. Identifikasi Faktor Risiko Terjadinya Resistensi Enterobacteriaceae Pada Daging Ayam Broiler Dan Ayam Lokal Di Kabupaten Bogor

IDENTIFIKASI FAKTOR RISIKO TERJADINYA RESISTENSI
ENTEROBACTERIACEAE PADA DAGING AYAM BROILER
DAN AYAM LOKAL DI KABUPATEN BOGOR

WIDYATMOKO ADE PURBO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Identifikasi Faktor
Risiko Terjadinya Resistensi Enterobacteriaceae pada Daging Ayam Broiler dan
Ayam Lokal di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Widyatmoko Ade Purbo
NIM B04090110

 Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar
IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

ABSTRAK
WIDYATMOKO ADE PURBO. Identifikasi Faktor Risiko Terjadinya Resistensi
Enterobacteriaceae pada Daging Ayam Broiler dan Ayam Lokal di Kabupaten
Bogor. Dibimbing oleh ABDUL ZAHID ILYAS dan TRIOSO
PURNAWARMAN.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor risiko terjadinya resistensi
Enterobacteriaceae pada daging ayam broiler dan ayam lokal di Kabupaten Bogor
serta mengetahui tindakan pencegahan yang tepat untuk menekan kejadian
resistensi bakteri terhadap antibiotik. Variabel penelitian meliputi data sekunder
kondisi resistensi Enterobacteriaceae pada daging ayam broiler dan ayam lokal di
Kabupaten Bogor dan manajemen penggunaan antibiotik serta keadaan umum
peternakan ayam broiler dan ayam lokal yang diperoleh melalui wawancara dengan

menggunakan kuesioner terstruktur yang dirancang oleh peneliti. Data yang telah
diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan metode chi─square dan odds
ratio. Manajemen penggunaan antibiotik dan keadaan umum peternakan ayam
broiler yang memiliki asosiasi terhadap kondisi resistensi Enterobacteriaceae pada
daging ayam broiler (P65 000)

29

96.7

30

100.0

1

3.3

0


0.0

0

0.0

0

0.0

Ketersediaan tempat minum

Kurang
Cukup

22
8

73.3
26.7


17
13

56.7
43.3

Sumber air

PDAM
Sumur

0
21

0.0
70.0

1
24


3.3
80.0

Sungai

0

0.0

0

0.0

Mata air

9

30.0


5

16.7

Luasan kandang

Kurang
Cukup

8
22

26.7
73.3

5
25

16.7
83.3


Pakan

Pakan komersial
Pakan non komersial
/campur sendiri
Kombinasi pakan
komersial dan non
komersial /campur
sendiri

29
0

96.7
0.0

0
27


0.0
90.0

1

3.3

3

10.0

Jenis usaha

Kemitraan
Mandiri

Jenis peternakan

Sebesar 80.0% peternak responden ayam broiler berjenis usaha kemitraan dan
hanya 20.0% berjenis usaha mandiri (Tabel 3). Peternak ayam broiler memilih

berjenis usaha kemitraan dengan alasan bahwa pihak perusahaan yang bermitra
bersedia memberikan bantuan modal serta menanggung biaya oprasional utama,
seperti biaya pakan dan obat─obatan. Menurut Surat Keputusan Menteri Pertanian
No. 472/Kpts/TN.330/6/96, usaha peternakan ayam broiler terbagi menjadi tiga
kategori, yaitu peternak rakyat, pengusaha kecil peternakan, dan pengusaha
peternakan (Kementan RI 1996). Peternak rakyat adalah peternak yang
mengusahakan budidaya ayam dengan jumlah populasi maksimal 15 000 ekor per
periode. Pengusaha kecil peternakan adalah peternak yang membudidayakan ayam
dengan jumlah populasi maksimal 65 000 ekor per periode. Pengusaha peternakan
adalah peternak yang membudidayakan ayam dengan jumlah populasi melebihi 65
000 ekor per periode. Berdasarkan pembagian tersebut, mayoritas peternak ayam
broiler di Kabupaten Bogor (96.7%) merupakan peternak rakyat dengan jumlah
populasi kurang dari 15 000 ekor (Tabel 3). Hal ini didukung oleh Fadillah et al.
2007 bahwa secara kuantitatif dilaporkan terdapat 75 000 peternak rakyat yang
berperan dan mendominasi 65% dari produksi unggas nasional.

8
Peralatan pendukung kandang seperti tempat pakan dan tempat minum ayam
disesuaikan jumlahnya dengan luas kandang dan jumlah populasi ayam dalam
kandang. Menurut Hardjosworo dan Rukmiasih (2000), kepadatan kandang yang

baik untuk ayam umur 15–21 hari adalah 8–10 ekor/m2, sedangkan untuk jumlah
tempat pakan dan tempat minum tersedia dalam Tabel 4. Sebesar 73.3% peternak
responden ayam broiler memiliki luas kandang yang sesuai (cukup) terhadap
jumlah populasi dalam kandang sedangkan sebesar 26.7% memiliki luas kandang
yang kurang (sempit) (Tabel 3). Populasi yang terlalu padat dalam kandang yang
sempit dapat menyebabkan tidak meratanya pertumbuhan ayam akibat keterbatasan
mobilitas ayam untuk mencapai tempat pakan. Selain itu, populasi yang terlalu
padat juga dapat memicu munculnya penyakit bagi ternak ayam.
Tabel 4 Ketentuan tempat pakan dan tempat minum per ekor
Umur ayam
(minggu)
0–4
4–8

Luas tempat pakan per ekor
(cm2)
2.5
2.5

Luas tempat minum per

ekor (cm2)
0.5
0.5

Sumber: Fadilah et al. 2007

Sebesar 73.3% peternak responden ayam broiler memiliki jumlah tempat
minum yang kurang dan hanya 26.7% yang memiliki jumlah tempat minum yang
mencukupi. Fadilah et al. (2007) menyebutkan bahwa ketentuan manajemen
pemeliharaan ayam pedaging yang baik untuk ayam umur 15–28 hari yaitu 60 buah
tempat minum ayam ukuran minimal 1G (kapasitas 3.250─3.350 ml) untuk 1000
ekor ayam. Kurang tersedianya jumlah tempat minum ayam disebabkan
ketidaktahuan peternak tentang ketentuan manajemen berternak yang baik serta
beberapa peternak mengaku sengaja melakukan hal tersebut untuk menekan biaya
produksi. Sebesar 70.0% peternak responden ayam broiler memanfaatkan air sumur
sebagai sumber air minum bagi ternak dan 30.0% menggunakan sumber mata air
(Tabel 3). Peternak mengaku dengan menggunakan air sumur dan mata air,
peternak dapat menekan biaya produksi.
Secara umum jenis pakan ayam broiler terbagi menjadi tiga berdasarkan umur
ayam yaitu, starter, grower, dan finisher. Pakan starter diberikan pada ayam
berumur 1–14 hari, pakan grower diberikan pada ayam berumur 15–39 hari, dan
pakan finisher diberikan pada ayam berumur 40 hari sampai panen. Pakan yang
diberikan harus mengandung nutrisi seperti energi, protein, lemak, vitamin,
mineral, dan suplemen nutrisi lainnya (Fadilah et al. 2007). Saat ini telah banyak
pakan untuk ayam broiler yang beredar di pasaran dengan kandungan nutrisi yang
lengkap. Dalam pakan komersial umumnya telah ditambahkan pemacu
pertumbuhan atau growth promotor oleh pihak produsen pakan. Penambahan
growth promotor bertujuan untuk penggemukan dan meningkatkan palatabilitas
pakan sehingga pemanfaatan pakan lebih efisisen. Growth promotor yang sering
digunakan adalah antibiotik sehingga sering juga disebut sebagai antibiotic growth
promotor (AGP). AGP mampu memacu pertumbuhan ternak ayam broiler dengan
cara menghambat pertumbuhan mikroorganisme patogen dalam saluran pencernaan
(Mulyantini 2010).

9
Sebesar 96.7% peternak responden ayam broiler di Kabupaten Bogor dengan
jenis usaha ternak kemitraan umumnya menggunakan pakan komersial sebagai
pakan ternak (Tabel 3). Menurut Bahri et al. (2005), hampir semua pabrik pakan
menambahkan obat hewan berupa antibiotik ke dalam pakan komersial, sehingga
sebagian besar pakan komersial yang beredar di Indonesia mengandung antibiotik.
Keadaan ini diperkuat oleh informasi bahwa sebagian besar sampel pakan ayam
dari Cianjur, Sukabumi, Bogor, Tangerang, dan Bekasi positif mengandung residu
antibiotik golongan tetrasiklin dan obat golongan sulfonamida (Balitvet 1990;
Balitvet 1991). Dengan demikian, apabila peternak yang menggunakan ransum
tersebut tidak memperhatikan aturan pemakaiannya, diduga kuat produk ternak
mengandung antibiotik yang dapat mengganggu kesehatan manusia, antara lain
berupa resistensi terhadap antibiotik tertentu (Hurd et al. 2004). Hanya sebagian
kecil peternak responden berjenis usaha mandiri (3.3%) yang menggunakan pakan
kombinasi sebagai pakan utama bagi ternaknya. Peternak ayam broiler berjenis
usaha mandiri memilih menggunakan pakan kombinasi untuk menekan biaya
produksi. Pakan kombinasi adalah campuran dari pakan komersial dan pakan non
komersial/campur sendiri.
Peternak responden ayam lokal di Kabupaten Bogor mayoritas (100%)
berjenis usaha mandiri dengan jumlah populasi 1─15 ekor (Tabel 3). Peternak
mengungkapkan bahwa sistem pemeliharaan ternak diperoleh secara otodidak serta
informasi tambahan dari forum peternak ayam lokal yang ada di lingkungannya.
Sebesar 56.7% peternak ayam lokal memiliki jumlah tempat minum yang kurang
mencukupi (Tabel 3). Kurangnya jumlah tempat minum ayam tidak terlalu
berdampak bagi kondisi ternak. Hal ini berkaitan dengan sistem pemeliharaan
ternak ayam lokal yang dilakukan secara tradisional yaitu dengan pola siang hari
ayam dilepas, dibiarkan bebas berkeliaran di pekarangan atau halaman rumah untuk
mencari makan, dan pada sore hari menjelang malam ayam akan dikandangkan
dalam kandang sederhana yang berada di samping ataupun di belakang rumah (Sari
2001).
Pada peternakan ayam lokal, sebesar 83.3% peternak responden memiliki
kandang yang sesuai (cukup) dan sisanya sebesar 16.7% memiliki kandang yang
terlalu sempit atau tidak memiliki kandang secara khusus. Menurut Rasyaf (2001)
pemeliharaan ayam secara tradisional dapat juga disebut sebagai pemeliharaan
umbaran/bebas dimana peternak tidak menyediakan kandang ayam secara khusus.
Sebagian masyarakat memanfaatkan bambu untuk membuat kandang ayam karena
bambu mudah didapatkan dan harganya relatif murah. Model kandang dibuat
bertingkat dengan atap terbuat dari anyaman daun kelapa atau yang disebut rumbia.
Peternak tidak memberikan perlakuan khusus untuk memisahkan ayam lokal muda
dengan yang sudah dewasa. Untuk ayam yang sedang bertelur, disediakan sebuah
sarang yang terbuat dari bakul atau peti bekas beralaskan koran bekas atau jerami
dan biasanya diletakkan di atas kandang atau di atas pintu rumah (Sari 2001).
Pemberian pakan umumnya dilakukan peternak sebanyak dua kali sehari
(Sari 2001). Peternak umumnya memberikan pakan pada pagi hari sebelum ayam–
ayam dilepas dan pada sore hari menjelang ayam masuk kandang. Sebesar 90%
peternak responden ayam lokal memberikan pakan non komersial/campur sendiri
sebagai sumber nutrisi utama bagi ternaknya. Jenis pakan tersebut adalah pakan dari
sisa–sisa rumah tangga, dedak, beras, menir, dan pakan komersial seperti pur untuk
anakan ayam lokal. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas pakan, peternak

10
cenderung memberikan tambahan sisa sayur–sayuran seperti daun singkong, daun
sawi, kangkung, dan sebagainya. Sebelum diberikan, sayuran akan terlebih dahulu
diiris kecil–kecil kemudian dicampur dengan dedak yang telah diseduh dengan air
hangat. Peternak ayam lokal menggunakan air sumur (80%) sebagai sumber air
minum ternaknya (Tabel 3). Hal ini dilakukan untuk menekan biaya produksi
karena pemberian air minum pada ternak ayam lokal dilakukan secara tak terbatas
atau ad libitum (Rasyaf 2001).

Manajemen Penggunaan Antibiotik pada Peternakan Ayam Broiler dan
Ayam Lokal di Kabupaten Bogor
Antibiotik untuk ternak memiliki konsentrasi dan keefektifan yang berbeda
tergantung dari merek dagang dan komposisi dari jenis antibiotik yang digunakan.
Penggunaan antibiotik dalam pengobatan sangat bervariasi, ada yang menggunakan
satu jenis antibiotik ada pula yang mengkombinasikan dua jenis antibiotik. Berikut
data antibiotik ternak komersial dipasaran dan telah mendapatkan sertifikasi dari
Departemen Pertanian (Tabel 5).
Tabel 5 Jenis antibiotik komersial
Jenis antibiotik

Dosis
(air minum per liter)

Lama pemberian
(hari)

0.5 g
1g
1g
0.5 g
2.5 g
0.25 ─ 0.50 ml
0.25 g
0.5 ml
0.3 ─ 0.4 g
0.5 g
1 ml
1g
0.5 g
0.5 g
1g
2g
5g
1─2g
0.2 g
0.5 g

3
3─5
3─5
3─5

3─5
3─5
3─4
3─5
3─5

3─5
5─7
5
3─5

3
3
3─5
3─5

Enrofloksasin
Ampisilin Trihidrat
Amoksilin Trihidrat
Amoksilin + Kolistin
Eritromisin
Norfloksasin
Norfloksasin + Kolistin
Kolistin Sulfat
Kolistin Sulfat + Spriramisin
Siprofloksasin
Sulfadiazin + Trimetoprim
Eritromisin + Kolistin Sulfat
Khlortetrasiklin
Siprofloksasin
Doksisiklin + Kolistin Sulfat
Neomisin S. + Oksitetrasiklin
Sulfaquinoksalin
Spiramisin
Doksisiklin
Klindamisin
Sumber: Indeks Obat Hewan Indonesia (2009)

Pada peternakan ayam broiler sebesar 100% responden memiliki program
penggunaan antibiotik yang lebih intensif daripada peternak responden ayam lokal
yang hanya sebesar 16.7% (Tabel 6). Hal ini karena mengingat kondisi dari ayam
broiler yang rawan stress sehingga mudah terserang berbagai macam penyakit yang
dapat menyebabkan kerugian bagi peternak. Terlihat pula pada Tabel 6 bahwa
100% peternak responden ayam broiler mengaku bahwa penggunaan antibiotik
bertujuan untuk mencegah agar ternak tidak sakit serta sebagai pemacu

11
pertumbuhan (growth promotor) dalam pakan. Antibiotik yang lazim digunakan
untuk pencegahan dan pengobatan penyakit pada ternak ayam antara lain
streptomisin, kloramfenikol, doksisiklin, tetrasiklin, eritromisin, neomisin, tilosin,
siprofloksasin, enrofloksasin, dan golongan sulfonamida. Antibiotik tersebut
diberikan dalam air minum pada ayam–ayam yang menunjukkan gejala sakit atau
setelah vaksinasi (Kusumaningsih 2007). Hal ini mengacu pada kesesuaian
penggunaan antibiotik pada peternakan ayam yaitu sebesar 50% peternak
responden ayam broiler menggunakan antibiotik sesuai ketentuan yang tertera
dalam label kemasan obat, sedangkan sebagian peternak lainnya menggunakan
antibiotik tidak sesuai ketentuan.
Tabel 6 Manajemen penggunaan antibiotik peternakan ayam broiler dan ayam lokal
di Kabupaten Bogor
Peubah

Kategori

Peternakan ayam
Broiler (N=30)

Lokal (N=30)

n

%

n

%

Program antibiotik

Tidak
Ya

0
30

0.0
100.0

25
5

83.3
16.7

Antibiotik untuk pengobatan

Tidak
Ya

30
0

100.0
0.0

0
5

0.0
16.7

Antibiotik untuk menjaga kondisi
ternak

Tidak
Ya

0
30

0.0
100.0

0
5

0.0
16.7

Antibiotik dalam kandungan pakan

Tidak
Ya

0
30

0.0
100.0

27
3

90.0
10.0

Kesesuaian penggunaan antibiotik

Tidak sesuai
Sesuai

15
15

50.0
50.0

1
4

3.3
13.3

Cara pemberian antibiotik

Dicampur
dalam pakan
Dicampur
dalam air
minum
Melalui
penyuntikan

0

0.0

0

0.0

30

100.0

5

16.7

0

0.0

0

0.0

Desinfektan air minum

Tidak
Ya

19
11

63.3
36.7

30
0

100.0
0.0

Antibiotik dilarutkan dengan air
minum yang mengandung desinfektan

Tidak
Ya

28
2

93.3
6.7

5
0

100.0
0.0

Pergantian jenis antibiotik

Tidak
Ya

20
10

66.7
33.3

5
0

16.7
0.0

Dosis untuk jenis antibiotik yang
sama

Selalu sama
Dosis /takaran
bertingkat

19
11

63.3
36.7

5
0

16.7
0.0

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa sebanyak 30 peternak responden
ayam broiler memberikan antibiotik melalui air minum. Menurut Purvis (2003) dan
PIC (2006) pengobatan massal melalui air minum dalam peternakan ayam broiler

12
merupakan cara terapi yang dianggap paling baik karena lebih cepat dan efektif.
Hal ini disebabkan karena pengobatan melalui cara parenteral (intramuskuler,
sub─kutan dan intra─vena) tidak mungkin dilakukan untuk pengobatan massal
dalam peternakan berskala besar.
Sebesar 66.7% peternak responden ayam broiler tidak melakukan pergantian
jenis antibiotik yang digunakan terhadap ternaknya. Peternak juga selalu
menggunakan dosis/takaran yang selalu sama untuk tiap jenis antibiotik (63.3%).
Hal ini dikarenakan pada peternakan ayam broiler program pemberian antibiotik
telah terjadwal dan diatur oleh perusahaan yang bermitra dengan peternak. Peternak
mengaku hanya mengikuti program tersebut sesuai dengan jadwal. Para peneliti
mengkhawatirkan bahwa penggunaan antibiotik secara terus–menerus dalam waktu
yang lama melalui air minum atau pakan dengan dosis sub─terapeutik akan
memicu terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik (Bahri et al. 2005).
Pada peternakan ayam lokal, mayoritas peternak responden tidak
menggunakan antibiotik secara intensif pada ternaknya (83.3%) dikarenakan
minimnya pengetahuan peternak mengenai fungsi antibiotik sebagai growth
promotor serta untuk menekan biaya yang dikeluarkan selama pemeliharaan.
Peternak yang menggunakan antibiotik (16.7%) menggunakannya melalui air
minum karena dianggap mudah dan efektif. Peternak ayam lokal memberikan dosis
yang selalu sama (16.7%) serta jenis antibiotik yang tidak berganti─ganti (16.7%).
Peternak ayam lokal mengaku, apabila melakukan pergantian jenis antibiotik akan
berdampak buruk bagi kondisi ternaknya.

Kondisi Resistensi Enterobacteriaceae pada Peternakan Ayam Broiler dan
Ayam Lokal di Kabupaten Bogor
Resistensi didefinisikan sebagai tidak terhambatnya pertumbuhan bakteri
dengan pemberian antibiotik secara sistemik dengan dosis normal yang seharusnya
atau kadar hambat minimalnya, sedangkan multiple drugs resistance didefinisikan
sebagai resistensi terhadap dua atau lebih obat maupun klasifikasi obat. Cross
resistance adalah resistensi suatu obat yang diikuti dengan obat lain yang belum
pernah dipaparkan (Tripathi 2003). Resistensi yang timbul berkaitan dengan
penggunaan antibiotik di peternakan untuk memacu pertumbuhan ternak dan
mengobati penyakit infeksi pada ternak (Yenny & Herwana 2007). Berdasarkan
hasil uji resistensi bakteri ditemukan adanya resistensi yang terjadi pada ayam
broiler dan ayam lokal yang diternakkan di Kabupaten Bogor. Berikut data
resistensi Enterobacteriaceae pada peternakan ayam broiler dan ayam lokal di
Kabupaten Bogor (Tabel 7).
Tabel 7 Kondisi resistensi Enterobacteriaceae pada peternakan ayam broiler dan
ayam lokal
Resistensi Enterobacteriaceae
Peternakan ayam

Broiler (N=30)
Lokal (N=30)

Resisten

Tidak resisten

n

%

n

%

14
10

46.7
33.3

16
20

53.3
66.7

13
Pada peternakan ayam broiler kondisi resistensi Enterobacteriaceae sebesar
46.7%, sedangkan pada peternakan ayam lokal 33.3%. Perbedaan kondisi resistensi
disebabkan karena sistem pemeliharaan yang berbeda. Peternakan ayam broiler
memiliki sistem pemeliharaan yang intensif sedangkan peternakan ayam lokal
masih secara tradisional (Sari 2001). Semakin intensif usaha peternakan maka
semakin meningkat pula pemakaian antibiotik untuk mengatasi infeksi yang sering
timbul (Purvis 2003; PIC 2006).
Bakteri famili Enterobacteriaceae sering disebut juga sebagai bakteri
Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL). Bakteri ESBL adalah bakteri yang
mampu memproduksi enzim yang dapat menghidrolisis penisilin, sefalosporin
generasi pertama, kedua, ketiga dan aztreonam (kecuali cefamycin dan
carbapenem) dimana aktivitas enzim tersebut mampu menghambat β lactam. Gen
pengkode ESBL berada di plasmid yang mudah dipindahkan ke bakteri lain
sehingga terjadi penyebaran resistensi (Paterson 2005). Faktor–faktor yang
mendukung terjadinya resistensi bakteri pada peternakan antara lain: tersebar
luasnya ketersediaan obat antibiotik yang dapat dibeli tanpa resep, perilaku terapi
yang sub─optimal, penggunaan antibiotik lebih dari satu jenis secara bersamaan,
kurangnya fasilitas laboratorium sebagai sarana penunjang diagnostik untuk
penulisan resep, berpindahnya gen bakteri yang resisten, penyebaran galur bakteri
yang resisten di masyarakat dan rumah sakit (Yenny & Herwana 2007).

Faktor Risiko Terjadinya Resistensi Enterobacteriaceae Terkait Keadaan
Umum Peternakan
Hasil analisis antara keadaan umum peternakan terhadap kondisi resistensi
Enterobacteriaceae yang muncul pada peternakan ayam broiler dan ayam lokal di
Kabupaten Bogor disajikan pada Tabel 8. Variabel ketersediaan tempat minum
memiliki asosiasi yang signifikan terhadap kondisi resistensi Enterobacteriaceae
yang muncul pada peternakan ayam broiler dengan nilai P