Struktur dan komposisi tegakan serta sistem perakaran tumbuhan pada kawasan karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta

STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN SERTA SISTEM
PERAKARAN TUMBUHAN PADA KAWASAN KARST DI
TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG-BULUSARAUNG,
RESORT PATTUNUANG-KARAENTA

AJI NURALAM DWISUTONO

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Struktur dan Komposisi
Tegakan serta Sistem Perakaran Tumbuhan pada Kawasan Karst di Taman
Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta adalah benar
karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015
Aji Nuralam Dwisutono
NIM E44100082

ABSTRAK
AJI NURALAM DWISUTONO. Struktur dan Komposisi Tegakan serta
Sistem Perakaran Tumbuhan pada Kawasan Karst di Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta. Dibimbing oleh
ISTOMO.
Tumbuhan pada kawasan karst memiliki ciri-ciri yang berbeda serta khas
jika dibandingkan dengan tumbuhan pada ekosistem hutan lainnya. Tujuan
penelitian adalah mengkaji komposisi dan struktur tegakan serta sistem perakaran
tumbuhan pada kawasan karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung,
Resort Pattunuang-Karaenta. Pembuatan Petak pengamatan ditentukan secara
purposive sampling berdasarkan keterwakilan tegakan. Penelitian dilakukan di
empat lokasi yaitu dasar, lereng, puncak bukit dengan banyak tanah, dan puncak

bukit dengan sedikit tanah. Pada setiap lokasi penelitian dibuat tiga jalur petak
contoh dengan masing-masing jalur berukuran 20 m x 100 m. Berdasarkan
penelitian, jumlah jenis yang didapatkan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah
yaitu 108 jenis, pancang 128 jenis, tiang 63 jenis dan pohon 78 jenis. Struktur
horizontal membentuk kurva J-terbalik dan struktur vertikal tegakan terdiri atas 4
stratum yaitu B, C, D, dan stratum E. Secara keseluruhan, pola penyebaran ialah
secara mengelompok. Pola penyebaran secara merata hanya ditemukan pada jenis
Palaquium obovatum di lokasi lereng dengan tingkat pertumbuhan tiang dan jenis
Dracontomelon dao di lokasi dasar dengan tingkat pertumbuhan pohon. Jenis
Pterospermum celebicum memiliki nilai shoot-root ratio tertinggi pada lokasi
dasar, nilai indeks cengkeram akar (ICA) tertinggi dengan kategori sedang (1.53.5) pada lokasi dasar dan nilai indeks jangkar akar (IJA) tertinggi dengan
kategori tinggi (>1.0) pada lokasi puncak bukit dengan banyak tanah.
Kata kunci: komposisi tegakan, sistem perakaran, struktur tegakan

ABSTRACT
AJI NURALAM DWISUTONO. The Species Structure and Composition Stand
with Root System of Plants in Karst Area Bantimurung-Bulusaraung National
Park, Resort Pattunuang-Karaenta. Supervised by ISTOMO
Plants in Karst Area have different characteristics and distinctive when
compared with plants of other forest ecosystem. The purpose of research is to

assessing the composition and stand structure and root system of plants in karst
areas in Bantimurung-Bulusaraung National Park, Resort Pattunuang-Karaenta.
This observation plots determined by purposive sampling based on the
representation of the stand. Three sample plots lines with the size of 20 m x 100 m
each were constructed in the research site. The research was spread out on four
habitats that are on hill base, slopes, summit with considerable soil cover, and
summit with very little soil cover. The number of species on the research area is
amounted 108 species of seedlings and understorey plants, 108 species saplings,
63 species poles and 78 species trees. Horizontal structure inverted J-shaped and
vertical structure of the stand consist of four strata (B, C, D, and E strata). Overall,
the spatial distribution patterns have a clumped distribution pattern. Uniform
distribution pattern is only found in Palaquium obovatum species of pole on
slopes and Dracontomelon dao species of tree on base. Pterospermum celebicum
has the highest value of shoot-root ratio on the hill base, index root binding
highest value with category of moderate (1.5-3.5) on hill base and index root
anchoring highest value with the high category (>1.0) on summits with
considerable soil cover.
Key Words: stand composition, root system, stand structure

STRUKTUR DAN KOMPOSISI TEGAKAN SERTA SISTEM

PERAKARAN TUMBUHAN PADA KAWASAN KARST DI
TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG-BULUSARAUNG,
RESORT PATTUNUANG-KARAENTA

AJI NURALAM DWISUTONO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Silvikultur

DEPARTEMEN SILVIKULTUR
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat

dan kasih sayang-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang
berjudul “Struktur dan Komposisi Tegakan serta Sistem Perakaran Tumbuhan
pada Kawasan Karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort
Pattunuang-Karaenta”. Penelitian ini dilakukan untuk mengkaji komposisi dan
struktur tegakan serta sistem perakaran tumbuhan pada kawasan karst di Taman
Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini:
1. Dr. Ir. Istomo, M.S, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak
memberikan bimbingan, saran, dukungan serta semangat kepada penulis.
2. Kedua orang tua penulis (H. Ir. Sutono, MM dan Hj. Dwi Endang Nurhayati,
SH) dan kakak penulis (Achmad Yusuf V.)
3. Pihak di PT. Sarpatim (Pak Eva dan Pak Pungki) dan Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung atas ilmu baru yang telah diberikan selama ini
khususnya Pak Kamaja, Bu Siti, Bang Indra, dan Bang Yunus.
4. Rekan-rekan Fahutan 47 dan khususnya rekan-rekan di Silvikultur 47 (terima
kasih atas segalanya), Anugrah P. serta Lastiti Sanubari
5. Abang-abang, Teteh-teteh, Adek-adek Fahutan (terima kasih atas pelajaran dan
kebersamaannya)
6. Rekan-rekan perjuangan di rumah (Ian, Aan, Dias, Janar, Didit, dll) serta

rekan-rekan di bangku sekolah (Ecan, Wawan, Hendra, Riza, Anton, Okta,
Roche, Adi, Fery, Ageng, dll)

Bogor, Januari 2015
Aji Nuralam Dwisutono

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

vii

PENDAHULUAN


1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

2

METODE

2

Waktu dan Tempat


2

Alat dan Bahan

2

Jenis Data yang Dikumpulkan

2

Prosedur Penelitian

3

Analisis Data

4

HASIL DAN PEMBAHASAN


8

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

8

Hasil

9

Pembahasan
SIMPULAN DAN SARAN

21
25

Simpulan

27


Saran

27

DAFTAR PUSTAKA

28

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

38

DAFTAR TABEL
1 Klasifikasi nilai indeks jangkar akar (IJA) dan indeks cengkeram akar
(ICA)

2 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat semai dan
tumbuhan bawah di berbagai lokasi penelitian
3 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat pancang di
berbagai lokasi penelitian
4 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat tiang di
berbagai lokasi penelitian
5 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat pohon di
berbagai lokasi penelitian
6 Nilai koefisien kesamaan komunitas (IS) pada berbagai tingkat
pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian
7 Nilai kerapatan (ind/ha) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan
tumbuhan bawah di lokasi penelitian
8 Pola penyebaran individu jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan dan
tumbuhan bawah di lokasi penelitian
9 Nilai shoot-root ratio pada P.celebicum di berbagai lokasi penelitian
10 Nilai indeks jangkar akar (IJA) dan indeks cengkeram akar (ICA) pada
P. celebicum di berbagai lokasi penelitian

8
11
11
12
13
15
16

19
20
20

DAFTAR GAMBAR
1 Ilustrasi metode pengambilan data untuk analisis vegetasi
2 Jumlah jenis tumbuhan pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman
Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta
3 Indeks kekayaan jenis (R1) pada berbagai tingkat pertumbuhan di
Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta
4 Indeks dominansi (C) pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman
Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta
5 Indeks keanekaragaman jenis (H’) pada berbagai tingkat pertumbuhan
di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta
6 Indeks kemerataan jenis (E) pada berbagai tingkat pertumbuhan di
Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta
7 Diagram profil tajuk pada berbagai lokasi penelitian di Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta. (a) dasar, (b)
lereng, (c) puncak dengan sedikit tanah, (d) puncak dengan banyak
tanah

3
9

10
14

14

15

18

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta lokasi penelitian
2 Jenis tumbuhan yang ditemukan di lokasi penelitian

31
32

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan kawasan kapur yang belum diketahui secara luas dari segi
fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya menyebabkan kawasan tersebut hanya
dipandang sebagai penyedia bahan galian atau tambang. Hal ini yang
menyebabkan hancurnya kawasan karst akibat penambangan, terutama
dimanfaatkan sebagai bahan baku industri semen sehingga berdampak terhadap
hilangnya sistem ekologi kawasan tersebut. Konservasi nilai ekologi di kawasan
karst sangat dibutuhkan terutama di bidang keanekaragaman tumbuhan guna
menjaga kawasan tersebut tetap utuh dari segala bentuk kerusakan yang terjadi
oleh manusia. Tumbuh-tumbuhan yang terdapat di kawasan karst memiliki
peranan yang sangat penting karena akan membentuk mikro habitat bagi biota lain
yang terdapat di atas dan di dalam tanah serta dapat menjamin kelestarian di
dalam goa.
Sebagai daerah yang beriklim tropika basah, kawasan karst di Indonesia
dapat dikatakan sebagai habitat bagi beragam jenis tumbuh-tumbuhan. Kondisi
lingkungan yang sangat ekstrem, seperti tingginya kalsium dan magnesium tanah
yang seringkali bersifat basa serta kondisi iklim yang berat (panas, dingin, hujan
dan kering) menyebabkan tumbuhan yang ada di kawasan ini sudah dipastikan
harus dapat tahan dengan kondisi tersebut. Namun, data yang menunjukkan
jumlah jenis yang tumbuhan dapat tumbuh di kawasan karst di Indonesia hingga
saat ini belum diketahui secara pasti. Publikasi tentang keanekaragaman hayati
kawasan karst di Indonesia masih sangat terbatas bila dibandingkan dengan
publikasi kawasan karst yang terdapat di kawasan Asia Tenggara yang lain
(Vermeulen dan Whitten 1999 dalam Roemantyo dan Noerdjito 2006). Uniknya,
keragaman, komposisi dan tingkat endemisitas jenis tumbuhan yang mampu
beradaptasi di kawasan karst diperkirakan cukup tinggi.
Penelitian yang berkaitan dengan kawasan karst umumnya berkaitan dengan
nilai ekonomi yang dapat digali atau dieksploitasi secara langsung dari daerah
karst (Roemantyo dan Noerdjito 2006). Kurangnya informasi serta publikasi
berkaitan dengan keanekaragaman tumbuhan di kawasan karst Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung menyebabkan diperlukan studi tentang “Komposisi
dan Struktur Tegakan serta Sistem Perakaran Tumbuhan di Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung, Sulawesi Selatan”. Hasil studi dapat digunakan
sebagai acuan dalam menilai akan pentingnya keanekaragaman tumbuhan di
kawasan karst dan dari segi pemanfaatan secara lestari
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:
1. Mengkaji komposisi dan struktur tegakan tumbuhan yang terdapat di kawasan
karst Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta, Sulawesi Selatan.

2
2. Mengkaji sistem perakaran tumbuhan di kawasan karst Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta, Sulawesi Selatan.
Manfaat Penelitian
Hasil studi tentang komposisi dan struktur tegakan tumbuhan dapat
dijadikan sebagai bahan acuan akan pentingnya nilai keanekaragaman tumbuhan
guna menunjang sistem ekologis di kawasan karst. Selain itu, hasil studi juga
dapat memberikan gambaran tentang terdapatnya tumbuhan yang dominan serta
mampu beradaptasi dilihat dari sistem perakarannya di kawasan karst, sehingga
berguna dalam pemilihan jenis tumbuhan ketika dilakukan kegiatan rehabilitasi
hutan di kawasan tersebut.

METODE
Waktu dan Tempat
Kegiatan penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan
bulan September 2014 di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort
Pattunuang-Karaenta, Sulawesi Selatan. Lokasi penelitian dapat dilihat pada
Lampiran 1.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya peta
kerja/peta lokasi untuk mengetahui kondisi lapangan, pita ukur 30 meter untuk
mengukur areal penelitian, phiband meter untuk mengukur diameter pohon, GPS
untuk menentukan titik-titik koordinat suatu lokasi, haga hypsometer untuk
mengukur tinggi pohon, kompas untuk mengukur azimuth, menentukan arah
rintisan dan kemiringan lereng, tali rafia dan tambang untuk menandai petak
pengamatan, patok untuk menandai batas-batas petak pengamatan, sasak, kertas
koran, kantong plastik besar dan alkohol 70% untuk pembuatan herbarium, jangka
sorong untuk mengukur diameter akar, dan alat-alat bantu lainnya seperti alat
tulis, penggaris, kantong plastik, kertas label, tally sheet, parang, cangkul, buku
identifikasi tumbuhan dan kamera digital.
Jenis Data yang Dikumpulkan
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini meliputi data primer dan
data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh di lapangan baik
melalui pengukuran maupun pengamatan. Data ini meliputi data vegetasi, data
parameter pengukuran akar primer sesuai variabel yang digunakan dan data fisik
lapangan. Data fisik lapangan berupa data lingkungan yang meliputi altitude atau
ketinggian tempat, suhu dan kelembaban di lapangan, sedangkan untuk data
vegetasi meliputi data pohon, tiang, pancang, semai, dan tumbuhan bawah. Data
semai, pancang, dan tumbuhan bawah diambil nama jenis dan jumlah individunya,
sedangkan untuk data tiang dan pohon diambil nama jenis, jumlah individu, serta

3
diukur diameter setinggi dada (dbh) dan tinggi totalnya. Jenis tumbuhan yang
tidak diketahui nama jenisnya, diambil contoh herbariumnya. Setiap spesimen
herbarium yang dikoleksi diberi nomor koleksi serta dilakukan pencatatan data
dan informasi lapangannya. Data dan informasi yang dicatat antara lain morfologi
tumbuhan, nama lokal, lokasi pengambilan, tanggal pengambilan dan keterangan
lain yang diperlukan dalam kegiatan identifikasi tumbuhan. Proses pembuatan
herbarium dilakukan dengan cara basah dan identifikasi dilakukan di Herbarium
Bogoriense dan Laboratorium Ekologi Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Variabel
yang digunakan dalam mengetahui karakteristik perakaran ialah shoot-root ratio
dan indeks jangkar akar serta indeks cengkeram akar. Data sekunder merupakan
data pendukung terkait dengan kondisi vegetasi dan keadaan lingkungan biofisik
lokasi penelitian.
Prosedur Penelitian
Penentuan lokasi sampling
Lokasi sampling ditentukan secara purposive sampling berdasarkan
keterwakilan tegakan. Tanaman contoh yang digunakan dalam mengamati
distribusi perakaran ialah sebanyak tiga tumbuhan yang ditentukan secara simple
random sampling di tiap lokasi penelitian dengan tahap pertumbuhan tiang
(diameter 10-20 cm) dan merupakan tumbuhan dengan jenis yang sama serta
termasuk sebagai salah satu jenis tumbuhan yang kerap ditemukan.
Pembuatan petak contoh analisis vegetasi
Petak contoh yang digunakan yaitu metode kombinasi antara jalur dan garis
berpetak. Lokasi penelitian dibedakan menjadi empat yaitu (1) dasar bukit (base
of hills), (2) lereng, (3) puncak bukit dengan banyak tanah (summits with
considerable soil cover), dan (4) puncak bukit dengan sedikit tanah (summits with
very little soil cover). Pada setiap lokasi penelitian dibuat tiga jalur petak contoh.
Setiap jalur memiliki ukuran 20 m x 100 m. Wyatt-Smith (1959) dalam
Soerianegara dan Indrawan (2002) menganggap bahwa ukuran petak contoh
dengan luasan 0.6 ha sudah cukup mewakili. Jalur tersebut kemudian dibagi
menjadi subpetak menggunakan metode nested sampling Metode pengambilan
data yang dilakukan untuk analisis vegetasi disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1 Ilustrasi metode pengambilan data untuk analisis vegetasi. (A) tingkat
semai dan tumbuhan bawah, (B) tingkat pancang, semak, dan perdu, (C)
tingkat tiang, (d) tingkat pohon.

4
Stratifikasi Tajuk
Stratifikasi bertujuan untuk mengetahui dimensi (bentuk) atau struktur
vertikal dan horizonal suatu vegetasi dari hutan yang dikaji. Adapun prosedur
kerja yang dilakukan yaitu membuat petak contoh berbentuk jalur dengan arah
tegak lurus kontur (gradien perubahan tempat tumbuh) dengan ukuran lebar 20 m
dan panjang 60 m, menerapkan lebar jalur (20 m) sebagai sumbu Y dan panjang
jalur (60 m) sebagai sumbu X, memberi nomor pohon diameter > 10 cm atau
tinggi total > 4 m yang ada di dalam petak contoh, mencatat nama jenis pohon dan
mengukur posisi masing-masing pohon terhadap titik koordinat X dan Y,
mengukur diameter batang pohon setinggi dada (130 cm) atau bila pohon berbanir,
diameter diambil pada ketinggian 20 cm diatas banir, tinggi total dan tinggi bebas
cabang serta menggambar bentuk percabangan dan bentuk tajuk, mengukur luas
proyeksi (penutupan) tajuk terhadap permukaan tanah paling tidak dari dua arah
pengukuran yaitu arah tajuk terlebar dan tersempit, menggambar bentuk profil
vertikal dan horizontal (penutupan tajuk) pada kertas milimeter blok dengan skala
1:400, dan menentukan jenis dan jumlah pohon yang termasuk lapisan A, B dan C.
Pengukuran Variabel Karakteristik Perakaran
Variabel karakteristik perakaran yang diamati dalam penelitian ini ialah
shoot-root ratio, indeks jangkar akar dan indeks cengkeram akar. Setiap contoh
tanaman diukur diameter akar horizontal, akar vertikal dan diameter batang. Suatu
akar diklasifikasikan sebagai akar horizontal apabila sudut antara akar dan bidang
vertikal lebih dari atau sama dengan 45˚, sedangkan apabila kurang dari 45˚
diklasifikasikan sebagai akar vertikal. Diameter akar, baik horizontal maupun
vertikal, diukur pada jarak 1 cm dari pangkal akar tersebut. Diameter batang
tanaman contoh diukur pada ketinggian 130 cm. Shoot-root ratio dapat
dikemukakan melalui perbandingan antara total luas penampang melintang akar
dengan luas penampang melintang batang atau basal area (Murniati 2009).
Analisis Data
Indeks nilai penting (INP)
Indeks nilai penting (INP) ini digunakan untuk menetapkan komposisi jenis,
dan dominanasi suatu jenis di suatu tegakan. Nilai INP dihitung dengan
menjumlahkan nilai kerapatan relatif (KR), frekuensi relatif (FR), dan dominansi
relatif (DR) (Soerianegara dan Indrawan 2002).
Jumlah individu suatu jenis
Kerapatan (K)

Luas petak contoh
Kerapatan suatu jenis
x 100%
Kerapatan Relatif (KR)
=
Kerapatan seluruh jenis
Jumlah plot ditemukan suatu jenis
Frekuensi (F)

Jumlah seluruh plot
Frekuensi suatu jenis
Frekuensi Relatif (FR)
=
x 100%
Frekuensi seluruh jenis
Jumlah LBDS suatu jenis
Dominansi (D)
= Σ
Luas petak contoh

5
Dominansi Relatif (FR)

=

Indeks Nilai Penting (INP)

=

Indeks Nilai Penting (INP)

=

Dominansi suatu jenis

x 100%
Dominansi seluruh jenis
KR + FR (untuk tingkat semai,
pancang dan tumbuhan non pohon)
KR + FR + DR (untuk tingkat tiang dan
pohon)

Indeks dominansi (C)
Indeks dominansi digunakan untuk menentukan dominansi jenis di dalam
komunitas untuk menentukan dimana dominansi dipusatkan (Soerianegara dan
Indrawan 2002). Indeks dominansi ditentukan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
C = Σ (Ni/N)²
Ket: C = Indeks dominansi
Ni = INP tiap jenis
N = Total INP seluruh jenis

Indeks kekayaan jenis Margalef (R1)
Untuk mengetahui besarnya kekayaan jenis digunakan indeks Margalef
(Ludwig dan Reynold 1988):
S-1
R1 =
ln (N)
Ket: R1 = Indeks kekayaan jenis Margalef
S = Jumlah jenis
N = Jumlah total individu
Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1 < 3.5 menunjukkan kekayaan
jenis tergolong rendah, 3.5< R1 < 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong
sedang dan R1 > 5.0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong tinggi.
Keanekaragaman jenis (H’)
Keanekaragaman jenis adalah parameter yang sangat berguna untuk
mengetahui tingkat keanekaragaman jenis. Indeks keanekaragaman Shannon –
Wiener (H’) merupakan indeks yang paling banyak digunakan dalam ekologi
komunitas (Ludwig dan Reynold 1988). Indeks keanekaragaman dari Shannon –
Wiener adalah sebagai berikut :

H’ = - ∑si=1 [

ni
N

ln

ni
N

]

H’
= Indeks Keanekaragaman Shannon - Wiener
s
= Jumlah jenis
ni
= Kerapatan jenis ke - i
N
= Total kerapatan
Terdapat tiga kriteria dalam analisis indeks keanekaragaman jenis yaitu jika
nilai H’ < 2, maka termasuk kedalam kategori rendah, nilai 2 < H’ < 3, maka
termasuk kedalam kategori sedang dan akan dimasukkan kedalam kategori tinggi
bila H’ > 3 (Magurran 1988).
Ket:

6
Kemerataan jenis (E)

E=

H'
ln (S)

Ket:

E
= Indeks kemerataan jenis
H’ = Indeks keanekaragaman jenis
S
= Jumlah jenis
Berdasarkan Magurran (1988) besaran E < 0.3 menunjukkan kemerataan
jenis rendah, 0.3 < E< 0.6 menunjukkan tingkat kemerataan jenis tergolong
sedang dan E > 0.6 menunjukkan tingkat kemerataan jenis tergolong tinggi.
Koefisien kesamaan komunitas
Koefisien kesamaan komunitas merupakan nilai yang digunakan untuk
mengetahui kesamaan relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua
komunitas yang dibandingkan (Soerianegara & Indrawan 2002). Adapun rumus
yang digunakan adalah:
2W
C (IS) =
a+b
Ket:
C (IS) = Koefisien kesaman komunitas
W
= Jumlah nilai kuantitatif yang sama atau terendah ( ≤ ) dari
dua jenis-jenis yang terdapat dalam dua komunitas berbeda
a
= Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat
dalam komunitas pertama yang dibandingkan
b
= Jumlah nilai kuantitatif dari semua jenis yang terdapat
dalam komunitas kedua yang dibandingkan
Pola Penyebaran Individu Jenis
Penyebaran jenis dalam suatu komunitas tumbuhan dapat diketahui dengan
rumus Indeks Penyebaran Morisita. Rumus ini digunakan untuk mengetahui pola
penyebaran jenis tumbuhan yang meliputi penyebaran merata (uniform),
mengelompok (clumped), dan acak (random). Adapun rumus Indeks Penyebaran
Morisita menurut Morisita (1962) dalam Krebs (2014) adalah sebagai berikut:

Iδ=n(
Ket:

∑xi2 -∑xi

(∑xi)2 -∑xi

)


= Derajat penyebaran Morisita
n
= Jumlah petak ukur
∑xi2 = Jumlah kuadrat dari total individu suatu jenis pada suatu
komunitas
∑xi
= Jumlah total individu suatu jenis pada suatu komunitas
Selanjutnya dilakukan Uji Chi-Square, dengan rumus:

Derajat Keseragaman

Ket: x20.975
∑xi
n

x2 0.975-n+∑xi
Mu=
∑xi-1
= Nilai Chi-Square dari tabel dengan db (n-1), selang
kepercayaan 97.5%
= Jumlah individu dari suatu jenis pada petak ukur ke-i
= Jumlah petak ukur

7
Derajat Pengelompokan

x2 0.025-n+∑xi
∑xi-1
2
Ket: x 0.025
= Nilai Chi-Square dari tabel dengan db (n-1), selang
kepercayaan 2.5%
∑xi
= Jumlah individu dari suatu jenis pada petak ukur ke-i
n
= Jumlah petak ukur
Standar derajat Morisita (Ip) dihitung dengan empat rumus sebagai
berikut:
Bila Iδ≥Mc>1.0, maka dihitung:
iδ-Mc
)
Ip=0.5+0.5(
n-Mc
Bila Mc>Iδ≥1.0, maka dihitung:
iδ-1
Ip=0.5(
)
Mc-1
Mc=

Bila 1.0>Iδ>Mu, maka dihitung:
Ip=-0.5(
Bila 1.0>Mu>Iδ, maka dihitung:

iδ-1
)
Mu-1

iδ-1
)
Mu-1
Perhitungan nilai Ip akan menunjukkan pola penyebaran jenis tumbuhan
yang dominan dalam suatu komunitas. Nilai dan pola penyebaran jenis tersebut
adalah sebagai berikut:
Ip = 0, Jenis tumbuhan memiliki penyebaran acak (random)
Ip > 0, Jenis tumbuhan memiliki penyebaran mengelompok (clumped)
Ip < 0, Jenis tumbuhan memiliki penyebaran merata (uniform).
Ip=-0.5+0.5(

Shoot-root Ratio
Shoot-root ratio dihitung dari kuadrat diameter batang (d2) dan jumlah
kuadrat semua diameter akar (∑dr2, H+Vroots) dari setiap individu pohon (Murniati
2009). Adapun rumus yang digunakan adalah:
Shoot-root ratio=

D2

∑Dr2

Indeks Jangkar Akar (IJA) dan Indeks Cengkeram Akar (ICA)
IJA merupakan perbandingan diameter akar-akar vertikal dan diameter
batang, sedangkan ICA adalah perbandingan antara diameter akar-akar horizontal
dan diameter batang (Hairiah et al. 2008)

IJA =
Ket: IJA
ICA
dv
dh
db

∑DV2

∑DH2

∑DB

∑DB2

2 dan ICA =

: Indeks Jangkar Akar
: Indeks Cengkeram Akar
: Diameter akar vertikal
: Diameter akar horizontal
: Diameter batang

8
Berdasarkan nilai IJA dan ICA, selanjutnya dikelaskan berdasarkan
kategori yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Klasifikasi Nilai Indeks Jangkar Akar (IJA) dan Indeks Cengkeram Akar
(ICA)*
Kelas (Class)
IJA
ICA
Rendah (Low)
3.5
*Sumber: (Hairiah et al. 2008)

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Salah satu di antara sekian banyak kawasan konservasi yang ada di
wilayah Republik Indonesia adalah Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Taman nasional ini ditunjuk berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Republik
Indonesia Nomor : SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004 tentang
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan BantimurungBulusaraung seluas ±43 750 ha terdiri atas Cagar Alam seluas ±10 282.65 ha,
Taman Wisata Alam seluas ±1 642.25 ha, Hutan Lindung seluas ±21 343.10 ha,
Hutan Produksi Terbatas seluas ±145 ha, dan Hutan Produksi Tetap seluas
±10 355 ha terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan
menjadi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung.
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung secara administrasi
terletak di wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkajene Kepulauan
(Pangkep), Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis areal ini terletak antara
119˚ 34’01 17” - 119˚ 55’ 13” Bujur Timur dan antara 4˚ 42’ 49” - 5˚ 06’ 42”
Lintang Selatan. Secara kewilayahan batas-batas TN Bantimurung Bulusaraung
diantaranya adalah sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Baru
dan Bone, sebelah Timur berbasan dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten Bone,
sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Maros, sebelah Barat berbatasan
dengan Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep.
Kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung berbatasan atau
berhimpitan dengan Kabupaten Maros, Kabupaten Pangkep dan Kabupaten Bone.
Kawasan taman nasional ini terletak di dalam 10 wilayah administrasi kecamatan
dan 40 wilayah administrasi kelurahan/ desa.
Berdasarkan perhitungan data curah hujan yang dikumpulkan dari
beberapa stasiun yang ada di sekitar kawasan Taman Nasional, diketahui adanya
empat zona curah hujan, yakni pada wilayah timur masing-masing yaitu curah
hujan 2 250 mm, 2 750 mm, dan pada wilayah barat masing-masing yaitu 3 250
mm dan 3 750 mm. Pada wilayah bagian Selatan terutama bagian yang berdekatan
ibukota Kabupaten Maros, seperti Bantimurung termasuk ke dalam iklim D
(Schmidt dan Ferguson) sedangkan Bengo-Bengo, Karaenta, Biseang Labboro,
Tonasa dan Minasa Te’ne termasuk kedalam iklim tipe C, sementara pada bagian
utara, terutama wilayah Kecamatan Camba dan Mallawa termasuk kedalam tipe B.

9
Ada dua jenis tanah yang keduanya kaya akan kalsium dan magnesium
ditemukan pada kawasan karst Maros-Pangkep. Tanah jenis Rendolls mempunyai
warna kehitaman karena tingginya kandungan bahan organik, ditemukan pada
dasar lembah lereng yang landai, terutama di bagian Selatan dari karst Maros.
Eutropepts merupakan jenis tanah turunan dari Inceptisol, umumnya ditemukan
pada daerah yang mempunyai kelerengan yang terjal dan puncak bukit kapur.
Tanah ini sangat dangkal dan berwarna terang.
Hasil
Komposisi Tegakan
Jumlah Jenis
Ekosistem karst berada di atas batuan gamping (CaCO3) yang komponen
penyusunnya memiliki daya larut yang sangat beragam, banyaknya variasi
topografi, kandungan air permukaan yang relatif sedikit, serta lapisan tanah yang
umumnya tipis sehingga hal ini menyebabkan hanya beberapa jenis tumbuhan
yang mampu hidup di ekosistem tersebut. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan di ekosistem karst di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung,
Resort Pattunuang-Karaenta, didapatkan jumlah jenis yang berbeda-beda pada tiap
lokasi penelitian dan tingkat pertumbuhan. Jumlah jenis yang didapatkan pada
tingkat semai dan tumbuhan bawah yaitu 108 jenis, pada tingkat pancang yaitu
128 jenis, pada tingkat tiang yaitu 63 jenis dan pada tingkat pohon yaitu 78 jenis.
Secara rinci jenis-jenis tumbuhan yang ditemukan dapat dilihat pada Lampiran 2.
Jumlah jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan di tiap-tiap lokasi penelitian
dapat dilihat di Gambar 2.
=Dasar
60

=Lereng
gg

=Puncak dengan
Sedikit Tanah

=Puncak dengan
Banyak Tanah

Jumlah Jenis

50
40
30
20
10
0
Semai dan Tumbuhan
Bawah

Pancang

Tiang

Pohon

Gambar 2 Jumlah jenis tumbuhan pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman
Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta
Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa, jumlah jenis tingkat
pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah terbanyak terdapat pada lokasi lereng
yaitu 44 jenis, jumlah jenis tingkat pertumbuhan pancang terbanyak terdapat pada
lokasi puncak dengan sedikit tanah yaitu 57 jenis, jumlah jenis tingkat
pertumbuhan tiang terbanyak terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah

10
yaitu 22 jenis dan jumlah jenis tingkat pertumbuhan pohon terbanyak terdapat
pada lokasi puncak dengan sedikit tanah yaitu 35 jenis.
Indeks Kekayaan Jenis (R1)
Jumlah jenis tumbuhan yang telah diketahui berdasarkan pengamatan yang
telah dilakukan kemudian dikaitkan dengan indeks kekayaan jenis Margalef (R1).
Gambar 3 menyajikan hasil perhitungan nilai R1 pada berbagai tingkat
pertumbuhan di lokasi penelitian.
=Dasar

=Lereng

=Puncak dengan
Sedikit Tanah

=Puncak dengan
Banyak Tanah

Indeks Kekayaan Jenis

12,00
10,00
8,00
6,00
4,00
2,00
0,00
Semai dan
Tumbuhan Bawah

Pancang

Tiang

Pohon

Gambar 3 Indeks kekayaan jenis (R1) pada berbagai tingkat pertumbuhan di
Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta
Pada Gambar 3 dapat dilihat bahwa tingkat pertumbuhan semai dan
tumbuhan bawah, lokasi lereng memiliki nilai R1 tertinggi yaitu 7.57. sedangkan
pada tingkat pertumbuhan pancang, tiang, dan pohon, nilai R1 tertinggi terdapat
pada lokasi puncak dengan sedikit tanah dengan nilai masing-masing yaitu 11.42,
6.24, 7.57. Kekayaan jenis dengan nilai tergolong sedang hanya ditemukan di
tingkat pertumbuhan tiang pada lokasi dasar dan puncak dengan tanah banyak
serta di tingkat pertumbuhan pohon pada lokasi dasar. Nilai R1 yang terdapat di
lokasi penelitian pada berbagai tingkat pertumbuhan lainnya tergolong memiliki
nilai yang tinggi. Huston (1979) dalam Leps (2005) menggambarkan kebanyakan
gangguan yang terjadi menyebabkan kerusakan berlebih terhadap jenis dominan,
bahkan akibat gangguan yang sederhana, proporsi kehilangan keberadaan jenis
tinggi (pohon) itu lebih dari proporsi kehilangan jenis yang lebih rendah atau
tumbuhan bawah.
Dominansi Jenis (INP)
Berdasarkan hasil analisis vegetasi dapat diketahui Indeks Nilai Penting
(INP) jenis tumbuhan tertinggi pada berbagai tingkat tumbuhan di lokasi
penelitian. Sutisna (1981) dalam Hafazallah (2014) menyatakan bahwa suatu jenis
memiliki peranan yang besar dalam komunitas apabila nilai INP jenis tersebut
lebih dari 10% untuk tingkat semai dan pancang, atau 15% untuk tingkat tiang dan
pohon. Jenis yang memiliki peranan utama dalam mengendalikan suatu komunitas
berdasarkan ukurannya, jumlah, produktivitas atau hal lainnya disebut sebagai

11
dominan (Misra 1980). Tabel 2 menyajikan lima nilai INP tertinggi pada tingkat
semai dan tumbuhan bawah di berbagai lokasi penelitian.
Tabel 2 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat semai dan
tumbuhan bawah di berbagai lokasi penelitian
Nama Jenis
Donax canniformis
Cibatium sp.
Clinacanthus nutans
Aphanamixis polystachya
Arenga pinnata
Neuburgia celebica
Codiaeum variegatum
Ficus sp1.
Pterospermum celebicum
Leea indica
Strobilanthes celebica
Clerodendrum sp
Caryota mitis
Calamus cf. koordersianus
Neuburgia celebica
Psychotria sp.

Dasar
17.63a)
15.31b)
14.64
14.29
11.65
-

Indeks Nilai Penting (%)
Lereng
PU
17.18a)
14.40b)
12.90
12.30
11.48
27.52a)
17.83b)
14.73
12.79
11.24
-

PB
16.84
16.84
22.66a)
20.94b)
16.33

PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah; a) Jenis dominan; b) Jenis
kodominan.

Berdasarkan Tabel 2, jenis D. canniformis mendominasi di daerah dasar
dan lereng, sedangkan jenis P. celebicum mendominasi lokasi puncak dengan
sedikit tanah dan jenis C. koordersianus mendominasi lokasi puncak dengan
banyak tanah. Tabel 3 menyajikan lima nilai INP pada tingkat pancang.
Tabel 3 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat pancang di
berbagai lokasi penelitian
Nama Jenis
Leea indica
Strobilanthes celebica
Phaleria capitata
Aphanamixis polystachya
Actinodaphne angustifolia
Codiaeum variegatum
Dracontomelon dao
Siphonodon celastrineus
Knema cinerea
Planchonella nitida
Drypetes neglecta
Ardisia elliptica
Cleistanthus myrianthus
Psychotria sp.
Endiandra rubescens

Dasar
18.46 a)
14.74 b)
11.31
10.50
7.96
-

Indeks Nilai Penting (%)
Lereng
PU
14.94 b)
19.24 a)
10.60
8.70
10.60
9.16
15.15 a)
9.19 b)
8.44
8.44
-

PB
9.91
18.88 b)
13.74
28.53 a)
10.87

PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah; a) Jenis dominan; b) Jenis
kodominan.

12
Tabel 3 menunjukkan bahwa pada lokasi dasar, L. indica merupakan jenis
yang kerap ditemukan atau dominan di tingkat pancang. Pada lokasi lereng, C.
variegatum merupakan jenis dominan dengan nilai INP tertinggi. L. indica juga
merupakan jenis kodominan di lokasi lereng. Pada lokasi puncak dengan sedikit
tanah, P. nitida merupakan jenis yang dominan, sedangkan pada lokasi puncak
banyak tanah, Psychotria sp. merupakan jenis yang dominan. Lima nilai INP
tertinggi pada tingkat tiang di berbagai lokasi penelitian disajikan di Tabel 4.
Tabel 4 Lima nilai indeks nilai penting (INP) tertinggi pada tingkat tiang di
berbagai lokasi penelitian
Nama Jenis
Lagerstroemia ovalifolia
Litsea forstenii
Pisonia umbellifera
Mallotus floribundus
Ficus congesta
Palaquium obovatum
Ficus sp.1
Spathodea campanulata
Schefflera polybotrya
Pimeleodendron amboinicum
Cordia sp.
Cleistanthus myrianthus
Drypetes neglecta
Dracontomelon dao
Macaranga involucrata
Baccaurea javanica
Villebrunea rubescens
Diospyros celebica
Aphanamixis polystachya
Morinda citrifolia

Dasar
44.24 a)
29.28 b)
27.45
25.61
24.21
-

Indeks Nilai Penting (%)
Lereng
PU
PB
47.75 a)
25.76 b)
23.33
23.20
14.61
-

34.54 a)
23.45 b)
21.63
21.04
20.26
-

36.25 a)
33.41 b)
30.60
26.57
21.20

PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah; a) Jenis dominan; b) Jenis
kodominan.

Berdasarkan Tabel 4, diketahui bahwa jenis-jenis yang mendominasi pada
berbagai lokasi penelitian merupakan jenis-jenis yang berbeda atau tidak
ditemukannya jenis yang mampu mendominasi lebih dari satu lokasi. Pada lokasi
dasar, jenis yang mendominasi ialah L. ovalifolia dengan nilai INP sebesar
44.24%. Pada lokasi lereng, jenis yang mendominasi ialah P. obovatum dengan
nilai INP sebesar 47.75%. Pada lokasi puncak dengan sedikit tanah, jenis yang
mendominasi ialah Cordia sp. dengan nilai INP sebesar 34.54% dan pada lokasi
puncak dengan banyak tanah jenis yang mendominasi ialah B. javanica dengan
nilai INP sebesar 36.25%. Pada tingkat pohon, lima nilai INP tertinggi disajikan
di Tabel 5.

13
Tabel 5 Lima Nilai Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada tingkat pohon di
berbagai lokasi penelitian
Nama Jenis
Dracontomelon dao
Spathodea campanulata
Alstonia scholaris
Millingtonia hortensis
Vatica rassak
Palaquium obovatum
Litsea mappacea
Pterospermum celebicum
Artocarpus elasticus
Bischofia javanica
Pterocarpus indicus
Melochia umbellata
Pterocymbium tinctorium
Aleurites moluccana
Vitex cofassus
Polyscias nodosa
Albizia saponaria

Dasar
3 37.52a)
30.97b)
26.96
26.70
24.82
-

Indeks Nilai Penting (%)
Lereng
PU
34.23
55.35 a)
b)
34.78
27.50
40.06 a)
19.49
29.41 b)
25.88
19.76
17.90
-

PB
32.66 b)
72.59 a)
19.36
15.35
13.92

PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah; a) Jenis dominan; b) Jenis
kodominan.

Data Tabel 5 menunjukkan bahwa pada lokasi dasar, jenis D. dao
memiliki nilai INP tertinggi (37.52%) dan jenis S. Campanulata merupakan jenis
kodominan dengan nilai INP yaitu 30.97%. Pada lokasi lereng, jenis P. obovatum
memiliki nilai INP tertinggi (55.35%) dan jenis L. mappacea merupakan jenis
kodominan dengan nilai INP yaitu 34.78%. Pada lokasi puncak dengan sedikit
tanah, jenis P. celebicum memiliki nilai INP tertinggi (40.06%) dan juga
merupakan jenis kodominan pada lokasi puncak dengan banyak tanah dengan
nilai INP yaitu 32.66%. Jenis B. javanica merupakan jenis kodominan pada lokasi
puncak dengan sedikit tanah dengan nilai INP yaitu 29.41%. Pada lokasi puncak
dengan banyak tanah, jenis dominannya ialah jenis A. moluccana dengan nilai
INP (72.59%).
Indeks Dominansi (C)
Indeks dominansi (C) memiliki keterkaitan terhadap keanekagaman jenis
di dalam komunitas. Sebagai contoh, jika hanya terdapat dua individu di dalam
komunitas yang termasuk dengan jenis yang sama, maka keanekaragaman dalam
komunitas tersebut tergolong rendah (Ludwig dan Reynolds 1988). Pada hutan
tropis, terdapat banyak jenis yang mampu mendominasi di hutan tersebut (Odum
1993). Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, didapatkan nilai indeks
dominansi (C) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah dalam
lokasi penelitian yang disajikan pada Gambar 4.

14

Indeks dominansi

=Dasar

=Lereng

=Puncak dengan
Sedikit Tanah

=Puncak dengan
Banyak Tanah

0,10
0,09
0,08
0,07
0,06
0,05
0,04
0,03
0,02
0,01
0,00
Semai dan Tumbuhan
Bawah

Pancang

Tiang

Pohon

Gambar 4 Indeks Dominansi (C) pada berbagai tingkat pertumbuhan di Taman
Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta
Berdasarkan Gambar 4, nilai indeks dominansi (C) pada berbagai tingkat
tumbuhan dalam lokasi penelitian tergolong rendah atau mendekati nilai nol.
Sehingga hal ini dapat menggambarkan bahwa hampir tidak terdapat pemusatan
oleh suatu jenis.
Indeks Keanekaragaman Jenis (H’)
Analisis data yang dilakukan selanjutnya ialah mengenai keanekaragaman
jenis (H’) di lokasi penelitian. Gambar 5 menyajikan nilai indeks keanekaragaman
jenis (H’) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi
penelitian.

Indeks Keankeragaman Jenis

=Dasar

=Lereng

=Puncak dengan
Sedikit Tanah

=Puncak dengan
Banyak Tanah

4,00
3,50
3,00
2,50
2,00
1,50
1,00
0,50
0,00
Semai dan Tumbuhan
Bawah

Pancang

Tiang

Pohon

Gambar 5 Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada berbagai tingkat pertumbuhan
di Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta
Berdasarkan data pada Gambar 5, umumnya keanekaragaman jenis pada
berbagai tingkat pertumbuhan di lokasi penelitian tergolong tinggi (H’ > 3). Nilai
H’ tergolong sedang (2 < H’ < 3) terdapat pada beberapa lokasi di antaranya yaitu
dasar dengan tingkat tiang dan pohon, lereng dengan tingkat tiang dan pohon serta
puncak dengan banyak tanah pada tingkat semai dan tumbuhan bawah serta tiang.

15
Indeks Kemerataan Jenis (E)
Kemerataan jenis menunjukkan kelimpahan suatu jenis terdistribusi
diantara jenis-jenis lainnya. Gambar 6 menyajikan nilai indeks kemerataan jenis
(E) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian.
=Dasar

=Lereng

=Puncak dengan
Sedikit Tanah

=Puncak dengan
Banyak Tanah

Indeks Kemerataan Jenis

1,20
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
Semai dan Tumbuhan
Bawah

Pancang

Tiang

Pohon

Gambar 6 Indeks Kemerataan Jenis (E) pada berbagai tingkat pertumbuhan di
Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort PattunuangKaraenta
Berdasarkan Gambar 6, pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan
bawah di lokasi penelitian, memiliki tingkat kemerataan jenis yang tergolong
tinggi (E > 0,6). Nilai kemerataan jenis tertinggi terdapat pada lokasi puncak
dengan sedikit tanah dengan tingkat pertumbuhan tiang.
Koefisien kesamaan komunitas (IS)
Koefisien kesamaan komunitas (IS) menggambarkan tingkat kesamaan
relatif dari komposisi jenis dan struktur antara dua komunitas yang dibandingkan.
Hasil perhitungan nilai IS pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan
bawah di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Nilai Koefisien Kesamaan Komunitas (IS) pada berbagai tingkat
pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian
Habitus
Semai dan
Tumbuhan bawah

Lokasi
Dasar
Lereng
PU

Lereng
30.76

PU
26.75
30.64

PB
46.12
31.22
33.89

Pancang

Dasar
Lereng
PU

24.92

22.83
22.44

20.96
22.02
26.00

Tiang

Dasar
Lereng
PU

13.51

10.22
15.50

10.36
21.28
4.32

Pohon

Dasar
Lereng
PU

49.34

23.78
32.89

27.55
30.56
42.91

PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah

16
Nilai IS berkisar antara 0-100% yang berarti bahwa semakin tinggi nilai IS,
maka komposisi jenis diantara dua komunitas yang dibandingkan semakin sama.
Berdasarkan Tabel 5, vegetasi yang terdapat di Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, Resort Pattunuang mempunyai komunitas tumbuhan yang berbeda
antara satu dengan lainnya. Nilai IS tertinggi terdapat pada komunitas antara dasar
dan lereng di tingkat pertumbuhan pohon.
Struktur Tegakan
Struktur Horizontal
Meyer et al. (1961) memakai istilah struktur tegakan untuk menerangkan
sebaran jumlah pohon per satuan luas (hektar) dalam berbagai kelas diameternya,
dalam hal ini merupakan struktur tegakan horizontal. Tabel 7 menyajikan nilai
kerapatan (ind/ha) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di
lokasi penelitian.
Tabel 7 Nilai kerapatan (ind/ha) pada berbagai tingkat pertumbuhan dan
tumbuhan bawah di lokasi penelitian
Lokasi
No Tingkat Pertumbuhan
Dasar
Lereng
PU
PB
(ind/ha)
(ind/ha)
(ind/ha)
(ind/ha)
1
Semai dan tumbuhan
50 166.67 49 000.00 43 000.00 32 500.00
bawah
2
Pancang
2 106.67
2 773.33
3 600.00
4 373.33
3
Tiang
206.67
173.33
193.33
200.00
4
Pohon
55.00
75.00
148.33
140.00
PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah

Berdasarkan data pada Tabel 7, nilai hasil kerapatan individu (ind/ha)
tertinggi terdapat pada lokasi dasar dengan tingkat pertumbuhan semai yaitu dan
tumbuhan bawah 50 166.67 (ind/ha) serta tingkat tiang yaitu 206.67 (ind/ha).
Sedangkan pada tingkat pancang, nilai tertinggi terdapat pada lokasi puncak
dengan banyak tanah 4 373.33 (ind/ha). Pada tingkat pohon, nilai kerapatan
individu (ind/ha) tertinggi terdapat pada lokasi puncak dengan sedikit tanah yaitu
148.33 (ind/ha). Jumlah pohon yang tersebar dalam kelas diameter terkecil dan
jumlahnya menurun seiring dengan bertambahnya ukuran sehingga hanya tersisa
sedikit pohon-pohon yang berdiameter besar (Daniel et al. 1987).
Stratifikasi Tajuk
Stratifikasi tajuk dapat digunakan untuk melihat pola pemanfaatan cahaya
serta dapat pula digunakan untuk melihat jenis-jenis pohon dominan dan jenisjenis pohon yang dapat tumbuh di bawah naungan (toleran) (Mulyasana 2008).
Metode yang diperkenalkan pertama kali dalam mendeskripsikan stratifikasi
vegetasi hutan adalah oleh Richards (1934) dalam Khersaw (1973). Menurut
Richards (1964), hutan tropis biasanya dibagi kedalam lima lapisan A, B, C, D
dan E. Gambar 8 merupakan stratifikasi tajuk pada berbagai lokasi penelitian di
Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta.

17
Keterangan:
1, 4. Alstonia
scholaris
2. Dracontomelon
dao
3, 5. Kleinhovia
hospita
6. Ficus ribes
7. Chisocheton
ceramicus
8. Arthocarpus
heterophyllus
9. Glycosmis
pentaphylla
10. Litsea forstenii

(a)
Keterangan:
1, 11. Palaquium
obovatum
2. Pimelodendron
amboinicum
3, 4, 5. Litsea
mappacea
6. Lagerstroemia
ovalifolia
7. Syzygium sp.1
8, 9. Myristica
impressa
10. Belalambasi
11. Palaquium
obovatum
12, 13. Celtis
philippensis
14, 17. Spathodea
campanulata
15. Kleinhovia hospita
16. Spondias pinnata

(b)

18
Keterangan:
1. Mallotus floribundus
2. Polyscias nodosa
3. Unidet. 1
4, 5, 7, 9, 10, 14, 20.
Pterospermum celebicum
6. Schefflera polybotrya
8. Buchanania arborescens
11, 12, 15. Pterocarpus
indicus
13, 16, 17, 22. Cordia sp.
18. Dracontomelon dao
19. Albizia saponaria
21. Carallia brachiata
23. Sterculia insularis
24. Melochia umbellata
25. Bridelia insulana
26. Ficus septica

(c)

Keterangan:
1, 9, 12, 14, 15, 18. Aleurites
moluccana
2, 11, 13, 16, 22.
Villebrunea rubescens
3. Harpulia cupanoides
4. Albizia saponaria
5, 7. Pterospermum
celebicum
6. Pterocarpus indicus
8, 10. Cryptocarya
zollingeriana
17. Baccaurea javanica
19. Ficus ribes
20. Antiaris toxicaria
21. Myristica elliptica
23. Leea aculeata
24. Vitex cofassus
25. Polyalthia celebica
26. Toona sureni
27. Arthocarpus elasticus

(d)
Gambar 7 Diagram profil tajuk pada berbagai lokasi penelitian di Taman Nasional
Bantimurung-Bulusaraung, Resort Pattunuang-Karaenta. (a) dasar, (b)
lereng, (c) puncak dengan sedikit tanah, (d) puncak dengan banyak
tanah

19
Berdasarkan hasil pengamatan yang disajikan pada Gambar 7, secara
keseluruhan di berbagai lokasi penelitian tergolong memiliki 4 stratum yaitu
stratum B, stratum C, stratum D, dan stratum E. Pada lokasi dasar, jenis Alstonia
scholaris, Arthocarpus heterophyllus, dan Kleinhovia hospita merupakan jenis
yang terdapat pada lapisan teratas dan tergolong kedalam stratum B, C, D, dan E
walaupun stratum B dan C di lokasi dasar tidak memiliki jumlah pohon yang
banyak. Pada lokasi lereng, jenis Litsea mappacea, L. ovalifalia, Belalambasi, dan
C. philippensis merupakan jenis yang terdapat pada lapisan teratas. Pada lokasi
puncak dengan sedikit tanah, P. celebicum merupakan jenis yang kerap kali
ditemukan terutama pada stratum B dan C. Pada lokasi puncak dengan banyak
tanah, jenis A. Moluccana merupakan jenis yang ditemukan pada stratum B dan C
dan juga jenis yang melimpah di tingkat pertumbuhan pohon.
Pola Penyebaran Individu Jenis
Hulrbert (1990) menyatakan bahwa indeks Morisita merupakan salah satu
indeks penyebaran terbaik. Tabel 8 menyajikan pola penyebaran individu jenis
pada berbagai tingkat pertumbuhan dan tumbuhan bawah di lokasi penelitian.
Tabel 8 Pola penyebaran individu jenis pada berbagai tingkat pertumbuhan dan
tumbuhan bawah di lokasi penelitian
Habitus

Lokasi

Jenis Dominan

Se dan Tb

Dasar
Lereng
PU
PB
Dasar
Lereng
PU
PB
Dasar
Lereng
PU
PB
Dasar
Lereng
PU
PB

D. canniformis
D. canniformis
P. celebicum
C. koordersianus
L. indica
C. variegatum
P. nitida
Psychotria sp.
L. ovalifolia
P. obovatum
Cordia sp.
B. javanica
D. dao
P. obovatum
P. celebicum
A. moluccana

Pancang

Tiang

Pohon

Indeks
Morisita
0.58
0.57
0.53
1.00
0.54
0.71
0.38
0.50
0.73
-0.18
1.00
0.62
-0.18
0.50
0.54
0.51

Pola Penyebaran
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok
Merata
Mengelompok
Mengelompok
Merata
Mengelompok
Mengelompok
Mengelompok

Se dan Tb: semai dan tumbuhan Bawah; PB: puncak dengan banyak tanah; PU: puncak dengan
sedikit tanah

Berdasarkan data pada Tabel 8, di lokasi penelitian pada berbagai tingkat
pertumbuhan serta tumbuhan bawah, umumnya memiliki pola penyebaran secara
mengelompok. Pola penyebaran secara merata hanya ditemukan pada jenis P.
obovatum di lokasi lereng dengan tingkat pertumbuhan tiang dan jenis D. dao di
lokasi dasar dengan tingkat pertumbuhan pohon. Pola penyebaran dikatakan
mengelompok apabila memiliki nilai Indeks Morisita > 0, sedangkan dikatakan
merata apabila memiliki nilai Indeks Morisita < 0.

20
Distribusi Perakaran
Shoot-root Ratio
Analisis data selanjutnya yang dilakukan ialah perhitungan Shoot-root
ratio. Shoot-root ratio digunakan untuk mengetahui apakah pohon melakukan
pertumbuhan di bagian atas (batang) atau bagian bawah (akar). Tabel 9
menyajikan nilai Shoot-root ratio pada jenis Pterospermum celebicum di berbagai
lokasi penelitian.
Tabel 9 Nilai Shoot-root ratio pada P. celebicum di berbagai lokasi penelitian
Shoot-root ratio

Lokasi
Dasar
Lereng
Puncak dengan sedikit tanah
Puncak dengan banyak tanah

0.477 ± 0.035
0.490 ± 0.144
0.615 ± 0.295
0.829 ± 0.381

Berdasarkan data pada Tabel 9, diketahui bahwa di lokasi dasar memiliki
nilai Shoot-root ratio terendah (0.477). Hal ini menunjukkan bahwa, jenis P.
celebicum pada lokasi dasar lebih melakukan pertumbuhan di bagian penampang
melintang akar. Shoot-root ratio tertinggi (0.829) terdapat pada lokasi puncak
dengan banyak tanah. Hal ini menunjukkan bahwa, jenis P. celebicum pada lokasi
puncak dengan banyak tanah lebih melakukan pertumbuhan di bagian batang.
Indeks Jangkar Akar (IJA) dan Indeks Cengkeram Akar (ICA)
Nilai IJA dan ICA merupakan nilai yang digunakan untuk
menggambarkan distribusi perakaran. Nilai IJA digunakan untuk mengetahui
kondisi perakaran vertikal, sedangkan perakaran horizontal didekati menggunakan
nilai ICA. Tabel 10 menyajikan Nilai IJA dan ICA P. celebicum di berbagai lokasi
penelitian.
Tabel 10 Nilai indeks jangkar akar (IJA) dan indeks cengkeram akar (ICA) pada P.
celebicum di berbagai lokasi penelitian
Lokasi
Dasar
Lereng
PU
PB

IJA
0.411 ± 0.224
0.712 ± 0.310
1.167 ± 0.316
0.325 ± 0.252

Kategori
Sedang
Sedang
Tinggi
Sedang

ICA
1.693 ± 0.383
1.471 ± 1.031
0.695 ± 0.507
1.150 ± 0.642

Kategori
Sedang
Rendah
Rendah
Rendah

PU: puncak dengan sedikit tanah; PB: puncak dengan banyak tanah

Berdasarkan analisis data IJA dan ICA pada Tabel 10, P. celebicum
memiliki nilai IJA dengan kategori tinggi (1.167) pada lokasi puncak dengan
sedikit tanah, sedangkan pada lokasi lain memiliki nilai yang sedang. Hal ini
menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut, akar pada jenis P. celebicum cenderung
melakukan pertumbuhan pada akar vertikal yang relatif besar dan akar horizontal
secara cukup. Nilai ICA pada lokasi dasar memiliki nilai dengan kategori sedang
(1.693) sedangkan pada lokasi lainnya memiliki nilai dengan kategori rendah. Hal
ini menunjukkan bahwa pada lokasi tersebut, akar pada jenis P. celebicum
cenderung melakukan pertumbuhan pada akar horizontal yang relatif besar dan
akar vertikal secara cukup.

21
Pembahasan
Jumlah jenis
Pada tingkat pertumbuhan semai dan tumbuhan bawah, jumlah jenis
terbanyak terdapat pada lokasi lereng yaitu 44 jenis. Pada