Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Fraksinasi Bungkil Inti Sawit

EVALUASI SIFAT FISIK DAN KIMIA FRAKSINASI
BUNGKIL INTI SAWIT

RICKE PAMELA RENJANI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Sifat Fisik dan
Kimia Fraksinasi Bungkil Inti Sawit adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun.Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor,Agustus2014
Ricke Pamela Renjani
NIM D24080009

ABSTRAK
RICKE PAMELA RENJANI. Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Fraksinasi Bungkil Inti
Sawit. Dibimbing oleh NAHROWI dan ANURAGA JAYANEGARA
Pemanfaatan BIS pada pakan ternak unggas belum seefektif pada ternak
ruminansia. Hal ini disebabkan oleh tingginya serat kasar yang terkandung di dalam
BIS. Batok yang terdapat dalam BIS menyebabkan proses penyerapan menjadi rendah.
Masalah ini perlu ditangani dengan melakukan metode pemisahan batok. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengevaluasi serta mengetahui sifat fisik dan kimia bungkil
inti sawit hasil fraksinasi setelah penggilingan dan penyaringan 100 mash serta
membandingkan kualitas bungkil inti sawit (BIS) pada daerah yang berbeda. Data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif, dengan perlakuan BIS P1
(tidak digiling) dan P2 (digiling). Peubah yang diukur adalah komposisi kimia, berat
jenis, kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan, sudut tumpukan, dan daya
ambang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggilingan dan penyaringan tidak
memperbaiki komposisi kimia BIS. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan penggilingan
dan penyaringan tidak dapat memperbaiki kandungan nutrient BIS asal Lampung dan

Kalimantan namun memperbaiki kualitas fisik.
Kata kunci: bungkil inti sawit, penggilingan, penyaringan, sifat fisik, sifat kimia

ABSTRACT
RICKE PAMELA RENJANI. Evaluation of its Physical and Chemical Characteristics
Fraction of Palm Kernel Meal. Supervised by NAHROWI and ANURAGA
JAYANEGARA
The utilization of palm kernel meal in poultry feed has not been as effective as
in ruminants. This is caused by high crude fiber contained in palm kernel meal. Shells
found in palm kernel meal causing the absorption becomes low. This problem needs to
be addressed by conducting shell separation method. The purpose of this study was to
evaluate and determine the physical and chemical characteristicsfractions of palm kernel
meal after milling and screening 100 mash and compare the quality of palm kernel meal
in different areas. The data obtained were analyzed using descriptive analysis, with the
treatments of palm kernel meal were P1 (without milled) and P2 (milled). The variables
measured were density, bulk density, compacted bulk density, angle of respose, and
floating rate. It can be concluded that milled and screened treatments can not improve
the contents of nutrients of palm kernel meal fractions from Lampung and Kalimantan,
while affect the physical properties.
Keywords: milled, palm kernel meal, physical-chemical characteristics, screening


EVALUASI SIFAT FISIK DAN KIMIA FRAKSINASI
BUNGKIL INTI SAWIT

RICKE PAMELA RENJANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Peternakan
pada
Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Judul Skripsi : Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Fraksinasi Bungkil Inti Sawit
Nama

: Ricke Pamela Renjani
NIM
: D24080009

Disetujui oleh

Prof Dr Ir Nahrowi, MSc
Pembimbing I

Dr Anuraga Jayanegara, SPt, MSc
Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Panca Dewi MHKS, MSi
Ketua Departemen

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala
karunia-Nyas ehingga penulis dapatmenyelesaikan penulisan skripsi dengan judul
Evaluasi Sifat Fisik dan Kimia Fraksinasi Bungkil Inti Sawit. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan penulis bulan Januari hingga April 2014 di Laboratorium
Industri Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi serta mengetahui terhadap sifat fisik
dan kimia BIS hasil fraksinasi setelah penggilingan dan penyaringan 100 mash serta
membandingkan kualitas bungkil inti sawit (BIS) pada daerah yang berbeda. Skripsi ini
merupakan salah satu syarat untuk kelulusan dan memperoleh gelar Sarjana Peternakan
di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014
Ricke Pamela Renjani

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN

METODE
Bahan
Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat
Persiapan BIS
Pengamatan
Pengukuran Sifat Fisik
Berat Jenis
Kerapatan Tumpukan
Kerapatan Pemadatan Tumpukan
Sudut Tumpukan
Daya Ambang
Pengukuran Komposisi Nutrien
Kadar Air
Protein Kasar
Serat Kasar
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Nutrien Bungkil Inti Sawit
Kualitas Fisik

Berat Jenis
Kerapatan Tumpukan
Kerapatan Pemadatan Tumpukan
Sudut Tumpukan
Daya Ambang
KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
UCAPAN TERIMA KASIH

vi
vi
1
1
1
1
1

2
2
2
2
2
2
2
3
3
3
3
3
4
4
4
4
5
5
5
6

7
7
7
7
7
9
10
10

DAFTAR TABEL
1 Komposisi bungkil inti sawit
2 Berat jenis bungkil inti sawit (g mL-1)
3 Kerapatan tumpukan bungkil inti sawit (kg m-3)
4 Kerapatan pemadatan tumpukan bungkil inti sawit (kg m-3)
5 Sudut tumpukan bungkil inti sawit (ο)
6 Daya ambang bungkil inti sawit (m s-1)

4
5
6

6
7
7

DAFTAR LAMPIRAN
1 Bungkil inti sawit setelah digiling
2 Bungkil inti sawit yang terlewat pada saringan 100 mash
3 Bungkil inti sawit yang tertahan pada saringan 100 mash

9
9
9

1

PENDAHULUAN
Saat ini Indonesia merupakan salah satu eksportir terbesar kelapa sawit dalam
bentuk minyak kelapa sawit dan ikutannya bungkil inti sawit. Menurut Departemen
Pertanian (2012), produksi kelapa sawit di Indonesia mencapai 23 521 071 ton dan 11
760 54 ton buah inti sawit. Bungkil inti sawit mengandung protein kasar 15.85%, total

asam amino 12.64%, dan serat kasar 32.95% (Yatno 2011).
Produksi bungkil inti sawit yang meningkat belum diikuti dengan tingkat
pemakaian yang tinggi dalam ransum unggas. Hal ini dikarenakan adanya kandungan
serat kasar yang tinggi dan kandungan protein kasar yang rendah 16-18% (Nahrowi
2014). Kandungan serat kasar yang tinggi menyebabkan level penggunaan bungkil inti
sawit berkisar antara 5-10% pada ransum broiler (Sinurat et al. 2009). Rendahnya daya
cerna suatu bahan pakan dapat disebabkan tingginya serat kasar bahan pakan tersebut
(Wahyunto 1989).
Dalam upaya menurunkan serat kasar perlu perbaikan teknik penyaringan agar
semua batok dapat terpisahkan. Menurut Sinurat et al. (2009) keberadaan batok
merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam penggunaan bungkil inti sawit
sebagai pakan unggas. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Yatno (2009) bahwa
pemberian bungkil inti sawit dalam ransum puyuh tanpa dilakukan pemisahan batok
menyebabkan lesio atau merobek villi usus halus pada puyuh. Dengan demikian
perlakuan fisik seperti penyaringan diharapkan dapat mengurangi kandungan serat kasar
dalam bungkil inti sawit.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi serta mengetahui sifat fisik dan
kimia bungkil inti sawit hasil fraksinasi setelah penggilingan dan penyaringan 100 mash
serta membandingkan kualitas bungkil inti sawit (BIS) pada daerah yang berbeda.

METODE
Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bungkil inti sawit (BIS) yang
diperoleh dari pabrik pengolahan inti sawit di Lampung dan Kalimantan. Bahan kimia
untuk pengujian analis proksimat.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari hingga April 2014. Lokasi
penelitian bertempat di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yakni mesin giling (hammer mill) dan
seperangkat penentuan sifat fisik dan kimia. Timbangan, gelas ukur, model sieve ayakan
(mash), stopwatch, seperangkat alat sudut tumpukan, digunakan dalam uji kualitas fisik
pakan.

2

Persiapan Bungkil Inti Sawit
Bungkil inti sawit lima kg (Lampung atau Kalimantan) di bagi dua bagian. Dua
setengah kg dari bungkil inti sawit digiling dan sisanya dibiarkan sebagai kontrol.
Penggilingan dilakukan menggunakan hammer mill dengan ukuran lima sampai tiga
mm. Masing-masing bungkil inti sawit disaring dengan ukuran 100 mash.
Pengukuran Sifat Fisik
Berat Jenis (Khalil 1999a)
Berat jenis diukur dengan prinsip perubahan volume air (hukum Archimedes)
pada gelas ukur. Sampel sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam gelas ukur yang berisi
300 mL aquades kemudian dilakukan pengadukan untuk mempercepat penghilangan
ruang udara antar partikel ransum. Berat jenis dihitung dengan rumus:
Berat jenis (g mL-1) =
Kerapatan Tumpukan (Khalil 1999a)
Kerapatan tumpukan diukur dengan cara mencurahkan sampel sebanyak 100 g
ke dalam gelas ukur kemudian sampel dalam gelas ukur tersebut dilihat ketinggiannya
berdasarkan ketinggian yang tertera pada gelas ukur. Kerapatan tumpukan dihitung
dengan rumus:
Kerapatan tumpukan (kg m-3) =
Kerapatan Pemadatan Tumpukan (Khalil 1999a)
Kerapatan pemadatan tumpukan ditentukan dengan cara yang sama seperti
kerapatan tumpukan tetapi volume sampel dibaca setelah dilakukan proses pemadatan
dengan cara menggoyang-goyangkan gelas ukur sampai volume tidak berubah lagi.
Kerapatan pemadatan tumpukan dihitung dengan rumus:
Kerapatan pemadatan tumpukan (kg m-3) =
Sudut Tumpukan (Khalil 1999b)
Pengukuran sudut tumpukan dilakukan dengan cara menjatuhkan sampel pada
ketinggian 3 m melalui corong yang dipasang pada kaki tiga sampai sampel jatuh pada
bidang datar yang beralaskan bidang datar. Pengukuran diameter dilakukan dengan
menggunakan mistar dan di sisi yang sama setiap pengukuran. Satuan sudut tumpukan
dinyatakan dalam derajat (°), sehingga diameter dasar (d) dan tinggi tumpukan (t), maka
besar sudut tumpukan dihitung dengan rumus:
Sudut tumpukan = Cot

3

Daya Ambang
Daya ambang bahan diukur dengan menjatuhkan sampel pada ketinggian 3 m
dari lantai kemudian diukur lama waktu (detik) yang dibutuhkan untuk mencapai lantai
dengan menggunakan stopwatch. Lantai tepat jatuh bahan diberi alas alumunium foil
untuk meminimumkan kesalahan. Diusahakan bahan jatuh tegak lurus dengan membuat
bulatan pada alumunium foil. Untuk meminimumkan pengaruh angin semua lubang
yang memungkinkan angin masuk selama pengukuran daya ambang di tutup dengan
kertas karton. Daya ambang diukur dengan rumus : (Khalil 1999b)
Daya ambang (m s-1) =
Pengukuran Komposisi Nutrien
Kadar Air
Pengukuran kadar air dilakukan untuk mengetahui kadar air bahan pada saat
awal dengan cara sampel yang akan diuji kadar air ditimbang sebanyak 5 g dalam
cawan kemudian dimasukkan dalam oven 105 °C selama 24 jam. Perhitungan kadar air
dengan menggunakan rumus:
Kadar air (%)

-

Protein Kasar
Sampel sebanyak 0.3 g dimasukkan ke dalam labu destruksi atau labu Kjeldahl
dan ditambahkan kira-kira1 gram katalis campuran selen pekat. Kemudian campuran
tersebut dipanaskan di atas api pembakar bunsen sampai tidak berbuih lagi kemudian di
destilasi lalu di titrasi dengan larutan NaOH. Perhitungan kadar protein kasar dengan
menggunakan rumus :


Protein kasar (%)

Kadar Serat Kasar
Sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam gelas piala dan ditambahkan
H2SO4 kemudian dipanaskan selama 15 menit. Setelah itu disaring dengan kertas saring
dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya cawan porselenserta isinya
dibakar dan diabukan dalam tanur listrik pada suhu 600°C. Perhitungan kadar serat
kasar dengan menggunakan rumus :
Serat kasar (%)

-

-

Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Analisis Deskriptif.
Dengan perlakuan P1= BIS tidak digiling, P2= BIS digiling

4

HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Kimia Bahan Pakan
Analisis proksimat merupakan suatu metode analisis kimia untuk
mengidentifikasi kandungan zat makanan dari suatu bahan pakan atau pangan.
Komposisi nutrient BIS disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi nutrien bungkil inti sawit
Asal BIS

Perlakuan
P1

Penyaringan
BK(%)*
PK(%)*
SK(%)*
Batok
92.61±0.06
15.22±5.31
11.39±0.27
Non batok
87.85±0.02
16.13±1.684
7.18±0.23
Lampung
P2
Batok
88.82±0.11
15.21±9.82
33.71±5.66
Non batok
88.19±0.32
17.38±1.380
8.09±0.21
P1
Batok
88.76±0.26
14.35±1.565
13.23±0.10
Non batok
87.67±0.23
16.11±1.132
6.49±0.60
Kalimantan
P2
Batok
92.29±0.15
11.91±4.89
20.84±1.98
Non batok
88.26±0.08
16.55±1.108
8.12±0.31
*Hasil Analisis Proksimat di Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi (PAU), IPB (2014); BK (%), PK
(%), SK (%); BK= bahan kering, PK= protein kasar, SK= serat kasar; BIS= Bungkil inti sawit;P1= BIS
tanpa digiling, P2= BIS digiling

Kandungan bahan kering BIS dari Lampung yang mendapatkan perlakuan
penyaringan tanpa penggilingan terlebih dahulu relatif sama dengan BIS asal
Kalimantan. Hal ini terjadi karena BIS non batok masih mengandung cangkang yang
melekat dan terlalu besar, sehingga hasil analisis tidak jauh berbeda jika dibandingkan
dengan BIS batok.
Kandungan nutrient protein kasar (PK) BIS batok asal Lampung yang disaring
dan digiling relatif sama dengan kandungan PK BIS batok asal Kalimantan yang diberi
perlakuan sama. Fraksi non batok yang disaring dengan menggunakan ukuran saringan
100 mash relatif dapat meningkatkan kandungan PK baik BIS asal Lampung dan
Kalimantan serta relatif dapat menurunkan kandungan serat kasar (SK).
Kandungan SK batok BIS yang mendapatkan perlakuan penggilingan lebih tinggi
dibandingkan SK batok BIS tanpa perlakuan penggilingan. Tabel 1 dimana kandungan
SK P2 asal Lampung mencapai 33.71%, sedangkan SK P2 asal Kalimantan mencapai
20.84%. Dengan demikian kandungan serat kasar BIS yang digiling pada batok
termasuk tinggi karena BIS yang digunakan masih terdapat cangkang batok sehingga
BIS tidak disarankan sebagai bahan baku pakan ternak non-ruminansia karena
kandungan serat kasar pada BIS lebih tinggi dibandingkan bahan baku sumber protein
lainnya (Elisabeth dan Ginting 2003).
Kualitas Fisik
Berat Jenis
Tinggi berat jenis BIS asal Lampung disebabkan oleh tingginya batok. BIS dari
Kalimantan mempunyai tanpa batok yang lebih banyak daripada Lampung. Keberadaan
batok dari Kalimantan lebih rendah dari Lampung. Keberadaan batok yang tinggi
disebabkan oleh proses penanganan inti sawit yang berbeda. Lebih jauh dalam proses
penanganan, pengolahan, dan penyimpanan BIS asal Kalimantan lebih sulit
dibandingkan asal Lampung. Berat jenis merupakan perbandingan antara massa bahan

5

terhadap volumenya yang berpengaruh terhadap homogenitas penyebaran partikel dan
stabilitasnya dalam suatu campuran bahan. Berat jenis memegang peranan penting
dalam berbagai proses pengolahan, penanganan, dan penyimpanan (Khalil 1999a).
Perbedaan hasil berat jenis dari setiap daerah dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Berat jenis bungkil inti sawit (g mL-1)
Asal BIS

Lampung
Kalimantan

Penyaringan

Perlakuan
Batok

Non batok

P1

1.200 ± 0.274

3.600 ± 1.342

P2

0.880 ± 0.566

3.210 ± 2.740

P1

0.950 ± 0.112

5.400 ± 1.342

P2
0.656 ± 0.472
2.400 ± 0.548
BIS= Bungkil inti sawit; BJ= berat jenis; P1= BIS tanpa digiling, P2= BIS digiling

Kerapatan Tumpukan
Pengukuran kerapatan tumpukan dilakukan untuk menentukan volume ruang pada
suatu bahan dengan berat jenis tertentu seperti pengisian alat pencampur dan elevator
(Kolatac 1996). BIS asal Kalimantan yang digiling mempunyai kerapatan tumpukan
nyata lebih tinggi dibandingkan BIS asal Lampung serta kerapatan tumpukan BIS batok
lebih tinggi dari BIS tanpa batok. Fasina dan Sonkhansanj (1993) mengemukakan
bahwa nilai kerapatan tumpukan berbanding terbalik dengan kandungan air dan partikel
asing dalam bahan, sehingga peningkatan kandungan air atau partikel asing akan
menurunkan nilai kerapatan tumpukan bahan tersebut. Sesuai yang diutarakan oleh
Khalil (1999) bahwa nilai kerapatan tumpukan menunjukkan porositas dari bahan yaitu
jumlah rongga udara yang terdapat diantara partikel-partikel bahan, sehingga kerapatan
tumpukan (bulk density) memiliki sifat fisik bahan yang memegang peranan penting
dalam memperhitungkan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang
ditempatinya. Hasil kerapatan tumpukan dapat disajikan pada Tabel 3.
Kerapatan Pemadatan Tumpukan
Perlakuan P2 (BIS setelah digiling) mempunyai kerapatan pemadatan tumpukan
lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan P1 (BIS tanpa digiling). Hal ini dapat
dikarenakan kadar air pada P2 (BIS setelah digiling) lebih tinggi dibandingkan kadar air
P1 (BIS tanpa digiling). Nilai kerapatan tumpukan batok asal Kalimantan lebih tinggi
dibandingkan batok asal Lampung. Menurut Suadnyana (1998), penurunan kerapatan
pemadatan tumpukan pada saat kandungan air tinggi disebabkan oleh terbukanya poripori permukaan partikel bahan tersebut, sehingga pada saat penambahan kandungan air,
bahan tersebut mengembang yang menyebabkan volume ruang yang dibutuhkan
semakin besar.
Besar atau kecilnya kerapatan pemadatan tumpukan juga dapat disebabkan oleh
kandungan serat dalam bahan pakan. Toharmat et al. (2006) menyebutkan bahwa sifat
bahan banyak terkait dengan kadar serat dalam bahan, semakin tinggi kadar serat maka
semakin rendah kerapatannya. Semakin tinggi nilai kerapatan pemadatan tumpukan
suatu bahan maka akan semakin kecil ruang penyimpanan yang diperlukan, sehingga
dapat diketahui bahwa P2 membutuhkan ruang penyimpanan yang lebih besar
dibandingkan dengan P1. Hasil kerapatan pemadatan tumpukan disajikan pada Tabel 4.

6

Tabel 3 Kerapatan tumpukan bungkil inti sawit (kg m-3)
Asal BIS

Penyaringan

Perlakuan

Lampung

Batok

Non batok

P1

0.498 ± 0.015

0.384 ± 0.005

P2

0.568 ± 0.016

0.388 ± 0.029

P1
0.476 ± 0.015
0.388 ± 0.004
Kalimantan
P2
0.618 ± 0.047
0.378 ± 0.019
BIS= Bungkil inti sawit; KT= kerapatan tumpukan; P1= BIS tanpa digiling,P2= BIS digiling

Tabel 4 Kerapatan pemadatan tumpukanbungkil inti sawit (kg m-3)
Asal BIS

Penyaringan

Perlakuan

Lampung
Kalimantan

Batok

Non batok

P1

0.528 ± 0.029

0.492 ± 0.023

P2

0.580 ± 0.025

0.506 ± 0.036

P1

0.528 ± 0.023

0.494 ± 0.011

P2
0.610 ± 0.042
0.474 ± 0.005
BIS= Bungkil inti sawit; KPT= kerapatan pemadatan tumpukan; P1= BIS tanpa digiling, P2= BIS digiling

Sudut Tumpukan
Sudut tumpukan merupakan sudut yang terbentuk antara bidang datar dengan
kemiringan tumpukan bahan ketika bahan di curahkan dari ketinggian tertentu ke
bidang datar. Semakin kecil sudut tumpukan suatu bahan maka semakin bebas partikel
bergerak dan semakin besar daya alir (flow ability). BIS asal Lampung tidak digiling
mempunyai daya ambang yang lebih tinggi dibandingkan BIS asal Kalimantan serta
penyaringan BIS tanpa batok lebih tinggi dari BIS batok. Hal ini disebabkan selama
proses penanganan pengolahan bahan pakan tersebut mengalami perubahan yang
mempengaruhi sifat fisik dari setiap daerah dan ukuran partikel bahan relatif sama yang
mempengaruhi perbedaan sehingga mempunyai nilai yang tinggi dari setiap masingmasing daerah. Khalil (1999) berpendapat bahwa sudut tumpukan dipengaruhi oleh
ukuran partikel bahan. Baryeh (2002) menyatakan bahwa yang mempengaruhi nilai
sudut tumpukan yaitu kadar air, semakin tinggi nilai kadar air maka akan meningkatkan
nilai sudut tumpukan. Menurut Geldart et al. (1990) bahwa pengukuran sudut tumpukan
merupakan metode yang cepat dan produktif untuk menunjukkan laju aliran bahan.
Tabel 5 Sudut tumpukan bungkil inti sawit (ο)
Asal BIS

Lampung

Kalimantan

Penyaringan

Perlakuan
Batok

Non batok

P1

16.058 ± 0.690

28.994 ± 0.369

P2

17.938 ± 1.530

27.160 ± 2.281

P1

14.758 ± 2.937

27.434 ± 2.204

P2
17.294 ± 2.605
27.982 ± 1.890
BIS= Bungkil inti sawit; ST= sudut tumpukan; P1= BIS tanpa digiling, P2= BIS digiling

7

Daya Ambang
BIS asal Kalimantan tidak digiling mempunyai daya ambang yang lebih tinggi
dibandingkan BIS asal Lampung, serta daya ambang BIS batok nyata lebih tinggi dari
BIS tanpa batok. Hal ini disebabkan selama proses penanganan pengolahan bahan pakan
tersebut mengalami perubahan yang mempengaruhi sifat fisik dari setiap daerah. Nilai
daya ambang BIS Lampung dengan penyaringan batok dalam penelitian ini berkisar
antara 4.78-4.02m s-1, sedangkan BIS tanpa batok yaitu 3.44-3.37 m s-1. Kemudian nilai
daya ambang pada BIS Kalimantan dengan penyaringan batok bekisar antara 5.184.23m s-1 pada (Tabel 6) dan BIS tanpa batok yaitu 3.38-3.37 m s-1, sehingga termasuk
mempunyai daya ambang yang besar. Sesuai yang diutarakan oleh khalil (1999) partikel
yang lebih kecil ukurannya dengan bobot lebih ringan mempunyai daya ambang lebih
besar sehingga akan lebih cepat dihisap oleh alat pengangkut tersebut.
Tabel 6 Daya ambang bungkil inti sawit (m s-1)
Asal BIS

Penyaringan

Perlakuan
Batok

Lampung
Kalimantan

Non batok

P1

4.780 ± 0.227

3.444 ± 0.151

P2

4.020 ± 0.307

3.374 ± 0.352

P1

5.182 ± 1.012

3.388 ± 0.219

P2
4.230 ± 0..456
3.370 ± 0.562
BIS= Bungkil inti sawit; DA= daya ambang; P1= BIS tanpa digiling, P2= BIS digiling

KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perlakuan penggilingan dan penyaringan tidak dapat memperbaiki kandungan
nutrient BIS asal Lampung dan Kalimantan namun memperbaiki kulitas fisik.

Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui secara lebih spesifik
teknik penyaringan bungkil inti sawit terhadap sifat fisik.

DAFTAR PUSTAKA
Baryeh EA. 2002. Physical properties of millet. J Food Eng, 51: 39-46.
Fasina OD, Sokhansanj S. 1993. Effect of moisture on bulk handling properties of
alfalfa pellets. Can Agr Eng 35 (4): 269-272.
Geldart D. 1973. Types ofgas fluidization. Powder Technology 7:285–292.
Kamal M. 1998. Nutrisi Ternak I. Rangkuman. Lab. Makanan Ternak, jurusan Nutrisi
dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan. Yogyakarta (ID): UGM Pr.
Khalil. 1999a. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan
lokal: kerapatan tumpukan, kerapatan pemadatan tumpukan dan berat jenis. Med
Pet. 22 (1) : 1-11.

8

Khalil. 1999b. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap sifat fisik pakan
lokal: sudut tumpukan, daya ambang dan faktor higroskopis. Med Pet. 22 (1) :
33-42.
Nahrowi. 2014. Bungkil inti sawit hambat bakteri patogen. [internet]. [diunduh 2014
juni 20]. 12. Tersedia pada: http://www.jurnas.com/halaman/12/2014-0602/302797.
Sinurat AP, Purwadaria T, Pasaribu T, Ketaren P, Hamid H, Emmi, Fredrick E,
Udjianto, Haryono. 2009. Proses Pengolahan Bungkil Inti Sawit dan Evaluasi
Biologis pada Ayam. Laporan Penelitian. Bogor (ID). Balai Penelitian Ternak.
Suadnyana IW. 1998. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan
fisik pakan lokal sumber protein. [Skripsi]. Bogor (ID). Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor.
Toharmat T, Nursasih E, Nazillah R, Hotimah N, Noerzihad TQ, Sigit NA, Retnani Y.
2006. Sifat fisik pakan kaya serat dan pengaruhnya terhadap konsumsi dan
kecernaan nutrien ransum pada kambing. Med Pet. 29 (3): 144-154.
Wahyunto WB. 1989. Pengaruh ekstraksi minyak biji kapas dan ekstruksi campuran
tepung biji kapas, kedelai serta beras terhadap nilai gizinya [Thesis]. Bogor (ID):
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Yatno. 2009. Isolasi protein bungkil inti sawit dan kajian nilai biologinya sebagai
alternatif bungkil kedelai pada puyuh. [disertasi]. Bogor (ID). Sekolah
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Yatno. 2011. Fraksinasi dan sifat fisiko-kimia bungkil inti sawit. Agrinak 01:11-16.

9

LAMPIRAN
Lampiran 1 Bungkil inti sawit setelah digiling

Lampiran 2 Bungkil inti sawit yang terlewat pada saringan 100 mash

Lampiran 3 Bungkil inti sawit yang tertahan pada saringan 100 mash

10

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 04 Juni 1990 di Muara
Enim. Penulis adalah putri kedua dari pasangan bapak Abdul
Roni Darus, SE dan ibu Masnun, SE. Penulis menempuh
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Muara
Enim pada tahun 2002 hingga 2005 kemudian melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Muara Enim
pada tahun 2005 yang diselesaikan pada tahun 2008.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian
Bogor (IPB) pada tahun 2008 jalur Undangan Seleksi Masuk Ricke_pamela@yahoo.com
IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP),
Fakultas Peternakan. Selama menjalani pendidikan akademik di Institut Pertanian Bogor
penulis pernah bergabung didalam kepanitiaan, seperti Dekan Cup (2009), dan Fapet
Show Time (FST) (2010). Penulis juga sempat mengikuti Program Kreativitas
Mahasiswa (PKM-P) yang didanai dikti pada tahun (2012) dengan judul “Penurunan
Intesitas Off-Odor Pada Daging Itik Afkir Dengan Pemberian Tepung Daun Beluntas
(Pluchea indica Less.) dan Daun Kenikir (Cosmos caudats Kunth.) Dalam Pakan”.

UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.Terima kasih penulis ucapkan kepada bapak
Prof Dr Ir Nahrowi, MSc dan Dr Anuraga Jayanegara, SPt, MSc selaku pembimbing
skripsi. Ucapkan terima kasih juga kepada bapak Dr. Ir. Asep Sudarman, MRur, Sc dan
ibu Ir. Hj. Komariah, MSi selaku penguji sidang pada tanggal 18 Juli 2014. Penulis juga
ucapkan kepada ibu Dilla M Fassah, SPt, MSc selaku panitia sidang. Tidak lupa juga
penulis ucapkan terimakasih kepada ibu Prof Dr Ir Yuli Retnani, MS selaku penguji
seminar dan bapak Dr Anuraga Jayanegara, SPt, MSc selaku panitia seminar pada
tanggal 22 Mei 2014. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Laboratorium Teknologi Industri Pakan, dan
Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor yang telah membantu
selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga setulus-tulusnya disampaikan
kepada ayah dan ibu yang selalu memberikan support selama masa kuliah. Terima kasih
banyak kepada seluruh keluarga, serta teman-teman atas segala doa dan kasih
sayangnya.