PENGARUH PEMBERIAN KOLOSTRUM SAPI DALAM MENGURANGI TIMBULNYA ULKUS PEPTIKUM PADA GASTRODUODENUM TIKUS YANG DIINDUKSI INDOMETHASIN

PENGARUH PEMBERIAN KOLOSTRUM SAPI DALAM
MENGURANGI TIMBULNYA ULKUS PEPTIKUM PADA
GASTRODUODENUM TIKUS YANG DIINDUKSI INDOMETHASIN
Nur Chayati
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

ABSTRAK
Ulkus peptikum adalah kerusakan pada mukosa saluran pencernaan, yang dapat
timbul sebagai efek samping penggunaan NSAIDs. Perbaikan ulkus peptikum
membutuhkan faktor-faktor pertumbuhan (growth factors) yang membantu proses
regenerasi sel-sel yang rusak. Kolostrum sapi mengandung growth factors alami seperti
EGF, TGF-α, TGF-β, PDGF dan VEGF yang membantu regenerasi sel melalui proses
restitusi, proliferasi dan angiogenesis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh pemberian kolostrum sapi dalam mengurangi timbulnya ulkus peptikum pada
gastroduodenum tikus akibat induksi indomethasin. Penelitian ini merupakan penelitian
murni dengan metode The Posttest Only Control Group Design yang dilakukan pada tikus
putih strain Wistar jantan (n = 24) dan dibagi dalam 6 kelompok perlakuan yaitu kontrol
positif (indomethasin 30 mg/kgBB), kontrol negatif (aquabides 2 ml), kelompok 3
(indomethasin + kolostrum sapi 0,5 ml), kelompok 4 (indomethasin + kolostrum sapi 1
ml), kelompok 5 (indomethasin + kolostrum sapi 1,5 ml) dan kelompok 6 (indomethasin

+ kolostrum sapi 2 ml). Pengamatan dilakukan 48 jam setelah perlakuan dengan
menghitung jumlah ulkus peptikum pada lambung dan duodenum tikus. Data yang
diperoleh dianalisis dengan uji statistik One-way ANOVA dilanjutkan Post Hoc LSD,
Korelasi Pearson dan Regresi Linear (α = 0,05). Hasil analisis One-way ANOVA
menunjukkan perbedaan yang signifikan pada rata-rata ulkus peptikum lambung (p <
0,05) dan tidak ada perbedaan pada rata-rata ulkus peptikum duodenum (p > 0,05). Hasil
Post Hoc LSD menunjukkan perbedaan yang signifikan rata-rata ulkus peptikum lambung
antara kontrol positif dengan kelompok 5 dan kelompok 6. Hasil analisis Korelasi
Pearson menunjukkan hubungan negatif yang lemah baik pada jumlah ulkus peptikum
lambung (r = -0,251) maupun pada jumlah ulkus peptikum duodenum (r = -0,106). Hasil
analisis Regresi Linear diperoleh parsamaan regresi linear untuk jumlah ulkus peptikum
lambung yaitu Y = 5,352 – 0,280X dan untuk jumlah ulkus peptikum duodenum Y =
2,505 – 0,123X yang berarti setiap penambahan 1 ml kolostrum sapi akan mengurangi
0,280 jumlah ulkus peptikum lambung dan 0,123 jumlah ulkus peptikum duodenum.
Kesimpulan dari penelitian ini bahwa pemberian kolostrum sapi mampu mengurangi
timbulnya ulkus peptikum pada lambung tikus tetapi tidak mampu mengurangi timbulnya
ulkus peptikum pada duodenum tikus.
Kata Kunci: kolostrum sapi, gastroduodenum, ulkus peptikum, indomethasin

PENDAHULUAN

Penggunaan kolostrum sapi dalam bidang kesehatan sudah tercatat ribuan tahun
yang lalu. Ribuan penelitian klinik telah membuktikan bahwa kolostrum sapi aman
dikonsumsi manusia dan mempunyai efek terapeutik.1
Kolostrum sapi mengandung growth factors (faktor-faktor pertumbuhan) yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan penyembuhan. Growth factors dalam kolostrum sapi
meliputi Insulin-like Growth Factor (IgF-1 dan IgF-2), Epithelial Growth Factor (EGF),
Transforming Growth Factor (TGF- dan TGF-), Platelet Derived Growth Factor
(PDGF) dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). Growth factors telah
ditemukan mampu menstimulasi pertumbuhan kulit baru dan memperbaiki jaringan yang
rusak karena ulkus, luka, luka bakar, luka operasi atau inflamasi. 2
Growth factors akan berperan dalam pengalihan sel-sel yang masih hidup dari
daerah yang mengalami luka menuju daerah sekitarnya untuk melakukan proses
perbaikan sel kembali. Proses ini dimulai dalam beberapa menit setelah luka dan diikuti
oleh peningkatan proliferasi dan remodelling sel-sel epitel yang terjadi 24 sampai 48 jam
setelah luka.3
Salah satu jenis obat yang mampu menurunkan gejala nyeri dan inflamasi adalah
obat-obatan golongan Anti Inflamasi Non Steroid (AINS) atau dikenal dengan nama
Nonsteroidal Anti-Inflamatory Drugs (NSAIDs).4
Efek terapi dan efek samping AINS berdasarkan atas penghambatan biosintesis
prostaglandin (PG). Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak

lambung atau tukak peptik yang kadang-kadang disertai anemia sekunder akibat
perdarahan saluran cerna.
Ulkus peptikum didefinisikan sebagai suatu kerusakan pada integritas mukosa
lambung dan/atau duodenum, mengacu pada defek lokal maupun defek luas yang
berhubungan dengan inflamasi yang aktif. Ulkus peptikum terjadi karena adanya
ketidakseimbangan antara sistem pertahanan (sekresi mukus, prostaglandin, bikarbonat,
aliran darah dan regenerasi sel) dan produk berlebih (asam, pepsin, asam-asam empedu,
enzim pankreas dan bakteri) di lambung dan duodenum. Ketidakseimbangan antara
sistem pertahanan dan kelebihan sekresi tersebut dipicu oleh adanya faktor-faktor seperti
infeksi bakteri Helicobacter pylori, obat-obat NSAIDs, rokok, herediter dan gangguan
pengosongan lambung yang merangsang pembentukan ulkus.5
Reinhard, 2002 menyatakan bahwa luka pada lambung dan usus kecil yang
disebabkan oleh NSAIDs dapat dikurangi dengan pemberian kolostrum sapi. TGF-,
EGF, TGF-, dan VEGF sebagai komponen growth factors yang banyak ditemukan
dalam kolostrum sapi disamping growth factors yang lainnya diduga mampu mencegah
terjadinya luka lambung akibat induksi indomethasin. Faktor-faktor pertumbuhan ini akan
menstimulasi proses restitusi yaitu fase awal dalam proses penyembuhan luka dimana
terjadi proses penggantian jaringan yang rusak dengan jaringan epitel yang baru,
membantu meregenerasi sel-sel epitel baru dan pembentukan pembuluh-pembuluh darah
baru (angiogenesis) pada mukosa lambung.6

Bahan dan Cara
Penelitian ini merupakan penelitian murni dengan metode The Posttest Only
Control Group Design yang dilakukan pada tikus putih strain Wistar jantan (n = 24).
Variabel bebas penelitian adalah volume kolostrum sapi (0,5 ml, 1 ml, 1,5 ml dan 2 ml)
dan variabel tergantung adalah jumlah ulkus peptikum pada lambung dan duodenum
tikus. Sampel dibagi dalam 6 kelompok perlakuan yang dipilih secara random dengan
setiap kelompok perlakuan terdapat 4 hewan coba yaitu kelompok kontrol positif
(indomethasin 30 mg/kgBB), kontrol negatif (aquabides 2 ml), kelompok 3 (indomethasin
+ kolostrum sapi 0,5 ml), kelompok 4 (indomethasin + kolostrum sapi 1 ml), kelompok 5

(indomethasin + kolostrum sapi 1,5 ml) dan kelompok 6 (indomethasin + kolostrum sapi
2 ml).
Tikus diadaptasikan di laboratorium selama 3 hari kemudian indomethasin
diberikan per oral menggunakan sonde dengan dosis 30 mg/kgBB. Kolostrum sapi
dimasukkan menggunakan sonde 6 jam setelah indomethasin masuk karena waktu
puncak terjadinya perdarahan dan lesi lambung adalah 6 jam setelah pemberian
indomethasin. Pemberian kolostrum sapi diulangi setiap 6 jam sampai 48 jam karena
proses remodelling sel-sel epitel terjadi 24 sampai 48 jam setelah luka.7
Pengamatan dilakukan 48 jam setelah perlakuan dengan membedah lambung
sampai duodenum tkus kemudian dihitung jumlah ulkus peptikum pada lambung dan

duodenum tikus. Data yang diperoleh dianalisis dengan uji statistik One-way ANOVA
dilanjutkan Post Hoc LSD, Korelasi Pearson dan Regresi Linear (α = 0,05). Hasil analisis
One-way ANOVA menunjukkan perbedaan yang signifikan pada rata-rata ulkus peptikum
lambung (p < 0,05) dan tidak ada perbedaan pada rata-rata ulkus peptikum duodenum (p
> 0,05). Hasil Post Hoc LSD menunjukkan perbedaan yang signifikan rata-rata ulkus
peptikum lambung antara kontrol positif dengan kelompok 5 dan kelompok 6. Hasil
analisis Korelasi Pearson menunjukkan hubungan negatif yang lemah baik pada jumlah
ulkus peptikum lambung (r = -0,251) maupun pada jumlah ulkus peptikum duodenum (r
= -0,106). Hasil analisis Regresi Linear diperoleh koefisien regresi untuk ulkus peptikum
lambung -0,280 (persamaan linear Y = 5,352 – 0,280X ) dan -0,123 untuk ulkus peptikum
duodenum(persamaan linear (Y = 2,505 – 0,123X.). Angka ini menyatakan bahwa setiap
penambahan 1 ml kolostrum sapi akan mengurangi jumlah ulkus peptikum lambung
sebanyak 0,280 dan mengurangi jumlah ulkus peptikum duodenum sebanyak 0,123
(jumlah ulkus peptikum berbanding terbalik dengan volume kolostrum sapi).
Hasil Penelitian
Hasil penelitian dilakukan uji secara kualitatif dengan mengamati lambung dan
duodenum tikus secara makroskopis.
Hubungan antara volume pemberian kolostrum sapi dengan rata-rata ulkus
peptikum pada lambung tikus dapat dilihat pada grafik berikut:


51,38


Dot/Lines show Means

50,00

1 = NSAIDs (-)
40,00

2 = NSAIDs (+)
27,75

30,00


23,50


23,25



18,25

20,00

3 = NSAIDs + kolostrum
0,5 ml



10,00

3,75


1,00

2,00


3,00

4,00

5,00

6,00

kelompok p erlakuan

Gambar 1 Grafik pengaruh pemberian kolostrum sapi pada masing-masing
kelompok terhadap rata-rata ulkus peptikum lambung tikus

Hubungan antara volume pemberian kolostrum sapi dengan rata-rata ulkus
peptikum pada duodenum tikus dapat dilihat pada grafik berikut:

14,38


Dot/Lines show Means


12,50

1 = NSAIDs (-)

10,00

8,75

2 = NSAIDs (+)



7,50

6,00

6,50





4,75

5,00



3 = NSAIDs + kolostrum
0,5 ml

2,50

0,75


1,00

2,00


3,00

4,00

5,00

6,00

kelomp ok perlakuan

Gambar 2 Grafik pengaruh pemberian kolostrum sapi pada masing-masing
kelompok
rata-rata
ulkus
peptikum
duodenum
tikus
Dari Gambar
5.3 terhadap
terlihat bahwa
rata-rata
ulkus
peptikum
pada
Analisis selanjutnya adalah Korelasi Pearson untuk melihat kekuatan hubungan
antara kedua variabel yaitu volume kolostrum sapi dan jumlah ulkus peptikum. 8 Dari
tabel korelasi jumlah ulkus peptikum pada lambung diperoleh koefisien korelasi (r)
sebesar -0,251 sedang untuk jumlah ulkus peptikum duodenum didapat r = -0,106. Hasil
ini menunjukkan adanya korelasi negatif yang lemah. Artinya, semakin banyak volume
kolostrum sapi yang diberikan, rata-rata ulkus peptikum yang terjadi semakin menurun.
Analisis terakhir adalah analisis Regresi Linear yang bertujuan untuk mencari
persamaan linear yang menggambarkan hubungan antara volume kolostrum sapi dengan
jumlah ulkus peptikum. Persamaan regresi yang diperoleh digunakan untuk
memperkirakan jumlah ulkus peptikum (Y) berdasarkan volume kolostrum sapi (X). Pada
tabel hasil analisis regresi untuk ulkus peptikum lambung diperoleh konstanta regresi
sebesar 5,352 dan variabel X -0,280, sehingga dapat dibuat persamaan regresi:
Y = 5,352 – 0,280X
Dimana Y = jumlah ulkus peptikum lambung
X = volume kolostrum sapi
Persamaan regresi di atas menyatakan bahwa jika tidak diberi kolostrum sapi maka
jumlah ulkus peptikum yang terjadi di lambung adalah 5,352 dan setiap penambahan 1 ml
kolostrum sapi akan mengurangi rata-rata ulkus peptikum di lambung sebanyak 0,280.
Sedangkan pada ulkus peptikum duodenum didapatkan konstanta regresi sebesar
2,505 dan variabel X -0,123. Dengan demikian persamaan regresi yang dapat dibuat:
Y = 2,505 – 0,123X
Dimana Y= jumlah ulkus peptikum duodenum
X = volume kolostrum sapi

Dari persamaan regresi di atas menyatakan bahwa jika tidak diberi kolostrum sapi
maka jumlah ulkus peptikum yang terjadi di duodenum sebanyak 2,505 dan setiap
penambahan 1 ml kolostrum sapi akan mengurangi rata-rata ulkus peptikum sebesar
0,123.
Hubungan antara fungsi nilai penambahan volume kolostrum sapi didalam
meramalkan jumlah ulkus peptikum pada lambung tikus dapat dilihat dari kurva berikut:

ulkus peptikum lambung
8

7

6

Y

5

=

5,352



0,280X

4

3
Obs erv ed
2

Linear
,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

4,5

volume kolostrum

Gambar 3 Kurva regresi linear fungsi nilai volume kolostrum sapi terhadap jumlah
ulkus peptikum lambung tikus
Hubungan antara fungsi nilai penambahan volume kolostrum sapi didalam
meramalkan jumlah ulkus peptikum pada duodenum tikus dapat dilihat dari kurva
berikut:
ulkus peptikum duodenum
5

4

3

Y

2

=

2,505



0,123X
1
Obs erv ed
0

Linear
,5

1,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

4,5

volume kolostrum

Gambar 4 Kurva regresi linear fungsi nilai volume kolostrum sapi terhadap jumlah
ulkus peptikum duodenum tikus
DISKUSI
Setelah dianalisa menggunakan uji ANOVA dan Post Hoc LSD penurunan
jumlah ulkus peptikum lambung yang terjadi dengan peningkatan volume kolostrum sapi
mempunyai perbedaan yang signifikan dibanding kelompok kontrol (p < 0,05), tetapi uji
Post Hoc LSD untuk penurunan jumlah ulkus peptikum duodenum tidak terdapat
perbedaan yang signifikan (p > 0,05). Dengan demikian terlihat bahwa kolostrum sapi
lebih efektif dalam mengurangi timbulnya ulkus peptikum pada lambung dibanding
duodenum tikus. Diduga, hal ini karena adanya sekresi kelenjar Brunner yang ikut
membantu menetralkan asam lambung sehingga kerusakan mukosa pada duodenum tikus

tidak terlalu parah.9 Secara makroskopis penurunan ulkus peptikum pada duodenum tikus
tidak tampak, tetapi secara mikroskopis pemberian kolostrum sapi ternyata mampu
memperbaiki kerusakan atau ulkus pada duodenum tikus seperti penelitian yang telah
dilakukan Playford et al, 1999. Secara mikroskopis, perbaikan ulkus peptikum duodenum
dilihat dari proses metaphase sel, proliferasi sel dan migrasi selnya. Hasil yang
didapatkan bahwa pemberian kolostrum sapi mampu meningkatkan proliferasi sel (p <
0,001), meningkatkan migrasi sel (p < 0,01) dan tidak terjadi penurunan proses
metaphase sel (p = 0,001).
Menurut Milani and Calabro, 2001 ekspresi growth factors dan reseptorreseptornya meningkat selama penyembuhan ulkus dan dalam beberapa kasus, hubungan
intraseluler berkaitan dengan pengikatan dan transduksi reseptor.10
Berdasarkan analisis Korelasi Pearson didapatkan hubungan yang lemah antara
volume pemberian kolostrum sapi dengan jumlah ulkus peptikum lambung dan
duodenum tikus. Arah hubungan adalah negatif yang menunjukkan semakin banyak
volume kolostrum sapi yang diberikan maka jumlah ulkus peptikum yang terjadi
cenderung menurun, demikian pula sebaliknya.
Pada uji analisis Regresi Linear diperoleh koefisien regresi untuk ulkus peptikum
lambung -0,280 dan -0,123 untuk ulkus peptikum duodenum. Angka ini menyatakan
bahwa setiap penambahan 1 ml kolostrum sapi akan mengurangi jumlah ulkus peptikum
lambung sebanyak 0,280 dan mengurangi jumlah ulkus peptikum duodenum sebanyak
0,123.
Kerusakan mukosa lambung mengakibatkan produksi bikarbonat sebagai
penetralisir asam lambung berkurang sehingga asam lambung semakin mudah merusak
sel-sel epitel yang akhirnya mengakibatkan inflamasi pada lambung. Braunwald et al,
2001 menyatakan bahwa sekresi bikarbonat pada lambung hanya berasal dari lapisan
preepitel mukosa lambung, sehingga sekali mukosa lambung rusak sekresi bikarbonat
akan langsung turun. Berbeda dengan duodenum, ketika mukosa duodenum rusak
duodenum masih mendapat pasokan bikarbonat dari tempat lain.
Daya tahan duodenum yang kuat terhadap tukak peptik diduga merupakan fungsi
dari kelenjar Brunner yang terletak beberapa inci pertama dinding duodenum. Kelenjar
ini menghasilkan sekret mukoid yang sangat alkali (pH 8) dan kental untuk menetralkan
kimus yang asam. Hal lain yang penting adalah sekresi pankreas yang mengandung
sejumlah besar natrium bikarbonat yang menetralisir cairan lambung sehingga
menginaktifkan pepsin untuk mencegah pencernaan mukosa. 11 Hal inilah yang
menyebabkan dalam penelitian ini jumlah ulkus peptikum yang diperoleh dari duodenum
jauh lebih sedikit dibandingkan pada lambung.
Kesimpulan
Kolostrum sapi mampu mengurangi timbulnya ulkus peptikum pada lambung tikus (p =
0,040) tetapi tidak mampu mengurangi timbulnya ulkus peptikum pada duodenum tikus
Saran
Perlu penelitian lebih lanjut tentang kandungan zat aktif kolostrum sapi yang secara jelas
terlibat dalam proses perbaikan ulkus peptikum dan mekanisme kerjanya serta
memperbesar jumlah sampel dan metode lain untuk mengetahui tingkat keparahan ulkus
peptikum misalnya jumlah dan tingkat keasaman cairan lambung yang dihasilkan
sehingga semakin memperkuat hasil penelitian

Daftar Pustaka
1. Blake, S. 1999. Bovine Colostrum The Forgotten Miracle, (Online),
(http://www.nutriteck.com/fpage5.html, diakses 9 Mei 2005).
2. Frey,
R.
2001.
Colostrum,
(Online),
(http://www.dravard.com/colostrum.html, diakses 16 Maret 2005).
3. Playford, R.J., Macdonald, C.E., Johnson, W.S. 2000. Colostrum and MilkDerived Peptide Growth Factors for The Treatment Of Gastrointestinal
Disorders, (Online), (http://www.ajcn.org/cgi/content/full/72/1/5, diakses 30
Maret 2005).
4. Ganiswarna SG, Setiabudy R, Suyatna FD, dkk, 1995. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. hal.207-210.
5. Henderson JM. 1996. Gastrointestinal Pathophysiology. Philadelphia:
Lippincott-Raven Publishers. P. 31-37.
n
6. Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al, 2001. Harrison’s Principles of
Internal Medicine 5th Ed. USA: The McGraw-Hill Companies. p.1649-1654.
7. Widiastana IGA, 2004. Efek Infusi Daun Sirsak pada Lambung Tikus yang
Mengalami Ulkus Peptikum akibat Induksi Indometasin. Tugas Akhir.
Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
8. Faisal S, 2003. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. hal.223-232.
9. Price SA, Wilson LM, 1995. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta:EGC. hal.378-379
10. Milani, Calabro, 2001. Role of Growth Factors and Their Receptors in
Gastric
Ulcer
Healing,
(Online),
(http://www.ncbi.nml.nih.gov/entrez/query?
cmd=retrieve&db=PubMed&list_uids=11376497&dopt=Abstract,
diakses 30 Maret 2005).
11. Guyton AC, Hall JE, 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta:
EGC. hal.1053.