilai derajat
integrasi akan dapat lebih baik.
Kata Kunci : Pangan, Integrasi Pasar, Model Ravallion.
SUMMARY
Arnanto. Spasial Market Integration Analysis of Food Between Province in
Indonesia. Supervised by SRI HARTOYO and WIWIEK RINDAYATI.
Government major problem now is food prices stabilization, through food
production and trade for fulfillment consumption in terms of both availability and
accessability food. Food production that’s less than consumption, making
Indonesia has to import some of food commodities such as rice, sugar, soy and
beef. In 2013 soybean import reached more than 69.59% of national requirements,
if the trading effective will cause the price transmission also becomes effective.
Domestic prices stabilitation in order to protect both the farmers as
producers and society as consumers is important for government. Trade flows
between regions, distance between consumer with producers and information
access is a problem for price stabilization. Government’s ability to determine an
appropriate pricing policy depends on how far the government understands of
market structure, behavior and effectiveness. Trade barriers and market failure
reduction, improved access information would make market integration effective.
This study aims to analyze the market integration and the price
transmission elasticity that occurs between regions in Indonesia. To capture level
integration and price transmission between regions using Ravallion integration
model analysis. The used data are 33 provinces retail prices in Indonesia with a
span of 5 years from 2009 to 2013.
The results used IMC (Index of Market Connection) as a short run
indicator and b2 as long run indicator showed that Jakarta and South Sulawesi
region is becoming the leading market, both is integrated with most areas in
Indonesia. Sugar shows that Jakarta as the leading market, Meat shows that
Central Java, Chicken meat shows that Central Java, East Java and West Java as
the leading market. Therefore in order to stabilize food price, thus province should
be maintained properly more effective and efficient in curbing price volatility.
The rice, sugar, meat and chicken spatial integration level has better
degree of integration than soya and maize commodity. The results shows that rice,
sugar, meat and chicken market close to competitive market, b2 as degree of
elasticity the price transmision and long run integration shows that Eastern
Indonesia has weak of degree.
Ravallion integration analysis can not explain the cause of two areas
integrated or not, so it is necessary to study towards further for Eastern Indonesia
in terms of either regional autonomy policy or any market failure that occurs.
Government intervention for soybeans and maize is important to find a solutin for
better integrated degree. Improve infrastructure and build information access in
order to reduce the economic gap in Eastern Indonesia, made better value of the
integration degree.
Keywords: Food, Market integration, Ravallion model.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS INTEGRASI PASAR SPASIAL
KOMODITI PANGAN ANTAR PROVINSI DI INDONESIA
ARNANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr M Firdaus, SP MSi
Judul Tesis : Analisis Integrasi Pasar Spasial Komoditi Pangan Antar Provinsi
di Indonesia
Nama
: Arnanto
NIM
: H151120191
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Ketua
Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian: 22 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah integrasi pasar komoditi pangan, dengan judul
Analisis Integrasi Pasar Spasial Komoditi Pangan Antar Provinsi di Indonesia .
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS
selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati, MS selaku
anggota komisi pembimbing, yang meluangkan waktu dan kesabaran untuk
memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat dalam
penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof Dr M Firdaus,
SP MSi dan Dr Alla Asmara, SP MSi atas saran dan masukannya demi perbaikan
tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr
Ir R Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi
Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada,
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada
Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. Tak lupa ucapan
terima kasih kepada teman-teman IPB Kemendag atas segala bantuannya selama
penulis menyelesaikan pendidikan di IPB. Ungkapan terima kasih terdalam untuk
istriku Siti Fathonah, SH dan anakku tercinta Kenzie dan Arkenzo atas segala doa,
kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang diberikan. Serta Bapak (Alm), Ibu
dan adik-kakakku yang senantiasa mendoakan sehingga penulis mampu
menyelesaikan pendidikan ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan dikarenakan
keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung
jawab penulis. Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi
dalam proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di
masa mendatang.
Bogor, Januari 2015
Arnanto
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisis Regresi Model Ravallion
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi dan Kebijakan Harga Pangan di Indonesia
Dinamika Harga Komoditi Pangan di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Beras di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Beras di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Gula di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Gula di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Daging Ayam di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Daging Ayam di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Daging Sapi di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Daging Sapi di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Kedelai di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Kedelai di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Jagung di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Jagung di Indonesia
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
vii
viii
1
1
4
5
5
5
9
9
9
10
11
12
12
12
12
12
14
14
17
24
25
29
33
35
38
40
40
44
45
48
49
53
53
54
55
58
DAFTAR TABEL
1. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Beras
di Indonesia
2. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Gula di
Indonesia
3. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Daging
Ayam di Indonesia
4. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Daging
Sapi di Indonesia
5. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Kedelai
di Indonesia
6. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Jagung
di Indonesia
26
30
36
40
44
50
DAFTAR GAMBAR
1. Pergerakan Harga Beras, Gula, Jagung, Kedelai, Daging Sapi,
Daging Ayam Nasional Periode 2001 – 2013
2. Rata-Rata Harga Beras di 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2013
3. Koefisien Variasi Harga Gula di 33 Provinsi di Indonesia Tahun
2013
4. Kurva Supply dan Demand Daerah Potensial Surplus dan
Daerah Potensial Defisit
5. Kerangka pemikiran
6. Peta Produksi Pangan Seluruh Provinsi di Indonesia Tahun
2013
7. Komposisi Produksi dan Impor Pangan Indonesia Tahun
2009 s/d 2013
8. Dinamika Harga Komoditi Beras di 33 Provinsi di Indonesia
Tahun 2009 s/d 2013
9. Dinamika Harga Komoditi Gula di 33 Provinsi di Indonesia
Tahun 2009 s/d 2013
10. Dinamika Harga Komoditi Daging Ayam di 33 Provinsi di
Indonesia Tahun 2009 s/d 2013
11. Dinamika Harga Komoditi Daging Sapi di 33 Provinsi di
Indonesia Tahun 2009 s/d 2013
12. Dinamika Harga Komoditi Jagung di 33 Provinsi di
Indonesia Tahun 2009 s/d 2013
13. Dinamika Harga Komoditi Kedelai di 33 Provinsi di
Indonesia Tahun 2009 s/d 2013
14. Alur Transmisi Harga Beras di 33 Provinsi di Indonesia
15. Alur Transmisi Harga Gula di 33 Provinsi di Indonesia
16. Alur Transmisi Harga Daging Ayam di 33 Provinsi di
Indonesia
17. Alur Transmisi Harga Daging Sapi di 33 Provinsi di
Indonesia
18. Alur Transmisi Harga Kedelai di 33 Provinsi di Indonesia
19. Alur Transmisi Harga Jagung di 33 Provinsi di Indonesia
1
2
3
7
10
14
16
18
19
20
21
22
23
28
34
39
44
48
52
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jaminan ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau sangat penting
sebagai penguatan stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia. Permintaan pangan
yang meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan tidak diimbangi oleh
jumlah penawaran mendorong terjadinya lonjakan harga pada berbagai produk
pangan. Pemenuhan kekurangan kebutuhan melalui impor menyebabkan harga
dunia juga mempengaruhi lonjakan harga dalam negeri. Data harga komoditi
pangan dunia menunjukan bahwa terjadi lonjakan harga yang sangat tinggi pada
periode tahun 2007 sampai 2008, bahkan pada beras lonjakan harga mencapai
110.65 persen (IMF, 2014). Trend harga dunia dari tahun 2007 sampai 2013
menunjukan bahwa harga komoditi gula, kedelai, beras dan jagung masih positif.
Trend harga pangan dunia akan menyebabkan pengaruh yang sangat tinggi
terhadap pembentukan harga dalam negeri. Angka impor produk pangan
Indonesia yang masih tinggi menyebabkan harga dunia sangat berpengaruh
terhadap stabilitas harga di dalam negeri. Selain angka impor, penurunan produksi
dan tidak berimbangnya jumah permintaan dan penawaran bahan pangan dari
dalam negeri juga menyebabkan harga pangan menjadi fluktuatif. Konversi lahan
untuk kepentingan sektor non-pertanian, kecilnya margin usaha tani serta berbagai
kendala dalam produksi pangan yang berakibat pada rendahnya produksi dan juga
pola konsumsi pangan yang inelastis menyebabkan stabilitas harga pangan
merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan.
Data Kementerian Perdagangan menunjukan bahwa harga beberapa
komoditi pangan di pasar domestik meningkat secara dramastis selama periode
setelah Januari 2007. Bahkan pada komoditi kedelai kenaikan harga pada periode
bulan Januari 2008 mencapai 45.45 persen dibandingkan Januari 2007. Kurang
meratanya penyediaan pangan, timpangnya jalur distribusi dari produsen ke
konsumen, ketergantungan produksi komoditi pangan terhadap iklim menjadi
pemicu kenaikan harga pangan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem
produksi dan sistem distribusi beberapa pangan terganggu karena kualitas sarana
dan prasarana transportasi banyak rusak.
Bila melihat data pergerakan harga komoditi daging sapi, daging ayam,
beras, gula jagung dan kedelai kecenderungan harga untuk keenam komoditi
tersebut mengalami kenaikan dari tahun 2001 hingga 2013. Perkembangan harga
domestik pada era liberalisasi perdagangan, marjin harga yang terjadi
menunjukkan tren yang meningkat. Secara umum pergerakan harga komoditas
pangan nasional dapat dilihat pada Gambar 1. Perubahan harga enam komoditas
pangan di Indonesia pada Desember 2008 mengalami perubahan rata-rata
mengalami kenaikan sebesar 193.42 persen dibandingkan Januari 2004, angka ini
lebih besar dari perbandingan kenaikan harga Desember 2013 yang naik sebesar
146.87 persen dibanding Januari 2009. Bila melihat perbandingan kedua angka
terlihat bahwa stabilisasi harga pada periode 2009 sampai dengan 2013 lebih baik
daripada periode sebelumnya.
Dalam beberapa tahun terakhir harga komoditas telah berfluktuasi secara
dramatis, semakin penting bagi pembuat kebijakan untuk memahami sejauh mana
guncangan harga di konsumen dapat ditransmisikan kepada daerah produsen.
2
Struktur pasar, pola perdagangan, pola geografis dan pemicu transmisi guncangan
harga tersebut menjadi faktor yang penting dalam penentuan kebijakan dalam
proses stabilitas harga pangan. Menurut kajian worldbank tentang integrasi antara
pasar dunia dengan provinsi di Indonesia memperlihatkan bahwa daerah di pulau
jawa memiliki kecepatan penyesuaian terhadap shock harga dunia paling cepat.
Salah satu tanda yang jelas bahwa dua pasar terintegrasi adalah ketika guncangan
yang terjadi di satu pasar ditransmisikan kepada pasar lainnya (Fackler dan
Goodwin, 2001).
Sumber
: Direktorat Bapokstra, Kementerian Perdagangan, 2014
Gambar 1. Pergerakan Harga Beras, Gula, Jagung, Kedelai, Daging Sapi,
Daging Ayam Nasional Periode 2001 – 2013.
Pemerintah dalam rangka mengatasi permasalahan stabilisasi harga telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. KEP28/M.EKON/05/2010 tentang Tim Koordinasi Stabilisasi Pangan Pokok yang
bertugas merencanakan dan merumuskan kebijakan stabilisasi pemenuhan
kebutuhan dan harga pangan pokok, mengoordinasikan pelaksanaan stabilisasi
kebutuhan dan melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas harga pangan pokok
beras, gula, minyak goreng, terigu, kedelai,daging sapi, daging ayam, dan telur
ayam. Stabilitas gejolak harga dapat dicapai dengan intervensi pemerintah baik
melalui kebijakan cadangan bahan pangan di gudang BULOG maupun dengan
kebijakan impor dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan.
Pada tahun 2013 rata-rata harga nasional beras mencapai nilai Rp.8 408
dimana provinsi dengan harga beras terendah ada di Gorontalo dengan harga
mencapai Rp.6 582 rupiah sedangkan harga tertinggi terdapat di Provinsi Papua
dengan harga beras berkisar Rp.11 357 (Gambar 2). Angka koefisien variasi harga
beras antar provinsi menunjukan angka 0.1161, angka ini menunjukan besarnya
penyimpangan harga yang terjadi terhadap harga rata-rata, semakin tinggi nilai
koefisien menunjukan bahwa fluktuasi harga yang terjadi semakin besar.
3
Perbedaan harga yang tinggi diantara Gorontalo yang mencapai Rp.4 775 atau
mencapai 72.55 persen dari harga Papua memperlihatkan kurang maksimalnya
hubungan perdagangan antar provinsi di Indonesia.
Sumber
: Direktorat Bapokstra, Kementerian Perdagangan, 2014
Gambar 2. Rata-Rata Harga Beras di 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2013
Perbedaan harga komoditi pangan antar provinsi pada tahun 2013
menunjukan bahwa komoditi jagung dengan nilai koefisien variasi 0.2224 dan
kedelai 0.1875 menunjukan tingkat kesenjangan antar provinsi. Perbedaan harga
antar provinsi ditunjukan dengan nilai koefisien variasi harga pada tahun 2013
pada komoditi gula menunjukan angka 0.0907, daging sapi 0.1215 dan daging
ayam 0.1678 (Kementerian Perdagangan 2014, diolah). Besarnya penyimpangan
harga terhadap harga rata-rata nasional memperlihatkan bahwa perbedaan harga
antar provinsi pada komoditi pangan masih menunjukan angka yang besar.
Perumusan Masalah
Harga dari komoditas pangan yang diperdagangkan secara internasional
telah meningkat tajam sejak tahun 2002, dan kenaikan yang paling dramatis
terjadi selama periode dari Januari 2006 sampai Juni 2008. Kenaikan harga
komoditas mempunyai dampak positif atau negatif bergantung pada sejauh mana
suatu negara tertentu menjadi importir netto atau eksportir netto komoditas
bersangkutan. Indonesia adalah importir neto dari sejumlah komoditas makanan
pokok, sehingga diperkirakan kenaikan harga komoditas tersebut mempunyai
dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.
Pengendalian harga pangan yang dilakukan oleh pemerintah terjadi karena
tidak seimbangnya supply dari produsen pertanian dengan trend permintaan
terhadap produk tersebut. Kebijakan stabilisasi harga yang dilakukan oleh
pemerintah bertujuan untuk memenuhi aspek availability dan accessability to
food. Ketersediaan bahan pangan dan juga accessability baik fisik maupun
ekonomi disetiap daerah dan setiap waktu dari konsumen dalam memperoleh
4
bahan pangan. Akses fisik berarti kemudahan dalam memperoleh bahan pangan
sedangkan akses ekonomi berkaitan dengan daya beli masyarakat.
Disamping produksi pangan yang tidak mencukupi kurang meratanya
penyediaan pangan bagi masyarakat juga menjadi pemicu kenaikan harga pangan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem produksi dan sistem distribusi
beberapa pangan terganggu karena kualitas sarana dan prasarana transportasi
banyak rusak. Kebijakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) membuat daerah semakin memacu pendapatan dengan
retribusi yang tumpang tindih antar wilayah terutama pada segi pengangkutan
komoditas pertanian, sehingga mempengaruhi efisiensi perdagangan hasil
pertanian. Belum adanya peraturan khusus yang mengatur perdagangan hasil
pertanian antar daerah memerlukan perhatian sehingga dapat tercipta perdagangan
antar wilayah yang efektif dan efisien.
Koordinasi antar wilayah dalam rangka peningkatan perdagangan dan
pemenuhan kebutuhan produk pertanian antar daerah produsen harus menjadi
perhatian baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hubungan
perdagangan antar wilayah sangat penting dalam proses perbaikan dalam segi dan
accessability dalam memperoleh komoditi pangan. Daerah produsen bahan
pangan yang berpusat di pulau Jawa dan Sumatera dengan daerah konsumen yang
tersebar di seluruh Indonesia menyebabkan jarak ekonomis menjadi berbeda bagi
setiap daerah. Perbedaan jarak inilah yang menyebabkan kemampuan daerah
dalam memenuhi kebutuhan pangan akan berbeda, kondisi ini harus diperbaiki
sehingga proses perdagangan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien.
Sumber
: Direktorat Bapokstra, Kementerian Perdagangan, 2014
Gambar 3. Koefisien Variasi Harga Gula di 33 Provinsi di Indonesia Tahun
2013
Struktur alur perdagangan yang kurang baik akan menyebabkan harga
menjadi fluktuatif, volatilitas harga dapat dilihat dari nilai koefisien variasi pada
komoditi pangan tiap provinsi. Perbedaan nilai koefisien variasi tiap daerah
memperlihatkan bahwa kemampuan tiap provinsi dalam meredam gejolak harga
berbeda (Gambar 3). Untuk komoditi gula, nilai koefisien variasi terendah
terdapat di Kepulauan Riau dengan 0.0671 dan nilai tertinggi Sulawesi Barat
5
0.3307. Apabila dibandingkan dengan Jawa Timur sebagai produsen gula terbesar
di Indonesia dengan koefisen 0.1130, kemampuan Sulawesi Barat sebagai daerah
konsumen dalam meredam fluktuasi sangat rendah. Nilai koefisien variasi
memperlihatkan perbedaan kemampuan provinsi dalam meredam fluktuasi harga
serta perbedaan kemampuan daerah dalam mencari supply komoditi pangan ketika
permintaan tinggi.
Indonesia sebagai negara yang mencakup daerah lautan yang luas
menyebabkan proses distribusi yang menjadi sulit. Letak pasar konsumen bahan
pangan yang yang terpisah sangat jauh dengan daerah produksi dan tidak
berimbangnya jumlah produksi dan konsumsi membuat tingginya biaya
perdagangan menyebabkan lemahnya integrasi pasar komoditi pangan. Pada pasar
yang terintegrasi dengan hubungan perdagangan yang baik, penerapan intervensi
pemerintah dalam meredam fluktuasi harga dapat disalurkan kepada pasar-pasar
lainnya. Pelaksanaan kebijakan harga dapat dilakukan dengan biaya yang lebih
murah, sehingga apabila terjadi gejolak harga di suatu daerah dapat dilakukan aksi
efektif agar gejolak harga tersebut tidak meluas dan menjadi gejolak nasional.
Dari kajian Worldbank tentang pengembangan sektor perdagangan tahun
2011 meneliti mengenai integrasi spasial komoditi kedelai, jagung, beras, gula dan
minyak goreng. Menyimpulkan bahwa untuk komoditas yang menerima banyak
intervensi dari pemerintah seperti beras tingkat integrasinya akan sedikit lebih
tinggi. Tingkat integrasi spasial antar provinsi cukup signifikan sebagaimana
ditunjukan pergerakan harga bersama yang kuat, pada komoditi gula mempunyai
angka 83 % pasangan pasar provinsi terintegrasi, beras 76 % pasangan
terintegrasi, minyak goreng 30 % pasangan terintegrasi, jagung 28 % pasangan
terintegrasi dan komoditi kedelai 26 % pasangan pasar provinsi terintegrasi.
Beberapa aspek integrasi pasar yang perlu dipertimbangkan oleh pembuat
kebijakan mencakup luas, kecepatan, faktor penentu dan dampak geografis dari
transmisi harga. Derajat integrasi juga dapat memperlihatkan apakah struktur arus
perdagangan di Indonesia telah berjalan dengan baik atau tidak. Dengan
memahami semua aspek integrasi pasar tersebut, para pembuat kebijakan akan
lebih mampu merumuskan kebijakan yang mendatangkan manfaat bagi produsen,
sekaligus melindungi konsumen.
Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut adalah dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah dinamika harga pangan di Indonesia?
2. Berapa besaran tingkat integrasi pasar pangan antar wilayah terjadi di
Indonesia?
3. Berapa besaran elastisitas transmisi perubahan harga didaerah akibat
perubahan harga di pasar acuan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisa dinamika harga komoditi pangan di Indonesia.
2. Menganalisa integrasi pasar pangan antar wilayah di Indonesia.
3. Menganalisa besaran elastisitas transmisi perubahan harga didaerah akibat
perubahan harga di pasar acuan
6
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
tingkat integrasi pasar komoditi pangan antar provinsi di Indonesia. Bagi
pemerintah dapat menjadi masukan dalam menentukan kebijakan yang akan
diambil khususnya dalam kebijakan perdagangan dalam upaya tercapainya
stabilitas harga pangan antar wilayah yang efektif dan efisien. Bagi penulis
penelitian ini diharapkan dapat memperdalam ilmu pengetahuan dan memperluas
wawasan dalam bidang perekonomian. Bagi pembaca, penelitian ini dapat
dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya
Ruang Lingkup Penelitian
Cakupan komoditi yang diteliti adalah beras, gula, jagung, daging ayam,
kacang kedelai dan daging sapi sedangkan yang dianalisis adalah 33 provinsi di
Indonesia, sementara periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 2009
sampai dengan tahun 2013. Provinsi yang dijadikan acuan menggunakan data
daerah yang memiliki tingkat produksi, konsumsi dan nilai perdagangan yang
menjadi perhatian dari pemerintah. Provinsi yang dijadikan acuan yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Selatan,
Sumatera Utara dan DKI Jakarta. Data bersumber dari data Kementerian
Perdagangan, Badan Pusat Statistik dan sumber-sumber lainnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Integrasi
Goletti et al. (1996) mendefinisikan integrasi pasar sebagai kondisi yang
dihasilkan akibat tindakan pelaku pemasaran serta lingkungan pemasaran yang
mendukung terjadinya perdagangan, yang meliputi infrasruktur pemasaran dan
kebijakan pemerintah, yang menyebabkan harga di suatu pasar ditransformasikan
ke pasar lainnya. Integrasi pasar merupakan sebuah konsep dimana harga-harga
pada pasar yang terpisah secara spasial atau pasar yang merupakan level yang
berbeda dalam suatu supply chain digerakkan oleh mekanisme penawaran dan
permintaan. Menurut Fackler dan Goodwin (2001) penggunaan analisis korelasi
dalam menguji integrasi pasar di negara berkembang tidak memadai dimana
sering terjadi fragmentasi pasar karena transportasi dan infrastruktur komunikasi
serta pergerakan politik yang tidak stabil sehingga digantikan dengan analisis
regresi dinamis.
Keterpaduan pasar terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai,
dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari suatu pasar ke pasar lain. Dengan
demikian, fluktuasi perubahan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat segera
ditangkap oleh pasar lain. Hal ini pada gilirannya merupakan faktor yang dapat
digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan keputusan produsen. Di samping itu
keterpaduan pasar dapat terjadi karena kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi
7
industri dapat menghasilkan komoditi yang menjadi subtitusi bagi komoditi lain
sehingga harga komoditi tersebut tidak independen lagi.
Berdasarkan hubungan pasar integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu: a) integrasi pasar spasial, merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara
pasar regional dan pasar regional lainnya, dan b) integrasi pasar vertikal,
merupakan tingkat keterkaitan hubungan suatu lembaga pemasaran dengan
lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran.
Integrasi Spasial
Menurut Tomek dan Robinson (1990), hubungan suatu harga dari pasar
yang terpisah secara geografis dapat dianalisa dengan konsep integrasi pasar
spasial. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan model keseimbangan
spasial. Model ini dikembangkan dengan menggunakan kurva excess demand dan
excess supply pada dua wilayah yang melakukan perdagangan, sehingga
memungkinkan untuk dilakukan pendugaan harga yang terbentuk pada masingmasing pasar dan jumlah komoditi yang akan diperdagangkan.
Integrasi pasar spasial menunjukkan hubungan harga antar pasar yang
terpisah secara geografis yang dapat dianalisis dengan menggunakan model
keseimbangan harga spasial (Tomek dan Robinson, 1990). Model ini dapat
dijelaskan dengan mengembangkan kurva excess supply dan excess demand pada
dua daerah yang melakukan perdagangan. Model ini juga memungkinkan untuk
mengestimasi net price yang terbentuk di masing-masing daerah dan jumlah
komoditi yang diperdagangkan oleh dua pasar/daerah.
Sumber : Tomek dan Robinson, 1990
Gambar 4 : Kurva Supply dan Demand Daerah Potensial Surplus dan Daerah
Potensial Defisit.
Daerah A merupakan daerah berpotensi surplus dan daerah B merupakan
daerah berpotensi defisit. Dalam kondisi tanpa perdagangan (autarki), jumlah
komoditi yang diminta dan yang ditawarkan akan sama yaitu 0QA1 pada harga
sebesar 0PA1 di daerah A dan 0QB1 pada harga sebesar 0PB1 di daerah B. Pada
daerah A, jika harga yang terbentuk berada di atas tingkat harga PA1 yaitu PE
maka komoditi yang ditawarkan sebesar 0QA3 dan yang diminta sebesar 0QA2.
Sedangkan pada daerah B, jika harga yang terbentuk berada di bawah tingkat
harga PB1 yaitu PE maka komoditi yang ditawarkan sebesar 0QB3 dan yang
diminta sebesar 0QB2. Kelebihan penawaran (excess supply) di daerah A akan
8
ditransfer atau diekspor ke daerah yang mengalami kelebihan permintaan (excess
demand) yaitu daerah B untuk memenuhi kekurangan supply di daerah tersebut.
Integrasi harga spasial dapat diartikan sebagai transmisi harga antar pasar
yang direfleksikan dalam perubahan harga di pasar yang berbeda geografis untuk
komoditi yang sama. Menurut Ravallion (1986), jika terjadi perdagangan antara
dua wilayah, kemudian harga di wilayah yang mengimpor komoditi sama dengan
harga di wilayah yang mengekspor komoditi, ditambah dengan biaya transportasi
yang timbul karena perpindahan diantara keduanya maka dapat dikatakan
keduanya terjadi integrasi spasial.
Beberapa studi integrasi pasar komoditas pertanian sebelumnya banyak
mengacu pada model Ravallion. Dengan perkembangan model ekonometrika,
banyak studi yang menggunakan pendekatan time-series untuk melihat apakah
dua pasar atau lebih terintegrasi. Model Ravallion digunakan untuk melihat
transmisi harga dari pasar acuan ke pasar lokal. Model ini digunakan secara luas,
dikembangkan, dan didiskusikan dalam analisis integrasi pasar. Integrasi pasar
dengan menggunakan model ini dapat menentukan leading market diantara pasarpasar lokal. Berangkat dari persamaan sebagai berikut :
P1 = f1 (P2, P3, ..., Pn, Xi) …………………………………………….…(1)
Pi = fi (P1, Xi), (i = 2,.....,n) ……………………………………………..(2)
Dimana P adalah harga komoditi dan Xi adalah vektor yang menunjukkan
faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi harga di pasar lokal. Fungsi fi (i=
1,…..n) merupakan solusi dalam menentukan equilibrium pasar dan penambahan
biaya dari pedagang dalam menentukan lokasi penjualan. Persamaan (1) dan (2)
hanya mengukur harga pada waktu sekarang, maka memasukkan pengaruh time
lag pada harga akan memberikan struktur yang lebih dinamis.
N
n
P
it
=
it
=
a P
j 1
1t j
1j
+
a P
j 1
ij
1t j
b P
k 2
j 0
k
1j
kt j
+ X1tc1 + e1t ……………………(3)
n
n
P
n
+
b P
j 1
1j
1t j
+ X1tc1 + e1t
(i= 2,……n) ………….(4)
a. Market segmentation, leading market tidak mempengaruhi harga di ith
pasar local, jika
bij = 0 (j =0,…, n)………………………………………………………..(5)
.
b. Short-run market integration, kenaikan harga di leading market akan
dengan cepat direspon oleh ith pasar local apabila,
bio = 1, dan juga aij = bij = 0 (j= 1,…,n)……................................……...... (6)
Jika persyaratan (6) diterima sebagai parameter maka dapat disimpulkan
bahwa pasar lokal i terintegrasi dengan leading market pada periode satu lag.
n
a
j 1
ij
+ bij = 0…………………………………………………..........…(7)
c. Long-run market integration, keseimbangan pada jangka panjang
disuatu pasar berjalan dengan konstan tanpa dipengaruhi oleh efek dari pasar lokal
9
itu sendiri. Bila melihat persamaan (4) ketika Pit = P*i, P1t = P*1, dan eit =0 untuk
semua t, maka:
n
P *i
p * i bij
j 0
X c
it
i
n
1 aij
,……………………………....……………..(8)
j 1
Integrasi pasar membutuhkan persyaratan sebagai berikut:
n
a
j 1
n
ij
+
b
j 1
1j
= 1 ……………………………………....……………(9)
Bila parameter (9) terpenuhi maka perubahan harga dalam jangka pendek
yang diperlihatkan model akan konsisten dengan keseimbangan antara pasar di
leading market dengan pasar lokal. Jika integrasi jangka panjang diterima, maka
akan lebih efisien dalam mengestimasi parameter lainnya dan estimasi statistic
dapat dilakukan dengan model long-run integration. Persamaan (4) dalam
integrasi jangka panjang akan dapat ditulis ulang sebagai berikut:
∆Pit = (ait -1) (Pit-1 – P1t-1) +
n
a
j 2
j
n
+
j 1
(bi0 -1 +
a
k 1
ik
ij
(Pit-j – P1t-j) + bi0∆P1t
+ bik) ∆P1t-j + Xit ci + eit ……..………...(10)
Model error correlation ini dapat diartikan bahwa perubahan di pasar lokal
merupakan pengaruh dari perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (leading
market).
Tinjauan Empiris
Penelitian mengenai integrasi baik spasial maupun vertical pada komoditas
pertanian banyak sekali dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat dari
kenaikan harga international bagi produsen dalam negeri. Tahir dan Riaz (1997)
meneliti tentang integrasi komoditi pertanian di Punjab, Pakistan menggunakan
model Ravallion menyimpulkan bahwa untuk produk pertanian integrasi terjadi
pada jangka panjang sedangkan untuk integrasi jangka pendek hanya terjadi untuk
produk tertentu. Tingkat integrasi pasar ini tidak terlepas dari ukuran pasar dari
komoditi, kecepatan transmisi guncangan harga dari pasar mengacu pada pasar
lokal. Integrasi pasar memiliki dampak terhadap kebijakan hal ini berlaku untuk
komoditi beras, beberapa pasar beras yang ditemukan tidak terintegrasi bahkan
dalam jangka panjang dan hal ini menunjukkan bahwa ada potensi untuk kondisi
permintaan lokal.
Hasil analisa Rashid (2004) mengenai integrasi spasial pasar jagung
dengan menggunakan data harga mingguan untuk dua periode wakta di Uganda
sejak awal 1990-an mendapatkan tiga kesimpulan yaitu; Pertama, dibandingkan
dengan tahun-tahun awal liberalisasi, diwakili oleh periode 1993-1994-waktu,
tingkat integrasi dalam pasar jagung Uganda tampaknya telah meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Kedua, studi ini menemukan bahwa daerah utara yang
merupakan daerah konflik terus kekurangan integrasi dengan pasar sentral, tak
satu pun dari dua kabupaten dipertimbangkan dalam penelitian ini ditemukan
10
terintegrasi dengan pasar konsumsi utama. Null hipotesis bahwa pasar ini berbagi
tren stokastik umum dengan lokasi lain ditolak pada tingkat kurang dari 5% dari
signifikansi. Ketiga, hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa hubungan kausal bidirectional selama periode 1999-2001 integrasi pasar setelah adanya liberalisasi
pasar membaik dalam beberapa tahun terakhir.
Penelitian Ghafoor dan Aslam (2012) tentang integrasi dan transmisi harga
beras di Pakistan, analisis data menunjukkan bahwa lima pasar beras utama
Pakistan yang terintegrasi satu sama lain secara keseluruhan. Integrasi pair-wise
pasar ini menunjukkan adanya kointegrasi vektor. Dengan demikian mungkin
akan mengungkapkan bahwa pasar beras di negara tersebut terintegrasi satu sama
lain dan sinyal harga dan arbitrase terkait dipraktekkan dengan baik. Vektor
penyesuaian diukur melalui Error Correction Mechanism menunjukkan bahwa
dibutuhkan hampir 4-5 bulan untuk menyesuaikan setiap guncangan jangka
pendek di pasar beras dari Pakistan. Pasar ini menyesuaikan 8-19 persen dari
disequilibrium per unit waktu yaitu satu bulan. Dalam kasus transmisi harga dari
pasar internasional ke pasar beras dalam negeri Pakistan, ditemukan bahwa tidak
terjadi kointegrasi. Ini mungkin karena alasan bahwa Pakistan sendiri adalah
eksportir besar beras dan kurang tergantung pada pasar internasional untuk
pembentukan harga di pasar beras domestik.
Penelitian Nga dan Lantican (2008) mengenai integrasi spasial pada pasar
beras di Vietnam yang menganalisis pola dan besaran integrasi pasar
menggunakan analisis LOP (Law of One Price) dan speed of adjustment long run
equilibrium dengan kointegrasi. Hasil penelitian menunjukan hanya 9 dari 34
pasar beras yang terhubung pada satu kesatuan pasar, namun harga dapat
ditransmisikan dengan baik diantara pasar yang terintegrasi. Harga ekspor beras
dari Vietnam dan Thailand terkointegrasi dan terbukti menuju ke LOP, dan
penghilangan kuota ekspor tidak berpengaruh signifikan dalm penentuan harga di
kedua negara tersebut. Studi ini juga menyarankan bahwa untuk meningkatkan
harga ekspor beras maka Vietnam harus menerapkan teknologi pasca panen dan
mengembangkan varietas beras, dan juga mengembangkan pemasaran yang
terintegrasi dari petani dan eksportir.
Penelitian Bustaman (2003) mengenai integrasi pasar beras di Indonesia
menyimpulkan bahwa provinsi yang memiliki hubungan self-sufficietnt-defisit dan
surplus defisit memiliki derajat integrasi yang tinggi, sedangkan provinsi yang
memiliki hubungan self-sufficient-self-sufficient memiliki derajat integrasi rendah.
Hubungan integrasi pasar antara dua pasar dapat terjadi meskipun tidak terhubung
perdagangan dan arus barang, faktor yang menyebabkan hal ini adalah adanya
arus informasi yang baik sehingga kedua pasar dapat terhubung dalam satu sistem
perdagangan yang sama. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pada komoditi
beras di Indonesia terdapat tiga pasar yang berperan sebagai pasar acuan yaitu
Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Kerangka Pemikiran.
Stabilisasi harga pangan merupakan salah satu program kebijakan
pemerintah, produk pangan pokok seperti beras, gula, kedelai, jagung, daging sapi
dan daging ayam menjadi barang yang penting dikendalikan oleh pemerintah
karena menyangkut kepentingan orang banyak. Pengetahuan pemerintah dalam
11
menelaah struktur pasar untuk berbagai komoditi tersebut sangatlah penting dalam
menjaga stabilitas harga komoditi agar proses pengambilan keputusan dapat
efektif. Apabila struktur pasar atau para pedagang terhubung kepada sistem
perdagangan, maka harga-harga yang berlaku pada semua pasar akan bergerak
bersama-sama membentuk pasar yang terpadu. Pentingnya pengetahuan mengenai
keterpaduan pasar dalam pengambilan kebijakan intervensi pasar sehingga
pemerintah dapat menghindari intervensi ganda dan dapat mengurangi beban
anggaran.
Efektifitas pasar antar provinsi di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai hal
seperti kebijakan perdagangan yang berbeda tiap provinsi, kondisi geografis dan
jarak ekonomi antar provinsi menyebabkan tingkatan integrasi yang berbeda antar
wilayah. Hubungan integrasi antar wilayah yang terpisah secara geografis
menyebabkan perubahan harga pada suatu pasar yang dijadikan acuan akan
ditransformasikan ke pasar-pasar lainnya. Jika hubungan kedua pasar terintegrasi
maka peningkatan harga di pasar acuan akan merambat ke pasar lainnya. Apabila
tingkat volatilitas harga di pasar acuan tidak dijaga dengan baik maka harga di
pasar yang terintegrasi akan bergejolak dan dapat berkembang ke seluruh pasar
dalam negeri di Indonesia.
Gambar 5. Kerangka Pemikiran
Oleh karena itu penulis mencoba melakukan kajian untuk melihat
struktur tataniaga perdagangan domestik sehingga terlihat dengan jelas integrasi
pasar antara provinsi di Indonesia. Penelitian ini juga untuk melihat integrasi pasar
antara provinsi sebagai produsen produk pangan dengan provinsi yang
mempunyai kekurangan stok atau sebagai provinsi konsumen. Pendekatan
integrasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan model
Ravallion (1986)
12
3. METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder time series bulanan dari tahun
2009 s/d tahun 2013, yang terdiri dari harga eceran bulanan di 33 propinsi di
Indonesia (menggunakan data dari Kementerian Perdagangan periode Januari
2009 s/d Desember 2013). Data yang digunakan berasal dari Badan Pusat Statistik
(BPS), Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan IMF.
Metode Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan suatu teknik analisis yang sederhana yang
dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan
menyajikan dalam bentuk ulasan, table maupun grafik dengan tujuan
memudahkan dalam menafsirkan hasil observasi. Analisis deskriptif pada
penelitian ini untuk melihat dinamika baik harga, produksi dan nilai impor
komoditi pangan di Indonesia.
Analisis Regresi Model Ravallion
Model Ravallion (1986) telah digunakan secara luas, dikembangkan, dan
didiskusikan dalam analisis integrasi pasar. Secara umum model persaman
matematik yang dikembangkan oleh Heytens (1986), adalah sebagai berikut:
Pt= b1Pt-1+ b2(Rt-Rt-1)+ b3Rt-1+ b3 Xt…………………………………..(11)
Jika diasumsikan bahwa deret waktu di pasar lokal (P) dan di pasar acuan (R)
mempunyai pola musiman yang sama, sehingga tidak perlu memasukkan peubah
dummy untuk musiman (Xt). Maka persamaan (11) akan menjadi:
Pt= b1Pt-1+ b2(Rt-Rt-1)+ b3Rt-1+ εt………………………………………(12)
Untuk menunjukkan pengaruh harga masa lalu pasar provinsi dan harga
masa lalu pasar acuan terhadap pembentukkan harga produsen di pasar regional
pada waktu tertentu digunakan Index of Market Connection (IMC). IMC
dikembangkan oleh Timmer (1986) yang didefinisikan sebagai rasio koefisien
pasar provinsi dengan koefisien pasar acuan, yaitu:
IMC =
b1
………………………………………………………………(13)
b3
Menurut Timmer (1986), IMC dengan nilai kurang dari satu
mengindikasikan terjadinya integrasi jangka pendek. Secara umum, jika nilai IMC
semakin mendekati nol maka semakin tinggi derajat integrasi. Dalam hal ini b2
merupakan ukuran derajat perubahan harga di pasar acuan yang ditransmisi ke
pasar regional. Dalam pendekatan ini, hipotesis integrasi jangka pendek
dirumuskan sebagai berikut:
H0 : b1/b3 = 0
H1 : b1/b3 ≠ 0
13
Nilai b1/b3 = 0 jika nilai b1 = 0, sehingga hipotesis di atas dapat ditulis:
H0 : b1 = 0
H1 : b1 ≠ 0
Untuk uji statistik digunakan:
b 0
…………………………………………………………..(14)
thitung = 1
S (b1 )
Bila hipotesis nol ditolak artinya pasar tidak terintegrasi dalam jangka
pendek. Untuk integrasi jangka panjang dirumuskan hipotesis:
H0 : b2 = 1
H1 : b2 ≠ 1
Nilai thitung diperoleh dari:
b 1
thitung = 2
…………………………………………………………..(15)
S (b2 )
Integrasi pasar spasial antar provinsi dapat dilihat dengan dua cara yaitu
integrasi jangka pendek yang ditunjukkan oleh nilai IMC dan juga integrasi
jangka panjang yang ditunjukan dengan nilai b2. Nilai IMC menunjukan indeks
keterkaitan antara pasar pengikut dengan pasar acuan, pasar lokal dikatakan
terintegrasi dalam jangka pendek jika nilai IMC nya < 1, jika nilai IMC lebih
besar dari 1 maka pasar dapat dikategorikan terintegrasi secara lemah dalam
jangka pendek. Sedangkan apabila nilai IMC < 0 maka pasar dapat dikatakan
terisolasi dari pasar acuan, artinya harga di pasar acuan tidak memiliki pengaruh
dalam pembentukan harga di pasar local. Untuk melihat besaran pengaruh harga
pasar acuan pada waktu sebelumnya (Rt-1) terhadap pasar local (Pt) dilihat melalui
nilai koefisien b3. Nilai koefisien b3 menunjukan besarnya presentase perubahan
harga di pasar local akibat perubahan harga di pasar acuan pada waktu
sebelumnya. Artinya jika harga bulan lalu di pasar acuan berubah sebesar 1 persen
maka harga di pasar local pada saat sekarang berubah sebesar b3 persen.
Integrasi pasar jangka panjang menunjukkan bagaimana perubahan harga
berdasarkan waktu di pasar acuan secara langsung diteruskan ke pasar local,
integrasi jangka panjang diwakili oleh koefisien b2 (marjin harga bulan ini dengan
bulan lalu). Nilai koefisien b2 dari persamaan menunjukan besaran presentase
perubahan harga di pasar local akibat perubahan harga di pasar acuan. Jika harga
di pasar acuan berubah sebesar 1 persen maka harga di pasar local akan berubah
sebesar b2 persen, suatu pasar terintegrasi dalam jangka panjang apabila nilai
koefisien b2 nya mendekati nilai 1. Sedangkan jika nilai b2 < 0, maka dapat
dikatakan pasar tersebut terisolasi atau pasar tersebut bergerak secara mandiri.
Koefisien b2 juga memperlihatkan elastisitas transimisi harga yaitu
presentase perubahan harga di pasar lokal sebagai akibat dari perubahan harga di
pasar acuan. Suatu pasar dapat dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga di
pasar acuan dapat ditransformasikan kepada pasar lokal. Elastisitas transmisi akan
lebih tinggi pada pasar yang terintegrasi dibanding dengan pasar yang tidak
terintegrasi. Elastisitas transmisi harga yang tinggi akan memperlihatkan bahwa
pasar tersebut terintegrasi secara spasial, hal ini juga akan memperlihatkan
efisiensi pemasaran dan informasi.
14
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi dan Kebijakan Harga Pangan di Indonesia
Pada Gambar 6 menunjukan peta produksi di Indonesia terlihat bahwa
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Lampung merupakan daerah produsen
utama komoditi beras, gula, daging sapi, jagung, kedelai dan daging ayam.
Komoditi tersebut merupakan komoditi yang sangat penting bagi pemenuhan
kebutuhan pangan di Indonesia. Jawa Barat merupakan produsen terbesar untuk
daging ayam dan beras dengan angka 37.34 persen dari produksi daging ayam dan
16.99 produksi beras nasional. Jawa Timur merupakan produsen terbesar gula,
daging sapi, kedelai dan jagung dengan angka 48.44 persen dari produksi gula
nasional, daging sapi sebesar 21.69 persen produksi nasional, 31.13 persen
produksi jagung nasional dan 42.49 persen produksi kedelai nasional Indonesia.
Bila melihat data konsumsi per kapita beras lima tahun belakangan dapat
disimpulkan bahwa pergeseran konsumsi dimana mengalami penurunan dari tahun
ke tahun. Data BPS 2014 menunjukan konsumsi tahun 2009 yakni sebesar 91.302
kg/kapita/tahun sedangkan pada 2013 konsumsi sudah berubah menjadi 85.514
kg/kapita/tahun atau rata-rata pertumbuhan konsumsi sebesar -1.62 persen. Bagi
beberapa kalangan beras digantikan oleh makanan pokok lain selain beras misal
singkong, kentang, ubi dan beberapa makanan berkarbohidrat lainnya, serta
adanya gerakan mengurangi konsumsi beras mengakibatkan penurunan tingkat
konsumsi beras. Pada tahun 2013 konsumsi turun sebesar 6,34 persen
dibandingkan tahun 2009, hal ini berdampak positif dalam rangka perolehan
swasembada beras bagi Indonesia.
Sumber. BPS, 2014
Gambar 6. Peta Produksi Pangan Seluruh Provinsi di Indonesia Tahun 2013
Menurut BPS pada tahun 2013 produksi daging sapi di Indonsia mencapai
545 621 ton. Pulau Jawa masih menjadi penghasil daging sapi di Indonesia
dengan total 317 506 ton atau 58.19 persen untuk keenam provinsi yang ada di
15
pulau jawa. Sedangkan untuk provinsi diluar pulau jawa, provinsi Sumatera Utara
memiliki produksi mencapai 6 persen dari total produksi Indonesia dengan angka
32 171 ton. Sumatera Barat dengan 4 persen atau 23 543 ton. Pada tahun 2014
pemerintah membuat kebijakan untuk membatasi kuota impor baik bakalan
maupun daging sapi untuk meningkatkan sumber daya sapi lokal yang selama ini
tidak mampu bersaing, yaitu dengan menetapkan volume impor sebesar 500.000
ekor /tahun sejak 2011 hingga semakin menipis menjadi 80.000 ekor untuk
periode tahun 2013 (Rapat Koordinasi Tingkat Menteri Yang Dipimpin Menteri
Koordinator Ekonomi, 28 November 2012 yang dikutip dari Dokumen Berita
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan).
Kedel
KOMODITI PANGAN ANTAR PROVINSI DI INDONESIA
ARNANTO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Integrasi Pasar
Spasial Komoditi Pangan Antar Provinsi di Indonesia adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Arnanto
NRP H151120191
RINGKASAN
Arnanto. Analisis Integrasi Pasar Spasial Komoditi Pangan Antar Provinsi
di Indonesia. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan WIWIEK RINDAYATI.
Masalah utama yang dihadapi oleh pemerintah saat ini adalah pemenuhan
kebutuhan pangan bagi masyarakat baik dari segi availability maupun
accessability to food. Produksi pangan dalam negeri yang masih jauh dari
kebutuhan konsumsi membuat Indonesia menjadi importir beberapa komoditas
pangan misal beras, gula, kedelai dan daging sapi. Bahkan kedelai pada tahun
2013 nilai kebutuhan impor mencapai lebih dari 69.59 persen kebutuhan nasional,
proses perdagangan yang tidak efektif akan menyebabkan proses transmisi harga
menjadi tidak efektif pula.
Intervensi pasar yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan dalam rangka
perlindungan baik petani sebagai produsen maupun masyarakat sebagai konsumen
bahan pangan merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan. Permasalahan
efektifitas alur perdagangan dan akses informasi antar daerah merupakan hal yang
sangat penting, pengurangan rintangan perdagangan maupun perbaikan akses
informasi akan membuat proses efektif dan efisien. Alur perdagangan yang baik
tanpa adanya hambatan perdagangan serta peningkatan akses informasi akan
membuat integrasi pasar menjadi lebih efektif.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis integrasi pasar yang terjadi
antar wilayah di Indonesia dan menganalisis besaran elastisitas transmisi
perubahan harga didaerah akibat perubahan harga di pasar acuan. Analisis
menggunakan metode integrasi Ravallion untuk melihat tingkat integrasi antar
daerah dan juga transmisi harga. Data yang digunakan adalah harga eceran di 33
provinsi di Indonesia dengan rentang waktu 5 tahun sejak tahun 2009 sampai
dengan 2013.
Hasil analisis menggunakan nilai IMC (Index of Market Connection)
sebagai indikator integrasi jangka pendek dan b2 sebagai indikator integrasi
jangka panjang menunjukan bahwa pasar komoditi pangan memiliki beberapa
daerah yang dijadikan acuan. Pada komoditi beras dapat disimpulkan bahwa
Jakarta dan Sulawesi Selatan merupakan daerah yang menjadi daerah acuan
utama, daerah tersebut terintegrasi dengan sebagian besar wilayah di Indonesia.
Komoditi gula daerah yang menjadi provinsi acuan utama adalah Jakarta. Pada
daging sapi provinsi Jawa Tengah menjadi daerah acuan utama. Pada daging
ayam provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jawa Barat menjadi provinsi acuan
utama. Sedangkan untuk komoditi kedelai dan jagung daerah tidak terdapat daerah
yang dijadikan daerah acuan utama. Oleh karena itu dalam rangka stabilisasi
harga di Indonesia, provinsi tersebut harus dijaga dengan baik sehingga lebih
efektif dan efisien dalam menahan gejolak harga sehingga tidak meluas ke daerah
lainnya.
Tingkat integrasi spasial dari komoditi beras, gula, daging ayam dan
daging sapi di Indonesia mendekati pasar persaingan sempurna (competitive
market) dibandingkan tingkat integrasi kedelai dan jagung. Besaran nilai b2
sebagai indikator elastisitas transmisi harga menunjukan bahwa perubahan harga
di provinsi acuan dapat dengan baik ditransmisikan ke sebagian besar provinsi
lainnya di Indonesia namun perubahan harga di provinsi acuan tidak
ditransmisikan dengan baik kedaerah Indonesia Bagian Timur.
Analisis integrasi model Ravallion tidak dapat menjelaskan penyebab
terjadinya integrasi, sehingga diperlukan kajian lebih lanjut terhadap Indonesia
Bagian Timur baik dari segi kebijakan seiiring otonomi daerah ataupun adanya
market failure yang terjadi sehingga dapat menemukan solusi kebijakan agar
integrasi dapat terjadi dengan lebih baik. Perlunya intervensi pemerintah dalam
mengawasi tataniaga kedelai dan jagung sebagai komoditi yang diperlukan oleh
seluruh lapisan masyarakat di Indonesia. Pemerintah diharapkan dapat
membangun akses informasi maupun perbaikan infrastruktur dalam rangka
menurunkan jarak ekonomi di Indonesia Bagian Timur, sehingga nilai derajat
integrasi akan dapat lebih baik.
Kata Kunci : Pangan, Integrasi Pasar, Model Ravallion.
SUMMARY
Arnanto. Spasial Market Integration Analysis of Food Between Province in
Indonesia. Supervised by SRI HARTOYO and WIWIEK RINDAYATI.
Government major problem now is food prices stabilization, through food
production and trade for fulfillment consumption in terms of both availability and
accessability food. Food production that’s less than consumption, making
Indonesia has to import some of food commodities such as rice, sugar, soy and
beef. In 2013 soybean import reached more than 69.59% of national requirements,
if the trading effective will cause the price transmission also becomes effective.
Domestic prices stabilitation in order to protect both the farmers as
producers and society as consumers is important for government. Trade flows
between regions, distance between consumer with producers and information
access is a problem for price stabilization. Government’s ability to determine an
appropriate pricing policy depends on how far the government understands of
market structure, behavior and effectiveness. Trade barriers and market failure
reduction, improved access information would make market integration effective.
This study aims to analyze the market integration and the price
transmission elasticity that occurs between regions in Indonesia. To capture level
integration and price transmission between regions using Ravallion integration
model analysis. The used data are 33 provinces retail prices in Indonesia with a
span of 5 years from 2009 to 2013.
The results used IMC (Index of Market Connection) as a short run
indicator and b2 as long run indicator showed that Jakarta and South Sulawesi
region is becoming the leading market, both is integrated with most areas in
Indonesia. Sugar shows that Jakarta as the leading market, Meat shows that
Central Java, Chicken meat shows that Central Java, East Java and West Java as
the leading market. Therefore in order to stabilize food price, thus province should
be maintained properly more effective and efficient in curbing price volatility.
The rice, sugar, meat and chicken spatial integration level has better
degree of integration than soya and maize commodity. The results shows that rice,
sugar, meat and chicken market close to competitive market, b2 as degree of
elasticity the price transmision and long run integration shows that Eastern
Indonesia has weak of degree.
Ravallion integration analysis can not explain the cause of two areas
integrated or not, so it is necessary to study towards further for Eastern Indonesia
in terms of either regional autonomy policy or any market failure that occurs.
Government intervention for soybeans and maize is important to find a solutin for
better integrated degree. Improve infrastructure and build information access in
order to reduce the economic gap in Eastern Indonesia, made better value of the
integration degree.
Keywords: Food, Market integration, Ravallion model.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS INTEGRASI PASAR SPASIAL
KOMODITI PANGAN ANTAR PROVINSI DI INDONESIA
ARNANTO
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Ekonomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Prof Dr M Firdaus, SP MSi
Judul Tesis : Analisis Integrasi Pasar Spasial Komoditi Pangan Antar Provinsi
di Indonesia
Nama
: Arnanto
NIM
: H151120191
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS
Ketua
Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Ekonomi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
Tanggal Ujian: 22 Januari 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian ini ialah integrasi pasar komoditi pangan, dengan judul
Analisis Integrasi Pasar Spasial Komoditi Pangan Antar Provinsi di Indonesia .
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Sri Hartoyo, MS
selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati, MS selaku
anggota komisi pembimbing, yang meluangkan waktu dan kesabaran untuk
memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat dalam
penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Prof Dr M Firdaus,
SP MSi dan Dr Alla Asmara, SP MSi atas saran dan masukannya demi perbaikan
tesis ini. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr
Ir R Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi
Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada,
Kementerian Perdagangan Republik Indonesia yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada
Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. Tak lupa ucapan
terima kasih kepada teman-teman IPB Kemendag atas segala bantuannya selama
penulis menyelesaikan pendidikan di IPB. Ungkapan terima kasih terdalam untuk
istriku Siti Fathonah, SH dan anakku tercinta Kenzie dan Arkenzo atas segala doa,
kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang diberikan. Serta Bapak (Alm), Ibu
dan adik-kakakku yang senantiasa mendoakan sehingga penulis mampu
menyelesaikan pendidikan ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan dikarenakan
keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung
jawab penulis. Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi
dalam proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di
masa mendatang.
Bogor, Januari 2015
Arnanto
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Tinjauan Empiris
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
3 METODE
Jenis dan Sumber Data
Metode Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisis Regresi Model Ravallion
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi dan Kebijakan Harga Pangan di Indonesia
Dinamika Harga Komoditi Pangan di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Beras di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Beras di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Gula di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Gula di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Daging Ayam di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Daging Ayam di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Daging Sapi di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Daging Sapi di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Kedelai di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Kedelai di Indonesia
Integrasi Jangka Pendek Pasar Jagung di Indonesia
Integrasi Jangka Panjang Pasar Jagung di Indonesia
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP
vii
viii
1
1
4
5
5
5
9
9
9
10
11
12
12
12
12
12
14
14
17
24
25
29
33
35
38
40
40
44
45
48
49
53
53
54
55
58
DAFTAR TABEL
1. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Beras
di Indonesia
2. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Gula di
Indonesia
3. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Daging
Ayam di Indonesia
4. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Daging
Sapi di Indonesia
5. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Kedelai
di Indonesia
6. Hasil Pendugaan Regresi Model Ravallion Komoditi Jagung
di Indonesia
26
30
36
40
44
50
DAFTAR GAMBAR
1. Pergerakan Harga Beras, Gula, Jagung, Kedelai, Daging Sapi,
Daging Ayam Nasional Periode 2001 – 2013
2. Rata-Rata Harga Beras di 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2013
3. Koefisien Variasi Harga Gula di 33 Provinsi di Indonesia Tahun
2013
4. Kurva Supply dan Demand Daerah Potensial Surplus dan
Daerah Potensial Defisit
5. Kerangka pemikiran
6. Peta Produksi Pangan Seluruh Provinsi di Indonesia Tahun
2013
7. Komposisi Produksi dan Impor Pangan Indonesia Tahun
2009 s/d 2013
8. Dinamika Harga Komoditi Beras di 33 Provinsi di Indonesia
Tahun 2009 s/d 2013
9. Dinamika Harga Komoditi Gula di 33 Provinsi di Indonesia
Tahun 2009 s/d 2013
10. Dinamika Harga Komoditi Daging Ayam di 33 Provinsi di
Indonesia Tahun 2009 s/d 2013
11. Dinamika Harga Komoditi Daging Sapi di 33 Provinsi di
Indonesia Tahun 2009 s/d 2013
12. Dinamika Harga Komoditi Jagung di 33 Provinsi di
Indonesia Tahun 2009 s/d 2013
13. Dinamika Harga Komoditi Kedelai di 33 Provinsi di
Indonesia Tahun 2009 s/d 2013
14. Alur Transmisi Harga Beras di 33 Provinsi di Indonesia
15. Alur Transmisi Harga Gula di 33 Provinsi di Indonesia
16. Alur Transmisi Harga Daging Ayam di 33 Provinsi di
Indonesia
17. Alur Transmisi Harga Daging Sapi di 33 Provinsi di
Indonesia
18. Alur Transmisi Harga Kedelai di 33 Provinsi di Indonesia
19. Alur Transmisi Harga Jagung di 33 Provinsi di Indonesia
1
2
3
7
10
14
16
18
19
20
21
22
23
28
34
39
44
48
52
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Jaminan ketersediaan pangan dengan harga yang terjangkau sangat penting
sebagai penguatan stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia. Permintaan pangan
yang meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan tidak diimbangi oleh
jumlah penawaran mendorong terjadinya lonjakan harga pada berbagai produk
pangan. Pemenuhan kekurangan kebutuhan melalui impor menyebabkan harga
dunia juga mempengaruhi lonjakan harga dalam negeri. Data harga komoditi
pangan dunia menunjukan bahwa terjadi lonjakan harga yang sangat tinggi pada
periode tahun 2007 sampai 2008, bahkan pada beras lonjakan harga mencapai
110.65 persen (IMF, 2014). Trend harga dunia dari tahun 2007 sampai 2013
menunjukan bahwa harga komoditi gula, kedelai, beras dan jagung masih positif.
Trend harga pangan dunia akan menyebabkan pengaruh yang sangat tinggi
terhadap pembentukan harga dalam negeri. Angka impor produk pangan
Indonesia yang masih tinggi menyebabkan harga dunia sangat berpengaruh
terhadap stabilitas harga di dalam negeri. Selain angka impor, penurunan produksi
dan tidak berimbangnya jumah permintaan dan penawaran bahan pangan dari
dalam negeri juga menyebabkan harga pangan menjadi fluktuatif. Konversi lahan
untuk kepentingan sektor non-pertanian, kecilnya margin usaha tani serta berbagai
kendala dalam produksi pangan yang berakibat pada rendahnya produksi dan juga
pola konsumsi pangan yang inelastis menyebabkan stabilitas harga pangan
merupakan hal yang tidak mudah untuk dilakukan.
Data Kementerian Perdagangan menunjukan bahwa harga beberapa
komoditi pangan di pasar domestik meningkat secara dramastis selama periode
setelah Januari 2007. Bahkan pada komoditi kedelai kenaikan harga pada periode
bulan Januari 2008 mencapai 45.45 persen dibandingkan Januari 2007. Kurang
meratanya penyediaan pangan, timpangnya jalur distribusi dari produsen ke
konsumen, ketergantungan produksi komoditi pangan terhadap iklim menjadi
pemicu kenaikan harga pangan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem
produksi dan sistem distribusi beberapa pangan terganggu karena kualitas sarana
dan prasarana transportasi banyak rusak.
Bila melihat data pergerakan harga komoditi daging sapi, daging ayam,
beras, gula jagung dan kedelai kecenderungan harga untuk keenam komoditi
tersebut mengalami kenaikan dari tahun 2001 hingga 2013. Perkembangan harga
domestik pada era liberalisasi perdagangan, marjin harga yang terjadi
menunjukkan tren yang meningkat. Secara umum pergerakan harga komoditas
pangan nasional dapat dilihat pada Gambar 1. Perubahan harga enam komoditas
pangan di Indonesia pada Desember 2008 mengalami perubahan rata-rata
mengalami kenaikan sebesar 193.42 persen dibandingkan Januari 2004, angka ini
lebih besar dari perbandingan kenaikan harga Desember 2013 yang naik sebesar
146.87 persen dibanding Januari 2009. Bila melihat perbandingan kedua angka
terlihat bahwa stabilisasi harga pada periode 2009 sampai dengan 2013 lebih baik
daripada periode sebelumnya.
Dalam beberapa tahun terakhir harga komoditas telah berfluktuasi secara
dramatis, semakin penting bagi pembuat kebijakan untuk memahami sejauh mana
guncangan harga di konsumen dapat ditransmisikan kepada daerah produsen.
2
Struktur pasar, pola perdagangan, pola geografis dan pemicu transmisi guncangan
harga tersebut menjadi faktor yang penting dalam penentuan kebijakan dalam
proses stabilitas harga pangan. Menurut kajian worldbank tentang integrasi antara
pasar dunia dengan provinsi di Indonesia memperlihatkan bahwa daerah di pulau
jawa memiliki kecepatan penyesuaian terhadap shock harga dunia paling cepat.
Salah satu tanda yang jelas bahwa dua pasar terintegrasi adalah ketika guncangan
yang terjadi di satu pasar ditransmisikan kepada pasar lainnya (Fackler dan
Goodwin, 2001).
Sumber
: Direktorat Bapokstra, Kementerian Perdagangan, 2014
Gambar 1. Pergerakan Harga Beras, Gula, Jagung, Kedelai, Daging Sapi,
Daging Ayam Nasional Periode 2001 – 2013.
Pemerintah dalam rangka mengatasi permasalahan stabilisasi harga telah
mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian No. KEP28/M.EKON/05/2010 tentang Tim Koordinasi Stabilisasi Pangan Pokok yang
bertugas merencanakan dan merumuskan kebijakan stabilisasi pemenuhan
kebutuhan dan harga pangan pokok, mengoordinasikan pelaksanaan stabilisasi
kebutuhan dan melakukan pemantauan dan evaluasi stabilitas harga pangan pokok
beras, gula, minyak goreng, terigu, kedelai,daging sapi, daging ayam, dan telur
ayam. Stabilitas gejolak harga dapat dicapai dengan intervensi pemerintah baik
melalui kebijakan cadangan bahan pangan di gudang BULOG maupun dengan
kebijakan impor dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan.
Pada tahun 2013 rata-rata harga nasional beras mencapai nilai Rp.8 408
dimana provinsi dengan harga beras terendah ada di Gorontalo dengan harga
mencapai Rp.6 582 rupiah sedangkan harga tertinggi terdapat di Provinsi Papua
dengan harga beras berkisar Rp.11 357 (Gambar 2). Angka koefisien variasi harga
beras antar provinsi menunjukan angka 0.1161, angka ini menunjukan besarnya
penyimpangan harga yang terjadi terhadap harga rata-rata, semakin tinggi nilai
koefisien menunjukan bahwa fluktuasi harga yang terjadi semakin besar.
3
Perbedaan harga yang tinggi diantara Gorontalo yang mencapai Rp.4 775 atau
mencapai 72.55 persen dari harga Papua memperlihatkan kurang maksimalnya
hubungan perdagangan antar provinsi di Indonesia.
Sumber
: Direktorat Bapokstra, Kementerian Perdagangan, 2014
Gambar 2. Rata-Rata Harga Beras di 33 Provinsi di Indonesia Tahun 2013
Perbedaan harga komoditi pangan antar provinsi pada tahun 2013
menunjukan bahwa komoditi jagung dengan nilai koefisien variasi 0.2224 dan
kedelai 0.1875 menunjukan tingkat kesenjangan antar provinsi. Perbedaan harga
antar provinsi ditunjukan dengan nilai koefisien variasi harga pada tahun 2013
pada komoditi gula menunjukan angka 0.0907, daging sapi 0.1215 dan daging
ayam 0.1678 (Kementerian Perdagangan 2014, diolah). Besarnya penyimpangan
harga terhadap harga rata-rata nasional memperlihatkan bahwa perbedaan harga
antar provinsi pada komoditi pangan masih menunjukan angka yang besar.
Perumusan Masalah
Harga dari komoditas pangan yang diperdagangkan secara internasional
telah meningkat tajam sejak tahun 2002, dan kenaikan yang paling dramatis
terjadi selama periode dari Januari 2006 sampai Juni 2008. Kenaikan harga
komoditas mempunyai dampak positif atau negatif bergantung pada sejauh mana
suatu negara tertentu menjadi importir netto atau eksportir netto komoditas
bersangkutan. Indonesia adalah importir neto dari sejumlah komoditas makanan
pokok, sehingga diperkirakan kenaikan harga komoditas tersebut mempunyai
dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia.
Pengendalian harga pangan yang dilakukan oleh pemerintah terjadi karena
tidak seimbangnya supply dari produsen pertanian dengan trend permintaan
terhadap produk tersebut. Kebijakan stabilisasi harga yang dilakukan oleh
pemerintah bertujuan untuk memenuhi aspek availability dan accessability to
food. Ketersediaan bahan pangan dan juga accessability baik fisik maupun
ekonomi disetiap daerah dan setiap waktu dari konsumen dalam memperoleh
4
bahan pangan. Akses fisik berarti kemudahan dalam memperoleh bahan pangan
sedangkan akses ekonomi berkaitan dengan daya beli masyarakat.
Disamping produksi pangan yang tidak mencukupi kurang meratanya
penyediaan pangan bagi masyarakat juga menjadi pemicu kenaikan harga pangan.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem produksi dan sistem distribusi
beberapa pangan terganggu karena kualitas sarana dan prasarana transportasi
banyak rusak. Kebijakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) membuat daerah semakin memacu pendapatan dengan
retribusi yang tumpang tindih antar wilayah terutama pada segi pengangkutan
komoditas pertanian, sehingga mempengaruhi efisiensi perdagangan hasil
pertanian. Belum adanya peraturan khusus yang mengatur perdagangan hasil
pertanian antar daerah memerlukan perhatian sehingga dapat tercipta perdagangan
antar wilayah yang efektif dan efisien.
Koordinasi antar wilayah dalam rangka peningkatan perdagangan dan
pemenuhan kebutuhan produk pertanian antar daerah produsen harus menjadi
perhatian baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hubungan
perdagangan antar wilayah sangat penting dalam proses perbaikan dalam segi dan
accessability dalam memperoleh komoditi pangan. Daerah produsen bahan
pangan yang berpusat di pulau Jawa dan Sumatera dengan daerah konsumen yang
tersebar di seluruh Indonesia menyebabkan jarak ekonomis menjadi berbeda bagi
setiap daerah. Perbedaan jarak inilah yang menyebabkan kemampuan daerah
dalam memenuhi kebutuhan pangan akan berbeda, kondisi ini harus diperbaiki
sehingga proses perdagangan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien.
Sumber
: Direktorat Bapokstra, Kementerian Perdagangan, 2014
Gambar 3. Koefisien Variasi Harga Gula di 33 Provinsi di Indonesia Tahun
2013
Struktur alur perdagangan yang kurang baik akan menyebabkan harga
menjadi fluktuatif, volatilitas harga dapat dilihat dari nilai koefisien variasi pada
komoditi pangan tiap provinsi. Perbedaan nilai koefisien variasi tiap daerah
memperlihatkan bahwa kemampuan tiap provinsi dalam meredam gejolak harga
berbeda (Gambar 3). Untuk komoditi gula, nilai koefisien variasi terendah
terdapat di Kepulauan Riau dengan 0.0671 dan nilai tertinggi Sulawesi Barat
5
0.3307. Apabila dibandingkan dengan Jawa Timur sebagai produsen gula terbesar
di Indonesia dengan koefisen 0.1130, kemampuan Sulawesi Barat sebagai daerah
konsumen dalam meredam fluktuasi sangat rendah. Nilai koefisien variasi
memperlihatkan perbedaan kemampuan provinsi dalam meredam fluktuasi harga
serta perbedaan kemampuan daerah dalam mencari supply komoditi pangan ketika
permintaan tinggi.
Indonesia sebagai negara yang mencakup daerah lautan yang luas
menyebabkan proses distribusi yang menjadi sulit. Letak pasar konsumen bahan
pangan yang yang terpisah sangat jauh dengan daerah produksi dan tidak
berimbangnya jumlah produksi dan konsumsi membuat tingginya biaya
perdagangan menyebabkan lemahnya integrasi pasar komoditi pangan. Pada pasar
yang terintegrasi dengan hubungan perdagangan yang baik, penerapan intervensi
pemerintah dalam meredam fluktuasi harga dapat disalurkan kepada pasar-pasar
lainnya. Pelaksanaan kebijakan harga dapat dilakukan dengan biaya yang lebih
murah, sehingga apabila terjadi gejolak harga di suatu daerah dapat dilakukan aksi
efektif agar gejolak harga tersebut tidak meluas dan menjadi gejolak nasional.
Dari kajian Worldbank tentang pengembangan sektor perdagangan tahun
2011 meneliti mengenai integrasi spasial komoditi kedelai, jagung, beras, gula dan
minyak goreng. Menyimpulkan bahwa untuk komoditas yang menerima banyak
intervensi dari pemerintah seperti beras tingkat integrasinya akan sedikit lebih
tinggi. Tingkat integrasi spasial antar provinsi cukup signifikan sebagaimana
ditunjukan pergerakan harga bersama yang kuat, pada komoditi gula mempunyai
angka 83 % pasangan pasar provinsi terintegrasi, beras 76 % pasangan
terintegrasi, minyak goreng 30 % pasangan terintegrasi, jagung 28 % pasangan
terintegrasi dan komoditi kedelai 26 % pasangan pasar provinsi terintegrasi.
Beberapa aspek integrasi pasar yang perlu dipertimbangkan oleh pembuat
kebijakan mencakup luas, kecepatan, faktor penentu dan dampak geografis dari
transmisi harga. Derajat integrasi juga dapat memperlihatkan apakah struktur arus
perdagangan di Indonesia telah berjalan dengan baik atau tidak. Dengan
memahami semua aspek integrasi pasar tersebut, para pembuat kebijakan akan
lebih mampu merumuskan kebijakan yang mendatangkan manfaat bagi produsen,
sekaligus melindungi konsumen.
Untuk menjawab permasalahan penelitian tersebut adalah dengan
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah dinamika harga pangan di Indonesia?
2. Berapa besaran tingkat integrasi pasar pangan antar wilayah terjadi di
Indonesia?
3. Berapa besaran elastisitas transmisi perubahan harga didaerah akibat
perubahan harga di pasar acuan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah
dikemukakan maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Menganalisa dinamika harga komoditi pangan di Indonesia.
2. Menganalisa integrasi pasar pangan antar wilayah di Indonesia.
3. Menganalisa besaran elastisitas transmisi perubahan harga didaerah akibat
perubahan harga di pasar acuan
6
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
tingkat integrasi pasar komoditi pangan antar provinsi di Indonesia. Bagi
pemerintah dapat menjadi masukan dalam menentukan kebijakan yang akan
diambil khususnya dalam kebijakan perdagangan dalam upaya tercapainya
stabilitas harga pangan antar wilayah yang efektif dan efisien. Bagi penulis
penelitian ini diharapkan dapat memperdalam ilmu pengetahuan dan memperluas
wawasan dalam bidang perekonomian. Bagi pembaca, penelitian ini dapat
dijadikan acuan untuk penelitian selanjutnya
Ruang Lingkup Penelitian
Cakupan komoditi yang diteliti adalah beras, gula, jagung, daging ayam,
kacang kedelai dan daging sapi sedangkan yang dianalisis adalah 33 provinsi di
Indonesia, sementara periode analisis dalam penelitian ini adalah tahun 2009
sampai dengan tahun 2013. Provinsi yang dijadikan acuan menggunakan data
daerah yang memiliki tingkat produksi, konsumsi dan nilai perdagangan yang
menjadi perhatian dari pemerintah. Provinsi yang dijadikan acuan yaitu Jawa
Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Lampung, Sumatera Selatan,
Sumatera Utara dan DKI Jakarta. Data bersumber dari data Kementerian
Perdagangan, Badan Pusat Statistik dan sumber-sumber lainnya.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Teori
Integrasi
Goletti et al. (1996) mendefinisikan integrasi pasar sebagai kondisi yang
dihasilkan akibat tindakan pelaku pemasaran serta lingkungan pemasaran yang
mendukung terjadinya perdagangan, yang meliputi infrasruktur pemasaran dan
kebijakan pemerintah, yang menyebabkan harga di suatu pasar ditransformasikan
ke pasar lainnya. Integrasi pasar merupakan sebuah konsep dimana harga-harga
pada pasar yang terpisah secara spasial atau pasar yang merupakan level yang
berbeda dalam suatu supply chain digerakkan oleh mekanisme penawaran dan
permintaan. Menurut Fackler dan Goodwin (2001) penggunaan analisis korelasi
dalam menguji integrasi pasar di negara berkembang tidak memadai dimana
sering terjadi fragmentasi pasar karena transportasi dan infrastruktur komunikasi
serta pergerakan politik yang tidak stabil sehingga digantikan dengan analisis
regresi dinamis.
Keterpaduan pasar terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai,
dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari suatu pasar ke pasar lain. Dengan
demikian, fluktuasi perubahan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat segera
ditangkap oleh pasar lain. Hal ini pada gilirannya merupakan faktor yang dapat
digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan keputusan produsen. Di samping itu
keterpaduan pasar dapat terjadi karena kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi
7
industri dapat menghasilkan komoditi yang menjadi subtitusi bagi komoditi lain
sehingga harga komoditi tersebut tidak independen lagi.
Berdasarkan hubungan pasar integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu: a) integrasi pasar spasial, merupakan tingkat keterkaitan hubungan antara
pasar regional dan pasar regional lainnya, dan b) integrasi pasar vertikal,
merupakan tingkat keterkaitan hubungan suatu lembaga pemasaran dengan
lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran.
Integrasi Spasial
Menurut Tomek dan Robinson (1990), hubungan suatu harga dari pasar
yang terpisah secara geografis dapat dianalisa dengan konsep integrasi pasar
spasial. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan model keseimbangan
spasial. Model ini dikembangkan dengan menggunakan kurva excess demand dan
excess supply pada dua wilayah yang melakukan perdagangan, sehingga
memungkinkan untuk dilakukan pendugaan harga yang terbentuk pada masingmasing pasar dan jumlah komoditi yang akan diperdagangkan.
Integrasi pasar spasial menunjukkan hubungan harga antar pasar yang
terpisah secara geografis yang dapat dianalisis dengan menggunakan model
keseimbangan harga spasial (Tomek dan Robinson, 1990). Model ini dapat
dijelaskan dengan mengembangkan kurva excess supply dan excess demand pada
dua daerah yang melakukan perdagangan. Model ini juga memungkinkan untuk
mengestimasi net price yang terbentuk di masing-masing daerah dan jumlah
komoditi yang diperdagangkan oleh dua pasar/daerah.
Sumber : Tomek dan Robinson, 1990
Gambar 4 : Kurva Supply dan Demand Daerah Potensial Surplus dan Daerah
Potensial Defisit.
Daerah A merupakan daerah berpotensi surplus dan daerah B merupakan
daerah berpotensi defisit. Dalam kondisi tanpa perdagangan (autarki), jumlah
komoditi yang diminta dan yang ditawarkan akan sama yaitu 0QA1 pada harga
sebesar 0PA1 di daerah A dan 0QB1 pada harga sebesar 0PB1 di daerah B. Pada
daerah A, jika harga yang terbentuk berada di atas tingkat harga PA1 yaitu PE
maka komoditi yang ditawarkan sebesar 0QA3 dan yang diminta sebesar 0QA2.
Sedangkan pada daerah B, jika harga yang terbentuk berada di bawah tingkat
harga PB1 yaitu PE maka komoditi yang ditawarkan sebesar 0QB3 dan yang
diminta sebesar 0QB2. Kelebihan penawaran (excess supply) di daerah A akan
8
ditransfer atau diekspor ke daerah yang mengalami kelebihan permintaan (excess
demand) yaitu daerah B untuk memenuhi kekurangan supply di daerah tersebut.
Integrasi harga spasial dapat diartikan sebagai transmisi harga antar pasar
yang direfleksikan dalam perubahan harga di pasar yang berbeda geografis untuk
komoditi yang sama. Menurut Ravallion (1986), jika terjadi perdagangan antara
dua wilayah, kemudian harga di wilayah yang mengimpor komoditi sama dengan
harga di wilayah yang mengekspor komoditi, ditambah dengan biaya transportasi
yang timbul karena perpindahan diantara keduanya maka dapat dikatakan
keduanya terjadi integrasi spasial.
Beberapa studi integrasi pasar komoditas pertanian sebelumnya banyak
mengacu pada model Ravallion. Dengan perkembangan model ekonometrika,
banyak studi yang menggunakan pendekatan time-series untuk melihat apakah
dua pasar atau lebih terintegrasi. Model Ravallion digunakan untuk melihat
transmisi harga dari pasar acuan ke pasar lokal. Model ini digunakan secara luas,
dikembangkan, dan didiskusikan dalam analisis integrasi pasar. Integrasi pasar
dengan menggunakan model ini dapat menentukan leading market diantara pasarpasar lokal. Berangkat dari persamaan sebagai berikut :
P1 = f1 (P2, P3, ..., Pn, Xi) …………………………………………….…(1)
Pi = fi (P1, Xi), (i = 2,.....,n) ……………………………………………..(2)
Dimana P adalah harga komoditi dan Xi adalah vektor yang menunjukkan
faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi harga di pasar lokal. Fungsi fi (i=
1,…..n) merupakan solusi dalam menentukan equilibrium pasar dan penambahan
biaya dari pedagang dalam menentukan lokasi penjualan. Persamaan (1) dan (2)
hanya mengukur harga pada waktu sekarang, maka memasukkan pengaruh time
lag pada harga akan memberikan struktur yang lebih dinamis.
N
n
P
it
=
it
=
a P
j 1
1t j
1j
+
a P
j 1
ij
1t j
b P
k 2
j 0
k
1j
kt j
+ X1tc1 + e1t ……………………(3)
n
n
P
n
+
b P
j 1
1j
1t j
+ X1tc1 + e1t
(i= 2,……n) ………….(4)
a. Market segmentation, leading market tidak mempengaruhi harga di ith
pasar local, jika
bij = 0 (j =0,…, n)………………………………………………………..(5)
.
b. Short-run market integration, kenaikan harga di leading market akan
dengan cepat direspon oleh ith pasar local apabila,
bio = 1, dan juga aij = bij = 0 (j= 1,…,n)……................................……...... (6)
Jika persyaratan (6) diterima sebagai parameter maka dapat disimpulkan
bahwa pasar lokal i terintegrasi dengan leading market pada periode satu lag.
n
a
j 1
ij
+ bij = 0…………………………………………………..........…(7)
c. Long-run market integration, keseimbangan pada jangka panjang
disuatu pasar berjalan dengan konstan tanpa dipengaruhi oleh efek dari pasar lokal
9
itu sendiri. Bila melihat persamaan (4) ketika Pit = P*i, P1t = P*1, dan eit =0 untuk
semua t, maka:
n
P *i
p * i bij
j 0
X c
it
i
n
1 aij
,……………………………....……………..(8)
j 1
Integrasi pasar membutuhkan persyaratan sebagai berikut:
n
a
j 1
n
ij
+
b
j 1
1j
= 1 ……………………………………....……………(9)
Bila parameter (9) terpenuhi maka perubahan harga dalam jangka pendek
yang diperlihatkan model akan konsisten dengan keseimbangan antara pasar di
leading market dengan pasar lokal. Jika integrasi jangka panjang diterima, maka
akan lebih efisien dalam mengestimasi parameter lainnya dan estimasi statistic
dapat dilakukan dengan model long-run integration. Persamaan (4) dalam
integrasi jangka panjang akan dapat ditulis ulang sebagai berikut:
∆Pit = (ait -1) (Pit-1 – P1t-1) +
n
a
j 2
j
n
+
j 1
(bi0 -1 +
a
k 1
ik
ij
(Pit-j – P1t-j) + bi0∆P1t
+ bik) ∆P1t-j + Xit ci + eit ……..………...(10)
Model error correlation ini dapat diartikan bahwa perubahan di pasar lokal
merupakan pengaruh dari perubahan harga yang terjadi di pasar acuan (leading
market).
Tinjauan Empiris
Penelitian mengenai integrasi baik spasial maupun vertical pada komoditas
pertanian banyak sekali dilakukan untuk mengetahui seberapa besar manfaat dari
kenaikan harga international bagi produsen dalam negeri. Tahir dan Riaz (1997)
meneliti tentang integrasi komoditi pertanian di Punjab, Pakistan menggunakan
model Ravallion menyimpulkan bahwa untuk produk pertanian integrasi terjadi
pada jangka panjang sedangkan untuk integrasi jangka pendek hanya terjadi untuk
produk tertentu. Tingkat integrasi pasar ini tidak terlepas dari ukuran pasar dari
komoditi, kecepatan transmisi guncangan harga dari pasar mengacu pada pasar
lokal. Integrasi pasar memiliki dampak terhadap kebijakan hal ini berlaku untuk
komoditi beras, beberapa pasar beras yang ditemukan tidak terintegrasi bahkan
dalam jangka panjang dan hal ini menunjukkan bahwa ada potensi untuk kondisi
permintaan lokal.
Hasil analisa Rashid (2004) mengenai integrasi spasial pasar jagung
dengan menggunakan data harga mingguan untuk dua periode wakta di Uganda
sejak awal 1990-an mendapatkan tiga kesimpulan yaitu; Pertama, dibandingkan
dengan tahun-tahun awal liberalisasi, diwakili oleh periode 1993-1994-waktu,
tingkat integrasi dalam pasar jagung Uganda tampaknya telah meningkat dalam
beberapa tahun terakhir. Kedua, studi ini menemukan bahwa daerah utara yang
merupakan daerah konflik terus kekurangan integrasi dengan pasar sentral, tak
satu pun dari dua kabupaten dipertimbangkan dalam penelitian ini ditemukan
10
terintegrasi dengan pasar konsumsi utama. Null hipotesis bahwa pasar ini berbagi
tren stokastik umum dengan lokasi lain ditolak pada tingkat kurang dari 5% dari
signifikansi. Ketiga, hasil uji kausalitas menunjukkan bahwa hubungan kausal bidirectional selama periode 1999-2001 integrasi pasar setelah adanya liberalisasi
pasar membaik dalam beberapa tahun terakhir.
Penelitian Ghafoor dan Aslam (2012) tentang integrasi dan transmisi harga
beras di Pakistan, analisis data menunjukkan bahwa lima pasar beras utama
Pakistan yang terintegrasi satu sama lain secara keseluruhan. Integrasi pair-wise
pasar ini menunjukkan adanya kointegrasi vektor. Dengan demikian mungkin
akan mengungkapkan bahwa pasar beras di negara tersebut terintegrasi satu sama
lain dan sinyal harga dan arbitrase terkait dipraktekkan dengan baik. Vektor
penyesuaian diukur melalui Error Correction Mechanism menunjukkan bahwa
dibutuhkan hampir 4-5 bulan untuk menyesuaikan setiap guncangan jangka
pendek di pasar beras dari Pakistan. Pasar ini menyesuaikan 8-19 persen dari
disequilibrium per unit waktu yaitu satu bulan. Dalam kasus transmisi harga dari
pasar internasional ke pasar beras dalam negeri Pakistan, ditemukan bahwa tidak
terjadi kointegrasi. Ini mungkin karena alasan bahwa Pakistan sendiri adalah
eksportir besar beras dan kurang tergantung pada pasar internasional untuk
pembentukan harga di pasar beras domestik.
Penelitian Nga dan Lantican (2008) mengenai integrasi spasial pada pasar
beras di Vietnam yang menganalisis pola dan besaran integrasi pasar
menggunakan analisis LOP (Law of One Price) dan speed of adjustment long run
equilibrium dengan kointegrasi. Hasil penelitian menunjukan hanya 9 dari 34
pasar beras yang terhubung pada satu kesatuan pasar, namun harga dapat
ditransmisikan dengan baik diantara pasar yang terintegrasi. Harga ekspor beras
dari Vietnam dan Thailand terkointegrasi dan terbukti menuju ke LOP, dan
penghilangan kuota ekspor tidak berpengaruh signifikan dalm penentuan harga di
kedua negara tersebut. Studi ini juga menyarankan bahwa untuk meningkatkan
harga ekspor beras maka Vietnam harus menerapkan teknologi pasca panen dan
mengembangkan varietas beras, dan juga mengembangkan pemasaran yang
terintegrasi dari petani dan eksportir.
Penelitian Bustaman (2003) mengenai integrasi pasar beras di Indonesia
menyimpulkan bahwa provinsi yang memiliki hubungan self-sufficietnt-defisit dan
surplus defisit memiliki derajat integrasi yang tinggi, sedangkan provinsi yang
memiliki hubungan self-sufficient-self-sufficient memiliki derajat integrasi rendah.
Hubungan integrasi pasar antara dua pasar dapat terjadi meskipun tidak terhubung
perdagangan dan arus barang, faktor yang menyebabkan hal ini adalah adanya
arus informasi yang baik sehingga kedua pasar dapat terhubung dalam satu sistem
perdagangan yang sama. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pada komoditi
beras di Indonesia terdapat tiga pasar yang berperan sebagai pasar acuan yaitu
Jakarta, Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Kerangka Pemikiran.
Stabilisasi harga pangan merupakan salah satu program kebijakan
pemerintah, produk pangan pokok seperti beras, gula, kedelai, jagung, daging sapi
dan daging ayam menjadi barang yang penting dikendalikan oleh pemerintah
karena menyangkut kepentingan orang banyak. Pengetahuan pemerintah dalam
11
menelaah struktur pasar untuk berbagai komoditi tersebut sangatlah penting dalam
menjaga stabilitas harga komoditi agar proses pengambilan keputusan dapat
efektif. Apabila struktur pasar atau para pedagang terhubung kepada sistem
perdagangan, maka harga-harga yang berlaku pada semua pasar akan bergerak
bersama-sama membentuk pasar yang terpadu. Pentingnya pengetahuan mengenai
keterpaduan pasar dalam pengambilan kebijakan intervensi pasar sehingga
pemerintah dapat menghindari intervensi ganda dan dapat mengurangi beban
anggaran.
Efektifitas pasar antar provinsi di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai hal
seperti kebijakan perdagangan yang berbeda tiap provinsi, kondisi geografis dan
jarak ekonomi antar provinsi menyebabkan tingkatan integrasi yang berbeda antar
wilayah. Hubungan integrasi antar wilayah yang terpisah secara geografis
menyebabkan perubahan harga pada suatu pasar yang dijadikan acuan akan
ditransformasikan ke pasar-pasar lainnya. Jika hubungan kedua pasar terintegrasi
maka peningkatan harga di pasar acuan akan merambat ke pasar lainnya. Apabila
tingkat volatilitas harga di pasar acuan tidak dijaga dengan baik maka harga di
pasar yang terintegrasi akan bergejolak dan dapat berkembang ke seluruh pasar
dalam negeri di Indonesia.
Gambar 5. Kerangka Pemikiran
Oleh karena itu penulis mencoba melakukan kajian untuk melihat
struktur tataniaga perdagangan domestik sehingga terlihat dengan jelas integrasi
pasar antara provinsi di Indonesia. Penelitian ini juga untuk melihat integrasi pasar
antara provinsi sebagai produsen produk pangan dengan provinsi yang
mempunyai kekurangan stok atau sebagai provinsi konsumen. Pendekatan
integrasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan model
Ravallion (1986)
12
3. METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder time series bulanan dari tahun
2009 s/d tahun 2013, yang terdiri dari harga eceran bulanan di 33 propinsi di
Indonesia (menggunakan data dari Kementerian Perdagangan periode Januari
2009 s/d Desember 2013). Data yang digunakan berasal dari Badan Pusat Statistik
(BPS), Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan IMF.
Metode Analisis Data
Analisis Deskriptif
Analisis deskriptif merupakan suatu teknik analisis yang sederhana yang
dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan
menyajikan dalam bentuk ulasan, table maupun grafik dengan tujuan
memudahkan dalam menafsirkan hasil observasi. Analisis deskriptif pada
penelitian ini untuk melihat dinamika baik harga, produksi dan nilai impor
komoditi pangan di Indonesia.
Analisis Regresi Model Ravallion
Model Ravallion (1986) telah digunakan secara luas, dikembangkan, dan
didiskusikan dalam analisis integrasi pasar. Secara umum model persaman
matematik yang dikembangkan oleh Heytens (1986), adalah sebagai berikut:
Pt= b1Pt-1+ b2(Rt-Rt-1)+ b3Rt-1+ b3 Xt…………………………………..(11)
Jika diasumsikan bahwa deret waktu di pasar lokal (P) dan di pasar acuan (R)
mempunyai pola musiman yang sama, sehingga tidak perlu memasukkan peubah
dummy untuk musiman (Xt). Maka persamaan (11) akan menjadi:
Pt= b1Pt-1+ b2(Rt-Rt-1)+ b3Rt-1+ εt………………………………………(12)
Untuk menunjukkan pengaruh harga masa lalu pasar provinsi dan harga
masa lalu pasar acuan terhadap pembentukkan harga produsen di pasar regional
pada waktu tertentu digunakan Index of Market Connection (IMC). IMC
dikembangkan oleh Timmer (1986) yang didefinisikan sebagai rasio koefisien
pasar provinsi dengan koefisien pasar acuan, yaitu:
IMC =
b1
………………………………………………………………(13)
b3
Menurut Timmer (1986), IMC dengan nilai kurang dari satu
mengindikasikan terjadinya integrasi jangka pendek. Secara umum, jika nilai IMC
semakin mendekati nol maka semakin tinggi derajat integrasi. Dalam hal ini b2
merupakan ukuran derajat perubahan harga di pasar acuan yang ditransmisi ke
pasar regional. Dalam pendekatan ini, hipotesis integrasi jangka pendek
dirumuskan sebagai berikut:
H0 : b1/b3 = 0
H1 : b1/b3 ≠ 0
13
Nilai b1/b3 = 0 jika nilai b1 = 0, sehingga hipotesis di atas dapat ditulis:
H0 : b1 = 0
H1 : b1 ≠ 0
Untuk uji statistik digunakan:
b 0
…………………………………………………………..(14)
thitung = 1
S (b1 )
Bila hipotesis nol ditolak artinya pasar tidak terintegrasi dalam jangka
pendek. Untuk integrasi jangka panjang dirumuskan hipotesis:
H0 : b2 = 1
H1 : b2 ≠ 1
Nilai thitung diperoleh dari:
b 1
thitung = 2
…………………………………………………………..(15)
S (b2 )
Integrasi pasar spasial antar provinsi dapat dilihat dengan dua cara yaitu
integrasi jangka pendek yang ditunjukkan oleh nilai IMC dan juga integrasi
jangka panjang yang ditunjukan dengan nilai b2. Nilai IMC menunjukan indeks
keterkaitan antara pasar pengikut dengan pasar acuan, pasar lokal dikatakan
terintegrasi dalam jangka pendek jika nilai IMC nya < 1, jika nilai IMC lebih
besar dari 1 maka pasar dapat dikategorikan terintegrasi secara lemah dalam
jangka pendek. Sedangkan apabila nilai IMC < 0 maka pasar dapat dikatakan
terisolasi dari pasar acuan, artinya harga di pasar acuan tidak memiliki pengaruh
dalam pembentukan harga di pasar local. Untuk melihat besaran pengaruh harga
pasar acuan pada waktu sebelumnya (Rt-1) terhadap pasar local (Pt) dilihat melalui
nilai koefisien b3. Nilai koefisien b3 menunjukan besarnya presentase perubahan
harga di pasar local akibat perubahan harga di pasar acuan pada waktu
sebelumnya. Artinya jika harga bulan lalu di pasar acuan berubah sebesar 1 persen
maka harga di pasar local pada saat sekarang berubah sebesar b3 persen.
Integrasi pasar jangka panjang menunjukkan bagaimana perubahan harga
berdasarkan waktu di pasar acuan secara langsung diteruskan ke pasar local,
integrasi jangka panjang diwakili oleh koefisien b2 (marjin harga bulan ini dengan
bulan lalu). Nilai koefisien b2 dari persamaan menunjukan besaran presentase
perubahan harga di pasar local akibat perubahan harga di pasar acuan. Jika harga
di pasar acuan berubah sebesar 1 persen maka harga di pasar local akan berubah
sebesar b2 persen, suatu pasar terintegrasi dalam jangka panjang apabila nilai
koefisien b2 nya mendekati nilai 1. Sedangkan jika nilai b2 < 0, maka dapat
dikatakan pasar tersebut terisolasi atau pasar tersebut bergerak secara mandiri.
Koefisien b2 juga memperlihatkan elastisitas transimisi harga yaitu
presentase perubahan harga di pasar lokal sebagai akibat dari perubahan harga di
pasar acuan. Suatu pasar dapat dikatakan terintegrasi apabila perubahan harga di
pasar acuan dapat ditransformasikan kepada pasar lokal. Elastisitas transmisi akan
lebih tinggi pada pasar yang terintegrasi dibanding dengan pasar yang tidak
terintegrasi. Elastisitas transmisi harga yang tinggi akan memperlihatkan bahwa
pasar tersebut terintegrasi secara spasial, hal ini juga akan memperlihatkan
efisiensi pemasaran dan informasi.
14
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi dan Kebijakan Harga Pangan di Indonesia
Pada Gambar 6 menunjukan peta produksi di Indonesia terlihat bahwa
Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Lampung merupakan daerah produsen
utama komoditi beras, gula, daging sapi, jagung, kedelai dan daging ayam.
Komoditi tersebut merupakan komoditi yang sangat penting bagi pemenuhan
kebutuhan pangan di Indonesia. Jawa Barat merupakan produsen terbesar untuk
daging ayam dan beras dengan angka 37.34 persen dari produksi daging ayam dan
16.99 produksi beras nasional. Jawa Timur merupakan produsen terbesar gula,
daging sapi, kedelai dan jagung dengan angka 48.44 persen dari produksi gula
nasional, daging sapi sebesar 21.69 persen produksi nasional, 31.13 persen
produksi jagung nasional dan 42.49 persen produksi kedelai nasional Indonesia.
Bila melihat data konsumsi per kapita beras lima tahun belakangan dapat
disimpulkan bahwa pergeseran konsumsi dimana mengalami penurunan dari tahun
ke tahun. Data BPS 2014 menunjukan konsumsi tahun 2009 yakni sebesar 91.302
kg/kapita/tahun sedangkan pada 2013 konsumsi sudah berubah menjadi 85.514
kg/kapita/tahun atau rata-rata pertumbuhan konsumsi sebesar -1.62 persen. Bagi
beberapa kalangan beras digantikan oleh makanan pokok lain selain beras misal
singkong, kentang, ubi dan beberapa makanan berkarbohidrat lainnya, serta
adanya gerakan mengurangi konsumsi beras mengakibatkan penurunan tingkat
konsumsi beras. Pada tahun 2013 konsumsi turun sebesar 6,34 persen
dibandingkan tahun 2009, hal ini berdampak positif dalam rangka perolehan
swasembada beras bagi Indonesia.
Sumber. BPS, 2014
Gambar 6. Peta Produksi Pangan Seluruh Provinsi di Indonesia Tahun 2013
Menurut BPS pada tahun 2013 produksi daging sapi di Indonsia mencapai
545 621 ton. Pulau Jawa masih menjadi penghasil daging sapi di Indonesia
dengan total 317 506 ton atau 58.19 persen untuk keenam provinsi yang ada di
15
pulau jawa. Sedangkan untuk provinsi diluar pulau jawa, provinsi Sumatera Utara
memiliki produksi mencapai 6 persen dari total produksi Indonesia dengan angka
32 171 ton. Sumatera Barat dengan 4 persen atau 23 543 ton. Pada tahun 2014
pemerintah membuat kebijakan untuk membatasi kuota impor baik bakalan
maupun daging sapi untuk meningkatkan sumber daya sapi lokal yang selama ini
tidak mampu bersaing, yaitu dengan menetapkan volume impor sebesar 500.000
ekor /tahun sejak 2011 hingga semakin menipis menjadi 80.000 ekor untuk
periode tahun 2013 (Rapat Koordinasi Tingkat Menteri Yang Dipimpin Menteri
Koordinator Ekonomi, 28 November 2012 yang dikutip dari Dokumen Berita
Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan).
Kedel