Kelayakan Usaha Tempe Skala Kecil dan Menengah di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung

KELAYAKAN USAHA TEMPE SKALA KECIL DAN
MENENGAH DI KECAMATAN BALEENDAH
KABUPATEN BANDUNG

RADEN ARGINIA REGINA SARI ADISUDARMA

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

i
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kelayakan Usaha
Tempe Skala Kecil Dan Menengah Di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juni 2014

Raden Arginia Regina Sari Adisudarma
NIM H34114085

ii

ABSTRAK
RADEN ARGINIA REGINA SARI ADISUDARMA. Kelayakan Usaha Tempe
Skala Kecil dan Menengah di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung.
Dibimbing oleh TINTIN SARIANTI.
Tempe adalah salah satu produk olahan tradisional khas Indonesia yang
bergizi tinggi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis kelayakan
usaha tempe pada 2 skala usaha yaitu skala usaha dibawah 100 kg kedelai / hari
dan skala usaha diatas 100 kg kedelai / hari. Metode analisis yang digunakan yaitu

analisis non finansial seperti aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek
hukum, aspek sosial, dan aspek lingkungan. Analisis finansial ditentukan dari
beberapa kriteria investasi seperti NPV, IRR, Net B/C dan Payback Period.
Analisis switching value dilakukan untuk mengukur perubahan kenaikan harga
kedelai dan penurunan produksi. Hasil penelitian yang dilakukan pada kedua skala
usaha menunjukan bahwa usaha tersebut layak untuk dilakukan. Hasil dari
switching value dari skala usaha kecil dan skala usaha menengah, menunjukan
bahwa penurunan produksi lebih berpengaruh terhadap kelayakan usaha
dibandingkan kenaikan harga kedelai.
Kata kunci: kelayakan, kenaikan harga kedelai, tempe

ABSTRACT
RADEN ARGINIA REGINA SARI ADISUDARMA. Feasibility of Small and
Medium Scale Businesses of Tempe in Baleendah, Bandung. Supervised by
TINTIN SARIANTI.
Tempe is one of many Indonesian traditional food that highly nutritious.
The aim of this research was to analyze the feasibility of the 2 scales of tempe
business wich are above 100 kg/day scale of business and below 100 kg/day scale
of business. Analysis method used was non financial analysis method such as
market aspects, technical aspects, management aspects, and legal aspects, social

and environmental aspects. Financial analysis was determined by some criterias
such as NPV, IRR, Net B/C and Payback Period. Switching value analysis
conducted to measure the change of the price increase and decrease in soybean
production. The result showed that both of the two scales of tempe business were
feasible. The result of switching values analysis showed that on both scales the
decreasing of production had more impact on/ was more affecting business
feasibility than that of the increasing of soybean price.
Keywords: feasibility, price increasing of soybeans, tempe

iii

KELAYAKAN USAHA TEMPE SKALA KECIL DAN
MENENGAH DI KECAMATAN BALEENDAH
KABUPATEN BANDUNG

RADEN ARGINIA REGINA SARI ADISUDARMA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi

pada
Departemen Agribisnis

DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

iv
Judul skripsi : Kelayakan Usaha Tempe Skala Kecil dan Menengah di
Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung
Nama
: Raden Arginia Regina Sari Adisudarma
NIM
: H34114085

Disetujui oleh

Tintin Sarianti, SP. MM

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Dwi Rachmina, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

v

PRAKATA
Segenap puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat kepada Allah SWT,
karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya penuils dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Kelayakan Usaha Tempe Skala Kecil dan Menengah di
Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung”. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurah pada junjungan alam Nabi Muhammad SAW.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Tintin Sarianti, SP. MM selaku
pembimbing, Dra. Yusalina, MSi selaku pembimbing akademik, Ir. Popong
Nurhayati, MM selaku evaluator kolokium, Dr. Ir. Suharno, MAdev selaku

penguji utama, dan Rahmat Yanuar, SP. MSi selaku penguji komisi pendidikan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pengrajin tempe di Kecamatan
Baleendah Kabupaten Bandung, serta Sekretaris KOPTI Kabupaten Bandung.
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada mamah, ayah, serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Saya ucapkan terima kasih kepada
sahabat-sahabat yang senantiasa selalu memberikan motivasi dan persahabatan
yang luar biasa, teman-teman di Departemen Agribisnis yang telah membantu
selama perkuliahan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juni 2014

Raden Arginia Regina Sari Adisudarma

vi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix
PENDAHULUAN ................................................................................................... 1

Latar Belakang ..................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................. 3
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 4
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 4
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 5
KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................................... 8
Kerangka Pemikiran Teoritis ............................................................................... 8
Kerangka Pemikiran Operasional ...................................................................... 12
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 14
Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................................. 14
Jenis dan Sumber Data ....................................................................................... 14
Metode Pengumpulan Data ................................................................................ 14
Metode Pengolahan dan Analisis Data .............................................................. 14
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN .................................................. 19
Gambaran Lokasi dan Keadaan Umum ............................................................. 19
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 22
Kelayakan Aspek Non Finansial........................................................................ 22
Kelayakan Aspek Finansial ............................................................................... 33
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 46

Simpulan ............................................................................................................ 46
Saran .................................................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 47
LAMPIRAN .......................................................................................................... 49

vii

DAFTAR TABEL
1

PDB pada usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan usaha besar (UB)
tahun 2008-2012
1

2

Konsumsi tempe di Indonesia tahun 2009-2013

3


Luas administatif Kecamatan Baleendah

4

Usia pengrajin tempe responden di Kecamatan Baleendah Kabupaten
Bandung tahun 2014
21

5

Tingkat pendidikan pengrajin tempe responden di Kecamatan Baleendah
Kabupaten Bandung
21

6

Pengalaman usaha pengrajin tempe responden di Kecamatan Baleendah
Kabupaten Bandung
21


7

Jumlah tenaga kerja pada pengrajin responden usaha tempe di Kecamatan
Baleendah kabupaten Bandung tahun 2014
22

8

Permintaan dan penawaran tempe pada pengrajin skala kecil dan pengrajin
skala menengah di Kecamatan Baleendah
23

9

Kebutuhan bahan baku pembuatan tempe pada skala kecil dan menengah pada
kondisi normal
26

2
20


10 Kebutuhan bahan baku pembuatan tempe pada skala kecil dan menengah pada
kondisi setelah penurunan volume input produksi
26
11 Inflow pada pengrajin tempe skala kecil dan menengah sebelum kenaikan
harga kedelai
35
12 Inflow pada pengrajin tempe skala kecil dan menengah setelah kenaikan harga
kedelai dengan modal kerja tetap, volume input produksi turun, dan harga jual
tempe tetap
35
13 Inflow pada pengrajin tempe skala kecil dan menengah setelah kenaikan harga
kedelai dengan modal kerja tetap, volume input produksi turun, dan harga jual
tempe naik
36
14 Inflow pada pengrajin tempe skala kecil dan menengah setelah kenaikan harga
kedelai dengan modal kerja bertambah, volume input produksi naik, dan
harga jual tempe naik
36
15 Biaya tetap usaha pembuatan tempe pada skala kecil dan menengah

37

16 Biaya variabel usaha pembuatan tempe sebelum kenaikan harga kedelai pada
skala kecil dan menengah
38
17 Biaya variabel usaha pembuatan tempe setelah kenaikan harga kedelai pada
skala kecil dan menengah dengan modal kerja tetap, volume input produksi
menurun
38
18 Biaya variabel usaha pembuatan tempe setelah kenaikan harga kedelai pada
skala kecil dan menengah dengan modal kerja bertambah, volume input
produksi meningkat
39

viii
19 Laba bersih usaha pembuatan tempe skala kecil dan menengah pada saat
sebelum kenaikan harga kedelai
40
20 Laba bersih usaha pembuatan tempe skala kecil dan menengah pada saat
setelah kenaikan harga kedelai
40
21 Kriteria investasi dari 2 skala usaha sebelum kenaikan harga kedelai

41

22 Kriteria investasi dari 2 skala usaha setelah kenaikan harga kedelai dengan
volume input produksi turun, harga jual tempe tetap
41
23 Kriteria investasi dari 2 skala usaha setelah kenaikan harga kedelai dengan
volume input produksi turun, harga jual tempe naik
42
24 Kriteria investasi dari 2 skala usaha setelah kenaikan harga kedelai dengan
volume input produksi meningkat, harga jual tempe naik
43
25 Hasil switching value usaha pembuatan tempe terhadap kenaikan harga
kedelai
44
26 Hasil switching value usaha pembuatan tempe terhadap penurunan produksi
44
27 Kriteria kelayakan usaha pembuatan tempe pada skala kecil dan menengah 45
28 Perbandingan keuntungan dari usaha pembuatan tempe skala kecil dan skala
menengah
45
29 Perbandingan hasil switching value pada ke-2 skala usaha

46

DAFTAR GAMBAR
1

Kerangka pemikiran operasional penelitian

13

2

Hubungan Antara NPV dan IRR

17

3

(a) Tempe yang dikemas dengan menggunakan daun pisang (b) Tempe yang
dikemas dengan menggunakan plastik
24

4

Saluran pemasaran tempe secara langsung

24

5

Saluran pemasaran tempe melalui pedagang perantara

25

6

Layout usaha tempe

28

7

Proses perebusan kedelai

29

8

(a) Proses pencucian kedelai (b) Kedelai yang sudah ditiraskan kemudian
dicampur ragi
29

9

(a) Contoh plastik yang digunakan pengrajin tempe yang telah diberi lubang
(b) Contoh ragi tempe yang digunakan pengrajin tempe
30

10 (a) Proses pencetakan dan pengemasan kedelai (b) Proses pemeraman kedelai
30

ix

DAFTAR LAMPIRAN
1

Biaya investasi usaha pembuatan tempe skala usaha kecil dan menengah

50

2

Laba rugi usaha tempe skala kecil sebelum kenaikan harga kedelai

51

3

Laba rugi usaha tempe skala menengah sebelum kenaikan harga kedelai

51

4

Laba rugi usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja tetap, volume input produksi menurun, dan harga jual tempe tetap
51

5

Laba rugi usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja tetap, volume input produksi menurun, harga jual tempe tetap 52

6

Laba rugi usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja tetap, volume input produksi menurun, harga jual tempe naik 52

7

Laba rugi usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja tetap, volume produksi menurun, harga jual tempe naik
52

8

Laba rugi usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja meningkat, volume input produksi bertambah, harga jual tempe
naik
53

9

Laba rugi usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja meningkat, volume input produksi bertambah, harga jual tempe
naik
53

10 Cashflow usaha tempe pada skala kecil sebelum kenaikan harga kedelai

54

11 Cashflow usaha tempe skala menengah sebelum kenaikan harga kedelai

55

12 Cashflow usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja tetap, volume input produksi turun, harga jual tempe tetap
56
13 Cashflow usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja tetap, volume input produksi turun, harga jual tempe tetap
57
14 Cashflow usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja tetap, volume input produksi turun, harga jual tempe naik
59
15 Cashflow usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja tetap, volume input produksi turun, harga jual tempe naik
60
16 Cashflow usaha tempe skala kecil setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja bertambah, volume input produksi naik, harga jual naik
61
17 Cashflow usaha tempe skala menengah setelah kenaikan harga kedelai dengan
modal kerja bertambah, volume input produksi naik, harga jual naik
62
18 Switching value usaha tempe skala kecil terhadap kenaikan harga kedelai pada
kondisi I
64
19 Switching value usaha tempe skala menengah terhadap kenaikan harga kedelai
pada kondisi I
65
20 Switching value usaha tempe skala kecil terhadap kenaikan harga kedelai pada
kondisi II
66

x
21 Switching value usaha tempe skala menengah terhadap kenaikan harga kedelai
pada kondisi II
67
22 Switching value usaha tempe skala kecil terhadap kenaikan harga kedelai pada
kondisi III
69
23 Switching value usaha tempe skala menengah terhadap kenaikan harga kedelai
pada kondisi III
70
24 Switching value usaha tempe skala kecil terhadap kenaikan harga kedelai pada
kondisi IV
71
25 Switching value usaha tempe skala menengah terhadap kenaikan harga kedelai
pada kondisi IV
72
26 Switching value usaha tempe skala kecil terhadap penurunan produksi pada
kondisi I
73
27 Switching value usaha tempe skala menengah terhadap penurunan produksi
pada kondisi I
75
28 Switching value usaha tempe skala kecil terhadap penurunan produksi pada
kondisi II
76
29 Switching value usaha tempe skala menengah terhadap penurunan produksi
pada kondisi II
77
30 Switching value usaha tempe skala kecil terhadap penurunan produksi pada
kondisi III
78
31 Switching value usaha tempe skala menengah terhadap penurunan produksi
pada kondisi III
79
32 Switching value usaha tempe skala kecil terhadap penurunan produksi pada
kondisi IV
81
33 Switching value usaha tempe skala menengah terhadap penurunan produksi
pada kondisi IV
82
34 Foto alat-alat yang digunakan pada usaha pembuatan tempe skala kecil dan
menengah
84

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Indonesia mempunyai peran
penting dalam pertumbuhan perekonomian nasional. Pada tahun 2009 komposisi
PDB nasional tersusun dari UKM sebesar 53.32%, usaha besar 41.00%, dan
sektor pemerintahan 5.68% (Departemen Koperasi 2011). Peningkatan PDB pada
Tabel 1 terlihat bahwa Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menunjukan
kecenderungan peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan dari usaha besar.
Kontribusi UMKM pada PDB tahun 2012 mencapai Rp1 451 460.2 milyar,
sedangkan untuk usaha besar mencapai Rp1 073 660.1 milyar (Departemen
Koperasi 2012).
Tabel 1 PDB pada usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) dan usaha besar (UB)
tahun 2008-2012
Indikator
PDB ATAS DASAR HARGA
KONSTAN (A+B)
a. Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKM)
Usaha Mikro (UMi)
Usaha Kecil (UK)
Usaha Menengah (UM)
b.Usaha Besar (UB)

Tahun (dalam Rp. Milyar)
2008

2009

2010

2011

2012

1 997 938.0

2 089 058.5

2 217 947.0

2 377 110.0

2 525 120.4

1 165 753.2

1 212 599.3

1 282 571.8

1 369 326.0

1 451 460.2

655 703.8
217 130.2
292 919.1
832 184.8

682 259.8
224 311.0
306 028.5
876 459.2

719 070.2
239 111.4
324 390.2
935 375.2

761 288.8
261 315.8
346 781.4
1 007 784.0

790 825.6
294 260.7
366 373.9
1 073 660.1

Sumber: Kementrian Koperasi dan UKM, Departemen Koperasi (2012)

Sektor Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) mampu menunjukan kinerja
yang lebih tangguh dan mampu memberikan kontribusi yang cukup signifikan
pada perekonomian nasional, karena industri kecil lebih "bermain" disektor riil
yang memenuhi hajat hidup orang banyak, sehingga bermanfaat tidak hanya bagi
pertumbuhan ekonomi tetapi juga pemerataan kesejahteraan rakyat. Terdapat
beberapa indikator yang menjelaskan pentingnya pemberdayaan usaha mikro kecil
menengah (UMKM)1:
1. UMKM merupakan basis usaha yang mampu bertahan dari badai krisis
ekonomi pada tahun 1997.
2. UMKM sangat potensial menyerap tenaga kerja.
3. UMKM berperan memberi kontribusi dalam struktur perekonomian nasional.
Salah satu UMKM yang potensial untuk dikembangkan adalah usaha
pengolahan yang berbasis kedelai. Tingginya permintaan akan produk olahan
yang berbahan baku kedelai berpengaruh terhadap kebutuhan konsumsi kedelai,
akan tetapi hal tersebut kurang diimbangi oleh kemampuan produksi kedelai
dalam negeri. Indonesia baru mampu memproduksi kedelai sekitar 29% dari total
kebutuhan dalam negeri, sehingga untuk memenuhi 71% kebutuhan kedelai

1

Edward, Deddy. Pemberdayaan UMKM/K dan Sektor Riil dalam www.usaha-umkm.blog.com
[diakses 02 Febuari 2014]

2
pemerintah melakukan impor2. Menurut Badan Pengawas Perdagangan Berjangka
Komoditi (Bappebti) dalam Hakim (2014), dari jumlah kebutuhan kedelai
nasional 2013 yaitu 2.2 juta ton akan diserap 83.7% untuk kebutuhan pangan atau
pengrajin (industri tahu tempe), 14.7% diserap untuk kebutuhan industri kecap,
tauco dan lainnya, 1.2% untuk kebutuhan benih dan 0.4% untuk kebutuhan pakan.
Data tersebut sesuai dengan data Kementerian Perindustrian yang menyatakan
bahwa 83.7% pengguna kedelai adalah industri tahu tempe. Industri tahu dan
tempe membutuhkan 1.8 juta ton kedelai setiap tahunnya. Hal ini semakin
menunjukkan bahwa industri pengolahan berbahan baku kedelai sangat tergantung
kepada ketersediaan kedelai impor.
Menurut Informatika Pertanian (2008) dalam Komalasari (2008), salah satu
usaha pengolahan kedelai yang cukup potensial untuk diusahakan adalah usaha
pembuatan tempe karena Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di
dunia, sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk
tempe, 40% dalam bentuk tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain. Selain itu
juga tempe cukup digemari karena harganya yang terjangkau oleh semua lapisan
masyarakat serta sebagai alternatif dari sumber protein nabati yang lengkap.
Enzim pencernaan yang dihasilkan oleh jamur tempe, protein, lemak, dan
karbohidrat pada tempe lebih mudah dicerna didalam tubuh dibandingkan yang
terkandung dalam kedelai3.
Mayoritas dari pengrajin tempe yang ada di Indonesia merupakan pengrajin
pada skala usaha kecil dan menengah, dengan modal usaha yang terbatas serta
dilakukan dalam proses produksi yang masih konvensional. Selain keterbatasan
modal yang dimiliki pengrajin, harga kedelai impor yang berfluktuasi bahkan
cenderung meningkat seperti pada akhir tahun 2013 harga kedelai impor
mengalami kenaikan sebesar Rp2 300 per kg, sebelumnya harga kedelai impor
berkisar pada Rp7 400 per kg kemudian menjadi Rp9 700 per kg 4 , dirasakan
cukup memberatkan bagi para pengrajin tempe. Selain itu juga dengan adanya
kenaikan harga kedelai impor didiuga berdampak terhadap jumlah konsumsi
tempe di Indonesia seperti dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2 Konsumsi tempe di Indonesia tahun 2009-2013
Tahun
2009
2010
2011
2012
2013
Rata-rata pertumbuhan 2009-2013 (%)
Sumber : SUSENAS, BPS dalam PUSDATIN (2013)

2

Konsumsi (kg/kapita/tahun)
7.039
6.935
7.300
7.091
6.532
0.23

Suryanto.
2012.
Anomali
Cuaca
Pemicu
Naiknya
harga
Kedelai
dalam
www.antaranews.com/berita/323710/anomali-cuaca-pemicu-naiknya-harga-kedelai [diakses 22
Mei 2014]
3
http://jagastamina.blogspot.com/ khasiat-dan-manfaat-tempe-kedelai.html [diakses 24 Desember
2013]
4
http://Radaronline.co.id/2013/08/30/produsen–tahu-tempe-di-kab-bandung-berencana-demo-ke
istana-negara/ [diakses 20 Maret 2014]

3
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat adanya penurunan konsumsi tempe pada
tahun 2011 hingga 2013, diduga karena fluktuasi harga kedelai impor yang
cenderung meningkat, serta diduga pengrajin tempe memiliki keterbatasan modal,
kemungkinan pengrajin mengurangi volume input bahan baku untuk diolah,
sehingga akan menurunkan produksi tempe segar yang dihasilkan, sehingga
jumlah konsumsi ikut mengalami penurunan.
Perumusan Masalah
Kabupaten Bandung merupakan salah satu daerah yang terdapat banyak
pengrajin yang mengolah kedelai seperti usaha tahu dan tempe, kurang lebih
terdapat 1000 pengrajin tahu dan tempe. Pada akhir tahun 2013 harga kedelai
impor kembali mengalami kenaikan sebesar Rp2 300 per kg, sebelumnya harga
kedelai impor berkisar Rp7 400 kg kemudian menjadi Rp9 700 per kg, dengan
kenaikan harga kedelai impor tersebut dirasakan sangat memberatkan bagi para
pengrajin komoditi tempe dan tahu, sehingga sekitar 60% dari 1000 pengrajin
yang terdapat di Kabupaten Bandung menghentikan produksinya5.
Kecamatan Baleendah merupakan salah satu daerah di Kabupaten Bandung
yang terdapat pengrajin tempe sekitar 33 pengrajin dengan skala usaha kecil dan
menengah, yang tergolong kedalam skala usaha kecil yaitu pengrajin yang
memproduksi tempe < 100 kg kedelai per hari, sedangkan pada skala usaha
menengah yaitu pengrajin memproduksi tempe > 100 kg kedelai per hari.
Berdasarkan hasil wawancara kepada para pengrajin tempe di daerah tersebut
harga kedelai impor yang berfluktuasi bahkan cenderung naik dirasakan cukup
menghawatirkan karena kenaikan harga kedelai impor sebagai bahan utama
pembuatan tempe dapat mempengaruhi kelangsungan usaha mereka. Menurut
hasil wawancara dengan pengrajin tempe responden, jika harga kedelai tidak
kembali stabil, kemungkinan usaha mereka akan gulung tikar. Hal tersebut diduga
karena pengrajin tempe tidak memiliki dana cadangan, hanya memiliki dana cash
yang setiap hari diputarkan sebagai modal untuk berproduksi dengan jumlah dana
cash yang tetap. Sehingga pengrajin tidak mampu untuk menutupi kekurangan
modal untuk berproduksi setelah adanya kenaikan harga kedelai impor tersebut.
Kenaikan harga kedelai impor yang cukup signifikan membuat para
pengrajin tempe mulai melakukan penyesuaian seperti, mempertahankan harga
jual yang sama namun dengan memperkecil ukuran tempe yang diproduksi, atau
dengan menaikkan harga jual tempe, dari pengrajin tempe yang menjadi
responden dalam penelitian ini melakukan penyesuaian terhadap kenaikan harga
kedelai impor yaitu dengan menaikkan harga jual tempenya. Melihat kondisi dari
isu tersebut dengan demikian analisis kelayakan usaha pembuatan tempe menjadi
penting untuk dilakukan. Tujuan kelayakan usaha adalah untuk menilai apakah
usaha pembuatan tempe ini masih layak untuk diusahakan dan masih dapat
mendatangkan keuntungan bagi pelaku usaha.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan diatas, maka perumusan masalah
yang akan dibahas adalah:

5

http://Radaronline.co.id/2013/08/30/produsen–tahu-tempe-di-kab-bandung-berencana-demo-ke
istana-negara/ [diakses 20 Maret 2014]

4
1. Bagaimana kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat dari aspek non
finansial seperti aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek
hukum, aspek sosial, aspek ekonomi, dan lingkungan pada skala usaha
kecil dan menengah?
2. Bagaimana kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat dari aspek finansial
pada skala usaha kecil dan menengah terhadap kenaikan harga kedelai?
3. Bagaimana tingkat kepekaan kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat
secara finansial pada skala usaha kecil dan menengah terhadap kenaikan
harga kedelai dan penurunan jumlah produksi tempe?
4. Bagaimana perbandingan kelayakan finansial usaha pembuatan tempe
pada skala usaha kecil dan menengah?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusahan masalah yang telah di
paparkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat dari aspek non
finansial seperti aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen, aspek
hukum, aspek sosial, aspek ekonomi, dan lingkungan pada skala usaha
kecil dan menengah?
2. Mengetahui kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat dari aspek finansial
pada skala usaha kecil dan menengah terhadap kenaikan harga kedelai?
3. Mengetahui tingkat kepekaan kelayakan usaha pembuatan tempe dilihat
secara finansial pada skala usaha kecil dan menengah terhadap kenaikan
harga kedelai dan penurunan jumlah produksi tempe?
4. Membandingkan kelayakan finansial usaha pembuatan tempe pada skala
usaha kecil dan menengah?
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
1. Pengrajin tempe, sebagai masukan dalam kelayakan usaha pembuatan
tempe serta hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk keberlangsungan
usaha tersebut.
2. Bagi pembaca, sebagai informasi untuk melakukan investasi pada usaha
tersebut dan sebagai bahan perbandingan dalam melakukan studi lanjutan
khususnya dibidang studi kelayakan bisnis.
3. Bagi penulis, untuk mengaplikasikan ilmu studi kelayakan bisnis yang
diperoleh selama perkuliahan dan sebagai referensi yang dapat dilakukan
pada usaha pembuatan tempe.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung khususnya di Kecamatan
Baleendah untuk menganalisis usaha pembuatan tempe dengan mengkaji aspek
non finansial dan aspek finansial. Aspek non finansial terdiri dari aspek pasar,

5
aspek teknis, aspek manajemen, aspek sosial, aspek ekonomi, dan lingkungan,
serta aspek hukum. Usaha yang dianalisis adalah skala usaha kecil dan menengah,
yang termasuk kedalam skala usaha kecil yaitu pengrajin yang memproduksi
tempe < 100 kg kedelai per hari, sedangkan untuk skala usaha menengah yaitu
pengrajin yang memproduksi tempe > 100 kg kedelai per hari.

TINJAUAN PUSTAKA
Masalah yang sering dihadapi oleh usaha kecil menengah di Indonesia
adalah permodalan, teknologi, pemasaran, akses informasi pasar, dan bahan baku.
Pada usaha pengolahan kedelai seperti tahu dan tempe, masalah yang sering kali
dihadapi adalah mengenai bahan baku yaitu kedelai yang sebagian besar pengrajin
tahu dan tempe menggunakan kedelai yang diimpor dari Amerika Serikat
dikarenakan Indonesia hanya mampu memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri
sekitar 70%. Pada beberapa bulan terakhir di tahun 2007, harga kedelai nasional
meningkat signifikan mencapai lebih dari 100%. Kenaikan harga kedelai
mempengaruhi kondisi usaha pengrajin tempe di Desa Citeureup. Hal ini dapat
dilihat dari penurunan seluruh penggunaan input produksi. Hal ini dapat
ditunjukan pada penelitian Amalia (2008) mengenai dampak kenaikan harga
kedelai terhadap efisiensi teknis dan pendapatan usaha tempe.
Kenaikan harga input kedelai yang diikuti pengurangan penggunaan input
kedelai pada akhirnya menyebabkan penurunan biaya produksi tempe namun
meningkatkan jumlah keuntungan RTI terhadap biaya tunai maupun keuntungan
terhadap biaya total. Kenaikan harga kedelai mempengaruhi pendapatan usaha
tempe RTI, disebabkan oleh meningkatnya jumlah biaya variabel/produksi yang
harus dikeluarkan oleh RTI. Hal ini dapat ditunjukan pada penelitian Hakim
(2014) mengenai dampak kenaikan harga kedelai terhadap pendapatan usaha
tempe (studi kasus: Rumah Tempe Indonesia). Berbagai masalah dan kelemahan
yang dialami usaha kecil menengah berakibat pada risiko kegagalan. Kegagalan
perencanaan, kesalahan dalam penaksiran pasar, kesalahan dalam memperkirakan
kontinuitas bahan baku, dan sebagainya. Maka analisis kelayakan dilakukan guna
mengevaluasi kegiatan usaha dan memberikan alternatif manfaat rencana
pengembangan yang menghasilkan manfaat lebih baik.
Kelayakan Aspek Non Finansial
Kelayakan aspek non finansial mencakup aspek pasar, aspek teknis, aspek
manajemen, dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek
lingkungan. Aspek pasar merupakan bagian dari aspek non finansial yang pertama
dikaji karena ada tidaknya pasar adalah faktor utama dalam menentukan usaha.
Peluang pasar merupakan salah satu kriteria kelayaknya usaha. Hal ini dibuktikan
oleh penelitian Oktafiyani (2009) tentang pembuatan kerupuk rambak kulit sapi
dan kulit kerbau, dan penelitian Widiyhanti (2007) yaitu usaha kecil pembuatan
kacang, bahwa peluang pasar masih terbuka dari adanya kelebihan permintaan
dibandingkan dengan penawaran oleh usaha tersebut, sehingga baru sebagian
permintaan yang dapat dipenuhi oleh pelaku usaha. Selain itu, adanya kerjasama

6
dengan perusahaan lain sehingga memberikan jaminan dan kepastian antara
produsen dengan konsumen. Hal ini dapat ditunjukan dari penelitian Napitupulu
(2009) tentang usaha pembuatan jus dan sirup belimbing manis dan jambu biji
merah mempunyai jaminan pasar yaitu mendapatkan tawaran untuk memasok
produknya ke beberapa supermarket.
Pada aspek teknis untuk usaha dibidang pengolahan salah satu yang perlu
untuk diperhatikan yaitu jarak sumberdaya produksi dengan lokasi usaha, sumber
air, serta sumber listrik. Hal tersebut juga dikemukakan oleh Rustiana (2008) pada
penelitiannya mengenai usaha pengolahan puree mangga, mengemukakan bahwa
mangga grade C yang tidak laku terjual dalam bentuk segar apabila tidak segera
dimanfaatkan akan mengalami kerusakan karena umur simpan yang sangat
singkat sehingga dapat terbuang sia-sia. Oleh karena itu sebaiknya jarak antara
lokasi usaha dengan sumber bahan baku tidak terlalu jauh sehingga kerusakan
bahan baku tidak terlalu berat.
Pada aspek manajemen dinyatakan layak jika terdapat kesiapan tenaga kerja
untuk menjalankan bisnis, dan bisnis tersebut dapat dibangun sesuai waktu yang
telah diperkirakan (Suliyanto 2010), dari pernyataan tersebut dapat dibuktikan
pada penelitian yang dilakukan oleh Rustiana (2008) dengan adanya kerja sama
yang dilakukan oleh BB Litbang Pascapanen Pertanian dengan CV. Promindo.
CV. Promindo telah memiliki struktur organisasi yang formal sehingga
pembagian tugas dan wewenang juga sudah jelas. Sehingga tenaga kerja sudah
memiliki kesiapan dalam hal menjalankan tugas dan wewenang masing-masing,
dengan adanya pembagian tugas dan wewenang dari masing-masing tenaga kerja
dapat mempengaruhi juga dalam hal perkiraan waktu yang dibutuhkan untuk
menjalankan usaha tersebut. Pada CV. Promindo terdapat 13 karyawan yang telah
dibagi kedalam job describtion masing-masing sehingga karyawan dapat
mengerjakan pekerjaanya dengan baik sesuai dengan waktu yang telah ditentukan
karena tidak harus melakukan rangkap tugas.
Pada aspek hukum dinyatakan layak untuk diusahakan jika sesuai dengan
ketentuan hukum dan mampu memenuhi segala persyaratan perizinan di wilayah
tersebut. Dapat dibuktikan oleh penelitian Napitupulu (2009) mengenai Analisis
Kelayakan Usaha Pembuatan Jus dan Sirup Belimbing Manis dan Jambu Biji
Merah. CV WPIU yang telah memiliki badan hukum dan memiliki perizinanperizinan yang dibutuhkan dalam menjalankan suatu usaha seperti akta pendirian,
surat keterangan domisili usaha, nomor pokok wajib pajak (NPWP), tanda daftar
perusahaan, surat izin usaha perdagangan, sertifikat halal, izin dinas kesehatan,
serta ketentuan jumlah pajak yang menjadi kewajiban CV WPIU kepada negara
adalah pajak penghasilan yang dihitung berdasarkan UU No. 17 Tahun 2000
tentang tarif umum PPh wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
dimana sistem pajak ini adalah bersifat progresif.
Kebanyakan dari usaha kecil, aspek manajemen menunjukan bahwa usaha
tersebut tidak layak karena pada usaha kecil administrasi belum memiliki
pembukuan dan pencatatan secara jelas atas segala transaksi bisnis yang dilakukan
serta kurang jelas dalam pembagian tugas. Selain aspek manajemen yang kurang
layak, ditinjau dari aspek hukum juga kebanyakan dari usaha kecil menunjukan
tidak layak dikarenakan kurang memiliki kesadaran akan perizinan usahanya
sehingga tidak memiliki kekuatan secara hukum.

7
Pada aspek sosial dan lingkungan, usaha yang dilakukan harus memberikan
kontribusi positif terhadap masyarakat lingkungan sekitar tempat usaha dan ikut
serta dalam melestarikan lingkungan seperti usaha tidak menimbulkan limbah
yang dapat mencemari lingkungan sekitar usaha dan mampu menyerap tenaga
kerja dari masyarakat di sekitar lokasi usaha. Hal tersebut dibuktikan oleh
penelitian dari Mujianingsih (2013) mengenai usaha industri kecil tempe,
menunjukan bahwa industri kecil tempe di Kecamatan Matesih berjumlah 80 unit
usaha dan mampu menyerap 53 orang tenaga kerja sehingga industri tempe kecil
tersebut memberikan dampak positif terhadap lingkungan sekitar usaha. Serupa
dengan penelitian dari Suryani (2011), bahwa usaha yang baik adalah usaha yang
memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan sekitar usaha terbukti dari
usaha pembuatan mie mentah jagung yang tidak menghasilkan limbah berbahaya
hasil dari proses pembuatan mie tersebut, limbah yang dihasilkan hanya berupa
remah-remah tepung yang dapat dibuang ke tempat sampah sehingga tidak
mencemari lingkungan.
Kelayakan Aspek Finansial
Aspek finansial pada usaha yang akan atau sedang dijalankan dinyatakan
layak apabila telah memenuhi 4 kriteria investasi yaitu Net B/C > 1, NPV > 0,
IRR diatas discount rate dan payback periode yang kurang dari umur proyek.
Beberapa penelitian menunjukan pada saat kenaikan kedelai mempengaruhi
pengurangan penggunaan input kedelai pada akhirnya menyebabkan penurunan
biaya produksi tempe, akan tetapi meningkatkan jumlah keuntungan terhadap
biaya tunai maupun keuntungan terhadap biaya total. Dapat ditunjukan pada
penelitian Hakim (2014) mengenai dampak kenaikan harga kedelai terhadap
pendapatan usaha tempe (studi kasus: Rumah Tempe Indonesia). Hasil analisis
menunjukan pada nilai keuntungan per satuan kg tempe untuk kemasan 450gr dan
kemasan 700gr meningkat sebesar 51% dan 28.9%. Selain itu nilai R/C atas biaya
tunai dan biaya total yang meningkat setelah kenaikan harga kedelai menunjukkan
usaha ini tetap layak untuk dijalankan dan dikembangkan.
Hasil penelitian Mujianingsih (2013) dilatarbelakangi oleh karena adanya
permasalahan dalam hal permodalan, teknologi, pemasaran, akses informasi pasar
dan sebagainya. Sehingga tujuan dari penelitian tersebut yaitu untuk mengetahui
profil industri kecil tempe, untuk mengetahui kelayakan finansial usaha industri
kecil tempe, dikarenakan adanya keterbatasan serta untuk mengetahui strategi
pengembangan sektor industri kecil tempe di Kecamatan Matesih Kabupaten
Karanganyar. Hasil dari perhitungan kelayakan dijelaskan bahwa industri kecil
tempe di Kecamatan Matesih Kabupaten Karanganyar layak dilakukan. Nilai BCR
adalah sebesar 1.37 layak dilakukan. Nilai IRR adalah sebesar 38.72% layak
dilakukan. Sehingga dari penelitian Mujianingsih dapat memberikan gambaran
kepada penelitian penulis bahwa usaha kecil pembuatan tempe dengan segala
keterbatasan dari usaha kecil, masih layak untuk diusahakan dan bahkan masih
adanya peluang untuk dikembangkan.
Usaha pengolahan lainnya adalah usaha pembuatan kerupuk, yaitu analisis
kelayakan usaha pembuatan kerupuk rambak kulit sapi dan kulit kerbau oleh
Oktafiyani (2009). Hasil penelitian mengenai analisisi kelayakan usaha kecil
pembuatan kerupuk rambak kulit sapi dan kulit kerbau layak untuk dilaksanakan

8
dilihat dari nilai kriteria investasi NPV sebesar Rp271 883 775.00 untuk kulit sapi
dan untuk kulit kerbau sebesar Rp89 836 846.00, untuk kulit sapi IRR yang
diperoleh sebesar 67.81%, Net B/C sebesar 5.09, dan Payback Periode selama
2.83 Tahun. Sedangkan untuk kulit kerbau IRR sebesar 27.48%, Nilai Net B/C
sebesar 2.16, Payback Period selama 5.30 tahun. Hal tersebut menunjukan kriteria
investasi penting untuk dilakukan pada usaha pengolahan makanan.
Analisis switching value, mengukur seberapa kuat usaha dapat bertahan
hingga keuntungan sama dengan 0. Berdasarkan Napitupulu (2009), dengan
menggunakan analisis switching value kenaikan harga gula pasir melebihi
18.84%, kenaikan harga botol jus lebih dari 20.94%, penurunan penjualan jus
melebihi 6.09%, serta penurunan penjualan sirup lebih dari 10.48%, usaha
pembuatan jus dan sirup ini tidak layak untuk dilaksanakan. Dengan demikian,
usaha ini lebih peka terhadap penurunan penjualan jus dan sirup daripada
kenaikan harga gula pasir dan botol jus. Sedangkan menurut Suryani (2011),
bahwa unit usaha pengolahan puree mangga masih layak untuk dilaksanakan jika
volume produksi puree mangga mengalami penurunan maksimal sebesar 15.08%.
Usaha ini pun masih layak dijalankan jika harga jual puree mangga turun sebesar
15.08% serta kenaikan harga mangga grade C maksimal sebesar 31.89%. Dari
ketiga variabel yang dianggap signifikan mempengaruhi proyek, variabel harga
puree mangga menjadi variabel yang dinilai memiliki resiko yang tinggi dalam
mempengaruhi kelayakan usaha. Penurunan harga puree mangga sebesar 15.08%
dapat menyebabkan proyek tidak layak dijalankan. Faktor yang dapat
menyebabkan harga puree turun adalah munculnya pesaing-pesaing baru akan
produk puree mangga di masa yang akan datang.
Dari ke-5 penelitian terdahulu memberikan gambaran pada penelitian
penulis yang berjudul analisis kelayakan usaha pembuatan tempe pada skala kecil
dan menengah di Kecamatan Baleendah Kabupaten Bandung, mengenai analisis
biaya dan manfaat serta laba rugi. Analisis biaya dan manfaat dilakukan untuk
mengidentifikasi biaya yang dikeluarkan serta manfaat yang diterima selama
usaha tersebut berjalan. Kemudian hasil dari analisis tersebut diolah dan
mendapatkan hasil analisis rugi laba. Sebagai acuan referensi terhadap kriteria
kelayakan non finansial usaha pembuatan tempe di Kecamatan Baleendah.
Persamaan dari penelitian terdahulu dengan penelitian penulis adalah penggunaan
alat analisis untuk menentukan kelayakan finansial seperti Net Present Value
(NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit-Cost Ratio (Net B/C), dan
Payback Period, dan analisis Switching Value. Kelayakan non finansial
membahas mengenai aspek pasar, teknis, manajemen, hukum, sosial, ekonomi dan
lingkungan.

KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Bisnis didefinisikan sebagai keseluruhan kegiatan yang direncanakan dan
dijalankan oleh perorangan atau kelompok secara teratur dengan cara
menciptakan, memasarkan barang maupun jasa, baik dengan tujuan mencari
keuntungan maupun tidak bertujuan mencari keuntungan (Suliyanto 2010).

9
Berdasarkan definisi tersebut, dilihat dari tujuannya bisnis dapat dikelompokan
menjadi 2 kelompok berikut:
a. Bisnis yang berorientasi keuntungan (Profit Oriented)
Bisnis yang didirikan semata-mata bertujuan memperoleh keuntungan untuk
meningkatkan kesejahteraan pemilik dan karyawan serta untuk
mengembangkan usaha lebih lanjut. Contoh: perusahaan pembuatan sepatu,
perusahaan penggilingan padi, dan sejenisnya.
b. Bisnis yang tidak berotientasi keuntungan (Non Profit Oriented)
Bisnis yang didirikan dengan tujuan utama untuk kepentingan sosial. Contoh:
Yayasan Sosial Yatim Piatu, Yayasan Sosial Jompo.
Secara umum bisnis merupakan suatu kegiatan yang membutuhkan biaya
untuk digunakan dalam menghasilkan barang atau jasa dengan harapan akan
memperoleh hasil atau keuntungan dikemudian hari. Menurut Suliyanto (2010)
kondisi lingkungan usaha yang sangat dinamis dan intensitas persaingan yang
semakin ketat membuat seorang pengusaha tidak cukup hanya mengandalkan
pengalaman dan intuisi saja dalam memulai usahanya. Sehingga dibutuhkan suatu
studi yang bertujuan untuk memutuskan apakah sebuah bisnis layak untuk
dilaksanakan atau tidak, dan memberikan manfaat lebih atau tidak.
Studi Kelayakan Bisnis
Studi kelayakan bisnis merupakan penelitian yang bertujuan untuk
memutuskan apakah sebuah ide bisnis layak untuk dilaksanakan atau tidak.
Sebuah ide bisnis dinyatakan layak untuk dilaksanakan jika ide tersebut dapat
mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semua pihak (stakeholder)
dibandingkan dampak negatif yang ditimbulkan (Suliyanto 2010). Dalam
menentukan kriteria kelayakan suatu bisnis ada beberapa aspek yang perlu
diperhatikan yaitu aspek non finansial dan aspek finansial dan diantara aspekaspek tersebut saling berkaitan dalam memenuhi kriteria kelayakan suatu bisnis.
Studi kelayakan bisnis dibagi kedalam aspek non finansial yang terdiri dari aspek
pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial, ekonomi, dan
budaya, aspek lingkungan dan aspek finansial (Nurmalina et al. 2009).
Menurut Suliyanto (2010) studi kelayakan bisnis merupakan penelitian yang
bertujuan untuk memutuskan apakah sebuah ide bisnis layak untuk dilaksanakan
atau tidak. Sebuah ide bisnis dinyatakan layak untuk dilaksanakan jika ide
tersebut dapat mendatangkan manfaat yang lebih besar bagi semua pihak
dibandingkan dampak negatif yang ditimbulkan.
Aspek-Aspek Studi Kelayakan Bisnis
Menurut Nurmalina et al. (2010) secara umum aspek-aspek yang perlu
diperhatikan dalam studi kelayakan bisnis adalah aspek non finansial dan aspek
finansial. Aspek non finansial terdiri dari aspek pasar, aspek teknis, aspek
manajemen dan hukum, aspek sosial, aspek ekonomi, aspek budaya, serta aspek
lingkungan. Banyaknya aspek yang perlu diperhatikan dalam suatu studi
kelayakan sangat tergantung kepada karakteristik dari masing-masing bisnis.
Aspek Pasar
Aspek pasar adalah aspek yang menganalisis potensi pasar, intensitas
persaingan, market share yang dapat dicapai. Aspek pasar dan pemasaran
mempelajari tentang permintaan, penawaran, harga, program pemasaran, dan

10
perkiraan penjualan yang bisa dicapai perusahaan (Nurmalina et al. 2010). Aspek
pasar dikatakan layak jika pelaku usaha mampu meraih potensi pasar dan peluang
pasar dalam menjalankan usahanya.
Aspek Teknis
Aspek teknis merupakan aspek yang menganalisis kesiapan teknis dan
ketersediaan teknologi yang dibutuhkan untuk menjalankan bisnis (Suliyanto
2010). Menurut Nurmalina et al. (2010) dalam bukunya studi kelayakan bisnis
menjelaskan beberapa faktor-faktor yang perlu dianalisis dalam aspek teknis
seperti lokasi bisnis, luas produksi, kriteria pemilihan mesin dan equipment,
layout yang dipilih, dan jenis teknologi yang tepat.
Aspek teknis dikatakan layak jika telah diperoleh lokasi yang layak, dapat
mencapai luas produksi yang optimal, tersedia teknologi, dan menyusun layout
bisnis secara optimal.
Aspek Manajemen dan Hukum
Aspek manajemen mempelajari tentang manajemen dalam masa
pembangunan bisnis dan manajemen dalam masa operasi, dalam masa
pembangunan bisnis hal yang dipelajari yaitu siapa pelaksana bisnis, bagaimana
jadwal penyelesaian bisnis, sedangkan manajemen dalam operasi mempelajari
bagaimana bentuk badan usaha yang dipilih, bagaimana struktur organisasi,
deskripsi masing-masing jabatan, jumlah tenaga kerja yang digunakan, dan
tenaga-tenaga inti (Nurmalina et al. 2010).
Aspek manajemen dikatakan layak jika bisnis tersebut dapat dilaksanakan
sesuai dengan waktu yang telah diperkirakan dan kesiapan dalam tenaga kerja
untuk menjalankan bisnis.
Aspek hukum mempelajari tentang bentuk badan usaha yang akan
digunakan, jaminan-jaminan yang bisa disediakan bila akan menggunakan sumber
dana yang berupa pinjaman, berbagai akta, sertifikat, dan izin. Aspek hukum juga
diperlukan untuk mempermudah dan memperlancar kegiatan bisnis pada saat
menjalin jaringan kerjasama dengan pihak lain (Nurmalina et al. 2010). Aspek
hukum dikatakan layak jika memenuhi seluruh persyarataan perizinan wilayah
dan ketentuan hukum yang berlaku di wilayah tersebut.
Aspek Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan
Menurut Nurmalina et al. (2010) pada aspek sosial yang dipelajari adalah
penambahan kesempatan kerja atau pengangguran, pemerataan kesempatan kerja,
dan bagaimana bisnis tersebut terhadap lingkungan sekitar lokasi bisnis seperti
semakin ramainya daerah tersebut, lalu lintas yang semakin lancar, adanya
penerangan listrik, telepon, dan sarana lain. Aspek ekonomi suatu bisnis dapat
memberikan peluang peningkatan pendapatan masyarakat, pendapatan asli daerah,
pendapatan pajak, dan dapat menambah aktivitas ekonomi.
Suatu bisnis dapat menimbulkan berbagai aktivitas sehingga menimbulkan
dampak bagi lingkungan disekitar lokasi bisnis. Analisis aspek lingkungan tidak
hanya membahas tentang kesesuaian lingkungan dengan bisnis yang akan
dijalankan, tetapi juga membahas tentang dampak bisnis terhadap lingkungan
serta pengaruh perubahan lingkungan yang akan datang terhadap bisnis (Suliyanto
2010). Aspek lingkungan dikatakan layak jika bisnis tersebut dapat memberikan
manfaat lebih besar dibandingkan dampak negatif terhadap wilayah tersebut.

11
Aspek Finansial
Pada analisis finansial, selain analisis rugi laba diperlukan juga analisis
suatu proyek investasi terhadap kas, hal ini dilakukan agar investor dapat
melakukan investasi dan membayar kewajiban finansial. Menurut Nurmalina et al.
(2010), cashflow disusun untuk menunjukan perubahan kas selama 1 periode
tertentu serta memberikan alasan mengenai perubahan kas tersebut dengan
menunjukan dari mana sumber-sumber kas dan penggunaannya.
Kriteria kelayakan investasi secara finansial yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain meliputi:
1. Net Present Value (NPV)
Net Present Value adalah selisih antara total present value manfaat dengan
total present value biaya, atau jumlah present value dari manfaat bersih tambahan
selama umur bisnis. Suatu bisnis dikatakan layak jika NPV > 0 yang artinya bisnis
menguntungkan atau memberikan manfaat. Sedangkan apabila NPV < 0 maka
bisnis tidak layak untuk dijalankan.
2. Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return atau tingkat discount rate yang menghasilkan NPV
sama dengan nol dan untuk melihat seberapa besar pengembalian bisnis terhadap
investasi yang ditanamkan. Suatu bisnis dikatakan layak bila dapat memberikan
nilai IRR yang lebih besar dari tingkat discount rate yang berlaku. Sebaliknya
suatu bisnis dinyatakan tidak layak bila nilai IRR lebih kecil dari discount rate
yang berlaku.
3. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Net Benefit Cost Ratio adalah rasio antara manfaat bersih yang bernilai
positif dengan manfaat bersih yang bernilai negatif. Kriteria investasi Net B/C
digunakan untuk mengetahui sampai sejauh mana manfaat yang diterima oleh
bisnis dapat menutup seluruh biaya yang dikeluarkan dan mempunyai modal lagi
bagi kelanjutannya.
Suatu bisnis dikatakan layak berdasarkan kriteria investasi ini, apabila nilai
Net B/C > 1 sebaliknya nilai Net B/C < 1 menunjukkan bahwa manfaat yang
diperoleh adalah lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan. Net B/C = 1 berarti
besarnya manfaat yang diperoleh adalah sama besarnya dengan biaya yang
dikeluarkan untuk mendapatkan manfaat tersebut.
4. Payback Period
Kriteria Payback Period digunakan untuk mengetahui tingkat kecepatan
modal investasi yang dikeluarkan dapat kembali. Semakin cepat modal dapat
kembali semakin baik untuk membiayai kegiatan lain, dalam kriteria ini suatu
bisnis dikatakan layak apabila Payback Period kurang dari umur bisnis.
Analisis Switching Value
Gittinger (1986) dalam Nurmalina et al. (2010) menjelaskan bahwa analisis
switching value merupakan perhitungan untuk mengukur perubahan maksimum
dari perubahan suatu komponen inflow (penurunan harga output, penurunan
produksi) atau perubahan komponen outflow (peningkatan harga input atau
peningkatan biaya produksi) yang masih dapat ditoleransi agar bisnis masih tetap
layak. Oleh karena itu perubahan jangan melebihi nilai tersebut. Bila melebihi
maka bisnis menjadi tidak layak untuk dijalankan. Perhitungan ini mengacu
kepada berapa besar perubahan terjadi sampai NPV = 0. Analisis switching value

12
dapat dilakukan dengan menghitung secara coba-coba perubahan maksimum yang
boleh terjadi akibat perubahan di dalam komponen inflow atau outflow misal
kenaikan biaya produksi, penurunan volume produksi, dan penurunan harga
output.
Kerangka Pemikiran Operasional
Usaha tempe merupakan usaha pengolahan dengan bahan baku kedelai,
kedelai yang digunakan oleh pengrajin tempe yang menjadi responden pada
penelitian ini menggunakan kedelai impor. Menurut hasil wawancara dengan para
pengrajin, penggunaan kedelai impor pada produksi tempe dikarenakan kedelai
lokal kualitasnya kurang memenuhi untuk diolah sebagai tempe, karena kedelai
lokal memiliki kelemahan seperti ukuran polong kecil, tidak seragam, kurang
bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas pada saat proses pencucian, proses
peragian lebih lama, dan proses pengukusan lebih lama empuk, bahkan bisa
kurang empuk setelah menjadi tempe. Konsumsi Indonesia akan kedelai cukup
tinggi serta tidak diimbangi dengan produksi dalam negeri, sehingga pemerintah
memberlakukan impor.
Penggunaan kedelai impor menyebabkan Indonesia menjadi ketergantungan
akan negara lain salah satunya terhadap Amerika Serikat. Amerika Serikat
merupakan negara pengimpor utama kedelai kepada Indonesia selain Brasil dan
Argentina. Pada 1 tahun terakhir Amerika Serikat sedang mengalami penurunan
produksi kedelai yang diakibatkan musim kemarau 6 . Serta pembelian secara
besar-besaran yang dilakukan oleh Cina mengakibatkan pasokan kedelai di pasar
dunia menipis. Keadaan tersebut mempengaruhi secara tidak langsung kepada
Indonesia, selain itu juga nilai tukar rupiah terhadap dollar AS cenderun