Respon Fisiologi Dan Pertumbuhan Beberapa Genotipe Sorgum (Sorghum Bicolor (L.) Moench) Terhadap Toksisitas Fe Pada Kultur Hara

i

RESPON FISIOLOGI DAN PERTUMBUHAN BEBERAPA
GENOTIPE SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench)
TERHADAP TOKSISITAS BESI PADA KULTUR HARA

LARA WULANDARI
A24110185

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Respon Fisiologi dan
Pertumbuhan Beberapa Genotipe Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench)

terhadap Toksisitas Besi pada Kultur Hara adalah benar karya saya dengan arahan
dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015

Lara Wulandari
NIM A24110185

5

ABSTRAK
LARA WULANDARI. Respon Fisiologi dan Pertumbuhan Beberapa Genotipe
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) terhadap Toksisitas Fe pada Kultur Hara.
Dibimbing oleh DIDY SOPANDIE dan SINTHO WAHYUNING ARDIE.
Pemahaman mengenai mekanisme toleransi sorgum [Sorghum bicolor (L.)
Moench] terhadap toksisitas besi sangat diperlukan untuk mendukung program

pemuliaan sorgum toleran di lahan masam dimana toksisitas besi banyak
dijumpai. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh sejumlah materi genetik
sorgum yang toleran dan peka terhadap toksisitas besi dan memperoleh
konsentrasi besi yang dapat menyeleksi genotipe toleran dan peka. Penelitian ini
terdiri atas 2 percobaan. Percobaan pertama bertujuan untuk mempelajari respon
tanaman sorgum terhadap toksisitas besi dan percobaan kedua bertujuan untuk
mempelajari konsentrasi Fe yang mampu menyeleksi sorgum genotipe toleran dan
peka. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan (240 mdpl) pada
bulan April sampai dengan Juni 2015. Percobaan 1 disusun berdasarkan
rancangan kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan dua faktor dan tiga
ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi Fe2+ menggunakan FeSO4.7H2OEDTA yang terdiri atas 5 taraf yakni 0, 200, 400, 600 dan 800 ppm. Faktor kedua
adalah genotipe sorgum terdiri atas Numbu, Mandau, ZH 30-29-07, B-69 dan B75. Bibit genotipe Numbu, Mandau, ZH 30-29-07, B-69 dan B-75 ditanam secara
hidroponik dalam kultur hara selama 21 hari. Hasil percobaan 1 menunjukkan
bahwa konsentrasi Fe di atas 200 ppm menyebabkan pertumbuhan semua
genotipe terhambat dan mati karena toksisitas Fe. Keragaan tanaman sorgum
Numbu pada kondisi tercekam Fe paling besar berdasarkan variabel pertumbuhan
yang diamati dibandingkan genotipe lainnya. Percobaan 2 disusun berdasarkan
rancangan kelompok lengkap teracak dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor
pertama adalah konsentrasi Fe2+ menggunakan FeSO4.7H2O.EDTA yang terdiri
atas 5 taraf yakni 0, 50,100,150,200 ppm. Faktor kedua adalah genotipe sorgum

terdiri atas Numbu, ZH 30-29-07 dan B-69. Hasil percobaan 2 menunjukkan
bahwa variabel panjang akar, bobot basah tajuk, bobot basah akar, bobot kering
tajuk dan bobot kering akar dapat dijadikan sebagai karakter seleksi sorgum pada
kondisi toksisitas Fe. Konsentrasi 200 ppm merupakan konsentrasi yang mampu
digunakan untuk seleksi toleransi genotipe sorgum terhadap toksisitas Fe
berdasarkan hasil analisis Reduction Concentration 50 (RC50) terhadap variabel
panjang akar, bobot basah tajuk dan akar, bobot kering tajuk dan akar. Genotipe
Numbu merupakan genotipe yang memiliki toleransi terhadap toksisitas Fe yang
paling baik dibandingkan dua genotipe lainnya, sedangkan genotipe ZH 30-29-07
merupakan genotipe dengan toleransi yang paling rendah berdasarkan variabel
pertumbuhan dan skoring gejala bronzing yang diamati.
Kata kunci: genotipe sorgum, konsentrasi Fe, toksisitas besi, variabel fisiologi,
variable pertumbuhan.

ABSTRACT
LARA WULANDARI. Physiological and Growth Responses of Some Sorghum
(Sorghum bicolor (L.) Moench) Genotypes to Iron Toxicity Stresses in Nutrient
Culture. Supervised by DIDY SOPANDIE and SINTHO WAHYUNING ARDIE.

Understanding the tolerance mechanism of sorghum [Sorghum bicolor (L.)

Moench] to iron toxicity stresses is needed to support the breeding program
sorghum tolerant of acid soil where iron toxicity problem mostly occured. The
purpose of this study was to identify sorghum genotypes tolerant to iron toxicity
stresses and to determine iron concentrations that are able to select the genotype
tolerant and sensitive. This research was conducted at Cikabayan Experimental
Field (240 masl) from April to June 2015. This research consisted of two
experiments. The first experiment was aimed to determine the response of
sorghum to iron toxicity and the second experiment was aimed to determine
concentration of Fe were able to select sorghum genotypes tolerant and sensitive.
The first experiment was arranged in randomized completely block design with
two factors and three replications. The first factor was Fe2+ concentration using
FeSO4.7H2O.EDTA as iron source, conducted of 5 levels of Fe2+ i.e 0,
50,100,150,200 ppm . The second factor was three of sorghum genotypes namely
Numbu, ZH 30-29-07 and B-69. Numbu, ZH 30-29-07, B-69 were grown
hydroponically in nutrient culture for 21 days. The first experiment result showed
that the Fe concentrations above 200 ppm cause stunted growth of all genotypes
and death due to toxicity Fe. Performance of Numbu on stress Fe condition is the
biggest based on growth variabel compared to other genotypes. The second
experiment was arranged in randomized completely block design with two factors
and three replications. The first factor is the concentration of Fe using

FeSO4.7H2O.EDTA comprising 5 level ie 0, 50,100,150,200 ppm. The second
factor was three of sorghum genotypes namely Numbu, ZH 30-29-07 and B-69.
The second experiment results showed that the variable root length, shoot fresh
weight, root fresh weight, shoot dry weight and root dry weight can be used as a
selection of characters sorghum on condition Fe toxicity. Concentration of 200
ppm Fe is the concentration that could be used for the selection of sorghum
genotypes tolerance to the toxicity of Fe based on Reduction Concentration 50
(RC50) analysis to the variable length of the root, crown and root fresh weight,
shoot dry weight and root. Numbu genotypes are tolerant genotype of Fe toxicity
of the most well compared to the other two genotypes, while genotype 30-29-07
ZH is a genotype with the lowest tolerance based on growth variables and scoring
bronzing symptoms were observed.
Keywords: Fe concentration, growth variables, iron toxicity, physiology
variables, sorghum genotypes

7

RESPON FISIOLOGI DAN PERTUMBUHAN BEBERAPA
GENOTIPE SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench)
TERHADAP TOKSISITAS BESI PADA KULTUR HARA


LARA WULANDARI

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis khaturkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul
Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Juni 2015 di Kebun
Pecobaan Cikabayan IPB ini ialah Respon Fisiologi dan Pertumbuhan Beberapa

Genotipe Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) terhadap Toksisitas Fe pada
Kultur Hara.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Didy Sopandie dan
Ibu Dr Sintho Wahyuning Ardie selaku pembimbing skripsi, Ibu Dr Ir Eny
Widajati selaku pembimbing akademik serta Ibu Dr Desta Wirnas selaku pemberi
saran dan Ibu Dr Ir Trikoesumaningtyas yang telah memberikan benih sorgum
sebagai bahan tanam pada penelitian ini. Penulis juga ucapkan terima kasih
kepada Bapak Joko Mulyono laboran Micro Technique Laboratory dan Pak
Mamat yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih
juga disampaikan kepada kedua orang tua atas doa dan kasih sayangnya dan
teman-teman yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil serta
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015

Lara Wulandari

11


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Umum
Tujuan Khusus
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench)
Tanah Sulfat Masam
Toksisitas Besi
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Bahan dan Alat
Pelaksanaan
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN

Percobaan 1 Penentuan konsentrasi Fe untuk mempelajari respon
sorgum terhadap toksisitas Fe
Percobaan 2 Penentuan konsentrasi Fe untuk seleksi sorgum genotipe
toleran dan peka
SIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
RIWAYAT HIDUP

vi
vi
vii
1
1
2
2
2
2
2
3
4

5
5
5
5
9
9
9
11
24
25
28

DAFTAR TABEL
1 Standar evaluasi nilai skoring gejala bronzing pada daun
2 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe, konsentrasi Fe dan interaksi
genotipe dan konsentrasi Fe terhadap berbagai variabel
pertumbuhan
3 Tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang dan panjang akar
sorgum pada beberapa taraf konsentrasi Fe pada 7 dan 14 HSP
4 Bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar dan bobot

kering tajuk sorgum pada beberapa taraf konsentrasi Fe
5 Tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang dan panjang akar
beberapa genotipe sorgum
6 Bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar dan bobot
kering tajuk pada beberapa genotipe sorgum
7 Hasil analisis reduction concentration 50 pada berbagai variabel
pertumbuhan
8 Pengaruh genotipe terhadap bobot basah akar dan tajuk serta bobot
kering akar dan tajuk pada konsentrasi 200 ppm Fe pada 14 HSP
9 Persentase dan skala skoring bronzing daun pada berbagai genotipe
sorgum

8

13
14
14
15
15
17
18
24

DAFTAR GAMBAR
1 Ilustrasi pengukuran anatomi akar sorgum
2 Ilustrasi nilai indeks persentase tingkat keparahan cekaman Fe
3 Keragaan sorgum genotipe Numbu, Mandau, ZH 30-29-07, B-69
dan B-75 (7 HSP) pada berbagai konsentrasi Fe yang diujikan
4 Tinggi tanaman (A), diameter batang (B), jumlah daun (C) dan
panjang akar (D) pada genotipe sorgum Numbu, Mandau, ZH 3029-07, B-69 dan B-75 pada 1, 3 dan 5 HSP
5 pH larutan pada genotipe Numbu, ZH 30-29-07 dan B-69 dengan
berbagai taraf konsentrasi Fe
6 Hasil analisis regresi variabel tinggi tanaman, jumlah daun,
diameter batang, panjang akar, bobot basah akar dan bobot basah
tajuk serta bobot kering akar dan bobot kering tajuk pada perlakuan
berbagai konsentrasi Fe
7 Pola-pola formasi warna merah pada ujung akar bibit sorgum 14
HSP
8 Irisan melintang akar sorgum genotipe Numbu, ZH 30-29-07 dan
B-69 14 HSP pada kondisi 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm, 150 ppm Fe
dan 200 ppm Fe.
9 Perbandingan tebal epidermis genotipe Numbu, ZH 30-29-07 dan
B-69 pada perlakuan berbagai konsentrasi Fe
10 Perbandingan tebal korteks genotipe Numbu, ZH 30-29-07 dan B69 pada perlakuan berbagai konsentrasi Fe

7
8
9

10
12

16
19

20
21
21

13

11 Perbandingan diameter stele genotipe Numbu, ZH 30-29-07 dan B69 perlakuan berbagai konsentrasi Fe
12 Perbandingan jumlah metaxylem genotipe Numbu, ZH 30-29-07
dan B-69 pada perlakuan berbagai konsentrasi Fe
13 Gejala toksisitas Fe (bronzing) pada sorgum genotipe Numbu, ZH
30-29-07 dan B-69 pada 14 HSP

22
22
23

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kendala yang dihadapi dalam kegiatan budidaya tanaman di Indonesia
diantaranya ialah terbatasnya lahan yang sesuai dan belum dimanfaatkannya lahan
tersebut secara optimal. Lahan yang tidak sesuai disebut juga dengan lahan sub
optimal atau lahan marginal. Lahan sub optimal atau lahan marginal ialah lahan
yang memiliki tingkat kesuburan yang rendah, erositas tinggi, sering mengalami
kekeringan atau kebanjiran, atau memiliki tingkat kemasaman tinggi serta
keracunan pada kondisi tertentu. Salah satu lahan marginal yang ada di Indonesia
ialah lahan pasang surut. Karakteristik lahan pasang surut meliputi beragamnya
kondisi fisiko-kimia tanah, kemasaman tanah dan asam organik yang tinggi pada
lahan gambut, adanya zat beracun, intrusi air garam, dan rendahnya kesuburan
alami tanah (Nazemi et al. 2012). Khusus untuk lahan pasang surut sulfat masam
memiliki kendala yang lebih berat dibandingkan lahan pasang surut lainnya
karena kemasaman tanah dan air sangat tinggi, kandungan aluminium (Al), besi
(Fe) dan hidrogen sulfida (H2S) yang bersifat meracun serta ketersediaan unsur
hara terutama P dan K rendah (Noor dan Khairuddin 2013). Dibandingkan dengan
aluminium, budidaya pada lahan sulfat masam lebih besar terkendala toksisitas
besi dikarenakan besi merupakan unsur yang mudah tereduksi dan sensitif
terhadap perubahan kondisi redoks tanah akibat penggenangan sementara
kelarutan aluminium akan menurun (Ussiri dan Johnson 2004).
Toksisitas Fe utamanya disebabkan karena efek toksik atau berlebihnya
pengambilan Fe dalam konsentrasi besar pada larutan tanah yang menyebabkan
meningkatknya aktivitas polifenol, yang mengarah ke produksi polifenol
teroksidasi, penyebab daun bronzing (Dobermann dan Fairhurst 2002). Gejala
yang khas pada tanaman yang mengalami toksisitas Fe dimulai dengan bercak
berwarna cokelat kemerahan yang meluas ke daun tua secara bertahap yang
mengakibatkan daun mati sebelum waktunya (Barker dan Pilbeam 2007).
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) merupakan tanaman yang banyak
dibudidayakan di daerah beriklim panas dan kering. Sorgum dapat tumbuh
optimal pada daerah yang memiliki suhu 20-30°C dengan kelembaban udara 20%
dan curah hujan 400-600 mm (Dicko et al. 2006). Potensi dan keunggulan yang
dimiliki sorgum antara lain dapat ditanam pada lahan suboptimal (lahan kering,
rawa, lahan masam yang tersedia cukup luas di Indonesia sekitar 38.7 juta hektar
dan lahan tergenang) dengan produktivitas yang cukup tinggi apabila telah
memiliki perakaran yang kuat (Kemenristek 2012). Sesuai dengan karakteristik
tanaman yang tumbuh baik pada agroklimat kering dengan suhu tinggi, curah
hujan rendah dan lahan yang relatif terdegradasi, maka pengembangan sorgum
diarahkan pada lahan-lahan suboptimal yang tidak berkompetisi dengan tanaman
pangan lainnya (Susilowati dan Saliem 2013).
Respon tanaman terhadap keracunan besi dapat dilihat pada perubahan
pertumbuhan maupun fisiologi (Noor dan Khairuddin 2013). Pengaruh toksisitas
besi pada pertumbuhan dan fisiologi tanaman telah banyak dipelajari pada
tanaman lain, misalnya penurunan persentase biji per rumpun hingga 30% 41.33% pada beberapa varietas padi (Amnal 2009), peningkatan kadar asam malat

2

tajuk pada kedelai (Noya 2014), peningkatan oksidasi lipid daun pada Eugenia
uniflora (De Oliveira-Jucoski et al. 2013), serta perbedaan proporsi dan akumulasi
bahan kering pada organ tanaman brokoli (Pena-Olmos et al. 2014)
Adaptasi tanaman sorgum terhadap toksisitas besi belum dipelajari namun
secara umum meliputi mekanisme internal (toleran) dan eksternal (penghindaran)
(Sopandie 2013). Strategi perbaikan adaptasi tanaman terhadap besi selain dapat
dilakukan dengan teknologi budidaya dan pengelolaan tanah dan air, juga dapat
dilakukan dengan penggunaan varietas toleran atau cukup toleran dalam
mengendalikan keracunan besi sehingga lebih efisien dalam penggunaan input
(Noor dan Khairuddin 2013). Berdasarkan hal tersebut penting untuk dilakukan
kajian mengenai respon fisiologi dan pertumbuhan tanaman pada beberapa
genotipe sorgum terhadap toksisitas besi.
Tujuan Umum
1. Menjelaskan pengaruh konsentrasi Fe terhadap pertumbuhan tanaman sorgum
pada kultur hara
2. Menjelaskan pengaruh genotipe terhadap pertumbuhan tanaman sorgum pada
kultur hara
3. Menjelaskan pengaruh interaksi antara konsentrasi Fe dan genotipe terhadap
pertumbuhan tanaman sorgum pada kultur hara
Tujuan Khusus:
1. Memperoleh sejumlah materi genetik sorgum yang toleran dan peka terhadap
toksisitas Fe

Hipotesis
1. Terdapat beberapa konsentrasi Fe yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman sorgum pada kultur hara.
2. Terdapat minimal satu genotipe yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman sorgum pada kultur hara.
antara konsentrasi Fe dan genotipe yang berpengaruh
3.
terhadap pertumbuhan tanaman sorgum pada kultur hara

TINJAUAN PUSTAKA
Sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench)
Genus Sorghum terdiri atas 20 atau 32 spesies, berasal dari Afrika Timur,
satu spesies di antaranya berasal dari Meksiko. Tanaman ini dibudidayakan di

3

Eropa Selatan, Amerika Utara, Amerika Tengah, dan Asia Selatan. Spesies
sorgum yang paling banyak dibudidayakan ialah spesies Sorghum bicolor (L.)
Moench. Sorgum termasuk kelas Monocotyledoneae (tumbuhan biji berkeping
satu) dengan ordo Poales yang dicirikan melalui bentuk tanaman ternal dengan
siklus hidup semusim; famili Poaceae yaitu tumbuhan jenis rumput-rumputan
dengan karakteristik batang berbentuk silinder dengan buku-buku yang jelas
(Tjitrosoepomo 2000). Sorgum banyak ditanam pada daerah semiarid tropis dan
subtropis. Tanaman ini merupakan tanaman hari pendek dan membutuhkan
temperatur tinggi untuk dapat tumbuh dan memberi hasil tinggi. Kondisi yang
optimum penanaman sorgum ialah daerah yang memiliki suhu 20-30°C dengan
kelembaban rendah dan curah hujan 400-600 mm (Dicko et al. 2006).
Perakaran sorgum tidak membentuk akar tunggang, perakaran hanya terdiri
atas akar lateral. Sistem perakaran sorgum terdiri atas akar-akar seminal (akarakar primer) pada dasar buku pertama pangkal batang, akar sekunder dan akar
koronal (akar pada pangkal batang yang tumbuh ke arah atas) dan akar udara
(Tjitrosoepomo 2000).
Batang tanaman sorgum merupakan rangkaian berseri dari ruas (internodes)
dan buku (nodes), tidak memiliki kambium. Bagian tengah batang terdapat
seludang pembuluh yang diselubungi oleh lapisan keras (sel-sel parenkim). Tinggi
tanaman sorgum bergantung pada jumlah dan ukuran ruas batang. Sorgum
memiliki tinggi rata-rata 2.6-4 m. Batang dan daun sorgum mirip dengan jagung.
Tinggi tanaman sorgum berhubungan erat dengan umur dan jumlah daun, pada
tanaman berumur genjah tinggi dan jumlah daun lebih sedikit daripada tanaman
berumur dalam (Tjitrosoepomo 2000).
Daun tanaman sorgum berbentuk pita dengan struktur terdiri atas helai daun
dan tangkai daun. Posisi daun terdistribusi secara berlawanan sepanjang batang
dengan pangkal daun menempel pada ruas batang. Panjang daun sorgum rata-rata
1 m dengan penyimpangan 10-15 cm dan lebar 5-13 cm (House 1985). Jumlah
daun bervariasi antara 7-40 helai, bergantung pada varietas (Gardner et al. 1981).
Tanah Sulfat Masam
Tanah sulfat masam adalah tanah yang mengandung pirit (FeS2) ≥ 2% dan
terletak pada kedalaman kurang dari 50 cm dari permukaan tanah (Widjaja-Adhi
et al. 1992). Tanah sulfat masam merupakan tanah liat rawa yang seringkali
memiliki lapisan gambut tipis < 20 cm; memiliki lapisan pirit yang belum
teroksidasi (bahan sulfidik) atau sudah teroksidasi (horison sulfurik) pada
kedalaman 0-50 cm (Suriadikarta dan Setyorini 2006) serta memiliki bercak
jarosit dan bahan penetral berupa karbonat atau basa-basa tertukar lainnya (Noor
2004).
Menurut Soil Survey Staff (2010), bahan sulfidik adalah bahan tanah
mineral atau organik mengandung senyawa belerang mudah teroksidasi yang
memiliki sifat diantaranya: a) pH >3.5 dan b) jika diinkubasi dalam keadaan
aerob pada kapasitas lapang dengan ketebalan 1 cm dan ditempatkan suhu
ruangan selama 8 minggu, akan mengalami penurunan pH 0.5 unit atau lebih
hingga pH tersebut mencapai nilai ≤ 4,0. Horison sulfurik adalah horison atau
lapisan tanah mineral atau organik dengan ketebalan 15 cm atau lebih yang
memiliki sifat diantaranya: a) memiliki pH < 3.5 dan b) memiliki pH rendah yang

4

diakibatkan oleh sulfat masam yang memiliki ciri bercak jarosit, terletak langsung
di atas lapisan bahan sulfidik dan kandungan sulfat larut air 0.05% atau lebih.
Pirit yang terkandung dalam tanah sulfat masam bersifat stabil jika berada
dalam kondisi reduktif, tetapi akan mengalami oksidasi jika tanah sulfat masam di
drainase. Menurunnya permukaan air tanah akibat pembuatan saluran drainase
primer-sekunder-tersier menyebabkan oksigen masuk ke dalam pori tanah dan
akan mengoksidasi pirit membentuk ion hidrogen dan Fe3+ dan asam sulfat yang
dapat meningkatkan kemasaman tanah hingga mencapai pH < 3.5
(Ponammperuma 1972).

Toksisitas Besi
Toksisitas besi di Indonesia banyak dijumpai terutama pada lahan pasang
surut yang mempunyai beberapa kendala seperti kahat hara, kemasaman yang
tinggi, kadar Al, Fe dan H2S yang tinggi (Sarwani 2004). Toksisitas besi
disebabkan karena berlebihnya unsur Fe bervalensi dua dalam tanah yang
menyebabkan akar tanaman tidak dapat menyerap dan mentransportasikan hara
yang dibutuhkan ke daun melalui transpirasi (Kasno 2009).
Gejala toksisitas besi umumnya mirip dengan gejala toksisitas aluminium
pada tajuk tanaman, namun keduanya memiliki gejala yang sangat berbeda pada
akar. Skeen (1992) mengamati bahwa ujung akar pada tanaman yang kelebihan
unsur besi umumnya lembek sementara ujung akar pada tanaman yang kelebihan
unsur aluminium ialah rapuh. Akar dari tanaman yang terkena toksisitas besi
berjumlah sedikit, kasar, pendek, dan berwarna cokelat gelap dan ketika terjadi
pengurangan cekaman akar tanaman perlahan-lahan akan kembali berwarna putih
(Sahrawat 2004). Umumnya keracunan besi ditandai dengan bintik-bintik cokelat
mulai dari ujung bawah daun kemudian naik ke daun atas sedangkan daun yang
lebih rendah akhirnya berubah abu-abu atau putih (Tadano 1975). Keracunan besi
yang meningkat menyebabkan daun berwarna cokelat keungu-unguan yang diikuti
mengeringnya daun (Sahrawat 2004). Menurut Fageria et al. (2008), toksisitas
besi pada tanaman akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tinggi tanaman
dan pembungaan, diskolorisasi daun dan kehilangan klorofil serta pengurangan
jumlah akar.
Gejala toksisitas besi ini akan berbeda pada tanaman tergantung usia
tanaman, status hara, dan budidaya. Mulleriyawa (1966) melaporkan bahwa
keracunan besi menyebabkan bronzing pada tanaman ketika tingkat tanah kalium
rendah dan kelebihan H2S dapat mempengaruhi tanaman untuk bronzing dengan
mengurangi atau menghambat akar untuk berespirasi. Tanaka dan Yoshida
(1970) menemukan bahwa dengan konsentrasi besi yang tinggi menyebabkan akar
padi akan mengoksidasi besi dan pada ujung akar menumpuk atau kelebihan
jumlah zat besi yang akan ditranslokasi ke daun yang lebih rendah. Pemotongan
akar meningkatkan penyerapan zat besi dan tingkat toksisitas.
Konsentrasi besi terendah ditemukan untuk menghasilkan toksisitas adalah
100 ppm pada pH 3.7, tapi kadang-kadang 500 ppm yang diperlukan, tergantung
pada banyak faktor. Jauh lebih sedikit zat besi diperlukan untuk melukai tanaman
dalam fase bibit dibandingkan tanaman yang lebih tua (Foy et al. 1978).

5

Mekanisme untuk penghindaran terhadap toksisitas besi pada sorgum
umumnya belum dipelajari, namun dapat dilakukan pendekatan terhadap tanaman
monokotil lainnya. Tanaman monokotil yang toleran terhadap Fe memiliki ciri :
sistem detoksifikasi yang lebih efisien yg mereduksi langsung toksisitas besi, dan
menurunkan laju pertumbuhan dengan meminimalisasi efek toksisitas tidak
langsung pada larutan hara (Snowden dan Wheeler 1993). Resistensi terhadap
toksisitas besi memiliki karakter yang kompleks antara genetik dan fisiologi.
Beberapa mekanisme toleransi menurut Dufey et al. (2009) diantaranya oksidasi
di rizosfer, eksudasi Fe2+ dari akar, menyimpan kelebihan Fe di dalam apoplas
dan vakuola serta detoksifikasi Fe yang diinduksi reaktif spesies oksigen (ROS)
oleh enzim antioksidan. Tak satu pun dari mekanisme ini secara langsung
ditargetkan dalam program pemuliaan (Shabala 2010). Sifat-sifat yang mudah
diukur ialah indeks bronzing pada daun, bobot kering tunas dan akar, jumlah
anakan, tinggi tanaman, panjang akar dan akumulasi Fe pada tunas (Wan et al.
2003)

METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu
Percobaan dilaksanakan di rumah kaca University farm Cikabayan (240
mdpl) dan Laboratorium Micro Technique, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Penelitian dilaksanakan pada April 2015 hingga Juni 2015.
Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan ialah benih sorgum genotipe Numbu, ZH
30-29-07 dan B-69. Bahan-bahan lainnya ialah aquades, NaOH 1M, HCl 1M, 2.2
bypiridine, styrofoam, arang sekam, dan larutan FeSO4.7H2O.EDTA, Komposisi
larutan hara yang digunakan mengacu pada Ohki (1987) yaitu 0.24 mM NH4NO3,
0.03 mM (NH4)2.SO4, 0.088 mM K2SO4, 0.38 mM KNO3, 1.27 mM
Ca(NO3)2.4H2O, 0.27 mM Mg(NO3)2.4H2O, 0.14 mM NaCl, 6.6 μM H3BO3, 5.1
μM MnSO4.4H2O, 0.61 μM ZnSO4.7H2O, 0.16 μM CuSO4.5H2O, 0.1 μM
Na2Mo7.7H2O, 45 μM FeSO4.7H2O-EDTA.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini ialah pot, alat pengaduk kayu,
meteran atau penggaris, timbangan analitik, jangka sorong, pH meter portable
AD-110, mikroskop, isolasi bening, mesin dan selang aerator.
Pelaksanaan
Penelitian ini terdiri atas 2 perobaan yaitu (1) penentuan konsentrasi Fe
untuk mempelajari respon tanaman sorgum terhadap toksisitas besi dan (2)
penentuan konsentrasi Fe untuk seleksi sorgum genotipe toleran dan peka.
Percobaan 1 dilaksanakan pada April 2015 dan percobaan 2 dilaksanakan pada
bulan Mei 2015 hingga Juni 2015. Percobaan 1 disusun berdasarkan rancangan
kelompok lengkap teracak (RKLT) dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor
pertama adalah konsentrasi Fe2+ menggunakan FeSO4.7H2O-EDTA yang terdiri
atas 5 taraf yakni 0, 200, 400, 600 dan 800 ppm. Faktor kedua adalah genotipe

6

sorgum yang terdiri atas Numbu, Mandau, ZH 30-29-07, B-69 dan B-75. Media
tanam yang digunakan pada Percobaan 1 adalah larutan hara Ohki (1987). Tiap
satu satuan percobaan terdiri atas 1 pot yang berisi 5 bibit sorgum. Saat
pelaksanaan di lapang, penanaman sorgum pada kultur hara tidak dilaksanakan
serentak 3 ulangan karena daya berkecambah beberapa genotipe sorgum rendah
dan banyaknya pengamatan yang dilakukan dikhawatirkan tidak selesai dan
memunculkan bias data. Ulangan pertama dan kedua dikerjakan pada minggu
pertama pindah tanam sementara ulangan ketiga pada minggu keduanya.
Benih sorgum yang telah disemai menggunakan media arang sekam hingga
berumur 7 hari setelah semai (HSS) kemudian dipindahkan pada media kultur
dengan memilih bibit yang memiliki panjang akar, tinggi tanaman dan jumlah
daun yang seragam. Pindah tanam bibit sorgum dilakukan dengan cara
memisahkan bibit dari media tanam dan kulit benih yang masih menempel serta
mencuci akar hingga bersih. Pangkal batang bibit sorgum kemudian dibungkus
menggunakan busa lunak dan diapungkan pada media kultur yang telah diberi
penyangga styrofoam. Media tanam disiapkan dengan mengisi larutan hara
sebanyak 2 L pot-1 dan menambahkan NaOH 1 M atau HCl 1 M untuk mencapai
pH 4.0. Perlakuan konsentrasi Fe2+ ditambahkan pada larutan hara setelah proses
pengapungan dalam larutan hara selama 7 hari. Larutan hara diberi aerasi agar Fe
dan hara lainnya tidak mengendap. Air yang hilang akibat transpirasi diganti
dengan menambahkan aquades agar jumlah larutan tetap dengan pH tetap
dipertahankan sekitar 4.0 selama tanaman dipelihara dengan menggunakan pH
meter portable AD-110 .
Pengamatan Percobaan 1 dilakukan pada semua tanaman di setiap satuan
percobaan. Variabel pengamatan yang diamati yakni pertumbuhan tanaman.
Pengamatan variabel pertumbuhan tanaman terdiri atas tinggi tanaman, jumlah
daun, diameter batang dan panjang akar yang dilakukan pada 7 dan 14 hari setelah
perlakuan (HSP). Pengamatan tinggi tanaman (cm) dilakukan dengan mengukur
tinggi tanaman dari permukaan batang sampai daun terpanjang pada batang utama
menggunakan alat bantu meteran atau penggaris. Pengamatan jumlah daun (helai)
dilakukan dengan menghitung jumlah daun yang telah membuka sempurna pada
batang utama. Panjang akar (cm) diukur dari permukaan batang sampai ujung
akar terpanjang dan diameter batang (cm) diukur pada batang utama
menggunakan jangka sorong.
Percobaan 2 disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak
(RKLT) dengan dua faktor dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah konsentrasi
Fe2+ menggunakan FeSO4.7H2O-EDTA yang terdiri atas 5 taraf yakni 0, 50, 100,
150 dan 200 ppm. Faktor kedua adalah genotipe sorgum yang terdiri atas Numbu,
ZH 30-29-07 dan B-69. Konsentrasi FeSO4.7H2O-EDTA yang digunakan pada
percobaan 2 berdasarkan hasil yang diperoleh pada percobaan 1 dan genotipe
yang terpilih ialah didasarkan pada daya kecambah yang tinggi sewaktu
penyemaian. Prosedur persiapan dan penanaman bibit sama dengan prosedur pada
Percobaan 1.
Pengamatan pada Percobaan 2 dilakukan pada semua tanaman di setiap
satuan percobaan. Variabel pengamatan yang diamati terdiri atas pertumbuhan
tanaman dan fisiologis serta pengamatan data lingkungan.
1. Variabel Pertumbuhan. Pengamatan tinggi tanaman, jumlah daun, diameter
batang dan panjang akar dilakukan pada 7 dan 14 hari setelah perlakuan (HSP),

7

bobot basah tajuk dan akar serta bobot kering tajuk dan akar dilakukan pada 14
HSP.
a. Tinggi tanaman (cm), tinggi tanaman diukur dari permukaan batang sampai
daun terpanjang pada batang utama menggunakan alat bantu meteran atau
penggaris.
b. Jumlah daun (helai), dihitung jumlah daun pada batang utama.
c. Panjang akar (cm), diukur dari permukaan batang sampai ujung akar
terpanjang.
d. Diameter batang (cm), diukur pada batang utama menggunakan jangka
sorong.
h. Bobot basah tajuk (g). Pengamatan bobot basah tajuk dilakukan dengan
menimbang tajuk menggunakan timbangan analitik.
i. Bobot basah akar (g). Pengamatan bobot basah akar dilakukan dengan
menimbang akar menggunakan timbangan analitik.
j. Bobot kering tajuk (g). Pengamatan bobot kering tajuk dilakukan dengan
menimbang tajuk setelah dikeringkan menggunakan oven selama 72 jam
pada suhu 60 °C.
k. Bobot kering akar (g). Pengamatan bobot kering akar dilakukan dengan
menimbang akar setelah dikeringkan menggunakan oven selama 72 jam
pada suhu 60 °C.
2. Variabel fisiologis kerusakan daun dan akar. Pengamatan anatomi akar
dilakukan pada 7 dan 14 HSP, gejala bronzing daun dan pola pewarnaan besi
dilakukan pada 14 hari setelah perlakuan (HSP).
a. Pola pewarnaan besi / Distribusi Besi. Dianalisis menggunakan metode
semi kuantitatif 2.2’bipyridine (Engel et al. 2012).
b. Anatomi akar. Akar bibit sorgum sekitar 1 cm dari ujung akar diiris
melintang lalu diukur tebal epidermis, tebal korteks, diameter stele dan
jumlah metaxylem pada mikroskop jenis DP2-BSW dengan perbesaran 10x.
1

2

Keterangan:
1. Tebal epidermis
2. Diameter stele
3. Jumlah metaxylem
4. Tebal korteks

3
4
100 µm

Gambar 1 Ilustrasi pengukuran anatomi akar sorgum
c. Gejala bronzing daun. Diukur menggunakan skala leaf bronzing indeks yang
dikembangkan oleh Shimizu et al. (2005), seperti yang ditampilkan pada
Gambar 2 dan Tabel 1.

8

Gambar 2 Ilustrasi nilai indeks persentase tingkat keparahan cekaman Fe
(Shimizu et al. 2005)
Tabel 1 Standar evaluasi nilai skoring gejala bronzing pada daun (Shimizu et al.
2005)
Persentase Luas Daun
yang Terpengaruh
0
1-9
10-19
20-29
30-39
40-49
50-59
60-69
70-79
80-89
90-99

Skala Bronzing

Tingkat toleransi

0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

Sangat toleran
Toleran
Toleran
Toleran
Moderat
Moderat
Peka
Peka
Peka
Sangat peka
Sangat peka

3. Pengamatan data lingkungan, meliputi:
a. Pengukuran pH media. Kondisi larutan media dimonitor setiap hari dengan
menggunakan pH meter portable AD-110.
b. Suhu rumah kaca (°C), diukur dengan cara mengamati suhu setiap hari pada
pukul 08.00, 12.00, dan 16.00 WIB menggunakan termometer. Data suhu
kemudian dibuat menjadi data suhu harian. Pengukuran rata-rata suhu harian
dihitung menggunakan rumus (Handoko 1993):
Trata-rata harian = (2T08.00+(T12.00)+T16.00)/4
T08.00 = suhu pada pengamatan pukul 08.00;
T12.00 = suhu pada pengamatan pukul 12.00;
T16.00 = suhu pada pengamatan pukul 16.00.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis ragam pada α = 1%
dan 5%. Jika perlakuan berpengaruh nyata berdasarkan analisis ragam dilanjutkan
dengan pengujian beda nilai tengah antar perlakuan dengan Uji Wilayah Berganda
Duncan (DMRT) pada taraf 5% menggunakan STAR (Statistical Tool for
Agricultural Research). Analisis regresi dilakukan untuk menentukan karakter
seleksi yang tepat. Setelah diperoleh karakter seleksi yang ditepat dilakukan
penentuan analisis reduction concentration 50 (RC50) menggunakan software
CurveExpert. RC50 dilakukan untuk menentukan konsentrasi Fe yang menurunkan
50% pertumbuhan tanaman sorgum.

9

HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan 1 Penentuan konsentrasi Fe untuk mempelajari respon sorgum
terhadap toksisitas Fe
Secara umum suhu rata-rata di dalam rumah kaca pada bulan April 2015
adalah 28.31°C, dengan suhu maksimum pada bulan minggu ke-2 adalah 29.56°C
dan suhu minimum pada minggu ke-4 adalah 27.33°C. Menurut Dicko et al.
(2006) tanaman sorgum dapat tumbuh baik pada kisaran suhu 20-30 °C dan
kelembaban udara yang rendah, oleh karena itu suhu lingkungan pada penelitian
ini sesuai dengan syarat tumbuh sorgum.
Hasil percobaan 1 menunjukkan bahwa semua genotipe sorgum mati pada
perlakuan konsentrasi Fe diatas 200 ppm (Gambar 3). Adanya Fe yang berlebih
diserap oleh tanaman menyebabkan pertumbuhan menjadi terhambat.

Gambar 3 Keragaan sorgum genotipe Numbu, Mandau, ZH 30-29-07, B-69 dan
B-75 pada berbagai konsentrasi Fe yang diujikan pada 7 HSP
Pengaruh toksisitas Fe terhadap pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada
gambar 4 A-D. Rata-rata tinggi tanaman meningkat pada 3 HSP namun pada 5
HSP menurun (Gambar 4A). Tinggi tanaman menurun karena adanya cekaman
toksisitas Fe. Tinggi tanaman pada genotipe sorgum yang diberi perlakuan 0 ppm
dan 200 ppm Fe, terus meningkat sementara ketika diberi perlakuan 400 ppm, 600
ppm dan 800 ppm Fe pertambahan tinggi tanaman semua genotipe sorgum
terhambat. Penelitian Aung (2006), menunjukkan bahwa tinggi tanaman 10
varietas padi yang diberi perlakuan 1500 ppm Fe selama 3 hari menurun
dibandingkan hari pertama pengamatan.
Diameter batang 5 HSP pada genotipe Numbu, Mandau, ZH 30-29-07, B-69
dan B-75 juga mengalami penurunan pada konsentrasi Fe lebih dari 200 ppm
(Gambar 4B). Hambatan pertumbuhan diameter batang paling signifikan pada
genotipe B-69. Konsentrasi Fe sebesar 800 ppm menyebabkan diameter batang
menurun sebesar 52.17 % pada genotipe B-69, 50% pada genotipe ZH 30-29-07,
47.62% pada genotipe B-75, 45% pada genotipe Mandau dan 44.44% pada
genotipe Numbu dibandingkan kontrol pada 5 HSP.

10

Tinggi tanaman (cm)

A

Diameter batang (cm)

B

Jumlah daun

C

Panjang akar (cm)

D

Gambar 4 Tinggi tanaman (A), diameter batang (B), jumlah daun (C) dan panjang
akar (D) pada genotipe sorgum Numbu, Mandau, ZH 30-29-07, B-69
dan B-75 pada 1, 3 dan 5 HSP

11

Panjang akar genotipe Numbu, Mandau, ZH 30-29-07, B-69 dan B-75 pada
perlakuan 0 ppm dan 200 ppm meningkat sementara panjang akar yang diberi
perlakuan 400 ppm, 600 ppm dan 800 ppm menjadi terhambat (Gambar 4C).
Genotipe yang diberi perlakuan 400 ppm, 600 ppm dan 800 ppm awalnya
mengalami peningkatan panjang akar pada 0 HSP sampai 3 HSP, dan menurun
pada 5 HSP. Penelitian Batty dan Younger (2003), menunjukkan bahwa panjang
akar kecambah Phragmites australis yang diberi perlakuan lebih dari 2 mg L-1
mengalami penurunan dibandingkan panjang akar pada awal pengamatan.
Penurunan panjang akar yang terjadi selama pengamatan disebabkan akar sorgum
yang lembek dan putus akibat berlebihnya Fe yang diserap oleh akar
Toksisitas Fe mempengaruhi jumlah daun masing-masing genotipe sorgum
(Gambar 4D). Jumlah daun genotipe Numbu, Mandau, ZH 30-29-07, B-69 dan B75 meningkat pada 3 HSP pada semua konsentrasi Fe yang diujikan, namun
jumlah daun kemudian menurun pada 5 HSP pada konsentrasi 400, 600 dan 800
ppm. Pengamatan jumlah daun hanya dilakukan sampai 5 HSP karena pada
pengamatan 7 HSP semua genotipe sorgum mati pada konsentrasi 400, 600 dan
800 ppm. Berlebihnya Fe yang diserap oleh tanaman menyebabkan penurunan
jumlah daun. Jumlah daun berkurang pada 5 HSP disebabkan daun tua pada
tanaman sorgum banyak yang mati akibat toksisitas Fe. Barker dan Pilbeam
(2007), menyatakan bahwa gejala toksisitas Fe mudah diamati pada daun yakni
dengan munculnya bercak berwarna cokelat kemerahan atau bronzing yang
mengakibatkan daun mati sebelum waktunya.

Percobaan 2 Penentuan konsentrasi Fe untuk seleksi sorgum genotipe
toleran dan peka
Secara umum suhu rata-rata di dalam rumah kaca pada bulan Mei hingga
Juni 2015 adalah 28.73°C, dengan suhu maksimum pada bulan Mei minggu ke-3
adalah 29.71°C dan suhu minimum pada bulan Mei minggu ke-1 adalah 26.53°C.
Menurut Dicko et al. (2006) tanaman sorgum dapat tumbuh baik pada kisaran
suhu 20-30 °C dan kelembaban udara yang rendah, oleh karena itu suhu
lingkungan pada penelitian ini sesuai dengan syarat tumbuh sorgum.
Data pH larutan hara pada masing-masing genotipe berfluktuatif.
Pengamatan hari ke-14, pH larutan hara mencapai 5 pada genotipe Numbu yakni
pada konsentrasi Fe 0 ppm, 50 ppm dan 100 ppm, pada genotipe B-69 yakni pada
kosentrasi Fe 0 ppm dan 50 ppm sementara pada genotipe ZH 30-29-07 pH
larutan hara masih di kisaran 4 (Gambar 5 A, B dan C).

12

A

B

C

Gambar 5 pH larutan hara pada genotipe Numbu (A), ZH 30-29-07 (B) dan B-69
(C) dengan berbagai taraf konsentrasi Fe
Berdasarkan hasil uji F pada Tabel 2, pengaruh faktor pertama (genotipe)
dan pengaruh faktor kedua (konsentrasi Fe) terhadap pertumbuhan bibit sorgum
Numbu, ZH 30-29-07 dan B69 berpengaruh nyata pada beberapa variabel
pertumbuhan namun interaksi antara keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap
seluruh variabel pertumbuhan kecuali panjang akar pada 14 HSP.

13

Tabel 2 Hasil sidik ragam pengaruh genotipe, konsentrasi Fe dan interaksi
genotipe dan konsentrasi Fe terhadap berbagai variabel pengamatan
Variabel
Pengamatan
Genotipe
Tinggi Tanaman
7 HSP
**
14 HSP
**
Jumlah Daun
7 HSP
tn
14 HSP
**
Diameter Batang
7 HSP
**
14 HSP
**
Panjang Akar
7 HSP
*
14 HSP
tn
Bobot Basah Akar
14 HSP
*
Bobot Basah Tajuk
14 HSP
**
Bobot Kering Akar
14 HSP
**
Bobot Kering Tajuk
14 HSP
**
Diameter Epidermis
7 HSP
tn
14 HSP
*
Diameter Korteks
7 HSP
*
14 HSP
tn
Diamater Stele
7 HSP
*
14 HSP
tn
Jumlah Metaxylem
7 HSP
**
14 HSP
tn
Persentase Skoring
10 HSP
**
12 HSP
**
14 HSP
**
Skala Skoring
10 HSP
**
12 HSP
**
14 HSP
**

Sumber Keragaman
Konsentrasi
Genotipe*konsentrasi

KK (%)

**
**

tn
tn

8.67
9.52

**
**

tn
tn

6.32
7.39

**
**

tn
tn

9.88
8.64

tn
**

tn
**

12.67
11.23

**

tn

28.54

**

tn

19.74

**

tn

27.60

**

tn

18.74

tn
tn

tn
tn

27.55
21.78

*
*

tn
tn

28.51
25.65

**
**

tn
tn

22.67
19.27

**
**

tn
tn

37.18
26.36

**
**
**

**
**
**

13.26
12.94
14.74

**
**
**

**
**
**

18.88
16.56
18.48

Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf 5% , ** berpengaruh sangat nyata pada taraf
1%, tn = Tidak berpengaruh nyata. KK= Koefisien Keragaman. HSP = Hari
Setelah Perlakuan

14

Pengaruh Konsentrasi Fe terhadap Pertumbuhan Sorgum pada Kultur Hara
Toksisitas Fe dengan konsentrasi 100 ppm sudah menunjukkan hambatan
pertumbuhan sorgum yang signifikan pada 7 HSP terhadap kontrol, yaitu pada
variabel jumlah daun dan diameter batang (Tabel 3). Seluruh variabel
pertumbuhan mengalami hambatan pertumbuhan pada konsentrasi Fe lebih dari
100 ppm sejak 7 HSP. Hambatan pertumbuhan semakin terlihat jelas pada 14 HSP
dimana konsentrasi rendah yakni 50 ppm sudah menunjukkan perbedaan terhadap
kontrol pada variabel panjang akar, diameter batang, dan jumlah daun.
Meningkatnya konsentrasi Fe yang diberikan semakin menghambat pertumbuhan
tanaman yang diamati. Menurut Ward et al. (2008), tanaman Arabidopsis thaliana
yang diberi perlakuan 100 µM Fe-EDTA memiliki panjang akar yang lebih
pendek dibandingkan dengan panjang akar yang diberi perlakuan 0 dan 10 µM FeEDTA. Penelitian Nenova (2006), menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi
Fe menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tinggi tanaman Pisum sativum L. cv.
Manuela sekitar 25-40%.
Tabel 3 Tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang dan panjang akar pada
beberapa taraf konsentrasi Fe pada 7 dan 14 HSP
KonsenTinggi tanaman
trasi Fe
(cm)
(ppm)
7 HSP
14 HSP
0
31.30a
47.25a
50
30.26ab 43.86ab
100
29.20abc 41.48bc
150
28.08bcd 38.27cd
200
26.17d
37.10d
Angka rataan yang diikuti oleh
pada uji DMRT 5%.

Jumlah daun

Diameter
Panjang akar
batang (cm)
(cm)
7HSP 14 HSP 7 HSP 14 HSP 7 HSP 114 HSP
4.51a
5.50a
0.26a 0.36a
21.28a 33.27a
4.36ab 5.07b 0.25a 0.34b
20.41a 28.82b
4.22bc 4.72c
0.23b 0.32bc 19.26ab 27.59b
4.16bc 4.18d 0.22bc 0.30c
17.64bc 26.00b
3.98c
4.01d 0.20c 0.28d
16.42c 21.74c
huruf yang sama pada kolom sama tidak berbeda nyata

Data Tabel 4 menunjukkan bahwa toksisitas Fe dengan konsentrasi 50
ppm sudah menunjukkan hambatan pertumbuhan yang signifikan terhadap
kontrol, yaitu pada variabel bobot kering tajuk. Variabel bobot basah akar, bobot
basah tajuk dan bobot kering akar mengalami hambatan pertumbuhan pada
konsentrasi lebih dari 50 ppm.
Tabel 4 Bobot basah akar,bobot basah tajuk, bobot kering akar dan bobot kering
tajuk pada beberapa taraf konsentrasi Fe
Konsentrasi
Fe (ppm)

Bobot Basah
Bobot Basah
Bobot Kering
Bobot Kering
Akar
Tajuk
Akar
Tajuk (g)
(g)
(g)
(g)
0
2.00a
2.48a
0.29a
0.33a
50
1.79ab
2.22ab
0.26a
0.27b
100
1.50bc
2.02bc
0.23ab
0.24bc
150
1.18cd
1.82bcd
0.17cd
0.20cd
200
1.03d
1.55d
0.13d
0.17d
Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom sama tidak berbeda nyata
pada uji DMRT 5%.

15

Pengaruh Genotipe terhadap Pertumbuhan Sorgum pada Kultur Hara
Tabel 5 menunjukkan Genotipe Numbu memiliki tinggi tanaman, jumlah
daun, diameter batang dan panjang akar yang paling tinggi dibandingkan genotipe
lainnya. Genotipe ZH 30-29-07 menunjukkan pertumbuhan paling rendah pada
berbagai perlakuan konsentrasi Fe yang diujikan.
Tabel 5 Tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang dan panjang akar pada
beberapa genotipe sorgum
Tinggi tanaman
Jumlah daun
(cm)
7 HSP 14 HSP 7 HSP 14 HSP
Numbu 33.28a 46.33a
4.29
5.25a
ZH 30- 25.59b 38.11b
4.22
4.40c
29-07
B-69
27.06b 38.77b
4.22
4.66b
Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama
pada uji DMRT 5%.
Genotipe

Diameter batang
(cm)
7 HSP 14 HSP
0.254a 0.35a
0.22b
0.29c

Panjang Akar
(cm)
7 HSP 14 HSP
20.54a 30.36a
17.78b 28.51a

0.22b
0.31b
18.98a 25.12b
pada kolom sama tidak berbeda nyata

Data Tabel 6 menunjukkan bahwa genotipe Numbu memiliki bobot basah
akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk yang paling
besar dibandingkan dua genotipe lainnya sementara genotipe ZH 30-29-07 dan B69 tidak berbeda nyata dan merupakan genotipe yang memiliki bobot basah akar,
bobot basah tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk yang paling rendah.
Berdasarkan data tabel 5 dan 6 diketahui bahwa genotipe Numbu memiliki
keragaan tanaman yang paling besar dibandingkan kedua genotipe lainnya.
Tabel 6 Bobot basah akar,bobot basah tajuk, bobot kering akar dan bobot kering
tajuk pada beberapa genotipe sorgum
Genotipe
Bobot Basah
Bobot Basah
Bobot Kering Bobot Kering
Akar
Tajuk
Akar
Tajuk
(g)
(g)
(g)
(g)
1.74a
2.46a
0.27a
0.30a
Numbu
1.81b
0.18b
0.20b
ZH 30-29-07 1.34b
1.35b
1.70b
0.19b
0.21b
B-69
Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom sama tidak berbeda nyata
pada uji DMRT 5%.

Hasil analisis regresi seperti yang tertera pada Gambar 6A-F menunjukkan
bahwa nilai R2 pada variabel tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang,
panjang akar (7 dan 14 HSP) serta variabel bobot basah akar, bobot basah tajuk,
bobot kering akar dan bobot kering tajuk mendekati nilai 1. Hasil regresi tersebut

16

A

B

Tinggi tanaman (cm)

Jumlah daun

menunjukkan bahwa variabel tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang,
panjang akar , bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar, bobot
kering tajuk
Menurut Wan et al. (2003), sifat-sifat yang mudah diukur untuk mengetahui
toleransi toksisitas besi suatu tanaman ialah indeks bronzing pada daun, bobot
kering tunas dan akar, jumlah anakan, tinggi tanaman, panjang akar dan
akumulasi Fe pada tunas.

E

F
Bobot kering akar dan tajuk (g)

Panjang akar (cm)

D

Bobot basah akar dan tajuk (g)

Diameter batang (cm)

C

17

pada perlakuan berbagai konsentrasi Fe
Analisis Reduction Concentration 50 (RC50) dilakukan pada variabelvariabel yang terpilih sebagai karakter seleksi. Reduction concentration 50 adalah
konsentrasi bahan uji yang menyebabkan penurunan nilai peubah sebesar 50%
dari kontrol pada konsentrasi radikal (meracun) yang dihitung sebagai mg mL-1
(Razavi et al. 2008). Firdausya (2015) menggunakan nilai RC50 sebagai
konsentrasi untuk seleksi tanaman gandum terhadap cekaman kekeringan.
Berdasarkan hasil analisis RC50 konsentrasi Fe yang menyebabkan hambatan
pertumbuhan hingga 50% pada variabel tinggi tanaman, jumlah daun dan
diameter batang mencapai lebih dari 300 ppm pada 7 dan 14 HSP (Tabel 7).
Konsentrasi Fe sebesar 218.9 ppm menyebabkan hambatan pertumbuhan panjang
akar hingga 50% pada 7 HSP. Hambatan pertumbuhan hingga 50% pada variabel
bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar, bobot kering tajuk pada
14 HSP terjadi pada konsentrasi Fe sebesar 200 ppm. Oleh karena itu, seleksi
sorgum pada kondisi toksisitas Fe dapat dilakukan pada konsentrasi 200 ppm
menggunakan variabel panjang akar, bobot basah akar, bobot basah tajuk, bobot
kering akar serta bobot kering tajuk pada 14 HSP. Asch et al. (2005) yang
menyatakan bahwa konsentrasi Fe dalam larutan yang menyebabkan keracunan
bervariasi sangat luas berkisar antara 10-500 ppm Fe.
Tabel 7 Hasil analisis reduction concentration
pertumbuhan
Variabel
Tinggi tanaman
Jumlah daun
Diameter Batang
Panjang akar
Bobot Basah Akar
Bobot Basah Tajuk
Bobot Kering Akar
Bobot Kering Tajuk

50

(RC50) pada berbagai variabel
RC50 (%)

7 HSP (ppm)
329.20
1164.50
373.50
218.90
-

14 HSP (ppm)
407.40
418.90
450.00
229.30
198.90
226.70
181.70
208.90

Penentuan perbedaan toleransi ketiga genotipe dilakukan dengan uji lanjut
RKLT satu faktor dengan variabel yang telah diseleksi yakni panjang akar, bobot
basah akar, bobot basah tajuk, bobot kering akar dan bobot kering tajuk pada
konsentrasi Fe 200 ppm. Tabel 8 menunjukkan bahwa toleransi genotipe Numbu
dan B-69 terhadap toksisitas Fe tidak berbeda nyata dan memiliki toleransi yang
lebih baik pada karakter panjang akar, bobot basah akar dan tajuk dan bobot
kering akar dibandingkan ZH 30-29-07 yang memiliki toleransi rendah terhadap
semua karakter yang diamati.

18

Tabel 8 Pengaruh genotipe terhadap bobot basah akar dan tajuk serta bobot kering
akar dan tajuk pada konsentrasi 200 ppm Fe pada 14 HSP
Genotipe
Panjang
Bobot
Bobot
Bobot
Bobot
Akar
Basah
Basah
Kering
Kering
Akar
Tajuk
Akar
Tajuk
Numbu
ZH 30-29-07
B-69

23.08a
20.02b
21.75ab

1.37a
0.61b
1.00ab

3.31a
2.25b
2.72ab

0.19a
0.05b
0.13a

0.26a
0.09b
0.15b

Angka rataan yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris sama tidak berbeda nyata
pada uji DMRT 5%.

Menurut Mehbaran et al. (2008), adanya peningkatan konsentrasi Fe2+
dalam substrat dapat menurunkan pengembangan radikula terutama ketika
konsentrasi Fe2+ melampaui 50 mg L-1 karena konsentrasi logam yang tinggi
meningkatkan peroksidasi lipid, terutama di zona radikula, yang disertai dengan
terhambatnya pertumbuhan tanaman. Pengurangan volume radikula dapat
menginduksi penurunan drastis kadar relatif air pada tanaman (Dordolot et al.
2005). Hal ini lah yang menyebabkan genotipe sorgum yang peka memiliki bobot
kering akar yang rendah. Hasil pengamatan terhadap variabel bobot basah akar
dan tajuk serta bobot kering akar dan tajuk menunjukkan bahwa Numbu dan B69 memiliki tingkat toleransi terhadap toksisitas besi yang lebih tinggi
dibandingkan ZH 30-29-07.
Data pada variabel pertumbuhan didukung oleh data pada variabel
fisiologis yakni pola pewarnaan besi, anatomi akar dan gejala bronzing daun.
Pengamatan pola pewarnaan besi pada jaringan akar menggunakan 2.2’
bipyridine. Pewarna bypiridine digunakan untuk mendeteksi besi dalam jaringan
tanaman. Jaringan tanaman yang mengandung ion Fe2+ akan muncul formasi
warna merah ketika bereaksi dengan 2.2 bipyridine seperti pada ujung akar dan
hasil irisan akar pada gambar 7 dan 8. Berdasarkan Gambar 7 diketahui bahwa
formasi warna merah pada ujung akar sorgum semakin terlihat dengan
meningkatnya konsentrasi Fe. Formasi warna merah pada ujung akar seluruh
genotipe terlihat jelas pada konsentrasi 200 ppm.

19

Genotipe Sorgum
ZH 30-29-07

B-69

50 ppm
100 ppm
200 ppm

150 ppm

Konsentrasi FeSO4.EDTA

0 ppm

Numbu

Gambar 7 Pola-pola formasi warna merah pada ujung akar bibit sorgum 14 HSP
Irisan melintang akar pada genotipe ZH 30-29-07, B-69 dan Numbu
menunjukkan adanya formasi merah mencapai jaringan epidermis dan endodermis

20

pada konsentrasi 50 ppm Fe (Gambar 8). Hal ini menunjukkan bahwa pada
konsentrasi Fe rendah (50 ppm) besi sudah terdeteksi pada jaringan akar.
Genotipe Sorgum
ZH 30-29-07

B-69

100 µm

100 µm

100 µm

100 µm

100 µm

100 µm
µm
100

100 µm

100 µm

100 µm

100 µm

100 µm

100 µm

100 µm

100 µm

100 ppm

50 ppm

100 µm

200 ppm

150 ppm

Konsentrasi FeSO4.EDTA

0 ppm

Numbu

Gambar 8 Irisan melintang akar sorgum genotipe Numbu, ZH 30-29-07 dan B-69
pada kondisi 0 ppm, 50 ppm, 100 ppm , 150 ppm Fe, dan 200 ppm Fe
pada 14 HSP.

21

Berdasarkan hasil pengamatan pada variabel pertumbuhan diketahui
bahwa Numbu merupakan genotipe yang memiliki toleransi terhadap toksisitas Fe
yang lebih baik dibandingkan dua genotipe lainnya. Pengamatan anatomi akar
dilakukan untuk mendukung data pada variabel pertumbuhan. Berdasarkan
anatomi akar yakni tebal epidermis dan tebal korteks tidak terlalu dipengaruhi
secara signifikan oleh meningkatnya konsentrasi Fe2+ baik pada genotipe Numbu,
ZH 30-29-07 dan B-69 pada 7 dan 14 HSP (Gambar 9 dan 10), namun
berpengaruh secara signifikan pada pengamatan diameter stele dan jumlah
metaxylem (Gambar 11 dan 12).

Gambar 9 Perbandingan tebal epidermis genotipe Numbu, ZH 30-29-07 dan B-69
pada perlakuan berbagai konsentrasi Fe

Gambar 10 Perbandingan tebal korteks genotipe Numbu, ZH 30-29-07 dan B-69
pada perlakuan berbagai konsentrasi Fe
Diameter stele menurun secara signifikan dengan meningkatnya
konsentrasi Fe pada seluruh genotipe yang diamati pada 7 HSP (Gambar 11).
Jumlah metaxylem menurun secara signifikan denga