Analisis Faktor Penentu Integrasi Pasar Beras di Indonesia

(1)

ANALISIS FAKTOR PENENTU

INTEGRASI PASAR BERAS DI INDONESIA

MUHAMMAD WAWAN HIDAYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudu l Analisis Faktor Penentu Integrasi Pasar Beras di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Muhammad Wawan Hidayanto


(4)

ABSTRACT

MUHAMMAD WAWAN HIDAYANTO. Determinants of Rice Market Integration in Indonesia. Supervised by LUKYTAWATI ANGGRAENI and DEDI BUDIMAN HAKIM.

Rice is a staple food and has a strategic role in Indonesia. Therefore, the government has to maintain rice price to be stable. Rice price stabilization will be more effectively implemented on integrated markets. The objectives of this study are (1) to analyze market integration among retail rice price at provinces in Indonesia, between retail rice price at provinces in Indonesia and wholesale rice price at Cipinang Wholesale Rice Market (PIBC), and between wholesale rice price at PIBC and international rice price; (2) to analyze the impact of rice price shock on a market to other markets; and (3) to analyze the determinants of rice market integration in Indonesia. Johansen cointegration test was used to analyze market integration while impulse response and forecast error decomposition variance were used to analyze the impact of price shock. Ordinary least squares method were also used to analyze the the determinants of rice market integration in Indonesia. Result of the study shows that retail rice price among provinces is not fully integrated. Similarly, retail rice price at provinces in Indonesia and wholesale rice price at PIBC is also not fully integrated. Market integration test between wholesale rice prices at PIBC and international rice prices shows that IR-64 II rice price at PIBC had cointegration with Thailand 15 percentage broken and Vietnam 15 percentage broken,while IR-64 III rice price at PIBC only had cointegration with Thailand 15 percentage broken rice price, but not with Vietnam 15 percentage broken. Shock on a province’s rice price had directly impact on that province’s rice price itself on early period while another market had not been affected yet. Similarly, rice price variation on a market was caused by shock on the market itself rather than by other markets. The research also found that road as transportation infrastructure is positively and significantly associated with market integration, as well as rice procurement by BULOG and percapita income. Raskin distribution is also statistically significant but associated negatively.

Kata kunci: rice,determinants of rice market integration, Johansen cointegration test


(5)

RINGKASAN

MUHAMMAD WAWAN HIDAYANTO. Analisis Faktor Penentu Integrasi Pasar Beras di Indonesia. Dibimbing oleh LUKYTAWATI ANGGRAENI dan DEDI BUDIMAN HAKIM.

Beras merupakan komoditi pangan yang utama dan strategis di Indonesia, sehingga Pemerintah perlu menjaga stabilitas harga beras. Stabilisasi harga beras akan lebih efektif dilaksanakan pada pasar yang terintegrasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis integrasi pasar spasial pada harga beras tingkat retail antar pasar provinsi di Indonesia, antara harga beras tingkat retail di pasar provinsi dengan harga beras tingkat grosir di Pasar Induk Beras Cipinang dan antara harga beras tingkat grosir di Pasar Induk Beras Cipinang dengan pasar beras internasional; (2) menganalisis dampak terjadinya guncangan (shock) harga pada suatu pasar beras terhadap pasar lainnya yang terintegrasi, pada harga beras tingkat retail antar pasar provinsi di Indonesia, antara harga beras tingkat retail di pasar provinsi dengan harga beras tingkat grosir di Pasar Induk Beras Cipinang dan antara harga beras tingkat grosir di Pasar Induk Beras Cipinang dengan pasar beras internasional; (3) menganalisis faktor penentu integrasi pasar beras di Indonesia. Pengujian kointegrasi menggunakan metode Johansen, sedangkan analisis dampak guncangan harga dilakukan melalui analisis Impulse Response

Function (IRF) dan analisis Forecast Error Decomposition Variance (FEDV).

Analisis faktor penentu integrasi pasar beras dilakukan melalui analisis regresi terhadap beberapa variabel yang diduga merupakan faktor penentu dengan hasil analisis integrasi pasar beras antar provinsi yang telah dilakukan sebelumnya.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pasar beras tingkat retail antar 26 provinsi di Indonesia tidak sepenuhnya terintegrasi. Demikian pula pasar beras tingkat retail pada 26 provinsi di Indonesia juga tidak sepenuhnya terintegrasi dengan pasar beras grosir di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC). Integrasi pasar beras grosir di PIBC dengan harga beras internasional memperlihatkan bahwa terdapat kointegrasi antara harga beras jenis IR-64 kualitas II dengan harga beras internasional Thailand broken 15 persen dan Vietnam broken 15 persen. Adapun harga beras jenis IR-64 kualitas III hanya memiliki kointegrasi dengan harga beras Thailand dan tidak dengan harga beras Vietnam.

Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa di awal terjadinya guncangan harga, dampaknya akan langsung terasa pada harga di pasar yang mengalami terjadinya guncangan itu sendiri, sementara harga di pasar pasangan yang memiliki kointegrasi dengannya belum terpengaruh. Sebagian besar sumber penting dari variasi harga pada suatu pasar adalah disebabkan oleh guncangan harga beras di pasar itu sendiri. Hasil analisis faktor penentu integrasi pasar beras di Indonesia memperlihatkan bahwa faktor jalan raya sebagai infrastruktur transportasi, percapita income, dan aktivitas pembelian beras petani (pengadaan/procurement) oleh BULOG terbukti mempengaruhi integrasi pasar beras secara signifikan dan positif. Faktor lain yang juga signifikan mempengaruhi namun secara negatif adalah distribusi (penyaluran) beras Raskin kepada rumah tangga miskin.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini


(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

ANALISIS FAKTOR PENENTU

INTEGRASI PASAR BERAS DI INDONESIA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014


(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ratna Winandi, MS


(9)

Judul Tesis : Analisis Faktor Penentu Integrasi Pasar Beras di Indonesia Nama : Muhammad Wawan Hidayanto

NIM : H353110131

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, MSi Ketua

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

Tanggal Ujian: 5 Maret 2014


(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Perumusan Masalah 3

1.3 Tujuan Penelitian 9

1.4 Manfaat Penelitian 10

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 10

II TINJAUAN PUSTAKA 13

2.1 Integrasi Pasar 13

2.2 Integrasi Pasar Spasial 16

2.3 Integrasi Pasar Vertikal 18

2.4 Faktor Penentu Integrasi Pasar 19

2.5 Tinjauan Penelitian Empiris 21

2.6 Kerangka Pemikiran Penelitian 25

III METODOLOGI PENELITIAN 27

3.1 Jenis dan Sumber Data 27

3.2 Metode Analisis 27

3.2.1 Pengujian Kestasioneran Data 27

3.2.2 Penentuan Lag (Ordo) Optimal 28

3.2.3 Analisis Kointegrasi 29

3.2.4 Estimasi VAR dan VECM 31

3.2.5 Analisis Impulse Response Function (IRF) 32 3.2.6 Analisis Forecast Error Decomposition Variance (FEDV) 33 3.2.7 Analisis Faktor Penentu Integrasi Pasar Beras di Indonesia 33

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 35

4.1 Integrasi Pasar Beras Spasial 35

4.1.1 Pengujian Kestasioneran Data 35

4.1.2 Penentuan Lag Optimal 37

4.1.3 Pengujian Kointegrasi Johansen 37

4.1.4 Estimasi VECM 44

4.2 Analisis Dampak Guncangan Harga 44

4.2.1 Analisis Impulse Response Function (IRF) 44 4.2.2 Analisis Forecast Error Decomposition Variance (FEDV) 48 4.3 Faktor Penentu Integrasi Pasar Beras Spasial Antar Provinsi di

Indonesia 53


(11)

5.1 Kesimpulan 57

5.2 Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 59


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Penyaluran Beras Raskin Tahun 2007-2013 6 Tabel 2. Produksi dan Konsumsi Beras serta Jumlah Penduduk Indonesia

Tahun 2007-2012 7

Tabel 3. Pengadaan Beras Dalam Negeri dan Impor Beras oleh Indonesia

Tahun 2007-2013 7

Tabel 4. Hasil Uji Akar Unit Series Harga Beras Tingkat Retail pada 26

Provinsi di Indonesia 35

Tabel 5. Hasil Uji Akar Unit Series Harga Beras Tingkat Grosir di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) dan Harga Beras Internasional 36 Tabel 6. Hasil Analisis Regresi Faktor Penentu Integrasi Pasar Beras di

Indonesia 54

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Pola Panen Padi, Tahun 2009-2012 4

Gambar 2. Sebaran Produksi Padi di Indonesia Tahun 2012 5 Gambar 3. Perkembangan Harga Beras Medium Tingkat Eceran di

Beberapa Kota, Tahun 2000-2011 8

Gambar 4. Kurva Penawaran dan Permintaan pada Kondisi Pasar Potensial

Surplus dan Pasar Potensial Defisit 16

Gambar 5. Kurva Excess Supply (Pasar A) dan Excess Demand (Pasar B) 17

Gambar 6. Kerangka Pemikiran 26

Gambar 7. Sistematika Pengolahan Vector Autoregression (VAR) 32 Gambar 8. Kointegrasi Antar Pasar Beras di Pulau Jawa 39 Gambar 9. Kointegrasi Antara Pasar Beras di Pulau Jawa dengan Produsen

Beras Lainnya di Luar Pulau Jawa 40

Gambar 10.Kointegrasi Antara Pasar Beras di Pulau Jawa dengan Provinsi di Luar Pulau Jawa dengan Tingkat Konsumsi Beras Tinggi 40

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Data series variabel harga pada tingkat level. 62 Lampiran 2. Data series variabel harga pada tingkat first difference. 63 Lampiran 3. Lag optimal pada pengujian kointegrasi Johansen 64 Lampiran 4. Trace statistik pengujian kointegrasi Johansen 65 Lampiran 5. Maximum eigenvalue pengujian kointegrasi Johansen 66

Lampiran 6. Hasil output impulse response 67

Lampiran 7. Hasil output forecast error decomposition variance 85 Lampiran 8. Statistics descriptive faktor penentu integrasi pasar beras 103 Lampiran 9. Statistics descriptive jarak antar provinsi 104 Lampiran 10. Output regresi faktor penentu integrasi pasar beras 105


(13)

I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beras masih menjadi komoditi pangan utama dan strategis bagi masyarakat Indonesia. Hal tersebut diantaranya karena beras masih merupakan makanan utama rakyat Indonesia. Sekitar 95 persen dari 230 juta rakyat Indonesia memilih kebutuhan makanan pokoknya berupa beras, sehingga tidak mengherankan bila permintaan beras di Indonesia sangat besar (BPS 2012). Kerjasama antara Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian dengan Badan Pusat Statistik mencatat, untuk tahun 2011 data konsumsi beras di Indonesia masih cukup tinggi yaitu sebesar 113.72 kilogram perkapita pertahun (BPS 2011). Bahkan menurut IIham et al. (2011) lebih dari 60 persen rata-rata pengeluaran rumah tangga digunakan untuk pangan. Adapun hasil SUSENAS September 2012 menunjukkan bahwa pengeluaran untuk makanan adalah sebesar 47.71 persen dari total pengeluaran.

Sebagai komoditi strategis, fluktuasi harga beras perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Hal tersebut mengingat bahwa salah satu hak asasi manusia untuk hidup dengan layak berupa kemampuan memenuhi kebutuhan akan pangan, sehingga pemerintah harus mampu menjamin akan terpenuhinya kebutuhan terhadap pangan yang cukup dengan harga yang terjangkau (Amang dan Sawit 2001). Pemerintah perlu melakukan upaya stabilisasi harga beras pada tingkat harga yang terjangkau sesuai dengan daya beli masyarakat. Ikhsan (2001) menyatakan bahwa setiap kenaikan harga beras sebesar 10 persen akan menyebabkan pertambahan penduduk miskin sebesar 1 persen.

Disisi lain, pemerintah perlu menerapkan kebijakan harga (price policy) yang memberikan jaminan insentif bagi petani untuk tetap memproduksi beras dan memberikan keuntungan yang wajar pada pihak swasta untuk melakukan aktivitas pemasaran beras. Penerapan kebijakan ini telah dilaksanakan sejak tahun 1969/1970 (Amang dan Sawit 2001) berupa kebijakan Harga Dasar (HD) gabah yang kemudian diganti menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) pada tahun 2002.


(14)

2

Pelaksanaan stabilisasi harga beras secara efektif sendiri menghadapi beberapa kendala. Menurut Bustaman (2003), pertama adalah karena Indonesia merupakan negara kepulauan sehingga stabilisasi harga harus dilaksanakan pada masing-masing pasar yang tersebar di seluruh Indonesia. Kedua, ketersediaan beras yang berfluktuasi akibat perbedaan periode tanam dan panen sehingga pergerakan harga beras mengikuti siklus periode panen raya dan paceklik tersebut.

Ketiga, pasar konsumen yang terpisah dari daerah produksi sehingga dibutuhkan

aktivitas pemasaran untuk mengirimkan produk pertanian hingga sampai ke konsumen akhir. Keempat, faktor integrasi pasar, dimana upaya stabilisasi harga akan lebih efektif dilaksanakan pada pasar-pasar yang terintegrasi dibandingkan yang tidak.

Adanya integrasi pasar artinya terdapat hubungan dalam jangka pendek maupun jangka panjang antar harga pada pasar yang berbeda. Perubahan harga pada pasar yang terintegrasi akan ditransmisikan ke pasar yang lain, baik secara vertikal maupun horizontal. Integrasi vertikal berarti dalam beberapa waktu, guncangan yang terjadi terhadap harga gabah di tingkat petani pada pasar produsen akan ditransmisikan kepada harga beras di tingkat konsumen atau sebaliknya. Sementara integrasi pasar secara spasial berarti dalam beberapa waktu, guncangan harga yang terjadi pada pasar acuan akan ditransmisikan dan sampai ke pasar lain (pasar konsumen) yang secara geografis terpisah. Integrasi pasar antar wilayah yang tidak berjalan sempurna menyebabkan munculnya informasi yang keliru kepada produsen dan pelaku lain dalam rantai pemasaran, dan akan mengakibatkan keputusan yang keliru dalam produksi dan pemasaran.

Proses transmisi harga antar pasar yang terintegrasi juga dapat memberikan gambaran mengenai efisiensi pasar. Jika pasar memberikan respon yang berbeda antara kenaikan dan penurunan harga maka transmisi harga akan berlangsung secara asimetris. Perbedaan respon tersebut terjadi karena salah satu pihak menggunakan market power dalam menentukan harga. Transmisi harga asimetris tidak diharapkan karena dapat menyebabkan penurunan kesejahteraan pelaku pasar.

Informasi mengenai integrasi pasar spasial antar wilayah di Indonesia atau integrasi spasial antara pasar beras internasional dengan pasar beras domestik


(15)

3 sangat diperlukan karena dapat memberikan gambaran mengenai efisiensi pasar beras yang terjadi di Indonesia. Integrasi spasial juga dapat memberikan informasi mengenai gejolak harga di suatu wilayah dan dampaknya terhadap wilayah lain sehingga dapat digunakan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah meluasnya fluktuasi harga.

Untuk itu perlu dikaji tingkat integrasi pasar beras antar wilayah di Indonesia untuk mengetahui pengaruh suatu pasar terhadap pasar di wilayah lain. Studi mengenai tingkat integrasi antara pasar beras internasional dengan pasar beras domestik juga perlu dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan harga di pasar beras internasional terhadap pasar beras domestik. Selain itu, integrasi pasar juga perlu diketahui untuk melihat pengaruh perubahan harga di pasar konsumen terhadap tingkat grosir atau sebaliknya.

Selain mengetahui tingkat integrasi pasar, perlu diketahui pula faktor penentu integrasi pasar tersebut. Dengan mengetahui faktor penentunya maka kebijakan yang akan diterapkan, diharapkan akan dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk itu menjadi penting untuk diteliti, integrasi pasar beras dan faktor penentu integrasi pasar beras di Indonesia agar tujuan pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam rangka perlindungan terhadap konsumen dan juga terhadap petani (produsen) dapat dilaksanakan secara efektif dan tepat pada sasaran.

1.2 Perumusan Masalah

Padi merupakan tanaman musiman sehingga ketersediaan beras (padi) tergantung pada musim tanam. Pada bulan tertentu pasokan beras dapat melimpah (panen raya), namun pada waktu-waktu lainnya dapat mengalami kekurangan (paceklik). Selain itu, ketersediaan beras juga tidak merata bila dibandingkan antar wilayah di Indonesia. Hal-hal ini menimbulkan terjadinya ketimpangan produksi beras antar waktu dan antar wilayah di Indonesia. Disisi lain, kebutuhan beras cenderung meningkat seiring pertambahan penduduk. Adanya ketidakseimbangan penawaran dan permintaan beras tersebut menyebabkan pentingnya manajemen distribusi beras yang tepat untuk menjamin ketersediaan beras di masyarakat (Syahroni 2001).


(16)

4

Akumulasi panen padi terdapat pada subround Januari-April mengikuti ketersediaan air pada siklus musim hujan. Sebaran produksi padi antar waktu selama setahun di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber : BPS (2013)

Gambar 1. Pola Panen Padi, Tahun 2009-2012

Produksi padi pada periode panen rendengan yaitu selama bulan Februari-April adalah lebih dari 40 persen dari total produksi setahun, sedangkan pada periode panen gadu yaitu pada bulan Juli-September hanya sekitar 20-30 persen dari total produksi setahun. Walaupun secara kuantitas, hasil panen gadu lebih sedikit dibandingkan dengan panen rendengan, namun secara kualitas hasil panen gadu relatif lebih baik karena kondisi curah hujan yang tidak setinggi musim penghujan sehingga pengeringan gabah menjadi lebih baik yang berimbas pula pada harga beras yang lebih tinggi. Selain itu biasanya, petani akan lebih banyak menyimpan hasil produksi dari periode panen gadu untuk menghadapi masa paceklik dan berakibat pada suplai beras ke pasar yang lebih kecil. Petani juga biasanya menyimpan sebagian hasil panennya sebagai modal untuk musim tanam berikutnya. Hal-hal ini yang mengakibatkan harga beras relatif lebih tinggi.

Adapun ketersediaan beras antar wilayah juga tidak merata. Tidak seluruh provinsi memproduksi beras yang cukup, bila dibandingkan dengan konsumsi yang tersebar di seluruh wilayah. Produksi beras masih berpusat di pulau Jawa

0 500,000 1,000,000 1,500,000 2,000,000 2,500,000 3,000,000

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des

L

ua

s

P

ane

n (

H

a)

Periode


(17)

5 sebesar 52.90 persen dan Sulawesi Selatan sebesar 7.25 persen dari seluruh Sulawesi yang sebesar 11.33 persen. Sebaran produksi padi antar wilayah dapat dilihat pada Gambar 2 berikut ini.

Sumber : BPS (2013)

Gambar 2. Sebaran Produksi Padi di Indonesia Tahun 2012 Ketimpangan ketersediaan antar waktu dan antar wilayah (tempat) ini, membuka peluang bagi pelaku usaha untuk melakukan aktivitas pemasaran gabah dan beras. Hal ini menyebabkan pula perbedaan harga yang terjadi antar waktu maupun antar tempat.

Menurut Juanda dan Junaedi (2012), perbedaan harga yang terjadi antar waktu umumnya mengikuti suatu model deret waktu klasik yang dapat berupa pola dengan empat komponen, yaitu tren (T, dari trend), siklus (C, dari cyclic), variasi musim (S, dari seasonal), dan faktor acak (I, dari irregular). Perbedaan harga yang berubah sesuai pola musiman akan timbul dari pola musiman yang terjadi pada permintaan, pola musiman yang terjadi pada pasokan dan pemasaran, atau kombinasi pola musiman dari keduanya (Tomek dan Robinson 1990).

Untuk tanaman padi, pola harga musiman pada pasokan terjadi pada produksi yang timbul akibat faktor cuaca atau iklim dan masa tanam tanaman padi sebelum dapat dipanen. Untuk pola harga musiman pada permintaan juga dapat diakibatkan oleh iklim atau musim dan pada hari raya atau libur nasional. Misalnya permintaan daging sapi akan meningkat pada Hari Raya Kurban.

Sumatera

23.18% Bali & Nusa Tenggara

5.33%

Kalimantan 6.80%

Sulawesi 11.33% Maluku &

Papua 0.46% Jawa


(18)

6

Perbedaan harga yang terjadi antar tempat/wilayah, selain terjadi akibat dari perubahan atau perbedaan pada pasokan atau permintaan, juga dapat terjadi akibat karena faktor intervensi pemerintah. Perbedaan harga antar tempat/wilayah yang diakibatkan perubahan pasokan karena faktor perbedaan produksi, dimana terdapat perbedaan areal tanam maupun areal panen, tingkat produktivitas atau curah hujan di suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Perbedaan pasokan juga dapat diakibatkan oleh intervensi pemerintah, seperti kegiatan Operasi Pasar (OP) yang akan menambah pasokan pada suatu wilayah atau pasar yang mengalami kenaikan harga akibat jumlah pasokan yang rendah atau kebijakan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang menjaga suatu tingkat harga pembelian tertentu sebagai jaminan pasar bagi hasil produksi petani. Intervensi pemerintah yang mengakibatkan perbedaan pasokan atau permintaan, selain OP diantaranya adalah program penyaluran beras bersubsidi bagi masyarakat miskin atau Raskin. Hal ini akan menyebabkan berkurangnya permintaan beras di pasaran umum akibat pemenuhan sebagian kebutuhan pangan masyarakat miskin berupa beras.

Tabel 1. Penyaluran Beras Raskin Tahun 2007-2013

Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Jumlah RT Miskin 19,100,905 19,100,905 18,497,302 17,488,007 17,488,007 17,488,007 15,530,897 Rumah Tangga Sasaran 15,781,884 19,100,000 18,497,302 17,488,007 17,488,007 17,488,007 15,530,897

Durasi (Bulan) 11 12 12 12 13 13 15

Pagu Alokasi setahun (Ton) 1,736,007 3,342,500 3,329,514 3,235,281 3,410,161 3,410,161 3,494,452 Realisasi setahun (Ton) 1,731,805 3,236,644 3,254,121 3,074,003 3,364,635 3,372,819 3,431,615 Sumber : BULOG (2013)

Perbedaan harga antar tempat/wilayah yang diakibatkan oleh perubahan permintaan diantaranya adalah perbedaan jumlah penduduk antar wilayah yang berdampak pada jumlah konsumsi, atau akibat intervensi pemerintah seperti adanya program beras untuk rumah tangga miskin (Raskin). Secara nasional, produksi beras dan kebutuhan konsumsi di Indonesia selama periode tahun 2007-2012 dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.


(19)

7 Tabel 2. Produksi dan Konsumsi Beras serta Jumlah Penduduk Indonesia

Tahun 2007-2012 Padi Beras (Ton GKG) (Ton)

2007 57,157,435 36,123,499 4.96 228,763,881 139.15 33,055,968 3,067,531 2008 60,325,925 38,125,985 5.54 232,172,463 139.15 31,799,235 2,116,000 2009 64,398,890 40,403,864 6.75 235,631,833 139.15 32,195,056 4,010,000 2010 66,469,394 41,702,898 3.22 237,641,326 139.15 33,055,968 4,166,893 2011 65,756,904 41,255,882 (1.07) 241,182,182 137.06 33,045,274 3,914,286 2012 69,056,126 43,325,813 5.02 244,775,796 135.01 33,034,584 5,529,000 Surplus

(Ton) Produksi

Tahun

Konsumsi %

Kenaikan

Jumlah Penduduk (jiwa)

Konsumsi Perkapita/ Tahun

(Kg)

Kebutuhan Beras (Ton)

Sumber : BPS (2012)

Dari Tabel 2 diatas, dapat dilihat bahwa produksi beras di Indonesia masih lebih tinggi daripada konsumsi beras, namun terkadang pemerintah masih melakukan impor beras. Impor beras dan pembelian beras petani dari dalam negeri melalui kegiatan poengadaan yang dilakukan Indonesia selama periode tahun 2007-2013 dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3. Pengadaan Beras Dalam Negeri dan Impor Beras oleh Indonesia Tahun 2007-2013

Tahun Pengadaan DN (Ton) Impor (Ton)

2007 1,765,987 1,293,980 2008 3,211,257 -2009 3,625,227 -2010 1,896,252 527,772 2011 1,730,153 2,201,564 2012 3,645,054 1,416,226 2013 3,489,702 -Sumber : BULOG (2013)

Pemerintah Indonesia masih melakukan impor beras untuk stok pangan nasional sehingga ketahanan pangan nasional dan rumah tangga tetap terjaga. Tahun 2008-2009 dengan jumlah pengadaan dalam negeri yang cukup besar maka pemerintah tidak perlu melakukan impor beras. Kondisi tersebut berbeda dengan kondisi harga beras dalam negeri yang mulai tinggi sejak tahun 2010.

Perkembangan harga beras jenis kualitas medium tingkat eceran pada periode tahun 2000 hingga tahun 2011 mengalami peningkatan, yaitu dengan laju pertumbuhan rata-rata sebesar 12 persen per tahun sebagaimana pada Gambar 3 berikut.


(20)

8

Sumber : BPS dalam BULOG (2012)

Gambar 3. Perkembangan Harga Beras Medium Tingkat Eceran di Beberapa Kota, Tahun 2000-2011

Pola pergerakan harga beras retail tingkat konsumen menunjukkan pola pergerakan harga yang mirip di beberapa daerah seperti ditunjukkan dalam Gambar 3. Harga beras secara nasional sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga antar wilayah. Sebagai negara kepulauan, permasalahan distribusi bahan pangan juga menjadi salah satu tantangan dalam mewujudkan stabilitas harga di seluruh wilayah nusantara. Mengingat beras merupakan komoditi yang bulky, efisiensi dalam pemasaran antar wilayah akan dapat menekan biaya transportasi.

Pemasaran beras dari wilayah produsen ke wilayah lain merupakan salah satu faktor terciptanya integrasi pasar beras antar wilayah di Indonesia. Integrasi pasar diindikasikan dengan adanya keterkaitan harga di satu pasar dengan pasar lainnya. Jika pasar beras antar wilayah di Indonesia terintegrasi secara spasial, maka disparitas harga antar wilayah hanya akan dipengaruhi oleh biaya transportasi dari wilayah produsen ke wilayah konsumen. Integrasi pasar merupakan salah satu indikasi bahwa pasar beras berjalan efisien.

Adanya integrasi pasar artinya terdapat hubungan dalam jangka pendek maupun jangka panjang antar harga pada pasar yang berbeda. Integrasi pasar memberikan informasi mengenai gejolak harga di suatu wilayah dan dampaknya terhadap wilayah lain sehingga dapat digunakan sebagai langkah antisipasi untuk mencegah meluasnya fluktuasi harga. Selain itu, perlu diketahui pula faktor penentu integrasi pasar tersebut. Dengan mengetahui faktor penentunya maka

0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 9,000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

H

a

rg

a

B

e

ra

s E

ce

ra

n

(

R

p

/K

g

)

Periode


(21)

9 kebijakan yang akan diterapkan, diharapkan akan dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk itu menjadi penting untuk diteliti, integrasi pasar beras dan faktor penentu integrasi pasar beras di Indonesia.

Penelitian tentang integrasi pasar beras di Indonesia yang telah ada sebelumnya masih terbatas pada jumlah provinsi yang diteliti atau antara regional provinsi dan masih menggunakan data harga bulanan seperti yang dilakukan oleh Istiqomah et. al. (2005) dan Arifin et al. (2006). Adapun penelitian ini menggunakan data harga beras mingguan pada 26 provinsi di Indonesia dan menganalisis integrasi pasar beras antar 26 provinsi tersebut.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana integrasi pasar spasial yang terjadi pada harga beras tingkat retail antar pasar provinsi di Indonesia, antara harga beras tingkat retail di pasar provinsi dengan harga beras tingkat grosir di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) dan antara harga beras tingkat grosir di PIBC dengan pasar beras internasional.

2. Bagaimana dampak guncangan (shock) yang terjadi pada suatu pasar beras terhadap pasar lainnya yang terintegrasi, pada harga beras tingkat retail antar pasar provinsi di Indonesia, antara harga beras tingkat retail di pasar provinsi dengan harga beras tingkat grosir di PIBC dan antara harga beras tingkat grosir di PIBC dengan pasar beras internasional.

3. Faktor-faktor apa yang menjadi penentu integrasi pasar beras di Indonesia.

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dari permasalahan yang telah disebutkan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis integrasi pasar spasial pada harga beras tingkat retail antar pasar provinsi di Indonesia, antara harga beras tingkat retail di pasar provinsi dengan harga beras tingkat grosir di Pasar Induk Beras Cipinang dan antara harga beras tingkat grosir di Pasar Induk Beras Cipinang dengan pasar beras internasional.


(22)

10

2. Menganalisis dampak terjadinya guncangan (shock) harga pada suatu pasar beras terhadap pasar lainnya yang terintegrasi, pada harga beras tingkat retail antar pasar provinsi di Indonesia, antara harga beras tingkat retail di pasar provinsi dengan harga beras tingkat grosir di Pasar Induk Beras Cipinang dan antara harga beras tingkat grosir di Pasar Induk Beras Cipinang dengan pasar beras internasional.

3. Menganalisis faktor penentu integrasi pasar beras di Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Dari penelitian ini diharapkan akan dapat diperoleh informasi mengenai tingkat integrasi pasar beras antar wilayah (provinsi) di Indonesia, tingkat integrasi pasar beras antara berbagai wilayah (provinsi) di Indonesia dengan Pasar Induk Beras Cipinang sebagai salah satu pasar yang menjadi indikator harga beras nasional, dan tingkat integrasi pasar beras antara harga beras di PIBC tersebut dengan harga beras internasional. Selain itu, diharapkan akan dapat diperoleh informasi mengenai dampak yang terjadi terhadap pasar beras lainnya bila terdapat guncangan (shock) harga beras yang dialami oleh salah satu pasar beras.

Demikian pula, dengan mengetahui faktor penentu integrasi pasar di Indonesia maka diharapkan akan dapat memberikan informasi yang berguna untuk upaya stabilisasi harga bagi pengambil kebijakan pangan khususnya tentang perberasan.

1.5 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

1. Integrasi pasar beras yang dianalisis dalam penelitian ini diperoleh melalui analisis integrasi pada harga beras tingkat retail antar pasar provinsi di Indonesia; antara harga beras tingkat retail di pasar provinsi dengan harga beras tingkat grosir di PIBC; dan antara harga beras tingkat grosir di PIBC dengan pasar beras internasional.

2. Harga beras yang digunakan adalah harga beras retail jenis medium tingkat konsumen di 26 provinsi di Indonesia dan harga beras tingkat grosir jenis IR-64 kualitas II dan kualitas III di PIBC.


(23)

11 3. Harga beras internasional yang digunakan adalah harga beras jenis Thailand

broken 15 persen dan Vietnam broken 15 persen karena harga beras Thailand

merupakan harga acuan bagi pasar internasional. Selain itu Indonesia melakukan impor beras kualitas medium terhadap kedua jenis beras tersebut. 4. Dampak guncangan harga yang dialami oleh suatu pasar beras terhadap pasar

beras lainnya yang terintegrasi, dianalisis melalui teknik Impulse Response

Function (IRF) dan Forecast Error Decomposition Variance (FEDV).

5. Faktor penentu integrasi pasar beras di Indonesia dianalisis melalui analisis regresi terhadap hasil analisis integrasi pasar beras antar provinsi yang telah dilakukan sebelumnya dengan beberapa variabel yang diduga merupakan faktor penentu dengan menggunakan metode OLS.


(24)

(25)

II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Integrasi Pasar

Pemasaran dapat didefinisikan sebagai kegiatan mempertemukan komoditi dari produsen (farm gate) kepada konsumen akhir (Dahl dan Hammond 1977). Pergerakan kuantitas dan arus barang dari suatu lembaga pemasaran ke lembaga pemasaran lainnya, atau dari pasar regional ke pasar regional lainnya yang menyebabkan terbentuknya keterikatan antara pasar yang dikirim dan pasar yang mengirim. Apabila semua pasar yang berdagang terhubung kepada satu sistem perdagangan, maka harga-harga yang berlaku pada semua pasar akan bergerak secara bersama-sama membentuk suatu pasar yang terpadu atau terintegrasi.

Integrasi pasar merupakan suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh perubahan harga yang terjadi di pasar acuan, atau pasar pada tingkat yang lebih tinggi seperti pedagang eceran, akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pasar pengikutnya, misalnya pasar di tingkat petani (Asmarantaka 2009). Suatu pasar dikatakan terintegrasi dengan pasar lain atau dengan suatu sistem pemasaran jika perubahan harga yang terjadi pada salah satu pasar disalurkan atau ditransmisikan ke pasar lain. Amikuzuno (2009) mendefinisikan integrasi pasar sebagai suatu ukuran dalam arti luas, sebagai guncangan (shock) permintaan dan penawaran dari suatu komoditi dalam suatu pasar tertentu yang ditransmisikan terhadap pasar lainnya. Guncangan yang terjadi pada suatu pasar dapat ditransmisikan secara vertikal, yaitu ke atas maupun ke bawah pada suatu rantai pemasaran; atau ditransmisikan secara horizontal ke pasar di wilayah lain yang terpisah secara spasial.

Dalam struktur pasar persaingan sempurna, perubahan harga pada pasar acuan akan ditransmisikan secara sempurna (100%) ke pasar pengikut. Integrasi pasar akan tercapai jika terdapat informasi pasar yang memadai dan disalurkan dengan cepat ke pasar lain sehingga partisipan yang terlibat di kedua tingkat pasar (pasar acuan dan pasar pengikut) memiliki informasi yang sama.

Integrasi pasar sering dipakai untuk mengukur efisiensi pemasaran, sebab apabila tidak ada hambatan, maka harga-harga yang berlaku akan menunjukkan pergerakan yang selaras. Menurut Ghafoor dan Aslam (2012), harga komoditi


(26)

14

pertanian menjadi sumber pertimbangan utama dalam alokasi sumberdaya. Dalam konteks pemasaran, harga menunjukkan tingkat efisiensi suatu pasar produk pertanian. Selain itu, hubungan antara pasar domestik dan internasional juga dapat diukur melalui transmisi harga. Analisis harga semakin berperan penting pada masa liberalisasi perdagangan dimana pasar pertanian domestik tidak lagi bebas dari pengaruh perubahan harga yang terjadi di pasar internasional.

Harga komoditi pertanian merupakan indikator bagi alokasi sumberdaya agar terjadi efisiensi dan keterkaitan diantara pasar-pasar yang ada. Pada pasar yang terhubung dengan baik, bila terjadi kekurangan atau kelebihan pasokan di suatu pasar maka akan ditransmisikan secara penuh ke pasar lainnya sebagai respon terhadap informasi pasar sehingga menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan di suatu negara secara keseluruhan.

Tingkat integrasi pasar khususnya terhadap produk pertanian merupakan faktor penting untuk penentuan kebijakan pertanian utamanya bagi negara berkembang. Bila tidak terdapat integrasi pada pasar produk pertanian maka kelangkaan pangan di suatu pasar lokal akan tetap terjadi sedangkan di pasar lain yang berjauhan letaknya (dengan pasokan yang masih cukup) tidak akan mampu merespon sinyal harga dari pasar yang terisolir tadi. Ketiadaan integrasi tersebut akan dapat mengakibatkan kelangkaan pangan lokal di suatu wilayah, bahkan hingga dapat berakibat pada kelaparan.

Menurut Goletti dan Christina-Tsigas (1995), integrasi pasar penting untuk diketahui karena beberapa alasan, yaitu :

1. Adanya integrasi pasar memungkinkan pemerintah untuk dapat memperbaiki kebijakan pasarnya, misalnya dengan mengetahui pasar-pasar yang terintegrasi maka pemerintah dapat menghindari intervensi ganda sehingga dapat mengurangi beban anggaran.

2. Memungkinkan untuk melakukan pengawasan (monitoring) harga. Hal ini akan dapat menjelaskan peningkatan harga yang terjadi pada pasar-pasar yang terintegrasi dan dapat meningkatkan efektifitas pengelolaan kebijakan stabilitas harga.


(27)

15 4. Dengan mengetahui integrasi pasar, dapat dianalisis faktor-fakor struktural

yang menyebabkan suatu pasar terintegrasi atau tidak, sehingga penentu kebijakan dapat menentukan kebijakan dan investasi infrastruktur yang relevan untuk pengembangan pasar pertanian di suatu negara.

Goletti dan Christina-Tsigas (1995) mendefinisikan integrasi pasar sebagai kondisi yang dihasilkan akibat tindakan pelaku pemasaran serta lingkungan pemasaran yang mendukung terjadinya perdagangan, yang meliputi infrasruktur pemasaran dan kebijakan pemerintah, yang menyebabkan harga di suatu pasar ditransformasikan ke pasar lainnya. Integrasi pasar terjadi apabila terdapat informasi pasar yang memadai, dan informasi ini disalurkan dengan cepat dari suatu pasar ke pasar lain. Dengan demikian, fluktuasi perubahan harga yang terjadi pada suatu pasar dapat segera ditangkap oleh pasar yang lain. Hal ini pada gilirannya merupakan faktor yang dapat digunakan sebagai sinyal dalam pengambilan keputusan produsen.

Di samping itu, integrasi pasar dapat terjadi karena kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi industri dapat menghasilkan komoditi yang menjadi subtitusi bagi komoditi lain sehingga harga komoditi tersebut tidak independen lagi. Beberapa kondisi yang dibutuhkan untuk meningkatkan integrasi pasar, diantaranya adalah berhubungan dengan investasi publik terhadap akses fisik dan sumberdaya manusia, seperti jalan (transportasi) dan pendidikan.

González-Rivera dan Helfand (2001) menyatakan pasar dengan tingkat integrasi yang tinggi berimplikasi pada pembangunan ekonomi. Tingkat integrasi pasar yang tinggi akan meningkatkan pendapatan produsen dengan peningkatan pada perdagangan atau spesialisasi. Demikian pula dampaknya terhadap konsumen, khususnya yang sangat menghindari risiko, karena mengurangi kemungkinan perbedaan harga terhadap komoditas yang sebelumnya tidak dapat diperdagangkan.

Integrasi pasar dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu integrasi spasial dan integrasi vertikal. Menurut Arifin et al. (2006), analisis integrasi pasar spasial digunakan untuk memperoleh gambaran hubungan harga pasar beras antar wilayah sedangkan integrasi pasar vertikal merujuk pada integrasi pasar gabah tingkat petani, pasar beras tingkat konsumen dan pasar beras dunia.


(28)

16

2.2 Integrasi Pasar Spasial

Integrasi pasar spasial adalah tingkat keeratan hubungan antara pasar regional dengan pasar regional lainnya. Konsep integrasi pasar spasial, yang ditunjukkan dari hubungan harga antar pasar yang terpisah secara geografis, dapat dijelaskan dengan menggunakan model keseimbangan spasial atau Spatial

Equilibrium Model (Tomek dan Robinson 1990). Model ini dijelaskan dengan

mengembangkan kurva excess supply dan excess demand pada dua daerah yang melakukan perdagangan. Model ini memungkinkan untuk melakukan pendugaan harga yang terbentuk pada masing-masing pasar dan jumlah komoditi yang akan diperdagangkan.

Pasar dibagi menjadi dua kategori, yaitu pasar yang potensial surplus

(potential surplus market) dan pasar yang potensial defisit (potential deficit

market). Pasar potensial surplus adalah pasar yang memiliki kelebihan cadangan

terhadap konsumsi, sedangkan pasar potensial defisit adalah pasar yang memiliki kekurangan cadangan terhadap konsumsi. Prinsip umum untuk mengembangkan model perdagangan antar daerah digambarkan dengan bantuan diagram yang menunjukkan fungsi supply dan demand pada masing-masing pasar, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4 berikut.

Pasar A (Potensial Surplus) Pasar B(Potensial Defisit)

Sumber : Tomek dan Robinson (1990)

Gambar 4. Kurva Penawaran dan Permintaan pada Kondisi Pasar Potensial Surplus dan Pasar Potensial Defisit

Pada Gambar 4, ditunjukkan bahwa pasar A sebagai pasar potensial surplus dan pasar B sebagai paar potensial defisit. Jika tidak terjadi perdagangan maka harga yang terjadi adalah PA di pasar A dan PB di pasar B dimana PA < PB.


(29)

17 Kelebihan cadangan pada pasar A akan mendorong pelaku perdagangan di pasar A untuk menjual kelebihan cadangannya ke pasar lain, sedangkan pasar B akan mendatangkan barang dari pasar lain untuk mencukupi kebutuhannya.

Informasi dari gambar ini dapat digunakan untuk mengembangkan model keseimbangan spasial dengan mengembangkan kurva excess supply dan kurva

excess demand untuk menjelaskan hubungan harga akibat perdagangan antara dua

pasar. Excess supply adalah selisih antara jumlah yang ditawarkan dengan jumlah yang diminta pada suatu tingkat harga, yang semakin tinggi dengan semakin meningkatnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar A (PA). Adapun excess demand adalah selisih jumlah yang diminta dengan jumlah yang ditawarkan pada suatu tingkat harga, yang semakin tinggi dengan semakin rendahnya harga dan bernilai nol pada harga keseimbangan pasar B (PB).

Kurva excess supply dan excess demand dapat berubah searah dengan perubahan kekuatan supply atau demand pada masing-masing pasar. Misalnya terjadi peningkatan demand akibat peningkatan populasi di pasar B, maka excess

demand pada suatu tngkatan harga akan bertambah (ED1 ke ED2). Hubungan

antara kurva excess supply dan excess demand dalam keseimbangan spasial ditunjukkan dalam gambar 5 berikut.

Sumber : Tomek dan Robinson (1990)

Gambar 5. Kurva Excess Supply (Pasar A) dan Excess Demand (Pasar B)


(30)

18

Bila tidak ada biaya perdagangan maka kurva excess supply dan excess

demand berpotongan pada tingkat harga PE, dan sejumlah QE akan

diperdagangkan oleh pasar A ke pasar B. Volume perdagangan akan makin rendah dengan adanya biaya perdagangan. Efek biaya perdagangan terhadap jumlah dan harga keseimbangan dapat diilustrasikan dengan mengembangkan garis volume perdagangan yang ditunjukkan oleh garis xy. Perdagangan tidak akan terjadi jika biaya perdagangan sebesar PB-PA dan mencapai maksimum jika tidak ada biaya transfer. Jika tedapat biaya transfer sebesar t, maka keseimbangan terjadi pada jumlah yang diperdagangkan sebesar QE1 dengan harga keseimbangan PEA1 di pasar A dan PEB1 di pasar B.

Misal terjadi pergeseran demand di pasar B akibat peningkatan jumlah penduduk, maka harga di pasar B akan terdorong naik. Pergeseran ini akan menyebabkan excess demand meningkat dan menggeser kurva excess demand ke kanan (ED1 ke ED2). Perubahan excess demand ini menyebabkan garis perdagangan bergeser ke kanan (xy ke x’y’).

Perdagangan tidak akan terjadi pada saat biaya transfer sebesar PB2-PA dan mencapai maksimum (QE’) saat biaya transfernya nol. Jika biaya transfer tetap sebesar t, maka keseimbangan akan terjadi pada jumlah perdagangan sebesar QE2 dengan harga keseimbangan PEA2 di pasar A dan PEB2 di pasar B. Keterangan ini menjelaskan bahwa perubahan harga di suatu pasar akibat perubahan kekuatan pasar akan menyebabkan perubahan harga di pasar lain yang melakukan perdagangan dengan pasar tersebut.

2.3 Integrasi Pasar Vertikal

Integrasi pasar vertikal adalah tingkat keeratan hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran lainnya dalam satu rantai pemasaran. Hal ini penting pula untuk diketahui agar dapat melihat tingkat keeratan hubungan antara pasar produsen dan pasar eceran/pedagang. Pasar produsen adalah pasar yang didalamnya bekerja kekuatan permintaan dari pedagang dan kekuatan penawaran dari produsen, sedangkan pasar eceran adalah pasar yang didalamnya bekerja kekuatan permintaan dari konsumen akhir dan kekuatan penawaran dari pedagang.


(31)

19 Suatu pasar dikatakan terintegrasi vertikal apabila harga pada suatu lembaga pemasaran ditransformasikan kepada lembaga pemasaran lainnya dalam suatu rantai pemasaran secara selaras. Tingkat integrasi pasar yang tinggi menunjukkan lancarnya arus informasi antar lembaga pemasaran dalam satu rantai pemasaran sehingga harga yang terjadi pada pasar yang dihadapi oleh lembaga pemasaran yang lebih rendah, dipengaruhi oleh lembaga pemasaran yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan, apabila arus informasi berjalan lancar dan seimbang, maka tingkat lembaga pemasaran yang lebih rendah mengetahui informasi harga yang dihadapi oleh lembaga pemasaran diatasnya dan dapat menentukan posisi tawarnya dalam pembentukan harga.

Arifin et al. (2006) melakukan analisis integrasi pasar pada sembilan provinsi di Indonesia menggunakan metode VAR dan VECM. Data time series dibedakan atas 3 periode, yaitu (1) Rezim Orde Baru (1978-1997) dengan monopoli impor beras dilakukan oleh BULOG; (2) Rezim Pasar Bebas (1998-1999) karena impor beras dibiarkan bebas dengan bea masuk nol persen; dan (3) Rezim Pasar Terbuka Terkendali (2000-2004) karena impor beras dilaksanakan dengan tarif bea masuk Rp 430 per kilogram atau sekitar 30 persen dari harga jual. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pasar beras di lima wilayah kepulauan Indonesia (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara) pada masa Orde Baru telah terintegrasi walau tidak penuh, kemudian pasar beras semakin tersegmentasi pada rezim Pasar Bebas dan Pasar Terbuka Terkendali.

Pasar beras yang terintegrasi secara vertikal, yaitu antara harga gabah petani dan harga beras tingkat konsumen, hanya terjadi pada Rezim Orde Baru dengan transmisi harga dari gabah ke beras lebih cepat terjadi atau perubahan harga gabah yang terjadi di tingkat petani sangat cepat mempengaruhi harga beras di tingkat konsumen. Akan tetapi, perubahan harga beras di tingkat konsumen tidak direspon secara cepat oleh harga gabah di tingkat petani.

2.4 Faktor Penentu Integrasi Pasar

Beberapa penelitian yang spesifik bertujuan untuk mengetahui faktor penentu integrasi pasar, diantaranya adalah yang dilakukan oleh Goodwin dan


(32)

20

Schroeder (1991), Goletti et al. (1995) serta oleh Ismet et al. (1998), dimana dalam metodologinya umumnya dilakukan dalam dua tahap. Pertama, mengukur tingkat integrasi pasar secara spasial, kemudian selanjutnya melakukan analisis regresi terhadap beberapa explanatory variable hasil pengukuran integrasi pasar tersebut.

Penelitian oleh Goodwin dan Schroeder (1991)menunjukkan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi integrasi pasar ternak secara spasial di Amerika Serikat pada empat periode berbeda selama kurun waktu tahun 1980 hingga 1987, yaitu (1) resiko dan biaya terkait dengan perdagangan antara pasar tersebut (jarak antar pasar); (2) ukuran informasi pasar yang ditunjukkan oleh harga yang terbentuk pada suatu pasar tertentu (apakah merupakan pasar rujukan atau tidak); (3) ukuran pasar; dan (4) tingkat konsentrasi dari pasar pengemasan.

Hasil penelitian Goletti et al.(1995) menunjukkan bahwa jarak antar pasar, rasio infrastruktur telefon perkapita dan faktor tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap integrasi pasar beras di Bangladesh secara spasial, sedangkan faktor yang berpengaruh positif terhadap integrasi pasar adalah ketidaksamaan produksi dan infrastruktur transportasi jalan, karena mendorong terjadinya perdagangan.

Hasil penelitian Ismet et al. (1998) untuk seluruh periode waktu selama periode tahun 1982-1993, menunjukkan bahwa hanya pembelian/pengadaan beras oleh BULOG yang memiliki dampak signifikan terhadap integrasi pasar beras secara spasial di Indonesia. Adapun variabel lainnya seperti infrastruktur (jalan raya), pertumbuhan pasar (pendapatan perkapita di setiap wilayah), penjualan/penyaluran oleh BULOG, dan dummy variable swasembada produksi beras, tidak berdampak signifikan. Pada periode swasembada, pendapatan perkapita juga signifikan memiliki dampak positif.

Varela et al. (2012) menemukan bahwa integrasi pasar dipengaruhi oleh variabel remoteness, yaitu pembobotan jarak antara kota di suatu provinsi dengan kota utama (central) terdekat di provinsi lain berbanding dengan jumlah penduduk kota utama tersebut dan variabel infrastruktur berupa proporsi jalan beraspal dengan total jalanan. Adapun variabel Output Per Capita (OutputPC), yaitu produksi per tahun dibagi jumlah penduduk, yang berhubungan dengan hipotesis kemampuan memenuhi kebutuhannya sendiri (self-sufficiency) menunjukkan


(33)

21 hubungan non-linear. Semakin besar OutputPC maka integrasi pasar semakin rendah.

2.5 Tinjauan Penelitian Empiris

Konsep transmisi sinyal harga berhubungan dengan perilaku harga kompetitif. Secara spasial, ketentuan the Law of One Price (LOP) dan integrasi pasar menghasilkan model penentuan harga secara spasial dimana diasumsikan transmisi harga akan terus berlangsung hingga harga keseimbangan terhadap komoditi yang dijual di kedua pasar tersebut perbedaannya akan sebesar biaya transfernya (transfer cost). Perubahan yang terjadi pada pasokan dan permintaan di suatu pasar akan mempengaruhi perdagangan dan harga di pasar lainnya hingga kembali terjadi keseimbangan. Penerapan kebijakan harga pertanian juga tidak akan dapat berjalan efektif bila seluruh pasar tidak terintegrasi secara nasional. Suatu kebijakan harga secara nasional akan lebih tepat diterapkan terhadap pasar-pasar yang telah terintegrasi.

Transfer cost dan marjin pemasaran yang tinggi akibat buruknya sarana

infrastruktur, transportasi dan layanan komunikasi dapat menyebabkan suatu pasar terisolir dan menghambat terjadinya integrasi pasar dan transmisi harga. Selain itu, faktor lain yang juga ikut mempengaruhi dapat berupa kebijakan perdagangan internasional seperti kuota impor, tarif bea masuk, hambatan non tarif dan subsidi ekspor; atau kebijakan lokal seperti harga minimum dan intervensi harga (Sexton

et al. 1991). Selain infrastruktur pasar seperti transportasi, komunikasi, kredit dan

fasilitas penyimpanan yang akan melancarkan fungsi pasar, jarak antar pasar juga mempengaruhi kecepatan dari integrasi pasar.

Transmisi harga merupakan faktor penting karena memberikan informasi pada harga pertanian bagi produsen dalam rangka alokasi sumberdaya mereka. Selain itu, karena berbagai kebijakan diimplementasikan melalui instrumen harga maka dampak implementasi kebijakan tidak akan sampai ke seluruh rantai pemasaran pada suatu sistem pemasaran yang tidak terintegrasi. Transmisi harga yang tidak lengkap memberikan informasi insentif yang bias bagi produsen sehingga produktifitas dapat menurun.


(34)

22

Ghafoor dan Aslam (2012) melakukan penelitian integrasi pasar dan transmisi harga terhadap lima pasar beras utama di Pakistan menggunakan harga grosir rata-rata bulanan periode Januari 2000-Desember 2009. Analisis menggunakan kointegrasi Johansen dan Error Correction Mechanism, integrasi pasar mulanya diuji untuk kelima pasar tersebut, lalu menganalisis integrasi antar pasangan pasar. Integrasi diuji terhadap pasar beras dan harga FOB, serta antara harga FOB dan harga internasional. Guncangan jangka pendek dan penyesuaiannya dalam jangka panjang diestimasi dan dilakukan uji Granger-Causality untuk melihat arah penyesuaian harga dan menentukan pasar mana yang menjadi acuan harga bagi pasar lain.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelima pasar saling terintegrasi. Hasil ECM dari pasangan pasar menunjukkan 9 hingga 19 persen ketidakseimbangan (disequilibrium) berkurang setiap periodenya atau dalam satu bulan. Hal tersebut berimplikasi bahwa bila terdapat guncangan (shock) harga di suatu pasar maka dengan ekonomi yang berlaku akan membutuhkan 4 hingga 5 bulan penyesuaian hingga kembali ke keadaan keseimbangan jangka panjang. Temuan tersebut didukung oleh hasil analisis Granger-Causality yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan kointegrasi antar variabel dan kointegrasi antara harga FOB dan harga domestik, sedangkan antara harga FOB dan harga internasional tidak terdapat kointegrasi. Hal ini berarti bahwa pasar beras di Pakistan tidak terintegrasi baik dengan pasar internasional.

Aryani (2009) telah melakukan penelitian mengenai integasi spasial dalam pasar beras dan gula menggunakan pendekatan dengan model Vector

Autoregression (VAR) untuk melihat bagaimana integrasi pasar beras dan gula

antara Indonesia, Thailand dan Filipina. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa pasar beras dan gula di Thailand, Filipina dan Indonesia telah terintegrasi dengan tingkat integrasi yang sangat lemah. Artinya pengaruh perubahan dalam pasar beras dan gula suatu negara dalam mempengaruhi pergerakan pasar beras dan gula negara lainnya sangat kecil.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kondisi tersebut disebabkan masih adanya kebijakan pengendalian impor (tarif maupun non tarif) yang diterapkan oleh tiga negara ASEAN tersebut terhadap komoditas beras dan gula. Aryani


(35)

23 (2009) juga menyatakan bahwa variasi harga beras di Indonesia masih bisa dijelaskan oleh dirinya sendiri sebesar 74 persen sedangkan sisanya dijelaskan oleh variasi pada pasar Thailand dan Filipina. Hal tersebut terjadi karena pasar beras Indonesia sedikit terisolasi dari dua pasar beras negara lainnya yang disebabkan adanya kebijakan pengendalian impor dan posisi Indonesia sebagai net importer beras dimana kebutuhan beras domestik tidak hanya bergantung pada impor saja.

Istiqomah et. al. (2005) melakukan kajian mengenai volatilitas dan integrasi pasar beras Indonesia dengan pasar beras Dunia. Metode yang digunakan untuk melihat volatilitas harga yaitu standard deviation of the natural logarithm of

inter-year price growth sedangkan untuk mengkaji integrasi pasar digunakan

multivariate and bivariate price transmission analysis dengan menggunakan

Johansen maximum likelihood method. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa

dihapuskannya hak monopoli BULOG dalam mengimpor beras dimana perdagangan semakin liberal menjadikan harga beras semakin volatile baik harga ditingkat produsen maupun harga di tingkat retail. Sementara itu, Sebelum liberalisasi, harga beras domestik terintegrasi secara penuh dengan harga Dunia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa harga beras domestik bergerak searah dengan harga beras Dunia. Akan tetapi setelah liberalisasi, tidak terjadi integrasi pasar secara penuh pada pasar beras Indonesia. Istiqomah et. al. (2005) berpendapat bahwa hal yang dapat terjadi karena keterlambatan respon pasar terhadap kebijakan baru.

Penelitian Worldbank terhadap faktor penentu integrasi pasar dan transmisi harga di Indonesia dilakukan oleh Varela et al. (2012), terhadap beberapa komoditi, diantaranya pada komoditas minyak goreng, beras dan gula di tingkat eceran serta pada tepung terigu dan kedele di tingkat grosir. Tingkat integrasi diukur menggunakan kointegrasi dan menggunakan analisis regresi untuk melihat faktor penyebab perbedaan harga dan integrasi pasar.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat integrasi pasar pada komoditas beras dan gula dan perbedaan harga yang kecil dalam rentang 5-12 persen. Sebaliknya pada tepung terigu, kedele dan minyak goreng, terdapat integrasi pasar yang rendah dan perbedaan harga dengan rentang yang lebih besar yaitu 16-22 persen.


(36)

24

Integrasi antar provinsi di Indonesia ditunjukkan oleh tingkat remoteness dan kualitas infrastruktur transportasi di provinsi tersebut.

Bustaman (2003) melakukan penelitian yang mengukur derajat integrasi pasar beras tingkat provinsi di 15 provinsi utama, dan diperoleh hasil bahwa pasar-pasar tersebut saling terintegrasi secara spasial, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Adapun integrasi secara vertikal yang diukur pada 14 provinsi tersebut, kecuali pada provinsi Jakarta, menunjukkan bahwa pasar produsen dan konsumen saling terintegrasi dalam jangka pendek kecuali di provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan. Namun dalam jangka panjang, hampir seluruhnya terintegrasi dengan baik.

Demikian pula integrasi terhadap pasar beras domestik dengan pasar internasional, dimana sebelum tahun 1998 pasar domestik tidak terintegrasi dengan pasar internasional akibat restriksi yang dilakukan pemerintah Indonesia, namun setelah itu semakin terintegrasi dengan tingkat yang lemah karena masih terdapat hambatan impor berupa tarif dan ijin impor bagi swasta.

Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Burhan (2006), yang menunjukkan bahwa pasar beras dan gabah domestik terintegrasi dengan pasar beras dunia. Harga beras dunia berpengaruh positif terhadap harga beras domestik dan berpengaruh negatif terhadap harga gabah domestik. Volume impor sangat kecil pengaruhnya terhadap harga gabah dan beras domestik, sedangkan harga BBM memberikan pengaruh yang besar terhadap harga gabah dan beras domestik.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Aryani dan Ylius (2012), menunjukkan hal yang berbeda. Pasar-pasar beras tingkat eceran antara daerah pusat produksi beras di Indonesia tidak sepenuhnya terintegrasi. Hal tersebut menunjukkan struktur kompetitif yang tidak sempurna. Intervensi pemerintah dalam rangka stabilisasi harga beras masih sangat diperlukan. Gangguan yang terjadi di pasar beras Jakarta akan mempengaruhi harga di pasar beras pada provinsi lainnya.


(37)

25 2.6 Kerangka Pemikiran Penelitian

Perbedaan harga beras antar wilayah atau antar provinsi, atau bahkan antar negara diantaranya disebabkan oleh faktor permintaan dan penawaran yang berbeda. Faktor penawaran antar wilayah, tergantung pada output atau hasil produksi, khususnya padi, yang amat tergantung pada ketersediaan faktor produksi diantaranya ketersediaan air. Terdapat pula perbedaan curah hujan antar wilayah, saluran irigasi, lahan atau areal sawah, benih, pestisida dan juga pembiayaan atau modal. Faktor permintaan yang berbeda pula antar wilayah, diantaranya dipengaruhi oleh perbedaan jumlah konsumsi atau kebutuhan beras sesuai jumlah penduduk di wilayah tersebut, tingkat pendapatan masyarakatnya, industri atau usaha yang membutuhkan beras sebagai input produksi.

Selain perbedaan harga antar wilayah, juga dimungkinkan terdapat perbedaan antar waktu. Pada masa tertentu, misalnya saat Hari Besar Keagamaan seperti di bulan Ramadhan (Puasa) atau saat Lebaran, peningkatan permintaan akan bahan pangan khususnya beras dapat mendorong terjadinya peningkatan harga. Adapun perbedaan waktu mulai tanam padi antar wilayah, akan berdampak pada perbedaan masa panen sehingga terdapat perbedaan ketersediaan beras antar waktu dan antar wilayah di Indonesia. Ketersediaan juga dapat berubah bila terdapat gangguan pada produksi, misalnya terjadi gagal panen atau puso, baik karena banjir ataupun akibat hama atau penyakit.

Perbedaan harga beras antar wilayah ini akan mendorong terjadinya perdagangan antar wilayah. Termasuk diantaranya, bila pasar di suatu provinsi mengalami kenaikan harga beras, misalnya terdapat gangguan terhadap produksi yang mengakibatkan berkurangnya pasokan pada pasar tersebut. Kondisi ini akan terjadi bila terdapat integrasi pasar diantara wilayah atau pasar tersebut. Hal ini diakibatkan wilayah atau pasar yang berbeda tersebut saling memiliki informasi tentang ketersediaan, permintaan dan penawaran serta harga.

Beberapa hal dapat menjadi faktor pendorong peningkatan integrasi pasar beras di Indonesia, ataupun menjadi penghambat integrasi pasar beras. Untuk itu, setelah mengetahui tingkat integrasi pasar beras yang terjadi maka akan dianalisis faktor-faktor yang menjadi penentu integrasi pasar beras di Indonesia. Kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada gambar 6 berikut.


(38)

26

Gambar 6.

Kerangka Pemikiran

Pasar Beras Spasial Ketidakseimbangan Ketersediaan dan

Kebutuhan Beras

Provinsi/Negara Surplus Beras

Provinsi/Negara Defisit Beras Perbedaan Kondisi Antar Tempat

Aliran Perdagangan

Pasar Tidak Terintegrasi

Pasar Terintegrasi

IRF, FEDV

Analisis Integrasi Pasar Beras Spasial Analisis Faktor Penentu Integrasi Pasar

Trace Statistics

Analisis Regresi Uji Kointegrasi


(39)

III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder time

series berupa data mingguan harga retail beras jenis kualitas medium pada 26

provinsi di Indonesia, harga grosir beras jenis IR-64 kualitas II dan III pada Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), serta harga beras Thailand broken 15 persen dan Vietnam broken 15 persen sebagai harga beras internasional, selama periode tahun 2010-2012.

Data dikumpulkan dari beberapa instansi yang terkait yaitu Global

Agriculture Information Network – Foreign Agriculture Service (GAIN FAS

Report) – United States Departement of Agriculture (USDA), Badan Pusat

Statistik (BPS), Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC), dan BULOG.

3.2 Metode Analisis

3.2.1 Pengujian Kestasioneran Data

Data runtun waktu (time series) umumnya tidak stasioner, sedangkan berbagai metode ekonometrika yang digunakan untuk data time series berdasarkan pada asumsi stasioner. Jika suatu data time series tidak stasioner, maka aplikasi pengujian analisis statistik terhadap data tersebut akan tidak tepat. Persamaan regresi yang menggunakan data time series ekonomi yang sebagian besar memiliki tren terhadap waktu akan menghasilkan hasil yang signifikan dengan nilai R2 yang tinggi, namun dapat tidak berarti atau memberikan hasil yang

spurious (Granger dan Newbold 1974).

Suatu data time series dikatakan stasioner jika nilai tengah (mean) dan ragamnya konstan dari waktu ke waktu, serta covariance antara dua data runtun waktu hanya tergantung dari lag antara dua periode waktu tersebut. Untuk mengatasi data yang tidak stasioner pada nilai tengahnya, dapat dilakukan proses pembedaan atau diferensiasi (differencing) terhadap deret data asli. Diferensiasi merupakan proses mencari perbedaan antara data satu periode dengan periode sebelumnya secara berurutan. Adapun untuk mengatasi data yang tidak stasioner pada ragamnya, umumnya dilakukan transformasi data asli ke bentuk Ln


(40)

28

(logaritma natural) atau akar kuadrat. Menghilangkan pengaruh musiman

(seasonal) pada data yang tidak stasioner akibat pengaruh musiman juga dapat

merubah data menjadi stasioner (Juanda dan Junaidi 2012).

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menguji kestasioneran data adalah metode Dickey-Fuller (DF). Misalkan suatu model persamaan sebagai berikut :

Yt =β0+β1Yt−1+ ut ... (3.1) Bila masing-masing ruas kanan dan kiri dari persamaan (3.1) dikurang Yt-1 maka dapat dituliskan :

Yt −Yt1 = β01Yt1−Yt1+ ut ... (3.2)

∆Yt =β0+ (β1−1)Yt−1+ ut ... (3.3)

∆Yt =β0+γ Yt−1+ ut ... (3.4) Dimana γ=β1−1, dan ΔYt merupakan fist difference dari Yt.

Uji DF dilakukan dengan menghitung nilai τ-statistik dengan rumus :

τγ =se (γγ)... (3.5)

Hipotesis yang digunakan adalah :

H0 : �= 0 ,terdapat akar unit atau Yt tidak stasioner H1 : �< 0 ,tidak terdapat akar unit atau Yt stasioner

Nilai τ-statistik yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan τ-McKinnon

Critical Values. Jika τ-statistik < τ-tabel, maka tidak cukup bukti untuk menolak

hipotesis H0 bahwa persamaan mengandung akar unit, yang berarti data tidak stasioner.

3.2.2 Penentuan Lag (Ordo) Optimal

Penentuan panjang lag yang optimal sangat penting dalam pembentukan model VAR karena variabel endogen dalam sistem persamaan akan digunakan sebagai variabel eksogen dan diperlukan untuk menangkap pengaruh dari setiap variabel terhadap variabel lainnya di dalam sistem VAR serta menghindari kemungkinan terjadinya autokorelasi residual. Penentuan lag optimal bisa menggunakan beberapa kriteria informasi sebagai berikut: (1) Akaike Information


(41)

29

Information Criterion (HQ), (4) Likelihood Ratio (LR), dan (5) Final Prediction

Error (FPE).

Panjang lag optimal terjadi jika nilai-nilai kriteria di atas mempunyai nilai absolut paling kecil, kecuali kriteria LR menggunakan yang terbesar, bila hanya menggunakan salah satu kriteria. Sedangkan bila menggunakan beberapa kriteria maka harus menggunakan kriteria tambahan yaitu adjusted R2 sistem VAR. Panjang lag optimal terjadi jika nilai adjusted R2 paling tinggi.

3.2.3 Analisis Kointegrasi

Kointegrasi adalah hubungan jangka panjang yang terjadi antara dua series atau lebih data yang masing-masing bersifat non-stasioner pada level (I(1)), dimana fungsi linier hubungan jangka panjangnya bersifat stasioner (I(0)). Kointegrasi mengakibatkan harga bergerak berdekatan bersama-sama pada jangka panjang meskipun pada jangka pendek bergerak sendiri-sendiri.

Pengujian kointegrasi bertujuan untuk mengetahui apakah suatu grup yang terdiri dari beberapa data non-stasioner terkointegrasi atau tidak. Salah satu metode pengujian kointegrasi adalah pengujian kointegrasi multivariate Johansen menggunakan pendekatan maximum likehood untuk menguji hubungan kointegrasi berdasarkan model unrestricted p-dimensional VAR (Vector

Autoregression) lag order k.

�� = �0+�1��−1+�2��−2+ . . . +����−� +�� ... (3.6) Persamaan (3.6) dapat diestimasi menggunakan OLS karena setiap variabel dalam Yt diregresikan terhadap nilai lag dirinya sendiri dan terhadap semua variabel lain dalam sistem. Sebagaimana Yt diasumsikan non stasioner, maka bila terdapat integrasi akan digunakan Vector Error Correction Model (VECM) dan bila tidak terintegrasi digunakan VAR pada first difference (FD). Persamaan (3.6) kemudian dapat dituliskan dalam bentuk FD atau error correction model berikut :

∆�� =�0+Γ1Δ��−1 +Γ2Δ��−2+ . . . +Γ�−1Δ��−�−1+Π��−� +��... (3.7) Dimana ∆� =� − ��−1;

Γ� =−(� −A1−A2− …−A�), (�= 1, … ,� −1);


(42)

30

VECM tersebut mengandung informasi mengenai perubahan jangka pendek dan jangka panjang sebagaimana dinyatakan oleh parameter Гi dan П. Matriks П kemudian akan digunakan untuk menentukan apakah sistem regresi yang ada berkointegrasi atau tidak.

Jika dimisalkan komponen dari vektor Yt merupakan integrasi berordo satu

atau I(1), maka П Yt-1 merupakan kombinasi linear dari variabel ΔYt-1 I(1). Estimasi semua kemungkinan kombinasi dari Yt-1 yang menghasilkan korelasi

yang erat dengan elemen stasioner ΔYt-1, adalah :

1. Jika Rank П=0, maka tidak ada variabel-variabel yang terkointegrasi satu sama lain.

2. Jika Rank П=m, dimana m adalah banyaknya variabel dalam model VAR, maka semua variabel-variabel terkointegrasi satu sama lain.

3. Jika 0<Rank П<m, maka Rank П menyatakan banyaknya variabel yang terkointegrasi adalah antara 0 dan m.

Matriks П dapat didekomposisi menjadi П=αβ T dimana α merupakan

speed

of adjustment dan β adalah matriks koefisien jangka panjang sedemikian rupa

sehingga βT

Yt-1 merupakan hubungan-hubungan kointegrasi yang menjamin bahwa Yt mencapai keseimbangan jangka panjang.

Pengujian kointegrasi dengan metode Johansen memungkinkan pengujian terhadap vektor kointegrasi yang signifikan melalui dua uji yang berbeda, yaitu melalui penelusuran trace test dan maximum eigenvalue. Trace test merupakan uji

likelihood ratio untuk mengetahui vektor kointegrasi r (rank matriks П) terbanyak

dengan persamaan :

λtrace =−T∑ln(1− λi)... (3.8)

Dimana T adalah jumlah observasi dan λtrace adalah eigenvalue.

Uji penelusuran maximum eigenvalue dilakukan dengan menguji relevansi

kolom r+1 dalam β dengan persamaan :

λmax = −T ln(1− λr+1) ... (3.9) Misalnya rank r yang kita duga adalah r0, maka untuk menguji hipotesis dilakukan secara berurutan dengan hipotesis sebagaimana berikut :

H0 : r = r0 H1 : r0= r0+1


(43)

31 Jika nilai statistik yang diperoleh dari pengujian lebih kecil dari nilai kritis Johansen maka H0 tidak dapat ditolak. Jika H0 : r = 0 tidak ditolak maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat vektor kointegrasi dan pengujian tidak dilanjutkan. Sebaliknya jika H0 : r = 0 dapat ditolak, berarti terdapat satu vektor kointegrasi dan pengujian dilanjutkan sampai diperoleh nilai statistik dimana H0 tidak dapat ditolak.

3.2.4 Estimasi VAR dan VECM

VAR adalah suatu sistem persamaan dimana setiap variabel merupakan fungsi linier dari lag variabel itu sendiri dan lag variabel lain. Model ekonometrika ini dibangun dengan meminimalkan pendekatan teori dengan tujuan agar dapat menangkap fenomena ekonomi dengan baik. Model VAR disebut sebagai model non struktural atau model tidak teoritis (ateoritis).

Pembentukan model VAR dilakukan dalam beberapa tahap, yang diawali uji kestasioneran dan pengujian kointegrasi. Jika dari pengujian kestasioneran disimpulkan jika data sudah stasioner pada tingkat level, maka digunakan model VAR biasa (unrestricted VAR). Sebaliknya jika data tidak stasioner pada level tapi menjadi stasioner setelah dilakukan diferensiasi, selanjutnya harus dilakukan pengujian kointegrasi. Jika terdapat kointegrasi maka model yang digunakan adalah VECM, tetapi jika tidak terdapat hubungan kointegrasi maka digunakan model VAR dalam bentuk diferensiasi (VAR in difference).

Model VECM merupakan model VAR non struktural yang juga disebut model VAR terestriksi (restricted VAR) karena merestriksi hubungan perilaku jangka panjang antar variabel agar konvergen ke dalam hubungan kointegrasi tetapi tetap membiarkan perubahan-perubahan dinamis dalam jangka pendek. Istilah error correction digunakan karena adanya koreksi secara bertahap melalui penyesuaian jangka pendek terhadap deviasi dari long run equilibrium model.


(44)

32

Sumber : Juanda dan Junaidi (2012), Enders (2004)

Gambar 7. Sistematika Pengolahan Vector Autoregression (VAR) 3.2.5 Analisis Impulse Response Function (IRF)

Model VAR dapat digunakan untuk melihat dampak perubahan yang dialami oleh salah satu variabel dalam sistem terhadap variabel lain dalam sistem secara dinamis, yaitu dengan memberikan guncangan (shock) pada salah satu variabel endogen. Guncangan yang diberikan biasanya sebesar satu standar deviasi dari variabel tersebut dan disebut dengan innovations. Penelusuran pengaruh guncangan sebesar satu standar deviasi yang dialami salah satu variabel dalam sistem terhadap nilai-nilai semua variabel saat ini dan beberapa periode mendatang disebut sebagai teknik Impulse Response Function (IRF).

Misalnya untuk suatu model VAR(p) dapat ditulis dalam bentuk Vector

Moving Average (VMA) berikut :

Yt =μ+ vt + A1vt1+ A2vt2+ Apvtp ... (3.10) Jika vektor vt naik sebesar vektor d, maka dampak terhadap Yt+s untuk s>0, diberikan oleh Asd. Sehingga matriks As merupakan dampak kenaikan satu unit vit terhadap Yt+s. Dampak tersebut diplot dengan s, dimana s>0. Hal ini yang disebut dengan IRF. Matriks As dapat dinyatakan sebagai berikut :

�� =∂ Y∂����+�... (3.11)

Data Time Series

Pengujian Akar Unit

Terdapat Kointegrasi Data Stasioner pada Level Data Stasioner pada First Difference

Unrestricted VAR Uji Kointegrasi

Tidak Ada Kointegrasi

VECM VAR in difference


(45)

33 3.2.6 Analisis Forecast Error Decomposition Variance (FEDV)

Analisis Forecast Error Decomposition Variance (FEDV) digunakan untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap peubah karena adanya perubahan peubah tertentu dalam sistem VAR. Analisis ini dilakukan terhadap hubungan antar harga beras tingkat retail terhadap pasangan masing-masing provinsi; antara harga beras tingkat retail pada masing-masing provinsi dengan harga beras tingkat grosir jenis IR-64 kualitas II dan kualitas III di PIBC; serta antara harga beras tingkat grosir jenis IR-64 kualitas II dan kualitas III di PIBC dengan harga beras internasional Thailand broken 15 persen dan Vietnam broken 15 persen yang memiliki kointegrasi pasar.

3.2.7 Analisis Faktor Penentu Integrasi Pasar Beras di Indonesia

Untuk mengetahui faktor penentu integrasi pasar beras, maka penelitian ini menduga terdapat beberapa variabel yang menjadi faktor penentu integrasi pasar beras spasial di Indonesia. Beberapa explanatory variable yang diduga merupakan faktor penentu integrasi pasar beras spasial antar provinsi di Indonesia diregresikan dengan dependent variable berupa nilai trace statistic hasil uji kointegrasi Johansen antar pasangan pasar di 26 provinsi yang telah dilakukan sebelumnya, berdasarkan model penelitian Varela et al. (2012). Nilai trace

statistic memberikan bukti terjadinya pergerakan harga dan indikasi bahwa

terdapat integrasi spasial. Demikian pula sebaliknya.

Variabel yang diduga merupakan faktor-faktor penentu integrasi pasar beras spasial di Indonesia, diantaranya merujuk pada penelitian Goodwin dan Schroeder (1991), Goletti et al. (1995) dan Ismet et al. (1998). Variabel-variabel tersebut adalah :

• TSij, yaitu nilai trace statistic dari hasil pengujian kointegrasi antar pasangan pasar di 26 provinsi yang telah dilakukan sebelumnya antara provinsi i dan j. • Jarakij, yaitu jarak provinsi i dan provinsi j dalam kilometer. Diharapkan

koefisiennya bertanda negatif. Semakin besar nilainya maka semakin rendah tingkat integrasi pasar yang terjadi.

• Jalani dan Jalanj, yaitu proporsi kilometer jalanan beraspal terhadap total kilometer panjang jalanan. Diharapkan koefisiennya bertanda positif, karena


(46)

34

dengan infrastruktur transportasi yang lebih baik maka akan mengurangi

transportation cost dan akan meningkatkan integrasi pasar.

• PCIi dan PCIj, yaitu pendapatan perkapita riil (percapita income). Berupa produk domestik regional bruto per kapita (ribu rupiah) atas dasar harga berlaku menurut provinsi. Diharapkan koefisiennya bertanda positif, karena provinsi dengan PCI yang lebih tinggi akan memiliki pasar yang lebih berkembang, infrastruktur lebih baik dan perdagangan lebih lancar.

• Proci dan Procj, yaitu procurement, jumlah kilogram pembelian beras petani oleh BULOG. Diharapkan koefisiennya bertanda positif, karena semakin besar pembelian yang dilakukan BULOG maka arus perdagangan dan integrasi pasar juga semakin besar.

• Disti dan Distj, yaitu distribusi atau jumlah kilogram penyaluran beras RASKIN untuk keluarga miskin oleh BULOG. Diharapkan koefisiennya bertanda negatif, karena dengan adanya RASKIN maka akan mengurangi permintaan ke pasar beras.

Model persamaan regresi untuk meneliti faktor penentu integrasi pasar berdasarkan model penelitian Varela et al. (2012) dapat dinyatakan sebagai berikut :

���� = �0 +�1������� +�2������ +�3������ +�4����+�5���� +

�6�����+�7����� +�8����� +�9����� +���... (3.12) Tanda parameter estimasi yang diharapkan adalah β2, β3, β4, β5, β6, β7 > 0;


(47)

IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Integrasi Pasar Beras Spasial 4.1.1 Pengujian Kestasioneran Data

Langkah awal analisis integrasi pasar beras adalah pengujian akar unit untuk melihat kestasioneran series harga masing-masing provinsi. Hal ini dilakukan karena adanya dugaan bahwa sebagian besar data deret waktu bersifat tidak stasioner dan menghindari spurious regression pada model. Uji akar unit dilakukan dengan metode ADF pada tingkat level dan pada tingkat first

difference. Hasil uji akar unit ditampilkan pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4. Hasil Uji Akar Unit Series Harga Beras Tingkat Retail pada 26 Provinsi di Indonesia

Lag

Optimal

ADF

Test

Lag Optimal

ADF

Test

1 Aceh 0 -2.94 3 -8.61 *

2 Sumut 0 -2.15 0 -10.47 *

3 Riau 1 -2.81 0 -9.28 *

4 Sumbar 1 -2.25 0 -10.19 *

5 Jambi 0 -2.24 0 -11.33 *

6 Sumsel 0 -1.84 0 -11.94 *

7 Bengkulu 0 -2.08 0 -11.84 *

8 Lampung 0 -2.01 0 -12.99 *

9 DKI 0 -2.61 0 -12.68 *

10 Jabar 0 -2.91 0 -13.82 *

11 Jateng 1 -2.19 0 -8.52 *

12 DIY 1 -2.63 0 -11.17 *

13 Jatim 1 -2.00 0 -9.14 *

14 Kalbar 0 -1.61 0 -13.50 *

15 Kaltim 0 -3.70 0 -13.00 *

16 Kalsel 0 -2.45 0 -11.56 *

17 Kalteng 0 -2.20 0 -10.54 *

18 Sulut 0 -2.90 0 -12.81 *

19 Sulteng 0 -3.06 0 -12.03 *

20 Sultra 1 -2.37 0 -17.78 *

21 Sulsel 0 -1.58 0 -13.21 *

22 Bali 0 -1.38 0 -10.35 *

23 NTB 0 -1.97 0 -11.58 *

24 NTT 0 -2.68 0 -11.18 *

25 Maluku 0 -1.75 0 -12.13 *

26 Papua 0 -1.73 0 -14.08 *

Level Variabel

Series

No.

First Difference

Keterangan : Panjang lag optimal berdasarkan Schwarz Info Criterion (SIC), Hipotesis H0 : Series memiliki akar unit (nonstasioner), Nilai Kritis mengikuti Mackinnon (1996). Tanda *, ** dan *** menunjukkan penolakan bahwa terdapat akar unit pada taraf nyata 1%, 5% dan 10% untuk nilai kritis 1% = -4.02; 5% = -3.44; and 10% = -3.14.


(48)

36

Hasil pengujian akar unit untuk mengetahui kestasioneran series harga beras tingkat retail pada 26 provinsi di Indonesia pada Tabel 4 menunjukkan bahwa untuk seluruh variabel pada tingkat level, tidak terdapat cukup bukti untuk menolak hipotesis nol memiliki akar unit, artinya data tidak stasioner pada level. Adapun pada tingkat first difference terdapat cukup bukti untuk menolak hipotesis nol adanya akar unit pada taraf nyata 1%. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh series harga beras tingkat retail pada 26 provinsi di Indonesia merupakan I(1).

Pengujian akar unit juga dilakukan terhadap series harga beras tingkat grosir jenis IR-64 kualitas II dan kualitas III di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) serta harga beras internasional jenis Thailand broken 15 persen dan Vietnam broken 15 persen dengan metode ADF pada tingkat level dan pada tingkat first difference. Hasil uji akar unit ditampilkan pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Hasil Uji Akar Unit Series Harga Beras Tingkat Grosir di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) dan Harga Beras Internasional

Lag Optimal

ADF Test

Lag Optimal

ADF Test

IR64_2 1 -2.26 0 -9.62 *

IR64_3 0 -2.00 0 -10.35 *

Thai broken 15% 2 -2.96 1 -6.29 *

Viet broken 15% 0 -1.71 0 -10.63 *

Variabel Series

Level First Difference

Keterangan : Panjang lag optimal berdasarkan Schwarz Info Criterion (SIC), Hipotesis H0 : Series memiliki akar unit (nonstasioner), Nilai Kritis mengikuti Mackinnon (1996). Tanda *, ** dan *** menunjukkan penolakan bahwa terdapat akar unit pada taraf nyata 1%, 5% dan 10% untuk nilai kritis 1% = -4.02; 5% = -3.44; and 10% = -3.14.

Hasil pengujian akar unit untuk mengetahui kestasioneran series harga beras tingkat grosir jenis IR-64 kualitas II dan kualitas III di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) serta harga beras internasional jenis Thailand broken 15 persen dan Vietnam broken 15 persen pada Tabel 5 menunjukkan bahwa untuk seluruh variabel pada tingkat level, tidak terdapat cukup bukti untuk menolak hipotesis nol memiliki akar unit, artinya data tidak stasioner pula pada level. Adapun pada tingkat first difference terdapat cukup bukti untuk menolak hipotesis nol adanya akar unit pada taraf nyata 1%. Hal ini mengindikasikan bahwa seluruh series harga beras tingkat grosir jenis IR-64 kualitas II dan kualitas III di PIBC serta harga beras internasional jenis Thailand dan Vietnam merupakan I(1).


(49)

37 Untuk menduga apakah suatu data bersifat stasioner atau tidak, dapat juga dilihat secara visual dari tren atau kecenderungan pola data tersebut. Grafik seluruh series harga beras tingkat retail pada 26 provinsi di Indonesia, harga tingkat grosir jenis IR-64 kualitas II dan kualitas III di Pasar Induk Beras Cipinang (PIBC) serta harga beras internasional jenis Thailand broken 15 persen dan Vietnam broken 15 persen pada tingkat level dan first difference secara berurutan dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2.

4.1.2 Penentuan Lag Optimal

Setelah mengetahui kestasionerannya, langkah selanjutnya adalah melakukan pengujian kointegrasi untuk melihat keseimbangan yang terjadi antara kedua harga dalam jangka panjang. Metode yang digunakan adalah Johansen

Cointegration Test. Pengujian kointegrasi Johansen berdasarkan pada model

unrestricted p-dimensional VAR lag order k. Penentuan lag optimal berdasarkan

kriteria pemilihan pada LR yang terbesar atau pada AIC, SC, FPE atau HQ bernilai terkecil. Lag optimal yang digunakan pada masing-masing pengujian kointegrasi antar harga beras tingkat retail terhadap pasangan provinsi; antara harga beras tingkat retail pada masing-masing provinsi dengan harga beras tingkat grosir jenis IR-64 kualitas II dan kualitas III di PIBC; serta antara harga beras tingkat grosir jenis IR-64 kualitas II dan kualitas III di PIBC dengan harga beras internasional Thailand broken 15 persen dan Vietnam broken 15 persen dapat dilihat pada Lampiran 3.

4.1.3 Pengujian Kointegrasi Johansen

Hasil pengujian kointegrasi Johansen antar harga beras tingkat retail terhadap pasangan masing-masing provinsi; antara harga beras tingkat retail pada masing-masing provinsi dengan harga beras tingkat grosir jenis IR-64 kualitas II dan kualitas III di PIBC; serta antara harga beras tingkat grosir jenis IR-64 kualitas II dan kualitas III di PIBC dengan harga beras internasional Thailand

broken 15 persen dan Vietnam broken 15 persen menggunakan statistik uji trace

dan statistik uji maximum eigenvalue secara berurutan dapat dilihat pada Lampiran 4 dan Lampiran 5. Nilai trace statistik dan maximum eigenvalue yang lebih besar dari titik kritis pada taraf nyata tertentu, dalam hal ini α=5%,


(50)

38

menunjukkan tingkat kointegrasinya. Semakin besar nilai trace statistik dan

maximum eigenvalue maka semakin tinggi tingkat kointegrasinya.

1) Kointegrasi Pasar Beras Antar Provinsi

Dari 325 pengujian kointegrasi Johansen yang dilakukan terhadap pasangan harga beras tingkat retail pada 26 provinsi di Indonesia, berdasarkan hasil nilai

trace statistic dari masing-masing pengujian pasangan tersebut menunjukkan

bahwa terdapat 125 kointegrasi yang signifikan pada taraf nyata α=5%. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat integrasi pasar spasial antar provinsi sebesar 38.46 persen. Adapun hasil nilai statistik uji menggunakan maximum eigenvalue dari masing-masing pengujian pasangan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 118 kointegrasi yang signifikan pada taraf nyata α=5% dan memperlihatkan bahwa terdapat integrasi pasar spasial antar provinsi sebesar 36.31 persen.

Perbedaan hasil pengujian kointegrasi Johansen tersebut adalah apabila menggunakan statistik uji trace, maka terdapat 125 kointegrasi, kecuali di Aceh-Sulteng, Sumut-Sumbar, Sumut-Aceh-Sulteng, Jambi-NTB, Jambi-NTT, Sumsel-NTB, Bengkulu-Jatim, Bengkulu-NTB, Lampung-DKI, Lampung-Kalsel, DIY-Kalteng, Kaltim-Sulut, Kalsel-Sulut, Kalteng-Sulteng, Kalteng-Sulsel, Kalteng-Bali, Kalteng-NTT, dan Bali-Papua yang menurut statistik uji maximum eigenvalue

tidak memiliki kointegrasi. Sebaliknya, dari 118 kointegrasi yang diperoleh bila menggunakan statistik uji maximum eigenvalue, kecuali di Sumut-Riau, Sumbar-Jambi, Sumbar-Lampung, Sumbar-NTT, Sumbar-Maluku, Bengkulu-Maluku, Jateng-Sulteng, DIY-Sulut, Sulteng-NTT, Sulteng-Papua, dan Sulsel-NTB yang menurut statistik uji trace tidak memiliki kointegrasi.

Berdasarkan hasil nilai trace statistic dan maximum eigenvalue yang menunjukkan bahwa terdapat integrasi pasar spasial antar provinsi sebesar 38.46 persen dan sebesar 36.31 persen, maka dapat dikatakan bahwa harga beras tingkat retail pada pasar 26 provinsi di Indonesia tidak terintegrasi secara penuh. Hanya terdapat beberapa kointegrasi yang terjadi antar pasangan provinsi, yaitu kointegrasi antar harga beras tingkat retail di pulau Jawa, antara provinsi penghasil beras lainnya dengan pasar di pulau Jawa, dan antara harga beras


(1)

105 Lampiran 10. Output regresi faktor penentu integrasi pasar beras

Dependent Variable: TS Method: Least Squares Date: 09/20/13 Time: 04:09 Sample: 1 325

Included observations: 325

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 5.423014 0.738388 7.344400 0.0000

JARAK -0.037875 0.041976 -0.902297 0.3676

JALAN1 0.608026 0.157415 3.862558 0.0001 ***

JALAN2 0.312183 0.114398 2.728930 0.0067 ***

PCI2 0.081116 0.043737 1.854638 0.0646 *

PROC1 0.037166 0.020419 1.820140 0.0697 *

DIST1 -0.150514 0.044181 -3.406739 0.0007 *** DIST2 -0.105594 0.031747 -3.326166 0.0010 *** R-squared 0.125237 Mean dependent var 2.883278 Adjusted R-squared 0.105920 S.D. dependent var 0.526706 S.E. of regression 0.498031 Akaike info criterion 1.468000 Sum squared resid 78.62713 Schwarz criterion 1.561140 Log likelihood -230.5499 Hannan-Quinn criter. 1.505172 F-statistic 6.483404 Durbin-Watson stat 1.969356 Prob(F-statistic) 0.000000

Keterangan : * signifikan pada taraf nyata 10% ** signifikan pada taraf nyata 5% *** signifikan pada taraf nyata 1%


(2)

(3)

(4)

(5)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah integrasi pasar beras, dengan judul Analisis Faktor Penentu Integrasi Pasar Beras di Indonesia.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah banyak memberikan bantuan, terutama kepada :

1. Ibu Dr. Lukytawati Anggraeni, SP, MSi dan Bapak Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku Komisi Pembimbing atas segala bimbingan dan arahan yang telah diberikan. Ucapan yang sama penulis sampaikan pula kepada Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis dan kepada Dr. Meti Ekayani, S.Hut, M.Sc selaku Penguji Wakil Komisi Pendidikan atas seluruh masukan dan arahan yang sangat berharga.

2. Direksi Perum BULOG beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan belajar untuk melanjutkan pendidikan dan dukungan beasiswa. 3. Seluruh staf pengajar pada Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian (EPN) atas

seluruh ilmu yang diajarkan.

4. Seluruh staf di Sekretariat PS EPN atas seluruh bantuan dan dukungan yang diberikan.

5. Rekan-rekan seperjuangan di PS EPN angkatan 2011.

6. Orangtua penulis, Bapak Ardijanto Soetedjo dan Ibu Dwi Hidayati serta Bapak Sriyanto Widopanuksmo dan Ibu Sri Daryanti, beserta seluruh keluarga besar yang telah meberikan doa dan dukungan.

7. Istri tercinta, Triana Dewi Arumtyasari dan putri-putri tersayang, Ayska Assyifa Khadijah Tsuraya dan Alika Shaffiya Aisyah Kamila yang selalu memberikan kasih sayang, doa dan dukungan kepada penulis.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Maret 2014


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 24 April 1977 dari Bapak Ardijanto Soetedjo dan Ibu Dwi Hidayati. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara.

Pendidikan formal sejak Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas yaitu SMAN 2 Makassar ditempuh di Makassar, Sulawesi Selatan. Demikian pula di Perguruan Tinggi yaitu pada Program Studi Statistika Terapan Jurusan Matematika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Hasanuddin Makassar. Sejak tahun 2005, penulis bekerja pada Perum BULOG Kantor Pusat di Jakarta. Selanjutnya penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Program Magister pada Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Pertanian pada tahun 2011 melalui beasiswa dari Perum BULOG.

Penulis menikah dengan Triana Dewi Arumtyasari dan dikaruniai dua orang putri, yaitu Ayska Assyifa Khadijah Tsuraya dan Alika Shaffiya Aisyah Kamila.

Bogor, Maret 2014