Koefisien Inbreeding, Perilaku Harian, Dan Ciri Fisik Harimau Sumatera (Panthera Tigris Sumatrae) Di Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat

KOEFISIEN INBREEDING , PERILAKU HARIAN DAN CIRI
FISIK HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae)
DI KEBUN BINATANG BANDUNG, JAWA BARAT

FARADINA PUSPITA RIVANISA

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Koefisien Inbreeding,
Perilaku Harian, dan Ciri Fisik Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di
Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Faradina Puspita Rivanisa
NIM E34110016

ABSTRAK
FARADINA PUSPITA RIVANISA. Koefisien Inbreeding, Perilaku Harian, dan
Ciri Fisik Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Kebun Binatang
Bandung, Jawa Barat. Dibimbing oleh BURHANUDDIN MASY’UD dan
DONES RINALDI.
Kebun Binatang Bandung merupakan salah satu lembaga konservasi ekssitu yang menangkarkan harimau sumatera. Penangkaran eks-situ dalam kebun
binatang memiliki resiko terjadinya inbreeding yang tinggi, yang dapat
menyebabkan adanya perubahan atau abnormalitas pada satwa. Penelitian
dilakukan untuk mengidentifikasi inbreeding melalui hubungan kekerabatan dan
koefisien inbreeding, menganalisis manajemen perkawinan dan inbreeding dan
untuk mengetahui perilaku harian serta ciri fisik harimau sumatera di Kebun
Binatang Bandung sebagai parameter terjadinya inbreeding. Pengambilan data

dilakukan menggunakan metode studi pustaka, observasi lapang, dan wawancara.
Hasil identifikasi inbreeding yang diperoleh menunjukkan bahwa telah terjadi
inbreeding pada harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung, sedangkan pada
pengamatan perilaku harian dan ciri fisik harimau sumatera ditemukan bahwa
inbreeding belum bisa ditentukan sebagai faktor utama penentu yang berpengaruh
langsung pada abnormalitas satwa, karena terdapat faktor lain seperti lingkungan
dan kondisi satwa tersebut.
Kata kunci : ciri fisik, harimau sumatera, inbreeding, Kebun Binatang Bandung,
perilaku harian

ABSTRACT
FARADINA PUSPITA RIVANISA. Inbreeding Coefficient, Daily Behaviour,
dan Physical Appearance of Sumatran Tiger (Panthera tigris sumatrae) in
Bandung Zoo, West Java. Supervised by BURHANUDDIN MASY’UD and
DONES RINALDI.
Bandung Zoo is one of ex-situ conservation organization that breed
sumatran tiger. The risk of inbreeding is very high in zoo as an animal captivity.
This research is to identify the inbreeding from kinship and inbreeding coefficient,
analyze the management of breding and to observe daily behaviour and physical
appearance as inbreeding parameters of sumatran tiger in BandungZoo. Literature

study, observation, interview, and analysis of sumatran tiger pedigreeis used in
this research. The identification of inbreeding showed that there is indeed
inbreeding occured in Bandung Zoo, and although inbreeding can affect sumatran
tiger behaviour and physical appearance, it is not the primary factor as there are
other factors like environment, and the condition of the animal.
Keywords : Bandung Zoo, daily behaviour, inbreeding, physical appearance,
sumatran tiger

KOEFISIEN INBREEDING , PERILAKU HARIAN DAN CIRI
FISIK HARIMAU SUMATERA (Panthera tigris sumatrae)
DI KEBUN BINATANG BANDUNG, JAWA BARAT

FARADINA PUSPITA RIVANISA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata


DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema dari
penelitian yang telah dilakukan sejak bulan April 2015 ini adalah mengenai
harimau sumatera dalam penangkaran, dengan judul Koefisien Inbreeding,
Perilaku Harian, dan Ciri Fisik Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) di
Kebun Binatang Bandung, Jawa Barat. Terima kasih penulis ucapkan kepada
Bapak Dr Ir Burhanuddin Masy’ud, MS dan Bapak Ir Dones Rinaldi, MScF
selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan saran dan arahan selama
penyusunan penelitian, pelaksanaan penelitian, dan penyusunan skripsi. Terima
kasih juga penulis sampaikan kepada pihak Kebun Binatang Bandung yang
telah mengijinkan, memfasilitasi, dan membantu penulis sehingga penelitian ini
berjalan dengan lancar sampai selesai.
Di samping itu, penghargaan sebesar-besarnya juga penulis sampaikan

kepada kedua orang tua yang telah memberikan do’a dan dukungan bagi penulis.
Tak lupa ucapan terima kasih kepada keluarga besar Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (DKSHE) IPB, Perkumpulan Mahasiswa
Pecinta Alam (LAWALATA) IPB, Solidaritas IPB Peduli Petani (SIPP), Do
Something Project Climbing Share Community, dan seluruh sahabat-sahabat atas
bantuan dan do’anya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015

Faradina Puspita Rivanisa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii


DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2


METODE

2

Lokasi dan Waktu

2

Alat dan Obyek Penelitian

2

Jenis Data

2

Metode Pengambilan Data

3


Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Demografi

5

Silsilah Harimau Sumatera dan Inbreeding

6

Manajemen Perkawinan dan Inbreeding

9


Analisis Tekanan Inbreeding
SIMPULAN DAN SARAN

10
20

Simpulan

20

Saran

20

DAFTAR PUSTAKA

21

LAMPIRAN


23

DAFTAR TABEL
1 Data harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung
2 Nilai koefisien inbreeding harimau sumatera di Kebun Binatang
Bandung
3 Durasi perilaku harian siang harimau sumatera di Kebun Binatang
Bandung
4 Durasi perilaku harian malam harimau sumatera di Kebun Binatang
Bandung
5 Deskripsi ciri fisik harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung

6
8
11
13
17

DAFTAR GAMBAR

1 Silsilah dalam bentuk tanda panah
2 Silsilah harimau sumatera Kebun Binatang Bandung
3 Diagram panah hubungan kekerabatan harimau sumatera di Kebun
Binatang Bandung
4 Perilaku siang harimau sumatera Wage (a), Perilaku siang harimau
sumatera Melino (b), Perilaku siang harimau sumatera Yopi (c),
Perilaku siang harimau sumatera Marti (d) di Kebun Binatang
Bandung
5 Perilaku malam harimau sumatera Wage (a), Perilaku malam harimau
sumatera Yopi (b), Perilaku malam harimau sumatera Melino (c),
Perilaku malam harimau sumatera Marti (d) di Kebun Bintang
Bandung
6 Foto perbandingan Melino (a) Wage (b) Yopi (c) Marti (d)
7 Foto Marti yang tidak memiliki gigi taring bawah sebelah kiri

4
6
7

12

14
18
19

DAFTAR LAMPIRAN
1 Studbook harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung
2 Perhitungan nilai koefisien inbreeding harimau sumatera di KBB

23
24

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu hewan asli Indonesia adalah harimau sumatera. Harimau
sumatera termasuk dalam spesies kunci Indonesia dan merupakan spesies yang
berada di puncak rantai makanan sebagai predator utama dan mempertahankan
populasi mangsa liar yang ada di bawah pengendaliannya sehingga keberadaannya
sangat penting untuk keseimbangan ekosistem. Harimau sumatera hanya terdapat
di Sumatera dan merupakan sub spesies dengan ukuran tubuh rata rata terkecil di
antara sub spesies harimau yang ada saat ini (Kitchener 1991). Menurut
Siswomartono et al. (1994), jumlah populasi harimau sumatera di alam
diperkirakan hanya tinggal 400-500 ekor, begitu pula data WWF tahun 2004,
hanya sekitar 400 ekor saja. Harimau sumatera telah masuk ke dalam IUCN
(International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) redlist
dengan status critically endangered (kritis terancam punah) (Cat Specialized
Group 2002) dan daftar Appendix 1 CITES (Convention on International Trade in
Endangered Species) sehingga dilarang untuk diperjualbelikan.
Salah satu tindakan konservasi yang dilakukan untuk pencegahan
kepunahan harimau sumatera adalah dengan pengembangbiakan ex-situ atau
penangkaran. Penangkaran merupakan kegiatan pengembangbiakan jenis
satwaliar dan tumbuhan alam, yang bertujuan untuk memperbanyak populasi
dengan mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan
keberadaannya di alam dapat dipertahankan (Thohari 1986). Saat ini, upaya
konservasi ex-situ harimau sumatera telah tersebar di berbagai macam daerah di
Indonesia, bahkan di dunia. Dengan keberadaan harimau sumatera di ex-situ,
maka bukan hanya upaya perbanyakannya dapat dilakukan dengan maksimal,
penelitian juga dapat dilakukan demi memperoleh pengetahuan yang dapat
membantu konservasi harimau sumatera. Sistem pencatatan yang baik pun
diperlukan untuk mempermudah pemantauan akan pengelolaan perkawinan
harimau sumatera yang berada di ex-situ.
Salah satu lembaga konservasi ex-situ yang melakukan pemeliharaan
terhadap harimau sumatera adalah Kebun Binatang Bandung. Sebagai kebun
binatang, tujuan utama dari pemeliharaan harimau sumatera adalah untuk pameran,
dan peningkatan jumlah populasi dengan mengawinkan harimau sumatera yang
terdapat di kebun binatang tersebut. Hal ini memiliki kecenderungan terjadinya
kawin dalam atau inbreeding. Inbreeding dapat diidentifikasi melalui analisis
silsilah harimau dan besarannya dapat dilihat dari nilai koefisien inbreedingnya.
Inbreeding dapat menimbulkan pengaruh buruk seperti penurunan fertilitas,
peningkatan mortalitas, penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit, penurunan
daya hidup, dan penurunan laju pertumbuhan (Noor 1996). Abnormalitas kondisi
satwa dapat terjadi sebagai efek dari inbreeding. Untuk mengetahui terjadinya
abnormalitas ini, maka perlu diketahui kondisi harimau sumatera melalui
pengamatan perilaku harian dan ciri fisiknya.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi inbreeding pada harimau
sumatera melalui analisis hubungan kekerabatan dengan menghitung koefisien
inbreeding, menganalisis manajemen perkawinan dan inbreeding, serta
mengidentifikasi ada tidaknya tekanan inbreeding melalui perilaku harian dan ciri
fisik harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam perbaikan dan
peningkatan pengelolaan dan pengembangbiakan harimau sumatera secara ex-situ
sebagai upaya pengendalian inbreeding. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat
menjadi informasi tambahan bagi pengelola yang berguna dalam pengelolaan
harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung. Selain itu juga diharapkan dapat
memperkaya ilmu pengetahuan tentang konservasi keanekaragaman hayati di
Indonesia.

METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian dilakukan di Kebun Binatang Bandung, Jl. Kebon Binatang No.
6, Bandung, Jawa Barat. Penelitian ini berlangsung pada bulan April 2015 selama
dua minggu.
Alat dan Obyek Penelitian
Alat yang digunakan selama penelitian ini adalah kamera CCTV, voice
recorder, kamera, alat tulis, tallysheet, dan panduan wawancara. Obyek yang
diamati selama penelitian ini adalah harimau sumatera dengan jenis kelamin yang
berbeda. Total harimau sumatera yang diamati sejumlah 4 ekor
Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder,
sebagai berikut:
Data primer
Data primer yang diambil antara lain :
a. Data perkawinan harimau sumatera yang terdiri dari silsilah harimau sumatera,
dan koefisien inbreeding harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung.
b. Data perilaku harian harimau sumatera yang diamati meliputi jenis perilaku,
frekuensi dan durasi dari perilaku tersebut.
c. Data ciri fisik harimau sumatera berupa kondisi, bentuk, warna, dan ciri dari
harimau sumatera yang diamati.

3
Data sekunder
Data sekunder yang diambil meliputi data harimau sumatera yang ada di
studbook atau buku catatan informasi harimau sumatera regional Indonesia dan
data mengenai harimau sumatera berdasarkan literatur yang berkaitan dengan
tujuan penelitian seperti buku, jurnal ilmiah, skripsi, dan artikel.
Metode Pengumpulan Penelitian
Studi pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan informasi yang mendukung
penelitian mengenai harimau sumatera dan inbreeding yang dapat mendukung
penelitian dan memperkuat keabsahan analisis data hasil penelitian.
Pengamatan lapang
Pengamatan lapang dilakukan dengan mengamati langsung obyek di
lapangan. Pengamatan yang dilakukan antara lain :
a. Pengumpulan data silsilah harimau sumatera dan hubungan kekerabatannya
untuk menjadi dasar analisis koefisien inbreeding.
b. Pengamatan perilaku harian harimau sumatera yang dilakukan dengan
menggunakan metode focal animal sampling yaitu menggunakan individu
tertentu sebagai obyek pengamatan dan menggunakan teknik pencatatan
perilaku satwa tersebut pada interval waktu tertentu (Altmann 1974). Teknik
pengamatan menggunakan bantuan video recorder untuk merekam perilaku
harian harimau sumatera. Pemilihan sample harimau sumatera yang diamati
adalah dengan memilih harimau sumatera memiliki jenis kelamin dan koefisien
inbreeding yang berbeda .
Pengamatan terdiri dari 2 jenis pengamatan yaitu pengamatan siang dan
pengamatan malam. Pengamatan siang dilakukan pada pukul 06.00-18.00 dan
pengamatan malam pada pukul 18.00-06.00. Masing-masing pengamatan yang
dilakukan sebanyak 3 kali ulangan untuk masing-masing harimau sehingga
total waktu pengamatan adalah selama 72 jam. Pengambilan data perilaku
dilakukan dengan cara memasang kamera CCTV di kandang malam dan
kandang siang harimau sumatera yang diamati.
c. Pengambilan data ciri fisik harimau sumatera dilakukan dengan metode
pengambilan foto masing-masing harimau sumatera yang diamati. Aspek-aspek
yang diamati dalam pengamatan ciri fisik harimau sumatera ini antara lain
ukuran tubuh secara kualitatif, kondisi dan kelengkapan anggota tubuh, warna
tubuh, bentuk dan warna loreng, dan cacat tubuh.
Wawancara
Wawancara dilakukan terhadap dokter hewan dan animal keeper yang
bertugas langsung menangani harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung.
Data yang digali dari wawancara ini mencakup informasi mengenai identitas,
silsilah, dan asal usul harimau sumatera yang ada di Kebun Binatang Bandung,
juga kondisi harimau sumatera dan pengelolaan perkawinannya di Kebun
Binatang Bandung. Wawancara dilakukan secara informal, terbuka, dan santai.
Data yang didapatkan berupa data deskriptif yang digunakan untuk menunjang
analisis yang dilakukan. Wawancara ini bertujuan untuk mengetahui praktek

4
pengelolaan harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung dari perspektif
pengelola, baik animal keeper yang banyak berinteraksi dengan harimau sumatera,
maupun dokter hewan yang melakukan pemantauan terhadap kondisi harimau
sumatera di Kebun Binatang Bandung. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan panduan wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang telah
disusun sebelumnya. Wawancara menggunakan alat perekam atau voice recorder
dan dibantu dengan menggunakan catatan.
Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan hasil dari
pengamatan yang dilakukan. Analisis data yang dilakukan antara lain analisis
silsilah, analisis perhitungan koefisien inbreeding, analisis perilaku harian dan
analisis ciri fisik.
Analisis silsilah
Langkah-langkah untuk membuat silsilah harimau sumatera adalah dengan
merunut dan menggambarkan asal-usul satwa sampai asal-usulnya tidak diketahui
atau berasal dari alam. Jika tidak terdapat keterangan inbreeding dalam keluarga
pada silsilah maka koefisien inbreedingnya sama dengan 0. Setelah itu,
ditentukan koefisien nenek moyang yang sama (Fc) dengan rumus koefisien
inbreeding. Koefisien nenek moyang ini perlu diketahui sebelum menghitung
koefisien inbreeding satwa yang ingin dihitung koefisien inbreedingnya (Fx)
(Nurana 1989). Dalam membuat silsilah satwa digunakan metode dengan diagram
panah, yakni salah satu metode untuk menghitung koefisien inbreeding dengan
cara memasukan setiap individu masing-masing sekali dalam diagram panah
walaupun pada kenyataannya individu-individu tersebut muncul beberapa kali
(Noor 1996).
Sebagai contoh, perhitungan koefisien inbreeding dari harimau X yang
dihasilkan dari satu generasi perkawinan saudara kandung dimana moyang
bersamanya bukan inbred dapat digambarkan seperti Gambar 1 (Warwick et al.
1990)

A

X

B

C

D

Gambar 1 Silsilah dalam bentuk tanda panah

5
Analisis perhitungan koefisien inbreeding
Koefisien inbreeding adalah kemungkinan suatu individu mengalami
autozygous (menerima dua alel yang sama pada lokus identik yang diturunkan
tetuanya). Nilai F berkisar antara 0 atau tidak ada perkawinan sedarah sama sekali
hingga 1 atau kawin sedarah total (Allendorf dan Luikart 2008). Perhitungan
koefisien inbreeding pada dasarnya adalah mengalikan koefisien kekerabatan
dengan ½ . Rumus untuk mengukur koefisien inbreeding Fx yang memiliki tetua
bersama yang inbreed dilakukan dengan menggunakan rumus (Stansfield 1991) :
∑[

Fx=

]

Fx : Koefisien Inbreeding satwa X
Fa : Koefisien Inbreeding tetua bersama
N : Banyaknya langkah dari X ke nenek moyang bersama dan kembali ke X
Analisis perilaku harian
Analisis perilaku harian dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif
yaitu dengan menjabarkan hasil pengamatan mengenai perilaku harian harimau
sumatera berdasarkan data yang berupa tabel. Selain itu, terdapat pula analisis
perhitungan persentasi perilaku harian dengan menggunakan persamaan menurut
Martin and Bateson (1993) :
% Perilaku :

x 100%

Perbandingan perilaku juga dilakukan dengan memperhatikan perbedaanperbedaan jenis perilaku, frekuensi perilaku, dan durasi perilaku dari harimau
sumatera yang dijadikan objek pembanding berdasarkan perbedaan koefisien
inbreedingnya.
Analisis ciri fisik
Data ciri fisik dianalisis secara deskriptif kualitatif dan dijabarkan dalam
uraian atau penjelasan disertai dengan gambar atau foto untuk memperjelas
kriteria atau indikator tentang ada tidaknya pengaruh inbreeding terhadap kondisi
fisik satwa.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Demografi
Harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung terdiri dari 8 ekor harimau
sumatera dewasa yang dikondisikan dalam 3 kandang berbeda. Kondisi harimau
sumatera di Kebun Binatang Bandung adalah seperti pada Tabel 1.

6
Tabel 1 Data harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung
Nama
Jenis Kelamin
Umur
Lokasi
Marti
Betina
14 tahun
Kandang 1
Marta
Jantan
14 tahun
Kandang 1
Melino
Jantan
15 tahun
Kandang 2
Wage
Betina
23 tahun
Kandang 2
Yopi
Betina
4 tahun
Kandang 2
Manik
Betina
11 tahun
Kandang 2
Fitra
Betina
13 tahun
Kandang 3
Fitri
Betina
13 tahun
Kandang 3
Harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung memiliki perbandingan jantan
dan betina 2:6 atau sex ratio 1:3. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sherpa &
Maskey (1998) bahwa harimau jantan memiliki teritori yang paling kuat di dalam
areal habitat utama yang mencakup beberapa teritori harimau betina dengan rasio
1 jantan : 3 betina.

Silsilah, Hubungan Kekerabatan, dan Koefisien Inbreeding
Harimau sumatera yang terdapat di kebun binatang ini asalnya berupa
sumbangan dari Kebun Binatang Gembiraloka di Yogyakarta yaitu Budi (jantan)
dengan nomor studbook 942 dan Wage (betina) dengan nomor studbook 953 pada
tahun 1996. Berikut silsilah harimau sumatera yang berada di Kebun Binatang
Bandung menurut studbook harimau sumatera yang berasal dari Kebun Binatang
Gembiraloka dalam penelitian Kurniawan (2001) dan studbook harimau sumatera
yang berada di Kebun Binatang Bandung (Gambar 2).

Keterangan :

Jantan/Betina yang berada di Kebun Binatang Bandung
Jantan/Betina tidak berada/sudah tidak berada di Kebun Binatang Bandung

Gambar 2 Silsilah harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung

7
Pada silsilah tersebut dapat dilihat bahwa induk asal dari harimau sumatera
di Kebun Binatang Bandung adalah 387, 386, 370, dan 371 dengan tetua nenek
moyang yan tidak diketahui sehingga diasumsikan berasal dari alam dengan
koefisien inbreeding 0 dan kemudian ditangkarkan di Kebun Binatang
Gembiraloka. Pasangan 387 dan 386 menghasilkan anakan jantan 532, dan
pasangan 370 dan 371 menghasilkan anakan betina 528. Namun inbreeding
terjadi pada perkawinan antara harimau jantan 370 dengan 528 dan menghasilkan
harimau betina 887 yang telah memiliki koefisien inbreeding. Setelah itu harimau
jantan 532 kawin dengan betina 887 dan menghasilkan anakan harimau jantan 942
atau Budi dan betina 953 atau Wage, yang kemudian disumbangkan ke Kebun
Binatang Bandung. Dikarenakan harimau 532 dan 887 merupakan harimau yang
tidak memiliki tetua sedarah, keturunannya kembali tidak memiliki koefisien
inbreeding atau tidak inbred.
Wage dan Budi yang disumbangkan ke Kebun Binatang Bandung
kemudian menjadi induk dan pejantan bagi harimau sumatera di Kebun Binatang
Bandung. Namun Wage dan Budi merupakan saudara sedarah sehingga
perkawinan antara kedua harimau ini menghasilkan anakan yang inbred atau
memiliki koefisien inbreeding. Anak dari perkawinan dari 942 dan 953 antara lain
1125 atau Oksi, 1126 atau Melino, 1187 atau Marta, 1188, atau Marti, Fitra, dan
Fitri. Harimau betina 1125 kemudian kawin dengan harimau jantan 1033 yang
berasal dari luar Kebun Binatang Bandung dan kemudian menghasilkan anakan
harimau betina Manik, yang dikembalikan lagi ke Kebun Binatang Bandung.
Inbreeding tidak terjadi pada Manik karena adanya darah baru dari pejantan 1033
sehingga koefisien inbreeding Manik menjadi 0 atau tidak inbred.
Setelah harimau pejantan Budi mati, harimau betina Wage dikawinkan
dengan harimau jantan Melino yang merupakan anaknya sehingga terjadi
inbreeding. Pengawinan ini menghasilkan anak harimau betina yang inbred yaitu
Yopi. Hal ini menghasilkan data diagram panah kekerabatan seperti dalam
Gambar 3.
Wage (♀)
Yopi (♀)

Manik (♀)
Keterangan :

Melino (♂)
Marta (♂)
Marti (♀)
Fitra (♀)
Fitri (♀)
Oksi (♀)

532 (♀)

Budi (♂)

887 (♂)

1033 (♂)
: Hubungan antara induk ke anak harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung

Gambar 3 Diagram panah hubungan kekerabatan harimau sumatera di Kebun
Binatang Bandung
Hasil analisis dari data silsilah dan hubungan kekerabatan harimau
sumatera yang berada di Kebun Binatang Bandung berdasarkan perhitungan nilai
koefisien inbreeding memiliki hasil seperti ditampilkan pada Tabel 2.

8
Tabel 2 Nilai koefisien inbreeding harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung
Nama Harimau
Status
Nomor
Jenis Kelamin
Koefisien
Sumatera
Filial
Studbook
Inbreeding
Wage
P
953
Betina
0
Melino
F1
1126
Jantan
0,125
Marta
F1
1187
Jantan
0,125
Marti
F1
1188
Betina
0,125
Fitra
F1
Betina
0,125
Fitri
F1
Betina
0,125
Manik
F2
Betina
0
Yopi
F2
Betina
0,313
Rataan
0,117
Keterangan : P : Induk
F1: Anak generasi 1
F2: Anak generasi 2

Berdasarkan data yang diperoleh, terdapat 3 generasi harimau dengan
koefisien inbreeding yang berbeda. Pada generasi pertama atau induk terdapat
Wage dengan koefisien inbreeding 0 karena memiliki induk dan pejantan yang
tidak memiliki tetua bersama. Namun inbreeding terjadi pada generasi kedua yang
merupakan hasil dari perkawinan Wage dan Budi yang merupakan saudara
sedarah, yaitu Melino, Oksi, Marta, Marti, Fitra, dan Fitri dengan koefisien
inbreeding 0,125. Generasi ketiga adalah Yopi yang merupakan hasil perkawinan
dari Melino dan Wage dengan koefisien inbreeding 0,313, dan Manik yang
merupakan hasil perkawinan antara Oksi dan pejantan 1033 dengan koefisien
inbreeding 0.
Cervantes et al. (2007) menyajikan nilai koefisien inbreeding berdasarkan
selang angka tertentu. Dalam selang tersebut, nilai F=0 termasuk kategori non
inbred, nilai F di selang 0%-6,25% masuk ke dalam kategori rendah, nilai F=
6,25%-12,5% termasuk kategori sedang, dan nilai F di atas 12,5% termasuk
kategori tinggi. Secara umum, rata-rata koefisien inbreeding harimau sumatera di
Kebun Binatang Bandung adalah 0,117 atau 11,7 % sehingga termasuk kedalam
kategori sedang. Menurut dokter hewan Kebun Binatang Bandung, tidak adanya
pasokan darah baru membuat potensi naiknya laju inbreeding di Kebun Binatang
Bandung tinggi sehingga apabila terus dilakukan breeding, maka kategori
inbreeding yang ada dapat meningkat yang disebabkan keterbatasan jumlah
pasangan jantan dan betina dalam populasi harimau sumatera yang bisa
dikawinkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiener (1994) bahwa pada populasi
yang terbatas, inbreeding tidak dapat dihindari namun hanya dapat dikurangi.
Kurang adanya harimau tangkapan yang berasal dari alam, atau harimau
darah baru yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan harimau-harimau
di Kebun Binatang Bandung menyebabkan sulitnya melakukan pengawinan antar
harimau tanpa menyebabkan pertambahan inbred harimau sumatera. Hal ini yang
menyebabkan adanya kebijakan penghentian upaya pengawinan harimau sumatera
di Kebun Binatang Bandung. Kebijakan penghentian pengawinan tersebut pada
dasarnya juga berdampak negatif terhadap harimau sumatera yang telah dewasa
kelamin dan memiliki kebutuhan kawin sebagai salah satu prinsip kesejahteraan
satwa di Kebun Binatang yakni kebebasan mengekspresikan perilaku alaminya,
yang dalam hal ini adalah kawin.

9
Manajemen Perkawinan dan Inbreeding
Manajemen perkawinan atau reproduksi merupakan salah satu komponen
pengelolaan yang penting dalam penangkaran satwa. Dalam manajemen
perkawinan satwa, perlu diketahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses
reproduksi satwa seperti usia dewasa kelamin satwa, waktu kawin satwa, kondisi
yang berpengaruh pada perkawinan satwa, dan lain-lain.
Perkembangbiakan harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung diawali
dengan melihat hubungan kekerabatan harimau yang tertera dalam studbook
harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung (Lampiran 1). Apabila dari contoh
tersebut diketahui bahwa harimau jantan dan betina itu dapat dikawinkan, maka
langkah selanjutnya adalah harimau akan dilihat kecocokan satu sama lain.
Apabila harimau cocok satu sama lain dan dapat dipasangkan bersama tanpa
adanya perkelahian atau reaksi negatif, maka harimau akan seterusnya
dipasangkan bersama di kandang peraga atau kandang siang. Pada malam hari,
harimau akan dipisahkan kembali agar tidak terjadi perkelahian. Apabila harimau
dapat kawin, maka keeper bertugas untuk mendampingi dan mencatat kopulasi
hingga terjadi kebuntingan. Salah satu indikator bahwa harimau betina sudah
bunting dari proses kopulasi yang telah terjadi adalah melihat kondisi puting
susunya. Felisia (2014) menyatakan bahwa harimau sumatera yang bunting akan
terlihat dari puting susunya yang berwarna merah muda dan terlihat turun.
Harimau di penangkaran masuk usia dewasa kelamin pada umur 3-6 tahun
(Schaller 1967). Harimau sumatera jantan mengalami dewasa kelamin pada usia
4-5 tahun, sedangkan harimau betina mengalami dewasa kelamin pada usia sekitar
3-4 tahun (Putra 2011). Idealnya pada sebuah penangkaran, perkawinan dilakukan
apabila satwa telah memasuki usia dewasa kelamin dan telah mengalami pubertas
atau gejala berahi dimana proses-proses reproduksi mulai terjadi yang ditandai
dengan kemampuan untuk pertama kalinya satwa dapat memproduksi benih
(Partodihardjo 1980). Smith (1994) mengatakan bahwa usia produktif harimau
jantan adalah 2-6 tahun dan harimau betina kurang dari 6 tahun dan hidup sampai
usia 15 tahun. Pernyataan tentang usia produktif harimau ini agak berbeda dengan
fakta yang diperoleh di Kebun Binatang Bandung. Data studbook harimau
sumatera di Kebun Binatang Bandung mencerminkan bahwa usia produktif dan
masa hidupnya jauh lebih lama. Sebagai contoh, Wage, harimau betina berusia 23
tahun dan masih bereproduksi aktif, begitu pula Melino, harimau jantan berusia 15
tahun ternyata masih dapat bereproduksi aktif.
Semiadi dan Nugraha (2006) menyebutkan bahwa perkawinan harimau
sumatera terjadi sepanjang tahun atau non-seasonal, yang merupakan karakteristik
hewan tropis. Di Kebun Binatang Bandung, harimau sumatera telah berhenti
dikawinkan sejak tahun 2014. Hal ini disebabkan ada dugaan kuat telah terjadi
inbreeding atau kawin dalam, sehingga untuk mencegah bertambahnya koefisien
inbreeding pada keturunannya, harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung
dihentikan untuk dikawinkan. Inbreeding atau kawin dalam adalah perkawinan
antara individu yang memiliki hubungan keluarga yang lebih dekat jika
dibandingkan dengan rataan hubungan kekerabatan kelompok dimana individu
tersebut berada (Lasley 1972). Inbreeding juga dapat dikatakan sebagai
perkawinan yang terjadi pada satwa yang memiliki moyang bersama dalam 4
sampai 6 generasi pertama silsilahnya (Warwick et al. 1990).

10
Pengaruh dari terjadinya inbreeding dapat menyebabkan peningkatan
derajat homosigositas dan menurunkan derajat heterosigositas (Noor 1996).
Dilihat dari derajat heterosigositasnya pun, peningkatan inbreeding
mengakibatkan penurunan angka keanekaragaman relatif (Senner 1980) dan
peningkatan homosigositas yang dapat menyebabkan tekanan inbreeding (Ralls et
al. 1986). Hal ini menyebabkan penurunan produksi yang sangat signifikan,
peningkatan kematian dan peningkatan frekuensi munculnya cacat. Penurunan
performa ini diduga berhubungan dengan perubahan akibat gen-gen resesif
terkumpul (Noor 1996). Kebijakan penghentian mengawinkan harimau sumatera
di Kebun Binatang Bandung tersebut antara lain juga didasarkan pada fakta telah
mulai terlihat adanya gejala terjadinya tekanan inbreeding yakni sudah adanya
kegagalan kawin dan kegagalan melahirkan pada harimau. Selain itu, terjadi juga
penurunan performa aktivitas perkembangbiakan pada harimau sumatera yang
berada di Kebun Binatang Bandung.
Di alam, keadaan populasi harimau terfragmentasi dalam kantong-kantong
habitat yang kecil dan terisolasi dengan jumlah harimau per habitat berkisar antara
36-170 ekor (Shepherd & Magnus 2004), sedangkan jumlah harimau sumatera di
alam saat ini hanya sekitar 250 ekor (Nowell et al. 2003) sehingga wilayah jelajah
satwa sangat terbatas dan kemungkinan terjadinya inbreeding antar harimau
sumatera di alam tinggi dan sulit dihindarkan. Namun pengendalian inbreeding di
alam sangat sulit dilakukan karena sulitnya mengidentifikasi satwa dari masingmasing kelompok dan memantau perkembangbiakan satwa di alam. Upaya
pengendalian inbreeding seharusnya dilakukan di lokasi konservasi ex-situ untuk
menjaga pasokan harimau sumatera dengan koefisien inbreeding 0. Apabila
kondisi jumlah harimau sumatera dengan hubungan sedarah tinggi maka
kemungkinan munculnya gejala efek gen lethal pada harimau pun tinggi dan akan
memicu terjadinya pengurangan, atau bahkan kepunahan satwa baik di alam dan
dalam penangkaran.
Analisis Tekanan Inbreeding
Perilaku Harian
Perilaku satwa adalah tindak-tanduk yang terlihat dan saling berkaitan baik
secara individual maupun secara bersama-sama atau kolektif (Tanudimadja 1978).
Alikodra (1983) mengatakan bahwa perilaku satwa adalah strategi satwa dalam
memanfaatkan sumberdaya yang ada dalam lingkungannya untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku satwa disebut sebagai rangsangan, stimuli, atau agent. Sedangkan
aktivitas yang ditimbulkan oleh rangsangan disebut respon (Teage 1971).
Pengamatan perilaku harimau ini dilakukan terhadap 4 ekor contoh harimau
sumatera di Kebun Binatang Bandung berdasarkan jenis kelamin dan nilai
koefisien inbreeding. Harimau yang diamati antara lain Wage yang memiliki
koefisien inbreeding 0 dan berjenis kelamin betina, kemudian Marti yang
memiliki koefisien inbreeding 0,125 dan berjenis kelamin betina, Melino yang
memiliki koefisien inbreeding 0,125 dan berjenis kelamin jantan, dan Yopi yang
memiliki koefisien inbreeding terbesar yaitu 0,313 dan berjenis kelamin betina.
Sample jantan yang diambil hanya satu ekor karena harimau jantan yang terdapat

11
di Kebun Binatang Bandung hanya berjumlah 2 ekor dengan koefisien inbreeding
yang sama.
Pengamatan perilaku harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung dibagi
menjadi dua macam pengamatan berdasarkan waktu pengamatan, yaitu
pengamatan siang dan malam. Pengamatan siang dilakukan sejak pukul 06.0018.00, sedangkan pengamatan malam dilakukan sejak pukul 18.00-06.00. Lama
durasi perilaku harian harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung pada
pengamatan siang (06.00-18.00) selama 3 hari pengamatan dapat dilihat di Tabel
3.
Tabel 3 Durasi perilaku harian siang harimau sumatera di Kebun Binatang
Bandung
Jenis
Durasi Perilaku
Perilaku
Wage (♀)
Yopi (♀)
Melino (♂)
Marti (♀)
(menit)
(menit)
(menit)
(menit)
Tidur
785
807
772
877
Berbaring
365
346
331
410
Duduk
248
221
258
274
Berdiri Diam
72
56
78
45
Berpindah
76
68
91
59
Pacing
192
259
209
227
Berenang
111
108
142
71
Makan
48
51
39
52
Minum
12
10
19
9
Buang Air
6
5
11
6
Grooming
137
103
113
88
Interaksi
114
126
97
42
Sosial
Total Durasi
2160
2160
2160
2160
Beberapa perilaku yang diamati antara lain perilaku tidur, berbaring,
duduk yang termasuk kedalam perilaku istirahat, berpindah dan berenang yang
termasuk ke dalam perilaku bergerak (moving), perilaku makan, minum, buang air,
grooming, berjalan mondar-mandir (pacing), waspada (vigilant) atau perilaku
mengawasi dengan cara berdiri diam sambil mengawasi lingkungan sekitar, dan
berinteraksi sosial. Interaksi sosial pada harimau terdiri dari interaksi sosial
dengan harimau lain, interaksi sosial dengan keeper, dan interaksi sosial dengan
pengunjung. Bentuk dari perilaku sosial harimau dapat berbentuk perilaku
mengendus, growling atau bersuara, dan bertengkar.
Perilaku harimau pada pengamatan siang dimulai pada jam 06.00. Pada
waktu pagi hari sebelum Kebun Binatang dibuka, harimau berada di dalam
kandang tertutup atau kandang malam. Pada waktu ini, animal keeper akan
melakukan rutinitas pembersihan kandang peraga, pengecekan kondisi harimau,
dan mengatur jadwal harimau mana yang akan dipindahkan ke kandang peraga.
Di Kebun Binatang Bandung, tidak semua harimau dipindahkan ke kandang
peraga. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya interaksi yang tidak
diinginkan antar harimaunya, seperi konflik, pertengkaran, dan perilaku kawin
yang tidak diinginkan. Setelah seluruh proses selesai, harimau kemudian

12
dipindahkan ke kandang peraga pada sekitar pukul 09.00 setelah selesai proses
pembersihan kandang peraga.
Perilaku secara keseluruhan yang dialami oleh harimau sumatera dalam
sehari sejak pukul 06.00-18.00 adalah seperti tertera pada Gambar 4.

Perilaku Siang Wage
0,28%

Perilaku Siang
Melino

Istirahat

5,28%

8,89%

Makan

6,34%

Minum
Waspada

0,51%

4,49%

Istirahat

9,68%

Makan

5,23%

Minum
Waspada

Bergerak

9,54%

10,32%

63,33%

Grooming

3,56%
0,56%

Pacing
Urinating

2,22%

Sosial

63,47%
3,61%
0,88%

Grooming
Pacing
Urinating

1,81%

(a)

(b)

Perilaku Siang
Marti

Perilaku Siang Yopi
Istirahat

0,23% 5,83%

Minum

4,07%0,28%
6,02% 10,51%

Waspada

2,08%

Makan
4,77%
11,99%

1,94%

Minum
Waspada

Grooming

64,07%

72,27%

Pacing
0,46%
2,59%

Urinating

0,42%

Sosial

2,41%

Bergerak
Grooming
Pacing

2,13%

Urinating

(c)
Gambar 4

Istirahat
Makan

Bergerak
7,92%

Bergerak

(d)

Perilaku siang harimau sumatera Wage (a), Perilaku siang harimau
sumatera Melino (b), Perilaku siang harimau sumatera Yopi (c),
Perilaku siang harimau sumatera Marti (d) di Kebun Binatang
Bandung

Perilaku istirahat paling banyak dilakukan oleh harimau sumatera di
Kebun Binatang Bandung adalah perilaku istirahat yaitu sebesar dengan
persentase terbesar oleh Marti sebesar 72,27%, diikuti oleh Wage sebesar 64,72 %,
kemudian Yopi sebesar 63,61 %, dan paling sedikit Melino sebesar 63,01%. Hal
ini terjadi kemungkinan karena terbatasnya aktivitas yang dapat dilakukan oleh
harimau di dalam kandang. Terlebih lagi, harimau merupakan satwa yang tidak

13
tahan akan panasnya matahari dan cenderung lebih aktif pada saat sore hari atau
ketika cuaca sedang mendung (Seidensticker et al. 1999). Selain itu terdapat juga
perilaku lainnya antara lain perilaku bergerak, perilaku makan, perilaku minum,
perilaku waspada (vigilant) atau perilaku mengawasi, perilaku merawat diri
(grooming), perilaku buang air (urinating), perilaku sosial, baik terhadap sesama
harimau sumatera maupun terhadap pihak luar seperti pengunjung dan keeper, dan
perilaku pacing atau mondar-mandir.
Sedangkan untuk lama durasi perilaku harimau pada saat malam hari
(18.00-06.00) selama 3 hari dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 4 Durasi perilaku harian malam harimau sumatera di Kebun Binatang
Bandung
Jenis
Durasi Perilaku
Perilaku
Wage
Yopi (menit) Melino (menit) Marta
(menit)
(menit)
Tidur
2026
2005
2027
1978
Berbaring
61
65
63
78
Duduk
27
31
24
37
Pacing
39
52
36
58
Buang Air
3
2
5
3
Minum
4
5
5
6
Total Durasi
2160
2160
2160
2160
Harimau Sumatera merupakan hewan yang aktif pada malam hari di alam.
Malam hari biasanya digunakan harimau sumatera untuk aktivitas berburu, makan,
dan berinteraksi (REI 1988). Pada saat pengamatan ditemukan bahwa harimau
sumatera di kebun binatang menggunakan nyaris seluruh waktunya pada malam
hari untuk beristirahat. Hal ini kemungkinan terjadi akibat sudah beradaptasinya
harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung dengan kondisi lingkungan
sekitarnya dimana tidak ada kegiatan yang bisa dilakukan sehingga harimau
sumatera memilih untuk istirahat. Menurut pihak pengelola, sistem memang
dirancang sedemikian rupa untuk seluruh satwa di Kebun Binatang Bandung agar
meminimalkan aktivitas malam satwa di Kebun Binatang Bandung untuk
meminimalkan resiko dan memudahkan pemantauan dan pengelolaan satwa.
Perilaku lain yang dilakukan pada saat pengamatan malam adalah perilaku
minum, perilaku buang air (urinating), dan perilaku mondar-mandir (pacing) yang
dilakukan oleh harimau sumatera ketika sekali-sekali terbangun.Perilaku istirahat
dilakukan paling banyak oleh Melino yaitu 2027 menit atau 33 jam 47 menit
selama pengamatan 3 malam atau 36 jam, atau rata-rata 11 jam 16 menit per
malam. Sedangkan perilaku istirahat paling sedikit dilakukan oleh Marti yaitu
1978 menit atau 32 jam 58 menit selama pengamatan 3 malam atau 36 jam, atau
rata-rata 10 jam 59 menit per malam.
Dari perilaku istirahat ini dapat dilihat bahwa istirahat Marti lebih banyak
terganggu dibandingkan harimau lainnya. Dari pengamatan dapat terlihat bahwa
Marti lebih mudah terbangun apabila terjadi gangguan seperti suara, atau serangga.
Dan perilaku yang dilakukan Marti ketika terbangun adalah perilaku berjalan
mondar-mandir atau pacing. Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa
keadaan perilaku istirahat Marti memiliki kemungkinan memiliki hubungan

14
dengan kondisi stress yang dialami oleh Marti. Hal ini berlaku terbalik dengan
kondisi Marti pada siang hari yang lebih banyak melakukan perilaku istirahat
dibandingkan dengan harimau lainnya.
Perilaku secara keseluruhan yang dialami oleh harimau sumatera dalam
sehari sejak pukul 18.00-06.00 dapat dilihat pada Gambar 5.

Perilaku Malam Wage

Perilaku Malam Yopi
0,23%
0,09%
2,41%

0,19% 0,14%
1,81%

97,87%

Istirahat

Pacing

Buang Air

97,27%

Minum

Istirahat

Pacing

(a)

1,67%

Perilaku Malam Marti
0,14%
2,69%

0,23%

Pacing

Buang Air

(c)

0,28%

96,90%

97,87%

Istirahat

Minum

(b)

Perilaku Malam Melino
0,23%

Buang Air

Minum

Istirahat

Pacing

Buang Air

Minum

(d)

Gambar 5 Perilaku malam harimau sumatera Wage (a), Perilaku malam harimau
sumatera Yopi (b), Perilaku malam harimau sumatera Melino (c),
Perilaku malam harimau sumatera Marti (d) di Kebun Bintang Bandung
Dari pengamatan yang dilakukan, tidak terdapat perbedaan jenis perilaku
yang ditunjukkan oleh keempat harimau yaitu Wage, Yopi, Melino, dan Marti.
Hal ini diduga terjadi karena perilaku yang ditunjukkan oleh harimau tersebut
tidak hanya dipengaruhi oleh faktor inbreeding juga dipengaruhi oleh faktorfaktor lain seperti kondisi kandang, kondisi cuaca, pengunjung, kondisi kesehatan
harimau tersebut, dan lain-lain. Namun, nilai koefisien inbreeding juga dapat

15
berdampak secara tidak langsung. Menurut Thohari (1986), individu hasil
perkawinan silang dalam atau inbreeding umumnya rentan terhadap penyakit,
memiliki kemampuan reproduksi kurang, dan memiliki ketahanan tubuh yang
buruk. Hal ini menyebabkan terjadinya kekurangan-kekurangan pada individu
harimau yang berdampak pada perilakunya.
Perilaku dominan yang dilakukan oleh satwa adalah perilaku istirahat.
Menurut Aunurohim dan Ganesa (2012) perilaku istirahat merupakan kondisi saat
harimau sama sekali tidak melakukan aktivitas apapun sebagai aktivitas utamanya.
Meliputi kondisi dimana harimau berada pada posisi istirahat, antara lain
berbaring, tidur-tiduran, dan duduk baik dengan mata terbuka maupun tertutup.
Perilaku istirahat yang terlalu banyak menandakan kurangnya aktivitas yang
dilakukan oleh harimau sumatera sehingga dapat menjadi parameter untuk melihat
keaktifan satwa dan juga dapat dijadikan indikator adanya tekanan inbreeding
pada satwa. Semakin besar persentase aktivitas istirahatnya, maka dapat dikatakan
bahwa harimau semakin tidak aktif. Selain dari perilaku istirahatnya, keaktifan
juga dapat dilihat dari perilaku bergerak satwa. Perilaku bergerak adalah perilaku
berpindahnya harimau, baik dengan cara berjalan maupun berenang.
Dari segi keaktifan, Marti yang memiliki jenis kelamin betina, berumur 14
tahun, dan memiliki koefisien inbreeding 0,125 memiliki persentase perilaku
istirahat yang paling tinggi dan persentase bergerak yang paling rendah
dibandingkan harimau lainnya. Wage, harimau betina berumur 23 tahun dengan
koefisien inbreeding 0 memiliki persentase istirahat yang paling kecil
dibandingkan harimau lainnya, walaupun umurnya merupakan yang paling tua
diantara harimau lainnya. Melino, harimau jantan berumur 15 tahun dengan
koefisien inbreeding 0,125 memiliki persentase bergerak yang lebih tinggi
dibandingkan dengan harimau lainnya. Sedangkan Yopi, harimau betina berumur
4 tahun dengan koefisien inbreeding 0,313 memiliki persentase istirahat yang
lebih tinggi daripada Wage dan Melino, walaupun masih lebih rendah
dibandingkan Marti. Yopi juga memiliki persentase bergerak yang lebih rendah
dibandingkan Wage dan Melino, namun masih lebih tinggi dibandingkan Marti.
Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa harimau yang memiliki tingkat
keaktifan terendah adalah Marti. Hal ini juga dapat terlihat dari kondisi
kesehatannya yang paling kurang baik dibandingkan kondisi harimau lainnya.
Sedangkan Wage dan Melino merupakan harimau sumatera yang memiliki tingkat
keaktifan paling tinggi.
Koefisien inbreeding bukan faktor tunggal yang menentukan keaktifan dan
perilaku harimau. Hal ini dapat dilihat pada Yopi yang memiliki koefisien
inbreeding terbesar, namun dari segi keaktifan terlihat lebih aktif dibandingkan
Marti yang memilliki koefisien inbreeding lebih kecil, walaupun lebih kurang
aktif apabila dibandingkan dengan Wage dan Melino. Melino, walaupun memiliki
koefisien inbreeding yang sama besar dengan Marti, namun terlihat lebih aktif dan
memiliki kondisi tubuh yang lebih baik. Dan walaupun memiliki koefisien
inbreeding yang berbeda, namun tingkat keaktifan Melino dan Wage terlihat
setara.
Perilaku satwa dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan.
Perilaku satwa terbentuk berdasarkan lingkungan kimiawi di dalam sel, dan juga
semua kondisi hormonal dan kondisi kimiawi dan fisik yang dialami oleh satwa
sejak fase perkembangan di dalam sel telur atau di dalam rahim. Perilaku juga

16
meliputi interaksi beberapa komponen sistem saraf hewan dengan efektor, dan
juga berbagai interaksi kimia, penglihatan, pendengaran, atau sentuhan dengan
organisme lain. Selain itu, faktor lingkungan juga mempengaruhi perilaku satwa,
baik lingkungan dalam maupun lingkungan luar. Lingkungan dalam terdiri dari
antara lain hormon, rasa sakit, getaran, rasa tidak nyaman, dan metabolisme tubuh.
Sedangkan lingkungan luar terdiri atas kondisi, suhu, makanan, air minum, cahaya
matahari, gravitasi, tekanan udara, tempat tinggal, hubungan dengan mahluk lain
baik intra maupun inter spesies (Campbell et al. 1999).
Yopi, walaupun bukan merupakan yang paling aktif, namun merupakan
yang paling agresif diantara harimau lainnya. Hal ini dapat dilihat dari persentase
interaksi sosial Yopi yang paling besar. Yopi adalah harimau yang paling sering
menyerang harimau lainnya, dan juga yang paling reaktif apabila ada interaksi
dengan manusia seperti dengan keeper.
Selain itu, perilaku yang bisa dijadikan indikator terjadinya tekanan
inbreeding pada satwa adalah perilaku pacing. Perilaku pacing atau mondar
mandir adalah perilaku dimana satwa terus menerus berjalan bolak-balik atau
membentuk lingkaran dengan jalur tertentu. Perilaku ini dikategorikan sebagai
perilaku abnormal (strereotypic) yang mengindikasikan adanya stress pada satwa
(Kurniawan 2001). Perilaku stereotypic adalah perilaku abnormal yang dilakukan
secara repetitif dan tidak memiliki maksud dan tujuan tertentu. Perilaku abnormal
ini disebabkan oleh kurangnya stimuli pada harimau yang menyebabkan
timbulnya kebosanan dan kurangnya aktivitas. Perilaku pacing ini juga dikatakan
sebagai perilaku yang menandakan keinginan satwa untuk membebaskan diri,
namun tidak bisa karena adanya penghalang atau batas pada kandang. Pengaruh
adanya hewan lain yang berinteraksi dengan satwa, atau adanya pengunjung juga
dapat memicu munculnya perilaku pacing (Stevenson 1983).
Persentase dilakukannya pacing oleh Yopi merupakan yang tertinggi
diantara harimau lainnya yaitu 12%. Hal ini menandakan adanya stress pada
harimau. Menurut keeper harimau sumatera di Kebun Binatang, Yopi merupakan
harimau yang sedang mengalami masa dewasa kelamin, namun pada saat ini
Kebun Binatang Bandung tengah melakukan stop breeding atau penghentian
upaya pengawinan satwa sehingga diduga Yopi menderita stress akibat tidak
dapat tersalurkannya sexual desire atau kebutuhan kawinnya.
Selain Yopi, harimau yang juga memiliki persentase pacing yang tinggi
adalah Marti yaitu sebesar 11%. Selain itu, Marti juga memiliki permasalahan
dalam perilaku ingestive atau makan dan minum. Marti tidak mau mengkonsumsi
daging ayam dan cenderung memilih untuk memakan hati sapi sehingga pakan
yang diberikan kepada Marti berbeda dengan pakan untuk harimau lainnya. Marti
juga memiliki nafsu makan yang jauh lebih sedikit dibandingkan harimau lainnya
sehingga seringkali tidak menghabiskan jatah pakan yang diberikan oleh
pengelola. Menurut keeper, hal ini disebabakan oleh kebiasaan Marti yang sering
menggigit-gigit pagar kandang yang terbuat dari besi hingga giginya patah.
Setelah giginya patah, Marti berhenti menggigiti pagar, namun kemudian
menderita masalah pencernaan yang membuatnya sulit makan.

17
Ciri Fisik
Setiap harimau memiliki ciri-ciri yang berbeda antar individunya. Ciri
fisik yang dapat diamati pada harimau sumatera antara lain terdiri dari ukuran
tubuh, bentuk anggota tubuh, motif loreng harimau, dan kelengkapan anggota
tubuh. Inbreeding juga dapat mempengaruhi fisik harimau. Kondisi satwa juga
dapat dilihat dari kondisi fisiknya. Fisik satwa dapat dipengaruhi oleh berbagai
macam faktor. Salah satu faktor yang mempengarui ciri fisik satwa adalah faktor
genetik. Pada satwa yang merupakan hasil dari inbreeding dan mengalami
inbreeding depression atau tekanan inbreeding, kelainan fisik atau perubahan ciri
fisik sangat mungkin terjadi. Thohari (1986) juga mengatakan bahwa individu
hasil perkawinan silang dalam atau inbreeding dapat menyebabkan satwa
memiliki kekuatan atau kesegaran badan yang jelek, dan mengurangi penampilan
(performance).
Deskripsi ciri fisik atau morfologis dari harimau sumatera di Kebun
Binatang Bandung berdasarkan koefisien inbreeding dan jenis kelaminnya dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Deskripsi ciri fisik harimau sumatera di Kebun Binatang Bandung
Nama Jenis Kelamin Umur
Koefisien Ciri Fisik
Inbreeding
Melino
Jantan
15 tahun
0,125
a. Bentuk badan normal
b. Warna loreng terlihat jelas
c. Warna tubuh oranye cokelat terang
d. Memiliki surai panjang
e. Memiliki luka di siku kanan
Wage
Betina
23 tahun
0
a. Bentuk tubuh normal namun
memiliki gelambir di perut bekas
melahirkan
b. Warna loreng terlihat jelas
c. Warna tubuh oranye kecokelatan
cerah
d. Terdapat luka di sekitar kaki depan
Yopi
Betina
4 tahun
0,313
a. Bentuk tubuh normal namun
berukuran kecil
b. Warna loreng kurang jelas
c. Warna tubuh oranye kecokelatan
gelap
d. Memiliki luka pada ekor dan kaki
Marti
Betina
14 tahun
0,125
a. Bentuk tubuh normal namun
memiliki ukuran yang kecil
b. Telinga layu atau cenderung
menghadap ke pinggir atau ke
bawah
c. Warna loreng kurang jelas
d. Warna tubuh cokelat kusam
e. Memiliki luka pada kaki depan
f. Gigi patah

18
Berikut adalah penampilan fisik dari masing-masing harimau yang diamati,
yaitu Melino, Wage, Yopi dan Marti dalam Gambar 6.

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 6 Foto perbandingan Melino (a) Wage (b) Yopi (c) Marti (d)
Dari seluruh harimau sumatera yang ada di Kebun Binatang Bandung,
harimau dengan ukuran terbesar adalah Melino. Melino merupakan jantan tertua
yang ada di Kebun Binatang Bandung dengan koefisien inbreeding 0,125. Ciri
khas dari Melino adalah surainya yang panjang. Melino memiliki kondisi fisik
yang baik dengan anggota tubuh yang lengkap dan berfungsi dengan baik. Ada
terdapat luka di siku kanan Melino yang masih berbekas. Menurut keeper, luka
pada harimau tersebut kurang jelas disebabkan oleh apa, namun kemungkinan
besar disebabkan oleh interaksi dengan harimau lain yang memiliki kandang
bersebelahan dengan Melino yaitu Wage, Manik, dan Yopi. Menurut keeper, luka
tersebut sudah lama ada pada tubuh Melino dan bekasnya masih jelas terlihat.
Warna tubuh Melino oranye kecokelatan cerah dengan loreng yang terlihat jelas.
Wage merupakan harimau yang paling tua dan memiliki ukuran terbesar
untuk betina dengan koefisien inbreeding 0. Ciri dari Wage adalah kulit perutnya
yang telah melonggar sebagai tanda seekor harimau yang telah melahirkan. Wage
memiliki anggota tubuh yang lengkap dan berfungsi dengan baik. Wage memiliki
sedikit bekas-bekas luka yangn kebanyakan berada di sekitar kaki depannya.
Warna tubuh Wage oranye kecokelatan cerah dan lorengnya terlihat jelas.

19
Yopi merupakan harimau dengan ukuran tubuh terkecil diantara har