BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kesakitan kanker serviks di dunia menempati urutan kedua setelah kanker payudara. Dari 493.000 penderita kanker serviks, 274.000 di antaranya
meninggal karena penyakit ini. Sebanyak 80 dari penderita kanker serviks dialami oleh wanita yang tinggal di negara berkembang. Sehingga, kanker serviks menjadi
masalah kesehatan utama bagi wanita terutama di negara berkembang, di mana diperkirakan sebanyak 190.000 wanita meninggal akibat penyakit ini pertahunnya
dengan mortality rate 11,2 per juta wanita per tahun Paras, 2012. Sementara itu, kanker serviks merupakan keganasan yang banyak ditemukan
di Indonesia dan merupakan penyebab kematian utama pada wanita dalam tiga dasa warsa terakhir. Diperkirakan insiden penyakit ini mencapai 100 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan data Globacan 2002, di dunia setiap 1 menit terjadi 1 kasus baru kanker serviks dan setiap 2 menit terdapat 1 kasus meninggal, sedangkan untuk di Indonesia
setiap hari terjadi 40 kasus baru dan setiap hari 20 kasus meninggal Nuranna et al, 2008. Diperkirakan kematian akibat kanker serviks akan terus meningkat 25 dalam
kurun waktu 10 tahun mendatang jika tidak dilaksanakan tindakan dan pelaksanaan yang adekuat Rasjidi, 2010.
Angka kejadian kanker serviks di Bali pada tahun 2008 berkisar antara 72- 64 kasus dari penyakit kanker organ reproduksi wanita. Angka kanker serviks di
Kabupaten Badung kini sudah mencapai 0,8. Hasil laporan tahunan Dinas Kabupaten Badung tahun 2014 menunjukkan angka kejadian kanker serviks
1
sebanyak 57 orang. Untuk dapat mengurangi angka kejadian kanker serviks, Pemerintah Kabupaten Badung melaksanakan skrining kanker serviks di puskesmas-
puskesmas yang ada di daerah Badung. Tujuan skrining kanker serviks adalah sebagai deteksi dini dan pengobatan pra-
kanker sebelum kanker berkembang lebih lanjut. Di negara-negara berkembang, karena kurangnya jumlah sito-teknologi terlatih dan laboratorium sitologi, serta
dibutuhkan waktu panjang 1-3bulan antara uji pap smear dan munculnya hasil. Selain itu, hanya sebagian kecil perempuan dengan hasil pap smear positif melakukan
evaluasi diagnostik dan pengobatan karena kurangnya pusat kesehatan yang mampu mengobati lesi pre-invasif. Oleh karena itu, dilakukan pula penelitian terhadap metode
alternatif yaitu Inspeksi Visual dengan Asam asetat IVA. IVA telah menunjukkan sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi Cervical Intraepithelial Neoplasia CIN
dan kanker serviks, tetapi dibatasi oleh spesifisitas yang rendah. Sedangkan menurut Suwiyoga et al, 2008, pemeriksaan IVA dapat
dipertimbangkan sebagai metode skrining alternatif pada lesi serviks dalam upaya down staging kanker serviks karena memiliki berbagai keunggulan seperti sensitifitas
dan spesifisitas yang memadai, tidak traumatis, sederhanapraktis dan cepat, dan dapat dikerjakan oleh bidan terlatih. Berdasarkan hasil penelitiannya di Denpasar pada tahun
2001, didapatkan tingkat sensitifitas 98,15 , spesifisitas 81,9 , dengan nilai prediksi negatif 91,7 dan nilai prediksi positif 50,9 . Selain itu, IVA memiliki kelebihan
karena membutuhkan biaya dan peralatan teknologi minim. Untuk itu dianjurkan tes IVA bagi semua perempuan berusia 30-50 tahun dan perempuan yang sudah
melakukan pengaruh seksual Depkes RI, 2007.
Dari total 5.680 Wanita pasangan usia subur usia 30-45 tahun yang berada di wilayah kerja Puskesmas Mengwi I pada tahun 2015, hanya 54 orang yang melakukan
pemeriksaan IVA. Menurut Rokhmawati 2011, bahwa perilaku masih menjadi penghambat pada Wanita Pasangan Usia Subur WPUS untuk melakukan dan
memanfaatkan pelayanan deteksi dini kanker serviks. Proses pembentukanperubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor baik dari dalam individu maupun luar
individu. Sikap seseorang dapat berubah dengan diperolehnya tambahan informasi dari kelompok sosialnya Eka, 2010. Mengubah sikap dan perilaku masyarakat terhadap
deteksi dini kanker serviks dapat dilakukan dengan pendekatan terhadap perilaku kesehatan, sehingga kegiatannya tidak lepas dari faktor-faktor yang menentukan
perilaku tersebut. Berdasarkan teori Lawrence Green 2005, perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor
utama yaitu: 1 faktor predisposisi adalah faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seperti pengetahuan, sikap, tradisi dan kepercayaan, sistem nilai yang dianut,
tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi; 2 faktor pemungkin adalah ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat seperti puskesmas,
rumah sakit, Posyandu, Polindes, dan sebagainya; dan 3 faktor penguat adalah faktor yang memperkuat terjadinya perilaku sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh
agama, petugas kesehatan kesehatan, undang-undang, dan peraturan-peraturan dan sebagainya Notoatmodjo et al, 2007. Berdasarkan hal tersebut, perlu diadakan
penelitian mengenai faktor – faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan
pemeriksaan IVA oleh WPUS di Puskesmas Mengwi I.
1.2 Rumusan Masalah