Evaluasi Program Pemberdayaan Kelembagaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kota Medan(Studi Dekriptif tentang Pengembangan Jaringan Pemasaran UKM di Dinas Koperasi Kota Medan)

(1)

“Evaluasi Program Pemberdayaan Kelembagaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kota Medan”

(Studi Dekriptif tentang Pengembangan Jaringan Pemasaran UKM di Dinas Koperasi Kota Medan)

Oleh :

Nama : Abraham Nasution Nim : 030903064

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2007


(2)

Abstrak

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 mengakibatkan hampir 80% usaha besar mengalami kebangkrutan dan melakukan PHK masal terhadap karyawannya. Pada saat ini, usaha besar sangat sulit menyelamatkan diri mereka dari kehancuran. Disaat banyak usaha besar mengalami pailit didera pahitnya krisis, Usaha Kecil dan Menengah (yang selanjutnya disebut UKM) tetap bertahan di dalam krisis dengan segala keterbatasannya. Dalam situasi dan kondisi ekonomi yang belum kondusif ini, pemerintah menyadari bahwa UKM-lah yang menjadi penopang perekonomian bangsa selama krisis terjadi. UKM memegang peranan penting dalam ekonomi Indonesia, baik ditinjau dari segi jumlah usaha (establishment) maupun dari segi penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS dan Kantor Menteri Negara untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop & UKM), usaha-usaha kecil termasuk usaha-usaha rumah tangga atau mikro (yaitu usaha dengan jumlah total penjualan (turn

over) setahun yang kurang dari Rp. 1 milyar). Pada tahun 2004, ada 37 juta unit usaha atau 99

persen dari seluruh jumlah unit usaha di Indonesia yang menyerap tenaga kerja sebanyak 60,4 juta orang atau 87,5 persen dari jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan di dunia usaha. (Wahyuni, dkk, 2005:2)


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 mengakibatkan hampir 80% usaha besar mengalami kebangkrutan dan melakukan PHK masal terhadap karyawannya. Pada saat ini, usaha besar sangat sulit menyelamatkan diri mereka dari kehancuran.

Disaat banyak usaha besar mengalami pailit didera pahitnya krisis, Usaha Kecil dan Menengah (yang selanjutnya disebut UKM) tetap bertahan di dalam krisis dengan segala keterbatasannya. Dalam situasi dan kondisi ekonomi yang belum kondusif ini, pemerintah menyadari bahwa UKM-lah yang menjadi penopang perekonomian bangsa selama krisis terjadi.

UKM memegang peranan penting dalam ekonomi Indonesia, baik ditinjau dari segi jumlah usaha (establishment) maupun dari segi penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS dan Kantor Menteri Negara untuk Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Menegkop & UKM), usaha-usaha kecil termasuk usaha-usaha-usaha-usaha rumah tangga atau mikro (yaitu usaha-usaha dengan jumlah total penjualan (turn over) setahun yang kurang dari Rp. 1 milyar). Pada tahun 2004, ada 37 juta unit usaha atau 99 persen dari seluruh jumlah unit usaha di Indonesia yang menyerap tenaga kerja sebanyak 60,4 juta orang atau 87,5 persen dari jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan di dunia usaha. (Wahyuni, dkk, 2005:2)


(4)

Pemerintah kemudian menyadari akan pentingnya pengembangan kegiatan UKM yang dianggap sebagai salah satu alternatif penting yang mampu mengurangi beban berat yang dihadapi perekonomian nasional dan daerah. Argumentasi ekonomi dibelakang ini yakni karena UKM merupakan kegiatan usaha dominan yang dimiliki bangsa ini. Selain itu pengembangan kegiatan UKM relatif tidak memerlukan modal yang besar dan dalam periode krisis selama ini UKM relatif “survive".

Kemudian, pemerintah mulai membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung pengembangan kegiatan UKM. Kebijakan ini juga menuntut pemerintah daerah untuk melakukan pengembangan terhadap UKM dimana pengembangan UKM diarahkan pada :

(1) Pengembangan lingkungan bisnis yang kondusif bagi UKM;

(2) Pengembangan lembaga-lembaga finansial yang dapat memberikan akses terhadap sumber modal yang transparan dan lebih murah;

(3) Memberikan jasa layanan pengembangan bisnis non finansial kepada UKM yang lebih efektif dan

(4) Pembentukan aliansi strategis antara UKM dan UKM lainnya atau dengan usaha besar di Indonesia atau di luar negeri.

Hal ini dilakukan agar UKM mampu bersaing dalam era perdagangan bebas. (Tambunan 2002:101)

Sebagai langkah yang paling tepat untuk upaya perbaikan ekonomi adalah upaya pengembangan masyarakat guna menumbuhkembangkan usaha ekonomi masyarakat yang berupa UKM dalam rangka pemenuhan kebutahan pokok dan peningkatan pendapatan (income generating). Pengembangan usaha ekonomi


(5)

masyarakat ini harus menitikberatkan pada masyarakat itu sendiri, utamanya sektor UKM sebagai aktor utamanya. UKM dengan berbagai keterbatasannya, perlu dilakukan fasilitasi, mobilisasi dan dimotivasi secara bersama agar semakin berkembang naluri kewirausahaannya dengan upaya-upaya terpadu dan terencana. Upaya meningkatkan dan mengembangkan naluri kewirausahaan ini yang pada dasarnya sangat penting dan perlu untuk dibangun sehingga UKM bisa merespon dan mengembangkan ruang geraknya dalam berbagai bidang kegiatan usahanya. Konsep pengembangan usaha melalui penguatan UKM baik disektor manajemen dan permodalan, diharapkan mampu menjawab dan merespon kebutuhan masyarakat. Melalui upaya ini, UKM sedikit banyak akan terbantu dalam menyelesaikan permasalahan usahanya

Di tingkat daerah, khususnya Kota Medan, kita dapat melihat bahwa secara umum pertumbuhan perekonomian Kota Medan tidak terlepas dari kontribusi UKM. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pertumbuhan UKM yang ada di kota Medan, yaitu terdapat 12.997 unit usaha baik yang bergerak di sektor industri maupun yang bergerak di sektor perdagangan (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Medan, 2003). Selain itu, keberadaan UKM juga mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 102.241 orang. Namun, walaupun UKM mempunyai jumlah yang besar UKM hanya memberikan kontribusi 39,8 % saja terhadap PDRB, sedangkan usaha besar mampu memberikan kontribusi sebesar 60,2 %. Dengan demikian, untuk meningkatkan kontribusi UKM terhadap PDRB maka pemerintah kota Medan beserta instansi terkait merasa perlu lebih memperhatikan kondisi UKM di kota Medan.


(6)

Pemerintah Kota Medan kemudian berusaha untuk meningkatkan kesejahtreraan masyarakatnya melalui penyediaan berbagai kesempatan berusaha di bidang UKM. Namun, usaha tersebut mendapatkan kendala dari pihak UKM itu sendiri. Salah satunya adalah kendala oleh terbatasnya jaringan pemasaran UKM. Hal ini menyebabkan tehambatnya perkembangan dan pertumbuhan UKM yang telah ada di Kota Medan dan keraguan bagi masyarakat yang lain untuk mau membuka berbagai jenis kegiatan usaha yang lain.

Melihat kendala-kendala di atas, Dinas Koperasi Kota Medan merasa perlu memberdayakan UKM dengan mengembangkan dan memperkuat kelembagaan UKM yang dapat mendukung pengembangan jaringan pemasaran UKM. Adapun tindak lanjut dari kebijakan ini adalah lahirnya sebuah program pemberdayaan kelembagaan UKM di Kota Medan. Hal ini dinilai penting untuk memberikan gambaran kepada pelaku-pelaku UKM di Kota Medan tentang (1) keterkaitan antar komponen penelitian, penyuluhan, pelaku UKM, dan lembaga jasa pendukung dan (2) keterkaitan antar elemen (pelaku) pada setiap sub sistem UKM. Keterkaitan tersebut berupa keterkaitan fungsional dan institusional yang dilengkapi dengan aturan main.

Program pemberdayaan UKM tersebut mencakup kegiatan pengembangan jaringan pemasaran. Kegiatan ini lahir dengan asumsi bahwa sebaik apapun UKM dalam mengelola usahanya jika tidak memiliki pasar untuk memasarkan produknya maka UKM tersebut akan mati secara perlahan. Hal ini merupakan salah satu indikator keberhasilan UKM. Karena UKM yang dikatakan berhasil adalah bila memiliki jaringan pemasaran yang baik dan kuat, yang dapat diandalkan bagi penjualan dan pengembangan produk-produknya.


(7)

Dinas Koperasi Kota Medan berharap bahwa dengan teratasinya kendala dalam pengembangan jaringan pemasaran UKM di Kota Medan, UKM yang ada mampu semakin berkembang dan bertumbuh dan masyarakat tidak lagi khawatir untuk membuka usaha-usaha kecil menengah karena kendala tersebut sehingga harapan bahwa UKM nantinya dapat berperan sebagai tulang punggung perekonomian masyarakat kota Medan dapat terwujud.

Berangkat dari uraian di atas, adanya potensi UKM di Kota Medan yang dapat dikembangkan menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat kota Medan nantinya menjadikan permasalahan pemberdayaan UKM sangat menarik bagi penulis untuk melakukan penelitian bagaimana pemberdayaan kelembagaan UKM dengan melakukan studi evaluasi pada pengembangan jaringan distribusi dan pemasaran UKM di Kota Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk dapat memudahkan penelitian ini nantinya, dan supaya penulis dapat terarah dalam menginterpretasikan fakta dan data ke dalam pembahasan, maka terlebih dahulu dirumuskan permasalahannya. Masalah adalah merupakan bagian pokok dari suatu kegiatan penelitian dimana penulis mengajukan pertanyaan terhadap dirinya tentang hal-hal yang akan dicari jawabannya melalui kegiatan penelitian (Arikunto, 1993:47).

Beranjak dari pengertian di atas serta berpedoman kepada latar belakang yang telah dikemukakan, maka penulis merumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


(8)

1. Bagaimanakah pelaksanaan pengembangan jaringan pemasaran UKM yang telah dilakukan selama ini dalam program pemberdayaan kelembagaan UKM di kota Medan?

2. Bagaimana kondisi objektif pengembangan jaringan pemasaran UKM yang mengikuti program pemberdayaan kelembagaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) di Kota Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan tentu mempunyai suatu sasaran yang hendak dicapai, atau apa yang menjadi tujuan dari penelitian tentunya harus jelas diketahui sebelumnya. Suatu riset khusus dalam ilmu pengetahuan yang empiris pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan (Sutrisno Hadi, 2001:13). Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah ;

1. Untuk mendeskripsikan bagaimana keberhasilan dari pelaksanaan pengembangan jaringan pemasaran UKM dan permasalahan yang timbul di dalamnya.

2. Untuk mengetahui kondisi objektif UKM yang telah terlibat dalam program pemberdayaan kelembagaan UKM


(9)

1.4 Manfaat Penelitian

Disamping tujuan yang hendak dicapai maka suatu penelitian harus mempunyai manfaat yang jelas. Adapun manfaat yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini antara lain :

1. Secara subjektif adalah sebagai suatu tahap untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir secara sistematis dan teoritis dalam memecahkan suatu permasalahan secara objektif dan kritis melalui suatu karya ilmiah sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang bersifat teruji dan berguna.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan ataupun informasi tentang program pemberdayaan kelembagaan UKM, khususnya pengembangan jaringan pemasaran UKM.

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan agar dapat memberikan kontribusi empirik terhadap studi kebijakan (konsentrasi kebijakan) di Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara mengenai studi evaluasi.

4. Secara praktis, bagi Dinas Koperasi Kota Medan, sebagai salah satu bahan masukan dalam menjalankan program pemberdayaan kelembagaan UKM selanjutnya dan dapat dijadikan bahan acuan untuk merancang kebijakan dan program baru yang terkait dengan masalah pemberdayaan UKM


(10)

1.5 Kerangka Teori

Sebagai titik tolak atau landasan berfikir dalam menyoroti atau memecahkan masalah perlu adanya pedoman teoritis yang dapat membantu. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah tersebut disoroti.

Menurut Masri Singarimbun (1989:37), teori adalah serangkaian konsep, defenisi dan preposisi yang saling berkaitan dan bertujuan memberikan gambaran yang sistematis tentang suatu fenomena sosial.

Berdasarkan rumusan diatas maka dalam bab ini penulis akan mengemukakan teori, pendapat, ataupun gagasan yang akan dijadikan sebagai titik tolak/landasan berfikir dalam penelitian ini.

1.5.1 Usaha Kecil dan Menengah

1.5.1.1 Pengertian Usaha Kecil Menegah (UKM)

Usaha kecil menengah (UKM) merupakan bagian terbesar dari pelaku bisnis di Indonesia yang mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan struktur perekonomian nasional. Oleh karena itu berbagai upaya pemberdayaan perlu terus dilakukan baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.

UKM adalah usaha yang mempunyai modal awal yang kecil, atau nilai kekayaan (asset) yang kecil dan jumlah pekerja yang kecil (terbatas), nilai modal (asset) atau jumlah pekerjanya sesuai dengan defenisi yang diberikan oleh pemerintah atau institusi lain dengan tujuan tertentu. (Sukirno, 2004:365)


(11)

Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 10 tahun 1999 tentang pemberdayaan UKM yang dimaksud dengan UKM adalah kegiatan ekonomi dengan kriteria:

1. Aset Rp Rp 50 milyar,- tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, atau

2. Omzet Rp 250 milyar.

Adapun yang menjadi karakteristik UKM menurut Mintzberg, Musselman dan Hughes adalah (Situmorang dkk., 2003: 15):

1. Kegiatan cenderung tidak normal dan jarang yang memiliki rencana bisnis

2. Struktur organisasinya bersifat sederhana

3. Jumlah tenaga kerja terbatas dengan pembagian kerja yang longgar

4. Kebanyakan tidak melakukan pemisahan antara kekayaan pribadi dan perusahaan

5. Sistem akuntansi kurang baik, bahkan kadang-kadang tidak memiliki 6. Skala ekonomi terlalu kecil sehingga sukar menekan biaya

7. Kemampuan dasar serta diversifikasi pasar cenderung terbatas 8. Margin keuntungan sangat tipis

9. Keterbatasan modal sehingga tidak mampu mempekerjakan manajer-manajer profesional. Hal itu menyebabkan kelemahan manajer-manajerial, yang meliputi kelemahan pengorganisasian, perencanaan, pemasaran dan akuntansi.


(12)

Sedangkan ciri-ciri usaha kecil di Indonesia menurut Sutojo (Bararualo, 2001:7):

1. Lebih dari setengah usaha kecil didirikan sebagai pengembangan dari usaha kecil-kecilan

2. Selain masalah permodalan, masalah lain yang dihadapi usaha kecil bervariasi tergantung dengan tingkat perkembangan usaha

3. Sebagian besar usaha kecil tidak mampu memenuhi persyaratan-persyaratan administrasi guna memperoleh bantuan bank

4. Hampir 60% usaha kecil masih menggunakan teknologi tradisional 5. Hampir setengah perusahaan kecil hanya menggunakan kapasitas

terpasang kurang dari 60%

6. Pangsa pasar usaha kecil cenderung menurun baik karena faktor kekurangan modal, kelemahan teknologi dan kelemahan manajerian 7. Hampir 70% usaha kecil melakukan pemasaran langsung kepada

konsumen

8. Tingkat ketergantungan terhadap fasilitas-fasilitas pemerintah sangat besar

1.5.1.2 Jenis-Jenis UKM

Secara umum UKM bergerak dalam 2 (dua) bidang, yaitu bidang perindustrian dan bidang perdagangan barang dan jasa. Menurut Keppres No. 127 Tahun 2001, adapun bidang/ jenis usaha yang terbuka bagi usaha kecil dan menengah di bidang industri dan perdagangan adalah:


(13)

1. Industri makanan dan minuman olahan yang melakukan pengawetan dengan proses pengasinan, penggaraman, pemanisan, pengasapan, pengeringan, perebusan, penggorengan dan fermentasi dengan cara-cara tradisional.

2. Industri penyempurnaan benang dari serat alam maupun serat buatan menjadi benang bermotif/celup, ikat dengan menggunakan alat yang digunakan oleh tangan.

3. Industri tekstil meliputi pertenunan, perajutan, pembatikan, dan pembordiran yang memiliki ciri dikerjakan dengan ATBM, atau alat yang digerakkan tangan termasuk batik, peci, kopiah, dsb.

4. Pengolahan hasil hutan dan kebun golongan non pangan:

a. Bahan bangunan atau rumah tangga, bambu, nipah, sirap, arang, sabut.

b. Bahan industri: getah-getahan, kulit kayu, sutra alam, gambir. 5. Industri perkakas tangan yang diperoses secara manual atau semi

mekanik untuk pertukangan dan pemotongan.

6. Industri perkakas tangan untuk pertanian yang diperlukan untuk persiapan lahan, proses produksi, pemanenan, pasca panen dan pengolahan, kecuali cangkul dan sekop.

7. Industri barang dari tanah liat, baik yang diglasir maupun yang tidak diglasir untuk keperluan rumah tangga.

8. Industri jasa pemeliharaan dan perbaikan yang meliputi otomotif, kapal dibawah 30 GT, elektronik dan peralatan rumah tangga yang dikerjakan secara manual atau semi otomatis.


(14)

9. Industri kerajinan yang memiliki kekayaan khasanah budaya daerah, nilai seni yang menggunakan bahan baku alamiah maupun imitasi. 10. Perdagangan dengan skala kecil dan informasi.

1.5.1.3 Landasan Hukum UKM

Adapun yang menjadi landasan hukum UKM adalah sebagai berikut: 1. Kegiatan usaha industri ataupun perdagangan di Indonesia diatur oleh

UU No. 1 Tahun 1985.

2. Untuk usaha kecil industri diatur oleh UU No. 9 Tahun 1995.

3. Bentuk badan Hukum Usaha Industri dan perdagangan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1985 tentang Perseroan Terbatas.

4. Perijinan usaha kecil dan menengah dan besar khusus industri tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan tanda daftar industri.

5. Tata cara perijinan usaha perdagangan (SIUP) diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 591/MPP/Kep/99 tentang tata cara pemberian surat izin usaha perdagangan (SIUP).

1.5.2 Pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah 1.5.2.1 Pengertian Pemberdayaan

Secara konseptual pemberdayaan berasal dari kata “power” yang berarti kekuasaan. The Webster and Oxford English Dictionary dalam Nyoman Sumaryadi (2005 : 98-99) memberikan dua arti dari to empower yaitu : (a) to give


(15)

mendelegasikan otoritas kepihak lain, (b) to give ability to or to enable adalah memberikan kemampuan untuk memberikan keberdayaan.

Pandangan ini menyatakan bahwa memberdayakan berarti membagi kekuasaan dari orang atau kelompok yang berkuasa (powerfull) kepada mereka yang tidak memilikinya (powerless) agar terjadi keseimbangan antara penguasa dan yang dikuasasi, sehingga kondisi-kondisi memperdayai tidak terjadi.

Gagasan pemberdayaan, tidak akan terlepas dari konsep “power” itu sendiri. Hanya saja, konsep power disini tidak semata-mata mengarah kepada kekuasaan, tetapi juga pada kekuatan, kemampuan atau potensi yang lebih berasal dari dalam diri orang atau kelompok yang diberdayakan.

1.5.2.3 Prinsip Pemberdayaan

Didalam melakukan pemberdayaan keterlibatan pihak yang diberdayakan yang akan diberdayakan sangatlah penting sehingga tujuan dari pemberdayaan dapat tercapai secara maksimal. Program yang mengikutsertakan masyarakat, memliki beberapa tujuan, yaitu agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka, serta meningkatkan keberdayaan (empowering) pihak yang diberdayakan dengan pengalaman merancang, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonomi (Kartasasmita, 1996:249).

Dalam kaitannya dengan UKM sebagai pihak yang diberdayakan, untuk itu diperlukan suatu perencanaan yang didalamnya terkandung prinsip-prinsip pemberdayaan yaitu adanya dua pihak yang memiliki hubungan yang sangat erat yaitu pertama, pihak yang memberdayakan (Community Worker) dan kedua, pihak yang diberdayakan (masyarakat). Antara kedua pihak harus saling


(16)

mendukung sehingga masyarakat sebagai pihak yang akan diberdayakan bukan hanya dijadikan objek, tapi lebih diarahkan sebagai subjek (pelaksana).

1.5.2.4 Proses Pemberdayaan

Pemberdayaan sebagai suatu proses perlu adanya pengembangan dari keadaan yang tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Untuk meningkatkan kapasitas masyarakat agar mampu mentransfer daya adalah dengan strategi peningkatan pendidikan dan kesadaran

Agar proses pemberdayaan sesuai dengan tujuannya, Adi (2001:32-33) mengatakan perlu adanya intervensi sosial yang dijabarkan melalui dua intervensi yakni internesi makro yaitu intervensi yang dilakukan di tingkat komunitas dan organisasi sedangkan intervensi mikro adalah suatu intervensi yang dilakukan pada level individu, keluarga dan kelompok.

Dalam penerapannya dilapangan Adi (2001:160) menyatakan ada 2 (dua) pilihan pendekatan yang dapat dilakukan. Pendekatan direktif yang dilakukan berdasarkan asumsi bahwa community worker tahu apa yang dibutuhkan dan yang baik bagi masyarakat, sedangkan pendekatan non direktif dilakukan berdasarkan asumsi bahwa masyarakat tahu apa yang sebenarnya mereka butuhkan dan baik bagi mereka.

Sesuai uraian di atas, dapat dikatakan proses pemberdayaan sebaiknya mampu mentransfer daya dengan upaya peningkatan kapasitas masyarakatnya secara berkelanjutan dalam meningkatkan daya dan kemampuan yang ada baik


(17)

secara individu, organisasi dan komunitas, yang merupakan upaya peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakat.

1.5.2.5 Pemberdayaan UKM

Pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kata empowerment, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh kelompok masyarakat tersebut. Jadi, pendekatan pemberdayaan masyarakat bertitik berat pada pentingnya masyarakat yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri sehingga diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sekedar objek, tetapi justru sebagai subjek pelaku pembangunanan ikut menentukan masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum.

Dalam kaitannya dengan UKM sebagai objek yang akan diberdayakan, pemberdayaan adalah upaya memberikan motivasi / dorongan kepada UKM agar mereka memiliki kesadaran dan kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi.

Dalam hal ini, UKM berada dalam posisi yang tidak berdaya (powerless). Posisi yang demikian memberi ruang yang lebih besar terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi keterpurukan UKM. Dengan demikian, UKM harus diberdayakan sehingga memiliki kekuatan posisi tawar (empowerment of the

powerless).

Pada intinya, pemberdayaan bukan membuat objek pemberdayaan makin tergantung pada program-program pemberian (charity). Karena tujuan akhirnya adalah memandirikan mereka, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri kearah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan.


(18)

Pemberdayaan masyarakat demikian juga terhadap UKM, bertitik tolak untuk memandirikan UKM agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, mengoptimalkan sumber daya setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menyampaikan kebutuhannya kepada instansi-instansi pemberi pelayanan.

Untuk memudahkan penulis memahami konsep pemberdayaan UKM penulis menyimpulkan bahwa: dari segi defenisi, penulis mengartikan pemberdayaan UKM sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki sendiri oleh UKM. Jadi, pendekatan pemberdayaan UKM bertitik berat pada pentingnya UKM yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri sehingga diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sekedar pihak, tetapi justru sebagai subjek pelaku pembangunan yang ikut menentukan masa depan dan kehidupan masyarakat secara umum. Dalam kaitannya dengan pelaku di bidang UKM sebagai objek yang akan diberdayakan, pemberdayaan adalah upaya memberikan motivasi / dorongan kepada pelaku di bidang UKM agar mereka memiliki kesadaran dan kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi

Dari segi prinsip, didalam melakukan pemberdayaan keterlibatan pelaku UKM yang akan diberdayakan sangatlah penting sehingga tujuan dari pemberdayaan dapat tercapai secara maksimal. Program yang mengikutsertakan UKM, memliki beberapa tujuan, yaitu agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka, serta


(19)

meningkatkan keberdayaan (empowering) UKM dengan pengalaman merancang, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonomi.

Dari segi proses, pemberdayaan sebagai suatu proses perlu adanya pengembangan dari keadaan yang tidak atau kurang berdaya menjadi mempunyai daya guna mencapai kehidupan yang lebih baik. Untuk meningkatkan kapasitas UKM agar mampu mentransfer daya adalah dengan strategi peningkatan pendidikan dan kesadaran.

Penulis juga menambahkan tujuan dari pemberdayaan UKM dimana Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil secara tegas menyatakan tujuan pemberdayaan usaha kecil adalah: (1) menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan usaha kecil menjadi usaha yang tangguh dan mandiri serta dapat berkembang menjadi usaha menengah, dan (2) meningkatkan peranan usaha kecil dalam pembentukan produk nasional, perluasan kesempatan kerja dan berusaha, peningkatan ekspor, serta peningkatan dan pemerataan pendapatan untuk mewujudkan dirinya sebagai tulang punggung serta memperkukuh struktur perekonomian nasional.

1.5.3 Evaluasi Kebijakan

1.5.3.1 Beberapa Definisi Mengenai Evaluasi Kebijakan

Charles O. Jones (1996:25) mengemukakan bahwa : “evaluation is an

activity which can contribute greatly to the understanding and improvement of policy development and impelementation” (evaluasi adalah kegiatan yang dapat

menyumbangkan pengertian yang besar nilainya dan dapat pula membantu penyempurnaan pelaksanaan kebijakan beserta perkembangannya).


(20)

James E. Anderson (1984:7) mengatakan bahwa : “policy evaluation, as a

functional activity, is as old as policy itself. Policy – makers and administrator have always made judgments concerning the worth or effects of particular policies, programs, and projects” (evaluasi kebijakan, sebagai suatu kegiatan

fungsional, adalah suatu kebijakan itu sendiri. Pengambil-pengambil kebijakan dan administrator-administrator senantiasa membuat penilaian terhadap keberhasilan atau terhadap dampak dari kebijakan-kebijakan khusus, program-program dan proyek-proyek yang dilakukan itu).

Istilah evaluasi mempunyai arti yang berhubungan, masing-masing menunjuk pada aplikasi beberapa skala nilai terhadap hasil kebijakan dan program. Secara umum istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal), pemberian angka (rating) dan penilaian (assessment), kata-kata yang menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti satuan nilainya. Dalam arti yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan. Ketika hasil kebijakan pada kenyataannya mempunyai nilai, hal ini karena hasil tersebut memberi sumbangan pada tujuan atau sasaran. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa kebijakan atau program telah mencapai tingkat kinerja yang bermakna, yang berarti bahwa masalah-masalah kebijakan dibuat jelas atau diatasi.

Untuk keperluan jangka panjang dan untuk kepentingan keberlanjutan (sustainable) suatu program, evaluasi sangat diperlukan. Dengan evaluasi, kebijakan-kebijakan ke depan akan lebih baik dan tidak mengurangi kesalahan yang sama. Berikut ini diberikan beberapa argumen perlunya evaluasi :


(21)

1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas suatu kebijakan, yakni seberapa jauh suatu kebijakan mencapai tujuannya.

2. Mengetahui apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal. Dengan melihat tingkat efektivitasnya, maka dapat disimpulkan apakah suatu kebijakan berhasil atau gagal.

3. Memenuhi aspek akuntabilitas publik. Dengan melakukan penilaian kinerja suatu kebijakan, maka dapat dipahami sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada publik sebagai pemilik dana dan mengambil manfaat dari kebijakan dan program pemerintah.

4. Menunjukkan pada stakeholders manfaat suatu kebijakan. Apabila tidak dilakukan evaluasi terhadap sebuah kebijakan, para stakeholders, terutama kelompok sasaran tidak mengetahui secara pasti manfaat dari sebuah kebijakan atau program.

5. Agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pada akhirnya, evaluasi kebijakan bermanfaat untuk memberikan masukan bagi proses pengambilan kebijakan yang akan datang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sebaliknya, dari hasil evaluasi diharapkan dapat ditetapkan kebijakan yang lebih baik.

Jones (1977) dalam Tangkilisan (2003; 25) mengemukakan bahwa evaluasi suatu kebijakan publik berarti dilakukan peninjauan ulang untuk mendapatkan perbaikan dari dampak yang tidak diinginkan.

Selanjutnya Ripley (1975) dalam Tangkilisan (2003; 26) mengemukakan bahwa evaluasi yang dilakukan terhadap suatu tindakan kebijakan sesungguhnya merupakan evaluasi terhadap proses implementasinya; kemudian bagaimana


(22)

kepatuhan dari kelompok-kelompok ketika proses implementasi berlangsung; dan terakhir bagaimana prospek ke depan dari dampak kebijakan tersebut.

Melihat pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa evaluasi kebijakan adalah tahapan yang dilakukan setelah kebijakan publik tersebut diimplementasikan dimana hal ini tentunya dalam rangka menguji tingkat kegagalan dan keberhasilan, keefektifan dan keefisienannya.

1.5.3.2 Model/Tipe Evaluasi Kebijakan

Evaluasi kebijakan merupakan langkah terakhir dalam proses suatu kebijakan. Menurut Abidin (2004; 215), evaluasi secara lengkap mengandung tiga pengertian :

1. Evaluasi awal, sejak dari proses perumusan kebijakan sampai saat sebelum dilaksanakan (ex-ante evaluation);

2. Evaluasi dalam proses pelaksanaan atau monitoring;

3. Evaluasi akhir, yang dilakukan setelah selesai proses pelaksanaan kebijakan (ex-post evaluation).

Pentingnya evaluasi awal dalam proses kebijakan pada umumnya dirasakan karena setelah rumusan draft kebijakan dibuat atau disetujui masih dirasakan ada keperluan untuk melakukan sosialisasi guna memperoleh tanggapan awal dari masyarakat. Contoh yang paling jelas dapat dilihat dalam proses pembuatan sebuah undang-undang (UU).

Bersamaan dengan proses pelaksanaan ada kegiatan penilaian yang disebut

monitoring. Sekalipun kedua proses itu berjalan bersamaan, monitoring tidak


(23)

untuk menunjang keberhasilan pelaksanaan. Dengan monitoring diharapkan, setiap kekeliruan atau ketidakcocokan yang terjadi sebagai akibat dari kekurangan informasi pada saat formulasi kebijakan atau karena ada perubahan-perubahan yang tak terduga di lapangan, segera dapat diperbaiki dan disesuaikan. Dengan demikian kekeliruan tidak berlarut-larut sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya kegagalan. Dengan menggunakan istilah engineering, kelemahan yang diidentifikasi melalui monitoring adalah kesalahan pelaksanaan dari manusia atau

human error, karena asumsi yang dipakai disini adalah, rencana atau kebijakan

yang telah dirumuskan sempurna atau perfect sifatnya. Dengan kata lain,

monitoring tidak bertujuan untuk mengubah kebijakan, tetapi hanya mengadakan

penyesuaian.

Monitoring ditujukan untuk keberhasilan pelaksanaan suatu kebijakan

sesuai dengan target yang direncanakan. Informasi yang dihasilkan berkenaan dengan kelemahan dan penyimpangan dalam pelaksanaan sehingga tidak dapat mencapai target output dari suatu kebijakan. Apakah tujuan yang dirumuskan memberi hasil akhir atau outcomes yang terbaik, tidak menjadi fokus monitoring.

Monitoring berakhir pada saat target outputs tercapai. Penilaian didasarkan pada

efisiensi dan ketepatan (appropriate) dalam pemanfaatan keseluruhan faktor pendukung (supporting factors) yang ada dalam proses pelaksanaan.

Sesudah pelaksanaan ada evaluasi akhir atau ex-post evaluation. Evaluasi akhir ini diperlukan untuk mengidentifikasi berbagai kelemahan secara menyeluruh dari suatu kebijakan, baik yang berasal dari kelemahan strategi kebijakan sendiri maupun karena kelemahan dalam pelaksanaan. Tujuan dari evaluasi akhir adalah untuk membangun dan menyempurnakan kebijakan. Maka


(24)

itu fokusnya tidak hanya pada suatu tahap dalam proses kebijakan, tetapi pada keseluruhan proses. Karena itu, obyek yang diidentifikasi bukan sekedar kegagalan, melainkan juga keberhasilan. Kegagalan menjadi sasaran untuk diperbaiki, sementara keberhasilan menjadi contoh untuk dikembangkan. Menurut Abidin (2004; 217), informasi yang dihasilkan dari evaluasi merupakan nilai (values) yang antara lain berkenaan dengan:

1. Efisiensi (efficiency), yakni perbandingan antara hasil dengan biaya, atau (hasil/biaya).

2. Keuntungan (profitability), yaitu selisih antara hasil dengan biaya atau (hasil-biaya).

3. Efektif (effectiveness), yakni penilaian pada hasil, tanpa memperhitungkan biaya.

4. Keadilan (equity), yakni keseimbangan (proporsional) dalam pembagian hasil (manfaat) dan/atau biaya (pengorbanan).

5. Detriments, yakni indikator negatif dalam bidang sosial seperti kriminal

dan sebagainya.

6. Manfaat tambahan (marginal rate of return), yaitu tambahan hasil banding biaya atau pengorbanan (change-in-benefits/change-in-cost). William Dunn dalam Abidin (2004; 218), menunjuk pada perbedaan fungsi antara monitoring atau evaluasi dalam proses pelaksanaan dengan evaluasi kinerja atau evaluasi sesudah pelaksanaan. William Dunn mengemukakan bahwa monitoring ditujukan untuk menjawab pertanyaan tentang apa yang terjadi dalam proses pelaksanaan, bagaimana terjadinya dan mengapa, “What happened, how


(25)

perubahan-perubahan apa yang telah terjadi, “what differences does it make ?”. Jelasnya, di sini terdapat perbedaan fungsi di antara kedua jenis evaluasi tersebut. Sebagai konsekuensi dari perbedaan fungsi ini terdapat perbedaan pada informasi yang dihasilkan. Monitoring, menurut Dunn, menghasilkan informasi yang sifatnya empiris, berdasarkan fakta-fakta yang ada (designative claims), sementara evaluasi akhir menghasilkan informasi yang bersifat penilaian (values) dalam memenuhi kebutuhan, peluang dan/atau memecahkan permasalahan.

Lebih lanjut Tangkilisan (2003; 26) menjelaskan bahwa dalam melakukan evaluasi kebijakan publik, secara umum ada tiga aspek yang diharapkan dari seorang analis atau evaluator kebijakan, yaitu :

1. Aspek perumusan kebijakan, dimana analis atau evaluator berupaya untuk menemukan jawaban bagaimana kebijakan tersebut dibuat dan dirumuskan.

2. Aspek implementasi kebijakan, dimana analis atau evaluator berupaya mencari jawaban bagaimana kebijakan itu dilakukan.

3. Aspek evaluasi dimana analis atau evaluator berusaha untuk mengetahui apa dampak yang ditimbulkan oleh suatu tindakan kebijakan, baik dampak yang diinginkan maupun dampak yang tidak diinginkan.

Dengan mengkaji ketiga aspek tersebut di atas, maka studi evaluasi mempunyai cakupan yang sangat luas karena merupakan kegiatan yang bersifat fungsional dan mencakup seluruh proses kebijakan publik. Penentuan aspek evaluasi menjadi sangat penting dan strategis dikarenakan tahap ini merupakan tonggak dari tipe evaluasi yang akan dilakukan oleh analis. Evaluasi dilakukan


(26)

dengan memenuhi syarat obyektifitas dalam pengukuran terutama terhadap tujuan dari tindakan kebijakannya.

Berbicara mengenai jenis atau tipe kebijakan, Heath (1997) dalam Tangkilisan (2003; 27) membedakan evaluasi kebijakan publik atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut :

1. Tipe evaluasi proses (process evaluation), dimana evaluasi dilakukan dengan memusatkan perhatian pada pertanyaan bagaimana program dilaksanakan ? (how did the program operate ?).

2. Tipe evaluasi dampak (impact evaluation), dimana evaluasi ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan mengenai apa yang telah dicapai dari program ? (What did the program do ?).

3. Tipe evaluasi strategi (strategic evaluation), dimana evaluasi ini bertujuan untuk mencari jawaban atas pertanyaan bagaimana program dapat dilaksanakan secara efektif, untuk memecahkan persoalan-persoalan masyarakat dibanding dengan program-program lain yang ditujukan pada masalah yang sama sesuai dengan topik mengenai kebijakan publik.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan model evaluasi dalam proses pelaksanaan/implementasi kebijakan. Dimana, dalam penelitian ini penulis akan mencoba mengevaluasi pelaksanaan kegiatan pengembangan jaringan pemasaran UKM dalam program pemberdayaan kelembagaan UKM.


(27)

1.5.3.3 Indikator Pengukuran Evaluasi Kebijakan

Menurut Tangkilisan (2003; 28), walaupun pengukuran evaluasi tersebut bervariasi, secara umum evaluasi kinerja kebijakan tersebut mengacu empat indikator pokok yaitu indikator input, process, outputs dan outcomes.

Indikator input memfokuskan pada penilaian apakah sumberdaya pendukung dan bahan-bahan dasar yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan. Indikator input ini dapat meliputi sumberdaya manusia, uang atau infrastruktur pendukung lainnya. Menurut George Edwards (Tangkilisan 2003 ; 55), sumberdaya ini terdiri dari Staf yang cukup dan memiliki keterampilan yang baik untuk melaksanakan berbagai tugas dan tanggungjawabnya dalam pekerjaan (berhubungan dengan sumber daya manusia), informasi yang menjelaskan bagaimana para implementor melakukan kebijakan (implementor perlu tahu apa yang harus dikerjakan ketika diberikan petunjuk untuk bertindak) dan bentuknya seperti data berupa peraturan pemerintah serta fasilitas yang cukup.

Sedangkan indikator proses memfokuskan pada penilaian bagaimana sebuah kebijakan ditransformasikan dalam bentuk pelayanan langsung kepada masyarakat. Indikator ini meliputi aspek efektivitas dan efisiensi dari metode atau cara yang dipakai untuk melaksanakan kebijakan publik tertentu. Efektivitas menurut Dunn (2000; 610) dalam pengevaluasiannya harus bisa menjawab apakah hasil yang diinginkan telah dicapai ? dimana efektivitas ini berkenaan dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil (akibat) yang diharapkan atau mencapai tujuan dari diadakannya tindakan. Efektivitas yang secara dekat berhubungan dengan rasionalitas teknis, selalu diukur dari unit produk atau layanan atau nilai moneternya. Rasionalitas teknis ini maksudnya adalah karakteristik pilihan yang


(28)

bernalar yang meliputi pembandingan berbagai alternatif atas dasar kemampuan masing-masing memecahkan masalah-masalah publik secara efektif. Contohnya, kebijakan kesehatan yang efektif adalah kebijakan penyediaan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu dengan asumsi bahwa kualitas pelayanan kesehatan adalah hasil yang bernilai (tujuan). Sedangkan efisiensi adalah berkenaan dengan jumlah usaha yang diperlukan untuk menghasilkan tingkat efektivitas tertentu. Dalam pengevaluasiannya, menurut Dunn, efisiensi hendaknya bisa menjawab pertanyaan seberapa banyak usaha yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Dalam hal ini efektivitas dan efisiensi saling berkaitan erat satu dengan yang lain. Efektivitas lebih melihat kepada hasil/tujuan yang hendak dicapai sedangkan efisiensi melihat kepada berbagai usaha yang dilakukan untuk mencapai hasil yang diinginkan.

Sementara indikator outputs (hasil), memfokuskan penilaian pada hasil atau produk yang dapat dihasilkan dari sistem atau proses kebijakan publik. Indikator hasil ini misalnya berapa orang yang berhasil mengikuti program tertentu, berapa penduduk miskin yang sudah terkover dalam kebijakan tertentu, demikian seterusnya. Dan terakhir indikator outcomes (dampak), memfokuskan diri pada pertanyaan dampak yang diterima oleh masyarakat luas atau pihak yang terkena kebijakan.

Perlu diketahui apakah tujuan yang dirumuskan memberi hasil akhir atau

outcomes yang terbaik, tidak menjadi fokus dari evaluasi dalam proses

pelaksanaan kebijakan (monitoring). Monitoring berakhir pada saat target outputs tercapai. Penilaian didasarkan pada efisiensi dan ketepatan (appropriate) dalam


(29)

pemanfaatan keseluruhan faktor pendukung (supporting factors) yang ada dalam proses pelaksanaan.

1.5.4 Pemberdayaan Kelembagaan Usaha Kecil dan Menengah

Untuk memahami pemberdayaan kelembagaan usaha kecil dan menengah, maka penulis merasa perlu memahami konsep kelembagaan yang dimaksudkan.

Gunadi, di dalam Muslimin (2002:85) mengartikan kelembagaan sebagai wadah dan sebagai norma. Lembaga atau institusi adalah seperangkat aturan, prosedur, norma, perilaku individual dan sangat penting artinya bagi pengembangan organisasi.

Selanjutnya, Muslimin sepakat dengan para ahli bahwa kelembagaan disamakan dengan organisasi. Dimana organisasi dikaitkan dihubungkan dengan strategi, struktur dan lingkungan. Bahwa organisasi harus reaktif dan proaktif terhadap lingkungan dengan terus membuat strategi baru agar dapat terus bertahan terhadap perubahan.

Sama halnya dengan Bambang Dradjat (2006:3) menyamakan kelembagaan sebagai organisasi dan aturan main. Dimana, kelembagaan tersebut dibangun dengan mempertimbangkan tujuh prinsip dasar, sebagai berikut:

1. Prinsip kebutuhan, kelembagaan yang dibangun dibutuhkan secara fungsional. Keberadaannya tidak dipaksakan, jika fungsi-fungsi dalam setiap subsistem komponen telah memenuhi kebutuhan.

2. Prinsip efektivitas, kelembagaan hanyalah sebuah alat, bukan tujuan. Sebagai alat maka elemen kelembagaan yang dikembangkan di setiap subsistem haruslah efektif untuk upaya pencapaian tujuan yang diinginkan.


(30)

3. Prisip efisiensi, penumbuhan elemen kelembagaan harus dipilih opsi yang paling efisien, yaitu yang relatif paling murah, mudah, dan sederhana namun tetap mampu mendukung pencapaian tujuan.

4. Prinsip fleksibilitas, kelembagaan yang dikembangkan disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia dan budaya setempat. Soal nama lembagapun tidak boleh dipaksakan jika sudah ada nama yang melembaga di masyarakat.

5. Prinsip manfaat, kelembagaan yang dikembangkan adalah yang mampu memberikan manfaat paling besar bagi masyarakat.

6. Prinsip pemerataan. Kelembagaan yang dikembangkan memberikan pembagian benefit (sharing system) secara proporsional kepada setiap petani dan pelaku agribisnis lainnya di pedesaan.

7. Prinsip keberlanjutan, kelembagaan yang dikembangkan diharapkan akan terus berjalan meskipun keterlibatan lembaga jasa penunjang (lembaga pemerintah daerah dan lembaga keuangan) secara langsung telah berkurang.

Ditambahkan Soekartawi didalam Muslimin (2002:85) bahwa aspek kelembagaan sangat penting terhadap pengembangan ekonomi. Dimana, kelembagaan diperlukan untuk mengkoordinasikan semua sumberdaya yang tersedia dan tersebar di dalam komunitas masyarakat menjadi satu kekuatan yang utuh yang mempunyai bargaining untuk menghadapi sistem perekonomian yang tidak kondusif bagi sebagian besar masyarakat yang tergolong miskin.

Mubyarto di dalam Cornelis Rintuh dan Miar (2005 : 3) juga melihat kelembagaan dari pandangan ekonomis, dimana kelembagaan ditekankan kepada


(31)

usaha manusia untuk menciptakan dan menggunakan lembaga-lembaga tertentu untuk memecahkan berbagai konflik ekonomi didalam masyarakat.

Dari beberapa pendapat ahli di atas dapat dimengerti bahwa kelembagaan merupakan hal yang penting untuk diberdayakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Roland Bunch, dalam Cornelis Rintuh dan Miar (2005 : 3) yang menguraikan pentingnya kelembagaan untuk diberdayakan khususnya bagi UKM, karena :

1. Banyaknya masalah di UKM yang hanya dapat dipecahkan oleh suatu lembaga seperti pelayanan perkreditan, pemasaran, penyebaran inovasi produk, dan lain-lain.

2. Dapat memberi kelanggengan pada UKM untuk terus dapat mengembangkan usahanya.

3. Dapat mengorganisasi UKM-UKM untuk dapat bersaing dengan pihak luar.

Berdasarkan beberapa uraian di atas, dan dikaitkan dengan permasalahan UKM yang akan diteliti, maka penulis menyimpulkan bahwa kelembagaan memegang peranan penting khususnya dalam pengembangan UKM, sehingga perlu diberi perhatian yang proporsional. Pemahaman prinsip dasar dinilai penting untuk membangun model kelembagaan yang menggambarkan (1) keterkaitan antar komponen termasuk penyuluhan, pelaku UKM, dan lembaga jasa pendukung dan (2) keterkaitan antar elemen (pelaku) pada setiap sub sistem UKM. Keterkaitan tersebut berupa keterkaitan fungsional dan institusional yang dilengkapi dengan aturan main.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan kelembagaan UKM adalah upaya untuk memberikan motivasi / dorongan kepada pelaku di


(32)

bidang UKM agar mereka menyadari pentingnya keterkaitan antar seluruh komponen yang ada disekeliling UKM termasuk penyuluhan, pelaku UKM itu sendiri, lembaga jasa pendukung dan sub-sub sistem yang ada di UKM sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi.

1.5.5 Program Pemberdayaan Kelembagaan Usaha Kecil dan Menengah Dalan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Periode Tahun 2004 – 2009, UKM menempati posisi strategis untuk mempercepat perubahan struktural dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagai wadah kegiatan usaha bersama bagi produsen maupun konsumen, UKM berperan dalam memperluas penyediaan lapangan kerja, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, dan memeratakan peningkatan pendapatan. Bersamaan dengan itu adalah meningkatnya daya saing dan daya tahan ekonomi nasional.

Dengan perspektif peran seperti itu, sasaran umum pemberdayaan UKM dalam lima tahun mendatang adalah:

1. Meningkatnya produktivitas UKM dengan laju pertumbuhan lebih tinggi dari laju pertumbuhan produktivitas nasional;

2. Meningkatnya proporsi usaha kecil formal;

3. Meningkatnya nilai ekspor produk UKM dengan laju pertumbuhan lebih tinggi dari laju pertumbuhan nilai tambahnya;

4. Berfungsinya sistem untuk menumbuhkan wirausaha baru berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi; dan


(33)

Dalam rangka mewujudkan sasaran tersebut, pemberdayaan UKM akan dilaksanakan dengan arah kebijakan sebagai berikut:

1. Mengembangkan UKM yang diarahkan untuk memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing; sedangkan pemberdayaan usaha skala mikro lebih diarahkan untuk memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah.

2. Memperkuat kelembagaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik (good governance) dan berwawasan gender terutama untuk:

a. memperluas akses kepada sumber permodalan khususnya perbankan;

b. memperbaiki lingkungan usaha dan menyederhanakan prosedur perijinan;

c. memperluas dan meningkatkan kualitas institusi pendukung yang menjalankan fungsi intermediasi sebagai penyedia jasa pengembangan usaha, teknologi, manajemen, pemasaran dan informasi.

3. Memperluas basis dan kesempatan berusaha serta menumbuhkan wirausaha baru berkeunggulan untuk mendorong pertumbuhan, peningkatan ekspor dan penciptaan lapangan kerja terutama dengan :

a. meningkatkan perpaduan antara tenaga kerja terdidik dan terampil dengan adopsi penerapan teknologi;


(34)

b. mengembangkan UKM melalui pendekatan klaster di sektor agribisnis dan agroindustri disertai pemberian kemudahan dalam pengelolaan usaha, termasuk dengan cara meningkatkan kualitas kelembagaan UKM sebagai wadah organisasi kepentingan usaha bersama untuk memperoleh efisiensi kolektif;

c. meningkatkan peran UKM dalam proses industrialisasi, perkuatan keterkaitan industri, percepatan pengalihan teknologi, dan peningkatan kualitas SDM;

d. mengintegrasikan pengembangan usaha dalam konteks pengembangan regional, sesuai dengan karakteristik pengusaha dan potensi usaha unggulan di setiap daerah.

4. Meningkankan peran UKM sebagai penyedia barang dan jasa pada pasar domestik yang semakin berdaya saing dengan produk impor, khususnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat banyak.

5. Membangun UKM yang diarahkan dan difokuskan pada upaya-upaya untuk:

a. membenahi dan memperkuat tatanan kelembagaan guna menciptakan iklim dan lingkungan usaha yang kondusif bagi kemajuan UKM serta kepastian hukum yang menjamin terlindunginya UKM dan/atau anggotanya dari praktek-praktek persaingan usaha yang tidak sehat;

b. meningkatkan pemahaman, kepedulian dan dukungan pemangku kepentingan (stakeholders) kepada UKM; dan


(35)

Program pemberdayaan koperasi dan UMKM dalam RPJM Periode Tahun 2004-2009 diarahkan pada 5 program pokok, yaitu:

1. Program penciptaan iklim usaha yang kondusif bagi UKM; Tujuan program ini adalah untuk memfasilitasi terselenggaranya lingkungan usaha yang efisien secara ekonomi, sehat dalam persaingan, dan non-diskriminatif bagi kelangsungan dan peningkatan kinerja usaha UKM, sehingga dapat mengurangi beban administratif, hambatan usaha dan biaya usaha maupun meningkatkan rata-rata skala usaha, mutu layanan perijinan/pendirian usaha, dan partisipasi stakeholders dalam pengembangan kebijakan UKM.

2. Program pengembangan sistem pendukung usaha bagi UKM; Tujuan program ini adalah mempermudah, memperlancar dan memperluas akses UKM kepada sumberdaya produktif agar mampu memanfaatkan kesempatan yang terbuka dan potensi sumberdaya lokal serta menyesuaikan skala usahanya sesuai dengan tuntutan efisiensi. Sistem pendukung dibangun melalui pengembangan lembaga pendukung/penyedia jasa pengembangan usaha yang terjangkau, semakin tersebar dan bermutu untuk meningkatkan akses UMKM terhadap pasar dan sumber daya produktif, seperti sumber daya manusia, modal, pasar, teknologi, dan informasi, termasuk mendorong peningkatan fungsi intermediasi lembaga-lembaga keuangan bagi UMKM.

3. Program pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif UKM; Tujuan program ini adalah untuk mengembangkan


(36)

jiwa dan semangat kewirausahaan dan meningkatkan daya saing UKM sehingga pengetahuan serta sikap wirausaha semakin berkembang, produktivitas meningkat, wirausaha baru berbasis pengetahuan dan teknologi meningkat jumlahnya, dan ragam produk-produk unggulan UKM semakin berkembang.

4. Program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro; Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin dalam rangka memperoleh pendapatan yang tetap, melalui upaya peningkatan kapasitas usaha sehingga menjadi unit usaha yang lebih mandiri, berkelanjutan dan siap untuk tumbuh dan bersaing. Program ini akan memfasilitasi peningkatan kapasitas usaha mikro dan keterampilan pengelolaan usaha serta sekaligus mendorong adanya kepastian, perlindungan dan pembinaan usaha.

5. Program Peningkatan Kualitas Kelembagaan UKM; Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kualitas kelembagaan UKM agar UKM mampu tumbuh dan berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya menjadi wadah kepentingan bersama bagi anggotanya untuk memperoleh efisiensi kolektif, sehingga citra UKM menjadi semakin baik. Dengan demikian diharapkan kelembagaan UKM akan tertata dan berfungsi dengan baik; infrastruktur pendukung pengembangan UKM semakin lengkap dan berkualitas; lembaga UKM semakin berfungsi


(37)

efektif dan mandiri; serta praktek ber-UKM yang baik (best practices) semakin berkembang di kalangan masyarakat luas.

Bersamaan dengan adanya Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Periode Tahun 2004 – 2009 yang dikeluarkan olen Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, dan melihat kondisi UKM di kota Medan yang terkendala kemampuan manajerial, permodalan, pemasaran dan kewirausahaan kelompok UKM, Pemerintah Kota Medan melalui instansinya Dinas Koperasi Kota Medan melahirkan sebuah kebijakan di bidang kelembagaan yaitu dengan :

1. Meningkatkan monitoring dan evaluasi Dinas Koperasi Kota Medan terhadap UKM,

2. Meningkatkan pembinaan kelembagaan UKM.

Maka, untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut dilahirkan sebuah program bernama “Program Pemberdayaan Kelembagaan UKM di Kota Medan, sesuai dengan hasil analisis dari Dinas Koperasi Kota Medan bahwa salah satu kelemahan UKM adalah masalah kelembagaan sehingga untuk mengantisipasi hal tersebut maka diperlukan program pemberdayaan di bidang kelembagaan UKM. Tujuan program pemberdayaan kelembagaan UKM ini adalah untuk meningkatkan kualitas kelembagaan UKM agar mampu tumbuh dan berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya menjadi wadah kepentingan bersama bagi anggotanya untuk memperoleh efisiensi kolektif, sehingga citra UKM menjadi semakin baik. Dengan demikian diharapkan kelembagaan dan organisasi UKM di tingkat primer dan sekunder akan tertata dan berfungsi dengan baik, infrastruktur pendukung pengembangan koperasi semakin lengkap dan


(38)

berkualitas, lembaga gerakan UKM semakin berfungsi efektif dan mandiri, serta praktek UKM yang baik (best practices) semakin berkembang di kalangan masyarakat luas.

1.5.5.1 Pengembangan Jaringan Pemasaran UKM

Didalam penelitian ini, yang dijadikan fokus penelitian oleh penulis berkaitan dengan program pemberdayaan kelembagaan UKM di kota Medan adalah pengembangan jaringan pemasaran UKM, dimana pengembangan jaringan pemasaran UKM merupakan salah satu kegiatan dalam program pemberdayaan kelembagaan UKM.

Dalam Pasal 14 UU No. 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil dirumuskan bahwa “Pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan usaha kecil dalam bidang produksi dan pengolahan, pemasaran dan distribusi, sumber daya manusia, dan teknologi.

Di bidang pemasaran, dirumuskan langkah pembinaan dan pengembangan, baik di dalam maupun di luar negeri. Langkah tersebut dicapai lewat pelaksanaan penelitian dan pengkajian pemasaran, menyediakan sarana serta dukungan promosi dan uji pasar bagi UKM. Selain itu juga dimaksudkan untuk mengembangkan lembaga pemasaran dan jaringan distribusi, serta memasarkan produk usaha kecil.

Pemasaran oleh banyak pengusaha kecil dan menengah dianggaap sebagai aspek yang paling penting. Pendapat yang sering muncul adalah bahwa “kemampuan menghasilkan produk tetapi tidak disertai kemampuan memasarkan produk tersebut adalah kehancuran.” Oleh karena itu permasalahan di bidang


(39)

pemasaran pada UKM sering ditempatkan sebagai masalah utama diantara masalah-masalah lainnya.

Permasalahan UKM pada bidang pemasaran terfokus pada tiga hal, yaitu (1) permasalahan persaingan pasar dan produk, (2) permasalahan akses terhadap informasi pasar dan (3) permasalahan kelembagaan pendukung UKM. Munculnya permasalahan-permasalahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kekurangmampuan pengusaha kecil untuk membaca dan mengakses peluang-peluang pasar yang potensial dan yang memiliki prospek cerah, yang akibatnya adalah pemasaran produk cenderung statis dan monoton, baik dilihat dari segi diversifikasi produk, kualitas, maupun pasar. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan keterampilan pengusaha masih lemah ditambah lagi akses terhadap informasi pasar yang kurang serta kelembagaan pendukung yang belum berperan khususnya dalam hal membantu pemasaran. Lembaga pendukung tersebut misalnya asosiasi atau instansi yang seharusnya mampu menjembatani dalam pemasaran produk UKM.

1.6. Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah yang digunakan dalam menggambarkan secara abstrak mengenai kejadian, keadaan, kelompok atau individu yang menjadi perhatian ilmu sosial.(Singarimbun, 1989).

Untuk menetapkan batasan-batasan yang lebih jelas mengenai variabel-variabel yang akan diteliti maka defenisi konsep yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:


(40)

1. Evaluasi Kebijakan adalah kegiatan untuk menilai kinerja suatu kebijakan dalam proses pelaksanaan pengembangan jaringan pemasaran UKM didalam program pemberdayaan kelembagaan UKM. 2. Pemberdayaan UKM adalah upaya memberikan motivasi / dorongan

kepada pelaku di bidang UKM agar mereka memiliki kesadaran dan kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi yang dilakukan oleh pemerintah bersama dengan masyarakat dan swasta sebagai pilar utama pembangunan untuk memperoleh suatu perubahan kualitas hidup yang lebih baik yang bersifat kontinue/berkelanjutan.

3. Pemberdayaan kelembagaan UKM adalah upaya untuk memberikan motivasi / dorongan kepada pelaku di bidang UKM agar mereka menyadari pentingnya keterkaitan antar seluruh komponen yang ada disekeliling UKM termasuk penyuluhan, pelaku UKM itu sendiri, lembaga jasa pendukung dan sub-sub sistem yang ada di UKM sehingga mereka memiliki kemampuan untuk menentukan sendiri apa yang harus mereka lakukan untuk mengatasi permasalahan yang mereka hadapi

4. Program pemberdayaan kelembagaan UKM di Kota Medan adalah sebuah upaya pemerintah Kota Medan memberdayakan UKM di kota Medan agar dapat mengatasi kendala-kendala manajerial, permodalan, dan kewirausahaan kelompok UKM.


(41)

1.7 Defenisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur-unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana cara mengukur suatu variabel sehingga dalam pengukuran ini dapat diketahui indikator-indikator apa saja pendukung yang dianalisa dari variabel tersebut (Singarimbun 1995: 46). Suatu definisi operasional merupakan spesialisasi kegiatan penelitian dalam mengukur suatu variabel.

Evaluasi pengembangan jaringan pemasaran UKM dalam program pemberdayaan kelembagaan UKM dapat diukur dari::

1. Sumber daya pendukung dan bahan-bahan dasar yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, meliputi :

a. Sumber daya manusia

b. Penyampaian/sosialisasi informasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan

2. Pelaksanaan program dan strategi yang dilakukan dalam pengembangan jaringan pemasaran, yang dapat dilihat dari :

a. Peningkatan pengetahuan dan keterampilan tentang pasar dan pemasaran bagi UKM.

b. Tersedianya akses terhadap informasi pasar untuk memasarkan produk, misalnya tentang produk yang diinginkan, potensi pasar, tata cara memasarkan produk dan lain-lain.

c. Pemanfaatan teknologi informasi untuk pemasaran produk d. Kemitraan antara UKM dan usaha besar dalam pemasaran e. Terciptanya sarana promosi dan uji pasar bagi produk-produk


(42)

f. Mengorganisir seluruh UKM di kota Medan 3. Hasil, yang dapat dilihat dari :

a. Respon dan keterlibatan UKM terhadap program

b. Manfaat program pemberdayaan kelembagaan UKM terhadap UKM, khususnya terhadap pengembangan jaringan pemasaran UKM.


(43)

BAB II

METODE PENELITIAN

2.1. Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian ini yaitu penelitian deskriptif. Menurut Nawawi (1994: 73), bentuk penelitian deskriptif mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

1. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang terjadi pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual.

2. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang sedang diselidiki sebagaimana adanya dengan interpretasi yang rasional.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah Pendekatan Kualitatif. Pendekatan ini digunakan dengan pertimbangan akan menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara penulis dengan informan (Moleong : 2000 ), sehingga dapat dijajaki secara lebih mendalam objek yang akan diteliti dengan terjun secara langsung melihat kondisi di lapangan dan mengadakan interaksi langsung kepada objek penelitian dan diharapkan penelitian ini dapat dilaksanakan secara objektif sehingga hasil penelitian dapat dipertanggungjawabkan baik secara akademik maupun secara praktis.


(44)

2.2. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kota Medan, tepatnya pada Dinas Koperasi Kota Medan.

2.3 Tehnik Pemilihan Informan

Menurut Moleong (2000 : 90), “informan adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian secara faktual”.

Dalam menentukan informan, yang pertama dilakukan adalah menjabarkan ciri-ciri atau karakteristik dari populasi objek, yang dipilih adalah informan yang mengetahui dengan jelas dan sesuai dengan tujuan dari permasalahan. Oleh sebab itu, informan tersebut diharapkan mampu memberikan gambaran pelaksanaan dan keberhasilan proram pemberdayaan kelembagaan UKM.

Adapun yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah :

a. Pegawai Dinas Koperasi Kota Medan, sebagai informan kunci (key

informan) sebanyak 3 orang yang terdiri dari:

1. Kepala Sub Dinas Koperasi dan UKM 2. Kepala Seksi Penyusunan Program 3. Kepala Seksi Bina UKM

b. Pengusaha UKM, sebagai informan biasa sebanyak 5 orang Jadi, jumlah informan yang akan diwawancarai adalah sebanyak 8 orang.


(45)

Teknik pengumpulan data

Dalam penelitian ini, teknik pengambilan data yang di gunakan adalah: Penelitian lapangan (Field Research), yakni dengan kegiatan-kegiatan:

a. Observasi, dengan melakukan pengamatan langsung mengenai

gejala-gejala yang terjadi di lapangan yang berhubungan dengan objek penelitian.

b. Wawancara mendalam (depth-interview), dengan mengadakan

tanya jawab secara terbuka dengan key informan tentang objek permasalahan yang diteliti. Di sini, materi wawancara dipandu oleh instrumen penelitian (interview guide)

Penelitian dokumen, yakni melakukan penelaahan terhadap dokumen-dokumen, laporan dan data statistik yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.


(46)

2.5. Analisa Data

Untuk menjawab pertanyaan dalam penelitian ini digunakan metode Analisis Kualitatif. Analisis Kualitatif bermakna sebagai suatu pengertian analisis yang didasarkan pada argumentasi logika. Namun materi argumentasi didasarkan pada data yang diperoleh melalui kegiatan teknik pengumpulan data. Baik studi lapangan maupun studi pustaka, didalam penganalisisannya tidak mendasarkan pada perhitungan-perhitungan kuantitatif, tetapi pada kemampuan nalar peneliti dalam menghubung-hubungkan fakta, data dan informasi.

Data yang diperoleh akan disusun secara sistematis pada tiap kategori. Kecenderungan masing-masing kategori akan dianalisa melalui pendekatan teoritis sehingga diharapkan muncul gambaran yang dapat mengungkapkan permasalahan penelitian.


(47)

BAB III

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

3.1 Gambaran umum Kota Medan

Perkembangan Kota Medan tidak terlepas dari dimensi historis, ekonomi dan karakteristik Kota Medan itu sendiri, yakni sebagai kota yang mengemban fungsi yang luas dan besar (METRO), serta sebagai salah satu dari 3 (tiga) kota metropolitan terbesar di Indonesia. Realitasnya, Kota Medan kini berfungsi:

1. Sebagai pusat Pemerintahan daerah, baik pemerintah Propinsi Sumatera Utara, maupun Kota Medan, sebagai tempat kedudukan perwakilan/konsulat Negara-negara sahabat, serta wilayah kedudukan berbagai perwakilan Perusahaan, Bisnis, Keuangan di Sumatera Utara. 2. Sebagai Pusat pelayanan kebutuhan sosial, ekonomi masyarakat

Sumatera Utara seperti: Rumah sakit, Perguruan Tinggi, Stasiun TVRI, RRI, dll, termasuk berbagai fasilitas yang dikembangkan Swasta, khususnya pusat-pusat Perdagangan.

3. Sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, perdagangan, keuangan, dan jasa secara regional maupun internasional.

4. Sebagai pintu gerbang regional/ Internasional/ Kepariwisataan untuk kawasan Indonesia bagian barat.


(48)

3.1.1 Sejarah Kota Medan

Keberadaan Kota Medan saat ini tidak terlepas dari dimensi historis yang panjang, dimulai dari dibangunnya Kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan Kota Medan selanjutanya ditandai dengan perpindahan ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis Ke Medan, tahun 1887, sebelum akhirnya statusnya diubah menjadi Gubernemen yang dipimpin oleh seorang Gubernur pada tahun 1915. Secara historis, perkembangan kota Medan sejak awal memposisikan nya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak di dekat pertemuan Sungai Deli dan Babura, serta adanya Kebijakan Sultan Deli yang mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembanganya, telah mendorong berkembangnya Kota Medan sebagai Pusat Perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu.

Sedang dijadikanya Medan sebagai ibukota Deli juga telah medorong kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintahan. Sampai saat ini, di samping merupakan salah satu daerah Kota, juga sekaligus ibukota Propinsi Sumatera Utara.

3.1.2 Letak Geografis Kota Medan

Kota Medan memiliki luas 26.510 Hektar (265,10 Km2) atau 3,6% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kota/kabupaten lainya, Kota Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil, tetapi dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan


(49)

terletak pada 3° 30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi kota Medan cenderung miring keutara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5 meter di atas permukaan laut.

Secara administratif, wilayah kota medan hampir secara keseluruhan berbatasan dengan Daerah Kabupaten Deli Serdang, yaitu sebelah Barat, Selatan dan Timur. Sepanjang wilayah Utara-nya berbatasan langsung dengan Selat Malaka, yang diketahui merupakan salah satu jalur lalu lintas terpadat di dunia. Selain itu, secara geografis kota Medan juga didukung oleh daerah-daerah yang kaya Sumber daya alam seperti Deli Serdang , Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai dan lain-lain. Kondisi ini menjadikan kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan, saling memperkuat dengan daerah-daerah sekitarnya. Di samping itu sebagai daerah yang terletak pada pinggiran jalur pelayaran Selat Malaka, Kota Medan juga memiliki posisi strategis yaitu sebagai gerbang (pintu masuk) kegiatan perdagangan barang dan jasa, baik perdagangan domestik maupun keluar negeri (ekspor-impor).

3.1.3 Jumlah Penduduk

Berdasarkan data kependudukan tahun 2005, penduduk Kota Medan saat ini diperkirakan telah mencapai 1.926.520 jiwa. Jumlah penduduk tersebut diketahui merupakan penduduk tetap, sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 500.000 jiwa, yang merupakan penduduk


(50)

commuters. Dengan demikian Kota Medan Merupakan salah satu kota dengan

jumlah penduduk yang besar, sehingga memiliki deferensiasi pasar.

Dilihat dari struktur umur penduduk, Kota Medan dihuni lebih kurang 1.377.751 jiwa berusia produktif, (15-59 tahun). Selanjutnya dilihat dari tingkat pendidikan, rata-rata lama sekolah penduduk telah mencapai 10,5 tahun. Dengan demikian Kota Medan secara relatif tersedia tenaga kerja yang cukup, yang dapat bekerja pada berbagai jenis perusahaan, baik jasa, perdagangan, maupun industri manufaktur.

Laju pertumbuhan penduduk Kota Medan periode tahun 2001-2005 cenderung mengalami peningkatan, dimana tingkat pertumbuhan penduduk pada tahun 2001 adalah 0,09% dan menjadi 0,63% pada tahun 2005. sedangkan tingkat kapadatan penduduk mengalami peningkatan dari 7.183 jiwa per Km2 pada tahun 2004. Jumlah penduduk paling banyak ada di Kecamatan Medan Deli, disusul kecamatan Medan Helvetia dan Medan Tembung. Jumlah penduduk yang paling sedikit, terdapat di kecamatan Medan Baru, Medan Maimun dan Medan Polonia. Tingkat kepadatan penduduk tertinggi ada di kecamatan Medan Perjuangan, Medan Area dan Medan Timur.


(51)

Tabel 3.1

Distribusi Penyebaran Penduduk di Kota Medan Tahun 2005

No Kecamatan Kelurahan Laki-laki Perempuan Jumlah Penduduk

1 Medan Tuntungan 9 32.214 33.413 65.645

2 Medan Johor 6 50.647 51.285 101.956

3 Medan Amplas 7 44.127 44.511 88.638

4 Medan Denai 12 65.808 59.697 125.505

5 Medan Area 12 54.644 55.788 110.432

6 Medan Kota 6 41.623 42.907 84.530

7 Medan Maimun 5 24.055 24.940 48.995

8 Medan Polonia 6 22.977 23.319 46.316

9 Medan Baru 6 20.550 22.865 43.415

10 Medan Selayang 6 38.570 39.213 77.783

11 Medan Sunggal 6 51.373 52.430 103.803

12 Medan Helvetia 7 64.301 63.843 128.144

13 Medan Petisa 6 33.752 36.026 69.778

14 Medan Barat 7 42.442 44.264 86.706

15 Medan Timur 11 55.986 56.902 112.888

16 Medan Perjuangan 9 48.030 49.669 97.699

17 Medan Tembung 7 67.536 66.997 97.699

18 Medan Deli 6 65.536 64.719 130.255

19 Medan Labuhan 5 44.850 44.395 89.245

20 Medan Marelan 6 45.162 43.628 88.790

21 Medan Belawan 6 46.667 45.214 91.881

Jumlah Total 151 960.477 966.043 1.926.520 Sumber : BPS, 2005

3.1.4 Perekonomian Kota Medan

Kota Medan mengemban fungsi regional yang luas, baik sebagai pusat pemerintahan maupun kegiatan ekonomi dan sosial yang mencakup bukan hanya Propinsi Sumatera Utara tetapi juga wilayah propinsi (Sumbagut). Adanya fungsi regional yang luas tersebut, ternyata telah menjadikan Kota Medan dapat menyelenggarakan aktifitas ekonomi dalam volume yang besar. Kapasitas ekonomi yang besar tersebut ditunjukan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang dicapai Kota Medan, yang selalu berada diatas pertumbuhan ekonomi daerah –


(52)

daerah sekitarnya, termasuk dibandingkan dengan dicapai oleh Provinsi Sumatera Utara maupun Nasional.

Walaupun Kota Medan sempat mengalami pertumbuhan ekonomi negatif tahun 1998 (- 20%), namun selama tahun 2001 – 2005, ekonomi Kota Medan dapat tumbuh kembali rata – rata sebesar 5,19%. Ini merupakan indikasi bahwa betapapun beratnya (dalamnya), krisis ekonomi yang melanda ekonomi Indonesia dan Kota Medan khususnya, namun secara bertahap pada dasarnya Indonesia dan Kota Medan memiliki kemampuan untuk sembuh dan keluar dari krisis yang sangat berat tersebut.

Kapasitas ekonomi yang relatif besar tersebut juga ditunjukkan oleh nilai (uang) PDRB Kota Medan yang saat ini telah mencapai Rp. 24,5 triliun, dengan pendapatan perkapita Rp. 12,5 juta, sektor tertier merupakan sektor sekunder (29,06%), dan sektor primer (4,18%). Jumlah volume kegiatan ekonomi ini, sekaligus memberikan kontribusi lebih kurangnya sebesar 21% bagi pembentukan PDRB Propinsi Sumatera Utara. Dilihat dari capaian pertumbuhan ekonominya, pertumbuhan ekonomi Kota Medan juga memperlihatkan elastisitas yang tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara artinya, pertumbuhan ekonomi Kota Medan selalu menunjukan angka positif yang lebih besar dari pertumbuhan ekonomi Propinsinya. Ini menunjukan bahwa Kota Medan masih merupakan mesin pembangunan bagi daerah – daerah lainnya di Sumatera Utara.


(53)

Tabel 3.2: Indikator Perekonomian Kota Medan

INDIKATOR UTAMA EKONOMI KOTA MEDAN

KETERANGAN TAHUN

Penduduk 2.006.142 jiwa

PDRB 24,5 trilyun

Pertumbuhan ekonomi 5,49 %

Income perkapita Rp. 12.500.000

Tingkat inflasi 6,64 %

Jumlah tenaga kerja produktif 682.826 jiwa Tingkat pengangguran 13,01 % Total of export (FOB, 000 US$) 2.229.125 Total of import (CIF, 000 US$) 679.000,00

Major export : Lemak dan minyak nabati/ hewani, udang, kerang, kayu lapis, aluminium, barang kesenian, ciklat, kopi, mineral mentah, dll.

Major import : Impor barang modal (suku cadang/ asesoris kendaraan bermotor, mesin/ peralatan industri khusus, alat elektronik, dll) impor barang konsumsi, (makanan ternak, beras, aluminium, sayur segar, tembakau, dll)

Partner : Malaysia, Jerman, Inggris, Singapura, RRC, Belanda, Taiwan, Hongkong, dll.

Sumber: Dinas perindustrian dan Perdagangan Kota Medan, 2003

3.2 Dinas Koperasi dan UKM Kota Medan

3.2.1 Sejarah Singkat Dinas Koperasi Kota Medan.

Dengan diberlakukannya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 dan sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Medan No. 4 Tahun 2000 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Dinas-dinas di lingkungan Kota Medan, maka Dinas Koperasi adalah salah satu dari unit kerja pemerintahan Kota Medan yang awalnya merupakan gabungan dari eks Dinas Perindustrian Kota Medan dengan eks Kantor Departemen Perindustrian dan Perdagangan Kota Medan.


(54)

3.2.2 Struktur Organisasi Dinas Koperasi dan UKM Kota Medan.

Dalam menjalankan suatu perusahaan baik instansi pemerintah maupun swasta membutuhkan adanya suatu struktur organisasi untuk uraian tugas yang jelas. Demikian pula dengan Dinas Koperasi Kota Medan, sejalan dengan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah di Lingkungan Pemerintah Kota Medan, Dinas Koperasi dan UKM Kota Medan memiliki susunan Organisasi sebagai berikut:

1. Kepala Dinas

2. Bagian Tata Usaha terdiri dari: a. Sub Bagian Umum. b. Sub Bagian Kepegawaian. c. Sub Bagian Keuangan. 3. Sub Dinas Program terdiri dari:

a. Seksi Penyusunan Program

b. Seksi Informasi, Monitoring, dan Evaluasi c. Seksi Pelaporan.

4. Sub Dinas Koperasi dan UKM terdiri dari: a. Seksi Bina Kelembagaan

b. Seksi Bina Koperasi c. Seksi Bina UKM.

5. Sub Dinas Permodalan dan Simpan Pinjam terdiri dari: a. Seksi Permodalan.

b. Seksi Simpan Pinjam.

c. Seksi Pengawasan dan Akreditasi 6. Kelompok Jabatan Fungsional.


(55)

Gambar 3.1


(56)

Dengan adanya struktur organisasi ini, setiap pegawai akan dapat memahami secara jelas apa tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya dan tanggung jawabnya, sejauh mana wewenang yang ada padanya sehingga dalam melaksanakan tugasnya dapat lebih efisien dan akan mengurangi terjadinya penyimpangan terhadap tujuan perusahaan dan kebijaksanaan yang telah ditentukan oleh kantor tersebut.

Tugas Pokok dan Fungsi

Tugas Pokok dan Fungsi Dinas Koperasi Kota Medan adalah sebagai berikut:

a. Tugas Pokok Dinas Koperasi Kota Medan

Tugas pokok Dinas Koperasi Kota Medan adalah membantu Walikota Medan dalam melaksanakan tugas otonomi, tugas dekonstrasi dan tugas pembantuan di bidang koperasi.

b. Fungsi Dinas Koperasi Kota Medan

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Dinas Koperasi dan UKM Kota Medan mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Menyiapkan konsep kebijakan daerah, ketentuan dan standar

pelaksanaan tugas-tugas dinas dalam pemberdayaan kelembagaan dan usaha koperasi, kerjasama dan fasilitas koperasi dan usaha kecil menengah.

2. Perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian pembangunan jangka menengah, tahunan, di bidang perkoperasian dan usaha kecil menengah sesuai ketentuan dan standar yang ditetapkan.


(57)

3. Penyelenggaraan koordinasi dan kerja sama kemitraan dengan pihak terkait dalam pembangunan dan peningkatan usaha koperasi/usaha kecil menengah sesuai dengan ketentuan standar yang ditetapkan. 4. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dan

fungsinya.

5. Pemberian masukan yang perlu kepada Walikota sesuai dengan bidang dan fungsinya.

6. Pelaporan dan pertanggunganjawaban atas pelaksanaan tugas dan fungsinya kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah Kota, sesuai dengan tugas dan fungsinya.

3.2.4 Personil Dinas Koperasi dan UKM Kota Medan

Sebelum dirubah menjadi Dinas Koperasi Kota Medan yang berada dalam lingkungan Pemerintah Kota Medan, Dinas Koperasi Kota Medan merupakan Kantor Koperasi yang berada di bawah Departemen Koperasi. Oleh karena itu sebagian besar personil Dinas Koperasi adalah Pegawai Kantor Koperasi sebelumnya.

Perubahan ini menuntut adanya kesiapan aparatur Dinas Koperasi untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan otonomi daerah dan tuntutan perubahan terhadap tanggung jawab dan wewenang yang diembannya. Secara kuantitatif, jumlah personil Dinas Koperasi Kota Medan tersedia dengan memadai. Kemampuan personil dapat dilihat pada tingkat pendidikan maupun kepangkatan/golongan sebagaimana tabel berikut.


(58)

a. Pegawai Dinas Koperasi Kota Medan menurut Tingkat Pendidikan/Golongan.

Jumlah Pegawai Dinas Koperasi Kota Medan menurut tingkat pendidikan/golongan adalah sebagai berikut:

Tabel 3.3

Pegawai Dinas Koperasi Berdasarkan Pendidikan/Golongan.

No. Pendidikan G o l o n g a n Jumlah

I II III IV

1. SLTP - 6 - - 6

2. SLTA - - 10 - 10

3. D3 - - 4 - 4

4. S-1 - - 10 - 10

5. S-2 - - 2 - 2

J U M L A H - 6 26 - 32

Sumber : Dinas Koperasi Kota Medan

b. Pegawai Dinas Koperasi Berdasarkan Pendidikan Kedinasan/

Penjenjangan Karir.

Jumlah Pegawai Dinas Koperasi Kota Medan yang telah mengikuti Pendidikan Kedinasan/ Penjenjangan Karir adalah sebagai berikut:


(59)

Tabel 3.4

Jumlah Pegawai Dinas Koperasi Kota Medan Berdasarkan Pendidikan Kedinasan/Penjenjangan Karir

No. Pendidikan Kedinasan/ Penjenjangan Karir

Jumlah

1. LAN -

2. ADUM / SEPADA 9

3. ADUMLA / SEPALA 1

4. SEPAMA / SEPADAYA 2

J U M L A H 12

Sumber : Dinas Koperasi dan UKM Kota Medan

3.2.5 Visi dan Misi Dinas Koperasi Kota Medan A. Visi Dinas Koperasi Kota Medan

Merupakan gambaran, sikap mental dan cara pandang jauh kedepan mengenai Dinas Koperasi Kota Medan untuk Dapat eksis, antisipatif dan inovatif. Berdasarkan gagasan ini maka visi Dinas Koperasi Kota Medan adalah:

“Terwujudnya koperasi dan usaha kecil menengah yang unggul, mandiri dan mampu menjadi tulang punggung perekonomian Kota Medan.”

B. Misi Dinas Koperasi Kota Medan

Misi Dinas Koperasi Kota Medan Merupakan pernyataan yang memberikan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Adanya misi diharapkan sekaligus memperkenalkan semua kontribusi kepada semua anggota organisasi,


(60)

termasuk peran yang harus diambil, apa program yang harus dilaksanakan dan apa hasil yang ingin diwujudkan oleh Dinas Koperasi Kota Medan

Berdasarkan pemahaman tersebut dan berdasarkan visi yang telah dirumuskan di atas, maka misi Dinas Koperasi Kota Medan adalah:

1. Memberdayakan Koperasi dan usaha kecil menengah di Kota Medan 2. Mengembangkan pola kemotraan bagi koperasi dan usaha kecil menengah

di Kota Medan.

3.2.6 Kebijakan Dinas Koperasi Kota Medan

Kebijakan Dinas Koperasi Kota Medan merupakan pedoman berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan-kegiatan Dinas Koperasi. Dengan kata lain, kebijakan Dinas Koperasi merupakan himpunan keputusan mengenai cara pelaksanaan strategi, mekanisme tindakan lanjutan untuk pencapaian tujuan dan sasaran, serta kondisi-kondisi yang dapat mendukung implementasi keputusan yang ditetapkan Dinas Koperasi. Bertolak dari hal ini, maka kebijakan-kebijakan Dinas Koperasi adalah sebagai berikut:

1. Kebijakan di bidang kelembagaan

a. Meningkatkan monitoring dan evaluasi Dinas Koperasi Kota Medan terhadap koperasi dan usaha kecil menengah.

b. Meningkatkan pembinaan kelembagaan koperasi dan usaha kecil dan menengah.

2. Kebijakan di bidang peningkatan modal usaha


(61)

3. Kebijakan di bidang pengadaan data base koperasi dan usaha kecil menengah

a. Meningkatkan pengumpulan dan pengolahan data koperasi dan usaha kecil menengah yang ada di Kota Medan.

3.2.7 Program Prioritas dan Program Tahunan Dinas Koperasi Kota Medan

Program merupakan kumpulan kegiatan nyata, sistematis dan terpadu yang dilaksanakan oleh bidang-bidang dan bagian organisasi guna mencapai tujuan dan sasaran. Hal-hal yang menjadi landasan penetapan program kerja Dinas Koperasi Kota Medan adalah:

1. Memperhatikan kepentingan masing-masing sub Dinas dan bagian

2. Memperhatikan Propenas, Propeda, dan Renstra Pemerintah Kota Medan. 3. Mempertimbangkan keadaan masa kini dan masa mendatang.

4. Memperhatikan skala prioritas yang menunjang visi dan misi.

Adapun yang menjadi program prioritas dari Dinas Koperasi Kota Medan antara lain:

1. Mewujudkan koperasi dan usaha kecil menengah yang unggul dan sejahtera.

2. UKM yang mampu mengembangkan dirinya sehingga dapat menjadi dasar dan cikal bakal usaha besar.

3. Menciptakan Koperasi dan UKM yang dapat mandiri secara ekonomi. 4. Meningkatkan monitoring dan evaluasi Dinas Koperasi Kota Medan


(62)

5. Meningkatkan pembinaan kelembagaan koperasi dan usaha kecil dan menengah.

6. Penguatan modal koperasi dan usaha kecil menengah.

7. Meningkatkan pengumpulan dan pengolahan data koperasi dan usaha kecil menengah yang ada di Kota Medan.


(1)

b. Telah dimanfaatkannya penggunaan teknologi informasi, seperti pembuatan katalog profil UKM, dan pembuatan rancangan halaman Web yang akan dioperasionalkan pada tahun 2008.

c. Telah dibangunnya pola kemitraan antara UKM dan usaha besar untuk mendukung pemasaran.

d. Diadakannya berbagai pameran yang mengikutsertakan UKM binaan Dinas Koperasi sebagai ajang promosi dan uji pasar.

e. Terbentuknya Kopinkra Rotan dan Kopinkra Sepatu yang mengorganisir seluruh pengrajin rotan dan sepatu di Kota Medan.

Selain itu, manfaat yang dirasakan oleh setiap UKM dalam penelitian ini menunjukkan keberhasilan program pemberdayaan kelembagaan UKM khususnya kegiatan pengembangan jaringan pemasaran UKM yang dilaksanakan oleh Dinas Koperasi Kota Medan.

3. Dalam pelaksanaan program pemberdayaan kelembagaan UKM, keterlibatan UKM sebagai pihak yang diberdayakan telah dimaksimalkan demi pencapaian tujuan dari pemberdayaan tersebut. 4. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh Dinas Koperasi sangatlah

dirasakan manfaatnya oleh UKM., khususnya kegiatan pameran dan pembuatan katalog profil UKM yang sangat membantu UKM dalam mempromosikan produk mereka kepada masyarakat.


(2)

5. Dari hasil wawancara dapat dilihat bahwa terdapat beberapa faktor yang menghambat keberhasilan program dan kegiatan ini antara lain : a. Dari pihak Dinas Koperasi: terbatasnya jumlah sumber daya aparatur Dinas Koperasi Kota Medan yang menangani masalah UKM jika dibandingkan dengan jumlah UKM dan masih terbatasnya dana yang ada guna meningkatkan pertumbuhan UKM melalui pemberdayaan.

b. Dari UKM: masih terdapat beberapa UKM yang enggan berubah dan masih mempertahankan tradisi baik dalam hal menjalankan manajemen usahanya maupun dalam hal berproduksi.

B. SARAN

1. Agar pemerintah (Dinas Koperasi) terus mengembangkan dan membuat program yang lebih baik, baik itu terhadap pengembangan jaringan pemasaran maupun kegiatan lainnya dalam program pemberdayaan kelembagaan UKM.

2. Agar Dinas Koperasi turut mengontrol pola kemitraan yang terjalin antara UKM dan usaha besar dan lebih menegaskan komitmen usaha besar untuk melakukan kemitraan yang saling menguatkan dan menguntungkan dengan UKM.


(3)

4. Agar ke depannya pihak Dinas Koperasi lebih mengupayakan pembenahan secara kelembagaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia ke arah yang lebih profesional dengan mengadakan pelatihan-pelatihan bagi para pegawai.

5. Agar para pemilik atau pengelola UKM lebih meningkatkan kemauan dan keuletan dalam menjalankan usaha-usaha yang ada saat ini dengan bekal program-program maupun kegiatan yang telah dilaksanakan Dinas Koperas


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adi, Isbandi Rukminto. 2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas, (Pengantar Pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis). Jakarta : Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Anderson, James E., 1984. Public Policy Making. New York : Holt, Renehart and Winston.

Arikunto, Suharsimi, 1993, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, (Edisi Revisi II), Jakarta : PT. Rineka Cipta

Bararualuo, Frans, 2001. Kajian Strategis Pengelolaan dan Keunggulan Bisnis Usaha Kecil di Indonesia, Yogyakarta: Aditya Media.

Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, 2005, Medan Dalam Angka 2005, Medan Dradjat, Bambang, 2006, Membangun Kelembagaan Prima Tani, Sinar Tani 07

December 2006.

Dunn, William, 1994, Analisa Kebijakan Publik, Jakarta.: Gajah Mada University Press

Hadani, Nawawi, 1990, Metode Penelitian Sosial, Yogyakrata : Gajah Mada Press

Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pemberdayaan Masyarakat : Konsep Pembangunan yang Berakar pada Masyarakat. Jakarta : Bappenas.


(5)

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, 2003, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Periode Tahun 2004 – 2009, Jakarta Nasution, Muslimin, 2002, Pengembangan Kelembagaan Koperasi Pedesaan

untuk Agroindustri, Bogor: IPB Press

O. Jones, Charles, 1996. Pengantar Kebijakan Publik, PT Rajawali Press: Jakarta Prijono, Onny S dan A.M.W. Pranarka (penyunting). 1996. Pemberdayaan :

Konsep, Kebijakan, dan Implementasi, Jakarta : CSIS.

Pemerintah Kota Medan, 2003, Rencana Stratejik Dinas Koperasi Kota Medan 2004-2008, Medan

Pemerintah Kota Medan, 2003, Rencana Stratejik Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Medan 2004-2008, Medan

Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Survey, Jakarta : LP3ES

Situmorang, Lusia dkk., 2003. Usaha Kecil Menengah dan Pembangunan, Jakarta : Ghalia Indonesia

Subarsono, AG., 2005. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasinya, Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sumaryadi, I Nyoman. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan Pemberdayaan Masyarakat, Jakarta : Citra Utama

Sutrisno, Hadi, 2001. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Yogyakarta. Tangkilisan, Hesel Nogi. S., 2003, Kebijakan Publik yang Membumi,

Yogyakarta : Kerjasama Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia


(6)

, 2003, Implementasi Kebijakan Publik (Transformasi Pikiran George Edwards), Yogyakarta : Kerjasama Lukman Offset dan Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia

Wahyuni, Eti, dkk, 2005. Lilitan Masalah Usaha Mikro Kecil & Menengah (UMKM) & Kontroversi Kebijakan. Medan : BITRA Indonesia.

Peraturan Perundang-undangan

UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil Dan Menengah

Instruksi Presiden Republik Indonesia nomor 10 tahun 1999 tentang pemberdayaan UKM

Kepmenperindag RI No. 591/MPP/Kep/10/1999 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP).

Kepmenperindag RI No. 589/MPP/Kep/10/1999 tentang Penetapan Jenis-jenis Industri dalam Pembinaan Masing-masing Direktorat Jendral dan Kewenangan Pemberian Izin Bidang Industri dan Perdagangan di Lingkungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan.

Perda No. 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Industri, Perdagangan, Gudang/ Ruang dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Medan.