Identifikasi Struktur Sekretori Dan Analisis Histokimia Serta Fitokimia Tumbuhan Obat Anti-Infeksi Di Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi.

IDENTIFIKASI STRUKTUR SEKRETORI DAN ANALISIS HISTOKIMIA
SERTA FITOKIMIA TUMBUHAN OBAT ANTI-INFEKSI DI KAWASAN
TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS JAMBI

DARIUS RUPA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi Struktur
Sekretori dan Analisis Histokimia serta Fitokimia Tumbuhan Obat Anti-Infeksi di
Kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas Jambi adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015
Darius Rupa
NRP G353120041

RINGKASAN
DARIUS RUPA. Identifikasi Struktur Sekretori dan Analisis Histokimia serta
Fitokimia Tumbuhan Obat Anti-Infeksi di Kawasan Taman Nasional Bukit
Duabelas Jambi. Dibimbing oleh DIAH RATNADEWI, DORLY dan YOHANA
C SULISTYANINGSIH.
Ekosistem hutan alam tropika di Indonesia berperan sebagai sumber
berbagai spesies tumbuhan obat yang dimanfaatkan sebagai pemelihara kesehatan
dan pengobatan berbagai macam penyakit yang diderita oleh masyarakat. Taman
Nasional Bukit Duabelas (TNBD) merupakan salah satu hutan hujan tropis
dataran rendah di Provinsi Jambi yang menyediakan keanekaragaman tumbuhan
obat. Suku Anak Dalam, masyarakat asli yang telah mendiami hutan TNBD,
menggunakan tumbuhan sebagai obat untuk memelihara kesehatan dan mengobati
penyakit. Tumbuhan obat umumnya memiliki struktur sekretori yang berfungsi
dalam produksi atau akumulasi berbagai metabolit. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui jenis dan letak struktur sekretori, menentukan kandungan senyawa

metabolit dalam struktur sekretori tersebut dan untuk mengidentifikasi kandungan
senyawa metabolit secara kualitatif pada organ yang digunakan sebagai bahan
obat.
Delapan tumbuhan anti-infeksi dipilih sebagai bahan obat ini yaitu Hyptis capitata
Jacq., Sonerila obliqua Korth., Piper porphyrophyllum., Peronema canescens Jack,
Spatholobus ferrugineus (Zoll. & Moritzi.) Benth., Leuconotis eugenifolius A. DC.,
Centotheca lappacea (L.) Desv., and Cayratia cf. geniculata (Blume) Gagnep.
Identifikasi struktur sekretori menggunakan mikroskop cahaya dan Scanning
Electron Microscope (SEM). Reagen Wagner, kupri asetat and pewarna sudan IV
digunakan untuk analisis histokimia. Analisis fitokimia menggunakan GC-MS
pirolisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa trikoma kelenjar adalah struktur
sekretori yang paling umum dijumpai pada organ tumbuhan yang diamati. Sel
idioblas dijumpai di P. porphyrophyllum, C. cf. geniculata dan umbi C. lappaceae.
Saluran sekretori dijumpai di batang L. eugenefolius dan S. ferrugineus. Trikoma
kelenjar umumnya mengandung senyawa lipofilik alkaloid, dan terpenoid. Sel
idioblas umumnya mengandung senyawa terpenoid. Rongga sekretori
mengandung senyawa lipofilik dan terpenoid. Pada saluran sekretori batang L.
eugenifolius mengandung senyawa lipofilik.
Hasil analisis GC-MS menunjukkan adanya senyawa alkaloid, terpenoid,
asam lemak dan fenolat. Senyawa fitokimia seperti limonena dijumpai pada daun

H. capitata, S. obliqua, P. porphyrophyllum, and C. cf. geniculata. Senyawa
nerolidol, eugenol dan asam oleat dijumpai pada daun H. capitata. Senyawa
neopitadiena ditemukan di daun H. capitata. dan C. cf. geniculata. Asam palmitat
dijumpai pada daun S. obliqua, P. porphyrophyllum, C. cf. geniculata, tubers C.
lappacea, and kulit batang S. ferrugineus. Isoeugenol dijumpai pada umbi C.
lappacea dan batang L. eugenifolius. Tektokrisin dijumpai pada daun P.
Porphyrophyllum; senyawa berupa hidrokuinon dan vanilin dijumpai pada P.
canescens. Senyawa-senyawa tersebut diduga kuat memiliki peran penting dalam
penyembuhan luka atau infeksi dan berfungsi pula sebagai agen ant-mikroba.
Kata kunci: tumbuhan obat, fitokimia, struktur sekretori

SUMMARY
DARIUS RUPA. Identification of Secretory Structure, Histochemical and
Phytochemical Analysis of Anti-Infection Medicinal Plants in the Bukit Duabelas
National Park of Jambi. Supervised by DIAH RATNADEWI, DORLY dan
YOHANA C SULISTYANINGSIH.
Tropical natural forest ecosystems in Indonesia serves as the source of
species of medicinal plants that are used as health mantenance and treatmens for
various deseases by the community. The Bukit Duabelas National Park of Jambi
(TNBD) is one of the tropical lowland rain forest in Jambi province that provides

diversity of medicinal plants. Anak Dalam tribe is indigenous inhabitants of the
forest of TNBD. They used plants to protect against and cure from diseases
treatment. Most medicinal plants have secretory structures in their organs that
function in the production or accumulation of secondary metabolites. The aims of
this study was to determine the type and location of secretory structures and, the
metabolite content in those secretory structures and to identify qualitatively the
metabolites existed in the organs that are used as medicine.
Eight anti-infection medicinal plants species have been selected i.e Hyptis
capitata Jacq., Sonerila obliqua Korth., Piper porphyrophyllum, Peronema canescens
Jack, Spatholobus ferrugineus (Zoll. & Moritzi.) Benth., Leuconotis eugenifolius A.
DC., Centotheca lappacea (L.) Desv., and Cayratia cf. geniculata (Blume) Gagnep.
To identify the secretory structures, we used light microscope and scanning
electron microscope (SEM). Wagner reagent, cupric acetate and sudan IV staining
were used for histochemical analysis. Analysis of phytochemical compounds was
conducted using GC-MS Pyrolisis. The results showed that glandular trichomes,
the most common structure was found in all plant organs observed. Idioblast cells
were found in the leaves of P. porphyrophyllum, C. cf. geniculata. and the tuber of
C. lappaceae. Secretory ducts were found in the stem of L. eugenefolius and S.
ferrugineus. Most of glandular trichomes contained alkaloid, terpenoid and
lipophilic compounds. Generally, idioblast cells contained terpenoid, secretory

cavities had terpenoid and lipophilic compounds. Lipophilic compound was also
found in the secretory ducts (laticifer) of the stem pith of L. eugenifolius A. DC.
GC-MS analysis revealed the presence of alkaloid, terpenoid, fatty acid
and phenolic compounds. Phytochemical compound limonene was found in the
leaves of H. capitata, S. obliqua, P. porphyrophyllum, and C. cf. geniculata.
Compounds such as nerolidol, eugenol and oleic acid were detected in the leaves
of H. capitata Jacq.; neophytadiene in the leaves of H. capitata and C. cf.
geniculata; palmitic acid in the leaves of S. obliqua, P. porphyrophyllum, C. cf.
geniculata, in the tuber of C. lappacea, and in the bark of S. ferrugineus.
Isoeugenol was identified in the tuber of C. lappacea and the stem of L.
eugenifolius; tectochrysin in the leaves of P. porphyrophyllum and hydroquinone
as well as vanillin were found in P. canescens. Those compounds allegedly
important roles in the process of wound or infection healing and also act as antimicrobial agents.
Key words: medicinal plants, phytocompounds, secretory
structure

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

IDENTIFIKASI STRUKTUR SEKRETORI DAN ANALISIS HISTOKIMIA
SERTA FITOKIMIA TUMBUHAN OBAT ANTI-INFEKSI DI KAWASAN
TAMAN NASIONAL BUKIT DUABELAS JAMBI

DARIUS RUPA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Mohamad Rafi, MSi

Judul Tesis : Identifikasi Struktur Sekretori dan Analisis Histokimia serta
Fitokimia Tumbuhan Obat Anti-Infeksi di Kawasan Taman
Nasional Bukit Duabelas Jambi
Nama
: Darius Rupa
NIM
: G353120041
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Yuliana Maria Diah Ratnadewi, DEA
Ketua

Dr Ir Dorly, MSi
Anggota


Dr Dra Yohana C Sulistyaningsih, MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biologi Tumbuhan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Miftahudin, MSi

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Agustus 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2013 ini ialah tumbuhan obat,
dengan judul Identifikasi Struktur Sekretori dan Analisis Histokimia serta
Fitokimia Tumbuhan Obat Anti-Infeksi di Kawasan Taman Nasional Bukit
Duabelas Jambi.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Prof Dr Ir Diah Ratnadewi, DEA,
Dr Ir Dorly, MSi dan Dr Dra Yohana C Sulistyaningsih, MSi selaku pembimbing,
serta Bapak Dr Mohamad Rafi, SSi, MSi selaku penguji luar komisi. Di samping
itu, penulis ucapkan terima kasih kepada Dr Dra Nunik Sri Ariyanti, MSi yang
telah membantu identifikasi tumbuhan. Terima kasih kepada Institut Pertanian
Bogor (IPB) dengan Goettingen University-Jerman melalui pendanaan kerjasama
Institut Pertanian Bogor (IPB) dengan Goettingen University-Jerman melalui
Collaborative Research Centre (CRC) 990 Start Up Project tahun 2012 dan
terima kasih kepada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yang
telah mendanai penelitian ini melalui Bantuan Operasional Perguruan Tinggi
Negeri (BOPTN) tahun 2013. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
ayah, ibu, istri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, November 2015
Darius Rupa

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

1 PENDAHULUAN

1


2 TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan Obat
Struktur Sekretori
Histokimia
Fitokimia

2
2
3
4
4

3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penyiapan Bahan Tumbuhan dari Lapang
Pembuatan Sediaan Mikroskopis
Analisis Histokimia
Pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM)
Pengamatan Struktur Sekretori
Analisis Senyawa Fitokimia

5
5
5
6
6
6
6
7

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Pembahasan

7
7
22

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

28
28
28

DAFTAR PUSTAKA

29

LAMPIRAN

37

RIWAYAT HIDUP

41

DAFTAR TABEL
1 Tumbuhan obat terpilih dan pemanfaatannya oleh Suku Anak Dalam
2 Struktur skretori yang dijumpai pada bagian organ tumbuhan yang
diamati
3 Ukuran dan kerapatan trikoma kelenjar pada sisi adaksial dan abaksial
daun
4 Ukuran panjang tangkai, panjang kepala, lebar kepala dan kerapatan
trikoma kelenjar pada kulit batang P. canescens dan S. ferrugineus
5 Bentuk, ukuran dan kerapatan sel idioblas pada daun H. capitata, C. cf.
geniculata, P. porphyrophyllum dan umbi C. lappacea
6 Keberadaan senyawa fitokimia pada struktur sekretori

7
8
11
12
13
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21

Morfologi tumbuhan obat yang diteliti
Trikoma kelenjar pada daun H. capitata
Sel idioblas pada irisan melintang daun H. capitata
Trikoma kelenjar S. obliqua
Trikoma kelenjar dan sel idioblas pada daun P. porphyrophyllum
Trikoma kelenjar pada kulit batang P. canescens
Struktur sekretori S. ferrugineus menggunakan mikroskop cahaya
Saluran sekrtori pada batang L. eugenifolius
Sel idioblas pada irisan melintang umbi C. lappacea
Rongga sekretori dan sel idioblas pada daun C. cf. geniculata
Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun H. capitata
Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun S. oblique
Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun P. porphyrophyllum
Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada kulit batang P. canescens
Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada kulit batang S. ferrugineus.
Hasil uji histokimia rongga sekretori pada irisan melintang daun C. cf.
geniculata
Hasil uji histokimia sel idioblas pada daun H. capitata
Hasil uji histokimia sel idioblas pada umbi C. lappacea
Hasil uji histokimia sel idioblas pada daun P. porphyrophyllum
Hasil uji histokimia saluran sekretori pada irisan melintang batang S.
ferrugineus
Hasil uji histokimia saluran sekretori pada irisan melintang batang L.
eugenifolius

8
9
9
10
10
11
12
12
13
13
15
16
16
17
17
18
19
19
20
20
21

DAFTAR LAMPIRAN
1. Komposisi Larutan Seri Johansen
2. Senyawa Fitokimia Hasil Analisis GC-MS pada Kedelapan Tumbuhan

37
38

1 PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara tropis yang diakui sebagai kawasan mega
biodiversitas kedua dunia yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah dan
menyediakan berbagai tumbuhan penghasil bahan obat. Lebih dari 30.000 spesies
tumbuhan berbunga tumbuh di Indonesia dan sekitar 1.000 tumbuhan yang
digunakan dalam pengobatan tradisional dan lebih dari 180 spesies digunakan
oleh industri lokal untuk produk jamu (Moeloek 2006). Ekosistem hutan alam
tropika di Indonesia berperan sebagai sumber berbagai spesies tumbuhan obat
yang dimanfaatkan sebagai pemelihara kesehatan dan pengobatan berbagai
macam penyakit yang diderita oleh masyarakat. Di hutan hujan tropis dataran
rendah Indonesia terdapat 772 jenis tumbuhan obat (Zuhud 2009). Ketersediaan
tumbuhan obat tersebut merupakan kekayaan alam yang harus dimanfaatkan
sebaik-baiknya dan dilestarikan sebagai penunjang pemeliharaan kesehatan.
Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) merupakan salah satu hutan hujan tropis
dataran rendah di Provinsi Jambi yang menyediakan keanekaragaman tumbuhan
obat. Hasil penelitian dari Departemen Kehutanan dan LIPI menunjukkan
sekitar 137 jenis biota medika yang terdiri dari 101 jenis tumbuhan, 27 jenis
cendawan dan 9 jenis hewan yang dimanfaatkan oleh Suku Anak Dalam (SAD)
sebagai bahan obat. Dari 101 jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat,
sebanyak 22 jenis telah diteliti kandungan kimianya, yaitu senyawa alkaloid,
saponin, flavonoid, tanin dan polifenol (Sasmita et al. 2011).
Suku Anak Dalam adalah masyarakat asli yang telah mendiami hutan
TNBD. Mereka hidup berpindah-pindah dan memenuhi kebutuhan hidup dengan
cara berburu, mencari ikan, mencari madu, dan menyadap karet. Untuk
memelihara kesehatan, mereka memanfaatkan tumbuhan obat yang diambil dari
sekitar tempat tinggalnya. Penyakit yang sering dialami oleh SAD berupa diare
dan luka yang mengakibatkan terjadinya infeksi akut (Pers. Komunikasi.
Tumenggung Tarip, Suku Anak Dalam 2012). Jones & Farthing (2004)
melaporkan bahwa diare adalah penyebab paling umum kematian di seluruh dunia
terutama pada masa kanak-kanak. Sen et al. (2009) melaporkan bahwa di Amerika
Serikat, luka merupakan penyakit yang mendapatkan perhatian khusus karena
menyebabkan sekitar 6,5 juta pasien yang mengalami luka kronis. Di Indonesia,
berbagai macam luka dan infeksi yang dialami oleh masyarakat, misalnya tukak
peptik 6-15% (Suyono 2001) dan infeksi luka operasi (ILO) (Haryanti et al. 2013).
Suku Anak Dalam memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan obat
berdasarkan pengetahuan, keterampilan, keyakinan, pengalaman dan praktik
langsung yang dilakukan secara turun temurun dari nenek moyang mereka.
Pengetahuan tentang tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional
memungkinkan penemuan obat baru pada sistem pengobatan modern. Ekstrak
tumbuhan obat digunakan sebagai obat tradisional oleh masyarakat di berbagai
negara seperti di India, Tiongkok, dan Filipina (WHO 2008). Senyawa metabolit
penting dari tumbuhan yang berhasil dikembangkan ke skala industri obat modern
misalnya aspirin, atropina, artimesinin, digoxin, efedrina, morfina, fisostigmin,
reserpina, pilokarpina, kuinidina, taxol, vinkristina dan vinblastina, sebagian besar
ditemukan melalui studi pemanfaatan obat tradisional dari masyarakat (Sekar et al.
2010). Tumbuhan obat herbal sebagian besar mengandung senyawa aktif

2
golongan amina, alkaloid, kumarin, flavonoid, iridoid, saponin, tanin dan minyak
atsiri yang bersifat obat terhadap pencahar, kardioaktif, diuretik, hipotensi,
hipertensi, antikoagulan, hiperlipidemia, hipolipidemia, obat penenang,
hiperglikemik, hipoglikemik, imunostimulan, alergi dan iritasi (WHO 2009a).
Kajian ilmiah berupa identifikasi struktur sekretori penghasil senyawa metabolit
pada tumbuhan yang digunakan oleh SAD perlu dilakukan. Kajian ilmiah tersebut
memungkinkan untuk pengembangan produksi senyawa fitokimia melalui kultur
jaringan maupun kultur sel. Untuk mengetahui dengan jelas potensi yang
dikandung oleh tumbuhan obat, perlu dilakukan kajian tentang kandungan
senyawa aktif dalam mendukung pengembangan tumbuhan obat sebagai bahan
obat modern. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan letak struktur
sekretori, menentukan kandungan senyawa metabolit dalam struktur sekretori
tersebut dan untuk mengidentifikasi kandungan senyawa metabolit secara
kualitatif pada organ yang digunakan sebagai bahan obat.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Tumbuhan Obat
Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang mengandung bahan kimia aktif
tertentu yang digunakan dalam mengobati dan mencegah penyakit (Chapman dan
Chomchalow 2005). Ketersediaan tumbuhan obat dibutuhkan dalam skala
farmasi, industri kesehatan serta pengobatan tradisional. Sebanyak 70-80%
masyarakat dunia menggunakan ekstrak tumbuhan obat dan tumbuhan aromatik
sebagai pengobatan dan pemeliharaan kesehatan (WHO 2009b). Di India dan
Ethiopia sebanyak 70-80% masyarakat yang masih tergantung pada obat
tradisional untuk perawatan kesehatan primer (WHO 2008).
Tumbuhan obat berperan penting dalam berbagai sistem pengobatan
tradisional kuno seperti sistem Ayurvedik dari India, obat tradisional Cina, dan di
banyak negara Asia. Saat ini, tumbuhan obat masih berperan penting di negara
berkembang di Asia, baik untuk pencegahan maupun pengobatan, meskipun ada
kemajuan yang pesat dalam kedokteran modern (Chapman dan Chomchalow
2005).
Masyarakat tradisional di Indonesia juga sudah lama memanfaatkan
tumbuhan sebagai bahan obat. Masyarakat di sekitar hutan tabo-tabo (Sulawesi
Selatan) sebanyak 37 jenis yang terdiri dari 17 jenis pohon, 13 jenis herba, 5 jenis
perdu, dan 2 jenis liana yang dimanfaatkan masyarakat sebagai obat (Hamzari
2008). Rahayu et al. 2006) melaporkan bahwa di pulau Wawonii (Sulawesi
Tenggara), terdapat 73 jenis tumbuhan yang digunakan oleh masyarakat sebagai
bahan obat tradisional dan perawatan paska persalinan. Selain itu, Indrawati et al.
(2014) melaporkan bahwa masyarakat suku Moronene di Desa Rau-Rau (Sulawesi
Tenggara) sekitar 51 jenis dari 27 famili tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai
obat tradisional. Organ tumbuhan yang digunakan sangat beragam, meliputi daun,
batang, kulit, rimpang, umbi, buah dan getah. Proses penyediaan ramuan sebagai
bahan obat bermacam cara seperti direbus, ditumbuk, diperas, direndam, dibakar,
digoreng, digosok, dan diremas. Berbagai tumbuhan obat digunakan untuk

3
mengobati penyakit panas, sakit mata, sakit telinga, sakit gigi, sakit uluhati, luka
baru, sakit kulit, keseleo, patah tulang, sakit kepala, diare, dan muntah darah
(Indrawati et al. 2014).

Struktur Sekretori
Tumbuhan obat sebagian besar memiliki struktur khusus penghasil zat
tertentu yang disebut struktur sekretori. Jenis struktur sekretori merupakan
karakteristik penting dari sebagian tumbuhan yang biasanya memproduksi
berbagai jenis senyawa kimia yang kompleks (Katerina dan Tomas 2000).
Struktur sekretori dibedakan menjadi dua berdasarkan lokasinya yaitu struktur
sekretori eksternal meliputi trikoma, nektarium atau kelenjar madu, hidatoda serta
stigma dan struktur sekretori internal berupa idioblas, rongga sekretori, saluran
sekretori dan latisifer (Dickison 2000).
Hasil sekresi melalui struktur sekretori berupa minyak esensial, resin,
lateks, garam mineral, dan berbagai macam senyawa kimia seperti alkaloid dan
glikosida (Dickison 2000). Demikian pula yang dilaporkan oleh Cheniclet dan
Carde (1985) bahwa tumbuhan yang mengandung struktur sekresi khusus
misalnya trikoma kelenjar, saluran resin, rongga sekretori dan idioblas umumnya
memproduksi minyak atsiri, resin dan sejumlah besar senyawa volatil, terutama
monoterpena dan seskuiterpena. Boix et al. (2013) melaporkan bahwa senyawa
metabolit yang bersifat volatil yang dimanfaatkan sebagai obat seperti senyawa
lipofilik dan terpenoid terakumulasi di dalam organ sekretori khusus berupa
trikoma kapitat pada Rosmarinus officinalis. Senyawa metabolit sekunder yang
dihasilkan struktur sekretori seperti flavonoid, alkaloid, dan terpenoid menjadi
sumber yang berharga dan efektif digunakan dalam bidang kemosistematik (Noori
2002).
Struktur sekretori berupa trikoma kelenjar peltat dan kapitat banyak
dijumpai pada tumbuhan. Trikoma peltat lebih pendek dibandingkan dengan
trikoma kapitat. Menurut Jia et al. (2013) Trikoma kelenjar peltat dengan posisi
tenggelam memiliki sel basal, sel tangkai dan sel kepala multiseluler terdiri dari
12 sel, sedangkan trikoma kelenjar kapitat memiliki sel basal, sel tangkai yang
panjang terdiri dari 1-3 sel dan sel kepala terdiri dari 1 sel, misalnya pada Thymus
quinquecostatus. Trikoma peltat dengan posisi tenggelam dijumpai pada berbagai
genus Chelonopsis, misalnya C. rosea, C. bracteata dan C. lichiangensis
(Xiang et al. 2010). Selain posisi tenggelam, juga dijumpai trikoma peltat dengan
posisi tidak tenggelam misalnya pada Hypericum punctatum (Duke et al. 2000).
Menurut Rusydi et al (2013) trikoma peltate terdiri dari satu atau dua sel basal,
dengan tangkai sangat pendek, kepala multiseluler dan bentuk kepala bulat besar,
misalnya pada Pogostemon cablin.

4
Histokimia
Histokimia terkait dengan lokalisasi dan identifikasi komponen molekul,
aktivitas metabolisme dan aspek biologi sel dari sel dan jaringan. Histokimia
adalah teknik yang digunakan untuk memvisualisasikan kandungan senyawa pada
jaringan. Teknik ini termasuk dalam bidang kimia organik, biokimia, dan biologi
(Lavis 2011). Tujuan histokimia adalah mendeteksi kandungan senyawa pada
jaringan atau sel dengan menggunakan reagen spesifik sehingga menghasilkan
warna yang kontras pada gambar (jaringan dan sel) mikroskopis (Kiernan 2008).
Berbagai kandungan senyawa yang terdeteksi pada struktur sekretori tumbuhan
berdasarkan uji histokimia seperti monoterpena berupa timol pada trikoma
kelenjar Thymus vulgaris (Gersbach et al. 2001), trikoma kelenjar pada Ocimum
obovatum mengandung minyak esensial, polisakarida dan senyawa lipofil (Naidoo
et al. 2013), sel idioblas pada Cochlospermum rhegium mengandung minyak
esensial dan senyawa tanin (Filho et al. 2014), rongga kelenjar dan saluran kanal
pada Hypevicum pevfovatum mengandung alkaloid dan lipid (Ciccarelli et al.
2001) dan trikoma kelenjar pada Satureja horvatii mengandung senyawa terpena,
tanin, fenol, polisakarida, protein, pektin dan lipid. (Marin et al. 2012).

Fitokimia
Kandungan senyawa kimia yang terdapat dalam suatu jaringan atau sel dari
uji histokimia, dapat diuji lanjut melalui uji fitokimia untuk memastikan
kandungan senyawa metabolit. Fitokimia didefinisikan sebagai studi tentang
komposisi kimia tumbuhan obat atau phyto-medicine. Ekstrak herbal kasar dan
fitokimia sangat dibutuhkan dalam penelitian terapan serta penggunaan secara
komersial. Senyawa fitokimia dapat melalui proses isolasi dan pemurnian dari
ekstrak herbal. Dengan ditemukannya jenis alkaloid berupa opium dan morfina,
para ahli kimia mulai menargetkan obat herbal sebagai senyawa bioaktif yang
disebut fitokimia. Berbagai tumbuhan bahan obat terbukti mengandung senyawa
fitokimia yang mampu menghambat mikroba, misalnya Nervilia aragoana
mengandung asam lemak dan senyawa heterosiklik yang mampu menghambat
pertumbuhan cendawan sehingga bersifat anti-biotik dan antiinflamasi (Thomas et
al. 2013). Cinnamomum zeylanicum mengandung glikosida, fenol, tanin, terpena
and protein yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli,
Salmonella typhi, Salmonella typhimurium, Shigella dysenterae, Shigella flexneri,
Pseudomonas aeruginosa, K. pneumonia dan jenis cendawan seperti Candida
albicans, Candida tropicalis dan Candida krusei (Uma et al. 2009). Fitokimia
teridentifikasi sebanyak 54 jenis dijumpai pada Ocimum forskolei. Berbagai jenis
senyawa tersebut berperan sebagai antioksidan dan antimikroba (Al-Hajj et al.
2014).

5

3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian berlangsung dari Februari 2013 hingga Februari 2014. Sampel
tumbuhan diambil dari hutan karet kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas,
Jambi. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense, LIPI Cibinong.
Pengamatan struktur anatomi dan histokimia dilakukan di Laboratorium Anatomi
Tumbuhan, Departemen Biologi Fakultas MIPA. Pengamatan menggunakan
Scanning Microscope Electron (SEM) dengan preparasi dilakukan di
Laboratorium Zoologi, LIPI Cibinong dan tanpa preparasi dilakukan di
Laboratorium Teknologi Keramik (Universitas Kristen Indonesia), Jakarta.
Analisis kandungan fitokimia dilakukan di Laboratorium Terpadu Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.
Penyiapan Bahan Tumbuhan dari Lapang
Bahan tumbuhan yang digunakan didapatkan melalui eksplorasi dan
wawancara langsung kepada Tumenggung Tarip (Kepala Suku Anak Dalam).
Untuk pengamatan dengan mikroskop cahaya, material difiksasi dalam alkohol
70%, sedangkan untuk pengamatan dengan SEM, bahan difiksasi dalam larutan
FAA (formaldehida, asam asetat glasial dan alkohol 70%; 1:1:18). Untuk uji
histokimia, material dibawa ke laboratorium dalam keadaan segar, sedangkan
untuk analisis kandungan senyawa fitokimia menggunakan GC-MS pirolisis,
material dikeringkan di bawah cahaya matahari dan selanjutnya dikeringkan di
dalam oven pada suhu 60oC selama 3 hari.
Pembuatan Sediaan Mikroskopis
Sayatan paradermal daun dibuat dalam bentuk preparat semi permanen
dengan metode sediaan utuh (Sass 1951). Sampel yang telah difiksasi dalam
alkohol 70%, dicuci dengan aquades lalu direndam dalam larutan HNO3 50%
hingga daun cukup lunak, lalu dibilas dengan aquades, kemudian sisi adaksial dan
abaksial daun disayat dengan silet. Hasil sayatan direndam dalam larutan sodium
hipoklorit 5.25% (Bayclin) selama 3-5 menit, dibilas dengan aquades, kemudian
diwarnai dengan safranin 1%. Sediaan yang telah diwarnai diletakkan pada kaca
objek yang telah diberi media gliserin 30% dan ditutup dengan kaca penutup.
Sayatan melintang daun, kulit batang, batang dan umbi dibuat dalam
bentuk preparat permanen dengan metode parafin (Johansen 1940). Sampel
yang telah difiksasi dalam larutan FAA, didehidrasi dan dijernihkan dalam seri
larutan Johansen I-VII (Lampiran 1), lalu diinfiltrasi dengan parafin selanjutnya
sampel ditanam dalam blok parafin. Blok parafin yang berisi sampel dilunakkan
dalam larutan Gifford selama 2 minggu. Blok dipotong dengan mikrotom putar
(Yamato RV-240). Pita parafin yang dihasilkan direkatkan pada gelas objek
dengan albumin-gliserin. Tahap selanjutnya hasil sayatan diwarnai dengan
safranin 2% dan fast-green 0,5%, kemudian diamati menggunakan mikroskop
cahaya (Olympus C21).

6
Analisis Histokimia
Sampel berupa daun, batang, kulit batang dan umbi disayat melintang
setebal 20-25 µm menggunakan mikrotom beku (Yamato RV-240). Hasil sayatan
selanjutnya diuji dengan beberapa macam reagensia. Pengujian terpenoid pada sel
atau jaringan dilakukan dengan pemberian reagen kupri asetat 5% mengikuti
metode Harbone (1987). Adanya senyawa terpenoid ditunjukkan dengan warna
kuning atau kuning kecoklatan. Pengujian alkaloid dilakukan menggunakan
reagen Wagner; hasil positif alkaloid ditunjukkan dengan adanya deposit
berwarna coklat kemerahan atau kuning. Sebagai kontrol negatif, kandungan
alkaloid pada sayatan segar terlebih dahulu dilarutkan dengan 5% larutan asam
tartarat dalam alkohol 95% selama 48 jam pada suhu ruang, sebelum dilakukan
pengujian dengan pereaksi Wagner (Furr dan MahIberg 1981). Kandungan
senyawa lipofil diuji dengan pewarna sudan IV mengikuti metode Boix et al.
(2011). Irisan sampel dibilas menggunakan alkohol 70% selama 1 menit,
kemudian direndam dalam 0,03% larutan pewarna sudan IV, lalu dipanaskan
dalam water bath pada suhu 40oC selama 30 menit, sayatan sampel dibilas dengan
alkohol 70%, kemudian diletakkan di atas gelas objek yang diberi media gliserin
30% dan ditutup dengan gelas penutup. Adanya kandungan senyawa lipofil
ditandai dengan warna merah atau kuning hingga jingga.
Pengamatan dengan Scanning Electron Microscope (SEM)
Sampel daun dicuci dalam bufer kakodilat selama 2 jam menggunakan
ultrasonic cleaner (Sibata SU-6THE, Japan), kemudian dilakukan prefiksasi
dalam larutan glutaraldehida 2,5% selama 2 hari pada suhu 40C, setelah itu
difiksasi dalam asam tanat 2% selama 6 jam. Sampel dicuci dengan bufer
kakodilat, lalu dibilas dengan aquades selama 15 menit dan didehidrasi dalam seri
alkohol bertingkat. Sampel selanjutnya direndam dalam tert-butanol selama 2x10
menit, lalu dikeringkan menggunakan pengering vakum (TAITEC VC-96N),
kemudian dilapisi dengan emas menggunakan Sputter Coater (Ion coater iB2,
Japan) dan diamati menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) (JEOL
JSM 5310 LV Hitachi) pada voltase 20 kV.
Pengamatan Struktur Sekretori
Struktur sekretori pada masing-masing sampel diamati bentuk, letak, tipe,
ukuran dan kerapatannya dengan mikroskop cahaya. Deskripsi bentuk struktur
sekretori mengikuti kriteria de Vogel (1987). Masing-masing sampel diamati pada
5 area bidang pandang. Kerapatan trikoma (KT), sel idioblas (KI), saluran
kelenjar (KK) dan rongga sekretori (KS) ditentukan dengan rumus sebagai
berikut:
Σ Trikoma/Sel idioblas/Saluran kelenjar/Rongga sekretori
KT/KI /KK/KS=
Luas bidang pandang (mm2)

7
Analisis Senyawa Fitokimia
Komponen senyawa fitokimia diidentifikasi menggunakan GC-MS pirolisis.
Sebanyak 0.002 g bubuk sampel dimasukkan ke dalam tempat sampel dalam
instrumen GC-MS tipe Shimadzu-QP2010. Selanjutnya, komponen kimia sampel
diidentifikasi dengan kondisi proses: suhu pirolisis 400oC, suhu oven GC 50oC,
suhu injektor 280oC, gas pembawa helium, suhu antarmuka 280oC dan suhu
sumber ion 200oC. Spektrogram massa yang dihasilkan dicocokkan secara
otomatis oleh instrumen berdasarkan kemiripan pola m/z-nya dengan spektrogram
massa yang ada database dalam instrumen, yaitu NIST (National Institute of
Standards and Technology) dan Wiley.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kegunaan Tumbuhan
Bahan tumbuhan yang digunakan adalah daun, kulit batang dan umbi dari
delapan jenis tumbuhan terpilih berdasarkan manfaat sebagai obat infeksi (Tabel 1
dan Gambar 1). Proses penyediaan ramuan sebagai bahan obat berbagai macam
seperti direbus, ditumbuk, diperas atau mengambil langsung getah untuk diminum.
Sebagian besar ekstrak tumbuhan terpilih dapat diminum, kecuali Sonerila
obliqua Korth. yang penggunaannya dengan cara mengoleskan daun yang telah
dihancurkan pada luka luar.
Tabel 1 Tumbuhan obat terpilih dan pemanfaatannya oleh Suku Anak Dalam
No.
1

Nama
Lokal
Tai babi

Nama Ilmiah
Hyptis capitata Jacq.

Famili
Lamiaceae

Bagian yang
Digunakan
Daun

2
3

Pirdara
Sirih
harimau

Sonerila obliqua Korth.
Piper porphyrophyllum

Melastomaceae
Piperaceae

Daun
Daun

4

Sungkoi

Peronema canescens Jack

Lamiaceae

Kulit batang

5

Akokolot

Leguminosae

Batang

Apocynaceae

Batang

Poaceae

Umbi

Vitaceae

Daun

6
7
8

Spatholobus ferrugineus
(Zoll. & Moritzi.) Benth.
Lekumon
Leuconotis eugenifolius
mungson
A. DC.
Rumput
Centotheca lappacea (L.)
cacing
Desv.
Koneon bisa Cayratia cf. geniculata
(Blume.) Gagnep.

Kegunaan
Sakit perut, mualmual, demam dan
luka
Luka luar
Luka luar, luka
dalam dan pasca
melahirkan
Luka luar, luka
dalam dan diare
berdarah
Diare, diare berdarah
dan demam
Luka dalam dan
demam
Sakit perut, mual dan
obat cacing
Luka luar yang
sudah membusuk

Sumber: Hasil wawancara dengan Tumenggung Tarip, identifikasi tumbuhan dari Herbarium
Bogoriense (2013) dan Herbarium KEW, Inggris.

8

A

B

C

D

E

F

G

H

Gambar 1 Morfologi tumbuhan obat yang diteliti. (A) H. capitata Jacq., (B) S. obliqua Korth., (C)
P. porphyrophyllum., (D) P. canescens Jack, (E) S. ferrugineus (Zoll. & Moritzi.)
Benth., (F) L. eugenifolius A. DC., (G) C. lappacea (L.) Desv., (H) C. cf. geniculata
(Blume) Gagnep

Struktur Sekretori
Pengamatan menunjukkan struktur sekretori yang dijumpai pada tumbuhan
terpilih berupa trikoma kelenjar, sel idioblas, rongga sekretori dan saluran
sekretori (latisifer) (Tabel 2). Trikoma kelenjar dijumpai pada H. capitata Jacq., S.
obliqua Korth., P. porphyrophyllum, P. canescens Jack., S. ferrugineus (Zoll. &
Moritzi.) Benth. Sel idioblas dijumpai pada H. capitata Jacq., P. porphyrophyllum
dan C. lappacea (L.) Desv. Rongga kelenjar dijumpai pada C. cf. geniculata
(Blume) Gagnep. dan Saluran sekretori dijumpai pada S. ferrugineus (Zoll. &
Moritzi.) Benth., dan L. eugenifolius A. DC.
Tabel 2 Struktur sekretori yang dijumpai pada bagian organ tumbuhan yang diamati
No. Tumbuhan
1
2
3
4
5
6
7
8

H. capitata Jacq.
S. obliqua Korth.
P. porphyrophyllum
P. canescens Jack
S. ferrugineus (Zoll. &
Moritzi.) Benth.
L. eugenifolius A. DC.
C. lappacea (L.) Desv.
C. cf. geniculata (Blume)
Gagnep.

Bagian
pengamatan
Daun
Daun
Daun
Kulit batang
Batang
Batang
Umbi
Daun

Struktur Sekretori
Trikoma kelenjar dan sel idioblas
Trikoma kelenjar
Trikoma kelenjar dan sel idioblas tipe I dan II
Trikoma kelenjar
Trikoma kelenjar dan Saluran sekretori
Saluran sekretori
Sel idioblas tipe I dan II
Sel idioblas
Rongga sekretori tipe I dan II

Daun H. capitata memiliki 4 tipe trikoma kelenjar yaitu peltat, kapitat tipe
I, kapitat tipe II dan uniseriat (Gambar 2). Trikoma kelenjar peltat terdiri dari 1
sel basal dan 4 sel kepala. Trikoma kelenjar kapitat tipe I memiliki tangkai yang
pendek terdiri dari 1 sel dan kepala berbentuk elips terdiri dari 2 sel, sedangkan
trikoma kelenjar kapitat tipe II memiliki tangkai yang panjang terdiri dari 7-10 sel
dan kepala berbentuk bulat terdiri dari 1 sel. Trikoma kelenjar tipe uniseriat terdiri

9
dari 4-8 sel dengan ujung yang meruncing. Trikoma kelenjar tersebar pada kedua
permukaan daun, baik di sisi adaksial maupun di sisi abaksial. Secara umum
trikoma kelenjar peltat lebih pendek dibandingkan trikoma lain, namun ukuran
kepala trikoma peltat jauh lebih besar dari kedua tipe trikoma kapitat. Ukuran
trikoma di daun H. capitata pada masing-masing tipe tidak berbeda antara sisi
adaksial maupun sisi abaksial (Tabel 3). Trikoma kelenjar tipe peltat dan kapitat
tersebar secara acak dipermukaan adaksial dan abaksial daun. Trikoma kelenjar
peltat di sisi abaksial tiga kali lebih tinggi dibandingkan pada sisi adaksial daun.
Trikoma kelenjar kapitat tipe I di sisi abaksial satu koma empat puluh enam kali
lebih tinggi dibandingkan pada sisi adaksial daun, sedangkan trikoma kelenjar
kapitat tipe II dan tipe uniseriat di sisi adaksial dan abaksial memiliki sebaran
yang hampir sama.
cII

p
u

p
cII

cI
C

B

A

p

Ep
Pl
s
cI
D

Bk

cI

p

E

Gambar 2 Trikoma kelenjar pada daun H. capitata menggunakan SEM (A,B dan C),
menggunakan mikroskop cahaya pada sisi abaksial (D) dan pada irisan
melintang (E). p: peltat, cI: kapitat tipe I, cII: kapitat tipe II, u: uniseriat, s:
stomata, Ep: jaringan epidermis, Bk: jaringan bunga karang, Pl: jaringan
palisade. Bar: 50µm

Sel idioblas pada daun H. capitata berbentuk bulat, tersebar di mesofil daun,
dari jaringan palisade hingga jaringan bunga karang (Gambar 3). Sel idioblas pada
jaringan palisade berukuran lebih besar dari pada sel serupa yang terdapat pada
jaringan bunga karang, namun kerapatan sel idioblas tersebut pada jaringan
palisade lebih rendah dari pada di jaringan bunga karang.

Gambar 3 Sel idioblas pada irisan melintang daun H. capitata. Anak panah: sel
idioblas. Bar: 50µm.

10
Daun S. obliqua memiliki trikoma kelenjar tipe kapitat (Gambar 4).
Trikoma tersebut memiliki tangkai yang panjang terdiri dari 2-3 sel dan kepala
terdiri dari 2 sel. Trikoma kelenjar tersebar secara acak di permukaan adaksial dan
abaksial daun. Ukuran panjang tangkai, panjang kepala, lebar kepala, dan
kerapatan di adaksial maupun abaksial daun hampir sama (Tabel 3).

C

B

A

Gambar 4 Trikoma kelenjar S. obliqua menggunakan SEM (A) dan
menggunakan mikroskop cahaya pada irisan paradermal sisi adaksial
(B) dan sisi abaksial (C). Bar: 50 µm.
Daun P. porphyrophyllum memiliki struktur sekretori berupa trikoma
kelenjar biseluler dan sel idioblas (Gambar 5). Trikoma kelenjar multiseluler
berbentuk elips, ukuran panjang dan lebar trikoma kelenjar tersebut di adaksial
maupun abaksial daun hampir sama, namun kerapatan lebih tinggi di bagian
abaksial daripada adaksial daun (Tabel 3).
Sel idioblas yang dijumpai pada daun P. porphyrophyllum digolongkan
menjadi 2 tipe berdasarkan letaknya di mesofil dan kandungan metabolitnya. Sel
idioblas tipe I berbentuk bulat, tersebar di antara jaringan palisade dan bunga
karang, sedangkan tipe II memiliki bentuk yang sama, tetapi mengandung kristal
rafid dan tersebar di jaringan bunga karang.

A
B

C

idII
idI
D

E

idI

Gambar 5. Trikoma kelenjar dan sel idioblas pada daun P. porphyrophyllum.
Trikoma kelenjar menggunakan SEM (A) dan menggunakan
mikroskop cahaya pada irisan paradermal sisi adaksial (B) dan sisi
abaksial (C). Sel idioblas menggunakan mikroskop cahaya pada irisan
melintang daun (D) dan irisan paradermal (E). idI: idioblas tipe I dan
idII: idioblas tipe II. Bar: 50 µm

11
Tabel 3 Ukuran dan kerapatan trikoma kelenjar pada sisi adaksial dan abaksial daun
Tumbuhan dan tipe
trikoma kelenjar
H. capitata
Peltat
Kapitat type I
Kapitat type II
Uniseriat
S. obliqua
Kapitat
P. porphyrophyllum
Biseluler

Panjang tangkai
(µm)
Ad
Ab

Panjang kepala
(µm)
Ad
Ab

9.6±0.7
12.6±3.3
3.9±0.3
3.9±0.7

Ab

52.8±1.6

21.5±0.3 19.3±0.4 17.8±0.1 16.3±1.0 28.1±0.7 30.6±1.4

-

44.4±1.2
27.5±0.9
19.4±0.9
-

Ad

27.7±0.3
12.8±0.5
27.5±0.7
-

-

43.6±0.3
25.1±0.5
19.1±0.5
-

Kerapatan (mm-2)

7.5±0.5
7.8±0.9
354.7±8.1
351±14.7
343.7±32.6 342.7±44.2
46.4±1.0

28±0.5
13.3±0.9
28.3±0.3
-

Lebar
kepala (µm)
Ad
Ab

32.3±1.9
18.9±1.3
4.5±0.2
4.4±0.3

28.4±0.8 28.7±1.9 13.5±0.3 13.6±0.4 23.9±1.3 31.7±1.9

Ket: (Ad) adaksial daun, (Ab) abaksial daun

Kulit batang P. canescens memiliki struktur sekretori berupa trikoma
kelenjar tipe peltat dan kapitat (Gambar 6). Trikoma kapitat terdiri dari 2 tipe
yaitu kapitat tipe I dan II. Trikoma kelenjar peltat memiliki 1 sel basal dan 4 sel
kepala. Trikoma kapitat tipe I memiliki tangkai yang pendek terdiri dari 1 sel dan
kepala berbentuk bulat terdiri dari 2-3 sel. Trikoma kapitat tipe II memiliki
tangkai yang panjang terdiri dari 2-3 sel dan kepala berbentuk bulat terdiri dari 2
sel. Kerapatan trikoma kelenjar tipe peltat lebih tinggi daripada kedua trikoma
kapitat. Diantara trikoma kapitat ternyata kerapatan dari masing-masing tipe
berbeda. Tipe I lebih tinggi dibandingkan trikoma kelenjar kapitat tipe II (Tabel 4).

P
p
cII
A

cII

cI
B

C

Gambar 6 Trikoma kelenjar pada kulit batang P. canescens menggunakan SEM (A dan
B) dan menggunakan mikroskop cahaya pada irisan melintang (C). p: peltat,
cI: kapitat tipe I, dan cII: kapitat tipe II. Bar: 50 µm.

Struktur sekretori yang dijumpai pada batang S. ferrugineus berupa trikoma
kelenjar dan saluran sekretori. Tipe trikoma kelenjar tersebut berupa kapitat
dengan tangkai yang panjang terdiri dari 2 sel dan kepala berbentuk bulat terdiri
dari 8-10 sel (Gambar 7A). Saluran sekretori dijumpai tersebar dari jaringan
korteks hingga empulur (Gambar 7B). Saluran sekretori di jaringan empulur
berukuran lebih besar (61.3±5.5 µm) dan lebih rapat (5.1±0.7 mm-2) dari pada
saluran serupa yang terdapat pada jaringan korteks sebesar ( 42.0±3.5 µm) dan
kerapatan (4.0±0.4 mm-2).

12
K

E
B

A

Gambar 7 Struktur sekretori S. ferrugineus menggunakan mikroskop cahaya.
Trikoma kelenjar (A) dan saluran sekretori pada sayatan melintang batang
(B). E: daerah empulur, K: daerah korteks. Anak panah: saluran sekretori.
Bar: 50 µm.
Tabel 4 Ukuran panjang tangkai, panjang kepala, lebar kepala dan kerapatan trikoma
kelenjar pada kulit batang P. canescens dan S. ferrugineus
Tumbuhan dan tipe
trikoma kelenjar
P. canescens
Peltat
Kapitat tipe I
Kapitat tipe II
S. ferrugineus
Kapitat

Panjang
tangkai (µm)

Panjang
kepala (µm)

Lebar
kepala (µm)

Kerapatan (mm )

7.8±0.6
22.4±0.9

16.8±0.2
15.9±0.5
11.5±0.7

24.8±0.3
18.1±0.8
14.9±0.2

122.0±21.8
104.0±3.2
82.6±6.5

26.4±1.2

42.7±2.0

31.5±1.1

19.4±1.8

-2

Pada batang L. eugenifolius dijumpai struktur sekretori berupa saluran
sekretori. Saluran tersebut tersebar dari jaringan korteks hingga empulur (Gambar
8). Saluran sekretori di jaringan empulur berukuran lebih besar (32.7±0.9 µm) dari
pada saluran serupa yang terdapat pada jaringan korteks (22.5±2.0 µm), namun
kerapatan saluran tersebut pada jaringan korteks lebih tinggi (54.5±2.6 mm-2) dari
pada di jaringan empulur (38.2±0.7 mm-2). Saluran sekretori mensekresikan getah
berwarna putih.

K

A

E

B

C

Gambar 8 Saluran sekretori pada batang L. eugenifolius (tanda panah). Irisan melintang
(A); Irisan membujur pada korteks (B) dan empulur (C). K: daerah jaringan
korteks, E: daerah jaringan empulur. Anak panah: saluran sekretori Bar: 50
µm.

Umbi C. lappacea memiliki struktur sekretori berupa sel idioblas.
berdasarkan ukuran dan lokasinya, sel-sel tersebut dikelompokkan menjadi 2 tipe
yaitu tipe I yang tersebar di jaringan epidermis dan tipe II yang tersebar di
jaringan hipodermis (Gambar 9). Sel idioblas pada jaringan hipodermis berukuran
lebih besar daripada di jaringan epidermis (Tabel 5).

13

Ep
idI
Hp
idII
Sk

Gambar 9 Sel idioblas pada irisan melintang umbi C. lappacea. IdI: Sel idioblas tipe I,
IdII: Sel idioblas tipe II, Ep: jaringan epidermis dan Hp: jaringan hipodermis.
Bar: 50 µm.
Tabel 5 Bentuk, ukuran dan kerapatan sel idioblas pada daun H. capitata, C. cf. geniculata,
P. porphyrophyllum dan umbi C. lappacea
Tumbuhan dan Struktur sekretori
H. capitata
Sel idioblas di palisade
Sel idioblas di bunga karang
C. cf. geniculata
Sel idioblas
P. porphyrophyllum
Sel idioblas tipe I
Sel idioblas tipe II
C. lappacea
Sel idioblas tipe I
Sel idioblas tipe II

Kerapatan (mm-2)

Bentuk

Diameter (µm)

Bulat
Bulat

5.9±0.4
4.2±0.3

Bulat

18.58±0.8

125.37±11.3

Bulat
Bulat

27.2±1.4
31±1.4

92.1±5.4
18.4±1.9

Bulat
Bulat

7.75±0.4
26.41±1.9

56.92±5.4
19.36±1.3

261.2±15.4
271.7±33.2

Daun C. cf. geniculata memiliki struktur sekretori berupa rongga sekretori
dan sel idioblas. Berdasarkan bentuknya, rongga sekretori dikelompokkan
menjadi 2 tipe yaitu tipe I berbentuk bulat dan tipe II berbentuk elips. Rongga
sekretori tipe I berdiameter 112.7±1.5 µm dengan kerapatan 12.5±0.6 mm-2.
Rongga sekretori tipe II memiliki panjang 154.7±2.9 µm, lebar 79.7±1.5 µm
dengan kerapatan 13.1±0.6 mm-2, dan mengandung kristal rafid. Kedua struktur
tersebut tersebar di antara jaringan palisade dan bunga karang atau di jaringan
bunga karang saja (Gambar 10). Sel idioblas pada daun C. cf. geniculata
berbentuk bulat mengandung kristal drus tersebar di jaringan mesofil dan
pertulangan daun. Ukuran sel idioblas lebih kecil dibandingkan rongga sekretori.
Ea
r
RkII

Pl

r

RkI

RkII
Bk
RkI

A

Eb

B

C

Id

Gambar 10 Rongga sekretori dan sel idioblas pada daun C. cf. geniculata. Rongga
sekretori pada irisan paradermal (A), pada irisan melintang (B), dan sel
idioblas pada irisan melintang (C). RkI: rongga sekretori tipe I, RkII: rongga
sekretori tipe II, Ea: epidermis atas, Eb: Epidermis bawah, Bk: jaringan
bunga karang, Pl: jaringan palisade, r: kristal rafid, Id: sel idioblas. Bar: 50
µm.

14
Analisis Histokimia Trikoma Kelenjar, Sel Idioblas, Rongga Sekretori, dan
Saluran Sekretori
Hasil uji histokimia menunjukkan bahwa senyawa terpenoid dan alkaloid
terdapat pada semua trikoma kelenjar (Tabel 6). Senyawa lipofil, terpenoid dan
alkaloid terkandung pada trikoma kelenjar kapitat tipe II pada H. capitata, trikoma
kapitat pada S. obliqua dan biseluler pada P. porphyrophyllum (Tabel 6, Gambar
11, 12 dan 13). Trikoma kelenjar kapitat tipe I, kapitat tipe II, peltat dan tipe
uniseriat pada daun H. capitata mengandung terpenoid dan alkaloid. Selain kedua
senyawa tersebut, pada trikoma kelenjar kapitat tipe II juga mengandung senyawa
lipofil.
Tabel 6 Keberadaan senyawa fitokimia pada struktur sekretori
Nama Tumbuhan
H. capitata

S. obliqua
P. porphyrophyllum
P. canescens Jack

S. ferrugineus

L. eugenifolius
C. lappacea
C. cf. geniculata

Struktur sekretori
Trikoma kelenjar

Sel idioblas
Trikoma kelenjar
Trikoma kelenjar
Sel idioblas I
Sel idioblas II
Trikoma kelenjar
Trikoma kelenjar
Saluran sek. kor.
Saluran sek. emp.
Saluran sek. kor.
Saluran sek. emp.
Sel idioblas I
Sel idioblas II
Rongga sek. I
Rongga sek. II
Sel idioblas

Tipe trikoma
Peltat
Kapitat tipe I
Kapitat tipe II
Uniseriat
Kapitat
Biseluler
Peltat
Kapitat tipe I
Kapitat tpe II
Kapitat

Terpenoid
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

Alkaloid
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

Lipofil
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
+
-

Ket: - senyawa metabolit tidak terdeteksi, + senyawa metabolit terdeteksi, Sek.
kor.: sekretori pada korteks, Sek. emp.: sekretori pada empulur, Sek. I:
sekretori tipe I dan Sek. II: sekretori tipe II.

15

A

F

K

P

B

G

L

Q

C

H

M

R

D

I

N

S

E

J

O

T

Gambar 11 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun H. capitata (A,B,C
dan D) menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (F,G,H
dan I) menggunakan pewarna sudan IV untuk senyawa lipofil; (K,L,M
dan N) menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (P,Q,R dan S)
reagen asam tartarat sebagai kontrol negatif alkaloid; (E,J,O dan T)
menggunakan air sebagai kontrol;. Bar: 50 µm.
Trikoma kelenjar peltat dan kapitat tipe I di kulit batang P. canescens
mengandung senyawa terpenoid dan alkaloid, sedangkan trikoma kelenjar kapitat
tipe II hanya mengandung terpenoid. Trikoma kelenjar kapitat tipe III
mengandung senyawa lipofil dan terpenoid (Gambar 14). Trikoma kelenjar tipe
kapitat yang dijumpai pada kulit batang S. ferrugineus mengandung senyawa
alkaloid, terpenoid dan lipofil (Gambar 15).

16

C

B

A

D

E
B

Gambar 12 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun S. oblique. (A)
menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B) reagen
Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan reagen asam tartarat
sebagai kontrol negatif alkaloid; (D) menggunakan pewarna sudan IV
untuk senyawa lipofil dan (E) air sebagai kontrol. Bar: 50 µm.

A

B

D

C

E

Gambar 13 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada daun P. porphyrophyllum
(A) reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B) menggunakan reagen
Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan reagen asam tartarat
sebagai kontrol negatif alkaloid; (D) menggunakan pewarna sudan IV
untuk senyawa lipofil dan (E) menggunakan air sebagai kontrol. Bar:
50 µm.

17

A

D

G

J

B

E
J

H

K

F

I

L

C

M

N

O

Gambar 14 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada kulit batang P. canescens (A,B
dan C) menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (D,E dan F)
menggunakan pewarna sudan IV untuk senyawa lipofil; (G,H dan I)
menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (J,K dan L) reagen asam tartarat
sebagai kontrol negatif alkaloid; (M,N dan O) menggunakan air sebagai kontrol.
Bar: 50 µm.

C

B

A

D

E

Gambar 15 Hasil uji histokimia trikoma kelenjar pada kulit batang S. ferrugineus. (A)
menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B) menggunakan
reagen Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan reagen asam tartarat
sebagai kontrol negatif alkaloid; (D) menggunakan pewarna sudan IV untuk
senyawa lipofil dan (E) menggunakan air sebagai kontrol. Bar: 50 µm.

18
Rongga sekretori tipe I pada daun C. cf. geniculata mengandung senyawa
terpenoid dan lipofil, ditandai dengan terbentuknya deposit berwarna coklat
(Gambar 16). Rongga sekretori tipe II mengandung senyawa lipofil di sekitar
kristal rafid, ditandai dengan terbentuknya cairan berwana coklat di sekitar kristal
tersebut, namun rongga sekretori negatif mengandung senyawa terpenoid dan
alkaloid.

A

C

E

G

B

D

F

H

I

J

Gambar 16 Hasil uji histokimia rongga sekretori pada irisan melintang daun C. cf.
geniculata. (A dan B) menggunakan reagen kupri asetat untuk uji
terpenoid; (C dan D) menggunakan pewarna sudan IV untuk senyawa
lipofil, (E dan F) menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (G
dan H) menggunakan reagen asam tartarat sebagai kontrol negatif
alkaloid dan (I dan J) menggunakan air sebagai kontrol. Bar: 50 µm.
Sel idioblas pada daun H. capitata mengandung senyawa lipofil dan
terpenoid (Gambar 17). Sel idioblas tipe I pada jaringan epidermis umbi C.
lappacea mengandung senyawa lipofil dan terpenoid, selain itu sel idioblas tipe II
dengan ukuran yang lebih besar di bagian jaringan hipodermis mengandung
senyawa alkaloid (Gambar 18). Sel idioblas tipe I pada daun P. porphyrophyllum
mengandung senyawa terpenoid (Gambar 19).

19

C

B

A

E

D

Gambar 17 Hasil uji histokimia sel idioblas pada daun H. capitata. (A)
menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B)
menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan
reagen asam tartarat sebagai kontrol negatif alkaloid; (D)
menggunakan pewarna sudan IV untuk senyawa lipofil dan (E)
menggunakan air sebagai kontrol. Anak panah: sel idioblas. Bar: 50
µm.

A

C

B

D

E

Gambar 18 Hasil uji histokimia sel idioblas pada umbi C. lappacea. (A)
menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B)
menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan
reagen asam tartarat sebagai kontrol negatif alkaloid; (D)
menggunakan pewarna sudan IV untuk senyawa lipofil dan (E)
menggunakan air sebagai kontrol. Anak panah: sel idioblas. Bar: 50
µm.

20

B

A

C

D

E

Gambar 19 Hasil uji histokimia sel idioblas pada daun P. porphyrophyllum. (A)
menggunakan reagen kupri asetat untuk uji terpenoid; (B)
menggunakan reagen Wagner untuk alkaloid; (C) menggunakan
reagen asam